sanro makassar: mekanisme pengobatan dan

advertisement
SANRO MAKASSAR: MEKANISME PENGOBATAN
DAN STRATEGI MEMPERTAHANKAN PASIEN
SANRO OF MAKASSAR: TREATMENT MECHANISM AND MAINTAINING
THE PATIENT STRATEGY
Muhammad Irfan Syuhudi
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar
Jalan A. P. Pettarani No. 72 Makassar
Pos-el: [email protected]
Handphone: 082187500080
Diterima: 5 Januari 2015; Direvisi: 13 Maret 2015; Disetujui: 27 Mei 2015
ABSTRACT
This paper aims to know the reasons of some people in Makassar believe to shamans (sanro) and to understand
the strategy in maintaining their existention. This research was conducted in Makassar City. The samples of
informan were shamans and patients (people who are taken medicine by shamans) through purposive sampling.
The data were collected through observation and interview. The data were analyzed by descriptive ethnographic
analysis. The result of research showed that shamans treated medical and nonmedical illnesses with the
traditional ways, likes praying from the Holy Quran, white water with incantation, herb of vegetation plant and
pressing nerve points on the body by using supernatural powers. To maintain the patients, the shamans applied
cultural strategy by forming social network. The social network formed from the patients, patients’ collagues,
and patients’ family or from the shamans’ collagues and shamans’ family. The traditional medicine needs to be
preserved and it is one of the local wisdom.
Keywords: shaman (sanro), treatment mechanism, cultural strategy.
ABSTRAK
Tulisan ini betujuan untuk mengetahui berbagai alasan masyarakat di Kota Makassar memercayai pengobatan
dukun (sanro) dan memahami strategi dukun dalam mempertahankan eksistensinya. Penelitian dilaksanakan
di Kota Makassar. Informan dari penelitian ini yakni dukun dan pasien (orang yang berobat ke dukun) yang
diambil secara purposif. Data dikumpul melalui observasi dan wawancara. Data dianalisis secara deskriptif
HWQRJUD¿V+DVLOSHQHOLWLDQPHQXQMXNNDQEDKZDGXNXQPHQJREDWLSHQ\DNLWPHGLVNHGRNWHUDQGDQQRQPHGLV
(akibat gangguan makhluk halus, berupa jin dan setan) dengan cara tradisional, berupa doa-doa yang bersumber
dari Alquran, air putih yang dijampi, ramuan dari tumbuh-tumbuhan dan menekan titik-titik syaraf pada bagian
tubuh dengan menggunakan kekuatan supranatural. Untuk mempertahankan pasien, dukun menerapkan beberapa
strategi budaya, yaitu terbentuknya jaringan sosial. Jaringan sosial ini dibentuk oleh pasien, teman pasien, dan
keluarga pasien, serta teman dukun dan keluarga dukun. Pengobatan tradisional perlu dilestarikan dan merupakan
salah satu kearifan lokal.
Kata kunci: dukun (sanro), mekanisme pengobatan, strategi budaya.
PENDAHULUAN
Nahariah, atau yang akrab dipanggil Daeng
Tommi (72), memegang telinga kanan
perempuan berusia empat tahun. Sambil
memegangi telinga anak tersebut secara
bergantian (kanan dan kiri), mulut Daeng Tommi
terlihat juga berkomat-kamit. Sepertinya, ia
tengah u doa (jampe-jampe) untuk mengobati
penyakit anak tersebut. Kedua matanya juga
terkadang terlihat dipejamkan, seolah ingin
menambah kekhusukan bacaannya. Lima
menit kemudian, dia berhasil “mendiagnosis”
penyakit anak perempuan itu. Berdasarkan hasil
“diagnosis” sang dukun, anak perempuan itu
menderita kapinawangngang, atau menurut dia,
ada makhluk halus atau setan yang “ikuti-ikuti”
dan mengganggu. Itulah sebabnya, mengapa
anak itu sering menangis dan terlihat gelisah
dengan alasan yang tidak jelas. Ia lalu meminta
diberikan air putih, yang dia fungsikan sebagai
obat untuk menyembuhkan penyakit pasien.
61
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 61—72
Narasi di atas adalah hasil pengamatan saya
ketika melihat seorang dukun1 mengobati sakit
yang diderita seorang anak perempuan di Makassar.
Dalam mengobati pasien, dukun cenderung
mengandalkan pengobatan tradisional seperti,
hafalan doa-doa (jampi-jampi), air putih yang telah
ditiupkan doa-doa, serta ramuan tradisional dari
tumbuh-tumbuhan dan tanam-tanaman tertentu.
Dukun sama sekali tidak menggunakan peralatan
kedokteran, seperti pisau bedah, ruang operasi, dan
jarum suntik.
Penyembuhan terhadap suatu penyakit di
dalam sebuah masyarakat dilakukan dengan caracara yang berlaku di dalam masyarakat sesuai
kepercayaan masyarakat tersebut (Rahmadewi,
2009:1). Ketika manusia menghadapi berbagai
masalah di dalam hidup, di antaranya sakit,
manusia berusaha untuk mencari obat untuk
kesembuhan penyakitnya itu. Bukan hanya
pengalaman, faktor sosial budaya, dan faktor
ekonomi yang mendorong seseorang mencari
pengobatan. Akan tetapi, organisasi sistem
pelayanan kesehatan, baik modern maupun
tradisional, sangat menentukan dan berpengaruh
terhadap perilaku mencari pengobatan.
Sejauh ini, pengobatan dukun tidak
mengenal batasan sosial. Sehingga, benar juga
apa yang diungkapkan Pritchard (dalam Pals,
2001:347), bahwa kepercayaan terhadap kekuatan
supranatural tidak mengenal batasan sosial, seperti
yang dia teliti pada Suku Azande di Sudan. Orang
berpikiran modern, termasuk dirinya sekalipun,
percaya terhadap kekuatan supranatural yang
berbau mistik atau gaib.
Mereka yang pernah berobat ke dukun
tidak hanya berasal dari kalangan menengah
bawah, melainkan juga menengah atas. Di
Kota Makassar misalnya, Pengobatan dukun
boleh dikatakan menjadi sesuatu yang integral
dan sulit terpisahkan dari kehidupan sebagian
masyarakat. Pengobatan dukun telah membudaya,
dan ada yang menjadikan sebagai sebuah tradisi
dalam lingkungan keluarga mereka. Meminjam
1
Dukun dan sanro digunakan secara bergantian,
NDUHQD VHFDUD KDU¿DK PHPLOLNL PDNQD \DQJ VDPD \DLWX
orang yang memiliki keahlian mengobati penyakit
seseorang (medis dan non medis). Sanro berasal dari
bahasa Bugis dan Makassar.
62
istilah Ward Goodenough (Kalangie, 1994:1;
Al-Kumayi, 2011:30), pengobatan dukun telah
menjadi bagian sistem kognitif masyarakat, yang
terdiri atas pengetahuan, kepercayaan, gagasan,
dan nilai yang berada dalam pikiran anggotaanggota individual masyarakat.
Dengan kata lain, pengobatan dukun telah
masuk ke dalam ranah “tatanan kenyataan
ideasional,” yang terwujud sebagai pengetahuan
dan keyakinan yang kegunaannya fungsional, yaitu
sebagai acuan bertindak atau sebagai blueprint.
