8 BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep Pendidikan Islam 1. Pengertian

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Konsep Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan secara bahasa dan istilah
Pengertian pendidikan menurut bahasa
Dalam bahasa Indonesia, kata pendidikan terdiri dari didik, sebagaimana
dijelaskan Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal, cara dan
sebagainya) mendidik.1
Pengertian ini memberi kesan bahwa kata pendidikan lebih mengacu
kepada cara mendidik. Selain kata pendidikan, dalam bahasa Indonesia terdapat
pula kata pengajaran, sebagaimana dijelaskan Poerwadarminta berarti cara
mengajar atau mengajarkan, kata lain yang serumpun dengan kata tersebut adalah
mengajar yang berarti member pengetahuan.2
Pengertian Pendidikan menurut Istilah
Ditinjau dari segi istilah, pendidikan Islam adalah system pendidikan yang
dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai
1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka,1991), cet. 1, h. 323
2
Poerwardarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet.
XII, h. 250
8
9
dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai
corak kepribadiannya. Nur Uhbiyati menyatakan, Pendidikan Islam adalah
“suatau system pendidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang di
butuhkan oleh hamba Allah ”. oleh karena itu Islam mempedomani seluruh aspek
kehidupan manusia muslim baik di dunia maupun di akhirat.3
Sedangkan menurut Drs. Ahmad Marimba: pendidikan Islam adalah
bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju
kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan
pengertian yang lain sering kali beliau mengatakan kepribadian utama dengan
istilah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama
Islam.4
Adapun menurut Dr. Ali Ashraf, pendidikan Islam, kata saya dalam kata
pengantar crisis in muslim education-(krisis dalam pendidikan Islam)-adalah
pendidikan yang melatih sensibilitas murid-murid sedemikian rupa, sehingga
dalam perilaku mereka terhadap kehidupan, langkah-langkah dan keputusan
begitu pula pendekatan mereka terhadap semua ilmu pengetahuan mereka diatur
oleh nilai-nilai etika Islam yang sangat dalam dirasakan.5
2. Dasar-dasar Pendidikan Islam
Dalam menetapkan sumber pendidikan Islam dikemukakan tiga dasar
utama dalam pendidikan Islam, adalah:
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai kalam Allah SWT, yang telah diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW bagi pedoman manusia, merupakan petunjuk yang lengkap
mencakup seluruh aspek kehidupan manusia yang universal yang mana ruang
lingkupnya mencakup ilmu pengetahuan yang luas dan nilai ibadah bagi yang
membacanya yang isinya tidak dapat dimengerti kecuali dengan dipelajari
kandungan yang mulia itu.6
3
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam , (Bandung: Pustaka Setia, 1999), cet. 1, h. 12
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), cet. 2, h. 5
5
Dr. Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam(Putaka Firdaus1996), cet. 3 h.23
6
Manna Al-Qothan, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an, (Mesir: Mansyurat Al-Asyrul Hadits.
T.t), h. 21
4
10
Pengertian Al-Qur’an ini lebih lengkap dikemukakan oleh Abdul Wahab
Kholaf, menurutnya, Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan oleh
Malaikat Jibril kepada Rosulullah SAW dengan menggunakan lafadz Arab dan
makna yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi Rosul, bahwa ia benar-benar
Rosulullah SAW, menjadi undang-undang bagi manusia, sebagai petunjuk dan
sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah SWT bagi
pembacanya.7
b. As-Sunnah
Hadits merupakan cara yang diteladankan Nabi dalam dakwah Islam yang
termuat dalam tiga dimensi yaitu berisi ucapan, pernyataan, dan persetujuan Nabi
atas peristiwa yang terjadi. Semua contoh yang ditujukan Nabi merupakan acuan
yang dapat diteladani oleh manusia dalam aspek kehidupan.
Posisi hadits sebagai sumber pendidikan utama bagi pelaksanaan
pendidikan Islam, yang dijadikan referensi teoritis maupun praktis. Acuan tersebut
dapat dilihat dari dua bentuk, yaitu:
1) Sebagai acuan syari’ah: yang meliputi muatan-muatan pokok ajaran
Islam secara teoritis.
2) Sebagai acuan operasional-aplikatif: yang meliputi cara Nabi
memainkan perannya sebagai pendidik yang professional, adil dan
selalu menjunjung tinggi nilai-nilai Islam.
Proses pendidikan Islam yang ditujukan Nabi merupakan bentuk
pelaksanaan pendidikan yang bersifat fleksibel dan universal, sesuai dengan
potensi yang dimiliki manusia, kebiasaan, masyarakat, serta kondisi alam dimana
proses pendidikan tersebut berlangsung.8
c. Ijtihad
Melakukan ijtihad di bidang pendidikan Islam perlu karena media
pendidikan merupakan sarana utama dalam membangun pranata kehidupan social,
7
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Al-Majelis Al-A’la Al-Indonesia Li
Al- Dakwah Al-Islamiyah, 1972), cet. IX, h. 23
8
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasr Pemikiran Pendidikan Islam,(Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001), cet. 1, h.97
11
dalam arti maju mundurnya kebudayaan manusia berkembang secara dinamis
sangat ditentukan dari dinamika system pendidikan yang dilaksanakan.
Dalam dunia pendidikan, sumbangan ijtihad dalam keikutsertaanya menata
system pendidikan yang ingin dicapai. Sedangkan untuk perumusan system
pendidikan yang dialogis dan adaptik, baik karena pertimbangan perkembangan
zaman maupun kebutuhan manusia dengan berbagai potensi diperlukan upaya
maksimal. Proses ijtihad, harus merupakan kerjasama yang utuh diantara
mujtahid.9
3. Tujuan Pendidikan Islam
Berbicara tentang tujuan pendidikan, tak dapat tidak mengajak kita
berbicara tentang tujuan hidup, yaitu tujuan hidup manusia. Di mana manusia
diciptakan untuk menjadi khalifah, manusia yang dianggap sebagai khalifah Allah
SWT tidak dapat memegang peranan tanggung jawab sebagai khalifah kecuali
kalau ia dilengkapi dengan potensi-potensi yang membolehkan berbuat demikian.
Tujuan pendidikan Islam ditinjau dari segi historis memiliki dinamika
seirama dengan kepentingan dan perkembangan masyarakat di mana pendidikan
itu dilaksanakan. Contoh sederhana bahwa tujuan pendidikan Islam pada masa
Rasulullah SAW berbeda jauh dengan tujuan pendidikan Islam pada masa modern
sekarang ini. Perkembangan inilah yang menyebabkan tujuan pendidikan Islam
secara khusus mengalami dinamika seirama dengan perkembangan zaman, namun
tanpa melepaskan diri pada nilai-nilai Ilahiah dan tujuan umumnya, yaitu sebagai
ibadat.
Akibat dinamikanya ini, para ahli muslim mencoba untuk memberikan
definisi khusus terhadap pendidikan Islam. Antara lain adalah Muhammad Fadhil
Al-Jumaly yang memberikan batasan bahwa tujuan pendidikan Islam itu adalah
membina kesadaran atas diri manusia itu sendiri dan atas sistem sosial yang
Islami. Sikap dan rasa tanggung jawab sosialnya, juga terhadap alam ciptaan-Nya
serta kesadarannya untuk mengembangkan dan mengelola alam ini bagi
kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Dan yang penting lagi ialah
terbinanya ma’rifat kepada Allah Pencipta alam semesta dengan beribadah
9
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasr Pemikiran Pendidikan Islam), cet. 1, 100
12
kepada-Nya dengan cara mentaati perintah-Nya dan menjauhi segala laranganNya.10
Dalam versi yang lain, Ibn Khaldun menyebutkan bahwa tujuan
pendidikan Islam berupaya bagi pembentukan aqidah/keimanan yang mendalam.
Menumbuhkan dasar-dasar akhlak karimah melalui jalan agamis yang diturunkan
untuk
mendidik
jiwa
manusia
serta
menegakkan
akhlak
yang
akan
membangkitkan kepada perbuatan yang terpuji. Upaya ini sebagai perwujudan
penyerahan diri kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat dan
kemanusiaan pada umumnya.11
Sedangkan dalam undang-undang nasional RI No. 2 Tahun 1989
disebutkan bahwa:
“Pendidikan
nasional
bertujuan,
mencerdaskan
kehidupan
bangsa
dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan budi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan yang
kebangsaan”
Dari berbagai rumusan di atas, terdapat beberapa tujuan yang asasi bagi
pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
a. Tujuan umum, yakni tidak dapat dicapai kecuali setelah melalui proses
pengajaran, pengalaman, penghayatan dan keyakinan akan kebenaran.
b. Tujuan akhir, yaitu insan kamil yang mati dan akan menghadap
tuhannya merupakan tujuan akhir dari proses pendidikan Islam. Dalam
arti bahwa mati dalam keadaan muslim merupakan ujung dari takwa
sebagai akhir dari proses hidup yang pasti berisikan kegiatan
pendidikan.
10
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, h. 105
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, h. 106
11
13
c. Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik
diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu
kurikulum pendidikan formal.
d. Tujuan operasional yaitu tujuan praktis yang hendak dicapai dengan
sejumlah kegiatan pendidikan tertentu, yang menuntut kemampuan dan
keterampilan tertentu yang lebih ditonjolkan pada sifat penghayatan
dan kepribadian.12
Jelaslah bahwa tujuan pendidikan Islam lebih berorientasi kepada nilainilai luhur dari Tuhan yang harus diinternalisasikan ke dalam diri individu anak
didik melalui proses pendidikan.
4. Metode Pendidikan Islam
Dari segi bahasa, metode berasal dari dua kata, yaitu kata “meta” yang
berarti melalui dan kata “hodos” yang berarti jalan, dengan demikian metode
berarti jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu.13
Jalan mencapai tujuan ini bermakna ditempatkan pada posisi sebagai cara
untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi
pengembangan ilmu atau tersistematisasikannya. Dengan pengertian tersebut
berarti metode lebih memperlihatkan sebagai alat untuk mengolah dan
mengemban suatu gagasan.
Selanjutnya jika kata metode tersebut dikaitkan dengan pendidikan Islam,
dapat berarti bahwa metode sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama
pada diri seseorang sehingga terlihat dalam pribadi obyek dan sasaran, yaitu
pribadi Islami. Selain itu metode dapat pula berarti sebagai cara untuk memahami,
menggali dan mengembangkan ajaran Islam sehingga terus berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman. Demikianlah ilmu pendidikan Islam merangkum
metodologi pendidikan Islam yang tugas dan fungsinya adalah memberikan cara
sebaik mungkin bagi pelaksanaan operasional dan ilmu pendidikan tersebut.
12
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, h. 112
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet.
Ke-1, h. 91
13
14
Ada beberapa metode dalam pendidikan Islam yang dikemukakan para
ahli, di antaranya ialah:
a. Keteladanan
Metode teladan atau pemberian contoh merupakan teknik pendidikan yang
efektif karena memberikan cukup besar pengaruh dalam mendidik, sehingga dapat
menterjemahkan dengan tingkah laku, tindak tanduk, ungkapan rasa dan pikiran,
sehingga menjadi dasar dan arti suatu metode. Dengan demikian, suatu
metodologi akan berubah menjadi suatu gerakan. Karena itulah, maka Allah
mengutus Nabi Muhammad SAW menjadi teladan untuk manusia. Dalam diri
beliau Allah menyusun suatu bentuk sempurna, yang mengandung nilai
paedagogis bagi kelangsungan hidup manusia. Seperti ayat yang menyatakan:
             
   
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Q.S. AlAhzab: 21)
b. Metode Permisalan
Mendidik dengan menggunakan metode pemberian perumpamaan atau
metode imtsal tentang kekuasaan Tuhan dalam menciptakan hal-hal yang hak dan
hal-hal yang bathil, misalnya sebagai yang digambarkan Allah SWT dalam
firman-Nya sebagai berikut:
             
                 
               
15
Artinya: “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air
di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih
yang mengambang. dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api
untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih
arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar
dan yang bathil. adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak
ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia
tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaanperumpamaan”. (Q.S. Ar-Ra’d: 17)
c. Metode Motivasi
Yaitu cara memberikan pelajaran dengan memberikan dorongan (motivasi)
untuk memperoleh kegembiraan bila mendapatkan sukses dalam kebaikan,
sedangkan bila dalam keadaan tidak sukses karena tidak mau mengikuti petunjuk
yang benar maka akan mendapat kesusahan. Metode ini juga disebut sebagai
metode targhieb dan tarhieb (hadiah dan ancaman). Yang memberikan dorongan
untuk selalu berbuat baik dalam hal-hal yang bersifat positif.14
Dalam Al-Qur’an dijelaskan dalam surat Al-Zalzalah ayat 7-8 sebagai
berikut:
             
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya
dia akan melihat (balasan)nya (7). Dan barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya
pula (8)”. (Q.S. Al-Zalzalah: 7-8)
d. Metode Instruksional
Yaitu metode yang bersifat mengajar tentang ciri-ciri orang yang beriman
dan bersikap serta bertingkah laku agar mereka dapat mengetahui bagaimana
seharusnya mereka bersikap dan bertingkah dalam kehidupan sehari-hari.
14
110
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), cet. Ke-2, h.
