BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Kemajuan jaman telah membawa Negara Indonesia dalam era globalisasi dimana tingkat perkembangan teknologinya sangat pesat. Perkembangan teknologi tentu saja membawa dampak yang cukup besar bagi Indonesia. Salah satu sektor yang memanfaatkan teknologi tersebut adalah industri periklanan. Industri ini, disukai atau tidak, telah menjadi bagian dari kehidupan kita. Dengan sejuta siasatnya, melalui kekuatan modal, iklan menggempur berbagai ruang yang kita alami dalam keseharian. Ia tidak malu-malu lagi untuk tampil sebagai jaket koran nasional ternama atau menyelinap hingga ke dalam acara televisi. Tetapi kita tidak lagi memandangnya sebagai benda asing yang menyusup dalam kehidupan. Kita telah sedemikian terbiasa hidup bersamanya dan semakin memaklumi keberadaannya. Iklan digunakan untuk membangun merek. Hal itu dilakukan dengan mengkomunikasikan nilai merek dan manfaat produk. Iklan ini mengundang konsumen untuk menikmati hubungan dengan merek serta meyakinkan bahwa merek ini memiliki manfaat yang besar bagi para pengguna. Rhenald Kasali pun menjelaskah secara sederhana pada bukunya1, iklan didefinisikan sebagai pesan yang 1 Rhenald Kasali, Manajemen Periklanan; Konsep dan Aplikasi di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti Jakarta, 1992, Hlm. 21. menawarkan suatu produk yang ditujukan oleh suatu masyarakat lewat suatu media dan bersifat membujuk. Saat ini, Yogyakarta menjadi saksi dari perkembangan pesatnya iklan. Yogyakarta merupakan salah satu provinsi yang menjadi kota tujuan para pendatang dari berbagai daerah. Ada berbagai hal yang menyebabkan Yogyakarta diminati oleh para pendatang. Salah satunya adalah julukannya sebagai kota pendidikan. Banyaknya jumlah sekolah maupun perguruan tinggi baik negeri dan swasta menjadikannya tujuan bagi para pelajar dan mahasiswa yang ingin menimba ilmu. Selain itu unsur-unsur budaya dan keramahtamahan yang masih kental juga membuat Yogyakarta sebagai satu kota yang menarik untuk dikunjungi. Hal tersebut tentunya merupakan sasaran yang cukup potensial untuk melaksanakan promosi khususnya melalui iklan. Inilah alasan utama mengapa iklan-iklan mulai banyak dipasang diruasruas jalan utama Yogyakarta. Maraknya pemasangan atribut iklan luar ruang di Yogyakarta saat ini telah merampas hak ruang publik masyarakat. Jürgen Habermas menjelaskan konsep ‘Ruang Publik’ sebagai ruang yang mandiri dan terpisah dari tekanan negara (state) ataupun kepentingan pasar (market). Ruang publik memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses yang sama untuk menjadi pengusung opini publik. Opini publik ini berperan untuk memengaruhi, termasuk secara informal, perilaku-perilaku yang ada dalam ‘ruang’ negara dan pasar. Yang terjadi saat ini adalah ruang publik bukan lagi merupakan arena pembentukan public civility (keadaban publik), melainkan sekedar menjadi ranah komersial (commercial domain). Pemerintah memang melakukan regulasi-regulasi yang ada dalam ruang publik. Dalam undang-undang 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, pemerintah memandang ruang atau space terdiri dari ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya, yang bersifat tiga dimensi. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pemerintah telah mengatur regulasi mengenai tata ruang jalan. Seperti yang dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 dijelaskan bahwa jalan memiliki 3 macam ruang. Ruang-ruang ini diperuntukkan untuk kenyamanan dan keselamatan pengguna jalan. Pertama, ruang manfaat jalan (Rumaja) meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. Ruang manfaat jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang paling rendah lima meter dari permukaan tanah. Kedua, ruang milik jalan (Rumija). Ruang milik jalan diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan, pelebaran jalan, dan penambahan jalur lalu lintas di masa akan datang serta kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan. dan yang terakhir adalah ruang pengawasan jalan (Ruwasja). Ruang pengawasan jalan diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan serta pengamanan fungsi jalan. Ruang pengawasan jalan merupakan ruang sepanjang jalan di luar ruang milik jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu. Pada pasal 42, 43 dan 45 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 dijelaskan bahwa setiap orang dilarang menggunakan ruang milik jalan, ruang manfaat jalan dan ruang pengawasan jalan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan. Namun yang terlihat saat ini sangat berbeda. Ruang manfaat jalan dan ruang pengawasan jalan justru penuh sesak dengan iklan luar ruang yang penempatannya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini tentu menganggu ruang pandang dan keselamatan masyarakat. Dalam perspektif ini pemerintah hanya melihat ruang publik sebagai ruang tiga dimensi yang bisa ia gunakan untuk meningkatkan PAD. Gambar 1.1 Ilustrasi