Sebagai keseluruhan pengetahuan dan keyakinan,
kebudayaan berisi perangkat-perangkat modelmodel pengetahuan yang secara selektif digunakan
oleh para pelakunya untuk menginterpretasi dan
memahami lingkungan yang dihadapi.
K oe nt ja ra n i n g ra t (19 8 4 : 426 -4 27)
menegaskan, di samping dokter, kedudukan
dukun memang sangat penting dan sulit tergerus
oleh kemajuan zaman. Pada masyarakat Jawa,
misalnya, mereka belum dapat hidup tanpa dukun.
Artinya, orang yang sering berobat ke dokter
pun masih memerlukan jasa-jasa dukun untuk
menyembuhkan penyakit-penyakit tertentu, atau
untuk penyakit yang tidak berhasil disembuhkan
oleh dokter.
Kalangie (1994:9) menyatakan, bentukbentuk perawatan kesehatan tradisional masih
tetap dipergunakan pada masyarakat perkotaan.
Perawatan kesehatan tradisional yang dimaksud
adalah perawatan Prametra (dukun, kyai, pendeta,
atau orang-orang lain dengan sebutan bahasabahasa pribumi yang dapat menyembuhkan orang
dari penyakit).
Nama-nama penyakit yang muncul
sekarang ini terkesan menakutkan dan biasanya
pengobatannya harus melalui meja operasi.
Sebutlah, penyakit kanker, penyakit tumor, dan
penyakit ginjal. Sementara itu, ada cerita-cerita
yang berkembang di masyarakat di Kota Makassar,
bahwa operasi tidak selamanya mengobati
penyakit, melainkan dapat pula menyebabkan
kematian. Ada kepercayaan yang menyatakan,
tumor atau kanker apabila terkena pisau bedah
dan jarum suntik (peralatan kedokteran), maka
penyakit tersebut akan “marah” karena merasa
dirinya sengaja dilukai. Bentuk “kemarahan” itu
kemudian dia wujudkan dengan membuat dirinya
Sanro Makassar: Mekanisme ... Muhammad Irfan Syuhudi
makin membesar dan menyebar ke bagian-bagian
tubuh lain (Syuhudi, 2013:4).
Cerita-cerita seperti ini berkembang dan
kemudian menjadi sebuah kepercayaan, dan
lambat-laun menjadi semacam mitos, yang pada
akhirnya dipercayai oleh sebagian masyarakat.
Terkait mitos, Daeng, seperti diutarakan AlKumayi (2011:233), menyatakan, masyarakat
lokal sering kali tidak mempersoalkan apakah
mitos itu benar-benar ada atau tidak. Mitos bagi
mereka berarti suatu cerita yang benar, dan cerita
ini menjadi milik mereka yang paling berharga.
Hal ini kemudian diperkuat lagi dengan adanya
dukun yang mampu mengobati penyakit yang
dianggap menakutkan itu (misalnya kanker,
tumor, ginjal) tanpa melalui operasi, sehingga
membuat posisi dukun dan pengobatannya
semakin dipercaya oleh sebagian masyarakat.
Yang menarik, tentunya, kepercayaan
sebagian orang Makassar terhadap pengobatan
dukun. Padahal, selain jumlah dokter terus
bertambah, di Makassar juga telah menyediakan
beragam fasilitas peralatan kedokteran modern.
Di samping itu, pemerintah pun telah memberikan
kemudahan berupa pelayanan kesehatan dengan
pelbagai program kesehatan kepada semua lapisan
masyarakat (misalnya asuransi kesehatan dan
BPJS).
Tulisan ini akan menjawab dua pertanyaan,
yaitu mengapa sebagian orang di Makassar masih
berobat ke dukun, padahal dokter dan peralatan
kedokteran modern telah hadir di kota ini, serta
strategi dukun untuk bisa survive di perkotaan.
Selanjutnya, tulisan ini bertujuan untuk
mendeskripsikan alasan sebagian orang di
Makassar masih menggunakan jasa pengobatan
dukun, serta mendeskripsikan strategi budaya
dukun mempertahankan eksistensinya di
perkotaan. Tulisan ini fokus kepada dukun
yang tidak menggunakan jasa media cetak
dan elektronika untuk menarik para pasien
(misalkan memasang iklan di koran, radio, dan
WHOHYLVLPHQ\HEDUNDQSDPÀHWGDQVHEDJDLQ\D
Sebaliknya, tulisan ini fokus kepada dukun
yang memiliki banyak pasien akibat penyebaran
informasi dari mulut ke mulut.
Sementara itu, telah banyak yang meneliti
masalah perdukunan dan pengobatan tradisional
di Indonesia. Mereka itu, antara lain, Basir
Said (1996), Heru S.P. Saputra (2007), Fatima
Reliubun (2006), dan Naniek Kasniyah (2009).
Penelitian Basir Said, menjelaskan fungsi
dukun Bugis Makassar di Kotamadya Ujung
Pandang (sekarang Kota Makassar). Secara
umum, hasil penelitian dosen Antropologi
Universitas Hasanuddin, ini membagi dukun
atas dua kategori yaitu, dukun penyembuh (sanro
pabballe) dan dukun berbahaya (sanro sehere
atau sanro tujua). Dukun penyembuh adalah
dukun yang tugasnya menyembuhkan orang
sakit. Sedangkan dukun berbahaya adalah dukun
yang dapat mencelakakan seseorang (hingga
meninggal) atas permintaan orang lain. Dalam
menjalankan praktiknya, kedua kategori dukun
ini menggunakan kekuatan supranatural dan dapat
memerintah makhluk halus (jin).
Heru S. P Saputra, menyebutkan, mantra
merupakan salah satu ragam puisi lisan yang
sakral, yang berpotensi mengandung kekuatan
gaib, khususnya menyangkut jenis maginya.
Dalam kaitan ini, pelaku mantra adalah dukun.
Heru S. P Saputra membedakan beberapa jenis
magi pada masyarakat Using, yaitu magi putih
(untuk penyembuhan), magi hitam (sihir), serta
magi merah dan kuning (santet/pengasihan).
Kemudian, Fatima, menyatakan, Reiki
merupakan penyembuhan alami yang berpusat
pada energi kehidupan universal. Reiki tidak
hanya menyembuhkan penyakit, tetapi juga
menyembuhkan batin yang sakit, sepanjang
orang yang diobati itu yakin dan percaya terhadap
pengobatan ini.
Selanjutnya, Naniek mengemukakan,
SLMDW UHÀHNVL PHUXSDNDQ PHWRGH SHQ\HPEXKDQ
tradisional untuk mendeteksi penyakit pasien,
mendiagnosis dan kemudian menentukan
penyakit dan terapinya.
Di antara kajian yang diuraikan di atas,
kajian perdukunan sampai saat ini tampaknya
lebih terfokus kepada mekanisme pengobatan
atau cara membuat ramuan tradisional untuk
mengobati penyakit. Karena itu, sepanjang
pengetahuan saya, belum ada tulisan atau
penelitian yang mengulas mengenai perdukunan,
terutama strategi budaya dukun untuk tetap eksis
pada masyarakat perkotaan, sehingga mampu
63
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 61—72
bersaing dengan pengobatan kedokteran modern
seperti sekarang ini.
Istilah Sanro dan Dukun
Orang yang bisa mengobati penyakit secara
tradisional pada masyarakat Bugis dan Makassar
biasa dipanggil sanro, yang juga berarti dukun
(Rahman, 2006:48 dan Said, 1996:2). Menurut
Rahman (2006:48), tugas sanro ada beberapa
jenis, tergantung dari keahlian yang dimiliki.
