SANRO MAKASSAR: MEKANISME PENGOBATAN DAN STRATEGI MEMPERTAHANKAN PASIEN SANRO OF MAKASSAR: TREATMENT MECHANISM AND MAINTAINING THE PATIENT STRATEGY Muhammad Irfan Syuhudi Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar Jalan A. P. Pettarani No. 72 Makassar Pos-el: [email protected] Handphone: 082187500080 Diterima: 5 Januari 2015; Direvisi: 13 Maret 2015; Disetujui: 27 Mei 2015 ABSTRACT This paper aims to know the reasons of some people in Makassar believe to shamans (sanro) and to understand the strategy in maintaining their existention. This research was conducted in Makassar City. The samples of informan were shamans and patients (people who are taken medicine by shamans) through purposive sampling. The data were collected through observation and interview. The data were analyzed by descriptive ethnographic analysis. The result of research showed that shamans treated medical and nonmedical illnesses with the traditional ways, likes praying from the Holy Quran, white water with incantation, herb of vegetation plant and pressing nerve points on the body by using supernatural powers. To maintain the patients, the shamans applied cultural strategy by forming social network. The social network formed from the patients, patients’ collagues, and patients’ family or from the shamans’ collagues and shamans’ family. The traditional medicine needs to be preserved and it is one of the local wisdom. Keywords: shaman (sanro), treatment mechanism, cultural strategy. ABSTRAK Tulisan ini betujuan untuk mengetahui berbagai alasan masyarakat di Kota Makassar memercayai pengobatan dukun (sanro) dan memahami strategi dukun dalam mempertahankan eksistensinya. Penelitian dilaksanakan di Kota Makassar. Informan dari penelitian ini yakni dukun dan pasien (orang yang berobat ke dukun) yang diambil secara purposif. Data dikumpul melalui observasi dan wawancara. Data dianalisis secara deskriptif HWQRJUD¿V+DVLOSHQHOLWLDQPHQXQMXNNDQEDKZDGXNXQPHQJREDWLSHQ\DNLWPHGLVNHGRNWHUDQGDQQRQPHGLV (akibat gangguan makhluk halus, berupa jin dan setan) dengan cara tradisional, berupa doa-doa yang bersumber dari Alquran, air putih yang dijampi, ramuan dari tumbuh-tumbuhan dan menekan titik-titik syaraf pada bagian tubuh dengan menggunakan kekuatan supranatural. Untuk mempertahankan pasien, dukun menerapkan beberapa strategi budaya, yaitu terbentuknya jaringan sosial. Jaringan sosial ini dibentuk oleh pasien, teman pasien, dan keluarga pasien, serta teman dukun dan keluarga dukun. Pengobatan tradisional perlu dilestarikan dan merupakan salah satu kearifan lokal. Kata kunci: dukun (sanro), mekanisme pengobatan, strategi budaya. PENDAHULUAN Nahariah, atau yang akrab dipanggil Daeng Tommi (72), memegang telinga kanan perempuan berusia empat tahun. Sambil memegangi telinga anak tersebut secara bergantian (kanan dan kiri), mulut Daeng Tommi terlihat juga berkomat-kamit. Sepertinya, ia tengah u doa (jampe-jampe) untuk mengobati penyakit anak tersebut. Kedua matanya juga terkadang terlihat dipejamkan, seolah ingin menambah kekhusukan bacaannya. Lima menit kemudian, dia berhasil “mendiagnosis” penyakit anak perempuan itu. Berdasarkan hasil “diagnosis” sang dukun, anak perempuan itu menderita kapinawangngang, atau menurut dia, ada makhluk halus atau setan yang “ikuti-ikuti” dan mengganggu. Itulah sebabnya, mengapa anak itu sering menangis dan terlihat gelisah dengan alasan yang tidak jelas. Ia lalu meminta diberikan air putih, yang dia fungsikan sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit pasien. 61 WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 61—72 Narasi di atas adalah hasil pengamatan saya ketika melihat seorang dukun1 mengobati sakit yang diderita seorang anak perempuan di Makassar. Dalam mengobati pasien, dukun cenderung mengandalkan pengobatan tradisional seperti, hafalan doa-doa (jampi-jampi), air putih yang telah ditiupkan doa-doa, serta ramuan tradisional dari tumbuh-tumbuhan dan tanam-tanaman tertentu. Dukun sama sekali tidak menggunakan peralatan kedokteran, seperti pisau bedah, ruang operasi, dan jarum suntik. Penyembuhan terhadap suatu penyakit di dalam sebuah masyarakat dilakukan dengan caracara yang berlaku di dalam masyarakat sesuai kepercayaan masyarakat tersebut (Rahmadewi, 2009:1). Ketika manusia menghadapi berbagai masalah di dalam hidup, di antaranya sakit, manusia berusaha untuk mencari obat untuk kesembuhan penyakitnya itu. Bukan hanya pengalaman, faktor sosial budaya, dan faktor ekonomi yang mendorong seseorang mencari pengobatan. Akan tetapi, organisasi sistem pelayanan kesehatan, baik modern maupun tradisional, sangat menentukan dan berpengaruh terhadap perilaku mencari pengobatan. Sejauh ini, pengobatan dukun tidak mengenal batasan sosial. Sehingga, benar juga apa yang diungkapkan Pritchard (dalam Pals, 2001:347), bahwa kepercayaan terhadap kekuatan supranatural tidak mengenal batasan sosial, seperti yang dia teliti pada Suku Azande di Sudan. Orang berpikiran modern, termasuk dirinya sekalipun, percaya terhadap kekuatan supranatural yang berbau mistik atau gaib. Mereka yang pernah berobat ke dukun tidak hanya berasal dari kalangan menengah bawah, melainkan juga menengah atas. Di Kota Makassar misalnya, Pengobatan dukun boleh dikatakan menjadi sesuatu yang integral dan sulit terpisahkan dari kehidupan sebagian masyarakat. Pengobatan dukun telah membudaya, dan ada yang menjadikan sebagai sebuah tradisi dalam lingkungan keluarga mereka. Meminjam 1 Dukun dan sanro digunakan secara bergantian, NDUHQD VHFDUD KDU¿DK PHPLOLNL PDNQD \DQJ VDPD \DLWX orang yang memiliki keahlian mengobati penyakit seseorang (medis dan non medis). Sanro berasal dari bahasa Bugis dan Makassar. 