Ruang Milik Jalan, Ruang Pengawasan Jalan, dan Ruang Manfaat Jalan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan Pasar atau produsen iklan pun mempunyai pandangan lain mengenai ruang publik. Kendaraan bermotor, kendaraan tidak bermotor ataupun pejalan kaki seyogyanya akan menempati bagian-bagian yang telah disediakan oleh pemerintah. Disini sektor ekonomi akan senantiasa mendekati tempat-tempat yang menjadi lalulalang masyarakat. Arus lalu lintas tentu menjadi incaran pasar, sehingga bagianbagian jalan berupa trotoar cenderung ditempati oleh sektor ekonomi. Pasar akan selalu memandang ruang publik sebagai ruang yang bisa ia gunakan dalam mengincar target konsumennya. Saat ini, banyak dari pemasangan iklan luar ruang di Jalan Affandi terkesan ‘semerawut’ atau tampak seperti ‘sampah visual’ bagi pengguna jalan. Dapat dilihat pula saat ini pasarlah yang akhirnya meraih hagemoni atas negara serta masyarakat dan mengubah ruang publik menjadi panggung bagi industri periklanan. Ruang publik seharusnya adalah sebuah ruang yang otonom, bukan ruang yang bisa digiring kemana saja karena kepentingan yang berkutat didalamnya. Ruang Jalan Affandi adalah milik negara yang bisa ia gunakan untuk memperoleh PAD sebesar-besarnya. Sedangkan menurut pasar (market) dalam konteks ini biro iklan dan sektor bisnis yang berperan sebagai produsen dari iklan, ruang jalan tersebut adalah ruang dimana ia bisa menggunakannya untuk kepentingan komersilnya dimana banyak target audiens yang sering berada pada ruang jalan ini. Sedangkan masyarakat warga (civil society) menganggap bahwa ruang jalan ini seharusnya adalah ruang yang jauh dari kepentingan pasar dan negara dimana opini publik dapat tercipta dengan senetral-netralnya. Walaupun ruang publik dikelola oleh negara namun negara tidak boleh menginterversi kebutuhan masyarakat akan ruang yang bebas. Banyaknya iklan luar ruang yang tidak tertata rapi membuat keindahan jalan khususnya tata ruang kota menjadi berkurang. Kesan berantakan tak jarang dijumpai akibat iklan-iklan luar ruang tersebut. Dampak itu berimbas pada berkurangnya kenyamanan pengguna jalan yang melalui Jalan Affandi. Produsen iklan saling bersaing dalam meletakkan iklan luar ruangnya agar mendapat perhatian dari masyarakat khusunya pengguna jalan. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana aktor-aktor masyarakat, pemerintah daerah dan sektor usaha memperebutkan ruang jalan di Jalan Affandi? b. Aktor manakah yang mampu menguasai (mendominasi) ruang jalan tersebut? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut: a. Untuk mengerti bagaimana aktor-aktor tersebut memperebutkan ruang publik diruas Jalan Affandi b. Untuk mengetahui siapakah yang sebenarnya telah mendominasi ruang publik diruas Jalan Affandi c. Untuk mengetahui perubahan nilai-nilai sosial masyarakat akibat adanya perebutan ruang publik 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut: a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai perebutan ruang publik di ruas Jalan Affandi b. Sebagai bahan acuan bagi mahasiswa lain yang berminat mengadakan penelitian lebih lanjut dan sebagai data dasar bagi perkembangan sistem pendidikan guna terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas. 1.5. Review Penelitian Terdahulu Salah satu penelitian yang mendalami ruang publik ialah penelitian dari Widya Utami (2006) dari Universitas Gadjah Mada Fakultas Isipol Jurusan Sosiologi yang dijadikan sebagai skripsinya. Penelitian yang berjudul ‘Angkringan dan Krisis Ruang Publik (Suatu studi tentang makna angkringan oleh para mahasiswa)’ menjelaskan mengenai fenomena sosial, dimana angkringan yang merupakan sektor informal penyedia kebutuhan barang konsumsi dengan harga yang terjangkau mulai dilirik sebagai ruang bersama dan bahkan menembus lapisan-lapisan kelas sosial. Angkringan tidak hanya milik mahasiswa, namun kelas-kelas atas lainnya. Ia meneliti apakah faktor harga barang konsumsi yang terjangkau menyebabkan angkringan diminati oleh kalangan-kalangan yang berbeda kelas, ataukah ada faktor-faktor lain didalamnya? Lokasi penelitiannya berada di angkringan sebelah utara Stasiun Tugu yang dikenal dengan Angkringan Tugu atau Angkringan ‘Lek Man’ yang terletak di Wongsodirjan, Kelurahan Sosromenduran, Kecamatan Gedongtengen, Yogyakarta. