TUGAS ETIKA BISNIS Dosen pembimbing : Iga Aju Nitya Dharmani, SE., MM Disusun oleh : Anggiezka Natalita Angelica 01212144 Farida Musyafak 01212068 Dewi Aulia Achmad 012120678 REKLAME YANG BURUK Etika merupakan adat kebiaaan, cara berpikir, akhlak, sikap, watak, cara bertindak. Kata etika sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno “ethos”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan etika sebagai: ilmu tentang apa yang baik dan buruk, kumpulan azas atau nilai, dan nilai mengenai benar dan salah. Menurut K. Bertens: etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang dan masyarakat untuk bertingkah laku. Sedangkan menurut Prof. DR. Franz, Magnis Suseno, etika adalah ilmu yang mencari orientasi atau ilmu yang memberikan arah dan pijakan pada tindakan manusia. Kedudukan etika di masyarakat berada diatas hukum. Dimana ketika melanggar etika maka seseorang akan mendapat sebuah teguran secara sosial karena telah melanggar sebuah norma dari adanya lingkungan sosial dalam masyarakat. Iklan adalah salah satu strategi pemasaran yang bermaksud untuk mendekatkan barang terhadap konsumen. Sehingga iklan dituntut untuk selalu mengatakan hal benar kepada konsumen mengenai produk sedangkan konsumen bebas menentukan pilihan untuk membeli atau tidak membeli produk itu (Sony keraf, 1993:142). Menurut Etika Pariwara Indonesia (EPI), iklan merupakan pesan komunikasi pemasaran atau komunikasi publik tentang sesuatu produk yang disampaikan melalui sesuatu media, dibiayai oleh pemrakrsa yang dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat (Etika Pariwara Indonesia, 2007: 16-54). Iklan dibuat sedemikan rupa menarik agar dapat medapatkan perhatian konsumen akan barang yang diiklankan tersebut. Dimana di dalam fungsi iklan ialah informatif dan persuasif. Sudah pastinya sebuah iklan dikomunikasikan secara massa melalui berbagai media untuk dapat menginformasikan dan mempersuasi. Penggunaan media yaitu mulai dari media konvensional hingga media baru. Iklan dibuat sesuai target dari produk tersebut sehingga strategi untuk memasarkan sebuah produk akan dirancang sedemikian rupa dalam pemasangan media, dimana bertujuan untuk menjangkau para target audiens. Maka dari adanya penggunaan media massa terebut sebuah iklan haruslah memiliki etika. Dan, di jaman sekarang perokok sangatlah banyak terutama di Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia mempunyai peraturan yang longgar dan rokok sangat mudah masuk di Indonesia. Banyak perusahaan rokok yang mengincar Indonesia, karena tingkat kesadaran akan kesehatan di Indonesia sangat kurang, dan hal itu dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan rokok untuk menjual produknya. Hal ini menyebabkan perokok menjadi target yang diincar untuk meningkatkan tingkat konsumsi rokok. Jadi, banyak sekali reklame yang menargetkan para perokok. Rokok tidak boleh mengiklankan produknya secara gambling karena sebenarnya rokok tidak baik dan tidak boleh dikonsumsi. Maka dari itu, perusahaan rokok membuta iklan dengan cara yang lain, seperti memakai kata-kata saja ataupun hal lainnya. Dan, seringkali iklan rokok sangat melenceng dan memberikan dampak negatif kepada masyarakat yang melihat iklannya tersebut. Salah satu contoh iklan rokok yang tidak baik, adalah sebagai berikut : Gambar 1. Reklame rokok A mild Reklame ini termasuk reklame yang buruk dikarenakan mengandung unsur pornografi. Dari model iklannya saja sudah bisa dikategorikan tidak baik, karena lelaki dan perempuan ini seperti nyaris berciuman. Dan kata-kata dari reklame ini juga mengandung makna pornografi yaitu “mula-mula malu lama-lama mau” hal ini sangatlah tidak baik untuk para masyarakat yang masih di bawah umur. Reklame ini akan memberikan dampak yang sangat negative pada masyarakat. Reklame ini bisa meracuni moral bangsa. Hal ini