62 istilah Ward Goodenough (Kalangie, 1994:1; Al-Kumayi, 2011:30), pengobatan dukun telah menjadi bagian sistem kognitif masyarakat, yang terdiri atas pengetahuan, kepercayaan, gagasan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggotaanggota individual masyarakat. Dengan kata lain, pengobatan dukun telah masuk ke dalam ranah “tatanan kenyataan ideasional,” yang terwujud sebagai pengetahuan dan keyakinan yang kegunaannya fungsional, yaitu sebagai acuan bertindak atau sebagai blueprint. Sebagai keseluruhan pengetahuan dan keyakinan, kebudayaan berisi perangkat-perangkat modelmodel pengetahuan yang secara selektif digunakan oleh para pelakunya untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi. K oe nt ja ra n i n g ra t (19 8 4 : 426 -4 27) menegaskan, di samping dokter, kedudukan dukun memang sangat penting dan sulit tergerus oleh kemajuan zaman. Pada masyarakat Jawa, misalnya, mereka belum dapat hidup tanpa dukun. Artinya, orang yang sering berobat ke dokter pun masih memerlukan jasa-jasa dukun untuk menyembuhkan penyakit-penyakit tertentu, atau untuk penyakit yang tidak berhasil disembuhkan oleh dokter. Kalangie (1994:9) menyatakan, bentukbentuk perawatan kesehatan tradisional masih tetap dipergunakan pada masyarakat perkotaan. Perawatan kesehatan tradisional yang dimaksud adalah perawatan Prametra (dukun, kyai, pendeta, atau orang-orang lain dengan sebutan bahasabahasa pribumi yang dapat menyembuhkan orang dari penyakit). Nama-nama penyakit yang muncul sekarang ini terkesan menakutkan dan biasanya pengobatannya harus melalui meja operasi. Sebutlah, penyakit kanker, penyakit tumor, dan penyakit ginjal. Sementara itu, ada cerita-cerita yang berkembang di masyarakat di Kota Makassar, bahwa operasi tidak selamanya mengobati penyakit, melainkan dapat pula menyebabkan kematian. Ada kepercayaan yang menyatakan, tumor atau kanker apabila terkena pisau bedah dan jarum suntik (peralatan kedokteran), maka penyakit tersebut akan “marah” karena merasa dirinya sengaja dilukai. Bentuk “kemarahan” itu kemudian dia wujudkan dengan membuat dirinya Sanro Makassar: Mekanisme ... Muhammad Irfan Syuhudi makin membesar dan menyebar ke bagian-bagian tubuh lain (Syuhudi, 2013:4). Cerita-cerita seperti ini berkembang dan kemudian menjadi sebuah kepercayaan, dan lambat-laun menjadi semacam mitos, yang pada akhirnya dipercayai oleh sebagian masyarakat. Terkait mitos, Daeng, seperti diutarakan AlKumayi (2011:233), menyatakan, masyarakat lokal sering kali tidak mempersoalkan apakah mitos itu benar-benar ada atau tidak. Mitos bagi mereka berarti suatu cerita yang benar, dan cerita ini menjadi milik mereka yang paling berharga. Hal ini kemudian diperkuat lagi dengan adanya dukun yang mampu mengobati penyakit yang dianggap menakutkan itu (misalnya kanker, tumor, ginjal) tanpa melalui operasi, sehingga membuat posisi dukun dan pengobatannya semakin dipercaya oleh sebagian masyarakat. Yang menarik, tentunya, kepercayaan sebagian orang Makassar terhadap pengobatan dukun. Padahal, selain jumlah dokter terus bertambah, di Makassar juga telah menyediakan beragam fasilitas peralatan kedokteran modern. Di samping itu, pemerintah pun telah memberikan kemudahan berupa pelayanan kesehatan dengan pelbagai program kesehatan kepada semua lapisan masyarakat (misalnya asuransi kesehatan dan BPJS). Tulisan ini akan menjawab dua pertanyaan, yaitu mengapa sebagian orang di Makassar masih berobat ke dukun, padahal dokter dan peralatan kedokteran modern telah hadir di kota ini, serta strategi dukun untuk bisa survive di perkotaan. Selanjutnya, tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan alasan sebagian orang di Makassar masih menggunakan jasa pengobatan dukun, serta mendeskripsikan strategi budaya dukun mempertahankan eksistensinya di perkotaan. Tulisan ini fokus kepada dukun yang tidak menggunakan jasa media cetak dan elektronika untuk menarik para pasien (misalkan memasang iklan di koran, radio, dan WHOHYLVLPHQ\HEDUNDQSDPÀHWGDQVHEDJDLQ\D Sebaliknya, tulisan ini fokus kepada dukun yang memiliki banyak pasien akibat penyebaran informasi dari mulut ke mulut. Sementara itu, telah banyak yang meneliti masalah perdukunan dan pengobatan tradisional di Indonesia. Mereka itu, antara lain, Basir Said (1996), Heru S.P. Saputra (2007), Fatima Reliubun (2006), dan Naniek Kasniyah (2009). Penelitian Basir Said, menjelaskan fungsi dukun Bugis Makassar di Kotamadya Ujung Pandang (sekarang Kota Makassar). Secara umum, hasil penelitian dosen Antropologi Universitas Hasanuddin, ini membagi dukun atas dua kategori yaitu, dukun penyembuh (sanro pabballe) dan dukun berbahaya (sanro sehere atau sanro tujua). Dukun penyembuh adalah dukun yang tugasnya menyembuhkan orang sakit. Sedangkan dukun berbahaya adalah dukun yang dapat mencelakakan seseorang (hingga meninggal) atas permintaan orang lain. Dalam menjalankan praktiknya, kedua kategori dukun ini menggunakan kekuatan supranatural dan dapat memerintah makhluk halus (jin). Heru S. P Saputra, menyebutkan, mantra merupakan salah satu ragam puisi lisan yang sakral, yang berpotensi mengandung kekuatan gaib, khususnya menyangkut jenis maginya. Dalam kaitan ini, pelaku mantra adalah dukun. Heru S. P Saputra membedakan beberapa jenis magi pada masyarakat Using, yaitu magi putih (untuk penyembuhan), magi hitam (sihir), serta magi merah dan kuning (santet/pengasihan). Kemudian, Fatima, menyatakan, Reiki merupakan penyembuhan alami yang berpusat pada energi kehidupan universal. Reiki tidak hanya menyembuhkan penyakit, tetapi juga menyembuhkan batin yang sakit, sepanjang orang yang diobati itu yakin dan percaya terhadap pengobatan ini. Selanjutnya, Naniek mengemukakan, SLMDW UHÀHNVL PHUXSDNDQ PHWRGH SHQ\HPEXKDQ tradisional untuk mendeteksi penyakit pasien, mendiagnosis dan kemudian menentukan penyakit dan terapinya. Di antara kajian yang diuraikan di atas, kajian perdukunan sampai saat ini tampaknya lebih terfokus kepada mekanisme pengobatan atau cara membuat ramuan tradisional untuk mengobati penyakit. Karena itu, sepanjang pengetahuan saya, belum ada tulisan atau penelitian yang mengulas mengenai perdukunan, terutama strategi budaya dukun untuk tetap eksis pada masyarakat perkotaan, sehingga mampu 63 WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 61—72 bersaing dengan pengobatan kedokteran modern seperti sekarang ini. Istilah