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa angkringan mulai menjadi ruang publik baru pada masa itu karena memungkinkan terciptanya opini-opini publik yang bebas dari kendali pemerintah. Disamping karena harga makanan yang murah, alasan digandrunginya angkringan karena adanya keleluasaan untuk ‘nongkrong’ dan ‘ngobrol’, sehingga diskusi-diskusi pun terjadi dari yang humor sampai yang berat. Penelitian ini juga memaparkan tentang terjadinya krisis ruang publik, dimana tempat-tempat yang direncanakan menjadi ruang bersama tergeser fungsinya, seperti Titik Nol Kilometer pada saat itu yang beralih menjadi tempat pengemis dan pengamen mengadu nasibnya. Ruang-ruang publik seperti Malioboro lebih cenderung beralih fungsi menjadi ruang ekonomi. Adapun penelitian lain terkait Komersialisasi Ruang Publik juga pernah dilakukan oleh Robin Hartanto yang berjudul Rimba Reklame Jakarta (Dominasi kapital atas ruang kota kita) yang ia tuangkan dalam Buku Publik dan Reklame di Ruang Publik Jakarta. Dalam penelitian tersebut ia menyampaikan bahwa iklan luar ruang tidak lagi sekedar menganggu kenyamanan, tapi juga merebut hak publik yang paling utama sebagai masyarakat kota, yaitu keselamatan dan keamanan. Absennya iklan luar ruang di kawasan tertentu justru menandai kehadiran negara, dan sebaliknya, tumpang tindih iklan luar ruang di kawasan lain member kesan bahwa negara telah absen. Selama ini, perijinan penyelenggaraan iklan luar ruang justru memperlihatkan keberpihakan pemerintah terhadap kapital. Ruang dimaknai sebagai entitas yang dinamis yang terlalu sederhana untuk dibagi berdasarkan kelas jalan. 1.6. Landasan Teori 1.6.1 Public Sphere ‘Ruang publik’ dalam bahasa inggris dikenal sebagai Public Sphere dan di Jerman dikenal dengan istilah Offentlichkeit. Di dalam bahasa Jerman proses pembentukan kata benda Offentlichkeit berasal dari kata sifat yang lebih tua, Offentlich, yang sudah berlangsung pada abad ke-18, yang maknanya sejalan dengan ‘publicite’. Kata ‘Publik’ yang kita pakai dalam Bahasa Indonesia berasal bukan dari kata Yunani, melainkan dari kata latin, yaitu ‘Publicus’. Disini kita perlu melihat konteks kata ini dalam masyarakat Romawi kuno. Dalam masyarakat Romawi tersebut kata publicus memiliki dua arti: pertama, milik masyarakat sebagai satuan politis atau milik negara dan kedua, sesuai dengan masyarakat sebagai seluruh penduduk atau kata lain untuk itu adalah ‘umum’. Dalam konsep tersebut sudah tersirat dua hal, yakni suatu ‘ruang’ tempat hal-hal yang bersifat umum dibicarakan dan suatu subyek hukum, yakni rakyat suatu negara. Kata-kata ini mengacu pada suatu ‘ruang sosial’ yang bisa dimasuki oleh semua orang. Publicus juga mengandung arti lain yang terkait dengan kekuasaan para pejabat negara. Pasangan kata-kata berikut menunjukkan makna tersebut adalah: imperium publicum (kekuasaan publik), elementia publica (unsur publik), servus publicus (pelayan publik), dst. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa kata publicus atau kata yang sekarang kita pakai dalam bahasa Indonesia, yaitu publik, mengacu pada ‘umum’, ‘terbuka’, ‘diumumkan’, dst.2 Ruang publik yang utuh dan otonom dari imperatif-imperatif pasar dan negara dianggap sebagai syarat terpenting bagi demokrasi. Demokrasi memang mengandaikan kebebasan untuk berfikir, berbicara dan berkomunikasi tanpa diskriminasi, manipulasi, dan represi. Tetapi pada kenyatannya ketiga hal tersebut tidak dapat sepenuhnya disingkirkan dari kehidupan bersama, maka diskursus tentang ruang publik perlu ditempatkan dalam konteks realpolitik tersebut. Jika didalam 2 F. Budi Hardiman, Ruang Publik: Melacak ‘Partisipasi Demokratis’ dari Polis sampai Cyberspace, Penerbit Kansius. Yogyakarta, 2012, Hlm. 3 komunisme hagemoni negara mendistorsi komunikasi politis dalam masyarakat dan pasar dalam bentuk propaganda ideologis, didalam kapitalisme alih-alih negara, pasarlah yang meraih hagemoni atas negara dan masyarakat dan mengubah ruang publik menjadi panggung bagi iklan-iklan perusahaan.3 Ia menjelaskan bahwa masyarakat pada hakikatnya komunikatif dan yang menetukan perubahan sosial bukan semata-mata perkembangan produksi atau teknologi, melainkan proses belajar dalam dimensi praktis-etis. Teknologi dan faktor objektif lainnya hanya bisa mempengaruhi masyarakat apabila mereka mengintegrasikannya dalam tindakan komunikatif yang memiliki logikanya sendiri. Ruang publik adalah hasil kegiatan komunikasi untuk menggalang solidaritas warga yang disebut ‘bertindak’ (Handeln). Prototipe bertindak bukanlah kegiatan yang dilakukan budak, juga bukan kegiatan yang dilakukan pedagang, seniman atau insinyur, melainkan kegiatan yang dilakukan para warga negara saat menunjukkan apirasi politis mereka untuk melawan dominasi, represi, dan marginalisasi. Gerakan solidaritas atau partisipasi warga ini disebut Arendt ‘kekuasaan’ (Macht) yang justru berbeda dari dominasi struktural yang dimiliki oleh rezim, sesuatu yang disebut dengan istilah lain, yaitu ‘kekerasan’ (Gewalt). Kekuasaan tidak terdapat dalam kemampuan untuk memaksa atau memerintah orang lain, melainkan pada kenyataan bahwa warga negara berkumpul dan bertindak bersama untuk mengubah keadaan.4 3 4 Ibid. Hlm. 185 Ibid. Hlm. 188 Habermas beranggapan bahwa kekuasaan tidak semestinya dilegitimasikan, tetapi dirasionalisasikan. Tidak dirasionalisasi dalam paradigma kerja, tetapi dalam peradigma komunikatif. Sehingga masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam menentukan perkembangan politis, termasuk mengarahkan perkembangan kemajuan masyarakat. Publik bukan lagi para pejabat atau institusi politis, melainkan masyarakat warga (civil society) yang kritis dan berorientasi pada kepantingan moral universal umat manusia. Masyarakat warga adalah aktor komunikasi dalam ruang publik. Ia merupakan bentuk lapisan kritis yang tidak hanya sekedar mengontrol kekuasaan negara (Locke), melainkan juga berpartisipasi aktif dalam proses-proses demokratis langsung (Rousseau).5 Ruang publik adalah panggung bagi gerakangerakan partisipasi politis masyarakat warga dalam negara hukum demokratis. Konsep ‘publik’ dikaitkan dengan keberanian para warga negara untuk menggunakan rasionya secara mandiri dihadapan umum tanpa campur tangan otoritas. Komunikasi yang sehat adalah komunikasi yang ditandai oleh kebebasan tiap partisipan untuk menentang klaim-klaim tanpa rasa takut akan tindakan kekerasan, intimidasi, dan sebagainya. Dalam komunikasi yang sehat, tiap partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk bicara, membuat keputusan, menampilkan diri, mengajukan klaim normatif serta menentang pendapat partisipan lain. Jika sebelumnya ‘publik’ dikaitkan dengan tindakan-tindakan kenegaraan, pencerahan eropa telah menggeser maknanya menjadi sebaliknya, yaitu: tindakan partisipasi 5 Ibid. Hlm. 9 politis warga negara.6 Ruang publik bukan sekedar ‘ruang fisik’, melainkan komunikasi warga itu sendiri yang mereproduksi ruang diantara mereka. Kekuasan tidak berada di meja-meja para birokrat ataupun di kantor-kantor para pengusaha, melainkan ada didalam forum-forum, inisiatif-inisiatif atau gerakan-gerakan warga yang peduli dengan kepentingan publik. Melalui kegiatan komunikasi, manusia dapat saling memahami dan membebaskan. Komunikasi akan menghasilkan konsensus-konsensus yang secara sadar dicapai oleh partisipan komunikasi tidak mengandung penindasan. Komunikasi juga dapat menyadarkan manusia modern dari penindasan pemilik modal. Melalui komunikasi, pencerahan dan pembebasan manusia dapat dicapai. Didalam sistem demokratis, negara tidak memiliki otoritas terhadap domain publik, maka sistem tersebut menuntut adanya ‘Ruang Publik’ dalam pengertian modern sebagai ‘ruang bagi otoritas publik’. Akan tetapi, berbagai kepentingan dan otoritas yang tumpang tindih di dalam ruang publik, dapat menggiring pada reduksi tingkat kepublikan (publicity) sebuah ruang publik.7 Sebagai contohnya, sektor bisnis akan melihat ruang publik dalam bingkai kepentingan ekonomi, dengan menanamkan pemahaman bahwa perlunya keterlibatan mereka sebagai bagian dari otoritas publik, dalam rangka pengaturan ruang publik lewat aturan-aturan umum yang mengatur mengenai pertukaran komoditi. 6 Ibid. Hlm. 2 Jurgen Habermas. Ruang Publik; Sebuah Kajian tentang Kategori Masyarakat Borjuis. Kreasi Wacana, Yogyakarta, Hlm.18 7 Dalam transformasi ini, opini publik bergeser dari konsensus rasional yang muncul dari debat, diskusi, dan refleksi, menjadi opini yang direkayasa lewat jajak pendapat atau pakar media. Jadi, perdebatan rasional dan konsensus telah digantikan oleh diskusi yang diatur dan manipulasi lewat mekanisme periklanan dan badanbadan konsultasi politik. Masyarakat memiliki peluang untuk mengakses ruang publik dan memanfaatkannya untuk menyalurkan aspirasi spasial politik mereka. Tanpa khawatir akan dihambat regulasi kelas yang berkuasa akan membatasi kebebasan media atau melakukan penyumbatan media komunikasi yang telah ada. Peluang untuk memanfaatkan ruang publik sebagai arena untuk mempercepat persemaian demokrasi deliberatif dan ruang untuk beraktualisasi diri sebagai bagian dari civil society sebetulnya sangatlah terbuka. 1.6.2. Shadow State Para akademisi tentunya sah-sah saja untuk membangun argumentasi bahwa dinamika politik lokal merupakan bagian dari refleksi ‘wajah’ politik nasional. Namun, juga perlu disadari bahwa dinamika politik lokal memiliki sejumlah keunikan. Bahkan, untuk konteks Indonesia, sebagai negara yang berkembang yang baru saja merdeka, relasi kekuasaan pada aras lokal memiliki banyak kekhususan yang tidak cukup hanya dipahami dengan pendekatan formal, karena juga melibatkan jaringan-jaringan informal, termasuk di dalamnya relasi antara penguasa dan pengusaha. Oleh karena itu, untuk dapat memahami secara utuh karakteristik dari realitas politik lokal di Indonesia menghendaki suatu pendekatan yang secara bersamaan dapat memahami relasi kekuasaan formal dan informal tersebut.8 Shadow state, sebagai salah satu bentuk kontrol dalam ruang publik mengacu pada sistem pelaksanaan pemerintahan yang diterapkan oleh elit pejabat publik yang bertindak lebih dalam kapasitas pribadi dan kepentingan aktor-aktor eksternal nonnegara. Praktik ini dipilih oleh aktor paling berkuasa bukan karena aparatur negara yang ada tidak mampu dan tidak professional tetapi memang ada kepentingan tersembunyi yang hanya diketahui oleh elit berkuasa dan kelompoknya. Karena menghindari proses kenegaraan yang normal, maka dilapangan tidak dapat dihindari penyalahgunaan wewenang publik (abuse of power). Memang jika bukan untuk meraih sebanyak mungkin sistem