16
e. Metode Tanya Jawab
Metode tanya jawab sering digunakan oleh Rasulullah SAW dan para Nabi
dalam mengajarkan agama kepada umatnya. Bahkan para ahli pikir dan filosofpun
banyak mempergunakan metode tanya jawab ini. Oleh karenanya, metode ini
adalah yang paling tua dalam dunia pendidikan dan pengajaran di samping metode
ceramah. Namun efektifitasnya lebih besardaripada metode-metode yang lain,
karena dengan tanya jawab, pengertian dan pemahaman seseorang dapat lebih
dimantapkan, sehingga segala bentuk kesalah pahaman, kelemahan daya tangkap
terhadap pelajaran dapat dihindari.15
Dalam Al-Qur’an disebutkan pada surat An-Nahl ayat 43 sebagai berikut:
              
 
Artinya: “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki
yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (Q.S. AnNahl: 43)
f. Metode Kisah-kisah
Kisah atau cerita sebagai metode pendidikan ternyata mempunyai daya
tarik yang menyentuh perasaan. Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk
menyenangi cerita itu, dan menyadari pengaruhnya yang besar terhadap perasaan.
Oleh karena itu Islam mengeksploitasi cerita itu untuk dijadikan salah satu teknik
pendidikan. Ia menggunakan berbagai jenis cerita; cerita sejarah factual yang
menampilkan suatu contoh kehidupan manusia yang ditampilkan oleh contohcontoh tersebut, cerita drama yang melukiskan fakta yang sebenarnya tetapi bisa
15
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islm, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), cet. Ke-4, h. 70
17
diterapkan kapan dan di saat apapun.16 Metode ini juga dicontohkan dalam AlQur’an surat Al-Qashash ayat76:
               
               
Artinya: “Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku
aniaya terhadap mereka, dan kami telah menganugerahkan kepadanya
perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh
sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata
kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri". (Q.S. AlQashash: 76)
5. Ruang Lingkup Pendidikan
H. M. Arifin mengatakan bahwa ruang lingkup pendidikan Islam
mencakup
kegiatan-kegiatan
kependidikan
secara
konsisten
dan
berkesinambungan dalam bidang atau lapangan hidup manusia yang meliputi.
a. lapangan hidup keagamaan, agar perkembangan pribadi manusia
sesuai dengan norma-norma ajaran Islam.
b. lapangan hidup berkeluarga, agar berkembang menjadi keluarga yang
sejahtera.
c. lapangan hidup ekonomi. agar dapat berkembang menjadi sistem
kehidupan yang bebas dari penghisapan manusia oleh manusia.
d. lapangan hidup kemasyarakatan, agar terbina masyarakat yang adil dan
makmur di bawah ridlo dan ampunan Allah swt.
e. lapangan hidup politik, agar tercipta sistem demokrasi yang sehat dan
dinamis sesuai ajaran Islam.
f. lapangan hidup seni budaya, agar menjadikan hidup manusia penuh
keindahan dan kegairahan yang tidak gersang dari nilai-nilai moral
agama.
16
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet.
Ke-1, h. 97
18
g. lapangan hidup ilmu pengetahuan, agar berkembang menjadi alat
untuk mencapai kesejahteraan hidup umat manusia yang dikendalikan
oleh iman.17
Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ruang lingkup
materi pendidikan Islam meliputi kegamaan, kemasyarakatan, seni budaya dan
ilmu pengetahuan. Dengan demikian materi pendidikan Islam yang diberikan di
sekolah berperan untuk pengembangan potensi kreatifitas peserta didik dan
bertujuan untuk mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah
swt, cerdas, terampil, memiliki etos kerja yang tinggi. Berbudi pekerti luhur,
mandiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya, agama, bangsa dan negara.
Oleh karena itu, pendidikan Islam sangat bertolak belakang dengan ilmu
pendidikan
non-Islam.
Pengembangan
pendidikan
Islam
adalah
upaya
mengembangkan sebuah sistem pendidikan alternatif yang lebih baik dan relatif
dapat memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menyelesaikan semua problematika
kehidupan yang mereka hadapi sehari-hari.
B. Sejarah Pendidikan Islam
Sejarah pendidikan Islam di mulai sejak agama Islam masuk ke Indonesia,
yaitu kira-kira pada abad keduabelas Masehi. Ahli sejarah umumnya sependapat,
bahwa agama Islam mula-mula masuk ialah ke pulau Sumatera bagian Utara di
daerah Aceh.18 Setengah ahli sejarah mengatakan, bahwa agama Islam masuk ke
daerah Aceh pada abad kedua belas Masehi. Setengah mereka berpendapat,
bahwa Islam telah masuk ke Aceh sebelum abad kedua belas Masehi. Alasannya
ialah karena pada abad kedua belas Masehi itu telah banyak ahli-ahli agama yang
termasyhur di Aceh. Hal itu menunjukan, bahwa Islam telah masuk ke Aceh
sebelum abad keduabelas, karena tidak mungkin Islam baru masuk, lalu lahir
orang-orang ahli dalam Islam itu.
17
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), cet. Ke-1, h. 30
18
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia(Jakarta: Hidakarya Agung
1979) cet ke-2 h.10
19
Pendapat ini dikuatkan lagi dengan keterangan setengah ahli sejarah,
bahwa orang Arab/Islam telah mengenal pulau Sumatera dalam abad kesembilan.
Oleh sebab itu banyak diantara mereka itu datang ke Sumatera dan ke pulau-pulau
Indonesia yang lain untuk berniaga. Sungguhpun mereka datang ke Indonesia
dengan maksud hendak berniaga, tetapi mereka tidak lupa memegang Al-Qur’an
ditngan kanannya. Dalam melaksanakan usaha perniagaan mereka menyiarkan
agama Islam kepada penduduk negeri. Dengan berangsur-angsur penduduk negeri
tertarik kepada agama Islam, lalu mereka memeluk agama itu. Sebab itu tidak
heran, bahwa agama Islam telah masuk kedaerah Aceh sebelum abad
keduabelas.19
Umumnya ahli sejarah mempastikan masuk Islam ke daerah Aceh itu
dengan pertama, perjalanan Marco Polo. Dalam perjalanannya pulang dari
Tiongkok, ia singgah di Aceh pada tahun 1292 Masehi. Menurut keterangannya,
di Perlak telah didapatnya rakyat yang beragama Islam. Pelak adalah pelabuhan
besar di Aceh pada masa itu, yang menghadap ke Selat Malaka. Begitu juga
dengan kedua, perjalanan Ibnu Bathutha, pengembara Maghribi yang masyhur (th.
725 H/. = 1325 M.). dalam perjalananya pulang dari Tiongkok , ia singgah di
Pase. Pada masa itu Pase telah menjadi kerajaan Islam di bawah perintah Raja
bernama Al-Malikuz-Zahir.
Dengan keterangan tersebut ahli sejarah menetapkan dengan pasti, bahwa
agama Islam masuk ke Indonesia ialah dari Aceh. Dan dari sanalah Islam
memancarkan cahayanya ke Malaka dan Sumatera Barat (Minangkabau). Dari
Minangkabau Islam berkembang ke Sulawesi, Ambon dan sampai ke pilipina.
Kemudian Islam tersiar ke Jawa Timur, dari sana ke Jawa Tengah dan ke Banten,
sampai ke Lampung dan Palembang dan keseluruh pulau Indonesia.
Di Sumatera berdiri kerajaan Islam di Pasei, Perlak, Samudera dan
bersama pada tahun 1514-1904 M., dan kerajaan Islam Aceh pada tahun 15001546 M. Di Jawa berdiri kerajaan Islam Demak pada tahun 1546 M, dan
19
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia ke-2. h.11
20
kemudian kerajaan Islam Banten pada tahun 1550-1757 M, dan kerajaan Islam
Pajang pada tahun 1568-1586 M dan kerajaan Islam Mataram pada tahun 15751757 M.20
C. Pendidikan Islam Padamasa K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad
Dahlan
1. Pendidikan Islam Padamasa K.H. Hasyim Asy’ari
Zaman Mataram adalah zaman keemasan bagi pendidikan dan pengajaran
agama Islam di tanah Jawa. Karena pada masa itu pendidikan dan pengajaran
agama Islam telah mempunyai organisasi yang teratur dalam pemerintahan
kerajaan Islam. Pada permulaan penjajahan Belanda pada zaman Kompeni (tahun
1610 M) politik Belanda adalah membiarkan saja usaha pendidikan dan
pengajaran Islam menurut pengajaran sistem Mataram itu.
Lambat laun politik membiarkan itu diubahnya dengan berangsur-angsur,
sejak perjanjian gianti (tahun 1755), mulai tampak usaha Belanda hendak
melumpuhkan pengaruh Islam di Jawa, di mulainya dari daerah-daerah yang
sudah dikuasainya, yaitu di luar Yogyakarta dan Surakarta. Tanah Lungguh untuk
penghulu , Naib, Kiyai, Anom, Kiyai Sepuh, semuanya dihapuskan dan dijadikan
tanah gubernemen. Begitu juga diusahakan oleh penjajah Belanda untuk
menghapuskan tanah lungguh untuk para bangsawan di Yogyakarta sendiri. Hal
itu telah menggerakkan Dipoegoro (tahun 1825-1830 M), serta para alim ulama
tampil ke muka memimpin masyarakat untuk memerangi Belanda.21
Dengan demikian maka pendidikan Islam pun makin lama, makin mundur
oleh pendidikan Barat. Sedangkan tekanan halus dari pemerintah penjajah tidak
sedikit pengaruhnya untuk melemahkan pendidikan dan pengajaran Islam. Tetapi
meskipun demikian pendidikan dan pengajaran Islam tetap tegak berdiri di
Pondok Pesantren menghadapi gelombang dan taupan pengaruh pendidikan Barat.
Untunglah pada tahun 1900 M nur dan cahaya pendidikan dan pengajaran Islam
mulai terang benderang kembali dengan berdirinya Pondok Pesantren baru yang
20
21
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia cet ke-2 h.11
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia cet ke-2 h.227
21
membawa jiwa baru, semangat baru dan cara baru. Pondok-pondok itu didirikan
oleh Ulama besar Indonesia yang kembali dari Mekkah sesudah menunaikan
ibadah Haji dan bermukim disana bertahun-tahun lamanya menuntut ilmu Agama
dan bahasa Arab. Beliau-beliau itulah pembangun dan pembaru pendidikan
pesantren, yang tidak sedikit bilangannya.22
K.H. Hasyim Asy’ari membawa perubahan baru dalam pendidikan Islam
dari Makkah dengan membuka Pesantren Tebuireng di Jombang yang terkenal
sampai sekarang. Dalam Pesantren Tebuireng beliau mengajarkan ilmu-ilmu
agama dan bahasa Arab, mulai dari tingkatan rendah sampai tingkatan tinggi,
sehingga mengeluarkan alim ulama yang tidak sedikit bilangannya. Perubahan itu
berjalan lancar dan tak ada gangguan dari Belanda, karena hanya semata-mata
perubahan dalam ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab saja dan tidak mencampuri
politik pemerintah. Padahal dalam ilmu Agama itu telah termaktub soal-soal
politik, sehingga akhirnya menggerakan umat Islam merebut kemerdekaan dari
penjajahan Belanda. Kemudian lahir perubahan baru dalam pendidikan Islam di
daerah-daerah lain.23
Pesantren Tebuireng didirikan pada tanggal 26 Rabiul Awal tahun 1899
M. Pondok Pesantren Tebuireng pada mulanya sederhana saja, sedangkan jumlah
santrinya yang pertama hanya28 orang. Kemudian makin lama, makin bertambah
ramai, akhirnya dibanjiri oleh murid-murid dari seluruh pulau Jawa dan daerah
lain.
Selain mengembangkan ilmu di pesantren Tebuireng maka K.H. Hasyim
Asy’ari membangun perkumpulan Nahdlatul Ulama, bahkan ia sebagi Syehul
Akbar dalam perkumpulan itu. Dengan usaha dan pengaruhnya Nahdlatul Ulama
menjadi bersemarak dan menjadi perkumpulan ulama yang terbesar di Indonesia.
Nahdlatul Ulama didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H. (31 Januari
1926 M) di Surabaya. Menurut K.H. Hasyim Asy’ari Ahl al-Sunnah adalah
”ulama dalam bidang Tafsir Al-Qur’an, Sunnah Rosul, dan Fiqih yang tunduk
pada tradisi Rosul dan KhulafaurRasyidin.” beliau selanjutnya menyatakan bahwa
22
23
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, cet ke-2h.229
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, cet. Ke-2 h.231
22
sampai sekarang ulama tersebut termasuk ”mereka yang mengikuti mazhab
Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali.” doktrin ini diterapkan dalam NU yang
menyatakan sebagai pengikut, penjaga, dan penyebar faham Ahl al-Sunnah wa aljama’ah. NU menerima doktrin ini dengan sepenuh hati karena sesuai dengan
tujuan-tujuan NU.24
Maksud perkumpulan NU ialah memegang teguh salah satu mazhab
Imam empat, yaitu: pertama, Syafi’i kedua, Maliki ketiga, Hanafi keempat,
Hanbali. Dan mengerjakan apa-apa yang menjadikan kemaslahatan untuk agama
Islam.
