21 Zaidah Nur Rosidah - AIFIS

advertisement
Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perumahan
atas Kualitas Bangunan
Oleh: Zaidah Nur Rosidah *
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mengentahui kecukupan peraturan perundangundangan yang mengatur kualitas bangunan perumahan yang dikaitkan dengan
tanggung jawab pengembang atas kualitas bangunan perumahan serta upaya hukum
yang dapat dilakukan oleh konsumen yang dirugikan oleh pengembang. Untuk
mencapai tujuan tersebut, digunakan metode penelitian yuridis normatif yang mengacu
pada norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk perundang-undangan yang
berlaku, khususnya bidang perumahan dan pemukiman dan perjanjian jual beli
rumah.
Dari penelitian yang telah dilakukan dihasilkan tiga temuan yaitu, pertama,
peraturan perundang-undangan yang mengatur kualitas bangunan perumahan sudah
mempunyai kecukupan berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Kedua, tanggung
jawab pengembang pada tahap pra transaksi tidak ada karena iklan dianggap
sebagai bentuk penawaran umum yang belum mengikat selama tidak dituangkan
dalam perjanjian pengikatan jual beli. Sedang dalam tahap transaksi konsumen yang
tertuang dalam perjanjian pengikatan jual beli, tanggung jawab pengembang atas
kualitas bangunan perumahan sangat terbatas. Dalam tahap pasca transaksi
konsumen, pengembang hanya memberikan jaminan pemeliharaan bangunan rumah
selama jangka waktu 3 bulan sejak serah terima bangunan. Ketiga, tindakan hukum
yang dapat dilakukan oleh konsumen yang dirugikan oleh pengembang menurut pasal
45 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu
jalur di luar pengadilan dan jalur pengadilan yang berada di bawah peradilan umum.
Apabila telah disepakati penyelesaian sengketa di luar pengadilan, maka jalur
pengadilan hanya dapat ditempuh apabila jalur di luar pengadilan tidak diperoleh
kata sepakat.
Berdasarkan hasil temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab
pengembang pada perjanjian jual beli rumah kurang memberikan perlindungan
hukum kepada konsumen.
Kata kunci: konsumen perumahan, tanggung jawab pengembang, kualitas
bangunan perumahan.
*
Dosen Jurusan Syari’ah STAIN Surakarta.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zaidah Nur Rosidah: Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perumahan…
866
A. Pendahuluan
Rumah merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia di
samping kebutuhan lainnya. Dalam mewujudkan kebutuhan tersebut
diperlukan adanya usaha pembangunan perumahan yang dilengkapi
dengan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial.
Pembangunan perumahan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat akan tempat tinggal baik dalam jumlah maupun kualitasnya
dalam lingkungan yang sehat serta kebutuhan akan suasana kehidupan
yang memberikan rasa aman, damai, tenteram dan sejahtera.
Perkembangan tuntutan manusia akan kebutuhan perumahan yang
merupakan kebutuhan pokok di samping sandang dan pangan
menyebabkan selalu muncul berbagai masalah baru dalam pengadaan
perumahan, terutama sekali di kota-kota besar yang pesat
perkembangannya, tinggi laju pertumbuhan penduduknya dan sangat
heterogen masyarakat penghuninya.1 Masih banyaknya warga masyarakat
yang belum memiliki rumah tempat tinggal terutama bagi yang
berpenghasilan rendah, kurang mampu membeli rumah yang layak, maka
penyelenggaraan
pembangunan
perumahan
perlu
diadakan
pengklasifikasian jenis tipe rumah dengan memperhatikan aspek
pendapatan dan keterjangkauan serta perlindungan terhadap konsumen.
Mengingat arti pentingnya perumahan yang merupakan unsur
pokok dari kesejahteraan rakyat, maka sewajarnyalah kalau setiap warga
negara berhak memperoleh dan menikmati perumahan yang laiak. Hak
warga negara untuk memperoleh serta menikmati perumahan yang laiak
dipertegas dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 tahun 1992 tentang
Perumahan dan Pemukiman yang menyatakan bahwa setiap warga negara
mempunyai hak untuk menempati dan/atau memiliki rumah yang layak
dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. Penjelasan pasal ini
menegaskan bahwa rumah yang layak adalah bangunan rumah yang
sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan
kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan. Lingkungan yang
aman, sehat, serasi dan teratur adalah lingkungan yang memenuhi
persyaratan penataan ruang, persyaratan penggunaan tanah dan
kepemilikan hak atas tanah dan kelayakan prasarana dan sarana
lingkungannya.
Prinsip dasar pembangunan perumahan pada hakekatnya bertolak
dari pemikiran bahwa pembangunan perumahan didasarkan atas prakarsa
dari swadaya masyarakat sendiri. Peran pemerintah terutama diarahkan
1
Eko Budihardjo, Sejumlah Masalah Pemukiman Kota, (Bandung: Alumni, 1998), p.
2.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zaidah Nur Rosidah: Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perumahan…
867
pada peningkatan kemampuan masyarakat dan penciptaan iklim yang
mendorong tumbuhnya prakarsa dan swadaya masyarakat serta pada
penyediaan prasarana dan sarana. Sasaran pembangunan perumahan
dititikberatkan pada pemenuhan kebutuhan perumahan khususnya bagi
golongan masyarakat berpenghasilan rendah.