Sanro dan Dukun Orang yang bisa mengobati penyakit secara tradisional pada masyarakat Bugis dan Makassar biasa dipanggil sanro, yang juga berarti dukun (Rahman, 2006:48 dan Said, 1996:2). Menurut Rahman (2006:48), tugas sanro ada beberapa jenis, tergantung dari keahlian yang dimiliki. Misalnya sanro bola atau sanro balla, yang ahli di bidang perumahan. Sebelum memilih rumah, orang biasanya terlebih dulu berkonsultasi dengan sanro bola atau sanro balla, mulai pemilihan lokasi, arah rumah, hingga upacara selamatan rumah, yang semuanya diatur dan dipimpin oleh sanro bola atau sanro balla. Ada juga sanro anak, yang memiliki keahlian mengobati penyakit yang diderita anak, termasuk mengusir makhluk halus apabila anak “kemasukan”. Koentjaraningrat (1984:422-423), dalam VHEXDKNDU\DHWQRJUD¿Q\D³.HEXGD\DDQ-DZD´ mendefinisikan dukun sebagai orang yang menjalankan praktik penyembuhan tradisional, ilmu gaib, dan ilmu sihir. Di Jawa, sebutan dukun tidak hanya ditujukan kepada orang yang melakukan aktivitas ilmu gaib, melainkan juga kepada orang yang memiliki keahlian tertentu. Misalnya orang yang ahli membantu perempuan yang akan melahirkan (dukun bayi), dukun chalak (ahli sunat), dukun paes (ahli merias pengantin), dan sebagainya. Untuk menjadi seorang dukun, Koentjaraningrat (1984:422-423) mengemukakan, tidak ada sekolah-sekolah formal atau sekolah khusus perdukunan. Biasanya, para calon dukun itu mula-mula bekerja sebagai pembantu dari seorang dukun, yang tak lain adalah orang tua mereka sendiri. Ada kesan, keahlian menjadi dukun itu disebabkan dan atau diwariskan kepada keturunannya. Namun, tidak semua keturunan bisa mewarisi ilmu dukun dari orang tuanya. Terlebih, jika yang bersangkutan (keturunannya itu) dianggap tidak memiliki bakat menjadi seorang dukun. Pelayanan dan Perawatan Kesehatan Sistem pelayanan dan perawatan kesehatan dalam setiap masyarakat menurut 64 Kalangie (1994:16), ada tiga (3), yaitu: sistem keprofesionalan, sistem tradisional atau keprametraan (praktisi medis tradisional), dan sistem kerumahtanggaan. a. Sistem keprofesionalan; Adalah pelayanan dan perawatan kesehatan melalui pranata-pranata medis modern (bio medis) yang ditangani oleh para profesional (dokter dan paramedik) yang berkeahlian berbagai jenis. b. Sistem tradisional atau keprametraan; Adalah sistem pelayanan dan perawatan keprametraan yang diberikan oleh praktisipraktisi medis tradisional dengan berpegang pada kepercayaan, pengetahuan, serta praktik pencegahan dari penyakit serta pengobatan yang diperoleh dalam proses pewarisan tradisi dari generasi ke generasi dalam bentuk-bentuk personalistik atau naturalistik, atau keduakeduanya. c. Sistem kerumahtanggaan; Adalah pranata perawatan rumah tangga menunjukkan karakteristik yang universal, tidak ada satu rumah tangga yang tidak memilikinya sekalipun sederhana. Pranata rumah tangga merupakan perawatan yang mendahului perawatan biomedis maupun perawatan keprametraan, bahkan terus dipakai sementara menjalankan perawatan biomedis dan keprametraan. Dalam pranata rumah tangga terjadi penggunaan obatobat yang harus melalui resep tetapi yang dapat dibeli tanpa resep di toko-toko obat. Senada di atas, Kleinman (dalam Kalangie, 1994:16), juga mengemukakan tiga (3) sistem perawatan kesehatan, yaitu 1) sektor-sektor profesional (kedokteran), 2) folk (kedukunan), dan 3) umum atau rumah tangga (popular). Kleinman menjelaskan, sektor profesional sama dengan sistem keprofesionalan, sektor folk kurang lebih sama dengan sistem keprametraan, sedang sistem umum atau popular kurang lebih sama dengan sistem rumah tangga. Secara umum, Kalangie (dalam Rahmadewi, 2009:1), membagi sistem medis ke dalam dua golongan besar, yaitu sistem medis ilmiah yang merupakan hasil perkembangan ilmu pengetahuan (terutama dalam dunia barat) dan sistem medis tradisional yang berasal dari Sanro Makassar: Mekanisme ... Muhammad Irfan Syuhudi aneka warna kebudayaan manusia. Pengobatan dengan sistem medis ilmiah atau kedokteran diperoleh melalui jenjang pendidikan formal dan jalur-jalur profesional, sementara pengobatan tradisional tidak melalui pendidikan formal dan sering dikaitkan dengan pengobatan dukun, yang dalam mengobati penyakit seseorang kerap kali menggunakan tenaga gaib atau kekuatan supranatural. Sehat dan Sakit Foster dan Anderson (1986, 61dan 73) memandang manusia memiliki sistem medis yang menerangkan sebab terjadinya penyakit, pencegahan, dan penyembuhan penyakit. Ini semua disesuaikan dengan konsep masyarakat terhadap penyembuh yang menangani penyakitnya. Pada dasarnya, manusia selalu berusaha untuk menyembuhkan penyakit yang diderita. Bahkan, proses penyembuhan terhadap penyakit atau gejala-gejala penyakit ini telah dikenal manusia sejak zaman dulu. Yang membedakan hanyalah pada metode penyembuhan. Istilah sehat mengandung banyak muatan kultural, sosial, dan profesional (Soejoeti, /HVOLH :KLWH VHSHUWL GLWXOLV =XONLÀL (2010:1), mengatakan, kondisi sehat dinyatakan dengan tidak adanya keluhan apapun pada seseorang ketika dirinya diperiksa, atau tidak terdapat tanda-tanda suatu penyakit dan kelainan pada diri orang tersebut. Sakit dapat diinterpretasikan secara berbeda berdasarkan pengetahuan secara ilmiah dan dapat dilihat berdasarkan pengetahuan secara budaya dari masing-masing penyandang kebudayaannya. Hal ini berarti dapat dilihat berdasarkan pemahaman secara “etik” dan “emik”. Secara konseptual dapat disajikan bagaimana sakit dilihat secara “etik”, seperti dikutip dalam (Dumatubun, 2002:27), sebagai berikut: “Secara ilmiah penyakit (disease) diartikan VHEDJDLJDQJJXDQIXQJVL¿VLRORJLVGDULVXDWX organisme sebagai akibat terjadi infeksi atau tekanan dari lingkungan, jadi penyakit itu bersifat obyektif. Sebaliknya sakit (illness) adalah penilaian individu terhadap pengalaman menderita suatu penyakit. Fenomena subyektif ini ditandai dengan perasaan tidak enak. Di negara maju kebanyakan orang mengidap hypo- chondriacal, ini disebabkan karena kesadaran kesehatan sangat tinggi dan takut terkena penyakit