Untuk mencapai maksud itu, maka diadakan ikhtiar:
a. Mengadakan perhubungan diantara ulama-ulama yang bermazhab tersebut
diatas
b. Memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar, supaya diketahui
apakah kitab itu termasuk kitab-kitab Ahli Sunah Waljama’ah atau kitabkitab Ahli Bid’ah
c. Menyiarkan agama Islam berasaskan pada mazhab tersebut diatas dengan
jalan apapun yang baik
d. Berikhtiar memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama
Islam
e. Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surausurau dan pondok-pondok, begitu juga hal ihwalnya anak-anak yatim dan
orang-orang fakir miskin
f. Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan
dan perusahaan yang tidak dilarang oleh syariat agama Islam.25
Demikianlah maksud dan tujuan NU sebagi tersebut dalam Anggaran
Dasar Rumah Tangga tahun 1926 (yaitu sebelum menjadi partai politik).
24
25
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama ,(Yogyakarta: LKiS 2001), cet 1, h. 46
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, cet. Ke-2 h.239-241
23
2. Pendidikan Islam padamasa K.H. Ahmad Dahlan
Melihat peranan Islam dalam masyarakat desa, maka pemerintah Hindia
Belanda menyadarai bahwa ternyata Islam merupakan agama yang membawa
ancaman bagi kedudukannya. Tentu saja sebagai penguasa yang ingin
mempertahankan
kekuasaannya,
maka
pemerintah
kolonial
berkeinginan
menciptakan stabilitas sosial pedesaan dan menghentikan kegiatan yang
mencerminkan pelbagai bentuk keresahan sosial yang dipimpin oleh Islam.
Untuk kepentingan tersebut maka pertama-tama yang dilakukan Belanda
ialah melakukan pembatasan bagi jemaah haji. Pada tahun 1825 dikeluarkan
ketentuan bahwa orang yang akan naik haji harus membayar kepada pemerintah
kolonial sebanyak 100 gulden untuk dapat memperoleh surat izin berangkat.26
Pelbagai peristiwa sejarah yang terjadi di Jawa telah menimbulkan
lahirnya gerakan-gerakan yang mengarah ke corak kebangsaan. Pusaran
kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905 telah mendorong bangsa terjajah
di Asia untuk melihat kenyataan bahwa superioritas orang kulit putih terpatahkan
oleh orang kulit berwarna; maka munculah organisasi-organisasi di Jawa. Pada
tahun sekitar 1905 lahirlah jamiat al-khair di Jakarta yang bergerak untuk
kepentingan sosial orang Arab dan Sumatera Barat, yang beberapa tahun
kemudian memulai berkecimpung dalam dunia pendidikan. Kemudian muncul
pula organisasi yang didirikan kaum terpelajar, seperti Budi Utomo (1908),
Sarekat Dagang Islam (1911), Muhammadiyah (1912) Dan lain-lainya.
Sesungguhnya keadaan sosio-kultural dan politik yang ada di Jawa selama
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah mendorong tumbuhnya pemikiran
baru pada pemimpin Islam untuk melakukan pembaharuan yang bersifat
fundamental dan metodis.
Hal itu tampak nyata dari mula berdirinya
Muhammadiyah, yang diawali dengan gerakan-gerakan praktis dalam bidang
keagamaan dan pendidikan.27
Pemikiran Dahlan ini merupakan suatu pembaharuan pendidikan Islam
dan pendidikan sekuler sesuai dengan tuntutan sosio-kultural Jawa yang harus
26
MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta:Dunia Pustaka, 1987), h.
27
MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, h. 73-74
66
24
menghadapi tantangan pengaruh sistem pendidikan Barat, sebagai salah satu
kompleksitas masyarakat. Modernisme Dahlan dalam mencanangkan suatu
integrasi gagasan-gagasan dan lembaga-lembaga modern dengan dijiwai syariat
Islam, telah mendorong mengalirnya gagasan Barat dalam pendidikan, sedang
sebagian yang lain sebagai usaha mengalirkan nilai Islam kesistem pendidikan
model Barat. Dualisme ini merupakan hal yang baru pada waktu menjelang
berdirinya Muhammadiyah, dan pemikiran pola gagasan pendidikan Dahlan itu
sangat menarik anggota Budi Utomo. Akhirnya dua orang anggota organisasi ini,
Mas Radji dan Raden Sosrosoegondo, mendesak Dahlan agar secepatnya
merealisasi cita-cita tersebut. Demikianlah maka pada tahun 1911 Dahlan di
tempat kediamannya, Kauman mendirikan sekolah agama yang menggunakan
metode pendidikan Barat yang menggunakan kursi, bangku dalam bentuk klasikal.
28
Perkumpulan Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada
tanggal 8 Zulhijah 1330 H. Atau 18 Nopember 1912 M. Berpusat di Yogyakarta.
Maksud dan tujuannya ialah untuk menegakan dan menjunjung tinggi Agama
Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Usaha untuk mencapai maksud dan tujuan itu ialah dengan:
a. Mengadakan dakwah Islam
b. Memajukan pendidikan dan pengajaran
c. Menghidup-suburkan masyarakat tolong menolong
d. Mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf
e. Mendidik dan mengasuh anak-anak dan pemuda-pemuda supaya kelak
menjadi orang Islam yang berarti
f. Berusaha dengan segala kebijaksanaan, supaya kehendak dan peraturan
Islam berlaku dalam masyarakat.
(Anggaran Dasar Muhammadiyah Desember 1950).
28
MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, h. 114
25
Menurut
keterangan
tersebut,
nyatalah
bahwa
Muhammadiyah
mementingkan pendidikan dan pengajaran yang berdasarkan Islam, baik
pendidikan di sekolah/madrasah atau pendidikan dalam masyarakat.29
29
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, ke-2 h.268-269
BAB III
BIOGRAFI K.H. HASYIM ASY’ARI DAN K.H. AHMAD DAHLAN
A. K.H.HASYIM ASY’ARI
1. Sejarah Ringkas K.H. Hasyim Asy’ari
K.H.Hasyim Asy‟ari nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim
Asy‟ari ibn Abd al-Halim. Karena peran dan prestasi yang dicapainya ia
mempunyai banyak gelar, seperti pangeran Bona ibn Abd al-Rahman yang
dikenal dengan Jaka Tingkir, Sultan Hadi Wijoyo ibn Abdullah ibn Abdul Aziz
ibn Abd al-Fatih ibn Maulana Ishaq dari Raden Ain al-Yaqin yang disebut dengan
Sunan Giri.1
Ia lahir di Desa Gedang, Jombang Jawa Timur, pada hari selasa kliwon, 24
Dzulqoidah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871, dan wafatpada
tanggal 35 juli 1947 pukul 03.45 dini hari, bertepatan dengan tanggal 7 Ramadhan
Tahun 1366 dalam usia 79 tahun.
2. Latar Belakang Pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari
Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri,
terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu al-Quran dan literatur agama lainnya.
Setelah itu Ia melanjutkan pendidikannya pada berbagai pondok pesantren
khususnya pada Pulau Jawa, seperti Pondok Pesantren Shona, Siwalan Buduran,
Langitan, Tuban, Demangan, Bangkalan, dan Sidoarjo. Selama pondok Pesantren
Sidoarjo, Kiai Ya‟qub yang memimpin Pondok Pesantren tersebut melihat
1
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta:Raja
Grapindo Persada 2005), h.113
26
27
kesungguhan dan kebaikan budi pekerti
K.H. Hasyim Asy‟ari, hingga ia
menjodohkan dengan putrinya, Khadijah.
Pada tahun 1892, tepatnya ketika
Hasyim Asy‟ari berusia 21 tahun menikah dengan Khadijah putri K.H. Ya‟qub.
Setelah melangsungkan pernikahannya itu, K.H.Hasyim Asy‟ari bersama
istrinya segera melakukan ibadah haji ke tanah suci Makkah. Sekembalinya dari
Makkah, K.H.Ya‟qub selaku mertuanya menganjurkan kepada K.H.Hasyim
Asy‟ari agar menuntut ilmu di Makkah. Hal ini terjadi karena didorong oleh
keadaan pada waktu itu yang melihat ketinggian reputasi keilmuan seseorang
ditandai oleh pengalamannya menimba ilmu ditanah suci Makkah selama
bertahun-tahun. Seorang ulama belum dianggap cukup ilmunya bila belum
menuntut ilmu ditanah suci Makkah.
Di saat KH. Hasyim Asy‟ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah
menetap tujuh bulan di Makkah, isterinya meninggal dunia pada waktu
melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan.
Sungguhpun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk
menuntut ilmu.2
Dalam perjalanannya menuntut ilmu di Makkah itu, Hasyim Asy‟ari
berjumpa dengan beberapa tokoh yang kemudian dijadikannya sebagai gurugurunya di Mekkah yang terkenal adalah sebagai berikut:
a. Syeh
Mahfuzh
al-Tirmasi,
putra
Kiai
Abdullah
yang
memimpinpesantren Tremas. Dikalangan para Kiai di Jawa, Syeh
Mahfuzh lebih terkenal sebagai ahli hadits Bukhori. Dari gurunya ini,
Hasyim Asy‟ari mendapatkan ijazah untuk mengajar kitab Shahih
Bukhori.
b. Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Syaikh Akhmad Khatib ini
menantu Syaikh Shalih Kurdi, seorang hartawan yang mempunyai
hubungan baik dengan pihak penguasa Mekkah
2
Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari., (Jakarta: Lekdis, 2005), h. 16-17
28
c. KH. Hasyim Asy‟ari berguru kepada sejumlah tokoh di Mekkah, yakni
Syaikh al-Allamah Abdul Hamid Al-Darustani dan Syaikh Muhammad
Syauaib al-Maghribi.
Di antara ilmu-ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh KH. Hasyim Asy‟ari
selama di Mekkah adalah ilmu Fiqih dengan konsentrasi mazhab Syafi‟I dan ilmu
alat (nahwu, sharaf, mantiq, balaghah, dan lain-lain)
Delapan tahun lamanya ia bermukim di tanah suci menuntut ilmu agama
dan bahasa Arab. Kemudian ia kembali ke Indonesia. Dadanya telah penuh
dengan Ilmu Agama, sehingga ia menjadi seorang kiyai (ulama besar). Kemudian
ia membuka pesantren untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya, yaitu:
Pesantren TebuIreng di Jombang.3
Sebagai
pemimpin
pesantren,
KH.
Hasyim
Asy‟âri
melakukan
pengembangan institiusi pesantrennya, termasuk mengadakan pembaharuan
sistem dan kurikulum belajar. Jika pada saat itu pesantren hanya mengembangkan
sistem halaqah, maka KH. Hasyim Asy‟âri memperkenalkan sistem belajar
madrasah dan memasukkan kurikulum pendidikan umum, di samping pendidikan
keagamaan. Patut diketahui bahwa sistem madrasah dan memasukan kurikulum
pendidikan umum di dalam pesantren ini merupakan sesuatu yang relatif baru
dalam dunia pendidikan pesantren pada saat itu. Sedangkan perannya sebagai
pemimpin informal, KH. Hasyim Asy‟âri memberikan bantuan pengobatan
kepada masyarakat yang membutuhkan, termasuk juga kepada keturunan
Belanda.4
3. Karya-karya K.H. Hasyim Asy’ari
a. Adab al-alim wa al-muta’alim fima yahtaj ilaihi al-muta’alim fi ahwal
ta’alum wa ma yatawaqof alaih al-muallim fi maqomat ta’limih
(akhlaq Guru dan Murid)5
3
H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia., (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1979),cet ke-2 h. 234
4
Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari, h. 29-30
5
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, (LKiS Yogyakarta, 2000), h. 41
29
b. Ziyadat ta’liqat, radda fiha manzhumat al-syaikh Abdul Allah bin
Yasin al-fasurani allati bihujubiha ala ahl jamiyyah Nahdlatul alUlama.
c. Al-tambihat al-wajibat liman yashna al-maulid al-munkarat.
d. al-Risalat al-jami’at, sharh fiha ahwal al-mauta wa asyrath al-sa’at
ma’ bayan mafhum al-sunah wa al-bid’ah.
e. Al-Nur al-mubin fi mahabbah sayyid al-mursalin, bain fihi ma’na almahabbah Lirosul Allah wa ma yata’allaq biha man ittiba’iha wa ihya
al-sunnatih.
f. Hasyiyah ‘ala fath al-Rahman bi syarh risalatt al-wali Ruslan li syaikh
al-isl;am Zakariya al-Anshori.
g. Al-Durr al-muntatsirah fi al-masail al-tis’I ‘asyrat, sharh fiha masalat
al-thariqat wa al- wilayah wa ma yata’allaq bihima minal-umur almuhimmah li-ahl al-thariqah.
h. al-Tibyan fi al-nahy ‘an muqati’ah al-ikhwan, bain fihahammiyat
shilat al-rahim wa dharur qath’iha.
i. ar-risalat al-tauhidiyah, wahiya risalah shaghirah fi bayan aqidah ahl
al-sunnah wa al-jama’ah. al-qolaid fi bayan ma yajib min al-‘aqaid.
4. Kontribusi pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari terhadap masyarakat
Banyak aktivitas yang dilakukan Hasyim Asy‟ari dalam hubungannya
dengan pendidikan Islam. Aktivitas Hasyim Asy‟ari tersebut antara lain:
a. Mengajar
Mengajar merupakan profesi yang ditekuni Hasyim Asy‟ari dari sejak
kecil. Sejak masih di pondok pesantren ia sering dipercaya oleh gurunya
menngajar santri-santri yang baru masuk. Bahkan, ketika di Makkah ia membantu
ayahnya mengajar dipondok ayahnya, Pondok Nggedang.
b. Mendirikan Pondok Pesantren
Kehidupan Kiai Hasyim Asy‟ari banyak tersita untuk membina santrisantrinya itu. Biasanya ia mengajar sejam sebelum dan sejam setelah shalat lima
waktu. Ia terbiasa mengajar sampai larut malam. Pada bulan Ramadhan ia
30
mengajar hadis Bukhori dan Muslim yang diikuti oleh santri dari berbagai
pesantren untuk mendapat ijazahnya. Demikianlah kerja rutin Hasyim Asy‟ari.