Dalam memiliki rumah, pihak pengembang menyediakan berbagai
tipe sesuai keinginan dan kemampuan masyarakat dengan membayar
secara tunai maupun secara angsuran yang akan dibiayai oleh pihak bank
sebagai pemberi kredit pemilikan rumah (KPR). Oleh karena itu, untuk
membantu masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah
pemerintah memberikan fasilitas kredit pemilikan rumah melalui bank
yang ditunjuk atau lembaga penyedia kredit pemilikan rumah lainnya.
Dalam perjanjian jual beli rumah baik secara tunai maupun kredit
antara pengembang dan konsumen, maka timbullah hak dan kewajiban
dari masing-masing pihak. Dalam hal perjanjian jual beli rumah,
pengembang berkewajiban untuk menyerahkan rumah yang menjadi
obyek perjanjian jual beli tersebut. Di samping itu, menurut Pasal 1473 jo.
1491 KUHPerdata, penjual (pengembang) berkewajiban untuk menjamin
terhadap pemiliknya yang aman dan tenteram, terhadap cacat tersembunyi
dan lain hal yang dapat mengakibatkan batalnya jual beli.2 Ditinjau dari
pihak yang lain, pembeli berhak menuntut jaminan tersebut.
Produsen (pengembang) sebagai pihak penghasil barang dan jasa
berhadapan dengan pihak pembeli (konsumen) sebagai pemakai produk
akhir yang dihasilkan pihak produsen. Dalam interaksi yang demikian itu,
tidak dapat dipungkiri jika pihak produsen cenderung untuk berorientasi
pada tujuan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Di lain pihak
konsumen mempunyai kepentingan untuk menikmati barang dan jasa
yang diperolehnya sebagai imbalan atas prestasi yang telah diberikannya
berupa suatu pembayaran kepada pihak produsen.
Karena tuntutan pengadaan rumah yang begitu besar dibandingkan
dengan jumlah pengembang, acapkali pengembang kurang begitu
memperhatikan kualitas bangunan perumahan. Posisi pengembang sebagai
produsen memiliki kedudukan yang lebih kuat dari pembeli rumah
(konsumen). Pengembang cenderung menyalahgunakan keadaan tersebut
dalam perjanjian baku (perjanjian standar) yang dilakukan dengan
konsumen dalam pembelian rumah.
Menurut Anwar Fazal dan Rajeswari Kanniah dalam Yusuf Sofie, di
dalam kontrak standar itu sering dimuat klausula-klausula pengecualian
(exemption caluse), misalnya: meniadakan tanggungjawab pengembang dalam
2
J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), p. 4.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
868
Zaidah Nur Rosidah: Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perumahan…
hal terlambat menyerahkan bangunan, sebaliknya bila konsumen terlambat
membayar angsuran uang muka dikenakan penalti atau denda;
membebaskan pengembang dari klaim atas kondisi/kualitas bangunan
yang melampaui batas waktu 100 hari sejak serah terima bangunan fisik
rumah atau rusun, dan sebagainya. 3
Tidak adanya keseimbangan antara para pihak dalam perjanjian
standar telah membawa kecenderungan adanya eksploitasi dari pihak yang
kuat (pengembang) kepada pihak yang lemah (konsumen). Di satu sisi
kewajiban konsumen diatur secara rinci, di sisi lain begitu sampai pada
kewajiban pengembang hanya sebagian kecil atau sama sekali tidak diatur
dalam perjanjian standar.4
Untuk menghadapi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan
keadaan, maka diperlukan perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang
mempunyai kedudukan lemah dalam suatu perjanjian. Oleh karena itu,
pentingnya perlindungan hukum terhadap konsumen dalam perjanjian
lebih didorong adanya kecenderungan kedudukan konsumen dirugikan
oleh produsen. Produsen tidak jarang menetapkan akibat pelaksanaan
perjanjian dengan syarat-syarat yang sangat memberatkan konsumen yakni
dengan cara menghapuskan tanggungjawabnya atas resiko perjanjian yang
mungkin terjadi. Terhadap konsumen pembeli rumah yang dirugikan perlu
diberi perlindungan hukum. Perlindungan hukum ini diperlukan
mengingat di samping lemahnya kedudukan para konsumen, juga masih
kurangnya kesadaran hukum masyarakat konsumen pada umumnya
terhadap perjanjian yang disodorkan kepadanya. Hal tersebut terlihat dari
masih kurangnya konsumen memperhatikan syarat-syarat perjanjian yang
dibuat akan tetapi lebih berorientasi pada pertimbangan-pertimbangan
praktis seperti bagaimana secepatnya dapat memperoleh perumahan.
B. Pembahasan
1. Pengaturan Kualitas Bangunan Perumahan dalam Perundangundangan
Dalam rangka peningkatan taraf hidup rakyat Indonesia melalui
penyediaan perumahan secara merata, khususnya bagi kelompok
masyarakat yang berpenghasilan rendah, sangat rendah dan kelompok
berpenghasilan tidak tetap, maka diperlukan upaya penyediaan perumahan
3 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2000), p. 75.
4 Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1996), p. 32.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zaidah Nur Rosidah: Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perumahan…
869
murah yang layak dan terjangkau akan tetapi tetap memenuhi persyaratan
kesehatan, keamanan dan kenyamanan.
Dalam upaya memenuhi ketiga persyaratan dasar tersebut di atas
serta memenuhi tujuan dari penyediaan perumahan bagi kelompok
masyarakat tersebut maka perlu disediakan suatu rancangan yang
memenuhi standar minimal. Pendekatan penyediaan rumah selama ini
lebih diseragamkan, sehingga terdapat beberapa kendala di lapangan di
antaranya kesenjangan harga yang sangat menyolok di antara beberapa
daerah. Selain itu, terlalu dipaksakan satu standar nasional untuk seluruh
daerah, bentuk rancangan tidak mengakomodasikan potensi daerah
setempat sehingga menjadi mahal.
