Membangun Kota Layak Anak: Studi Kebijakan Publik di Era

advertisement
Membangun Kota Layak Anak:
Studi Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah
Oleh: Rudi Subiyakto 
Abstract
Indonesia has ratified the Convention on the Children Rights. This is
Indonesia's commitment to respect and fulfill children's rights (Human Rights of the
Child). This commitment is embodied in the Constitution and becomes operational in
Law Number 23 of 2002 on Child Protection. To transform children's rights into the
country’s development process, the government developed a policy of “Child-Friendly
City”. Creating a child-friendly policy is a necessity, without which the Indonesian
people will lose the next generation, prospective successors, and accomplishers of the idea
of our national independence. However, the increase in child abuse cases has made
everyone concerned. National Children's Day celebration (HAN), July 23, is the right
moment to re-evaluate how safe and friendly cities are built for children. HAN has
been celebrated many times but the fate of Indonesian children has not been improved or
protected. Development is still partial, segregated, and child-unfriendly. In fact, Law
No. 23/2002 on Child Protection states that every child is entitled to protection from
torment, torture, or unfair court sentencing. Therefore, in the era of regional autonomy,
local governments should start issuing child-friendly public policies.
Key words: child friendly cities, public policy, regional autonomy
Abstrak
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak. Hal ini merupakan
komitmen Indonesia dalam menghormati dan memenuhi hak anak (HAM Anak).
Komitmen ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan operasionalnya pada
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Untuk
mentransformasikan hak anak ke dalam proses pembangunan, pemerintah
mengembangkan kebijakan Kota Layak Anak. Menciptakan kebijakan yang ramah
terhadap anak merupakan sebuah keniscayaan. Tanpa hal yang demikian, bangsa
Indonesia akan kehilangan generasi penerus, pelangsung, dan penyempurna gagasan
kemerdekaan bangsa. Namun peningkatan kasus kekerasan terhadap anak sungguh
membuat semua prihatin. Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh 23
Juli mendatang merupakan momentum tepat untuk mengevaluasi kembali seberapa
aman dan ramah kota-kota dibangun bagi anak anak. HAN sudah di peringati
berulang kali. Namun, nasib anak Indonesia masih belum juga membaik dan belum

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji
Tanjungpinang, Kepulauan Riau. E-mail: [email protected]
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
50
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
terlindungi. Masih banyak kasus kekerasan mendera anak-anak. Pembangunan
masih parsial dan segmentatif, belum ramah anak. Padahal, UU No 23/2002
tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh
perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang
tidak manusiawi. Oleh karena itu, terutama di era otonomi daerah, sudah saatnya
pemerintah daerah mampu menciptakan tatatan kebijakan publik yang ramah anak.
Kata kunci: kota ramah anak, kebijakan publik, otonomi daerah
A. Pendahuluan
Anak tidak dapat dipungkiri merupakan masa depan Bangsa. Anak
adalah generasi penerus cita-cita kemerdekaan dan kelangsungan hajat
hidup Bangsa dan Negara. Selain itu, anak merupakan modal
pembangunan dan awal kunci kemajuan bangsa di masa depan. Sepertiga
dari total penduduk Indonesia adalah anak-anak. Anak-anak terbukti
mampu membuat perubahan dan menyelesaikan masalah secara lebih
kreatif, sederhana, dan ringkas. Sebagai wujud upaya pemenuhan hak anak,
pemerintah harus segera mewujudkan Kota Layak Anak (KLA). Kota
Layak Anak merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2005 melalui
Kebijakan Kota Layak Anak. Karena alasan untuk mengakomodasi
pemerintahan kabupaten, belakangan istilah Kota Layak Anak menjadi
Kabupaten/Kota Layak Anak dan kemudian disingkat menjadi KLA.1
Dalam Kebijakan tersebut digambarkan bahwa KLA merupakan
upaya pemerintahan kabupaten/kota untuk mempercepat implementasi
Konvensi Hak Anak (KHA) dari kerangka hukum ke dalam definisi,
strategi, dan intervensi pembangunan seperti kebijakan, institusi, dan
program yang layak anak. Secara normatif yuridis pengembangan KLA
terdapat dalam World Fit for Children, Keputusan Presiden No 36/1990
tentang Ratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, Undang- Undang Dasar 1945
(Pasal 28b, 28c), Program Nasional Bagi Anak Indonesia 2015, UU No
23/2002 tentang Perlindungan Anak, dan Permenneg PP No 2/2009
tentang Kebijakan KLA.2
1 Kota Layak Anak dan atau Kota Ramah Anak kadang-kadang kedua istilah ini
dipakai dalam arti yang sama oleh beberapa ahli dan pejabat dalam menjelaskan
pentingnya percepatan implementasi Konvensi Hak Anak ke dalam pembangunan
sebagai langkah awal untuk memberikan yang terbaik bagi kepentingan anak.
2 KLA adalah sistem pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan
komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana
secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk
pemenuhan hak-hak anak. Lihat: http://www.investor.co.id/home/membangun-kotalayak-anak.15-05-2012
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
51
Oleh karenanya, melindungi dan menjadikan mereka generasi yang
tangguh merupakan sebuah keniscayaan. Namun, kenyataan yang terjadi di
Indonesia jauh dari harapan. Artinya, bangsa Indonesia masih belumuntuk tidak mengatakan kurang-peduli terhadap perkembangan dan masa
depan anak. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya kasus eksploitasi,
kekerasan, dan tindak pidana terhadap anak.3 Setidaknya 6000 anak
Indonesia saat ini berhadapan dengan hukum. Lebih dari 5000 anak
tersebut berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) anak,
sedangkan sisanya ada di Lapas-La pas Dewasa, tahanan kepolisian,,
maupun di tempat lainnya.4
Selain banyaknya kasus eksploitasi serta kekerasan terhadap anak,
hal ini diperparah dari tahun ke tahun, jumlah pekerja anak di Indonesia
cenderung meningkat. Berdasar Data Sensus Kesejahteraan Nasional
(Susenas) tahun 2003, di Indonesia terdapat 1.502.600 anak berusia 10
hingga 14 tahun yang bekerja dan tidak bersekolah, sekitar 1.621.400 anak
tidak bersekolah serta membantu di rumah atau melakukan hal lainnya.
Data Susenas juga menyebutkan insiden pekerja anak dan ketidakhadiran
di sekolah terbilang tinggi di daerah pedesaan. Di perkotaan sekitar 90,34
persen anak-anak usia 10-14 tahun dilaporkan bersekolah, dibandingkan
dengan 82,92 persen di pedesaan.
Pada tahun 2004 diperkirakan ada 1,4 juta anak yang berusia 10-14
tahun bekerja dan turut mencari nafkah. Sebagian besar dari mereka
bekerja dengan jam kerja yang sangat panjang, mereka bekerja pada area
yang sangat membahayakan dan membunuh masa depan anak, yang
disebut sebagai jenis-jenis pekerjaan buruk. Mereka juga tidak mendapat
peluang pendidikan yang seharusnya bisa memberikan mereka masa depan
lebih baik. Para aktivis perlindungan anak memperkirakan jumlah anak
3 Banyaknya anak yang berhadapan dengan hukum ini tentu saja memunculkan
pertanyaan serius di benak banyak pihak; Apakah anak Indonesia memang begitu nakal
dan jahat sehingga harus menghuni sel-sel penjara? Ternyata tidak, anak-anak masuk
penjara karena memang ada sistem yang mengkriminalisasi anak. Pertama, doktrin
masyarakat yang menganggap setiap anak yang melakukan pelanggaran hukum harus di
penjara. Kedua, kultur aparat penegak hukum yang lebih memilih jalan pemidanaan dari
pada alternatif hukuman seperti keadilan restoratif maupun diversi. Ketiga, ada undangundang yang semestinya melindungi anak tetapi malahan mengkriminalisasi anak, yaitu
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Sehingga wajar saja jika dari hari kehari
jumlah anak yang diskriminalisasi bukan semakin berkurang akan tetapi justru semakin
bertambah.