Seluruh waktunya untuk aktivitasnya agama dan ilmu.
c. Mendirikan Organisasi
Untuk berjuang untuk mewujudkan cita-citanya termasuk dalam bidang
pendidikan, diperlukan adanya wadah berupa organisasi. Untuk tujuan tersebut,
maka pada tahun 1926 ia bersama dengan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan
sejumlah ulama lainnya di Jawa Timur mendirikan Jamaah Nahdlatul Ulama
(NU). Sejak awal berdirinya Hasym Asy‟ari dipercaya memimpin organisasi itu
sebagai Rois Akbar. Jabatan ini di pegangnya beberapa periode kepengurusan.
Pada tahun 1930, dalam muktamar NU ke-3 Kiai Hasyim Asy‟ari
menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. Pokok-pokok
pikiran inilah yang kemudian dikenal dengan qonun asasi (Undang-undang dasar
Jamiah NU). Intisari dari qonun asasi itu mencakup: (1) Latar belakang berdirinya
Jamiah NU, (2) hakikat dan jati diri NU, (3)potensi umat yang diharapkan akan
menjadi pendukung NU, (4) perlunya ulama bersatu (ijtihad), saling mengenal
(ta‟aruf), rukun bersatu (ittihad), dan saling mengasihi satu sama lain (ta‟aluf)
didalam satu wadah yang dinamakan NU, dan (5) keharusan warga NU bertaqlid
pada salah satu madzhab yang empat.6
B. K.H. AHMAD DAHLAN
1. Sejarah Ringkas K.H. Ahmad Dahlan
K.H. Ahmad Dahlan lahir dikampung kauman, Yogyakarta, pada tahun
1868 M dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya adalah K.H. Abu Bakar,
seorang khatib Masjid besar kesultanan Yogyakarta. Ibunya bernama siti Aminah,
putri K.H. Ibrahim, penghulu kesultanan Yogyakarta.7
Silsilah keturunannya adalah sebagai berikut: Muhammad Darwis putra H.
Abu Bakar, putra K.H. Muhammad Sulaiman, putra Kyai Murtadla, putra Kyai
Ilyas, putra Demang Jurang Juru Kapindo, putra Demang Jurang Juru Sapisan,
6
7
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 121-123.
H. Suja, Muhammadiyah dan Pendirinyaa, cet. Ke-2, h. 6.
31
putra Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribik, putra Maulana Fadlullah, putra
Maulana Ainul Yaqin , putra Maulana Ishaq dan putra Maulana Ibrahim.
Dengan terdapatnya nama Maulana Ibrahim dalam garis keturunan
Muhammad Darwis, dapat dikatakan bahwa Darwis lahir dalam suatu lingkungan
keislaman yang kukuh, mengingat peranan Maulana Ibrahim sebagai salah satu
Wali Sanga, sangat besar dalam Islamisasi di pulau Jawa.
Kampung Kauman sebagai tempat kelahiran dan tempat Muhammad
Darwis dibesarkan dengan demikian merupakan lingkungan keagamaan yang
sangat kuat, yang berpengaruh besar terhadap perjalanan hidup Muhammad
Darwis di kemudian hari. Kauman kemudian secara popular menjadi nama dari
setiap daerah yang berdekatan letaknya dengan Masjid.
Kauman berasal dari kata bahasa Arab qoum. Istilah ini mengandung
makna “pejabat keagamaan” atau abdi dalem santri. Kampong tempat masjid itu
diberi nama kauman karena daerah itu merupakan para abdi dalem santri dan
ulama yang bertugas memelihara Masjid itu.8
Kauman berkembang bersama fungsinya masjid Agung kesultanan
Yogyakarta. Secara operasional fungsi masjid dikelola oleh para ulama yang
diberi
wewenang
sultan
untuk
memeliharanya
dan
untuk
mudahnya
melaksanakan tugas mereka maka dibangunlah tempat tinggal disekitar masjid.
Karena para ulama tersebut merupakan keluarga pertama yang bermukim di
kauman. Hubungan pertalian dan keluarga antar para ulama semakin erat karena
perkawinan diantara anak-anak mereka, mereka itu saling berbesan, sehingga
penghuni kauman terus berkembang bersama berkembangnya pertalian keluarga.
Di kampung kauman sendiri terdapat suatu usaha pengrajin batik yang sangat
maju. Akibat dari majunya usaha batik, maka daerah itu menjadi sangat makmur,
sehingga kampong kauman merupakan daerah padat penduduk yang makmur.
Akibat dari pembentukan kehidupan sosial daerah kauman, serta
kemakmuran ekonomi dan ketinggian martabat karena jabatan, maka kauman
berkembang sebagai suatu perkampungan yang tertutup dari luar dengan batas8
Weinata Sairin Mth., Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, (Jakarta, P;ustaka Sinar
Harapan, 1995), Cet. Ke-1, h. 38.
32
batastata nilai yang khusus yaitu ketaatan yang tinggi terhadap keyakinan
beragama, dan secara fisik daerah tersebut dibatasi oleh pagar-pagar tembok atau
bangunan permanen yang yang memisahkannya dengan daerah luar.
Muhammad Darwis dibesarkan dalam lingkungan masyarakat kauman,
karena itu ia sangat dipengaruhi oleh tradisi social daerah tersebut. Pengaruh itu
Nampak dari kebiasan-kebiasannya yang ulet dalam memperdalam pengetahuan
keagamaan sejak mulanya. Hal ini dimulai dari pendidikan yang ditempuh serta
anggapan yang melatarbelakangi pendidikan tersebut.
Di masyarakat kauman khususnya ada pendapat umum bahwa barang
siapa yang memasuki sekolah gubernur dianggap kafir atau Kristen. Anggapan ini
sesungguhnya bukan hanya dilandasi oleh pola fikir apriori yan menggambarkan
kebencian terhadap penjajah melainkan pula dilandasi oleh kesadaran bahwa
penjajah Belanda adalah musuh umat Islam daerah kesultanan Yogyakarta.
Karena tu, maka dapat dipahami bahwa prasangka terhadap model-model
kehidupan yang berkaitan dengan system kehidupan penjajah dianggap sebagai
suatu sikap kompromi dengan bagian dari identitas penjajah, termasuk dalam
system pendidikan.9 Oleh karena itu, ketika menginjak usia sekolah, Muhammad
Darwis tidak disekolahkan melainkan diasuh dan dididik mengaji Al-Qur‟an dan
dasar-dasar ilmu Agama Islam oleh Ayahnya sendiri di rumah. Pada usia delapan
tahun ia telah lancer membaca Al-Qur‟an hingga khatam.
2. Latar belakang pendidikan K.H. Ahmad Dahlan
Muhammad Darwis dalam mengecap pendidikan tidak secara formal,
bahkan Muhammad Darwis tidak menuntut ilmu dalam system pendidikan
colonial namun tidak berarti Darwis tidak menuntut pengetahuan. Sebagai
alternative, oleh ayahnya ia dididik sendiri melalui cara pengajian, yaitu
pendidikan dasar keagamaan yang diberikan secara individual dengan menirukan
kalimat-kalimat atau bacaan yang diajarkan oleh ayahnya.
Pada abad ke-19 memang berkembang suatu tradisi mengirim anak kepada
guru untuk menuntut ilmu. Pada masa itu menurut Steenbrink ada lima kategori
9
77.
MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta:Dunia Pustaka, 1987), h.
33
guru: guru ngaji Al-Qur‟an, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu gaib dan guru
yang tidak menetap disuatu tempat.10 Dari kelima kategori tersebut Darwis belajar
Al-Qur‟an kepada ayahnya sendiri, sedang ia mengaji kitab kepada guru yang lain
seperti ia belajar fiqih (hukum Islam) kepada K.H. Muhammad Shaleh, dan
Nahwu (sintaksis bahasa Arab) kepada K.H. Muhsin. Keduanya adalah kakak Ipar
Muhammad Darwis sendiri. Ia juga berguru kepada K.H. Muhammad Nur, dan
K.H. Abdul Hamid dalam berbagai ilmu.
Dengan mempelajari ilmu-ilmu tersebut maka Darwis telah memasuki
suatu system pendidikan Islam tradisional yang berlangsung pada zaman itu, dan
dengan demikian maka dasar-dasr pemikiran keilmuan yang sesuai dengan system
pengetahuan tersebut telah dikuasai.
Pada tahun 1889 M, ia dikawinkan dengan siti Walidah, putri dari K.H.
Muhammad Fadil, kepala penghulu kesultanan Yogyakarta. Jadi siti Walidah itu
masih sepupu Muhammad Darwis.11 Dari pernikahannya ini Muhammad Darwis
memperoleh empat orang putra dan dua orang putri. Walaupun Muhammad
Darwis pernah menikah dengan empat wanita lainnya yaitu Nyai Abdullah, Nyai
Rum, Nyai Aisiyah, dan Nyai Solihah, namun pernikahannya dengan siti Walidah
inilah yang paling lama, bahkan siti Walidah menjadi pendamping Muhammad
Darwis hingga wafat
Beberapa bulan setelah pernikahannya, atas anjuran ayah bundanya,
Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji. Ia tiba di Makkah pada bulan Rajab
1308 H / 1890 M. setelah menunaikan umrah ia bersilaturahmi dengan para ulama
Indonesia maupun Arab yang telah dipesankan ayahnya. Ia juga rajin belajar
menambah ilmu, antara lain kepada K.H. Mahfudz Termas, K.H. Nahrowi
Banyumas, K.H. Muhammad Nawawi Banten, dan juga kepada para ulama Arab
di Masjidil Haram. Ia juga mendatangi ulama mazhab Syafi‟I Bakri Syata‟, dan
mendapat ijazah dengan nama Ahmad Dahlan. Setelah musim haji selesai ia
pulang, dan tiba di Yogyakarta pada minggu pertama bulan Sapar 1309 H / 1891
M. selain berganti nama ia juga mendapat tambahan ilmu. Muhammad Darwis
10
MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, h. 78.
Yunus Salam, Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuangannya, (Jakarta,
Depot Pengajaran Muhammadiyah, 1968), h. 5.
11
34
lalu membantu ayahnya mengajar santri-santri remaja. Akhirnya juga dipercaya
mengajar para santri dewasa maupun tua, dan kemudian mendapat sebutan
sebagai K.H. Ahmad Dahlan.12
Ahmad Dahlan pada masa itu disebut sebagai kyai sekaligus sebagai
ulama. Yaitu orang yang saleh dan menekuni serta memiliki wawasan keilmuan
tentang agama Islam. Istilah tersebut searti dengan istilah intelektual. Karena ilmu
yang berkaitan dengan agama Islam sangat luas, maka biasanya para kyai
mempunyai kesenangan atau mempunyai minat untuk mendalami salah satu dari
beberapa cabang ilmu. Tatkala bermukim di Makkah, Dahlan tertarik untuk
mendalami ilmu falaq. Itulah sebabnya masyarakat mengenal Dahlan sebagai
ulama falaq.
Pada tahun 1896 M, K.H. Abu Bakar wafat. Jabatan khotib Masjid besar
oleh kesultanan Yogyakarta lalu dilimpahkan kepada K.H. Ahmad Dahlan dengan
gelar Khatib Amin, yang diberi tugas:
a. Khutbah Jum‟at saling berganti dengan kawannya delapan orang khatib.
b. Piket diserambi masjid dengan kawannya enam orang sekali dalam
seminggu.
c. Menjadi dewan Agama Islam Kraton.
Semua tugas yang dilimpahkan kepadanya dijalankan dengan baik. Pada
kesempatan tersebut ia menggunakan waktunya untuk menyalurkan ilmunya
dalam setiap tugas piketnya. Para petugas piket yang lain tidak menggunakan
waktu untuk mendakwahkan agama Islam. Padahal sepanjang hari banyak orang
yang datang dan beristirahat diserambi masjid besar. Mereka itu kebanyakan
bukan umat yang dapat mengaji di surau-surau karena desakan ekonomi. Khatib
Amin tekun dan sabar memberikan pelajaran Islam kepada mereka, dengan
berbagai ajaran Islam yang menyentuh kehidupan sehari-hari.
Pekerjaan K.H. Ahmad Dahlan sebagai Khatib Masjid besar tidak banyak
menyita waktu. Giliran khutbahnya rata-rata dua bulan sekali, dan piketnya di
serambi Masjid besar itu hanya sekali dalam seminggu. Ia mendapat gaji tujuh
gulden sebulannya. Ia juga berdagang batik ke kota-kota di Jawa. Ia pernah diberi
12
H. Suja, Muhammadiyah dan Pendirinya, op. cit., h. 2-4.
35
modal untuk berdagang oleh orang tuanya, namun sebagian uangnya dibelanjakan
untuk membeli kitab-kitab Islam. Dalam perjalanan dagangnya tersebut ia lalu
singgah bersilaturahmi dengan para alim setempat, membicarakan perihal agama
Islam dan masyarakatnya. Ada yang sepikiran, ada pula yang berlainan.