sehingga jika dirasakan sedikit saja kelainan pada tubuhnya, maka akan langsung NHGRNWHUSDGDKDOWLGDNWHUGDSDWJDQJJXDQ¿VLN yang nyata. Keluhan psikosomatis seperti ini lebih banyak ditemukan di negara maju daripada kalangan masyarakat tradisional. Umumnya masyarakat tradisional memandang seseorang sebagai sakit, jika orang itu kehilangan nafsu makannya atau gairah kerjanya, tidak dapat lagi menjalankan tugasnya sehari-hari secara optimal atau kehilangan kekuatannya sehingga harus tinggal di tempat tidur.” Sementara secara “emik”, sakit dapat dilihat berdasarkan pemahaman konsep kebudayaan masyarakat penyandang kebudayaannya atau menurut pandangan masyarakat awam, sebagaimana dikemukakan di bawah ini: “Foster dan Anderson menemukan konsep penyakit (disease) pada masyarakat tradisional yang mereka telusuri di kepustakaankepustakaan mengenai etnomedisin, bahwa konsep penyakit masyarakat non barat, dibagi atas dua kategori umum yaitu: Personalistik; munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi dari suatu agen yang aktif, yang dapat berupa makhluk supranatural (makhluk gaib atau dewa), mahluk yang bukan manusia (hantu, roh leluhur, atau roh jahat) maupun mahluk manusia (tukang sihir, tukang tenung). Naturalistik; penyakit (illness) dijelaskan dengan istilah-istilah yang sistematik dan bukan pribadi. Naturalistik mengakui adanya suatu model keseimbangan, sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap dalam tubuh seperti panas, dingin, cairan tubuh berada dalam keadaan seimbang menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan lingkungan sosialnya, apabila keseimbangan terganggu, maka hasilnya adalah penyakit. Dukun Perkotaan; Sebuah Strategi Adaptif Pertanyaannya adalah, mengapa jasa pelayanan dukun tetap digunakan oleh sebagian masyarakat perkotaan di Makassar sampai saat ini? Tentunya, ini disebabkan oleh adanya kesamaan kepercayaan dan pengetahuan individuindividu serta masyarakat terkait pengobatan dukun, sehingga mereka tetap ingin mengobati 65 WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 61—72 penyakitnya ke dukun. Menurut Said (1996:16), dukun dengan pengetahuan kebudayaan yang dimiliki mampu beradaptasi dengan lingkungan perkotaan, terutama bagi orang-orang yang memiliki kesamaan pengetahuan kebudayaan dengan dukun. Dengan model-model pengetahuan kebudayaan tersebut, dapat dilihat dan dipahami sebagai model strategi adaptasi. Adaptasi, sebagaimana dikemukakan Suparlan (1989:33), adalah suatu proses untuk mengatasi berbagai masalah yang ada dalam OLQJNXQJDQDODPDWDX¿VLNMDVPDQLDKGDQVRVLDO untuk dapat memenuhi syarat-syarat dasar guna kelangsungan hidup. Sementara Mc. Elroy dan Patricia (1985:12), menyatakan, adaptasi adalah perubahanperubahan dan modifikasi-modifikasi yang memungkinkan seseorang atau kelompok untuk bertahan (survive) di dalam suatu lingkungan. Seperti beberapa binatang lainnya, manusia beradaptasi melalui variasi mekanisme biologis dan strategi-strategi tingkah laku. Hanya saja, manusia bergantung kepada pola-pola adaptasi budaya melebihi spesies lainnya. Dalam menghadapi lingkungannya, manusia banyak menggunakan mekanisme adaptasi kebudayaan. Hal ini menunjukkan, dukun juga melakukan strategi budaya agar tenaganya tetap digunakan di perkotaan, yakni dengan mekanisme pengobatan dan menciptakan jaringan. METODE Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif, yang menurut Bogdan dan Taylor dalam (Endraswara, 2006:85-86), merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sebagaimana lazimnya penelitian kualitatif, peneliti dalam hal ini sekaligus merupakan instrumen penelitian. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan observasi (Moleong, 2010:174-202 dan Endaswara, 2006a:213-214). Observasi dilakukan dengan melihat aktivitas dukun yang sedang mengobati pasien, media pengobatan yang digunakan, ritual sebelum 66 dan pasca pengobatan, serta perilaku pasien (sebelum dan pasca pengobatan). Pelayanan dukun terhadap pasiennya juga tak luput dari sasaran pengamatan. Wawancara dilakukan dengan dukun, keluarga dukun, pasien, dan keluarga pasien. Wawancara difokuskan juga kepada pengalaman pasien yang pernah berobat kepada dukun di masa lalu dan sekarang, dan berhasil sembuh. Penentuan informan dilakukan dengan purposif, yang terdiri atas dukun, keluarga dukun, pasien (yang berkali-kali dan masih) berobat ke dukun, serta keluarga pasien. Adapun dukun yang dijadikan informan berjumlah dua orang, yakni Daeng Tommi dan Muhammad Iqbal. Alasannya, kedua informan ini dapat mengobati penyakit yang dikategorikan penyakit kedokteran (antara lain, hernia, poso) maupun penyakit akibat gangguan makhluk halus (jin dan setan). Analisis data dilakukan dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu hasil wawancara, catatan lapangan, dokumen-dokumen, dan lain-lain. Setelah itu mereduksi data, memaparkan data dan simpulan PHODOXL SHOXNLVDQ GDQ YHUL¿NDVL (QGUDVZDUD 2006:176). PEMBAHASAN Proses Seseorang Mampu Mengobati Turun Temurun Mereka mendapatkan kemampuan mengobati karena diwariskan oleh orang tua atau nenek moyangnya, yang sebelumnya adalah seorang dukun. Anak yang mewarisi keahlian orang tuanya (yang dulunya bisa mengobati), dianggap sebagai “anak pilihan”, yang dimaknai, bahwa tidak semua anak mewarisi keahlian pengobatan dari orang tua dan nenek moyangnya. Artinya, meskipun ada sebuah keluarga yang mempunyai 10 anak, namun tidak semua anak itu akan mengikuti jejak orang tuanya sebagai dukun. Hanya ada satu anak yang terpilih. Dalam penentuan “anak pilihan” ini, tidak berlaku yang namanya penunjukan langsung dari orang tua atau nenek moyang. Pengetahuan tentang pengobatan itu datang dengan sendirinya dan biasanya tanpa sepengetahuan anak bersangkutan. Sanro Makassar: Mekanisme ... Muhammad Irfan Syuhudi Daeng Tommi, misalnya, baru mengganggap dirinya mampu mengobati orang ketika mamanya meninggal. Mamanya dulu seorang dukun dan punya banyak pasien di Kota Makassar dan beberapa daerah di Sulawesi Selatan. Selama mamanya hidup, Daeng