4 Hadi Supeno, Diskriminasi Anak: Transformasi Menuju Perlindungan Anak Berkonflik
Dengan Hukum, (Jakarta: KPAI, 2010), p. v.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
52
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
dipekerjakan mencapai 6000 orang,5 bahkan hingga 12000 orang, data
KPAI memperkirakan jumlah pekerja anak mencapai 2.685 juta anak.6
Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
disebutkan, bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berusia di bawah
18 tahun. Menurut data dari organisasi buruh internasional (ILO), jumlah
pekerja anak di Indonesia usia 10-14 tahun mencapai 10,4 juta orang.
Jumlah ini meningkat pada tahun 2007, menjadi 2,6 juta anak. Berdasarkan
studi antara ILO dan Universitas Indonesia pada tahun 2003, jumlah
pekerja anak domestik mencapai 700 ribu, sebanyak 90 persen adalah anak
perempuan.
Sedangkan angka dari Sensus Kesejahteraan Nasional7, di Indonesia
terdapat 1.502.600 anak berusia 10 hingga 14 tahun yang bekerja dan tidak
bersekolah. Sekitar 1.621.400 anak tidak bersekolah serta membantu di
rumah atau melakukan hal lainnya. Sebanyak 4.180.000 anak usia sekolah
lanjutan pertama (13-15) atau 19 persen dari anak usia itu, tidak
bersekolah.8 Menurut data yang sama para pekerja anak di desa lebih
banyak daripada di kota, yakni sebesar 79 persen untuk di desa dan 21
persen di kota. Sebanyak 62 persen bekerja di sektor pertanian, 19 persen
di industri dan 19 persen di sektor jasa. Sebanyak 2,1 juta di antaranya
ternyata bekerja di dalam lingkungan buruk. Lingkungan buruk itu seperti
di pertambangan atau terpapar bahan kimia pestisida perkebunan. Tahun
sebelumnya, hanya tercatat 5,5 juta pekerja anak.9
Sejumlah lembaga termasuk ILO telah memelopori menyelamatkan
pekerja anak. Di tahap pertama program ILO telah menghapuskan bentuk
pekerjaan terburuk anak tahun 2004-2007, sekitar 2.514 anak telah ditarik
dari pekerjaan mereka, dan 27.078 anak lainnya dicegah memasuki
pekerjaan serupa. Pada tahap kedua ini, ILO menargetkan bisa
mengintervensi secara langsung 22.000 orang anak, 6.000 anak ditarik dari
pekerjaan berbahaya dan 16.000 lainnya dicegah agar tidak masuk ke
dalam pekerjaan tersebut. Jumlah ini menyumbang secara signifikan
terhadap jumlah anak yang ditarik dan dicegah secara nasional, yakni
13.922 anak ditarik dari pekerjaannya dan 29.863 anak dicegah.10
Data UNICEF, setiap tahun sekitar 1,2 juta anak di dunia menjadi
korban perdagangan anak. Di Indonesia, sekitar 100 ribu anak anak
menjadi korban. Dari jumlah itu, 40 ribu hingga 70 ribu anak di antaranya
menjadi korban prostitusi yang diperkirakan tersebar di 75.106 lokasi di
5 Juli Hastadewi, dkk. “Kondisi dan Situasi Pekerja Anak”, (Jakarta: UNICEF
Perwakilan Indonesia, 2004), p. 16.
6 Lihat laporan KPAI kepada Presiden Republik Indonesia, Tahun 2008.
7 Dikutip dari Susenas 2003
8 Antara, 26 Juni 2008
9 Global News Indonesia, 20 Juli 2011.
10 Antara, 9 Juli 2008.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
53
Indonesia. Dari jumlah tersebut, 55 persen korban dieksploitasi di sektor
pekerja rumah tangga, 21 persen diekploitasi di sektor pelacuran paksa,
18,4 persen dieksploitasi di sektor pekerjaan formal (petugas kebersihan,
pekerja bangunan, pekerja pabrik, dll), 5 persen diekploitasi pada tahap
transit (khusus buruh migran), 0,6 persen perdagangan bayi. Kondisi
tersebut ditambah lagi dengan 4.180.000 anak usia sekolah lanjutan
pertama (13-15) atau 19 persen dari anak usia itu, tidak bersekolah.
Sebuah kondisi yang tidak bisa kita anggap enteng adalah tingginya seks
bebas di kalangan anak Indonesia.
Pada akhir 2008, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
(PKBI) Kalimantan Timur melalukan survei terhadap 300 remaja usia
SMP dan SMA (13-16 tahun) di Samarinda. Survei ini menyebutkan 56
persen remaja usia SMP dan SMA sudah berhubungan seks. Bahkan ada
yang terang-terangan mengaku berhubungan seks dengan pekerja seks.
Survei Synovate Research tentang perilaku seksual di Jakarta, Bandung,
Surabaya, dan Medan pada Maret 2009 menunjukkan data yang hampir
mirip. Survei ini mengambil 450 responden dengan kisaran usia 15 sampai
24 tahun. Data survei menyebutkan 44 persen responden mengaku punya
pengalaman seks di usia 16-18 tahun. 16 persen mengaku pengalaman seks
itu didapat antara usia 13 dan 15 tahun. Adapun tempat melakukan
hubungan seks, yaitu rumah (40 persen), kamar kos (26 persen), dan hotel
(26 persen).
Survei KPAI 2010 menyebutkan sebanyak 32 persen remaja usia 1418 tahun di Jakarta, Bandung, dan Surabaya mengaku pernah melakukan
hubungan seksual. Survei itu juga menyebutkan 21,2 persen remaja putri
pernah melakukan aborsi. Lebih dari setengah remaja yang disurvei
mengaku sudah pernah bercumbu atau pun melakukan oral seks 11. Data
Komisi Nasional Perlindungan Anak, menyebutkan dalam empat bulan
pertama di tahun 2011, telah terjadi 435 kasus kekerasan terhadap anak.
Sebesar 58 persen laporan menyebutkan terjadi kekerasan seksual terhadap
anak. Adapun sepanjang tahun 2010, terdapat 2.339 laporan kekerasan
terhadap anak, 62 persen berupa kekerasan seksual. Dari laporan yang
masuk itu, kekerasan kebanyakan dilakukan orang dekat korban.
Lokasinya di rumah, sekolah, dan lingkungan pergaulan.
Dari data sebagaimana di atas, maka menjadi kewajiban pemerintah
untuk melindungi anak, dengan cara memberikan tempat yang layak bagi
anak, sehingga anak bisa belajar dengan baik sehingga tidak terjebak
kepada pelanggaran-pelangaran HAM anak sebagaimana data di atas,
khususnya berkaitan dengan era otonomi daerah berdasarkan UU No 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka perlindungan terhadap
anak merupakan sebauh keniscayaan. Oleh karena itu dalam tulisan ini
11
Koran Tempo, 16 Mei 2010.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
54
pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana menciptakan
kebijakan kota ramah anak di tengah otonomi daerah, dan apakah kendalakendala dalam menciptakan kota layak anak.