Kualitas mengandung arti tingkat baik buruknya sesuatu.5 Kualitas
bangunan perumahan berarti tingkat baik buruknya bangunan perumahan.
Yang dimaksud dengan bangunan adalah susunan sesuatu yang tertumpu
pada landasan dan terikat dengan tanah sehingga terbentuk ruangan dan
mempunyai fungsi, sedang bangunan rumah adalah bangunan yang
direncanakan dan digunakan sebagai tempat kediaman oleh satu keluarga
atau lebih.
Untuk mengetahui baik buruknya bangunan perumahan dipakai
standar yang ditetapkan oleh pemerintah tentang bangunan rumah.
Standar memiliki arti ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan,6
sehingga dengan adanya standar bangunan rumah dapat dinilai apakah
bangunan rumah yang ditawarkan oleh pengembang kualitasnya baik atau
buruk. Berbagai peraturan perundangan yang mengatur tentang standar
kualitas bangunan rumah merupakan pedoman atau patokan yang harus
diikuti oleh pengembang.
Peraturan perundang-undangan sebagai hukum merupakan bagian
integral dari kehidupan bersama. Kalau manusia hidup terisolir dari
manusia lain, maka tidak akan terjadi sentuhan atau kontak, baik yang
menyenangkan maupun yang merupakan konflik. Dalam keadaan
semacam itu hukum tidak diperlukan.7 Hukum mengatur dan menguasai
manusia dalam kehidupan bersama, sebagai konsekuensinya maka tata
hukum bertitik tolak pada penghormatan dan perlindungan manusia.
Penghormatan dan perlindungan manusia ini tidak lain merupakan
percerminan dari kepentingannya sendiri. Dalam penghormatan manusia
ini terdapat persyaratan-persyaratan umum untuk berlakunya peraturan5 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1997), p. 603.
6 Ibid, p. 1089.
7 Soedikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1984),
p. 26.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zaidah Nur Rosidah: Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perumahan…
870
peraturan hidup yang disediakan bagi manusia.8 Jadi dengan
diberlakukannya pedoman teknik pembangunan perumahan bagi para
pengembang akan dapat menjamin kepentingan antara pengembang,
konsumen dan pihak pemerintah sendiri. Hal yang perlu diperhatikan
bahwa asas keterjangkauan harga rumah bagi kelompok sasaran yaitu
golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan sedang serta standar
minimum kualitas perumahan yang sehat akan tetap menjadi tuntutan
kebutuhan pembangunan perumahan di Indonesia pada masa-masa
mendatang.
Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaidah mempunyai isi
yang bersifat umum dan normatif. Umum karena berlaku bagi setiap
orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan,
apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan
bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaidah-kaidah.9
Agar suatu pedoman ataupun patokan yang merupakan norma
hukum dapat berfungsi maka kaidah hukum tersebut harus memenuhi tiga
unsur kelakuan hukum yaitu berlakunya secara yuridis, sosiologis, dan
filosofis. Sebab apabila suatu kaidah hukum hanya mempunyai kelakuan
yuridis belaka, maka kaidah hukum tersebut merupakan suatu kaidah yang
mati. Kalau suatu kaidah hukum hanya mempunyai kelakuan sosiologis
dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah hukum yang bersangkutan
menjadi aturan pemaksa. Akhirnya, apabila suatu kaidah hukum hanya
mempunyai kelakuan filosofis, maka kaidah hukum tersebut hanya boleh
disebut sebagai kaidah hukum yang diharapkan atau dicita-citakan.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa apabila kaidah hukum
tersebut diartikan sebagai patokan hidup bersama yang damai, maka tidak
boleh tidak kaidah tersebut harus mempunyai kelakuan dalam ketiga
bidang tersebut.10
Berikut ini inventarisasi peraturan perundang-undangan mengenai
kualitas bangunan perumahan :
a. UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman
UU Perumahan dan Pemukiman sebagai UU induk hanya memuat
ketentuan-ketentuan yang pokok saja, sedang penjabarannya diatur dalam
peraturan pelaksana lainnya. Sebagai UU induk, UU perumahan dan
Pemukiman memberikan acuan dasar dalam melaksanakan pembangunan
di bidang perumahan dan pemukiman. Salah satu tujuan dilakukannya
8
Ibid, p. 27.
Ibid, p. 39.
10 Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung:
Alumni, 1989), p. 92.
9
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zaidah Nur Rosidah: Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perumahan…
871
penataan perumahan dan pemukiman adalah untuk mewujudkan
perumahan dan pemukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat,
aman, serasi dan teratur.
Untuk dapat mencapai tujuan tersebut maka bangunan rumah yang
akan didirikan harus memenuhi syarat baik syarat administratif, ekologis
maupun syarat teknis. Oleh karenanya, di dalam pasal 7 UU Perumahan
dan Pemukiman ditentukan bahwa setiap orang atau badan yang akan
mendirikan rumah harus mengikuti persyaratan tersebut.
Persyaratan teknis berkaitan dengan keselamatan dan kenyamanan
bangunan dan keandalan sarana serta prasarana lingkungan. Persyaratan
ekologis berkaitan dengan keserasian dan keseimbangan baik antara
lingkungan buatan dengan lingkungan alam maupun dengan lingkungan
sosial, budaya, termasuk nilai-nilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan.