Tommi tidak pernah belajar dan diajar mengenai pengobatan. Berikut penuturannya: “Saya bisa begini (mengobati orang) dari keturunan. Mamakku dulu juga pintar mengobati. Tapi, mamakku waktu masih hidup tidak pernah ajari saya obati orang. Saya tahu sendiri lewat beberapa kali mimpi. Kalau misalnya ada orang sakit kepala, ada suara-suara di hatiku yang bilang ini obatnya. Orang kena ilmu, ini obatnya. Waktu awalawal obati orang, saya biasa mimpi ketemu mamakku. Dia biasa kasih tahu nama obat dan nama penyakit orang yang sedang saya obati. Kalau sekarang, saya lebih sering merasakan ada suara-suara di hatiku kalau ada orang yang saya mau obati atau orang yang saya obati itu sudah ada tanda-tanda dalam waktu dekat mau meninggal.” (Wawancara Daeng Tommi, 15 Desember 2012). Daeng Tommi merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Dua saudaranya, yaitu kakak laki-laki dan adik perempuannya, tidak dapat mengobati orang seperti halnya dirinya. Dilihat dari silsilah keluarga, Daeng Tommi memang berasal dari keluarga dukun. Mamanya mendapat pengetahuan pengobatan dari bapaknya (kakek Daeng Tommi). Caranya pun persis sama seperti yang dialami Daeng Tommi, yakni diawali melalui beberapa kali mimpi dan tanpa melalui proses belajar dengan siapa pun atau diajar oleh keluarganya. Mama Daeng Tommi dapat mengobati setelah bapaknya (kakek Daeng Tommi) meninggal. Pengetahuan pengobatan yang diperoleh melalui warisan tidak dapat dipindahkan atau ditularkan kepada orang lain, termasuk keluarga sendiri. Pengetahuan tersebut baru dapat berpindah setelah orang itu meninggal. Daeng Tommi tidak dapat mewariskan seluruh “ilmunya” kepada anak, keluarga, atau orang lain. Kalau pun dia mengajarkan kepada orang lain, itu bukan berarti dia mewariskan “ilmunya”, melainkan hanya mengajarkan. Perbedaan mengajar dengan mewariskan adalah, kalau mengajar, dia setiap saat dapat mengajarkan hal-hal yang diketahuinya kepada orang lain. Dan, orang yang diajarkan tersebut dapat pula langsung mempraktikkannya kepada orang lain (misalnya mengobati orang lain). Pengetahuan yang diperoleh lewat pengajaran biasanya kurang mujarab, meski media dan bacaan-bacaan yang digunakan sama. Sementara, mewariskan ilmu adalah seluruh pengetahuan perdukunan yang dimiliki oleh dukun bersangkutan ditularkan langsung kepada anak, keluarga, atau orang lain, tanpa melalui proses pengajaran. Artinya, mereka yang mendapatkan “warisan ilmu” itu, mengetahui ilmu perdukunan tersebut secara tiba-tiba (biasanya melalui proses relatif panjang), dan selanjutnya, dukun tinggal mengarahkan atau menuntun saja ketika orang yang menerima warisan itu akan mengobati pasien. Sakit Berkepanjangan Mereka yang mengalami sakit berkepanjangan dan sempat mengalami mati suri (dianggap mati betulan dan hidup kembali). Ketika sakit, seseorang mengalami berbagai macam peristiwa gaib, yang pada akhirnya mampu mengobati orang. Hal seperti inilah yang dialami Muhammad Iqbal (41), yang mampu mengobati dan memiliki banyak pasien. “Saya pernah sakit kira-kira tiga tahun lebih dan parahnya selama tiga bulan lebih. Selama tiga bulan itu saya tidak pernah keluar rumah karena ada perasaan takut. Ketika pertama kali saya diobati oleh orang kenalan mama, dia mengatakan yang saya alami itu “anu” baik ji yang mau masuk. Dalam pengobatannya, dia membacakan saya beberapa ayat suci Alquran dan meniup jari-jari saya, dan secara tiba-tiba tanpa sadar, saya mengaji dan saya merasa berada di suatu tempat yang luas tetapi semuanya bercahaya seperti matahari. Ketika saya sadar, saya tanya sama orang yang mengobati apa itu, dia bilang sekali lagi “anu” baik ji yang mau masuk. Saya heran juga, ternyata ketika diobati itu saya sempat menangis tetapi saya sendiri tidak sadar kalau menangis (waktu sementara diobati).” (Wawancara Iqbal, 25 Desember 2012). Iqbal sebenarnya tidak mengalami penyakit 67 WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 61—72 kedokteran (stres), seperti yang selama ini ditakutkan oleh orang tua Iqbal. Iqbal saat itu mengalami “penyakit spiritual” atau menjalani “perjalanan spiritual”. Selama tidak sadarkan diri, Iqbal lagi “diperjalankan” oleh Allah di suatu tempat. Perilaku menangis dianggap sebagai representasi dari perbuatan buruk yang selama ini dia lakukan, sekaligus penyesalan atas dosa-dosa yang selama ini dia perbuat. Jadi, ada semacam pembersihan jiwa dan pikiran. Setelah peristiwa spiritual itu, Iqbal yang tadinya tidak tahu tentang pengetahuan pengobatan, akhirnya menjadi tahu. Pengetahuan pengobatan itu datang dengan sendirinya dan bukan dari proses belajar. Pada saat mengobati seseorang, dia merasakan seperti ada suara gaib di hatinya. Suara gaib yang tidak diketahui dari mana asalnya itulah yang kemudian menuntunnya untuk mengobati orang. Sakit yang dialami Iqbal ini baru berakhir pada pertengahan 2004. Keahlian mengobati orang secara tiba-tiba dan tanpa pernah berguru, dianggapnya sebagai hidayah, atau menurut bahasa agama (Islam) Ilmu Ladunni (petunjuk langsung Tuhan). Dalam keluarganya, hanya Iqbal sendiri yang punya keahlian mengobati. Dalam mengobati, dia sama sekali tidak belajar dari orang, melainkan mendapatkan petunjuk lewat “suara-suara” yang dia dengar di dalam hatinya, dan “suarasuara” itulah yang kemudian dia ikuti. Ketika mengobati, Iqbal menggunakan air putih, doa-doa yang bersumber dari ayat-ayat Alquran, ramuan tumbuh-tumbuhan, mengurut titik-titik syaraf atau urat-urat pada tubuh pasien, serta mengajak pasien berdiskusi. Pengobatan Sanro; Pengobatan Tanpa Operasi Keberadaan sanro di Kota Makassar menjadi fenomena tersendiri yang dianggap unik. Sebagai kota metropolitan, Makassar telah mampu menyediakan fasilitas kedokteran modern. Bahkan, kehadiran sejumlah rumah sakit dan dokter-dokter praktik, ternyata tidak menyurutkan animo sebagian orang Makassar untuk berobat ke dukun. Malah, ada yang menjadikan dukun sebagai “dokter” keluarga, lantaran sanro bersangkutan dianggap selalu dapat mengobati penyakitnya. 