sumber yang dimiliki oleh negara untuk kepentingan elit dan kelompoknya, praktik shadow state dan abuse of power itu tidak ada alasan untuk terjadi. Lynch (1987) menjelaskan mengenai The right of disposition, yaitu kepemilikan oleh sekelompok orang terhadap suatu ruang publik secara pengakuan dan bukan berdasarkan aspek legalitas. Aspek ini berkaitan dengan hak untuk mengurangi akses publik ke ruang tersebut untuk alasan keamanan, kebersihan dan lain-lain. Ini merupakan salah satu bentuk kontrol terhadap pengguna ruang publik. Dalam tulisannya, T.S. Raffles (1965) dan Williams (1990:45-46) mendefiniskan local strong man, aktor utama yang bermain dalam shadow state ini sebagai 8 individu, atau kelompok orang yang tidak memiliki Syarif Hidayat. Shadow State…? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten. Hlm. 267 pekerjaan (pengangguran), dan melakukan kegiatan kriminal/melanggar hukum. Ia tidak pula berada dalam jajaran pemerintah tetapi ia mampu mempengaruhi pemerintah dalam pengambilan keputusan. Pemerintah bahkan bisa dibuat tidak berdaya, atau hampir lumpuh total dalam menjalankan fungsi formalnya, karena ada kekuatan informal dari local strong man ini yang dapat mengendalikan keputusan-keputusan dari pemerintah. Mereka tidak saja telah memonopoli hampir seluruh proyek pemerintah daerah, tetapi juga dapat mengarahkan, atau bahkan menekan, pemerintah provinsi agar mengakomodasi kepentingan mereka pada saat penyusunan dan penetapan program pembangunan9. Barbara Harriss-White telah menulis tentang interkorelasi antara informal economy dan praktik shadow state. Setidaknya ada dua pengertian yang melekat pada terminologi informal economy. Pertama, kegiatan usaha perorangan, dan atau perusahaan yang tidak didaftarkan pada pemerintah, dan tidak membayar pajak. Kedua, berkaitan dengan perilaku (behavior) dari institusi formal (publik maupun swasta) untuk menghindari jangkauan regulasi. Bentuk dari kegiatan informal economy yang disebut kedua ini, antara lain: kelonggaran pajak, penyalahgunaan kebijakan publik, korupsi, kolusi, dan pemaksaan swastanisasi aset negara (HarrisWhite 2003:4-6).10 Praktik informal economy berlangsung dalam suasana kekeluargaan, berdasarkan reputasi (nama baik) lebih daripada hukum formal, tetapi juga sering 9 Ibid. Hlm. 277 Ibid. Hlm. 279 10 dengan adanya unsure (ancaman) kekerasan. Sedikitnya ada empat karakteristik umum dari praktik informal market dan shadow state. Pertama, jelas tergambarkan bahwa informal market dan shadow state hadir, tumbuh, dan berkembang sebagai akibat dari terjadinya pelapukan fungsi dari institusi formal (negara). Kedua, akumulasi keuntungan ekonomi dan politik jangka pendek di luar bingkai regulasi formal, merupakan tujuan utama dari ‘transaksi’ melalui informal market. Pada konteks inilah, masing-masing pihak akan memaksimalkan sumber daya yang dimiliki, untuk kemudian ‘diperjual-belikan’ dalam informal market. Ketiga, modus operandi, atau mekanisme kerja dari informal market dan shadow state cukup bervariasi, yang secara umum dapat dibedakan dalam dua kategori utama, yaitu: melalui memanipulasi kebijakan publik dan melalui jaringan aliansi antarpersonal, maupun aliansi antarlembaga. Keempat, aktor yang terlibat dalam informal market dan shadow state adalah para penyelanggara negara (state actors) dan aktor-aktor dalam masyarakat.11 1.6.3. Karakteristik Barang Setiap barang atau jasa dapat dikelompokkan berdasarkan karakteristiknya. Menurut Savas12, terdapat dua konsep penting yang perlu diketahui sebelum mengelompokkan barang dan jasa, yaitu konsep exclusion (eksklusivitas) dan konsep consumption (konsumsi). Barang atau jasa dapat dikatakan eksklusif jika barang 11 Ibid. Hlm. 280 Emanuel S. Savas, Privatization The Key To Better Government. Chatham House Publishers, Inc. Post Office Box One Chatham. New Jersey, 1987. Hlm. 35 12 tersebut diperoleh dengan terlebih dahulu memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan, misalnya seseorang harus membeli terlebih dahulu sebelum dapat memanfaatkannya. Barang atau jasa juga dapat dilihat dari segi pemanfaatannya atau dengan kata lain barang dan jasa memiliki karakteristik consumption. Suatu barang atau jasa dapat dikatakan memiliki tingkat joint consumption yang tinggi jika barang atau jasa tersebut dapat dikonsumsi bersama-sama secara terus menerus dalam waktu yang bersamaan (joint consumption) tanpa saling meniadakan manfaat (rivalitas) antara pengguna yang satu dan lainnya. Sedangkan untuk barang atau jasa yang hanya dapat dimanfaatkan oleh seseorang dan orang lain kehilangan kesempatan menikmatinya, maka barang atau jasa tersebut dikatakan memiliki tingkat joint consumption yang rendah. Lebih lanjut lagi, Savas mengklasifikasikan barang dan jasa menjadi empat kategori seperti pada tabel dibawah, yaitu: individual goods, toll goods, common-pool goods dan collective goods. Tabel 1.1 Pengelompokan Barang/Jasa Menurut Savas Easy to Excludable Difficult to