Perjalanan demikian di maksudkan untuk mempelajari sebabnya kemunduran
kaum muslimin dan bagaimana upaya mengatasinya.
3. Karya-karya K.H. Ahmad Dahlan
Karya-karya K.H. Ahmad Dahlan mencakup ketujuh belas ayat al-Qur‟an
dalam bangunan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan ini menyemangati dan
menginisasikan perjuangan Muhammadiayah; menjadi pedoman pendiri dan para
pengikut Muhammadiyah, lalu diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya.
Ajaran-ajaran K.H. Ahmad Dahlan dipandang sebagai benih dan menjadi lentera
pengembangan pendidikan dalam lembaga pendidikan Muhammadiyah. Semangat
ini selalu dihidupkan oleh warga Muhammadiyah diwariskan dari generasi ke
generasi, agar tidak berhenti memperjuangkan dunia pendidikan yang bersendikan
kepada al-Qur‟an, sunnah Rasulullah, kebangsaan, keilmuan, dan keindonesiaan.
Kelompok Ayat 1.
Membersihkan
hati
“takutlah
menjadi
hawa
nafsunya
sebagi
sesembahannya?” QS al-Jatsiyah: ayat 23, cinta kepada selain Allah itu sama
dengan mencintai Allah ketimbang yang lain” QS at-Taubah ayat 24 dan alBaqarah ayat 165. Hawa nafsu ibarat berhala
musyrik karena menyesatkan,
membuatnya tidak suka berfikir kebenaran, akibatnya membahayakan baginya.
Maka tafakkur,muhasabah, muraqabah, dan hanya tunduk kepada al-Qur‟an dan
sunnah Rasul, bertakwa kepada Allah, membuang semua kebiasan buruk berupa
amalan, keinginan, perasaan, kepercayaan, pendapat, dan semua yang ada di hati
merupakan jalan membersuhkan jiwa dan melawan hawa nafsu.13
Kelompok Ayat 2
13
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI Uhamka,
2009). Cet 1. h. 441-442
36
Menggempur hawa nafsu mencintai harta benda QS al-Fajr ayat 17-23,
agar siapapun memikirkan akibat yang akan diterima di hadapan Allah bila
manusia lupa menjalankan perintah surat al-Ma‟un.
Kelompok Ayat 3
Orang yang mendustakan agama. Sebelumnya dijelaskan cara mempelajari
al-Qur‟an. Menurut K.H. Ahmad Dahlan, dimulai membaca satu, dua, tiga ayat
dengan benar, memahami artinya satu demi satu, lalu memahami tafsir dan
keterangan-keterangan didalamnya, mendalami makna yang tersurat-tersirat. Bila
isinya berupa larangan, sesegera mungkin ditinggalkan. Bila di dapati perintah
wajib, sesegera mungkin dilaksanakan sungguh-sungguh.
Orang yang mendustakan agama adalah orang yang menghambakan hawa nafsu,
mencintai harta benda berlebihan, tidak memperhatikan nasib anak yatim dan
enggan membantu orang miskin. Orang itu akan dimasukkan ke neraka, walaupun
telah mengaku melaksanakan shalat dengan baik, QA al-Ma‟un ayat 1-7.14
Kelompok ayat 4
Beragama lurus kepada Allah sebagai kecenderungan ruhani untuk
berpaling meninggalkan nafsu, menjadi suci, bersatu dari tawanan benda-benda,
naik ketingkat kesempurnaan ruhani. Jiwanya menghadap Allah dan berpaling
dari yang lainnya, bersih tanpa terpengaruh apapun hanya tertuju kepada Allah.15
Kelompok ayat 5
Pembebasan
kemiskinan
penderitaan,
diskriminasi.
Ayat
ini
menggoncangkan hati K.H. Ahmad Dahlan untuk melakukan perubahan besar
dalam dirinya, sekaligus mengorbankan hartanya untuk perubahan besar dalam
dirinya, sekaligus mengorbankan hartanya untuk perubahan dan pembaharuan.
Harta bisa menjadi fitnah atau batu ujian dalam kehidupan dunia akhirat, bisa
14
15
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 441-442
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 442
37
menjadi perusak agama, akhlak pribadi, runah tangga, masyarakat dan Negara.
Harta juga bisa menimbulkan kebaikan dan alat untuk mencapai kebahagiaan.16
Kelompok ayat 6
Surat al-Ashr dianggap sangat penting diajarkan sampai 7 bulan kepada
kaum laki-laki tiap jam. 07.00 pagi kepada „Aisyiyah jam 08.00 pagi, setelah
dzuhur kepada para pemudi. Mereka disuruh menulis dan menghapalkannya.
Isinya secara umum adalah pandai mengatur waktu dengan benar, dimulai dengan
memperhatikan waktu sebagai awal dan akhir pekerjaan agar manusia dapat
mencari kenikmatan dunia akhirat.17
Kelompok ayat 7
Iman, Islam dengan benar, bebas dari syirik, bid‟ah, dan khurafat. Iman
akan diuji, iman dihanti mempengaruhi perasaan pikiran, kemauan serta sifat-sifat
utama: melimpahkan budi luhur, mendorong berani berkurban jiwa raga harta
membela agama Allah. Orang mukmin harus sabar, teguh, kuat menerima ujian
dan cobaan.18
Kelompok ayat 8
Beramal shaleh, senantiasa memperhatikan hidup dalam iman, Islam dan
ihsan.19
Kelompok ayat 9
Saling menasihati dalam kebenaran, QS al-Ashr ayat 1-3, bagian-bagian
pentung dalam dirinya, bersama lingkungannya, dan sesamanya. Saling
menasehati dalam kebenaran ini diartikan sebagai upaya untuk melakukan kritik
yang konstruktif, bukan untuk mencari kesalahan orang lain, dalam usaha
16
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 447
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 448
18
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 449
19
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 450
17
38
memperbaiki kehidupan, agar manusia tidak tersesat, dan membahayakan bagi
kehidupan manusia, individual maupun kolektif.20
Kelompok ayat 10
Wasiat kepada kesabaran disamping iman dan amal shaleh selama tujuh
buah surat al-Ashr ini dibacakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam setiap
pertemuan dengan siapapun.21
Kelompok ayat 11
Berjihad dengan harta benda dan jiwa demi kemerdekaan Indonesia dari
penjajahan, penindasan, kebodohan dan kemerosotan moral. Jihad adalah
perjuangan meraih sukses hidup di dunia-akhirat dengan selalu menguji kesabaran
dan pahit getirnya perjuangan. Perjuangan yang sungguh-sungguh belum tentu
berhasil, dilakukan tanpa henti, simultan apalagi bila tanpa adanya upaya
secukupnya. Oleh karena itu, jihad dalam hal ini bila tidak seluruhnya dibenarkan,
sekali waktu juga harus dengan menggunakan jiwa raga dan persenjataan bila
perlu.22
Kelompok ayat 12
Masuk dan berada dalam Islam secara penuh. Penyerahan total manusia
kepada Allah itu menjadi syarat mutlak bagi kehidupan umat beragama secara
mutlak seperti yang telah dilakukan nabi Ibrahim, Muhammad dan para sahabat
besar terdahulu.23
Kelompok ayat 13
Berbuat kebajikan kepada seluruh isi alam. Berbuat kebajikan, al-birr,
berarti iman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab, dan beberapa nabi. Al-Birr,
juga berarti memberikan harta yang dicintainya kepada sanak kerabat, anak yatim,
20
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 452
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 454
22
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 455
23
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 457
21
39
fakir miskin, ibn sabil para peminta-minta, pembebasa budak. Mendirikan shalat,
membayar zakat, menepati janji, sabar dan lapang dada dari kesempitan.24
Kelompok ayat 14
Perbuatan manusia diikuti oleh balasan kebajikan maupun keburukan
diakherat, al-Qari‟ah, ketika dimaknai “hari kiamat” memberikan konteks bahwa
di ujung kehidupan dunia ini ada lagi kehidupan dunia ini ada lagi kehidupan
yang abadi sebagai tempat menerima sebagai tempat menerima upah kebajikan
maupun keburukan ketika hidup di dunia.25
Kelompok ayat 15
Beramal merupakan kelanjutan dari perbuatan lisan dan pemahaman.
Pemahaman tentang kebenaran, termasuk iman, dimulai dari kesadaran diri
sehubungan dengan perintah-perintah Allah yang harus dikerjakan dan laranganlarangan Allah yang harus ditinggalkan.26
Kelompok ayat 16
Menjaga diri dari api neraka, tidak boleh lupa melaksanakan kewajiban
dan meninggalkan laranganya baru menyuruh orang lain. Jika hanya pandai
menyuruh tanpa bisa melaksanakannya sendiri, sebenarnya ia lupa diri mengikuti
kesenangan duniawi dan hawa nafsu.27
Kelompok ayat 17
Surat al-Hadid ayat 16. Sudah waktunya mengingat Allah dengan khusyu‟
dalam dzikir, fakir, dan tindakan K.H. Ahmad Dahlan terbebani dengan
pertanyaan-pertanyan yang diajukan oleh al-Qur‟an tersebut dan dicoba dengan
menjatuhi zaman yang terjadi saat beliau hidup.28
24
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 458
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 458-459
26
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 459
27
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 460
28
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 461
25
40
4. Kontribusi pendidikan K.H. Ahmad Dahlan terhadap masyarakat
Banyak aktivitas yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan dalam hubungannya
dengan pendidikan Islam. Aktivitas K.H. Ahmad Dahlan tersebut antara lain:
1. Mengubah dan membetulkan arah kiblat yang tidak tepat menurut
mestinya.
Umumnya masjid-masjid dan langgar-langgar di Yogyakarta menghadap
Timur dan orang-orang shalat menghadap kearah Barat lurus. Padahal kiblat yang
sebenarnya menuju ka‟bah dari tanah Jawa haruslah miring ke Utara kurang-lebih
24 derajat dari sebelah Barat. Berdasarkan ilmu pengetahuan tentang ilmu falak
itu. Orang tidak boleh menghadap kiblat menuju barat lurus, melainkan harus
miring ke Utara kurang-lebih 24 derajat. Oleh sebab itu, K.H. Ahmad Dahlan
mengubah bangunan pesantrennya sendiri, supaya menuju kearah kiblat yang
betul. Perubahan yang diadakan oleh K.H. Ahmad Dahlan itu mendapat
tanmtangan keras dari pembesar-pembesar masjid dan kekuasaan kerajaan.
2. Mengajarkan dan menyiarkan agama Islam dengan populer bukan saja
di pesantren.
Melainkan ia pergi ketempat-tempat lain dan mendatangi berbagai
golongan. Bahkan dapat dikatakan bahwa K.H. Ahmad Dahlan adalah bapak
Mubalig Islam di Jawa Tengah. Sebagaimana Syekh M. Jamil Jambek sebagai
bapak Mubaligh di Sumatera Tengah.29
3. Membebaskan masyarakat Islam dari khurafat, bid‟ah, dan tahayul
K.H. Ahmad Dahlan hidup pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Zaman itu merupakan zaman peralihan artinya, kebiasan hidup pada abad ke-19
yang sudah berlalu, ternyata masih berlaku. Pandangan dan kebiasaan pada abad
29
Hamdani Ihsan dan H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka
Setia 2007). H. 276
41
ke-20 yang merupakan zaman baru, sudah mulai tampak dan berkembang dalam
masyarakat.30
Pada tahun 1902, ketika K.H. Ahmad Dahlan berusia 34 tahun, ia
berangkat untuk kedua kalinya ke Makkah. Ketika itu beliau hanya bermukim dua
tahun. Tetapi, waktu pendek itu beliau pergunakan dengan secermat-cermatnya.
Kepergiannya ke Tanah Suci itu untuk memperkuat pendiriannya dalam
pembaharuan pengalaman agama Islam.\Diyakini, bahwa selama tinggalnya di
kota suci Makkah itulah Ahmad Dahlan bertemu dengan ide-ide pembaruan Islam
yang dipelopori Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.31
Pada tahun 1904 K.H. Ahmad Dahlan pulang ketanah air. Hati dan
pikirannya penuh semangat untuk segera membebaskan masyarakat Islam
Indonesia dari berbagai hambatan, seperti kebekuan, kemandekan, dan
kemunduran yang merugikan. 32
4. Mengajar
K.H. Ahmad Dahlan mendirikan persyerikatan Muhammadiyah secara
bertahap dan berencana. Mula-mula K.H. Ahmad Dahlan mempraktikan dahulu
apa yang selalu dikemukakannya. K.H. Ahmad Dahlan selalu menganjurkan agar
pengajaran agama meninggalkan cara lama dan memulai cara baru dan para Kiai
giat mendatangi murid dan tidak hanya menunggu datangnya santri di pesantren
atau suraunya. K.H. Ahmad Dahlan memberi contoh langsung mengajar dasar
agama Islam diberbagai sekolah negeri, seperti Sekolah Guru (Kweekschool) di
Jetis, Yogyakarta, dan sekolah Pamong Praja atau Osvia (Opleiding School Voor
Inlandsche Ambtenaren).