B. Kota Ramah Anak: Kebijakan Otonomi Daerah
1. Kebijakan Publik
Easton memberikan definisi kebijakan publik sebagai the authoritative
allocation of values for the whole society atau sebagai pengalokasian nilai-nilai
secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat. Laswell dan Kaplan juga
mengartikan kebijakan publik sebagai a projected program of goal, value, and
practice atau sesuatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dalam praktekpraktek yang terarah.12 Pengertian kebijakan publik lainnya juga
diungkapkan oleh Anderson yang menyatakan kebijakan publik sebagai a
purposive course of action followed by an actor on set an actors in dealing with a
problem or matter of concern atau sebagai tindakan yang memiliki tujuan
tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau
sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah13.
Michael E. Porter menjelaskan bahwa keunggulan kompetitif dari
setiap negara ditentukan oleh seberapa mampu negara tersebut mampu
menciptakan lingkungan yang menumbuhkan daya saing dari setiap actor
di dalamnya. Dalam konteks persaingan global, maka tugas sektor publik
adalah membangun lingkungan yang memungkinkan setiap pelaku
pembangunan mampu mengembangkan diri menjadi pelaku-pelaku yang
kompetitif. Lingkungan ini hanya dapat diciptakan secara efektif oleh
adanya kebijakan publik. Karena itu, kebijakan publik terbaik adalah
kebijakan yang mendorong setiap warga masyarakat untuk membangun
daya saingnya masing-masing dan bukan semakin menjerumuskan ke
dalam pola ketergantungan.
Dari uraian di atas kebijakan publik dapat diartikan sebagai
manajemen pencapaian tujuan nasional khususnya di era otonomi daerah
ini. Menurut Nugroho,14 ada dua karakteristik dari kebijakan publik yaitu:
a), kebijakan publik merupakan sesuatu yang mudah untuk dipahami,
karena maknanya adalah hal-hal yang dikerjakan untuk mencapai tujuan
nasional; b), kebijakan publik merupakan sesuatu yang mudah diukur,
karena ukurannya jelas yakni sejauh mana kemajuan pencapaian cita-cita
sudah ditempuh.
Susy Susilawaty, “Analisis Kebijakan Publik Bidang Keselamatan dan
Kesejahteraan Kerja di Kota Tasikmalaya”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas
Diponegori Semarang 2007, p. 24.
13 Ibid., p. 24.
14 R. Nugroho, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi (Jakarta: Elek
Media Komputindo, 2003), p.9
12
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
55
Lebih lanjut Anderson, menyebutkan bahwa terdapat beberapa
implikasi dari adanya pengertian tentang kebijakan negara, yaitu: 15
1. Bahwa kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau
merupakan tindakan yang berorientasi kepada tujuan.
2. Bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan
atau pola-pola tindakan pejabat pemerintah.
3. bahwa kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar
dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang
pemerintah bermaksud akan melakukan sesuatu atau menyatakan
sesuatu.
4. bahwa kebijakan publik itu bersifat positif dalam arti merupakan
beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah
tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat
pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.
5. bahwa kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang penting
didasarkan atau selalu dilandaskan pada peraturan perundangundangan yang bersifat memaksa.
Perundang-undangan itu sendiri merupakan bentuk konkrit dari
kebijakan publik. Kebijakan publik seperti peraturan perundang-undangan
dapat dikategorikan sebagai barang-barang publik (publik goods). 16 Adapun
ciri peraturan perundang-undangan sebagai publik goods menurut
Sudarsono di antaranya: “Peraturan perundangan (rule) bersifat bertingkattingkat sesuai dengan hierarki proses kebijakan. Proses kebijakan pada
level kebijakan akan menghasilkan institutional arrangement seperti Undangundang. Undang-undang ini kemudian akan diterjemahkan oleh proses
kebijakan pada level organisasi yang akan menghasilkan institutional
arrangement yang tingkatannya lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden (Kepres), atau Keputusan Menteri (Kepmen).
Selanjutnya institutional arrangements ini akan diterjemahkan oleh kebijakan
di level operasional sehingga mempengaruhi pola hasil instruksi (pattern of
instruction outcome) dari kebijakan tertentu”. 17
Dari gambaran proses kebijakan di atas, maka dapat disimpulkan
demikian besarnya implikasi level kebijakan terhadap pola interaksi di
tingkat bawah. Karena itu Sudarsono menyatakan bahwa kebijakan publik
sebagai salah satu sumber perubahan atau pembaruan kelembagaan
(institutional change) dalam masyarakat. Peraturan perundangan (rule) sebagai
barang publik (publik good) dipandang sebagai suatu hal yang menyangkut
Susy Susilawaty, Analisis Kebijakan Publik…, p. 25.
J. Iskandar, Manajemen Publik, (Garut: Pustaka Program Pascasarjana Universitas
Garut, 1999), p. 28.
17 Sudarsono, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Bandung: Bintang Kejora, 2000),
p.8
15
16
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
56
kepentingan publik (publik interest), walaupun menurut Barzeley jika
dipandang dari perspektif kepentingan publik dalam banyak hal
pemerintah seringkali gagal mewujudkan hasil yang diinginkan. Kondisi
demikian menurut Sudarsono disebabkan oleh ciri lain dari rule yang
sifatnya tidak lengkap (incompleteness) yang tidak terlepas dari faktor
keterbatasan manusia dalam mengantisipasi masalah di masa yang akan
datang. Kondisi seperti itulah yang kemudian mengharuskan rule harus
terus mengalami perbaikan dan penyempurnaan.18
Menurut Smith di negara-negara dunia ketiga implementasi
kebijakan publik justru merupakan batu sandungan terberat dan serius
bagi efektivitas pelaksanaan kebijakan pembangunan di bidang sosial dan
ekonomi. Salah satu hambatannya menurut Solichin adalah birokrasi
pemerintahan belum merupakan kesatuan yang efektif, efisien, dan
berorientasi kepada tujuan. Oleh karena itu, untuk memperoleh
pemahaman tentang implementasi kebijakan publik, seharusnya tidak
hanya menyoroti perilaku dari lembaga administrasi publik atau bendabenda publik yang bertanggung jawab atas sesuatu program dan
pelaksanaannya, namun juga perlu mencermati berbagai jaringan kekuatan
politik, ekonomi, dan sosial yang langsung atau tidak langsung
berpengaruh terhadap perilaku yang terlibat dalam suatu program dari
keluarnya suatu kebijakan publik.
2. Perumusan Kebijakan Publik
Untuk dapat lebih memperjelas keterkaitan antara sebuah kebijakan
dengan implementasi dan evaluasi kebijakan publik, berikut ini
digambarkan siklus skematik dari kebijakan publik. Menurut Cleaves,
implementasi kebijakan dianggap sebagai a process of moving to ward a policy
objective by mean administrative and political steps atau suatu proses tindakan
administrasi dan politik. Oleh karena itu, Grindle menambahkan bahwa
implementasi kebijakan sesungguhnya bukan hanya sekadar berkaitan
dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam
prosedur-prosedur rutin melalui saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih
dari itu juga berkaitan dengan masalah konflik dan keputusan dari siapa
yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. 19.