Excludable Individual Individual Goods Common-Pool Goods Consumption (Private Goods) Joint Consumption Toll Goods Collective Goods (Public Good) Sumber: Emanuel S. Savas, 2000. Hlm. 45 Barang dan jasa yang termasuk dalam individual goods atau sering disebut dengan privat goods tersedia melalui mekanisme pasar, baik dalam bentuk hak kepemilikan, sistem kontrak, pasar bebas, atau semua bentuk pasar lainnya yang dibutuhkan. Permintaan oleh konsumen terhadap barang-barang yang tergolong kedalam private goods biasanya diakomodasi melalui mekanisme pasar. Sebagai contohnya adalah pakaian yang kita gunakan sehari-hari, mobil pribadi, ataupun barang-barang pribadi lainnya. Barang-barang tersebut sebelum kita menggunakannya sebagai milik pribadi tentu kita harus memilikinya terlebih dahulu. Toll goods merupakan barang yang dapat digunakan secara bersama-sama namun tidak semua individu bisa menikmatinya (hanya untuk golongan tertentu). Ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi sebelum menggunakan barang atau jasa tersebut. Biasanya mereka adalah salah satu anggota klub ataupun organisasi yang dapat menggunakan sebuah barang hanya untuk kepentingan anggotanya saja. Sebagai contohnya adalah klub golf, mereka dapat menggunakan lapangan golf tertentu secara berkelompok. Common-pool goods adalah barang atau jasa yang dapat diperoleh tanpa harus membayar. Walaupun setiap individu tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkannya, namun dalam barang atau jasa ini terdapat persaingan untuk memperolehnya. Sebagai contohnya adalah ikan dilaut. Nelayan kecil harus berjuang memperebutkan ikan-ikan di lautan dengan para penangkap ikan berkapal besar. Collective goods atau public goods merupakan barang publik yang apabila dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain terhadap barang atau jasa tersebut. Setiap orang memiliki peluang untuk menjadi free riders, yaitu orang yang menikmati barang atau layanan tetapi tidak ikut memberikan kontribusi apapun. Suatu barang publik merupakan barang-barang yang tidak dapat dibatasi siapa penggunanya dan sebisa mungkin seseorang tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkannya. Sebagai contohnya adalah udara, cahaya matahari, papan marka jalan, lampu lalu lintas, pertahanan nasional, pemerintahan dan sebagainya. 1.6.4. Iklan Luar Ruang Istilah iklan (bahasa melayu) berasal dari kata I’lan (bahasa arab) yang artinya meneriakkan secara berulang-ulang. Istilah lain dari iklan adalah reklame, pengaruh bahasa perancis reclame yang asalnya dari bahasa latin reclamare, artinya menyerukan. Di masa lalu banyak orang Indonesia menyebutnya ‘advertensi’, terpengaruh bahasa belanda advertentie. Saat ini orang lebih akrab dengan istilah advertising (bahasa inggris), berasal dari bahasa latin advertere yang artinya berpaling, memusatkan perhatian kepada sesuatu. Jadi, secara sederhana iklan dapat diartikan menyerukan informasi atau membuat audiens berpaling, memperhatikan pesan.13 Dalam perkembangannya, iklan punya makna yang lebih luas. Iklan adalah pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media dan lebih diarahkan untuk membujuk orang supaya membeli produk atau jasa yang ditawarkan. Sebagaimana yang dikatakan Frank Jefkins, ‘advertising aims to persuade people to buy.’ Sementara menurut William F. Arens, ‘advertising is the structured and composed nonpersonal communication of information, usually paid 13 Rakhmat Suproyono. Desain komunikasi visual. Yogyakarta. Penerbit Andi. 2010 Hal. 127 for and usually persuasive in nature, about products (goods, services, and ideas) by identified sponsors through various media’. Iklan merupakan salah satu alat marketing untuk memperlihatkan dan menjual produk dari perusahaan kepada masyarakat tertentu (target audience) menggunakan elemen-elemen verbal dan visual melalui media yang dianggap efektif. Meskipun ada iklan yang bertujuan menciptakan awareness agar tetap dikenal masyarakat, namun tujuan akhirnya tetap showing and selling the product. Iklan luar ruang dapat disebut pula dengan reklame. Reklame menurut Peraturan Daerah Kabupaten Sleman no. 4 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame adalah benda, alat, perbuatan atau media yang menurut bentuk susunan dan corak ragamnya untuk tujuan komersial, dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memujikan suatu barang, jasa atau orang, ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar dari suatu tempat oleh umum. Dalam Peraturan Daerah No. 14 Tahun 2003 Tentang Izin Reklame membagi jenis-jenis reklame sebagai berikut: a. Reklame billboard adalah reklame yang terbuat dari papan/ kayu/besi/seng/bahan lain yang dipasang dengan tiang. b. Reklame megatron adalah reklame yang terbuat dari papan/ besi/seng/bahan lain yang dipasang dengan tiang dan ditambah peralatan mekanik elektronik. c. Reklame kain dan sejenisnya adalah reklame yang dibuat dari kain, atau bahan yang dipersamakan dengan kain yang