Misalnya sanro bola atau sanro balla, yang ahli
di bidang perumahan. Sebelum memilih rumah,
orang biasanya terlebih dulu berkonsultasi dengan
sanro bola atau sanro balla, mulai pemilihan
lokasi, arah rumah, hingga upacara selamatan
rumah, yang semuanya diatur dan dipimpin oleh
sanro bola atau sanro balla. Ada juga sanro anak,
yang memiliki keahlian mengobati penyakit yang
diderita anak, termasuk mengusir makhluk halus
apabila anak “kemasukan”.
Koentjaraningrat (1984:422-423), dalam
VHEXDKNDU\DHWQRJUD¿Q\D³.HEXGD\DDQ-DZD´
mendefinisikan dukun sebagai orang yang
menjalankan praktik penyembuhan tradisional,
ilmu gaib, dan ilmu sihir. Di Jawa, sebutan
dukun tidak hanya ditujukan kepada orang yang
melakukan aktivitas ilmu gaib, melainkan juga
kepada orang yang memiliki keahlian tertentu.
Misalnya orang yang ahli membantu perempuan
yang akan melahirkan (dukun bayi), dukun chalak
(ahli sunat), dukun paes (ahli merias pengantin),
dan sebagainya.
Untuk menjadi seorang dukun,
Koentjaraningrat (1984:422-423) mengemukakan,
tidak ada sekolah-sekolah formal atau sekolah
khusus perdukunan. Biasanya, para calon dukun
itu mula-mula bekerja sebagai pembantu dari
seorang dukun, yang tak lain adalah orang tua
mereka sendiri. Ada kesan, keahlian menjadi
dukun itu disebabkan dan atau diwariskan kepada
keturunannya. Namun, tidak semua keturunan
bisa mewarisi ilmu dukun dari orang tuanya.
Terlebih, jika yang bersangkutan (keturunannya
itu) dianggap tidak memiliki bakat menjadi
seorang dukun.
Pelayanan dan Perawatan Kesehatan
Sistem pelayanan dan perawatan kesehatan dalam setiap masyarakat menurut
64
Kalangie (1994:16), ada tiga (3), yaitu: sistem
keprofesionalan, sistem tradisional atau
keprametraan (praktisi medis tradisional), dan
sistem kerumahtanggaan.
a. Sistem keprofesionalan;
Adalah pelayanan dan perawatan kesehatan
melalui pranata-pranata medis modern (bio medis)
yang ditangani oleh para profesional (dokter dan
paramedik) yang berkeahlian berbagai jenis.
b. Sistem tradisional atau keprametraan;
Adalah sistem pelayanan dan perawatan
keprametraan yang diberikan oleh praktisipraktisi medis tradisional dengan berpegang
pada kepercayaan, pengetahuan, serta praktik
pencegahan dari penyakit serta pengobatan
yang diperoleh dalam proses pewarisan tradisi
dari generasi ke generasi dalam bentuk-bentuk
personalistik atau naturalistik, atau keduakeduanya.
c. Sistem kerumahtanggaan;
Adalah pranata perawatan rumah tangga
menunjukkan karakteristik yang universal, tidak
ada satu rumah tangga yang tidak memilikinya
sekalipun sederhana. Pranata rumah tangga
merupakan perawatan yang mendahului perawatan
biomedis maupun perawatan keprametraan,
bahkan terus dipakai sementara menjalankan
perawatan biomedis dan keprametraan. Dalam
pranata rumah tangga terjadi penggunaan obatobat yang harus melalui resep tetapi yang dapat
dibeli tanpa resep di toko-toko obat.
Senada di atas, Kleinman (dalam Kalangie,
1994:16), juga mengemukakan tiga (3) sistem
perawatan kesehatan, yaitu 1) sektor-sektor
profesional (kedokteran), 2) folk (kedukunan), dan
3) umum atau rumah tangga (popular). Kleinman
menjelaskan, sektor profesional sama dengan
sistem keprofesionalan, sektor folk kurang lebih
sama dengan sistem keprametraan, sedang sistem
umum atau popular kurang lebih sama dengan
sistem rumah tangga.
Secara umum, Kalangie (dalam Rahmadewi,
2009:1), membagi sistem medis ke dalam dua
golongan besar, yaitu sistem medis ilmiah
yang merupakan hasil perkembangan ilmu
pengetahuan (terutama dalam dunia barat)
dan sistem medis tradisional yang berasal dari
Sanro Makassar: Mekanisme ... Muhammad Irfan Syuhudi
aneka warna kebudayaan manusia. Pengobatan
dengan sistem medis ilmiah atau kedokteran
diperoleh melalui jenjang pendidikan formal dan
jalur-jalur profesional, sementara pengobatan
tradisional tidak melalui pendidikan formal dan
sering dikaitkan dengan pengobatan dukun,
yang dalam mengobati penyakit seseorang kerap
kali menggunakan tenaga gaib atau kekuatan
supranatural.
Sehat dan Sakit
Foster dan Anderson (1986, 61dan 73)
memandang manusia memiliki sistem medis
yang menerangkan sebab terjadinya penyakit,
pencegahan, dan penyembuhan penyakit. Ini semua
disesuaikan dengan konsep masyarakat terhadap
penyembuh yang menangani penyakitnya.
Pada dasarnya, manusia selalu berusaha untuk
menyembuhkan penyakit yang diderita. Bahkan,
proses penyembuhan terhadap penyakit atau
gejala-gejala penyakit ini telah dikenal manusia
sejak zaman dulu. Yang membedakan hanyalah
pada metode penyembuhan.
Istilah sehat mengandung banyak muatan
kultural, sosial, dan profesional (Soejoeti,
/HVOLH :KLWH VHSHUWL GLWXOLV =XONLÀL
(2010:1), mengatakan, kondisi sehat dinyatakan
dengan tidak adanya keluhan apapun pada
seseorang ketika dirinya diperiksa, atau tidak
terdapat tanda-tanda suatu penyakit dan kelainan
pada diri orang tersebut.
Sakit dapat diinterpretasikan secara berbeda
berdasarkan pengetahuan secara ilmiah dan dapat
dilihat berdasarkan pengetahuan secara budaya dari
masing-masing penyandang kebudayaannya. Hal
ini berarti dapat dilihat berdasarkan pemahaman
secara “etik” dan “emik”. Secara konseptual dapat
disajikan bagaimana sakit dilihat secara “etik”,
seperti dikutip dalam (Dumatubun, 2002:27),
sebagai berikut:
“Secara ilmiah penyakit (disease) diartikan
VHEDJDLJDQJJXDQIXQJVL¿VLRORJLVGDULVXDWX
organisme sebagai akibat terjadi infeksi atau
tekanan dari lingkungan, jadi penyakit itu
bersifat obyektif. Sebaliknya sakit (illness)
adalah penilaian individu terhadap pengalaman
menderita suatu penyakit. Fenomena subyektif
ini ditandai dengan perasaan tidak enak. Di
negara maju kebanyakan orang mengidap hypo-
chondriacal, ini disebabkan karena kesadaran
kesehatan sangat tinggi dan takut terkena
penyakit sehingga jika dirasakan sedikit saja
kelainan pada tubuhnya, maka akan langsung
NHGRNWHUSDGDKDOWLGDNWHUGDSDWJDQJJXDQ¿VLN
yang nyata. Keluhan psikosomatis seperti ini
lebih banyak ditemukan di negara maju daripada
kalangan masyarakat tradisional. Umumnya
masyarakat tradisional memandang seseorang
sebagai sakit, jika orang itu kehilangan nafsu
makannya atau gairah kerjanya, tidak dapat
lagi menjalankan tugasnya sehari-hari secara
optimal atau kehilangan kekuatannya sehingga
harus tinggal di tempat tidur.”