30
Mardanas Safwan dan Sutrisno Kutoyo, K.H. Ahmad Dahlan Riwayat Hidup dan
Perjuangan,(Jakarta: Mutiara Sumber Widya 1999), h. 14
31
Abuddin Nata,Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,(Jakarta: Raja
Grapindo Persada) h. 99
32
Mardanas Safwan dan Sutrisno Kutoyo , K.H. Ahmad Dahlan Riwayat Hidup dan
Perjuangan, h. 37
42
K.H. Ahmad Dahlan sengaja mengajar para pemuda dan terutama para
pelajar karena mereka di masa depan akan menjadi pemimpin bangsa.33
5. Mendirikan Organisasi
Dalam membahas gerakan pembaruan pendidikan Islam di Jawa dan
Indonesia pada umumnya, gagasan utama K.H. Ahmad Dahlan tidak dapat
dipisahkan dari motivasi didirikannya Muhammadiyah, terutama dengan gagasan
pembaruan organisasi tersebut. Dalam usaha yang dilakukan Dahlan untuk
memasukan pendidikan keagamaan kedalam sekolah sekuler Barat bersamaan
dengan usaahanya memasukan materi pengajaran umum ke pesantren serta
usahanya untuk merintis lembaga pendidikan madrasah. Melalui usaha-usahanya
itu Dahlan mencita-citakan terbentuknya integrasi aqidah dan intelektual dalam
diri anak didik.
Gagasan pembaruan Pendidikan Dahlan itu erat kaitanya dengan gagasan
Muhammadiyah yang lahir dari persoalan adanya kenyataan tentang problematika
pendidikan di kalangan orang pribumi yaitu terjadinya keterbelakangan
pendidikan yang akut karena adanya dualisme model pendidikan yang masingmasing memiliki akar dan kepribadian yang bertolak belakang. Di satu pihak,
pendidikan Islam yang berpusat di pesantren mengalami kemunduran karena
terisolasi dari perkembangan pengetahuan dan perkembangan masyarakat modern,
di pihak lain sekolah model Barat bersifat sekuler dan a-nasional, mengancam
kehidupan batin para pemuda pribumi karena di jauhkan dari agama dan budaya
negerinya.
Melihat kenyataan itu Dahlan berusaha untuk melakukan reformulasi
gagasan tentang pendidikan dan melakukan reformulasi teknik dalam bidang
pendidikan. Keinginan Dahlan dalam bidang pendidikan berkembang selama
mengajar di pondoknya setelah pulang dari Makkah pada tahun 1905, kemudian
di dorong dengan berdirinya organisasi Muhammadiyah. Gagasan Dahlan tentang
pembaruan bidang pendidikan sangat didorong oleh ajaran agama. Sebagaimana
33
Mardanas Safwan dan Sutrisno Kutoyo, K.H. Ahmad Dahlan Riwayat Hidup dan
Perjuangan, h. 41
43
telah kita ketahui, ayat Al-Qur‟an yang pertama kali diwahyukan Allah kepada
Muhammad dimulai dengan kata “Iqra”, yang artinya “bacalah”.34
Upaya mewujudkan visi, misi dan tujuan pendidikan sebagaimana tersebut
diatas dilaksanakanlah lebih lanjut melalui organisasi Muhammadiyah yang
didirikannya. Salah satu program unggulan organisasi ini adalah bidang
pendidikan.35
Dari sudut pandang keagamaan sesungguhnya pendirian Muhammadiyah
yang dipetik dari gagasan asli Dahlan adalah:
1. Pendidikan Moral/ akhlaq, yaitu sebagai usaha menanamkan karakter
manusia yang baik berdasarkan Al-Qur‟an dan Sunnah
2. Pendidikan individual, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesadaran individual yang utuh, yang berkesimbangan antara
perkembangan mental dan jasmani, antara keyakinan dan intelektual,
antara perasaan dengan akal fikiran, serta antara dunia dengan akhirat.
3. Pendidikan kemasyarakatan, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.36
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi K.H. Ahmad Dahlan mendirikan
Muhammadiyah ini:
1. Umat Islam tidak memegang tuntunan Al-Qur‟an dan hadits sehingga
menyebabkan perbuatan syirik, bid‟ah, khurafat semakin merajalela
serta mencemarkan kemurnian ajarannya.
2. Keadaan umat Islam sangat menyedihkan akibat penjajahan
3. Kegagalan institusi pendidikan Islam untuk memenuhi tuntutan
kemajuan zaman merupakan akibat dari mengisolasi diri
4. Persatuan dan kesatuan umat Islam sebagai akibat lemahnya organisasi
Islam yang ada
5. Munculnya tantangan dari kegiatan misi Zending yang dianggap mengancam
masa depan umat Islam.37
34
Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta, Departemen Agama RI, I982), h. 359.
Abuddin Nata,Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grapindo Persada) h. 103
36
MT Arifin, Gagasan Pembaruan Muhammadiyah, op. cit. h. 205-206.
37
Hasbullah, dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta:Raja Grafindo Persada). Edisi revisi
h. 270-271
35
BAB IV
PERBANDINGAN KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT K.H.
HASYIM ASY’ARI DAN K.H. AHMAD DAHLAN
A. Pendidikan Islam Menurut K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad
Dahlan
1. Pendidikan Islam Menurut K.H. Hasyim Asy’ari
Pemikiran kependidikan seseorang atau suatu aliran dipengaruhi secara
kuat oleh pandangannya tentang manusia. Meskipun semua pemikir atau semua
aliran mengakui peranan sentral manusia dalam proses pendidikan, tetapi satu
sama lain cenderung memperlihatkan perbedaan dalam memandang siapakah
manusia itu. Atas dasar pandangan masing-masing mengenai aspek yang satu ini,
setiap pemikiran kemudian memberikan tekanan dan corak yang berbeda pula
dalam memandang dan merumuskan aspek-aspek lain dalam pendidikan,
termasuk aspek peserta didik.1 Untuk berusaha menjawab asumsi diatas ternyata
yang ditemukan dalam konsep K.H. Hasyim Asy’ari adalah sama-sama
menyajikan tentang Ulama. Mereka sama-sama berpendapat bahwa ulama sebagai
simbol manusia secara umum dijadikan tipologi makhluk terbaik (khair albariyyah), sehingga derajatnya setingkat lebih rendah di bawah nabi. Alasan yang
1
Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari., (Jakarta: Lekdis, 2005), h. 60-
61
44
45
paling mendasar adalah karena ulama sangat dekat (taqwa) dan yang paling takut
(khasyyah) kepada Allah SWT. Selain itu, K.H. Hasyim Asy’ari memaparkan
tingginya penuntut ilmu dan ulama dengan mengetengahkan dalil bahwa Allah
mengangkat derajat orang yang berilmu dan beriman.2
Pemikiran pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari dapat dimasukan kedalam
garis mazhab Syafi’iyyah. Bukti kuat untuk menunjukan hal itu adalah K.H.
Hasyim Asy’ari sering kali mengutip tokoh-tokoh Syafi’iyyah, ternasuk imam
Syafi’i sendiri, ketimbang tokoh-tokoh mazhab lain. Menurut Abd al- Muidz
Khan, dengan mengungkapkan ide-ide tokoh mazhab yang dianutnya, hampir
dapat dipastikan itu memberi pengaruh terhadap pemikiran kependidikannya.3
Bagi K.H. Hasyim Asy’ari, keterpengaruhan dirinya terhadap tokoh-tokoh
mazhab Syafi’iyyah agaknya dimungkinkan oleh faktor pengalaman pendidikan,
terutama sebelum keberangkatannya ke Makkah. Sebagaimana tergambarkan
didalam biografi K.H. Hasyim Asy’ari, ia pada mulanya memperoleh pendidikan
keagamaan dari ayahnya, Abd al-Wahid, dan beberapa kyai pesantren di Jawa.
Beberapa kyai itu merupakan penganut mazhab Syafi’i. Dengan demikian, K.H.
Hasyim Asy’ari menganut mazhab Syafiiyah itu sangat dimungkinkan.
Kecenderungan lain dalam pemikiran K.H. Hasyim Asyari adalah
mengetengahkan nilai-nilai estetika yang bernafaskan sufistik. Kecendrungan
kedua tokoh ini dapat terbaca dalam gagasannya, misalnya dalam tujuan menuntut
ilmu dan aspek lainnya. Untuk sekedar meyakinkan hal itu dapat dikemukakan
bahwa bagi k.H. Hasyim Asyari, keutamaan ilmu yang sangat istimewa adalah
bagi orang yang benar-benar Lillahi Taala. Kemudian, ilmu dapat diraih jika jiwa
orang yang mencari ilmu tersebut suci dan bersih dari segala sifat yang jahat dan
aspek-aspek keduniawian.
Kecendrungan ini merupakan wacana umum bagi literatur-literatur kitab
kuning yang tidak bisa dihindari dari persoalan-persoalan sufistik yang secara
umum merupakan bentuk replikasi atas prinsip-prinsip sufisme al-Ghazali.
2
3
Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari, h. 65-66
Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari, h. 60-61
46
Terbukti bahwa konsep-konsep yang ditawarkan al-Ghazali terutama dalam
karyanya, Ihya’ Ulum al-Din. 4
Bagi K.H. asyim Asy’ari, ilmu pengetahuan itu lebih ditekankan pada
klasifikasi ilm’ fardlu ’ain. Yang menurutnya terbagi ke dalam empat macam.
Pertama, ilmu pengetahuan dzatiyah ketuhanan, yakni suatu ilmu pengetahuan
yang mampu meyakinkan bahwa Allah itu ada (maujud), dahulu (qadim), dan
kekal (baqi). Kedua, ilmu pengetahuan shifatiyah ketuhanan, suatu ilmu
pengetahuan yang mampu meyakinkan bahwa Allah itu berkuasa (qudrah),
berkehendak (iradah), mengetahui (’ilm), hidup (hayat), mendengar (sama),
melihat (bashar), dan bicara (kalam). Ketiga, ilmu pengetahuan fiqh, yaitu ilmu
pengetahuan yang mampu memberi pemahaman tentang tata cara ibadah secara
eksoterik. Keempat, ilmu ahwal dan maqamat serta Ilmu pengetahuan tentang
kondisi jiwa. Ilmu terakhir agaknya lebih merujuk pada ilmu tashawuf.
Sungguhpun sistem klasifikasi ilmu pengetahuan ini relatif berbeda,
namun agaknya sebagaimana pengakuan K.H. Hasyim Asy’ari klasifikasi itu
merujuk pada pendapat Imam al-Ghazali. Dengan demikian, yang menjadi sumber
rujukan dalam pembagian ilmu pengetahuan oleh K.H. Hasyim Asy’ari adalah
Imam al-Ghazali. 5
2. Pendidikan Islam Menurut K.H. Ahmad Dahlan
Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan
kehidupan manusia. John Dewey mengatakan, bahwa pendidikan sebagai salah
satu kebutuhan, fungsi sosial, sebagai bimbingan, sarana pertumbuhan yang
mempersiapkan dan membukakan serta membukakan disiplin hidup. Pernyataan
ini setidaknya mengisyaratkan bahwa bagaimanapun sederhananya suatu
komunitas tersebut akan ditentukan aktivitas pendidikan didalamnya. Sebab
pendidikan secara alami sudah merupakan kebutuhan hidup manusia.6
Pengertian pendidikan, banyak sekali para ahli yang memberi batasannya,
tetapi paling tidak, secara umum, berarti pendidikan suatu proses pengubahan
4
Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari, h. 61-63
Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari, h. 64
6
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Raja Grapindo Persada
1996),cet. 2, h. 67
5
47
sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses
perbuatan,dan cara-cara mendidik. Secara khusus, penggunaan istilah pendidikan
Islam dalam konteks ini berarti proses pentransferan nilai yang dilakukan oleh
pendidik, yang meliputi proses pengubahan sikap dan tingkah laku serta kognitif
peserta didik, baik secara kelompok maupun individual kearah kedewasaan yang
optimal melibatkan seluruh potensi yang dimilikinya sehingga diharapkan peserta
didik mampu mempungsikan dirinya sebagai hamba maupun khalifah fil ard
dengan tetap berpedoman pada ajaran Islam.7
Secara terminologis, menurut Mohammad Labib an-Najihi, pemikiran
pendidikan Islam adalah aktivitas pikiran yang teratur dengan mempergunakan
metode
filsafat.
Pendekatan
tersebut
dipergunakan
untuk
mengatur,
menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan dalam sebuah sistem yang
integral.
Dengan berpijak pada devinisi diatas, yang dimaksud dengan pemikiran
pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan qolbu yang dilakukan
secara sungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam
pendidikan Islam dan berupaya untuk membangun sebuah paradigma pendidikan
yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan peserta didik
secara paripurna. Melalui upaya ini diharapkan agar pendidikan yang ditawarkan
mampu berapresiasi terhadap dinamika peradaban modern secara adaptik dan
proporsional, tanpa harus melepaskan nilai-nilai Illahiyah sebagai nilai dari warna
dan nilai kontrol. Melalui pendekatan ini dimungkinkan akan menjadikan
pendidikan Islam sebagai sarana efektif dalam mengantarkan peserta didik sebagai
insan intelektual dan insan moral secara kaffah.8
Pendidik adalah orang yang mampu memahami kitab-kitab keagamaan
yang sulit dan mampu mengajarkan kepada pihak lain.9
7
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah,2009), cet. 1 h. 3
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, cet. 1, h. 3-4
9
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, cet. 1, h. 13
8
48
Format pembaharuan dalam Islam perserikatan Muhammadiyah dalam
bidang pendidikan Islam, tercermin dan dapat dilihat dari ide-ide dasar yang
merupakan cita-cita penyelenggaraan pendidikan, seperti yang dituturkan
pendirinya yaitu konsepsi kyai intelek dan intelek kyai kepada beberapa muridnya
ia menegaskan dengan kata-kata:
”Dadiyo Kyai sing kemajuan, lan kanggo Muhammadiyah”Yang artinya,
jadilah ulama yang berpikir maju, dan jangan berhenti untuk kepentingan
pengabdian kepada organisasi Muhammadiyah.