Persyaratan administrasi berkaitan dengan pemberian ijin usaha, ijin lokasi
dan ijin mendirikan bangunan serta pemberian hak atas tanah.11
b. UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Sebagaimana yang telah diatur dalam UU Perumahan dan
Pemukiman, UU Bangunan Gedung juga mengatur tentang kualitas
bangunan. Pada ketentuan pasal 1 ayat (1) mengenai definisi bangunan
gedung, meliputi pula bangunan untuk hunian atau tempat tinggal. Salah
satu tujuan pengaturan bangunan tersebut adalah untuk mewujudkan
penyelenggaraan bangunan yang menjamin keandalan teknis bangunan
gedung dari segi keselamatan, kenyamanan dan kemudahan.
Menyangkut persyaratan keselamatan meliputi kemampuan
bangunan rumah untuk mendukung beban muatan, serta kemampuan
bangunan rumah dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran
dan bahaya petir. Kemampuan bangunan rumah untuk mendukung beban
muatannya merupakan kemampuan struktur bangunan rumah yang stabil
dan kukuh dalam mendukung beban muatan.
Kemampuan bangunan rumah yang stabil dan kukuh dalam
mendukung beban muatan merupakan struktur bangunan rumah yang
stabil dan kukuh sampai dengan kondisi pembebanan maksimum dalam
mendukung beban muatan yang timbul akibat perilaku alam.
c. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
UUPK sebagai UU yang memberikan perlindungan kepada
konsumen berlaku secara umum. Hal ini berlaku juga untuk konsumen
perumahan. Sebagaimana yang tertuang di dalam pasal 4 huruf a dan b
11
AP. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman dan
Undang-undang Rumah Susun, (Bandung: Madar Maju, 2001), p. 41.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
872
Zaidah Nur Rosidah: Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perumahan…
tentang hak konsumen bahwa konsumen barhak atas kenyamanan,
keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
Dalam hal tersebut adalah konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan
dan keselamatan dalam menikmati rumah yang dibeli dari pengembang.
Agar hak untuk menikmati rumah yang laiak sehingga aman dan
nyaman, maka pengembang harus menjamin bahwa mutu barang (kualitas
bangunan rumah) tersebut sesuai dengan ketentuan standar mutu yang
berlaku. Apabila standar mutu yang berlaku tidak dipenuhi oleh
pengembang, maka jika terjadi kerugian di pihak konsumen, pengembang
wajib memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan barang dan/atau jasa yang di jual oleh
pengembang.
d. Peraturan Menteri
1) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/KPTS/1986 tentang
Pedoman Teknis Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun
Pedoman teknis pembangunan perumahan sederhana tidak
bersusun tersebut dikeluarkan dengan tujuan agar setiap pembangunan
perumahan sederhana yang dilakukan oleh pengembang tetap
memperhatikan standar yang dikeluarkan oleh pemerintah, dalam hal ini
melalui Keputusan Menteri Pekerjaan Umum.
Untuk menjamin struktur yang sesuai dan dapat bekerja dengan
baik, harus dipenuhi syarat-syarat :
a) dapat menahan semua beban dan gaya-gaya termasuk gempa bumi
yang bekerja padanya sesuai dengan fungsinya.
b) cukup terlindung dari korosi, kelapukan, serangga-serangga dan
kekuatan-kekuatan perusak lainnya.
c) dapat bekerja/berfungsi secara baik, minimum 20 tahun.
d) dipenuhi norma-norma, standar-standar dan peraturan-peraturan yang
berlaku.
e) khusus di dalam merencanakan bangunan maisonette sederhana,
muatan berguna lantai unit hunian diambil 200 kg/m2.
f) ketahanan struktur terhadap kebakaran minimum adalah 1 jam.
2) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 54/PRT/1991 tentang
Pedoman Teknis Pembangunan Perumahan Sangat Sederhana
Di dalam pasal 2 pedoman teknik tersebut dimaksudkan untuk
landasan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan serta memudahkan
proses pengadaan pembangunan rumah sangat sederhana beserta
lingkungannya. Sekalipun pembangunan rumah sangat sederhana
diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah,
tidak berarti kualitas bangunan rumah tidak diperhatikan. Oleh karena itu,
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zaidah Nur Rosidah: Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perumahan…
873
pemerintah mengeluarkan pedoman teknik tersebut sebagai landasan bagi
para pengembang perumahan untuk membangun rumah sangat sederhana.
Hal ini dapat terlihat di dalam pasal 18 ayat (1) dan (2).
(1) pembangunan rumah sangat sederhana harus memenuhi syarat
kesehatan yang menjamin penghuni dapat hidup sehat dalam kegiatan
sehari-hari secara layak.
(2) spesifikasi bahan bangunan harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan dalam Standard Nasional Indonesia sepanjang
menggunakan bahan yang sudah ada standarnya.