Sementara secara “emik”, sakit dapat dilihat
berdasarkan pemahaman konsep kebudayaan
masyarakat penyandang kebudayaannya
atau menurut pandangan masyarakat awam,
sebagaimana dikemukakan di bawah ini:
“Foster dan Anderson menemukan konsep
penyakit (disease) pada masyarakat tradisional
yang mereka telusuri di kepustakaankepustakaan mengenai etnomedisin, bahwa
konsep penyakit masyarakat non barat, dibagi
atas dua kategori umum yaitu:
Personalistik; munculnya penyakit (illness)
disebabkan oleh intervensi dari suatu agen yang
aktif, yang dapat berupa makhluk supranatural
(makhluk gaib atau dewa), mahluk yang bukan
manusia (hantu, roh leluhur, atau roh jahat)
maupun mahluk manusia (tukang sihir, tukang
tenung).
Naturalistik; penyakit (illness) dijelaskan
dengan istilah-istilah yang sistematik dan
bukan pribadi. Naturalistik mengakui adanya
suatu model keseimbangan, sehat terjadi
karena unsur-unsur yang tetap dalam tubuh
seperti panas, dingin, cairan tubuh berada
dalam keadaan seimbang menurut usia dan
kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan
lingkungan sosialnya, apabila keseimbangan
terganggu, maka hasilnya adalah penyakit.
Dukun Perkotaan; Sebuah Strategi Adaptif
Pertanyaannya adalah, mengapa jasa
pelayanan dukun tetap digunakan oleh sebagian
masyarakat perkotaan di Makassar sampai
saat ini? Tentunya, ini disebabkan oleh adanya
kesamaan kepercayaan dan pengetahuan individuindividu serta masyarakat terkait pengobatan
dukun, sehingga mereka tetap ingin mengobati
65
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 61—72
penyakitnya ke dukun.
Menurut Said (1996:16), dukun dengan
pengetahuan kebudayaan yang dimiliki mampu
beradaptasi dengan lingkungan perkotaan,
terutama bagi orang-orang yang memiliki
kesamaan pengetahuan kebudayaan dengan
dukun. Dengan model-model pengetahuan
kebudayaan tersebut, dapat dilihat dan dipahami
sebagai model strategi adaptasi.
Adaptasi, sebagaimana dikemukakan
Suparlan (1989:33), adalah suatu proses untuk
mengatasi berbagai masalah yang ada dalam
OLQJNXQJDQDODPDWDX¿VLNMDVPDQLDKGDQVRVLDO
untuk dapat memenuhi syarat-syarat dasar guna
kelangsungan hidup.
Sementara Mc. Elroy dan Patricia (1985:12),
menyatakan, adaptasi adalah perubahanperubahan dan modifikasi-modifikasi yang
memungkinkan seseorang atau kelompok untuk
bertahan (survive) di dalam suatu lingkungan.
Seperti beberapa binatang lainnya, manusia
beradaptasi melalui variasi mekanisme biologis
dan strategi-strategi tingkah laku. Hanya saja,
manusia bergantung kepada pola-pola adaptasi
budaya melebihi spesies lainnya.
Dalam menghadapi lingkungannya, manusia
banyak menggunakan mekanisme adaptasi
kebudayaan. Hal ini menunjukkan, dukun juga
melakukan strategi budaya agar tenaganya tetap
digunakan di perkotaan, yakni dengan mekanisme
pengobatan dan menciptakan jaringan.
METODE
Pendekatan yang digunakan adalah
kualitatif, yang menurut Bogdan dan Taylor dalam
(Endraswara, 2006:85-86), merupakan prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati. Sebagaimana
lazimnya penelitian kualitatif, peneliti dalam hal
ini sekaligus merupakan instrumen penelitian.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara
dan observasi (Moleong, 2010:174-202 dan
Endaswara, 2006a:213-214).
Observasi dilakukan dengan melihat
aktivitas dukun yang sedang mengobati pasien,
media pengobatan yang digunakan, ritual sebelum
66
dan pasca pengobatan, serta perilaku pasien
(sebelum dan pasca pengobatan). Pelayanan
dukun terhadap pasiennya juga tak luput dari
sasaran pengamatan.
Wawancara dilakukan dengan dukun,
keluarga dukun, pasien, dan keluarga pasien.
Wawancara difokuskan juga kepada pengalaman
pasien yang pernah berobat kepada dukun di masa
lalu dan sekarang, dan berhasil sembuh.
Penentuan informan dilakukan dengan
purposif, yang terdiri atas dukun, keluarga dukun,
pasien (yang berkali-kali dan masih) berobat ke
dukun, serta keluarga pasien. Adapun dukun
yang dijadikan informan berjumlah dua orang,
yakni Daeng Tommi dan Muhammad Iqbal.
Alasannya, kedua informan ini dapat mengobati
penyakit yang dikategorikan penyakit kedokteran
(antara lain, hernia, poso) maupun penyakit akibat
gangguan makhluk halus (jin dan setan).
Analisis data dilakukan dengan menelaah
seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber,
yaitu hasil wawancara, catatan lapangan,
dokumen-dokumen, dan lain-lain. Setelah itu
mereduksi data, memaparkan data dan simpulan
PHODOXL SHOXNLVDQ GDQ YHUL¿NDVL (QGUDVZDUD
2006:176).
PEMBAHASAN
Proses Seseorang Mampu Mengobati Turun
Temurun
Mereka mendapatkan kemampuan
mengobati karena diwariskan oleh orang tua
atau nenek moyangnya, yang sebelumnya adalah
seorang dukun. Anak yang mewarisi keahlian
orang tuanya (yang dulunya bisa mengobati),
dianggap sebagai “anak pilihan”, yang dimaknai,
bahwa tidak semua anak mewarisi keahlian
pengobatan dari orang tua dan nenek moyangnya.
Artinya, meskipun ada sebuah keluarga yang
mempunyai 10 anak, namun tidak semua anak
itu akan mengikuti jejak orang tuanya sebagai
dukun. Hanya ada satu anak yang terpilih. Dalam
penentuan “anak pilihan” ini, tidak berlaku yang
namanya penunjukan langsung dari orang tua atau
nenek moyang. Pengetahuan tentang pengobatan
itu datang dengan sendirinya dan biasanya tanpa
sepengetahuan anak bersangkutan.
Sanro Makassar: Mekanisme ... Muhammad Irfan Syuhudi
Daeng Tommi, misalnya, baru mengganggap
dirinya mampu mengobati orang ketika mamanya
meninggal. Mamanya dulu seorang dukun dan
punya banyak pasien di Kota Makassar dan
beberapa daerah di Sulawesi Selatan. Selama
mamanya hidup, Daeng Tommi tidak pernah
belajar dan diajar mengenai pengobatan. Berikut
penuturannya:
“Saya bisa begini (mengobati orang) dari
keturunan. Mamakku dulu juga pintar
mengobati. Tapi, mamakku waktu masih
hidup tidak pernah ajari saya obati orang.