Implementasi kebijakan merupakan pelaksanaan keputusan
kebijakan dasar, dalam bentuk undang-undang atau dapat pula dalam
bentuk keputusan-keputusan atau perintah-perintah yang sudah secara
lebih tegas mengidentifikasikan masalah yang ingin di atasi dan
menyebutkan secara jelas tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Menurut
18
19
Ibid., p. 9.
Susy Susilawaty, Analisis Kebijakan Publik…, p. 28.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
57
Jones, dalam membahas implementasi kebijakan terdapat dua aktor yang
terlibat, yaitu pertama, beberapa orang di luar birokrat yang mungkin
terlibat dalam aktivitas implementasi kebijakan, dan kedua, birokrat itu
sendiri yang terlibat dalam aktifitas fungsional.
Bahkan Mazmanian dan Sabastier menambahkan bahwa peran
penting dari analisis implementasi kebijakan publik adalah
mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuantujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Berdasarkan
deskripsi di atas, maka secara garis besar fungsi implementasi kebijakan
publik adalah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan
tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan publik dapat dicapai atau
diwujudkan sebagai hasil akhir (outcome) kegiatan-kegiatan yang dilakukan
pemerintah20.
3.Kebijakan Publik dan Otonomi Daerah
Menurut Bratakusumah dan Solihin, pemberian kedudukan Propinsi
sebagai Daerah Otonom dan sekaligus sebagai Wilayah Administrasi
dilakukan dengan pertimbangan:
1. Untuk memelihara hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan
Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2. Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah yang bersifat lintas Daerah
Kabupaten/Kota serta melaksanakan kewenangan otonomi daerah
yang belum dapat dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten/Kota.
3. Untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tertentu yang
dilimpahkan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi.
Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Disamping itu keleluasaan otonomi mencakup pula
kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.
Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan
diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah. Sedangkan
otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan
pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan
kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh
daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan
20
Ibid., p. 29.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
58
pelayanan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan
kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, pemeliharaan hubungan yang
sesuai antara Pusat dan Daerah serta antar-Daerah dalam rangka menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk desentralisasi
pemerintahan pada hakekatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan
bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih mendekati tujuantujuan penyelenggaraan pemerintahan dalam mewujudkan cita-cita
masyarakat yang lebih adil dan makmur. Sarundajang mengemukakan
bahwa tujuan pemberian otonomi setidak-tidaknya akan meliputi 4 aspek
sebagai berikut:
1. Dari segi politik; adalah untuk mengikutsertakan, menyalurkan
inspirasi dan aspirasi masyarakat, dalam rangka membangun proses
demokratisasi di lapisan bawah.
2. Dari segi manajemen pemerintahan; adalah untuk meningkatkan
dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan, terutama
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan memperluas
jenis-jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan masyarakat.
3. Dari segi kemasyarakatan; adalah untuk meningkatkan partisipasi serta
menumbuhkan kemandirian masyarakat, dengan melakukan usaha
pemberdayaan (empowerment) masyarakat.
4. Dari segi ekonomi pembangunan; adalah untuk melancarkan
pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan
rakyat yang makin meningkat.
Menurut Nugroho, dalam masyarakat terdapat tiga tugas pokok
yang diperlukan agar masyarakat hidup, tumbuh, dan berkembang yaitu
tugas pelayanan, tugas pembangunan, dan tugas pemberdayaan. Ketiga tugas ini
dilaksanakan oleh organisasi-organisasi yang memang dilahirkan untuk
melaksanakan tugas-tugas tersebut. Tugas pelayanan publik adalah tugas
memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa membeda-bedakan dan
diberikan secara cuma-cuma atau dengan biaya sedemikian rupa sehingga
kelompok paling tidak mampu pun mampu menjangkaunya. Tugas ini
diemban oleh negara yang dilaksanakan melalui kekuasaan eksekutif
(pemerintahan). 21
Dengan berdasarkan pemilahan ini dapat disimpulkan bahwa tugas
pokok dari pemerintah adalah memberikan pelayanan, dalam arti
pelayanan umum atau pelayanan publik. Dalam kaitannya dengan hal
tersebut menjadi relevan untuk mengevaluasi dan menilai seberapa jauh
pemerintah sudah melakukan tugas pelayanan publik sebagaimana misi
yang diembannya. Penilaian terhadap sejauh mana pemerintah telah
menyelenggarakan pelayanannya hanya bisa dilakukan jika terdapat alat
21
R. Nugroho, Kebijakan Publik…, p. 9.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
59
ukur atau indikator yang sesuai dengan tugas yang diberikan atau misi yang
diemban. Alat ukur atau indikator ini di antaranya dikenal sebagai standar
pelayanan minimal. Menurut Nugroho, pada prinsipnya terdapat banyak
jenis pelayanan yang diberikan pemerintah, khususnya yang diletakkan
dalam konteks kebijakan publik yang dapat berbentuk distributif,
redistributif, dan regulatif. Namun secara generik, pelayanan yang
diberikan oleh pemerintah dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: (1) pelayanan
primer, yaitu pelayanan yang paling mendasar, (2) pelayanan sekunder,
yaitu pelayanan pendukung namun bersifat kelompok spesifik, dan (3)
pelayanan tersier, yaitu pelayanan yang berhubungan secara tidak langsung
kepada publik.
Pelayanan primer atau pelayanan yang paling mendasar pada
hakikatnya merupakan pelayanan minimum. Menurut Nugroho, secara
sederhana terdapat empat jenis pelayanan minimum yang dilakukan oleh
pemerintah, yaitu: (1) pelayanan kewargaan, (2) pelayanan kesehatan, (3)
pelayanan pendidikan, dan (4) pelayanan ekonomi. Menurut Nugroho,
tugas pemberian pelayanan minimal adalah tugas pokok yang diemban
oleh pemerintah dan menjadi tolok ukur terhadap kinerja pemerintah.
Dengan demikian, manajemen pelayanan minimal juga merupakan
indikator pokok pula. Manajemen pelayanan minimal dapat
diselenggarakan sebagai berikut: 22
1.Meletakkan pelayanan minimal sebagai komitmen politik dari
pemerintah,
2. Membuat evaluasi kebutuhan pelayanan minimal,
3.Menyusun rancangan strategis pelayanan umum, termasuk standar
pelayanan minimal,
4.Melaksanakan pelayanan minimal dalam konteks sektor dan wilayah
(area),
5.Melakukan pendampingan dalam pelaksanaan pemberian pelayanan
minimal,
6.Melakukan audit atas pelaksanaan pelayanan minimal.
Berkaitan dengan pelayanan dan penyelenggaraan birokrasi
pemerintah adalah apa yang dikenal dengan good governance, (pemerintahan
yang baik).23 Istilah good governance tidak hanya berkonotasi pengelolaan
Ibid.
Good governance didasarkan kepada sekumpulan nilai atau prinsip yang dijadikan
kreteria acuan untik menilai apakah suatu tatanan pemerintahan baik atau tidak. UNDP
mendefinisikan good governance sebagai “penggunaan kewenangan politik, dan administratif
untuk mengelola urusan suatu bangsa pada semua tingkat. Good governance, terkandung
pengertian bahwa pemerintah tidak hanya diselenggarakan oleh pemerintah (Goverment)
sendiri akan tetapi bersama-sama dengan aktor-aktor di luar pemerintah. Lihat: Dwiyanto
dkk., Reformasi dan Tata Pemerintah dan Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan UGM, 2003), p. 4.