68 Kepercayaan sebagian orang Makassar terhadap pengobatan sanro disebabkan karena tidak menggunakan peralatan kedokteran. Bahkan, terkadang, penyakit medis yang tidak bisa disembuhkan oleh dokter, justru dapat disembuhkan oleh sanro. Hanya dengan menggunakan media seperti doa-doa, air putih, ramuan tradisional, dan kekuatan supranatural, penyakit yang diderita dapat disembuhkan. Baik penyakit medis maupun non medis. Penyakit yang digolongkan medis, antara lain, kanker, tumor, hernia, poso, dan stroke. Sedangkan penyakit yang digolongkon non medis, antara lain, paddaukang dan kapinawangngang. Inti pengobatan dukun sebenarnya adalah doa-doa yang ditiupkan dukun ke air mineral, ke ramuan tumbuh-tumbuhan, dan tubuh pasien. Kekuatan supranatural adalah melakukan aktivitas ritual berupa Shalat Sunnat Hajat, Shalat Sunnat Tahajud, atau shalat sunnat lainnya, yang bertujuan untuk memohon petunjuk dari Allah SWT mengenai penyakit dan obat untuk pasien. Untuk mengetahui pengobatan sanro, di bawah ini dipaparkan beberapa penyakit medis dan non medis yang berhasil disembuhkan. Poso (asma) Sebelum mengobati penyakit ini, Iqbal selalu PHPSHUKDWLNDQNRQGLVL¿VLNPDXSXQSVLNLVSDVLHQ secara keseluruhan. Hal ini untuk memastikan pengobatan seperti apa yang sesuai dengan diri pasien. Mekanisme pengobatannya adalah dengan menekan-nekan titik-titik syaraf pasien. Iqbal mengaku, pada saat dia menekannekan titik-titik syaraf pasien, jari-jari tangannya itu ada yang menuntun dan bergerak sendiri. Gerakangerakan tangannya itu bukan atas keinginannya. Termasuk apakah dia harus menekan titik-titik syaraf secara pelan-pelan ataukah lebih keras. Dia hanya mengikuti ke mana jari-jarinya bergerak. Tekanan-tekanan pada jari-jarinya juga disesuaikan GHQJDQ NRQGLVL ¿VLN SDVLHQ .DODX ¿VLN SDVLHQ dianggap lemah, tekanan yang dilakukan pada jari-jarinya relatif pelan. Sebelum menyentuh urat-urat di bagian tengkuk pasien, mulut Iqbal terlihat berkomatkamit. Saat saya tanya apa yang dia baca, dia mengatakan sebelum mengobati pasien, Iqbal mengaku tak pernah lupa meminta pertolongan Sanro Makassar: Mekanisme ... Muhammad Irfan Syuhudi dan perlindungan Allah swt., dengan mengucapkan Ta’awudz (Audzu billahi minas syaithanir rajiim) satu kali, yang dimaksudkan untuk melindungi diri dari kejahatan dan godaan setan, yang dilanjutkan dengan membaca Basmalah (Bismillahirrahmanirrahiim) satu kali. Setelah itu, dia mengucapkan Istighfar $VWDJK¿UXOODK al’adzim) sebanyak tiga kali, yang bermakna untuk menghapus kesombongan di dalam dirinya. Hal ini juga bermaksud, bahwa dia tidak memiliki kelebihan dari orang lain, dan apa yang dia lakukan itu semata-mata hanya karena pertolongan Allah. Setelah itu, Iqbal membaca Surat AlFatihah satu kali dan dilanjutkan membaca Shalawat Nabi saw. (Allahumma shalli ’ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad) satu kali. Semua yang dia baca ini dilakukan dengan penuh penghayatan dan dengan suara pelan. Sehingga, meskipun mulutnya terlihat komat-kamit, namun apa yang dia ucapkan itu sama sekali tidak terdengar oleh pasien. Seusai membaca doa-doa itu, Iqbal kemudian menekan-nekan titik-titik V\DUDISDVLHQQ\D\DQJGLVHVXDLNDQNRQGLVL¿VLN dan psikis pasien. Hernia (usus turun) Pengobatan terhadap usus turun adalah mengurut urat pada paha bagian dalam dan urat di dekat buah zakar. Pada saat mengurut, mulut Iqbal terlihat berkomat kamit membaca Tasbih, Tahmid, dan Tahlil (Subhanallah walhamdu lillah wala ilaha illallah wallahu akbar wala haula wala quwwata illa billah), sebanyak satu kali. Iqbal cenderung menggunakan air putih ketimbang minyak. Air putih dianggap mudah “beradaptasi” dengan peredaran darah. Setelah mengurut, ia kemudian meminumkan pasien air putih yang telah dibaca-bacai dan didoakan. Doa yang dibacakan Iqbal adalah: “Ya Allah, dengan Surat Al-Fatihah ini, berkahilah air putih ini sebagai obat untuk mengobati dan menyembuhkan penyakit yang diderita pasien ini (sebut nama pasien). Amin.” Kapinawangngang Disebabkan oleh gangguan makhluk halus berupa jin dan setan, dan dialami oleh anak kecil (berumur lima tahun ke bawah). Ciri-ciri umum anak yang mengalami kapinawangngang adalah gelisah, sering menangis, tatapan mata terlihat kosong, dan sulit tidur nyenyak di malam hari. Berikut penuturan ibu pasien, Ummi (33 tahun): “Dari lahir sampai umur satu tahun, anak saya sering menangis tengah malam. Kata dukun, anak saya ada yang “ikut-ikuti”. Katanya, anak saya melihat setan dan setan itu terus mengganggunya sehingga membuatnya menangis. Anak saya dikasi minum air putih yang dibaca-bacai. Kedua matanya juga ditiuptiup dan diusap-usapi air putih tadi. Setelah diobati, anak saya tampak tenang dan mau lagi menetek (menyusui).” (wawancara Ummi, 22 November 2012). Kata “ikut-ikuti” seperti dikatakan ibu pasien di atas, dimaknai sebagai kapinawangngang atau adanya gangguan jin atau setan yang mengganggu ketenangan si anak. Anak kecil itu melihat perwujudan makhluk halus menyeramkan yang diduga jin atau setan di dekatnya, sehingga menyebabkan dia ketakutan dan menangis. Menurut Daeng Tommi, makhluk halus senang mengganggu atau memperlihatkan wujudnya kepada bayi, karena bayi dianggap masih suci. Mata bayi dapat melihat sesuatu yang gaib, yang tidak dapat dilihat oleh orang dewasa pada umumnya. Air putih yang dijampe-jampe dan diminumkan kepada bayi dimaksudkan untuk menenangkan jiwanya yang tergoncang atau kaget setelah melihat makhluk halus. Sedang matanya ditiup-tiup dan kemudian diusapkan air putih bertujuan untuk mengusir makhluk halus tersebut, serta menutup pandangan matanya supaya tidak melihat lagi perwujudan makhluk halus tadi. Paddaukang Paddaukang dipercayai sebagai masuk angin dan juga gejala stroke. Paddaukang diakibatkan oleh “angin jahat”, yang dipercayai sebagai gangguan makhluk halus (jin atau setan). Orang yang terkena paddaukang menyebabkan darahnya menumpuk di bagian tertentu pada tubuh, sehingga membuat peredaran darah tidak lancar. “Angin jahat” itu masuk lewat urat-urat dan tanpa diketahui oleh orang bersangkutan. Jika tidak