Saya tahu sendiri lewat beberapa kali mimpi.
Kalau misalnya ada orang sakit kepala, ada
suara-suara di hatiku yang bilang ini obatnya.
Orang kena ilmu, ini obatnya. Waktu awalawal obati orang, saya biasa mimpi ketemu
mamakku. Dia biasa kasih tahu nama obat dan
nama penyakit orang yang sedang saya obati.
Kalau sekarang, saya lebih sering merasakan
ada suara-suara di hatiku kalau ada orang yang
saya mau obati atau orang yang saya obati itu
sudah ada tanda-tanda dalam waktu dekat mau
meninggal.” (Wawancara Daeng Tommi, 15
Desember 2012).
Daeng Tommi merupakan anak kedua dari
tiga bersaudara. Dua saudaranya, yaitu kakak
laki-laki dan adik perempuannya, tidak dapat
mengobati orang seperti halnya dirinya. Dilihat
dari silsilah keluarga, Daeng Tommi memang
berasal dari keluarga dukun. Mamanya mendapat
pengetahuan pengobatan dari bapaknya (kakek
Daeng Tommi). Caranya pun persis sama seperti
yang dialami Daeng Tommi, yakni diawali
melalui beberapa kali mimpi dan tanpa melalui
proses belajar dengan siapa pun atau diajar
oleh keluarganya. Mama Daeng Tommi dapat
mengobati setelah bapaknya (kakek Daeng
Tommi) meninggal.
Pengetahuan pengobatan yang diperoleh
melalui warisan tidak dapat dipindahkan atau
ditularkan kepada orang lain, termasuk keluarga
sendiri. Pengetahuan tersebut baru dapat berpindah
setelah orang itu meninggal. Daeng Tommi tidak
dapat mewariskan seluruh “ilmunya” kepada
anak, keluarga, atau orang lain. Kalau pun dia
mengajarkan kepada orang lain, itu bukan berarti
dia mewariskan “ilmunya”, melainkan hanya
mengajarkan. Perbedaan mengajar dengan
mewariskan adalah, kalau mengajar, dia setiap
saat dapat mengajarkan hal-hal yang diketahuinya
kepada orang lain. Dan, orang yang diajarkan
tersebut dapat pula langsung mempraktikkannya
kepada orang lain (misalnya mengobati orang lain).
Pengetahuan yang diperoleh lewat
pengajaran biasanya kurang mujarab, meski
media dan bacaan-bacaan yang digunakan sama.
Sementara, mewariskan ilmu adalah seluruh
pengetahuan perdukunan yang dimiliki oleh dukun
bersangkutan ditularkan langsung kepada anak,
keluarga, atau orang lain, tanpa melalui proses
pengajaran. Artinya, mereka yang mendapatkan
“warisan ilmu” itu, mengetahui ilmu perdukunan
tersebut secara tiba-tiba (biasanya melalui proses
relatif panjang), dan selanjutnya, dukun tinggal
mengarahkan atau menuntun saja ketika orang
yang menerima warisan itu akan mengobati pasien.
Sakit Berkepanjangan
Mereka yang mengalami sakit
berkepanjangan dan sempat mengalami mati
suri (dianggap mati betulan dan hidup kembali).
Ketika sakit, seseorang mengalami berbagai
macam peristiwa gaib, yang pada akhirnya
mampu mengobati orang. Hal seperti inilah yang
dialami Muhammad Iqbal (41), yang mampu
mengobati dan memiliki banyak pasien.
“Saya pernah sakit kira-kira tiga tahun lebih
dan parahnya selama tiga bulan lebih. Selama
tiga bulan itu saya tidak pernah keluar rumah
karena ada perasaan takut. Ketika pertama kali
saya diobati oleh orang kenalan mama, dia
mengatakan yang saya alami itu “anu” baik
ji yang mau masuk. Dalam pengobatannya,
dia membacakan saya beberapa ayat suci
Alquran dan meniup jari-jari saya, dan secara
tiba-tiba tanpa sadar, saya mengaji dan saya
merasa berada di suatu tempat yang luas
tetapi semuanya bercahaya seperti matahari.
Ketika saya sadar, saya tanya sama orang yang
mengobati apa itu, dia bilang sekali lagi “anu”
baik ji yang mau masuk. Saya heran juga,
ternyata ketika diobati itu saya sempat menangis
tetapi saya sendiri tidak sadar kalau menangis
(waktu sementara diobati).” (Wawancara Iqbal,
25 Desember 2012).
Iqbal sebenarnya tidak mengalami penyakit
67
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 61—72
kedokteran (stres), seperti yang selama ini
ditakutkan oleh orang tua Iqbal. Iqbal saat itu
mengalami “penyakit spiritual” atau menjalani
“perjalanan spiritual”. Selama tidak sadarkan
diri, Iqbal lagi “diperjalankan” oleh Allah di suatu
tempat. Perilaku menangis dianggap sebagai
representasi dari perbuatan buruk yang selama ini
dia lakukan, sekaligus penyesalan atas dosa-dosa
yang selama ini dia perbuat. Jadi, ada semacam
pembersihan jiwa dan pikiran.
Setelah peristiwa spiritual itu, Iqbal
yang tadinya tidak tahu tentang pengetahuan
pengobatan, akhirnya menjadi tahu. Pengetahuan
pengobatan itu datang dengan sendirinya dan
bukan dari proses belajar. Pada saat mengobati
seseorang, dia merasakan seperti ada suara gaib
di hatinya. Suara gaib yang tidak diketahui dari
mana asalnya itulah yang kemudian menuntunnya
untuk mengobati orang. Sakit yang dialami Iqbal
ini baru berakhir pada pertengahan 2004.
Keahlian mengobati orang secara tiba-tiba
dan tanpa pernah berguru, dianggapnya sebagai
hidayah, atau menurut bahasa agama (Islam)
Ilmu Ladunni (petunjuk langsung Tuhan). Dalam
keluarganya, hanya Iqbal sendiri yang punya
keahlian mengobati. Dalam mengobati, dia
sama sekali tidak belajar dari orang, melainkan
mendapatkan petunjuk lewat “suara-suara”
yang dia dengar di dalam hatinya, dan “suarasuara” itulah yang kemudian dia ikuti. Ketika
mengobati, Iqbal menggunakan air putih, doa-doa
yang bersumber dari ayat-ayat Alquran, ramuan
tumbuh-tumbuhan, mengurut titik-titik syaraf
atau urat-urat pada tubuh pasien, serta mengajak
pasien berdiskusi.
Pengobatan Sanro; Pengobatan Tanpa Operasi
Keberadaan sanro di Kota Makassar
menjadi fenomena tersendiri yang dianggap
unik. Sebagai kota metropolitan, Makassar
telah mampu menyediakan fasilitas kedokteran
modern. Bahkan, kehadiran sejumlah rumah
sakit dan dokter-dokter praktik, ternyata tidak
menyurutkan animo sebagian orang Makassar
untuk berobat ke dukun. Malah, ada yang
menjadikan dukun sebagai “dokter” keluarga,
lantaran sanro bersangkutan dianggap selalu dapat
mengobati penyakitnya.
68
Kepercayaan sebagian orang Makassar
terhadap pengobatan sanro disebabkan karena
tidak menggunakan peralatan kedokteran.