Konsep tentang kyai intelek dan intelek kyai sebagai tujuan yang hendak
dicapai dari produk pendidikan Muhammadiyah, mengandung maksud bahwa
pendidikan diarahkan dalam pembentukan manusia muslim yang sempurna baik
budi pekertinya, patuh dan alim dalam melaksanakan ajaran agamanya, luas
dalam pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan dan bersedia berjuang
untuk kemajuan masyarakatnya.
Sebagi organisasi dakwah dan pendidikan, persyarikatan Muhammadiyah
mengharapkan agar dapat membentuk manusia muslim yaitu manusia yang
beridentitas Islam dengan ciri khas dapat mengamalkan ajaran Islam yang
bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Tujuan
penyelenggaraan
pendidikan
dikalangan
persyarikatan
Muhammadiyah adalah mernanamkan semangat Islam (spirit of Islam) dalam
nuansa
wawasan
keilmuan
(science).
Sehingga
hasil
dari
pendidikan
Muhammadiyah adalah manusia-manusia yang berhati penuh dengan iman dan
taqwa.10
B. Kurikulum Pendidikan Islam menurut K.H. Hasyim Asy’ari dan Ahmad
Dahlan
1. Kurikulum Pendidikan Islam menurut K.H. Hasyim Asy’ari
Kurikulum secara garis besarnya dapat diartikan dengan seperangkat
materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada murid sesuai dengan
10
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI Uhamka,
2009). Cet 1. h. 358-359
49
tujuan pendidikan yang akan dicapai. Oleh karena itu materi kurikulum akan
selalu mengalami perubahan dari masa kemasa. Bahkan untuk setiap bangsa yan
mempunyai tujuan pendidikan yang berbeda, akan memiliki kurikulum
pendidikan yang berbeda pula. Menurut K.H. Hasyim Asy’ari materi-materi ilmu
pengetahuan yang dipelajari secara hirarkis adalah sebagai berikut: al-Qur’an,
tafsir, hadist, Ulumul Hadist, Ushul Fiqih, Nahwu, dan Sorrof. Penyajian materi
demikian sesungguhnya selaras dengan perkembangan pemikiran kependidikan
kontemporer. Sayyid Naquib al- Attas, misalnya, memaparkan bahwa ilmu
pengetahuan terbagi menjadi dua: Pertama, adalah ilmu dasar untuk pembinaan
jiwa, dan ilmu perlengkapan yang digunakan untuk kepentingan dirinya didunia
guna memenuhi tujuan-tujuannya yang pragmatis. Materi al-Qur’an, Hadist, dan
ilmu keagamaan lainnya merupakan materi inti dalam pembentukan jiwa dan
kepribadian manusia yang merupakan jenis pengetahuan yang pertama. Sayyid
Naqaib al-Attas, penggagas islamisasi ilmu pengetahuan dari Malaysia,
menyatakan: ”the holy Qur’an, the Sunnah, The Shariah, Ilmu al-Ladunni and
Hikmah are the essential ellements of the first kind of knowledge”. Kitab suci alQur’an, al-Hadist, Syariah, ilmu al-Ladunni, dan hikmah adalah unsur-unsur
esensial dari pengetahuan macam pertama itu. Bahkan ditegaskan” the holy
Qur’an, the knowledge, par ekselence. Al-Qur’an adalah pengetahuan paling baik.
Jika dilahat dari aspek kandungan dalam kontek pemikiran kependidikan K.H.
Hasyim Asyari, secara esensial dapat disimpulkan bahwa peserta didik harus
mampu mengaplikasikan pengetahuan dengan kesatuan aksi yang menjunjung
tinggi nilai-nilai ahlak yang luhur secara integratif. 11
Bagi K.H. Hasyim Asy’ari, kurikulum yang penting dan mulia haruslah
didahulukan ketimbang kurikulum lainnya. Ini artinya bahwa peserta didik dapat
melakukan kajian terhadap kurikulum secara hirarkis.
Dalam pada itu, K.H. Hasyim Asy’ari memprioritaskan kurikulum alQur’an daripada lainnya. Mengedepankan kurikulum al-Qur’an ini agaknya tepat.
Sebab, sebagaimana pendapat Muhammad Faisal Ali Sa’ud, kurikulum al-Qur’an
merupakan ciri yang membedakan antara kurikulum pendidikan Islam dengan
11
Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari, h. 76-77
50
kurikulum pendidikan lain. Hal ini dikuatkan oleh Muhammad Fadhil al-Jamili
bahwa ”al-Qur’an al-Karim adalah kitab terbesar yang menjadi sumber filsafat
pendidikan dan pengajaran bagi umat Islam. Sudah seharusnya kurikulum
pendidikan Islam disusun sesuai dengan al-Qur’an al-Karim, dan ditambah
dengan al-Hadits untuk melengkapinya.12
2. Kurikulum Pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan
Pengertian kurikulum yang dikemukakan oleh para ahli sangat bervariasi,
tetapi dari beberapa definisi itu dapat ditarik benang merah, disatu pihak ada yang
menekankan pada isi pelajaran atau mata kuliah, dan dilain pihak lebih
menekankan pada proses pengalaman belajar.
Pengertian yang lama tentang kurikulum lebih menekankan pada isi
pelajaran atau mata kuliah, dalam arti sejumlah mata pelajaran disekolah atau
perguruan tinggi, yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tungkat
juga keseluruhan mata pelajaran yang disajikan oleh suatu lembaga pendidikan.
Menurut al-Syaibany terbatas pada pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau
institusi pendidikan dalam bentuk pelajaran atau kitab karya ulama terdahulu,
yang dikaji begitu lama oleh peserta didik dalam tiap tahap pendidikannya.13
Definisi yang tercantum dalam undang-undang Sisdiknas No. 2/ 1989. Definisi
kukrikulum yang tertuang dalam undang-undang sisdiknas no 20/2003
dikembangkan kearah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.14 Dengan
demikian, ada tiga komponen yang termuat dalam kurikulum, yaitu tujuan, isi dan
bahan pelajaran, serta cara pembelajaran, baik yang berupa strategi pembelajaran
maupun evaluasinya.
Pendidikan yang dikembangkan persyarikatan Muhammadiyah tidak
hanya menitik beratkan segi-segi moral dan keagamaan saja, akan tetapi juga
12
Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari, h. 101-102
Muhaimin, Pengembangan kurikulum Pendidikan Agam Islam Di Sekolah, Madrasah,
Perguruan Tinggi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 1-2.
14
Muhaimin, Pengembangan kurikulum Pendidikan Agam Islam Di Sekolah, Madrasah,
Perguruan Tinggi, h. 2
13
51
mengembangkan kecerdasan, intelektual. Oleh karena itu, muatan kurikiulum
dalam sekolah Muhammadiyah lebih memberikan muatan yang lebih besar
kepada ilmu-ilmu umum, sedangkan dalam aspek keagamaan minimal alumni
sekolah Muhammadiyah dapat melaksanakan shalat lima waktu, dan shalat-shalat
suanatnya, membaca kitab suci al-Qur’an dan menulis huruf Arab mengetahui
prinsip-prinsip akidah dan dapat membedakan bid’ah, khurafat, syirik dan muslim
yang muttabi’ dalam pelaksanaan ibadah.
Jalur pendidikan yang dikembangkan warga Muhammadiyah meliputi
jalur sekolah atau madrasah dan jalur luar sekolah. Jalur sekolah yang terdiri dari
Madrasah Muallimin Muhammadiyah dan sekolah umum dengan menambah
pelajaran agama Islam berkisar antara 10-15 % dalam kurikulumnya.
Sedangkan jalur luar sekolah diselenggarakan kursus-kursus yang khusus
memberikan pelajaran agama Islam, seperti kursus Mubalighin, Wustho
Muallimin, Zu’ama, Zaimat dan majlis-majlis taklim.
Lembaga pendidikan madrasah yang sebelumnya merupakan pondok
pesantren Muhammadiyah memberikan pelajaran agama dan ilmu umum secara
bersama-sama. Adapun pendidikan agama yang diajarkan terutama yang
bersumber dari kitab-kitab fiqih dari madzhab Imam Syafi’i, ilmu tasawuf
karangan Imam Ghazali, tauhid dari kitab Risalah Tauhid dan kitab Tafsir Jalalain
dan tafsir al-Manar. Sedangkan pengetahuan umum meliputi ilmu sejarah, ilmu
hitung, menggambar, bahasa Melayu, bahasa Belanda dan bahasa Inggris.15
C. Metode Pendidikan Islam Menurut K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H.
Ahmad Dahlan
1. Metode Pendidikan Islam Menurut K.H. Hasyim Asy’ari
Metode belajar bagi peserta didik yang ditawarkan oleh K.H. Hasyim
Asyari adalah metode hapalan. Metode ini lebih diprioritaskan ketimbang dengan
metode lain, seperti diskusi. Sebagaimana dikatakan oleh kiayi H. Hasyim Asyari
bahwa hapalan adalah sangat penting dalam peroses pembelajaran, sebab ilmu
15
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 370-371
52
didapat bukan dari catatan-catatan di buku, karena hal demikian mempunyai
dampak yang kurang baik. Agaknya penekanan metode belajar pada hapalan ini
selain sebagai salah satu karakteristik tradisi Syafiiyah juga menjadi salah satu ciri
umum dalam pendidikan tradisi Islam. Menurut Asma Hasan Fahmi, hal ini ”
disebabkan karena keterpengaruhan dalam masa yang sangat panjang dengan apa
yang terjadi pada masa Islam yang pertama, dimana orang berpegang lebih
banyak kepada hapala daripada tulisan, karena sedikitnya orang yang mengetahui.
Sebagai mana diketahui bahwa orang arab sangat terkenal daya hapalan dan daya
ingat sebagai akibat dari latihan dan peraktek sepanjang hidup mereka”.
Metode hapalan memang kurang memberi kesempatan kepada akal untuk
mendaya gunakan secara maksimal dalam penajaman proses berfikir. Namun,
disisi lain, hapalan sesunggunya menantang kemampuan memori akal untuk selalu
aktif dan konsentrasi denga pengetahuan yang didapat.16
Setelah menyimak kurikulum Pendidikan Islam, agaknya perlu diketahui
bagaimana cara menerapkan pendidikan itu sendiri, hingga materi kurikulum yang
dapat diberikan dapat ditransferkan kepada anak didik. Materi yang baik bukan
merupakan jaminan bagi keberhasilan pendidikan. Dapat saja materi kurikulum
yang baik akan berakibat buruk bagi anak didik, jika dalam pelaksanaan
pendidikan digunakan metode yang keliru.17
Metode dapat diartikan sebagai cara untuk menyampaikan materi pelajaran
kepada anak didik. Muhammad al-Toumy al-Syaibany mengemukakan beberapa
pendapat para ahli pendidikan Islammengenai definisi metode ini.
Muhammad Athiyah al-Abrasy mendefinisikan metode sebagai jalan yang
kita ikuti untuk memberi paham kepada murid-murid dalam segala macam
pelajaran, dalam segala mata pelajaran. Metode adalah rencana yang kita buat
untuk diri kita sebelum kita memasuki kelas, dan kita terapkan dalam kelas selama
kita mengajar dalam kelas itu. Prof. Abd al-Rahim Ghunaimah menyebut metode
sebagai cara-cara yang diikuti oleh guru untuk menyampaikansesuatu kepada anak
didik. Adapun Edgar Bruce Wesley mendefinisikan metode sebagai kegiatan yang
16
Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari, h. 82-84
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grapindo
Persada 1996),cet. 2, h. 52
17
53
terarah bagi guru yang menyebabkan proses belajar mengajar, hingga pengajaran
menjadi berkesan (Mohammad al-Toumy al-Saibany).18
Muhammad al-Toumy al-Syaibany menyodorkan pembagian metode
dalam pendidikan Islam, yakni metode yang umumnya pernah digunakan dalam
pendidikan Islam, antara lain:
a. Metode induksi (pengambilan kesimpulan)
b. Meode Perbandingan (Qiyasiyah)
c. Metode Kuliah
d. Metode Dialog dan Perbincangan
e. Metode Halaqah
f. Metode Riwayat
g. Metode Mendengar
h. Metode Membaca
i. Metode Imla’
j. Metode Hapalan
k. Metode Pemahaman
l. Metode Lawatan untuk menuntut ilmu.
Uraian diatas menunjukan bahwa metode pendidikan Islam memiliki sifat
yang luwes, sesuai dengan kebutuhan anak didik dan lingkungan zamannya.
Namun demikian, yang menjadi pertimbangan pokok, adalah sumbernya tak dapat
dilepaskan dari falsafah pendidikan Islam. Metode pendidikan Islam disusun atas
dasar pertimbangan sumber.19
2. Metode pendidikan menurut K.H. Ahmad Dahlan
Sejauh ini penulis tidak menemukan metode pendidikan menurut Dahlan.