termasuk reklame kain antara lain spanduk, banner, umbul-umbul dan rontek. d. Reklame neonbox adalah reklame yang terbuat dari box yang bersinar dan ditempatkan di ruang luar (ruang terbuka) atau di dalam ruangan. e. Reklame selebaran dan sejenisnya adalah reklame yang terbuat dari kertas, plastik, atau bahan yang sejenis/dipersamakan dalam bentuk selebaran. f. Reklame berjalan adalah reklame yang ditulis atau ditempatkan (dipasang) pada kendaraan. g. Reklame udara adalah reklame yang melayang di udara antara lain balon. h. Reklame suara adalah reklame dengan kata-kata yang diucapkan atau dengan suara yang ditimbulkan oleh perantaraan alat. i. Reklame film/slide adalah reklame yang menggunakan klise berupa kaca film atau bahan-bahan lain yang diproyeksikan pada layar putih atau benda lain. j. Reklame peragaan adalah reklame dalam bentuk peragaan atau demonstrasi dari suatu hasil produksi barang yang diadakan khusus untuk tujuan promosi. k. Reklame dengan cahaya adalah reklame yang berbentuk tulisan dan atau gambar, yang terdiri dari atau dibentuk dari cahaya pijar atau alat lain yang bersinar. l. Reklame tine plate adalah reklame yang terbuat dari plat/seng atau bahan yang dipersamakan dipasang dengan tiang ataupun menempel dalam bentuk yang sederhana. m. Reklame baliho adalah reklame yang terbuat dari papan atau triplek atau bahan yang dipersamakan. n. Reklame shopsign adalah reklame yang terbuat dari kayu/besi/seng atau bahan lain yang dipersamakan yang menempel/melekat pada bidang bangunan. 1.7. Metode Penelitian Pemahaman terhadap sesuatu tidak muncul begitu saja melainkan diperlukan proses yang dapat memakan waktu, tenaga, biaya maupun pikiran. Dalam rangka memahami suatu fenomena atau permasalahan, diperlukan cara yang sesuai. Cara yang dimaksud dalam berbagai wacana lebih dikenal dengan metode. Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor dalam Moleong (1999) mendefiniskan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistic (utuh). Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana ruang publik di Jalan Affandi diinvasi dengan iklan-iklan oleh sektor bisnis dan bagaimana masyarakat berusaha kembali merebut ruang tersebut. Disini peneliti berusaha memahami bagaimana pemerintah mengatur regulasi mengenai iklan luar ruang di ruang publik dan pada saat yang sama bisnis mencoba memprivatisasi ruang jalan ini untuk kepentingannya serta disaat yang itu pula masyarakat warga berusaha untuk merebutnya kembali untuk dijadikan sebagai ruang yang otonom. Peneliti berusaha memahami pula bagaimana salah satu aktor diatas dapat menguasai ruang publik tersebut. Bentuk penulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang sesuai mengenai suatu individu, organisasi, kaadaan sosial, dan gejala tertentu lainnya. 1.7.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian yang dimulai pada Januari – Maret 2016 ini melihat bagaimana ruang publik diperebutkan di Ruas Jalan Affandi, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Lokasi ini dipilih karena apabila dilihat dari sudut pandang produsen iklan, daerah ini merupakan wilayah yang sangat potensial untuk pemasangan iklan. Hal ini dikarenakan ruas Jalan Affandi dinilai sebagai titik pusat yang sering dilalui oleh target masyarakat iklan. Selain itu, lokasi ini merupakan destinasi ‘sampah visual’ di Kabupaten Sleman 1.7.2. Teknik pengumpulan data Metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: a. Observasi Observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki. Disini pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan terlibat ini dilakukan untuk memperlancar peneliti dalam memasuki setting penelitian dan untuk menghindari jawaban yang kaku yang diberikan oleh informan akibat kecurigaan atau keengganan karena mencium bau penelitian. Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan terhadap menjamurnya iklan luar ruang di Jalan Affandi. Peneliti disini mengamati jumlah iklan luar ruang yang tersebar di beberapa titik Jalan Affandi, mulai dari Ringroad Utara sampai dengan Pasar Demangan. b. Wawancara Selain melakukan kegiatan pengamatan, kegiatan wawancara atau interview juga adalah kegiatan yang mempunyai porsi dan andil besar untuk menemukan jawaban atas rumusan masalah penelitian. Penelitian ini melakukan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap beberapa informan yang dibagi dalam pemerintah (state), sektor bisnis (market) dan masyarakat warga (civil society). Dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai tiga informan terkait dengan perannya dalam Pemerintah. Ketiga aktor tersebut, pertama, Pak Danang yang ada pada bagian penataan ruang (pengendalian pembangunan dan penegakkan hukum) di Dinas Perkerjaan Umum dan Perumahan. Dinas inilah yang menyeleksi kelengkapan teknis yang harus diajukan ketika perijinan IMB-BBR (Ijin Mendirikan BangunanBangun Bangunan Reklame), ia yang juga melakukan pengawasan terhadap iklan luar ruang di wilayah Kabupaten