Pasal 23 berhubungan dengan struktur, komponen, dan bahan
bangunan. Struktur, komponen, dan bahan bangunan harus mempunyai
persyaratan :
a. penggunaan bahan bangunan untuk konstruksi yang murah dapat
terdiri dari bahan bangunan lokal atau lainnya yang kekuatannya
memenuhi syarat teknis;
b. permukaan lantai harus lebih tinggi 20 cm (dua puluh centi meter) dari
permukaan halaman tertinggi dan harus rata, kering, mudah
dibersihkan, tidak menimbulkan debu, dan dapat diperkeras antara lain
tanah dilapisi dengan air semen, tras;
c. dinding dapat dibuat dari bahan yang sekurang-kurangnya dapat
melindungi penghuni dari cuaca dan sinar matahari langsung, antara
lain digunakan bahan dari anyaman bambu atau sejenis yang dipasang
sekurang-kurangnya 90 cm (sembilan puluh centi meter) di atas dinding
dengan bahan tembok.;
d. dinding dapur, kamar mandi/kakus dengan bahan tembok sekurangkurangnya setinggi 1.50 cm (seratus lima puluh centi meter), dinding
kamar mandi/kakus harus kedap air;
e. kerangka atap harus mempunyai kekuatan menahan beban sendiri dan
beban-beban lain yang harus didukung antara lain dapat digunakan
bahan kayu atau bambu;
a. Penutup atap harus disesuaikan dengan kemampuan dari kerangka
atapnya, antara lain dapat digunakan bahan dari genteng pletong,
keramik rakyat, seng gelombang atau asbes gelombang.
Langit-langit dapat ditiadakan dengan membuat kerangka atap dan
penutupnya lebih rapi.
3) Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No.
403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman teknis Pembangunan Rumah
Sederhana Sehat
Kedua pedoman teknik yang sudah ada sebelumnya yaitu pedoman
teknis pembangunan perumahan sederhana tidak bersusun dan pedoman
teknis pembangunan perumahan sangat sederhana bersifat nasional,
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zaidah Nur Rosidah: Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perumahan…
874
dikeluarkan terhadap pembangunan perumahan yang ada di seluruh
Indonesia, sedangkan pedoman teknik pembangunan perumahan
sederhana sehat ini dikeluarkan dengan memperhatikan kondisi geografis,
kebudayaan dan bahan bangunan lokal yang ada di masing-masing daerah.
Oleh karena ada berbagai alternatif pilihan tipologi rumah sederhana sehat
untuk masing-masing daerah.
Dari pedoman yang ada, secara materi sudah cukup memadai
artinya spesifikasi teknis dan kebutuhan serta proses pekerjaan telah
diuraikan secara rinci, sehingga dari isi uraian tersebut dapat dipakai
sebagai patokan di dalam membangun rumah. Apabila ketentuan yang ada
di dalamnya tidak diikuti, hal tersebut berdampak pada kualitas bangunan.
Misalnya untuk pekerjaan pondasi batu kali, volume pekerjaan pondasi
batu kali menggunakan campuran 1 pc: 5 pasir, apabila komposisi
campuran tersebut dirubah dengan menambah jumlah pasir menjadi 6
atau 7 akan berakibat kekuatan pondasi menahan beban-beban yang ada di
atasnya tidak cukup kuat. Untuk mengantisipasi hal tersebut, ada tim
pengawas yang berasal dari Dinas Permukiman dan Tata Ruang.
C. Tanggung Jawab Pengembang terhadap Konsumen dalam
Perjanjian Jual Beli Rumah
a. Tanggung Jawab Pengembang pada Tahap Pra Transaksi
Konsumen
Iklan sebagai bentuk penawaran memiliki peran yang cukup besar
bagi konsumen untuk memutuskan memilih rumah atau tidak. Brosur
perumahan yang telah dikeluarkan oleh pengembang merupakan bentuk
penawaran umum. Penawaran umum adalah suatu penawaran yang tidak
tertuju pada orang atau sekelompok orang tertentu tetapi kepada
kelompok masyarakat yang lebih luas baik dengan memajangnya di etalase,
memasang advertaisi atau melalui selebaran. 12
Iklan perumahan punya kontribusi yang tidak kecil terhadap
tingginya angka pengaduan perumahan. Berangkat dari iklan, konsumen
menentukan untuk membeli rumah. Ternyata materi dalam iklan
perumahan tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan.
Informasi dari iklan yang benar dan bertanggungjawab akan
memberikan dampak positif pada putusan pilihan konsumen, sedang iklan
yang sebaliknya melebih-lebihkan, menyesatkan, setengah benar atau
menipu tentunya potensial dapat menimbulkan kerugian pada konsumen.
Brosur perumahan sebagai sarana iklan tidak boleh menyesatkan,
antara lain dengan memberikan keterangan yang tidak benar, mengelabuhi,
12
J. Satrio, Hukum Perjanjian, p. 175.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zaidah Nur Rosidah: Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perumahan…
875
atau memberi janji-janji yang berlebihan. Hal tersebut sejalan dengan pasal
9 UUPK yaitu pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/ atau
seolah-olah :
1) barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga,
harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu,
karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
2) barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
3) barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
4) menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak
berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek samping tanpa
keterangan yang lengkap;
5) menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti
b. Tanggung
Konsumen
Jawab
Pengembang
Pada
Tahap
Transaksi
Pada tahap transaksi konsumen terjadi hubungan hukum antara
konsumen dengan pengembang yaitu perjanjian pengikatan jual beli
rumah. Namun, di dalam mekanisme ini perjanjian pengikatan jual beli
yang merupakan perjanjian pendahuluan belum bersifat tunai dan riil. Hal
tersebut mempunyai dampak yang berbeda, karena benda yang dijadikan
obyek jual beli adalah benda tak bergerak maka ketentuan yang
mengaturnya juga berbeda.