22
23
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
60
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
birokrasi pemerintahan saja, tetapi lebih luas dari itu, bisa mencakup
seluruh pengelolaan organisasi swasta maupun yang berkaitan dengan
pelayanan umum.24 Istilah good governance lebih tepat diterjemahkan sebagai
tata kelola, lebih relevan dalam penelitian ini adalah tata kelola dalam hal
pembangunan kota layak anak dengan baik dan penuh dengan kebaikan
bagi anak. Konsep tata kelola yang baik semula banyak diusung oleh
lembaga-lembaga bantuan internasional dalam rangka upaya
mengefektifkan dan menyukseskan program-program bantuan di negaranegara dunia ketiga, yang banyak mengalami kegagalan.
Kegagalan tersebut disebabkan oleh buruknya sistem
penyelenggaraan pemerintahan dinegara-negara dunia ketiga tersebut yang
ditandai dengan meraknya praktek korupsi, eksploitasi anak dan
pelanggaran HAM, konsep tata kelola yang baik (good governance)
dimaksudkan sebagai perbaikan dan perluasan terhadap sebuah konsep
pemerintahan yang selama ini dipandang tidak memadai.25
4. Pra-syarat Kebijakan
a. Kehendak politik, mencakup:
1).Adanya komitmen kuat dan tekad keras pihak-pihak yang secara
langsung mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab dalam
penanggulangan masalah;
2).Agenda pembangunan (daerah) menempatkan upaya dan program
penanggulangan masalah pada skala prioritas utama;
3). Kemauan untuk secara jujur dan terbuka mengakui kelemahan dan
kegagalan program penanggulangan kemiskinan di masa lalu, dan
bertekad untuk memperbaikinya, baik pada waktu sekarang maupun
di masa mendatang.
b. Iklim yang mendukung, mencakup:
1).Ada kesadaran kolektif untuk menempatkan kemiskinan sebagai
musuh bersama yang harus diperangi, kemudian diikuti dengan
langkah-langkah kampanye sosial melalui berbagai saluran informasi
untuk lebih meningkatkan kepedulian, kepekaan, dan partisipasi
masyarakat.
2).Ada peraturan dan kebijakan daerah (Perda) yang mendukung
penanggulangan kemiskinan, misalnya yang berkaitan dengan usaha
kecil, akses terhadap kredit, pedagang kaki lima, penghapusan
pungutan terhadap hasil-hasil pertanian, dan sebagainya.
c.Tata pemerintahan yang baik (Good Governance). Mengingat kemiskinan
bersifat multidimensi, maka penanggulangannya tidak cukup hanya
24 Sedarmayanti, Good Governance, “Pemerintahan Yang Baik Dalam Rangka Otonomi
Daerah”, (Bandung: Mandar Maju, 2003), p. 4.
25 Dwiyanto dkk., Reformasi dan Tata Pemerintah dan…, p. 3.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
61
dengan mengandalkan pendekatan ekonomi, melainkan memerlukan
pula kebijakan dan program di bidang sosial, politik, hukum dan
kelembagaan. Dengan kata lain diperlukan adanya tata pemerintahan
yang baik (good governance) dari lembaga-lembaga pemerintahan, terutama
birokrasi pemerintahan, legislatif, lembaga hukum dan pelayanan umum
lainnya. Secara lebih spesifik, hal ini antara lain ditandai dengan adanya
keterbukaan, pertanggungjawaban publik, penegakan hukum,
penghapusan birokrasi yang menyulitkan, pemberantasan korupsi, dan
koordinasi lintas lembaga dan lintas pelaku yang baik..
Turkewitz, melalui studi empirisnya di beberapa negara
menyimpulkan adanya hubungan yang kuat antara karakter suatu rezim
pemerintahan dengan capaian berbagai indikator pembangunan.
Kesimpulan dari studi ini antara lain adalah:
a. Makin efektif suatu pemerintahan, makin rendah tingkat kematian bayi;
b. Makin rendah tingkat korupsi di birokrasi pemerintahan, makin tinggi
tingkat melek huruf orang dewasa;
c. Makin baik kondisi penegakan hukum suatu negara, makin rendah
tingkat kematian bayi dan
d. Makin sedikit regulasi yang diciptakan pemerintah, makin tinggi tingkat
pendapatan per kapita.
Sebagai konsekuensi dari melekatnya fungsi pelayanan publik, maka
administrasi negara dituntut untuk menerima tanggung jawab positif
dalam hal menciptakan dan mendistribusikan tingkat pendapatan maupun
kekayaan serta menyediakan program kesejahteraan rakyat. Apabila
tanggung jawab positif tersebut sudah dapat dilakukan, maka eksistensi
pemerintah akan tumbuh menjadi suatu pemerintah yang besar dan kuat,
baik itu dalam ruang lingkup fungsi maupun jumlah personil yang
dibutuhkan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya26
Perkembangan peranan dan fungsi administrasi negara membawa
dampak terjadinya setidak-tidaknya dua masalah penting yaitu27, pertama,
dengan makin pesatnya pertambahan jumlah personal penyelenggara
fungsi pelayanan publik, maka diasumsikan akan terjadi peningkatan
jumlah korban sebagai akibat penekanan rezim pemerintahan. Hubungan
asumsi seperti itu mungkin tercermin dari kecenderungan semakin
tingginya penyelewengan dan tindakan yang merugikan rakyat dalam
mencapai atau mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kedua, adalah masalah
Sulton Mawardi dan Sudarno Sumarto, Kebijakan Publik yang Memihak Orang
Miskin, (Jakarta: SEMERU, 2003), p. 3.
27 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2002), p. 156160. Baca juga dalam Pokok-pokok Hukum Administrasi, (Malang: Bayumedia, 2004) p. 69
dan SF Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara,
(Yogyakarta: Liberty, 2006) p.46.
26
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
62
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
yang lebih krusial yaitu kemungkinan terjadinya pemusatan kekuasaan
pada administrasi negara. Kemungkinan tersebut lebih terbuka dengan
diberikannya suatu “kebebasan” untuk bertindak atas inisiatif sendiri (freies
ermessen; pauvoir discretionare) guna menyelesaikan permasalahan yang sedang
dihadapi dan perlu segera diselesaikan.
C. Mewujudkan Kota Ramah Anak: Upaya Perlindungan HAM
Anak
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak sejak 5 September
1990. Hal ini merupakan komitmen Indonesia dalam menghormati dan
memenuhi hak anak. Komitmen ini tertuang dalam Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 28 B (2), dan operasionalnya pada Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Untuk
mentransformasikan hak anak ke dalam proses pembangunan, pemerintah
mengembangkan kebijakan Kota Layak Anak. Gagasan Kota Ramah Anak
(KRA) diawali dengan penelitian mengenai Children Perception of the
Environment. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan kota yang
terbaik untuk anak adalah yang mempunyai komunitas yang kuat secara
fisik dan sosial, komuniti yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas,
yang memberi kesempatan pada anak, dan fasilitas pendidikan yang
memberi kesempatan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan
dan dunia mereka.28
Pada Konferensi Habitat II atau City Summit, di Istanbul, Turki
perwakilan pemerintah dari seluruh dunia termasuk Indonesia bertemu
dan menandatangani sebuah Program Aksi untuk Membuat Permukiman
lebih nyaman untuk ditempati dan berkelanjutan. Dalam program tersebut
secara khusus menegaskan bahwa anak dan remaja harus mempunyai
tempat tinggal yang layak, terlibat dalam proses mengambilan keputusan,
baik di kota maupun di komunitas, terpenuhi kebutuhan dan peran anak
dalam bermain di komunitasnya. Melalui City Summit itu, UNICEF
memperkenalkan Child Friendly City Initiative, terutama menyentuh anak
kota, khususnya yang miskin dan yang terpinggirkan dari pelayanan dasar
dan perlindungan untuk menjamin hak dasar mereka.29
Kota Ramah Anak menurut UNICEF Innocenti Research Centre
adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Sebagai
warga kota, berarti keputusannya mempengaruhi kotanya; berhak
mengekspresikan pendapat mereka tentang kota yang mereka inginkan,
dapat berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial,
28 IULA&UNICEF, Partnership to Create Child Friendly City: Programming for Child
Rights with Local Authorities. (Italy: UNICEF Innocenti Research Centre, 2001), p. 43.