Pendidikan Islam memiliki dampak yang sangat besar dalam menciptakan dan
menemukan metode pengajaran. Hal ini bisa dibuktikan, dari munculnya metode
ceramah dan metode munadharah (dialogis) dalam pengajaran yang diciptakan
para ulama muslim; dan dengan metode ini bisa dilakukan penyesuaian tingkat
kemudahan materi pelajaran, agar sesuai dengan kemampuan intelektualitas
18
19
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, h. 52-53
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, h. 53
54
murid.20 Pendidikan Islam memiliki dampak yang sangat besar dalam
menciptakan dan menemukan metode pengajaran. Hal ini bisa dibuktikan, dari
munculnya metode ceramah dan metode dialogis dalam pengajaran yang
diciptakan para Ulama muslim dan dengan metode ini bisa dilakukan penyesuaian
tingkat
kemudahan
materi
pelajaran,
agar
sesuai
dengan
kemampuan
intelektualitas murid. Pertama Ibnu Kholdun dan al-Abdari, yang termasuk filosof
muslim, telah menciptakan langkah-langkah pengajaran yang harus dilakukan
para guru. Langkah tersebut diantaranya adalah guru hendaknya menguasai materi
pelajaran yang akan diajarkan secara sempurna, sehingga dapat menjelaskan
berbagai perbedaan pendapat kepada murid, kemudian menjelaskan pendapat
dirinya dalam masalah yang berbeda-beda tadi. Baru setelah itu, ia harus
memberikan peluang kepada muridnya untuk bertanya dan berdialog sebagaimana
yang mereka inginkan.
Metode dialog itu merupakan hasil penting dari hasil pendidikan Islam.
Metode tersebut telah tersebar di berbagai pendidikan Islam, karena ia dianggap
sebagai sarana yang paling penting untuk menciptakan suasana yang
menyenangkan, menciptakan kebebasan dalam berpikir dan berpendapat,
kebebasan dalam berkomunikasi, memperluas wawasan, cekatan dalam berpikir
dan teguh pendirian. Metode tersebut diatas, telah ditunjukkan oleh tokoh-tokoh
Islam dengan memberikan pengetahuan yang mudah dalam satu pelajaran, dengan
memperhatikan perbedaan-perbedaan kemampuan dan kecendrungan individu
diantara anak. Damun demikian, materi yang mudah tadi juga harus
mempertimbangkan kesesuaian dengan kecendrungan anak, sangat bertalian
dengan
kehidupannya,
lingkungannya.
20
dan
memperjelas
pemahaman
anak
terhadap
21
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 60-61
Athiyah al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1996), cet.ke- 1, h. 52-54.
21
55
D. Relevansi pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan
pada masa sekarang
Pendidikan Islam pada periode sebelum Indonesia merdeka ditandai
dengan munculnya dua model pendidikan, yaitu pertama, pendidikan yang
diberikan oleh sekolah-sekolah Barat yang sekuler dan tidak mengenal ajaran
agama; dan kedua, pendidikan yang diberikan oleh pondok pesantren yang hanya
mengenal agama saja.
Hasil penelitian Steenbrink menunjukan bahwa pendidikan kolonial
tersebut sangat berbeda dengan pendidikan Islam Indonesia yang tradisional,
bukan saja dari segi metode, tetapi lebih khusus dari segi isi dan tujuannya.
Pendidikan yang dikelola oleh Belanda khususnya berpusat pada pengetahuan dan
ketrampilan duniawi, yaitu pendidikan umum. Adapun lembaga pendidikan Islam
lebih menekankan pada pengetahuan dan ketrampilan yang berguna bagi
penghayatan agama. 22
Pada tingkat permulaan, isi pendidikan Islam meliputi belajar membaca
al-Qur’an, praktik sholat, pelajaran ketuhanan, fiqih, dan ushul fiqih. Menurut
Mahmud Yunus, bahwa isi pendidikan Islam pada pondok pesantren meliputi
pengajian al-Qur’an, ilmu nahwu, sharaf, fiqih dengan kitab ajurmiah, matan bina,
fathul qorib, dan sebagainya.
Dengan demikian fungsi pendidikan Islam adalah melestarikan dan
mempertahankan nilai-nilai Ilahi dan insani sebagaimana terkandung dalam kitabkitab ulama terdahulu. Fungsi tersebut melekat pada setiap komponen aktivitas
pendidikan Islam. Hakikat tujuan pendidikan Islam adalah terwujudnya
penguasaan ilmu agama Islam sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab ulama
terdahulu
serta
tertanamnya
perasaan
beragama
yang
mendalam
dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bersamaan dengan lahirnya madrasah-madrasah berkelas yang muncul
sejak tahun 1909. menurut penelitian Mahmud Yunus, pendidikan Islam yang kali
pertama memiliki kelas dan memakai bangku, meja, dan papan tulis ialah
madrasah Adabiah di padang. Madrasah Adabiyah merupakan madrasah pertama
22
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam,(Jakarta: Amzah 2009), cet. 1, h.12
56
di Minangkabau, bahkan di seluruh Indonesia, yang didirikan oleh Syeh Abdullah
Ahmad pada tahun 1909.23
Hasil penelitian Wirjosukarto menunjukan bahwa Pondok Muhammadiyah
yang berdiri sekitar tahun 1920 telah menggunakan system penyelenggaran
pendidikan modern yang berbeda dengan pondok pesantren lama. Perbedaan
tersebut dapat dilihat dari enam aspek, yaitu pertama, cara mengajar dan belajar,
untuk pesantren lama menggunakan system sorogan dan weton yang hasilnya
dianggap kurang efisien, sedangkan dipondok Muhammadiyah dipergunakan
system klasikal dengan cara-cara Barat yang hasilnya lebih efisien. Kedua, bahan
pelajaran, pada pesantren lama hanya masalah agama semata dan kitab-kitab
karya pembaru tidak digunakan, ssedangkan dipondok Muhammadiyah bahan
pelajaran tetap agama, tetapi juga diajarkan ilmu pengetahuan umum, kitab-kitab
agama dipergunakan secara luas, baik karya ulama klasik maupun ulama modern.
Ketiga, rencana pelajaran, pada pesantren lama belum ada rencana pelajaran yang
teratur dan integral, sedangkan di pondok Muhammadiyah sudah diatur dengan
rencana pelajaran sehiongga efisiensi belajar terjamin. Keempat, pendidikan
diluar waktu-waktu belajar, pada pesantren lama waktu belajar terlalu bebas dan
kurang terpimpin, sedangkan dipondok Muhammadiyah diselenggarakan dalam
asrama yang terrpimpin secara teratur. Kelima, pengasuh pada pesantren lama
para pengasuh
diliputi
oleh alam pikiran
lama, sedangkan dipondok
Muhammadiyah terdiri atas para ulama yang menganut alam pikiran modern.
Keenam, hubungn guru dan murid, pada pesantren lama lebih bersifat otoriter dan
kurang demokratis, sedangkan dipondok Muhammadiyah diusahakan suasana
hubungan antara guru dan murid lebih akrab, bebas dan demokratis.
Untuk membangun upaya tarbiyah (pendidikan ummat manusia) tersebut,
khususnya dinegara Indonesia ini. Maka langkah awal yang digagas Dahlan
adalah gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan
upaya membangun system pendidikan muda Muhammadiyah tersebut, dan juga
untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan
bangsa
ini
23
dengan
membangkitkan
kesadaran
akan
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, cet. 1, h.13-14
ketertindasan
dan
57
ketertinggalan ummat Islam di Indonesia. Strategi yang dipilihnya untuk
mempercepat
dan
memperluas
gagasannya
tentang
gerakan
pendidikan
Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat)
yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekscool
Jetis Yogyakarta, karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah colonial untuk
mengajarkan agama Islam dikedua sekolah tersebut. Dengan mendidik para calon
pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya
tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas
ditengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang
diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan
dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak.
Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal
dengan
Madrasah Muallimin (Kweekscool Muhammadiyah) dan Madrasah
Muallimat (Kweekscool Istri Muhammadiyah). Dahlan mengajarkan agama Islam
dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya. 24
Disamping itu K.H. Hasyim Asy’ari yang telah memperkenalkan pola
pendidikan madrasah di lingkungan pesantren Tebuireng Jombang. Pesantren ini
didirikan pada tahun 1899 yang pengajarannya lebih menitikberatkan pada ilmuilmu agama dan bahasa Arab dengan system sorogan dan bandungan ditingkatkan
dengan menggunakan system klasikal yang terkenal dengan system madrasah.
Dengan demikian posisinya yang sangat sentral dalam jaringan pesantren
di Pulau Jawa maka pembaruan yang terjadi di pesantren Tebuireng tersebut cepat
menyebar kepesantren-pesantren lain, seperti di Kediri, Kudus, Cirebon, dan
Banten. Terlebih-lebih setelah pembentukan organisasi Nahdlatul Ulama pada
tahun 1926 apa yang dilakukan K.H.Hasyim Asy’ari dijadikan model bagi usaha
perkumpulan dalam bidang pendidikan.25
24
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet 1. h. 504-505
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, cet. 1, h.14-16
25
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jika dilahat dari aspek kandungan dalam kontek pemikiran kependidikan
K.H. Hasyim Asyari, secara esensial dapat disimpulkan bahwa peserta didik harus
mampu mengaplikasikan pengetahuan dengan kesatuan aksi yang menjunjung
tinggi nilai-nilai ahlak yang luhur secara integratif.
Konsep pendidikan Islam menurut K.H. Hasyim Asy’ari adalah
mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab, mulai dari tingkatan rendah
sampai tingkatan tinggi,ini di buktikan dengan di bangunnya pondok Pesantren
Tebuireng yang menghasilkan para ulama besar.
Sedangkan konsep pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah
memasukan pendidikan agama Islam ke dalam sekolah-sekolah yang didirkannya.
Ide Dahlan direalisasikan ketika pada tahun 1911 ia membuka sekolah agama di
Kauman dengan metode Barat, yaitu menggunakan kursi, bangku serta kertas,
walaupun penggunaan metode ini bukanlah yang pertama kali. Namun demikian
atas ide Ahmad Dahlan tersebutlah lembaga pendidikan pada waktu itu mulai
mengikuti metode yang diterapkannya, serta memasukan pendidikan agama Islam
sebagai salah satu mata pelajaran yang harus diikuti oleh setiap peserta didik. Hal
tersebut berlangsung hingga sekarang, dimana lembaga-lembaga pendidikan
umum maupun agama menerapkan metode yang diprakarsai oleh K.H. Ahmad
Dahlan yaitu menggunakan kursi serta meja sebagai sarana penunjang belajar.
58
59
B. Saran-saran
1. Penulis menyarankan agar pendidikan agama tidak hanya diutamakan di
pesantren-pesantren tetapi pendidikan agama juga harus mempunyai
kontribusi yang cukup bagi sekolah-sekolah.
2. Untuk para pendidik hendaknya selalu berperan aktif dan bisa menjadi
tauladan dalam menanamkan nilai-nilai religius yang tinggi terhadap para
peserta didik seperti yang telah dilakukan oleh K.H. Hasyim Asy’ari
maupun K.H. Ahmad Dahlan yang telah melahirkan ulama-ulama besar.
DAFTAR PUSTAKA
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah,2009), cet. 1
al-Abrasyi, Athiyah, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1996), cet.ke- 1
Al-Qothan, Manna, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an, (Mesir: Mansyurat Al-Asyrul
Hadits. T.t)
Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta, Departemen Agama RI, I982)
Arifin, H. M., Ilmu Pendidikan Isalm, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), cet. Ke-4
Arifin, H. M., Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
cet. Ke-1
Arifin, MT., Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta:Dunia Pustaka,
1987)
Arikunto, Suharsini, Prosedur Penelitian,
Ashraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, (Pustaka Firdaus1996)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka,1991)
Hasbullah, dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta:Raja Grafindo Persada).
Edisi revisi
Ihsan, Hamdani dan Ihsan, H.A. Fuad, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:
CV Pustaka Setia 2007)
Jalaluddin dan Said, Usman, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Raja Grapindo
Persada 1996),cet. 2
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Al-Majelis Al-A’la AlIndonesia Li Al- Dakwah Al-Islamiyah, 1972), cet. IX
Khuluq, Lathiful, Fajar Kebangunan Ulama, (LKiS Yogyakarta, 2000)
Mauloeng, Lexy J., Metodologi Pendekatan Kualitatif,(Bandung: Remaja
Rosdakarya,2001)
60
61
Muhaimin, Pengembangan kurikulum Pendidikan Agam Islam Di Sekolah,
Madrasah, Perguruan Tinggi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), cet. Ke-1
Nata, Abuddin,Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Raja Grapindo Persada)
Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-dasr Pemikiran Pendidikan Islam,(Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001), cet. 1
Poerwardarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka,
1991)
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI
Uhamka, 2009). Cet 1.
Safwan, Mardanas dan Kutoyo, Sutrisno, K.H. Ahmad Dahlan Riwayat Hidup
dan Perjuangan,(Jakarta: Mutiara Sumber Widya 1999)
Sairin Mth, Weinata., Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, (Jakarta, P;ustaka
Sinar Harapan, 1995), Cet. Ke-1
Salam, Yunus, Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuangannya,
(Jakarta, Depot Pengajaran Muhammadiyah, 1968)
Suja, Muhammadiyah dan Pendirinyaa, cet. Ke-2
Suwendi, Konsep Kependidikan KH. M Hasyim Asy’ari., (Jakarta: Lekdis,
2005)
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004)
Syakib, Arsalan Al Amir, Mengapa Kaum Muslimin Mundur,(Jakarta: Bulan
Bintang, 1954)
Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), cet.
Ke-2
Yunus, Mahmud,
Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia., (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1979),cet ke-2
Download