Bahkan, terkadang, penyakit medis yang
tidak bisa disembuhkan oleh dokter, justru
dapat disembuhkan oleh sanro. Hanya dengan
menggunakan media seperti doa-doa, air putih,
ramuan tradisional, dan kekuatan supranatural,
penyakit yang diderita dapat disembuhkan. Baik
penyakit medis maupun non medis. Penyakit yang
digolongkan medis, antara lain, kanker, tumor,
hernia, poso, dan stroke. Sedangkan penyakit yang
digolongkon non medis, antara lain, paddaukang
dan kapinawangngang. Inti pengobatan dukun
sebenarnya adalah doa-doa yang ditiupkan dukun
ke air mineral, ke ramuan tumbuh-tumbuhan,
dan tubuh pasien. Kekuatan supranatural adalah
melakukan aktivitas ritual berupa Shalat Sunnat
Hajat, Shalat Sunnat Tahajud, atau shalat sunnat
lainnya, yang bertujuan untuk memohon petunjuk
dari Allah SWT mengenai penyakit dan obat
untuk pasien.
Untuk mengetahui pengobatan sanro, di
bawah ini dipaparkan beberapa penyakit medis
dan non medis yang berhasil disembuhkan.
Poso (asma)
Sebelum mengobati penyakit ini, Iqbal selalu
PHPSHUKDWLNDQNRQGLVL¿VLNPDXSXQSVLNLVSDVLHQ
secara keseluruhan. Hal ini untuk memastikan
pengobatan seperti apa yang sesuai dengan diri
pasien. Mekanisme pengobatannya adalah dengan
menekan-nekan titik-titik syaraf pasien.
Iqbal mengaku, pada saat dia menekannekan titik-titik syaraf pasien, jari-jari tangannya itu
ada yang menuntun dan bergerak sendiri. Gerakangerakan tangannya itu bukan atas keinginannya.
Termasuk apakah dia harus menekan titik-titik
syaraf secara pelan-pelan ataukah lebih keras. Dia
hanya mengikuti ke mana jari-jarinya bergerak.
Tekanan-tekanan pada jari-jarinya juga disesuaikan
GHQJDQ NRQGLVL ¿VLN SDVLHQ .DODX ¿VLN SDVLHQ
dianggap lemah, tekanan yang dilakukan pada
jari-jarinya relatif pelan.
Sebelum menyentuh urat-urat di bagian
tengkuk pasien, mulut Iqbal terlihat berkomatkamit. Saat saya tanya apa yang dia baca, dia
mengatakan sebelum mengobati pasien, Iqbal
mengaku tak pernah lupa meminta pertolongan
Sanro Makassar: Mekanisme ... Muhammad Irfan Syuhudi
dan perlindungan Allah swt., dengan mengucapkan
Ta’awudz (Audzu billahi minas syaithanir
rajiim) satu kali, yang dimaksudkan untuk
melindungi diri dari kejahatan dan godaan setan,
yang dilanjutkan dengan membaca Basmalah
(Bismillahirrahmanirrahiim) satu kali. Setelah
itu, dia mengucapkan Istighfar $VWDJK¿UXOODK
al’adzim) sebanyak tiga kali, yang bermakna
untuk menghapus kesombongan di dalam
dirinya. Hal ini juga bermaksud, bahwa dia tidak
memiliki kelebihan dari orang lain, dan apa
yang dia lakukan itu semata-mata hanya karena
pertolongan Allah.
Setelah itu, Iqbal membaca Surat AlFatihah satu kali dan dilanjutkan membaca
Shalawat Nabi saw. (Allahumma shalli ’ala
Muhammad wa ‘ala aali Muhammad) satu kali.
Semua yang dia baca ini dilakukan dengan penuh
penghayatan dan dengan suara pelan. Sehingga,
meskipun mulutnya terlihat komat-kamit, namun
apa yang dia ucapkan itu sama sekali tidak
terdengar oleh pasien. Seusai membaca doa-doa
itu, Iqbal kemudian menekan-nekan titik-titik
V\DUDISDVLHQQ\D\DQJGLVHVXDLNDQNRQGLVL¿VLN
dan psikis pasien.
Hernia (usus turun)
Pengobatan terhadap usus turun adalah
mengurut urat pada paha bagian dalam dan urat
di dekat buah zakar. Pada saat mengurut, mulut
Iqbal terlihat berkomat kamit membaca Tasbih,
Tahmid, dan Tahlil (Subhanallah walhamdu lillah
wala ilaha illallah wallahu akbar wala haula wala
quwwata illa billah), sebanyak satu kali.
Iqbal cenderung menggunakan air putih
ketimbang minyak. Air putih dianggap mudah
“beradaptasi” dengan peredaran darah. Setelah
mengurut, ia kemudian meminumkan pasien air
putih yang telah dibaca-bacai dan didoakan. Doa
yang dibacakan Iqbal adalah:
“Ya Allah, dengan Surat Al-Fatihah ini,
berkahilah air putih ini sebagai obat untuk
mengobati dan menyembuhkan penyakit yang
diderita pasien ini (sebut nama pasien). Amin.”
Kapinawangngang
Disebabkan oleh gangguan makhluk halus
berupa jin dan setan, dan dialami oleh anak kecil
(berumur lima tahun ke bawah). Ciri-ciri umum
anak yang mengalami kapinawangngang adalah
gelisah, sering menangis, tatapan mata terlihat
kosong, dan sulit tidur nyenyak di malam hari.
Berikut penuturan ibu pasien, Ummi (33 tahun):
“Dari lahir sampai umur satu tahun, anak
saya sering menangis tengah malam. Kata
dukun, anak saya ada yang “ikut-ikuti”.
Katanya, anak saya melihat setan dan setan itu
terus mengganggunya sehingga membuatnya
menangis. Anak saya dikasi minum air putih
yang dibaca-bacai. Kedua matanya juga ditiuptiup dan diusap-usapi air putih tadi. Setelah
diobati, anak saya tampak tenang dan mau lagi
menetek (menyusui).” (wawancara Ummi, 22
November 2012).
Kata “ikut-ikuti” seperti dikatakan ibu
pasien di atas, dimaknai sebagai kapinawangngang
atau adanya gangguan jin atau setan yang
mengganggu ketenangan si anak. Anak kecil itu
melihat perwujudan makhluk halus menyeramkan
yang diduga jin atau setan di dekatnya, sehingga
menyebabkan dia ketakutan dan menangis.
Menurut Daeng Tommi, makhluk halus senang
mengganggu atau memperlihatkan wujudnya
kepada bayi, karena bayi dianggap masih suci.
Mata bayi dapat melihat sesuatu yang gaib,
yang tidak dapat dilihat oleh orang dewasa pada
umumnya. Air putih yang dijampe-jampe dan
diminumkan kepada bayi dimaksudkan untuk
menenangkan jiwanya yang tergoncang atau kaget
setelah melihat makhluk halus. Sedang matanya
ditiup-tiup dan kemudian diusapkan air putih
bertujuan untuk mengusir makhluk halus tersebut,
serta menutup pandangan matanya supaya tidak
melihat lagi perwujudan makhluk halus tadi.
Paddaukang
Paddaukang dipercayai sebagai masuk
angin dan juga gejala stroke. Paddaukang
diakibatkan oleh “angin jahat”, yang dipercayai
sebagai gangguan makhluk halus (jin atau setan).