29http://www.menegpp.go.id/en/index.php?optioncom,
kota-ramah-anak-apamengapabagaimana.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
63
menerima
pelayanan
dasar
seperti
kesehatan
dan
pendidikan, mendapatkan air minum segar dan mempunyai akses
terhadap sanitasi yang baik, terlindungi dari eksploitasi, kekejaman, dan
perlakuan salah, aman berjalan di jalan, bertemu dan bermain dengan
temannya, mempunyai ruang hijau untuk tanaman dan hewan, hidup di
lingkungan yang bebas polusi, berperan serta dalam kegiatan budaya dan
sosial, dan setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap
pelayanan, tanpa memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender,
dan kecacatan.
Dalam hal penciptaan birokrasi kebijakan publik yang ramah
terhadap anak kualifikasi tersebut sudah selayaknya dipenuhi.
1. Anak memengaruhi keputusan terhadap kota. Kebijakan publik
memang sudah selayaknya memperhatikan semua golongan. Ketika hal
ini menjadi bagian integral dari sebuah program kerja. Maka yang
terjadi adalah pemerataan kesempatan pada semua aspek bidang
kehidupan. Anak pun demikian. Ketika anak mendapat perhatian
pemerintah lokal maka kehidupannya akan lebih baik. Pemahaman dan
kebijakan terhadap anak yang memadai akan menghantarkan kehidupan
yang layak bagi kota dan tatanan masyarakat.
2. Mengapresiasi pendapat mereka tentang kota yang mereka inginkan.
Mendengar suara rakyat, termasuk di dalamnya anak merupakan salah
satu aspek dalam kebijakan publik yang ramah terhadap anak. Kota
bagi anak adalah tatanan masyarakat yang ramah terhadap mereka.
Salah satunya adalah adanya kawasan bebas asap rokok. Kawasan bebas
asap rokok mulai banyak dirancang oleh pemerintah daerah. Salah
satunya, Jakarta. Dengan terciptanya kawasan bebas asap rokok anak
menjadi lebih sehat dan terjauh dari berbagai penyakit yang akan
mengganggu tumbuh kembangnya.
3. Demikian pula dengan adanya ruang terbuka hijau (RTH). Selain
dipergunakan sebagai taman kota, RTH juga dapat dijadikan sarana
bermain bagi anak yang aman dan nyaman. Semakin banyak ruang
bermain dan berkreasi bagi anak berarti kebijakan publik mampu
menjawab kebutuhan masyarakat dan dapat berperan serta dalam
kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial. ketika pemerintah daerah
mampu menciptakan birokrasi dan tatanan hukum yang memadai guna
tumbuh kembang anak, maka kehidupan di dalam keluarga, komunitas,
dan sosial akan terjadi dengan sendirinya. Kebijakan tersebut dapat
berupa pemenuhan gizi bagi balita melalui posyandu atau dasawisma.
4. Menerima pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Maka dari
itu, pemerintah daerah sudah saatnya mengagendakan pendidikan dasar
gratis bagi anak. Pendidikan gratis akan mendorong orangtua
menyekolahkan anak-anaknya. Pendidikan gratis pun perlu didukung
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
64
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
oleh kualitas sumber daya pengajar yan memadai. Tanpa hal yang
demikian, pendidikan dasar gratis hanya akan menjadi program tanpa
makna. Demikian pula dengan jaminan kesehatan. Ketersediaan
puskesmas yang mudah dijangkau menjadi hal yang wajib disediakan
pemerintah daerah bagi rakyatnya.
5. Mendapatkan air minum segar dan mempunyai akses terhadap sanitasi
yang baik. Kualitas air akan menentukan kualitas hidup manusia.
Pasalnya, air merupakan sumber kehidupan. Maka ketersediaan air
bersih menjadi agenda dasar pemerintah daerah bagi kehidupan
masyarakatnya. Sanitasi pun demikian. Jamban bagi setiap rumah
tangga menjadi hal yang wajib ada. Jika tidak, maka pemerintah daerah
sudah saatnya mengusahakannya melalui program-program
kesejahteraan keluarga.
6.Terlindungi dari eksploitasi, kekejaman, dan perlakuan salah.
Sebagaimana data yang telah terjadi di atas, maka, pemerintah daerah
sudah saatnya membuat peraturan perundangan yang mampu
mengakomodir seluruh lapisan masyarakat. Memenjarakan dan
menghukum pelaku tindak kekerasan terhadap anak merupakan cara
yang cukup ampuh dalam melindungi masa depan anak.
7. Aman berjalan di jalan. Jalan menjadi salah satu kebutuhan dasar bagi
kehidupan. Ketersedian jalan yang memadai akan membantu mobilitas
masyarakat. Demikian pula dengan anak. Ketersedian jalan yang baik
akan membuat anak betah tinggal di rumah. Selain itu, dengan jalan
yang baik dan memadai anak-anak akan mudah bertemu dan bermain
dengan temannya. Sebuah hal yang menyenangkan bagi seorang anak.
8. Mempunyai ruang hijau untuk tanaman dan hewan; hidup di lingkungan
yang bebas polusi. Sebagaimana telah di utarakan di depan, penyediaan
RTH akan menjaga kelangsungan hajat hidup masyarakat termasuk di
dalamnya, anak.
9. Berperan serta dalam kegiatan budaya dan sosial; anak dapat dilibatkan
dalam banyak hal. termasuk dalam kegiatan budaya. Penyelenggara
pemerintahan sudah saatnya membuat aturan atau regulasi yang
memungkin anak dapat berperan serta dalam banyak hal dalam
pembangunan daerah. Kegiatan berskala kabupaten merupakan ajang
temu anak dan berbagi pengalaman dalam kehidupan sesuai dengan
kemampuan anak.
10. Dan setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan,
tanpa memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan
kecacatan.