sangat bertentangan dengan etika, etika yang baik dalam reklame adalah hal-hal yang tidak mengandung unsure pornografi ataupun memberikan dampak yang negatif pada masyarakat itu sendiri. Karena iklan sangat berpengaruh dalam masyarakat, Dewan Periklanan Indonesia (DPI) sebagai induk penegakan etika periklanan, media, pengiklan, agensi periklanan, asosiasi pendukung membuat sebuah kitab pedoman yaitu Etika Pariwara Indonesia (EPI). Hal ini untuk mengevaluasi akan adanya pelanggaran dalam iklan. Di dalam kitab EPI 2007 pada pasal 1.26 tentang: Pornografi dan Pornoaksi berbunyi, “Iklan tidak boleh mengeksploitasi erotisme atau seksualitas dengan cara apa pun, dan untuk tujuan atau alasan apapun”. Selain itu mengenai pornografi dan seksualitas juga diatur oleh pemerintah di dalam Undang Undang tentang anti pornografi dan pornoaksi. Tertera di dalam pasal 3 tentang UndangUndang Pornografi berbunyi sebagai berikut: “Undang-undang tentang pornografi bertujuan: (1) mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, mempertahankan dan memeperkokoh kepribadian luhur bangsa yang menjunjung tinggi nilainilai ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab; (2) memberikan perlindungan, pembinaan, pendidikan morall dan akhlak kepada masyarakat serta kepastian hukum yang mampu melindungi setiap warganegara, terutama anak dan perempuan dari eksploitasi seksual; (3) mencegah dan menghentikan berkembangnya komersialisasi seks dan eksploitasi seksual baik industri maupun distribusinya.” Dengan adanya peraturan akan Etika Pariwara Indonesia (EPI) mengenai pornografi dan seksualitas, iklan harus menerapkan etika yang tertera. Seperti halnya sebuah iklan sabun mandi tidak dengan memperlihatkan anggota badan secara utuh akan gambaran orang yang sedang mandi. Kemudian iklan pembalut wanita tidak menggambarkan secara nyata daerah kepribadian wanita. Tidak dapat dibayangkan jika tidak adanya etika dan undang-undang maka pihak pengiklan pasti tidak akan ada yang mengatur, dan para klien dari produk akan bertindak seenaknya. Dan pada tanggal 22 Agustus 2001 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Keputusan Fatwa oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 287 Tahun 2001 tentang Pornografi Dan Pornoaksi dimana isi dari fatwa tersebut menyatakan sebagai berikut: 1. “Menggambarkan secara langsung atau tidak langsung tingkah laku secara erotis, baik dengan lukisan, gambar, tulisan, suara, reklame, iklan, maupun ucapan; baik melalui media cetak maupun elektronik 2. Membiarkan aurat terbuka atau berpakaian ketat atau tembus pandang dengan maksud untuk diambil gambarnya, baik untuk dicetak maupun divisualisasikan dan melakukan pengambilan gambar, melakukan hubungan seksual atau adegan seksual di hadapan orang 3. Melakukan pengambilan gambar hubungan seksual atau adegan seksual baik terhadap diri sendiri ataupun orang lain dan melihat hubungan seksual atau adegan seksual, memperbanyak, mengedarkan, menjual, maupun membeli dan melihat atau memperhatikan gambar orang, baik cetak atau visual yang terbuka auratnya atau berpakaian ketat atau tembus pandang yang dapat membangkitkan nafsu birahi, atau gambar hubungan seksual atau adegan seksual 4. Berbuat intim atau berdua-duaan (khalwat) antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahramnya, dan perbuatan sejenis lainnya yang mendekati dan atau mendorong melakukan hubungan seksual di luar pernikahan 5. Memperlihatkan aurat yakni bagian tubuh antara pusar dan lutut bagi laki-laki serta seluruh bagian tubuh wanita kecuali muka, telapak tangan dan telapak kaki kecuali dalam hal-hal yang dibenarkan secara syar’i,memakai pakaian tembus pandang atau ketat yang dapat memperlihatkan lekuk tubuh, melakukan suatu perbuatan dan atau suatu ucapan yang dapat mendorong terjadinya hubungan seksual di luar pernikahan.