Orang yang terkena paddaukang menyebabkan
darahnya menumpuk di bagian tertentu pada
tubuh, sehingga membuat peredaran darah tidak
lancar. “Angin jahat” itu masuk lewat urat-urat
dan tanpa diketahui oleh orang bersangkutan. Jika
tidak segera diobati, angin itu akan bersarang di
dalam tubuh, dan layaknya sebuah pohon, lama
kelamaan tumbuh menjadi besar dan memiliki
69
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 61—72
akar. Kalau “angin jahat” itu sudah punya akar
kuat dapat menyebabkan kanker.
“Paddaukang itu intinya darah bertumpuk
sehingga darah tidak bisa jalan. Itu mi dokter
bilang stroke. Itu jadi stroke kalau dia tidak
tahu bacanya. Itu karena na kenna ki angin.
Angin juga banyak macamnya dan masuk dari
urat-urat. Ada namanya angin jahat. Itu arenna
(namanya) anging kodi atau sanna kodina. Jadi
keturunannya itu ada angin dari pintu, angin
dari tempat tidur. Kalau dibiarkan terus di dalam
tubuh, angin itu bisa jadi besar dan ada akarnya.
Itu bisa jadi kanker. Dulu ada orang dirawat
di rumah sakit karena badannya tidak bisa
bergerak. Saya masuk ke dalam kamar orang
itu dan memeriksanya. Ternyata orang itu kena
angin jahat. Setelah saya obati, orang itu sudah
baik dan badannya bisa bergerak.” (Wawancara
Daeng Tommi, 27 November 2012).
Apabila paddaukang dianggap belum
terlalu parah, Daeng Tommi mengobati dengan
menggunakan daun tobo-tobo, yang digosokgosokkan pada beberapa bagian tubuh, seperti
punggung, dada, lengan, dan leher. Setelah itu, dia
meminumkan pasien air putih yang telah dibacabacai. Sayangnya, Daeng Tommi merahasiakan
doa-doa yang ditiupkan ke daun tobo-tobo dan di
air putih. Dia merahasiakan lantaran merupakan
warisan keluarganya.
Strategi Mempertahankan Pasien
Eksistensi dukun atau sanro di Makassar
dapat bertahan hingga kini, juga disebabkan oleh
adanya jaringan sosial. Jaringan sosial itulah yang
membuat dukun bersangkutan menjadi populer
dan terkenal, sehingga sebagian masyarakat masih
menggunakan jasa pengobatannya. Jaringan sosial
itu meliputi;
Jaringan pasien, teman pasien, dan keluarga
pasien
Informasi yang diperoleh dari pasien
sendiri, teman pasien, dan keluarga pasien, yang
mengetahui keahlian dukun bersangkutan karena
pernah diobati, atau mendengar informasi dari
teman dan keluarga mereka yang penyakitnya
pernah disembuhkan oleh dukun bersangkutan.
Jaringan teman dukun dan keluarga dukun.
Informasi yang berasal dari teman-teman
70
dukun dan keluarga dukun yang memberitahukan
kepada orang lain kalau temannya atau keluarganya
ada yang memiliki keahlian mengobati penyakit.
Dalam hal ini, dukun tidak mempromosikan dirinya
atau meminta teman-temannya dan keluarganya
untuk mempromosikan dirinya. Teman-teman dan
keluarga dukun sendirilah yang secara suka rela
mempromosikan keahlian dukun bersangkutan
tanpa sepengetahuan dukun tersebut.
Selain itu, dukun juga siap dipanggil kapan
saja dan bahkan tanpa mengenal waktu. Salah
seorang pasien malah seringkali memanggil
sanronya untuk datang ke rumahnya pada tengah
malam. Untuk menjaga hubungan dengan pasien,
dukun selalu mengutamakan kondisi pasien
ketimbang dirinya sendiri. Meskipun kondisi
tubuhnya capek dan mengantuk, mereka hampir
tidak pernah menolak apabila ada orang yang
meminta pertolongannya, sepanjang masih
mampu menjalankan aktivitas pengobatan.
Bagi dukun, meluangkan waktu buat pasien
tanpa mengenal batasan waktu merupakan salah
satu cara untuk melanggengkan relasi mereka.
Dengaan cara seperti ini, dukun sebenarnya
membangun relasi psikologis dengan para
pasiennya, sehingga di antara relasi tersebut
tercipta relasi simbiosis mutualistis.
Membuat Pasien Nyaman
Pengobatan dukun terlihat santai, sehingga
membuat pasien langsung cepat akrab, meski
baru pertama kali bertemu dan diobati. Dukun
juga sering mengajak pasiennya berbicara di luar
dari pembicaraan penyakit. Karena itu, pasien
kadang tidak menyangka kalau dirinya sedang
sakit dan diobati, karena dukun biasa menyelingi
dengan tertawa kecil atau tersenyum. Kalau
pasien bertanya tentang penyakitnya, dukun selalu
menjawab,” Ndak apa-apa ji. Insya Allah lekas
sembuh, ya!” Apabila penyakit pasien dianggap
belum sembuh pada hari itu, dukun berjanji akan
datang lagi ke rumah pasien keesokan hari atau
beberapa hari kemudian untuk mengontrol kondisi
pasien sampai benar-benar sembuh.
Komunikasi yang dibangun dukun dengan
pasien terkesan santai, informal, dan bersifat
kekeluargaan. Saat mengobati pasien, yang
terlihat adalah suasana kekeluargaan. Terlebih,
Sanro Makassar: Mekanisme ... Muhammad Irfan Syuhudi
semua keluarga pasien boleh mendampingi atau
berada di dekat pasien, sehingga pasien merasa
nyaman. Selain itu, pasien juga merasa senang
karena dukun bersedia memenuhi panggilannya
untuk diobati di rumah sendiri. Setelah mengobati
pasien, dukun biasanya tidak langsung pulang,
melainkan menyempatkan waktu sekitar 5 sampai
10 menit untuk berbincang-bincang dengan pasien
dan keluarga pasien.
Tidak memasang tarif
Ada asumsi yang berkembang di kalangan
dukun, bahwa apabila mereka memasang atau
mematok tarif, maka khasiat ilmunya akan
semakin menurun atau akan hilang dengan
sendirinya. Hal seperti inilah yang mereka hindari.
Selain itu, sebagian masyarakat juga percaya
bahwa apabila ada seorang dukun telah mematok
tarif pengobatan dengan cara apapun, maka jangan
lagi mempercayai dukun bersangkutan.
Umumnya, dukun tetap menerima uang
ataupun hadiah-hadiah yang diberikan pasien.
Namun, uang atau pemberian hadiah lainnya
bukan atas permintaan dukun. Baginya, apapun
yang diberikan pasien kepada mereka itu tidak
mesti harus ditolak. Mereka percaya, pasien
memberikan uang dan hadiah itu secara ikhlas dan
tanpa beban. Kalau pemberian itu ditolak, dukun
menganggap sama saja menolak rezeki Tuhan dan
itu menurutnya dilarang oleh agama. Yang pasti,
dukun tidak pernah meminta uang kepada pasien
atau keluarga pasien.
Dalam menolong orang, dukun lebih
mengutamakan keikhlasan dan tanpa mengenal
kata pamrih. Dari keiklhlasannya menolong itulah
sehingga dukun tampak berwibawa dan disegani
oleh masyarakat. Dari sinilah kemudian muncul
kharisma seorang dukun. Kharisma seorang
dukun akan muncul, eksis, dan tetap terpelihara
ketika keikhlasannya juga tetap terpelihara.