Beberapa kualaifikasi di atas selayaknya harus dipenuhi sebagai upaya
pemerintah Indonesia dalam melindungi hak-hak anak serta tercapainya
misi good governance. Bila dikaitkan dengan pespektif syariah, maka
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
65
pertanyaannya adalah apakah hakikat good governance dalam perspektif
hukum Islam. Dalam syariah dapat mengkonstruksi suatu pengertian
governance menurut pandangan syariah dalam hal ini al-Qur’an menjelaskan:
“Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka
bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh
berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada
Allah-lah kembali segala urusan”.30
Dengan menangkap dalalah al-isyarah ar-ramziyyah dari ayat di atas
maka dapat dilihat bahwa governance dalam perspektif syariah adalah suatu
penggunaan otoritas kekuasaan untuk mengelola pembangunan yang
berorientasi pada penciptaan suasana kondusif bagi masyarakat. Hal ini
sangat relevan bahwa pemerintah Indonesia khususnya pemerintah daerah
berkewajiban penuh untuk mengelola dan melindungi anak-anak dengan
upaya pembangunan kota layak anak hal ini dalam rangka sebagai tuntutan
teks ayat al-Qur’an sebagaimana di atas. Dalam ayat tersebut terdapat tiga
aspek governance, yaitu: (a) spiritual governance, (b) economic governance, (c)
political governance. Untuk mewujudkan good governance dalam tiga aspek
tersebut diperlukan nilai yang mana nila tersebut dapat diturunkan
beberapa asas tata kelola pemerintahan yang baik.31 Dengan
memperhatikan ayat al-Qur’an dapat ditemukan nilai dasar yang dapat
dijabarkan menjadi asas tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu syura,
keadilan dan amanah.32
Bahwa anak merupakan amanah dan karunia Allah SWT sebagai
generasi penerus dalam keluarga bahkan bangsa dan negara. Oleh sebab
itu maka anak harus mendapatkan perhatian yang lebih serius dari seluruh
aspek kehidupan. Dalam kehidupan manusia, anak merupakan individu
yang belum matang baik secara fisik, mental maupun sosial. Akibat dari
belum matangnya individu anak maka sangat dibutuhkan perlindungan
penuh. Dalam perlindungan hukum terhadap anak terdapat al-Quran yang
berbunyi:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar” 33
QS: Al-Haj, 41.
Syamsul Anwar, Membangun Good Governance Dalam Menyelenggaraan Birokrasi
Publik di Indonesia: Tinjauan Perspektif Syariah dengan Pendekatan Ilmu Ushul Fiqih.,
Disampaikan dalam pengukuhan Guru Besar Ilmu Ushul Fiqih, pada Fakultas Syari’ah di
Hadapan Senat Terbatas UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 26 September 2005., p. 10-11.
32 Ibid., p. 12.
33 QS: An-Nisa, 9
30
31
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
66
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
Komitmen perlindungan anak dalam Islam tertera di berbagai
litaratur, kodifikasi hukum dan kitab suci al-Quran. Setiap anak adam
dipandang suci dan mulia dalam Islam, karena anak adalah generasi
pemimpin agama dan bangsa berada pada dipundak anak-anak, oleh
karena itu, pemenuhan dan perlindungan terhadap anak dengan
implementasi pemenuhan kota layak anak merupakan suatau kewajiban
pemerintah.34 Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) dinyatakan bahwa yang
disebut anak adalah manusia atau seseorang yang berusia di bawah 18
tahun. Dalam mewujudkan pelaksanaan dari Konvensi Hak Anak tersebut
maka pemerintah Indonesia berkewajiban penuh untuk melindungi HAM
anak agar hak-hak anak tersebut tidak diganggu atau dikurangi oleh pihak
manapun. Perlindungan terhadap anak, dengan demikian merupakan
bagian dari pelaksanaan hak asasi manusia.35
Perlindungan hukum terhadap anak merupakan senantiasa harus
dijaga, karena dalam diri anak melekat harkat, martabat dan hak-hak
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. HAM anak merupakan
bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945, UU No. 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan konvensi perserikatan bangsabangsa tentang hak-hak anak. Seorang expert tentang perlindungan anak
Pater Newel, mengemukakan beberapa alasan subyektif dari sisi
keberadaan anak sehingga anak membutuhkan perlindungan, yaitu:
1. Biaya untuk melakukan pemulihan akibat dari kegagalan dalam
memberikan perlindungan anak sangat tinggi
2. Anak sangat berpengaruh langsung dan berjangka panjang atas perbiatan
(action) ataupun tidak adanya/dilakukannya perbuatan (unaction) dari
pemerintah ataupun kelompok lainnya
3. Anak selalu mengalami pemisahan atau kesenjangan dalam pemberian
pelayanan publik
4. Anak tidak mempunyai hak suara, dan tidaka mempunya kekuatan loby
untuk mempengaruhi agenda kebijakan pemerintahan
34 Ibnu Amshori, Pelindungan Anak Menurut Perspektif Islam,
(Jakarta: Komisi
Perlindungan Anak Indonesia, 2007), p. 23.
35 Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia
manusia. Manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau
berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata martabatnya sebagai manusia. Dalam
arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
budaya dan kewarganegaraan yang berbedabeda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut.
Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak
dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh
seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak
tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani.
Lihat: Rhona K.M. Smith, Hukum dan Hak Asasi Manusia, ed. Suparman Marzuki,
(Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), p. 8.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
67
5. Anak pada banyak keadaan tidak dapat mengakses perlindungan dan
penataan hak-hak anak
6. Anak lebih beresiko dalam eksploitasi dan penyalahgunaan
Konferensi Hak Anak berdasarkan materi hukumnya mengatur
mengenai hak-hak anak dan mekanisme implementasi hak anak oleh
Negara pihak yang merativikasi KHA. Materi hukum mengenai hak-hak
anak dalam KHA tersebut dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) katagori
hak-hak anak yaitu: 36
1. Hak terhadap kelangsungan hisup (survival rights), yaitu hak-hak anak
dalam KHA yang meliputi hak untuk melestarikan dan mempertahankan
hidup (the rights of life).
2. Hak terhadap perlindungan (protections rights) yaitu hak-hak anak dalam
KHA yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tidak kekerasan
dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga dan anakanak pengungsi
3. Hak untuk tumbuh kembang (development rights), yaitu hak-hak anak
dalam KHA yang meliputi hak untuk mencapai standard hidup yang
layak bagi perkembangan fisik, mental, moral dan sosial anak
4. Hak anak berpartisipasi (participation rights), yaitu hak-hak anak dalam
KHA yang meliputi hak anak untuk menyelamatkan pendapat dalam
segala hal yang mempengaruhi anak.
D. Kendala Pembentukan Kota Layak Anak
Apabila merujuk pada Konvensi Hak Anak, bahwa anak
mempunyai hak untuk tempat tinggal dalam Pasal 27 menegaskan hak
setiap anak atas kehidupan untuk pengembangan fisik, mental, spritual,
dan moral.37 Dalam mewujudkan kota ramah anak pada intinya
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat berperan penting dalam
merealisasikan Konvensi Hak Anak dan konsep Kota Ramah Anak. Hal
ini dapat terwujud melalui suatu kemitraan yang seluas-luasnya dengan
melibatkan semua pihak yang ada di kota. Kemitraan dapat dibangun
dengan melibatkan sektor swasta, tokoh masyarakat, tokoh adat,
pemerintah kota dari masing-masing departemen atau sektor, lembaga non
pemerintah, dan masyarakat sipil. Kemitraan yang terbangun dapat saling
berintegrasi dan bersinergi menjadi suatu kesatuan yang saling mengisi dan
membutuhkan satu dengan lainnya.
Selain itu pemerintah Indonesia menyatakan komitmen untuk
menjamin setiap anak diberikan masa depan yang lebih baik dengan
36 Unicep Perwakilan Indonesia, “Guide to Convention on the Rights of The Child.
Jakarta, p. 4.