Perjanjian pengikatan jual beli tunduk pada hukum perdata, sedang
akta jual belinya tunduk pada hukum agraria. Namun demikian, perjanjian
pengikatan jual beli merupakan landasan adanya perjanjian yang sah
sehingga kapan terjadinya perjanjian penting untuk menentukan kapan
pelaksanaan perjanjian tersebut.
Ada beberapa ajaran saat terjadinya perjanjian:13
1) teori kehendak: kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak
penerima dinyatakan, misal dengan menulis surat.
2) teori pengiriman: kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang
dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
3) teori pengetahuan: mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan
seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.
4) teori kepercayaan: mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada
saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang
menawarkan.
13
Mariam Darus Badruzzaman, KUHPerdata Buku III, Hukum Perikatan dengan
Penjelasannya, (Bandung: Alumni, 1996), pp. 98-99.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
876
Zaidah Nur Rosidah: Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perumahan…
Dari beberapa teori tersebut di atas, kiranya teori pengetahuan yang
mendekati untuk mengetahui kapan kesepakatan terjadi pada saat yang
menawarkan, dalam hal ini pengembang mengetahui bahwa tawarannya
diterima konsumen. Untuk selanjutnya antara konsumen dan pengembang
sepakat menandatangani perjanjian pengikatan jual beli rumah. Sepakat
mereka mengikatkan diri adalah asas esensial dalam hukum perjanjian
yang dinamakan asas konsensualisme yang mempunyai hubungan erat
dengan asas kebebasan berkontrak yang menentukan adanya perjanjian.
Dengan adanya kesepakatan para pihak yang ditandai adanya
perjanjian pengikatan jual beli rumah telah terjadi suatu hubungan hukum
antara keduanya yang dapat menimbulkan akibat hukum yaitu adanya hak
dan kewajiban yang mana pihak konsumen berhak menuntut prestasi
(suatu hal) dari pihak pengembang yang berkewajiban memenuhi prestasi
yaitu wajib melaksanakan pendirian bangunan sesuai waktu yang
diperjanjikan menurut gambar arsitektur, gambar denah, spesifikasi teknis
yang tercantum dalam Akta Pengikatan Jual Beli Rumah.
Namun demikian, ketentuan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli
yang mengatur pemeliharaan bangunan kurang memberikan perlindungan
kepada konsumen. Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:
1) dengan dilakukannya serah terima tanah dan bangunan, maka segala
tanggungjawab untuk memelihara dan menjaga tanah dan bangunan
menjadi tugas dan tanggungjawab konsumen sepenuhnya.
2) setelah serah terima tanah dan bangunan dilakukan, pengembang
berkewajiban melakukan perbaikan-perbaikan atas kerusakan yang
terjadi pada bangunan selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan
terhitung sejak hari dan tanggal berita acara serah terima tersebut.
3) perbaikan-perbaikan atas bagian bangunan yang rusak dilakukan oleh
pengembang berdasarkan gambar denah bangunan dan spesifikasi
teknis yang merupakan lampiran dari pengikatan jual beli ini, dan oleh
karenanya segala perbaikan yang menyimpang dari gambar denah
bangunan dan spesifikasi teknis bukan merupakan kewajiban
pengembang.
4) apabila selama berlangsungnya masa pemeliharaan terjadi kerusakan
pada bangunan yang disebabkan oleh keadaan Force Mayeure antara
lain gempa bumi, banjir, huru-hara, perang, kebakaran dan tindakan
kekerasan yang dilakukan baik perorangan maupun massal, atau
karena perbaikan atau perubahan yang dilakukan oleh konsumen atas
bangunan, maka pengembang dibebaskan dari kewajiban untuk
melakukan perbaikan-perbaikan atas kerusakan yang terjadi dan oleh
karenanya hal tersebut menjadi beban dan tanggungjawab konsumen
sepenuhnya.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zaidah Nur Rosidah: Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perumahan…
877
Ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban yang tertuang dalam
Perjanjian Pengikatan Jual Beli mengakibatkan hak-hak konsumen kurang
terlindungi karena bersumber dari isi perjanjian tersebut maka konsumen
akan sulit untuk menuntut sesuatu yang tidak diperjanjikan dengan
pengembang, meskipun pada saat menandatangani akta perjanjian tersebut
keadaan konsumen lemah dari segi ekonomi.
Pada umumnya suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak
menganut asas kebebasan berkontrak, yaitu pengembang dan konsumen
bebas untuk menentukan bentuk dan isi perjanjian. Asas kebebasan
berkontrak yang dimaksud meliputi bentuk dan isi dari perjanjian. Bentuk
perjanjian berupa kata sepakat saja sudah cukup, dan apabila dituangkan
dalam suatu akta hanyalah dimaksudkan sekedar sebagai alat pembuktian
semata saja, sedangkan mengenai isinya, para pihak yang pada dasarnya
bebas menentukan sendiri apa yang mereka ingin tuangkan. Namun
demikian, ada beberapa macam perjanjian yang hanya sah apabila
dituangkan dalam bentuk akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat
umum atau notaris dan PPAT, misalnya akta Jual Beli Tanah, termasuk di
dalamnya jual beli rumah karena berikut tanahnya.
Dengan diperlukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka
berarti kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para
pihak tidak mendapat sesuatu yang mengakibatkan adanya cacat bagi
perwujudan kehendak tersebut.14
Oleh karena PPJB dibuat oleh pengembang, faktor subyektifitas
pengembang sangat mempengaruhi di dalam memasukkan kepentingankepentingannya di dalam PPJB. Sebaliknya sulit bagi konsumen untuk
memperjuangkan kepentingan-kepentingannya di dalam PPJB itu.