Kharisma dukun itu akan redup ketika mereka
sudah berorientasi kepada materi.
PENUTUP
Meskipun Kota Makassar memiliki
sejumlah rumah sakit (yang dikelola pemerintah
dan swasta) dengan peralatan kedokteran modern,
serta dokter-dokter yang membuka praktik di
hampir semua jalan, namun, sebagian orang di
Makassar masih mempercayai pengobatan dukun
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka.
Pengalaman pasien, antara lain, penyakitnya tidak
sembuh setelah sempat dirawat inap di rumah
sakit selama sepekan. Realitas seperti inilah yang
menyebabkan praktik perdukunan masih eksis di
Kota Makassar hingga kini.
Dukun memperoleh keahlian mengobati
melalui pewarisan secara turun-temurun dan sakit
berkepanjangan. Ilmu turunan adalah diturunkan
oleh orang tua atau nenek moyangnya yang
seorang dukun. Ilmu pengobatan itu didapat lewat
beberapa kali mimpi bertemu orang tua atau
nenek moyang yang telah meninggal. Sementara
lainnya, memperoleh keahlian pengobatan setelah
mengalami sakit berkepanjangan (sakit tahunan),
sehingga sempat dianggap mati suri (dianggap
mati tetapi hidup kembali). Setiap kali akan
mengobati pasien, mereka dituntun oleh “suarasuara” di dalam hatinya, yang disebutnya “suara
hati”.
Dukun bertahan di Kota Makassar karena
strategi dan mekanisme pengobatan yang mereka
lakukan. Penyakit yang dapat disembuhkan,
antara lain, poso, kapinawangngang, paddaukang,
usus turun (hernia). Dukun mengobati dengan
media air putih yang dijampe-jampe (diminumkan
atau dioles ke bagian tubuh yang sakit), doa-doa
dari ayat-ayat alquran yang ditiupkan ke tubuh
pasien, mengurut urat-urat (pada titik-titik syaraf
tertentu), serta ramuan tumbuh-tumbuhan. Saat
pengobatan berlangsung, pasien tidak merasakan
sakit pada bagian tubuh mereka yang diobati.
Pada akhirnya, dukun menjadi terkenal
di tengah masyarakat dan eksistensinya terus
bertahan, lantaran berhasil mengobati pasien.
Selain itu, kepopuleran sang dukun tercipta
akibat terbentuknya jaringan sosial. Jaringan
sosial ini dibentuk oleh pasien, teman pasien, dan
keluarga pasien, serta teman dukun dan keluarga
dukun. Jaringan sosial ini lahir dengan sendirinya
dan tanpa disadari atau tanpa sepengetahuan
masing-masing pelaku. Bagi dukun, jaringan
ini merupakan semacam modal sosial untuk
menciptakan dan memperpanjang relasi sosial
terhadap orang-orang yang membutuhkan
jasanya. Selain itu, tentu saja, pelayanan yang
71
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 61—72
diberikan dukun kepada pasiennya membuat
eksistensi dukun bertahan di perkotaan. Misalkan,
siap dipanggil kapan saja ke rumah pasien tanpa
mengenal waktu, membuat diri dan perasaan
pasien nyaman selama proses pengobatan dan
pasca pengobatan, serta tidak ada patokan tarif
setiap kali pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kumayi, Sulaiman. 2011. Islam Bubuhan
Kumai. Perspektif Varian Awam, Nahu, dan
Hakekat. Jakarta: Kementerian Agama RI.
Dumatubun, A.E. 2002. “Kebudayaan, Kesehatan,
Orang Papua dalam Perspektif Antropologi
Kesehatan”, dalam Jurnal Antropologi
Papua (Papua Journal of Sosial and
Cultural Anthropology), Volume 1 Nomor
1 Agustus 2002.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori,
Teknik Penelitian Kebudayaan. Ideologi,
Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta:
Pustaka Widyatama.
Endraswara, Suwardi. 2006a. Metode Penelitian
Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Foster dan Anderson. 1986. Antropologi
Kesehatan. Jakarta: UI Press.
Kalangie, Nico S. 1994. Kebudayaan dan Kesehatan;
Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer
Melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta: PT
Kesaint Blanc Indah Corp.
Kasniyah, Naniek. 2009. Fenomena Budaya
Penyembuhan Penyakit Secara Tradisional:
Pijat Refleksi dan Transfer Penyakit
dengan Media Binatang, dalam “Jurnal
Masyarakat Kebudayaan dan Politik”.
Yogyakarta: Tahun 22 No. 4 hlm. 332-342.
Koentjaraningrat.1984. Kebudayaan Jawa. Seri
Etnografi Indonesia No. 2. Jakarta: PN
Balai Pustaka.
Meleong, Lexy. 2010. Metedologi Penelitian
Kualitatif. (Edisi revisi, Cetakan-28).
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mc. Elroy, Ann & Patricia K. Townsend. 1985.
Medical Anthropology In Ecological
Perspective. America: Westview Press/
Boulder and London.
72
Pals, Daniel L. 2001. Seven Theories of Religion:
dari Animisme E.B Taylor,Materialisme
Karl Marx, Hingga Antropologi Budaya
C. Geertz. Judul asli Seven Theories
of Religion, diterjemahkan Ali Noor
Zaman. (Cetakan pertama Februari 2001).
Yogyakarta: Penerbit Qalam.
Rahmadewi, Ida. 2009. Pengobatan Tradisional
Patah Tulang Guru Singa. Skripsi. Belum
terbit. Jakarta: Departemen Antropologi
FISIP Universitas Indonesia.
Rahman, Nurhayati. 2006. Cinta, Laut, dan
Kekuasaan dalam Epos La Galigo (Episode
Pelayanan Sawerigading ke Tanah Cina;
Perspektif Filologi dan Semiotik). Makassar:
Penerbit La Galigo Press.
Reliubun, Fatima. 2006. Reiki Bentuk Pengobatan
Alternatif di Kecamatan Biringkanaya
Kota Makassar: Antropologi Kesehatan.
(Skripsi belum terbit). Makassar: Jurusan
Antropologi Fisip Unhas.
Said, Muhammad Basir. 1996. Dukun. Suatu
Kajian Sosial Budaya tentang Fungsi
Dukun Bugis Makassar di Kotamadya
Ujung Pandang. (Tesis belum terbit).
Jakarta: Program Pascasarjana Program
Studi Antropologi Universitas Indonesia.
Saputra, Heru S.P. 2007. Memuja Mantra. Sabuk
Mangir dan Jaran Goyang Masyarakat Suku
Using Banyuwangi. Yogyakarta: LKiS.
Soejoeti, Sunanti Z. 2010. Konsep Sehat, Sakit
dan Penyakit dalam Konteks Sosial Budaya.
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Makalah. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Suparlan, Parsudi. 1989. Adaptasi: Perspektif
Kebudayaan. Ujung Pandang: Ikatan
Kekerabatan Antropologi Universitas
Hasanuddin.
Syuhudi, Muhammad Irfan. 2013. (WQRJUD¿'XNXQ
(Studi Antropologi Tentang Pengobatan
Dukun di Kota Makassar). (Tesis belum
terbit). Makassar: Program Pascasarjana
Antropologi Fisip Universitas Hasanuddin.
=XONLÀLPengobatan Tradisional sebagai
Pengobatan Alternatif harus Dilestarikan.
(Makalah). Medan: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Download