37 Save the Children, Children on Their Housing, (Swedia: Radda Barnen, 1996), p.
13-15.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
68
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
ratifikasi Konvensi Hak Anak Sejak itu tercapailah kemajuan besar,
sebagaimana tercantum dalam laporan Pemerintah Indonesia mengenai
Pelaksanaan Konvensi Hak Anak ke Komite Hak Anak. Namun, hasil
yang dicapai ini tidak merata, dan berbagai kendala pun masih tetap ada,
terutama di beberapa kabupaten dan kota yang tertinggal. Masa depan
cerah bagi anak barulah merupakan ‘khayalan’ semata, dan pencapaian itu
pada umumnya kurang memenuhi kewajiban pemerintah dan komitmen
negara.38
Kendala dalam mewujudkan Kota Ramah anak yang paling utama
adalah Kebijakan dan Anggaran. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Linda Gumelar
saat membuka Konferensi
Internasional ke-2 Asia Pasifik Layak Anak 2011 di Solo, Jawa Tengah
beberapa waktu lalu, menyatakan bahwa terdapat beberapa
kabupaten/kota yang menunjukkan komitmen menjadi Kota Layak Anak
(KLA), namun secara umum hingga kini belum ada kabupaten/kota yang
benar-benar layak menjadi KLA. Jakarta sebagai ibu kota negara ternyata
dinilai masih tidak layak untuk anak. Dalam konferensi tersebut Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak menegaskan bahawa
tantangan pengembangan KLA ke depan, antara lain, sebagian besar
kabupaten/kota belum memiliki kebijakan daerah terhadap anak sebagai
penjabaran kebijakan nasional pembangunan anak. Pelaksanaan KLA
belum terlembaga di daerah, kinerja KLA sangat tergantung kepada
pimpinan daerah. 39 Selain itu, alokasi anggaran pembangunan anak dan
kapasitas tenaga yang menangani KLA masih sangat terbatas, padahal
tahun 2014 ditargetkan KLA ada di 100 kabupaten/kota. Untuk itu,
pengembangan KLA harus terus dilanjutkan guna meningkatkan perhatian
pemerintah daerah dalam pemenuhan hak-hak anak. Oleh karena itu
pemerintah Indonesia harus didukung oleh kebijakan dan anggaran. Untuk
mewujudkan hal ini dibutuhkan dukungan dan dorongan dari semua
pihak, untuk mendesak pembuatan kebijakan dan peningkatan anggaran.
D. Penutup
Walaupun belum ada satu pun yang mampu memenuhi kriteri
tersebut, namun setidaknya ada 75 kabupaten/kota yang masuk dalam
kriteria rintisan kota ramah anak (KRA). Maka dari itu upaya
mempercepat perwujudan KRA menjadi tanggung jawab pemerintah yang
didukung oleh seluruh eleman masyarakat yang ada. Mewujudkan KRA
berarti telah menciptakan ruang publik bagi anak. Sebagaimana
diungkapkan Assata Shakur, tanpa penciptaan ruang bagi anak, mereka
38http://www.kotalayakanak.org/index.phpoption.com_content&view.article&id,
kota-layak-anak. 15. 05. 12.
39 http://www.investor.co.id/home/membangun-kota-layak-anak. 15-05-12.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
69
akan dekat dengan diskriminasi. Ketika anak masih terjerembab dalam
diskriminasi maka masa depan kehidupan di planet ini akan semakin
terancam. Karena tidak adanya generasi yang diberi ruang untuk
berekspresi dan didengarkan keluh kesahnya. Pada akhirnya, kebijakan
publik yang ramah terhadap anak dengan menciptakan kota ramah anak
merupakan kesempatan pemimpin daerah untuk berbakti dan berbuat
banyak kepada masyarakatnya. Kepedulian pemimpin daerah dalam
merumuskan kebijakan yang ramah terhadap anak merupakan bagian
integral dan tidak dapat dipisahkan di era otonomi daerah yang menuntut
pemimpin daerah berkreasi demi kemajuan daerah yang dipimpinnya.
Perlindungan terhadap hak anak merupakan sebuah keniscayaan oleh
pemerintah, jika pemerintah sengaja mengabaikan terhadap pemenuhan
serta perlindungan hak anak dalam hal ini pemenuhan Kota Layak Anak,
maka pemerintah disini bisa dikatan telah melanggar HAM anak.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
70
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
Daftar Pustaka
Antara, 26 Juni 2008
Antara, 9 Juli 2008.
Dwiyanto dkk., Reformasi dan Tata Pemerintah dan Otonomi Daerah,
Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, 2003.
Global News Indonesia, 20 Juli 2011.
Syamsul Anwar, Membangun Good Governance Dalam Menyelenggaraan Birokrasi
Publik di Indonesia: Tinjauan Perspektif Syariah dengan Pendekatan Ilmu
Ushul Fiqih., Disampaikan dalam pengukuhan Guru Besar Ilmu
Ushul Fiqih, pada Fakultas Syari’ah di Hadapan Senat Terbatas UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta 26 September 2005.
Hadi Supeno, Diskriminasi Anak: Transformasi Menuju Perlindungan Anak
Berkonflik Dengan Hukum, Jakarta: KPAI, 2010.
http://www.investor.co.id/home/membangun-kota-layak-anak. 15-05-12.
http://www.investor.co.id/home/membangun-kota-layak-anak.15-052012
http://www.kotalayakanak.org/index.phpoption.com_content&view.artic
le&id,kota-layak-anak. 15. 05. 12.
http://www.menegpp.go.id/en/index.php?optioncom, kota-ramah-anakapa-mengapabagaimana.
Ibnu Amshori, Pelindungan Anak Menurut Perspektif Islam, Jakarta: Komisi
Perlindungan Anak Indonesia, 2007.
IULA&UNICEF, Partnership to Create Child Friendly City: Programming for
Child Rights with Local Authorities. Italy: UNICEF Innocenti Research
Centre, 2001.
Juli Hastadewi, dkk. “Kondisi dan Situasi Pekerja Anak”, Jakarta:
UNICEF Perwakilan Indonesia, 2004.
Keputusan Presiden No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-hak
Anak
Koran Tempo, 16 Mei 2010.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
71
Laporan KPAI kepada Presiden Republik Indonesia, tahun 2008.
PP No 2/2009 tentang Kebijakan KLA
Program Nasional Bagi Anak Indonesia 2015
R. Nugroho, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, Jakarta:
Elek Media Komputindo, 2003.
J. Iskandar, Manajemen Publik, Garut: Pustaka Program Pascasarjana
Universitas Garut, 1999.
Rhona K.M. Smith dkk., Hukum dan Hak Asasi Manusia, ed. Suparman
Marzuki, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2002.
Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara,
Yogyakarta: Liberty, 2006
Save the Children, Children on Their Housing, Swedia: Radda Barnen, 1996.
Sedarmayanti, Good Governance, “Pemerintahan Yang Baik Dalam Rangka
Otonomi Daerah”, Bandung: Mandar Maju, 2003.
Sudarsono, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bandung: Bintang Kejora,
2000.
Sulton Mawardi dan Sudarno Sumarto, Kebijakan Publik yang Memihak
Orang Miskin, Jakarta: SEMERU, 2003.
Susy Susilawaty, “Analisis Kebijakan Publik Bidang Keselamatan dan
Kesejahteraan Kerja di Kota Tasikmalaya”, Tesis, Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang 2007.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang RI No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang RI No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
72
Rudi Subiyakto: Membangun Kota Layak Anak…
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Download