Sleman. Dinas ini juga mempunyai kewenangan untuk menerbitkan surat peringatan dan surat pembongkaran terhadap suatu iklan luar ruang yang menyalahi aturan pemerintah. Tanpa adanya surat tugas dari dinas ini, Satuan Polisi Pamong Praja tidak dapat melakukan apa-apa. Kedua, Pak Eko selaku kepala bidang ketentraman dan ketertiban satuan polisi pamong praja. Satpol PP bertugas sebagai pengeksekusi dari iklan luar ruang yang melanggar peraturan setelah adanya surat kewanangan penindakan dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan. Yang terakhir, Pak Agung yang ada dalam bidang pembangunan di Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Kabupaten Sleman. Beliau dipilih karena pada dinas inilah perijinan mengenai iklan luar ruang diterbitkan. Sedangkan dalam bidang bisnis, peneliti mewawancarai Mas Diaz dari Keong Advertising dan Roland, Manager dari Tickles Café and Resto. Mas Diaz dipilih karena ia sudah sejak awal 2000an memulai karirnya dibidang periklanan. Beberapa tahun setelah bekerja sebagai desainer grafis dan produksi disalah satu advertising di Yogyakarta, ia mulai mendirikan advertisingnya sendiri dan mulai mengurusnya dari nol. Saat ini bersama dengan berberapa rekannya, banyak proyek besar yang sudah ia kerjakan selama mendirikan advertisingnya sendiri. Yang baru-baru ini ia kerjakan adalah pembuatan iklan luar ruang untuk sebuah acara bersponsor rokok dengan cakupan wilayah Yogyakarta - Jawa Tengah. Tickles Café and Resto dipilih selain karena rumah makan ini berada tidak jauh dari Jalan Affandi, rumah makan ini kerap memasang iklan luar ruang di Ruas Jalan Affandi. Tercatat paling tidak 25 rontex akan dipasang disekitar jalan Affandi pada saat event-event tertentu. Dalam peran sebagai masyarakat warga, peneliti mewawacarai Pak Bari dan Sarah. Pak Bari dipilih karena beliaulah yang biasanya memungut pungutan liar terhadap iklan luar ruang dibeberapa daerah. Sedangkan Sarah dipilih karena sejak kecil ia sudah bermukim di Gang Wora-Wari yang berada tepat di Jalan Affandi. Sebagai data pendukung, peneliti mewawancarai Dr. Ing. Greg Wuryanto, M.Arch seorang Dosen Fakultas Arsitektur dan Desain Universitas Kristen Duta Wacana dan Dr. Sumbo Tinarbuko, M.Sn seorang dosen Desain Komunikasi Visual di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Dr. Ing. Greg Wuryanto, M.Arch dipilih karena saat ini beliau kerap mengkritisi mengenai kontestasi ruang di Wilayah Perkotaan Yogyakarta. Beliau kerap menjadi pembicara di beberapa seminar dengan topik kontestasi ruang. Sedangkan pemilihan Dr. Sumbo Tinarbuko, M.Sn adalah karena beliaulah pengagas dari Komunitas Reresik Sampah Visual yang saat ini mengkritisi mengenai penempatan iklan luar ruang yang tidak sesuai dengan peruntukkannya. Beliau pun pernah tinggal cukup lama didalam Perumahan Dosen UNY sebelum akhirnya pindah ke rumah pribadinya. Beberapa tahun ke belakang, mata kuliah kritik desain komunikasi visual yang dipercayakan kepada beliau membuatnya kerap menggunjungi daerah Jalan Affandi untuk mencari bahan yang akan didiskusikan dalam proses perkuliahan. c. Data Sekunder Penggunaan dokumen, artikel ataupun video meliputi data atau dokumen tersedia dari Komunitas Reresik Sampah Visual dan buku-buku, artikel dari media cetak, internet yang berhubungan dengan iklan luar ruang, khususnya yang berada di ruas Jalan Affandi. 1.7.3. Teknik analisa data Dalam menganalisis data kualitatif, perlulah dilakukan analisis sejak awal. Dengan demikian data yang didapatkan dari lapangan mesti segera diolah dan diubah menjadi sebuah gambaran terkait suatu fenomena yang terjadi pada obyek penelitian ataupun relaitas yang sesungguhnya. Adapun menurut Milles dan Huberman dalam Emzir (2010) menerangkan bahwa ada tiga langkah dalam menganalisis data, yaitu: a. Reduksi data Reduksi data adalah suatu proses menyederhanakan data kasar yang didapatkan ketika terjun ke lapangan. Tujuan dari reduksi data ialah untuk mempermudah penyajian data dan pemaparan informasi mengenai hal yang didapatkan di lapangan. Adapun reduksi data juga berfungsi untuk menelaah data sehingga tersusunnya sebuah informasi dan penyederhanaan data-data yang penting b. Penyajian data Penyajian data merupakan suatu langkah untuk menampilkan data yang telah disederhanakan. Adapun bentuk penyajian data dapat berupa kalimat, tabel, grafik, foto, gambar, dan lain-lainnya. Sehingga dapatlah diambil sebuah kesimpulan dari data-data yang telah didapatkan. Penyajian data disajikan dalam bentuk deskripsi dan ditambah dengan fakta-fakta berupa dokumen terkait fenomena penelitian yang telah diperoleh oleh peneliti. c. Penarikan kesimpulan Tahap penarikan kesimpulan merupakan suatu proses dimana peneliti mencari arti, penjelasan, konfigurasi, pola-pola alur sebab-akibat, dan proposisi. Setelah melewati proses-proses sebelumnya, maka pada tahap ini dicarilah sebuah kesimpulan dari segala hal yang menjadi konteks penelitian dan ditambah dengan saran ataupun rekomendasi.