segera diobati, angin itu akan bersarang di dalam tubuh, dan layaknya sebuah pohon, lama kelamaan tumbuh menjadi besar dan memiliki 69 WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 61—72 akar. Kalau “angin jahat” itu sudah punya akar kuat dapat menyebabkan kanker. “Paddaukang itu intinya darah bertumpuk sehingga darah tidak bisa jalan. Itu mi dokter bilang stroke. Itu jadi stroke kalau dia tidak tahu bacanya. Itu karena na kenna ki angin. Angin juga banyak macamnya dan masuk dari urat-urat. Ada namanya angin jahat. Itu arenna (namanya) anging kodi atau sanna kodina. Jadi keturunannya itu ada angin dari pintu, angin dari tempat tidur. Kalau dibiarkan terus di dalam tubuh, angin itu bisa jadi besar dan ada akarnya. Itu bisa jadi kanker. Dulu ada orang dirawat di rumah sakit karena badannya tidak bisa bergerak. Saya masuk ke dalam kamar orang itu dan memeriksanya. Ternyata orang itu kena angin jahat. Setelah saya obati, orang itu sudah baik dan badannya bisa bergerak.” (Wawancara Daeng Tommi, 27 November 2012). Apabila paddaukang dianggap belum terlalu parah, Daeng Tommi mengobati dengan menggunakan daun tobo-tobo, yang digosokgosokkan pada beberapa bagian tubuh, seperti punggung, dada, lengan, dan leher. Setelah itu, dia meminumkan pasien air putih yang telah dibacabacai. Sayangnya, Daeng Tommi merahasiakan doa-doa yang ditiupkan ke daun tobo-tobo dan di air putih. Dia merahasiakan lantaran merupakan warisan keluarganya. Strategi Mempertahankan Pasien Eksistensi dukun atau sanro di Makassar dapat bertahan hingga kini, juga disebabkan oleh adanya jaringan sosial. Jaringan sosial itulah yang membuat dukun bersangkutan menjadi populer dan terkenal, sehingga sebagian masyarakat masih menggunakan jasa pengobatannya. Jaringan sosial itu meliputi; Jaringan pasien, teman pasien, dan keluarga pasien Informasi yang diperoleh dari pasien sendiri, teman pasien, dan keluarga pasien, yang mengetahui keahlian dukun bersangkutan karena pernah diobati, atau mendengar informasi dari teman dan keluarga mereka yang penyakitnya pernah disembuhkan oleh dukun bersangkutan. Jaringan teman dukun dan keluarga dukun. Informasi yang berasal dari teman-teman 70 dukun dan keluarga dukun yang memberitahukan kepada orang lain kalau temannya atau keluarganya ada yang memiliki keahlian mengobati penyakit. Dalam hal ini, dukun tidak mempromosikan dirinya atau meminta teman-temannya dan keluarganya untuk mempromosikan dirinya. Teman-teman dan keluarga dukun sendirilah yang secara suka rela mempromosikan keahlian dukun bersangkutan tanpa sepengetahuan dukun tersebut. Selain itu, dukun juga siap dipanggil kapan saja dan bahkan tanpa mengenal waktu. Salah seorang pasien malah seringkali memanggil sanronya untuk datang ke rumahnya pada tengah malam. Untuk menjaga hubungan dengan pasien, dukun selalu mengutamakan kondisi pasien ketimbang dirinya sendiri. Meskipun kondisi tubuhnya capek dan mengantuk, mereka hampir tidak pernah menolak apabila ada orang yang meminta pertolongannya, sepanjang masih mampu menjalankan aktivitas pengobatan. Bagi dukun, meluangkan waktu buat pasien tanpa mengenal batasan waktu merupakan salah satu cara untuk melanggengkan relasi mereka. Dengaan cara seperti ini, dukun sebenarnya membangun relasi psikologis dengan para pasiennya, sehingga di antara relasi tersebut tercipta relasi simbiosis mutualistis. Membuat Pasien Nyaman Pengobatan dukun terlihat santai, sehingga membuat pasien langsung cepat akrab, meski baru pertama kali bertemu dan diobati. Dukun juga sering mengajak pasiennya berbicara di luar dari pembicaraan penyakit. Karena itu, pasien kadang tidak menyangka kalau dirinya sedang sakit dan diobati, karena dukun biasa menyelingi dengan tertawa kecil atau tersenyum. Kalau pasien bertanya tentang penyakitnya, dukun selalu menjawab,” Ndak apa-apa ji. Insya Allah lekas sembuh, ya!” Apabila penyakit pasien dianggap belum sembuh pada hari itu, dukun berjanji akan datang lagi ke rumah pasien keesokan hari atau beberapa hari kemudian untuk mengontrol kondisi pasien sampai benar-benar sembuh. Komunikasi yang dibangun dukun dengan pasien terkesan santai, informal, dan bersifat kekeluargaan. Saat mengobati pasien, yang terlihat adalah suasana kekeluargaan. Terlebih, Sanro Makassar: Mekanisme ... Muhammad Irfan Syuhudi semua keluarga pasien boleh mendampingi atau berada di dekat pasien, sehingga pasien merasa nyaman. Selain itu, pasien juga merasa senang karena dukun bersedia memenuhi panggilannya untuk diobati di rumah sendiri. Setelah mengobati pasien, dukun biasanya tidak langsung pulang, melainkan menyempatkan waktu sekitar 5 sampai 10 menit untuk berbincang-bincang dengan pasien dan keluarga pasien. Tidak memasang tarif Ada asumsi yang berkembang di kalangan dukun, bahwa apabila mereka memasang atau mematok tarif, maka khasiat ilmunya akan semakin menurun atau akan hilang dengan sendirinya. Hal seperti inilah yang mereka hindari. Selain itu, sebagian masyarakat juga percaya bahwa apabila ada seorang dukun telah mematok tarif pengobatan dengan cara apapun, maka jangan lagi mempercayai dukun bersangkutan. Umumnya, dukun tetap menerima uang ataupun hadiah-hadiah yang diberikan pasien. Namun, uang atau pemberian hadiah lainnya bukan atas permintaan dukun. Baginya, apapun yang diberikan pasien kepada mereka itu tidak mesti harus ditolak. Mereka percaya, pasien memberikan uang dan hadiah itu secara ikhlas dan tanpa beban. Kalau pemberian itu ditolak, dukun menganggap sama saja menolak rezeki Tuhan dan itu menurutnya dilarang oleh agama. Yang pasti, dukun tidak pernah meminta uang kepada pasien atau keluarga pasien. Dalam menolong orang, dukun lebih mengutamakan keikhlasan dan tanpa mengenal kata pamrih. Dari keiklhlasannya menolong itulah sehingga dukun tampak berwibawa dan disegani oleh masyarakat. Dari sinilah kemudian muncul kharisma seorang dukun. Kharisma seorang dukun akan muncul, eksis, dan tetap terpelihara ketika keikhlasannya juga tetap terpelihara. Kharisma dukun itu akan redup ketika mereka sudah