Meskipun sudah ada Undang-undang No. 4 tahun 1992 tentang
Perumahan dan Pemukiman, kepentingan konsumen tidak terlindungi.
Pada umumnya kontrak standar dibuat dan dipersiapkan oleh para pihak
yang secara ekonomi kedudukannya lebih baik/kuat dari pihak lainnya.
Dalam hal ini PPJB sudah disiapkan secara baku dan sepihak oleh
pengembang atau kuasa hukumnya.
Perjanjian baku mengandung sifat banyak menimbulkan kerugian
terhadap konsumen. Perjanjian pengikatan jual beli rumah adalah
merupakan salah satu contoh jenis perjanjian baku sepihak yaitu perjanjian
yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya (pengembang)
di dalam perjanjian. Perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku
diadakan tidak memberikan kesempatan kepada konsumen untuk
mengadakan real bargaining dengan pengusaha. Konsumen tidak
14
Ibid, p. 98.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zaidah Nur Rosidah: Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perumahan…
878
mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya
dalam menentukan isi perjanjian baku, sehingga untuk memenuhi elemen
yang dikehendaki pasal 1320 jo 1338 KUHPerdata dan akibatnya tidak
ada.
Namun pendapat Stein seperti yang dikutip Mariam Darus bahwa
perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya
kemauan dan kepercayaan para pihak yang mengikatkan diri pada
perjanjian tersebut, sehingga jika konsumen menerima dokumen
perjanjian itu berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.
c. Tanggung Jawab Pengembang Pada Tahap Pasca Transaksi
Pada tahap ini berarti pelaksanaan jual beli antara konsumen dengan
pengembang sudah terjadi. Salah satu aspek yang amat penting dalam
perjanjian adalah pelaksanaan perjanjian itu sendiri. Bahkan dapat
dikatakan justru pelaksanaan perjanjian inilah yang menjadi tujuan orangorang yang mengadakan perjanjian, karena justru dengan pelaksanaan
perjanjian itu, pihak-pihak yang membuatnya akan dapat memenuhi
kebutuhannya, kepentingannya serta mengembangkan bakatnya.
Di dalam melaksanakan perjanjian, peran itikat baik dari
pengembang sungguh mempunyai arti yang sangat penting sekali. Menurut
Subekti sebagaimana dikutip oleh Riduan Syahrani, bahwa itikat baik
dikatakan sebagai suatu sendi yang terpenting dalam hukum perjanjian.15
Apakah suatu perjanjian dilaksanakan dengan itikat baik atau tidak akan
tercermin pada perbuatan-perbuatan nyata pelaksanaan perjanjian
tersebut.
Tidak terlaksananya pembangunan rumah sesuai dengan yang
diperjanjikan seringkali dilakukan oleh pengembang, demikian juga dalam
pemeliharaan bangunan. Jangka waktu pemeliharaan sesuai dengan
kesepakatan adalah 3 bulan, di mana jangka waktu ini dinilai terlalu singkat
untuk menilai kualitas bangunan rumah. Akan tetapi selama jangka waktu
tersebut pemeliharaan yang dilakukan oleh pengembang juga tidak
memberikan kepuasan kepada konsumen sehingga setelah jangka waktu
berakhir konsumen masih mengalami kerugian akibat kerusakankerusakan bangunan rumah yang belum selesai diperbaiki, sementara
pengembang menolak untuk melakukan perbaikan.
15
Riduan Syahrani, Asas-Asas dan Seluk Beluk Hukum Perdata, (Bandung: Alumni,
1992), p. 259.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zaidah Nur Rosidah: Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perumahan…
879
D. Tindakan Hukum yang dapat Dilakukan oleh Konsumen
terhadap Perbuatan Pengembang yang Mengakibatkan
Timbulnya Kerugian
Pada hakekatnya hukum tidak lain adalah perlindungan kepentingan
manusia, yang berbentuk kaidah atau norma. Tiap manusia mempunyai
kepentingan baik yang bersifat individual maupun kolektif.16 Hukum
bertujuan untuk mengatur tingkahlaku dan perbuatan dalam berbagai cara
yang berbeda. Pertama, tingkahlaku dan perbuatan tertentu dianggap tidak
diinginkan sehingga hukum melarang melakukannya, hukum menjadikan
tingkahlaku dan perbuatan itu suatu perbuatan pidana dan menentukan
bahwa pelanggarannya boleh dihukum. Kedua, tingkahlaku dan perbuatan
yang merugikan anggota masyarakat lainnya dan peraturan-peraturan
hukum perdata memberikan hak kepada pihak yang dirugikan itu untuk
menerima ganti rugi atau upaya hukum perdata lainnya. Perbuatan yang
dapat menimbulkan kerugian pada orang lain karena dilakukan dengan
kesalahan, dalam hukum perdata disebut kesalahan perdata.17
Pasal 45 ayat (1) dan (2) UUPK memberikan peluang kepada
konsumen untuk menggugat pelaku usaha melalui jalur di luar pengadilan
dan melalui jalur pengadilan di lingkungan peradilan umum. Adapun bunyi
selengkapnya adalah sebagai berikut :
(1) setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan
peradilan umum.
(2) penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan
atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa.
Masuknya sengketa konsumen ke Pengadilan Negeri bukanlah
karena kegiatan hakim, melainkan keaktifan salah satu pihak atau para
pihak yang bersengketa, dalam hal ini pengembang dan konsumen.