berorientasi kepada materi. PENUTUP Meskipun Kota Makassar memiliki sejumlah rumah sakit (yang dikelola pemerintah dan swasta) dengan peralatan kedokteran modern, serta dokter-dokter yang membuka praktik di hampir semua jalan, namun, sebagian orang di Makassar masih mempercayai pengobatan dukun berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka. Pengalaman pasien, antara lain, penyakitnya tidak sembuh setelah sempat dirawat inap di rumah sakit selama sepekan. Realitas seperti inilah yang menyebabkan praktik perdukunan masih eksis di Kota Makassar hingga kini. Dukun memperoleh keahlian mengobati melalui pewarisan secara turun-temurun dan sakit berkepanjangan. Ilmu turunan adalah diturunkan oleh orang tua atau nenek moyangnya yang seorang dukun. Ilmu pengobatan itu didapat lewat beberapa kali mimpi bertemu orang tua atau nenek moyang yang telah meninggal. Sementara lainnya, memperoleh keahlian pengobatan setelah mengalami sakit berkepanjangan (sakit tahunan), sehingga sempat dianggap mati suri (dianggap mati tetapi hidup kembali). Setiap kali akan mengobati pasien, mereka dituntun oleh “suarasuara” di dalam hatinya, yang disebutnya “suara hati”. Dukun bertahan di Kota Makassar karena strategi dan mekanisme pengobatan yang mereka lakukan. Penyakit yang dapat disembuhkan, antara lain, poso, kapinawangngang, paddaukang, usus turun (hernia). Dukun mengobati dengan media air putih yang dijampe-jampe (diminumkan atau dioles ke bagian tubuh yang sakit), doa-doa dari ayat-ayat alquran yang ditiupkan ke tubuh pasien, mengurut urat-urat (pada titik-titik syaraf tertentu), serta ramuan tumbuh-tumbuhan. Saat pengobatan berlangsung, pasien tidak merasakan sakit pada bagian tubuh mereka yang diobati. Pada akhirnya, dukun menjadi terkenal di tengah masyarakat dan eksistensinya terus bertahan, lantaran berhasil mengobati pasien. Selain itu, kepopuleran sang dukun tercipta akibat terbentuknya jaringan sosial. Jaringan sosial ini dibentuk oleh pasien, teman pasien, dan keluarga pasien, serta teman dukun dan keluarga dukun. Jaringan sosial ini lahir dengan sendirinya dan tanpa disadari atau tanpa sepengetahuan masing-masing pelaku. Bagi dukun, jaringan ini merupakan semacam modal sosial untuk menciptakan dan memperpanjang relasi sosial terhadap orang-orang yang membutuhkan jasanya. Selain itu, tentu saja, pelayanan yang 71 WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 61—72 diberikan dukun kepada pasiennya membuat eksistensi dukun bertahan di perkotaan. Misalkan, siap dipanggil kapan saja ke rumah pasien tanpa mengenal waktu, membuat diri dan perasaan pasien nyaman selama proses pengobatan dan pasca pengobatan, serta tidak ada patokan tarif setiap kali pengobatan. DAFTAR PUSTAKA Al-Kumayi, Sulaiman. 2011. Islam Bubuhan Kumai. Perspektif Varian Awam, Nahu, dan Hakekat. Jakarta: Kementerian Agama RI. Dumatubun, A.E. 2002. “Kebudayaan, Kesehatan, Orang Papua dalam Perspektif Antropologi Kesehatan”, dalam Jurnal Antropologi Papua (Papua Journal of Sosial and Cultural Anthropology), Volume 1 Nomor 1 Agustus 2002. Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan. Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Endraswara, Suwardi. 2006a. Metode Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Foster dan Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI Press. Kalangie, Nico S. 1994. Kebudayaan dan Kesehatan; Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer Melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta: PT Kesaint Blanc Indah Corp. Kasniyah, Naniek. 2009. Fenomena Budaya Penyembuhan Penyakit Secara Tradisional: Pijat Refleksi dan Transfer Penyakit dengan Media Binatang, dalam “Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik”. Yogyakarta: Tahun 22 No. 4 hlm. 332-342. Koentjaraningrat.1984. Kebudayaan Jawa. Seri Etnografi Indonesia No. 2. Jakarta: PN Balai Pustaka. Meleong, Lexy. 2010. Metedologi Penelitian Kualitatif. (Edisi revisi, Cetakan-28). Bandung: Remaja Rosdakarya. Mc. Elroy, Ann & Patricia K. Townsend. 1985. Medical Anthropology In Ecological Perspective. America: Westview Press/ Boulder and London. 72 Pals, Daniel L. 2001. Seven Theories of Religion: dari Animisme E.B Taylor,Materialisme Karl Marx, Hingga Antropologi Budaya C. Geertz. Judul asli Seven Theories of Religion, diterjemahkan Ali Noor Zaman. (Cetakan pertama Februari 2001). Yogyakarta: Penerbit Qalam. Rahmadewi, Ida. 2009. Pengobatan Tradisional Patah Tulang Guru Singa. Skripsi. Belum terbit. Jakarta: Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia. Rahman, Nurhayati. 2006. Cinta, Laut, dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo (Episode Pelayanan Sawerigading ke Tanah Cina; Perspektif Filologi dan Semiotik). Makassar: Penerbit La Galigo Press. Reliubun, Fatima. 2006. Reiki Bentuk Pengobatan Alternatif di Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar: Antropologi Kesehatan. (Skripsi belum terbit). Makassar: Jurusan Antropologi Fisip Unhas. Said, Muhammad Basir. 1996. Dukun. Suatu Kajian Sosial Budaya tentang Fungsi Dukun Bugis Makassar di Kotamadya Ujung Pandang. (Tesis belum terbit). Jakarta: Program Pascasarjana Program Studi Antropologi Universitas Indonesia. Saputra, Heru S.P. 2007. Memuja Mantra. Sabuk Mangir dan Jaran Goyang Masyarakat Suku Using Banyuwangi. Yogyakarta: LKiS. Soejoeti, Sunanti Z. 2010. Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit dalam Konteks Sosial Budaya. Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Makalah. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Suparlan, Parsudi. 1989. Adaptasi: Perspektif Kebudayaan. Ujung Pandang: Ikatan Kekerabatan Antropologi Universitas Hasanuddin. Syuhudi, Muhammad Irfan. 2013. (WQRJUD¿'XNXQ (Studi Antropologi Tentang Pengobatan Dukun di Kota Makassar). (Tesis belum terbit). Makassar: Program Pascasarjana Antropologi Fisip Universitas Hasanuddin. =XONLÀLPengobatan Tradisional sebagai Pengobatan Alternatif harus Dilestarikan. (Makalah). Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.