Konsumen dapat berinisiatif mengajukan gugatan wanprestasi atau
perbuatan melawan hukum terhadap pelaku usaha atas pelanggaran
norma-norma UUPK. Sebaliknya, pelaku usaha tidak diperkenankan
menggugat konsumen atau mengajukan gugatan balik dengan merujuk
pada pelanggaran konsumen atas norma-norma UUPK, kecuali
menyangkut pelanggaran hak-hak pelaku usaha sebagaimana dimaksud
pada pasal 6 UUPK.
16
17
Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai, p. 1.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1980), p. 197.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
880
Zaidah Nur Rosidah: Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perumahan…
Kesalahan perdata yang dilakukan oleh pengembang yang
mengakibatkan
kerugian
bagi
konsumen
menimbulkan
pertanggungjawaban bagi pengembang. Namun demikian, ada kalanya
pengembang mengelak tanggungjawab yang dituntut konsumen dengan
alasan bahwa perjanjian pengikatan jual beli belum bersifat final dan tunai,
sedangkan akta yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna
adalah akta jual beli. Sementara itu, di dalam akta jual beli tidak disebutkan
secara rinci spesifikasi teknis bangunan. Hal tersebut dapat dipergunakan
pengembang untuk tidak memberikan ganti kerugian dengan alasan tidak
tercantum dalam akta jual beli.
Apabila konsumen mengalami kesulitan untuk menggugat
pengembang atas dasar perjanjian yang telah dibuat dengan pengembang
sedangkan konsumen mengalami kerugian akibat pembelian rumah dari
pengembang, konsumen juga dapat menggugat pengembang berdasarkan
pasal 1365 KUHPerdata yaitu perbuatan melawan hukum. Pengertian
perbuatan melawan hukum di dalam pasal tersebut dalam
perkembangannya mengalami makna yang lebih luas dari sekedar
perbuatan yang melanggar undang-undang saja, tetapi juga perbuatan yang
melanggar kesusilaan, kepatutan, dan ketertiban umum. Perluasan makna
perbuatan melawan hukum tersebut dapat digunakan oleh konsumen
sebagai dasar untuk menggugat pengembang yang merugikan, meskipun
tidak diperjanjikan dalam perjanjian pengikatan jual beli.
Dalam KUHPerdata ketentuan tentang tanggungjawab produk
sebenarnya dikenal dalam pasal 1504 yang berbunyi: “ Si penjual
diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang
dijual yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang
dimaksudkan, atau yang demikian mengurangi pemakaian itu sehingga
sedianya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan
membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang
kurang”
E. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan dimuka, maka ada beberapa
hal yang dapat disimpulkan antara lain:
1. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kualitas
bangunan perumahan dapat diinventarisasikan sebagai berikut: UU
Perumahan dan Pemukiman, UU Bangunan Gedung dan UU
Perlindungan Konsumen dan berbagai Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum.
2. Tanggungjawab pengembang dalam perjanjian jual beli rumah tidak
seimbang dengan kewajiban konsumen. Tanggungjawab pengembang
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zaidah Nur Rosidah: Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perumahan…
881
dalam tahap pra transaksi tidak ada karena brosur perumahan yang
dikeluarkan oleh pengembang dianggap sebagai bentuk penawaran
umum yang tidak mempunyai kekuatan mengikat, sebelum dituangkan
dalam perjanjian pengikatan jual beli. Dalam tahap transaksi konsumen
yang tertuang dalam perjanjian pengikatan jual beli dan akta jual beli,
kewajiban pengembang sangat ringan dibandingkan dengan kewajiban
konsumen. Dalam tahap pasca transaksi konsumen, kewajiban
pengembang dalam pemeliharaan bangunan rumah hanya berlangsung
selama 3 bulan, hal ini terlalu singkat untuk menilai kualitas bangunan
perumahan.
3. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen yang dirugikan
oleh pengembang menurut pasal 45 ayat (1) UU Perlindungan
Konsumen dapat dilakukan melalui dua jalur yaitu melalui jalur di luar
pengadilan dan melalui jalur pengadilan yang berada di bawah peradilan
umum. Pemilihan penyelesaian sengketa konsumen tersebut tergantung
kesepakatan para pihak. Apabila telah disepakati Penyelesaian sengketa
di luar pengadilan, maka jalur pengadilan hanya dapat ditempuh apabila
jalur di luar pengadilan tidak diperoleh kata sepakat. Gugatan yang
diajukan oleh konsumen melalui jalur pengadilan dapat dilakukan atas
dasar wanprestasi dan perbuatan melawan hukum .
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
882
Zaidah Nur Rosidah: Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perumahan…
Daftar Pustaka
Budihardjo, Eko, Sejumlah Masalah Pemukiman Kota, Bandung: Alumni,
1998.
Darus Badruzzaman, Mariam, KUHPerdata Buku III, Hukum Perikatan
dengan Penjelasannya, Bandung: Alumni, 1996.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1997.
Mertokusumo, Sudikno, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Yogyakarta: Liberty,
1984.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1980.
Parlindungan, AP, Komentar Atas Undang-undang Perumahan dan Pemukiman
dan Undang-undang Rumah Susun, Bandung: Madar Maju, 2001.
Satrio, J, Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992.
Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum,
Bandung: Alumni, 1989.
Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1996.
Syahrani, Riduan, Asas-Asas dan Seluk Beluk Hukum Perdata, Bandung:
Alumni, 1992.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Download