LAMPIRAN A. PEREKONOMIAN GLOBAL DASAR EKONOMI MAKRO DAN DOMESTIK, SERTA ASUMSI Sejalan dengan pandangan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan bahwa kebijakan politik anggaran yang diusulkan oleh Pemerintah sebenarnya telah mempertimbangkan kondisi kehidupan rakyat, dan kesejahteraan rakyat. Kebijakan politik anggaran tersebut sesuai dengan sembilan agenda (Nawa Cita) yang tertuang dalam visi/misi Presiden dan Wakil Presiden untuk melaksanakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ketiga tahun 2015-2019. Pada sisi lain, Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, yang merupakan perwujudan suara rakyat, telah menyepakati Kerangka Ekonomi Makro dan PokokPokok Kebijakan Fiskal (KEM dan PPKF) tahun 2016. Kesepakatan tersebut digunakan oleh Pemerintah sebagai salah satu acuan dalam menyusun arah dan alokasi anggaran dalam RAPBN tahun 2016. RAPBN tahun 2016 tersebut merupakan instrumen Pemerintah untuk memengaruhi perekonomian dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional yang berkualitas, yang dijabarkan melalui pengelolaan APBN yang berkualitas, sehat, dan berkelanjutan. Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah secara konsisten terus berupaya melalui, antara lain: (1) mendorong produktivitas APBN untuk menstimulasi perekonomian dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi dan penguatan daya saing; (2) menjaga keseimbangan dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif, konservasi lingkungan, dan stabilisasi ekonomi makro; (3) memperkuat daya tahan fiskal agar mempunyai kemampuan yang handal dalam menjaga terlaksananya program prioritas; dan (4) mendorong pengelolaan fiskal dengan mempertimbangkan aspek kehati-hatian, pengendalian risiko, dan menjaga berkelanjutan fiskal dalam jangka menengah dan panjang. Hal ini terlihat pada struktur anggaran yang lebih menitik-beratkan pada pembangunan infrastruktur serta peningkatan alokasi belanja transfer ke daerah dan dana desa, akan tetapi dengan tetap memperhatikan kehidupan rakyat miskin dan tidak mampu melalui berbagai bantuan sosial, misalnya bantuan tunai bersyarat, bantuan operasional sekolah (BOS), jaminan kesehatan masyarakat melalui penerima bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN), penyaluran Raskin, dan pelaksanaan Program Sejuta Rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah dalam menyusun arah dan alokasi anggaran dalam RAPBN tahun 2016 juga telah mempertimbangkan implementasi Pasal 33 UUD 1945, yaitu pembangunan ekonomi nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, -L.1- berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dengan demikian sudah terwujud kesepahaman Pemerintah dengan DPR dalam memandang bahwa alokasi anggaran negara bukan semata-mata menyusun sebuah postur anggaran, tetapi merupakan keputusan arah politik pembangunan ekonomi yang berpijak pada kesadaran geopolitik Indonesia, sehingga diharapkan dapat menghasilkan kemajuan yang memperhatikan kultur, sumber daya dan realitas obyektif setiap daerah. Menanggapi pandangan Fraksi Partai Amanat Nasional yang meminta Pemerintah untuk mengambil langkah lebih hati-hati ditengah ketidakpastian situasi global serta ―lompatan‖ kebijakan belanja pemerintah, dapat kami sampaikan bahwa Pemerintah sepenuhnya sepakat dengan hal tersebut. Guna mengantisipasi ketidakpastian situasi global yang akan berdampak pada perekonomian nasional, maka Pemerintah akan mengambil langkah kebijakan antara lain (i) memperbaiki kapasitas produksi dan produktivitas nasional, (ii) mewujudkan kedaulatan pangan, (iii) meningkatkan konektivitas dan pengembangan sektor maritim dan kelautan, serta (iv) mengembangkan sektor primer dan industri pengolahan. Disamping itu, stabilitas ekonomi makro di dalam negeri akan terus dijaga dan ditingkatkan, terutama yang menyangkut inflasi dan nilai tukar. Hal ini dilakukan dengan koordinasi yang efektif dan berkesinambungan dengan otoritas moneter dan otoritas jasa keuangan. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah akan secara hati-hati dalam memberikan stimulus fiskal yang efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi. Insentif pajak, seperti peningkatan PTKP diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat sehingga dapat mendorong transaksi ekonomi dan menggerakkan sektor riil. Kondisi ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, dan imbasnya dapat meningkatkan PPN. Di sisi belanja, Pemerintah akan mengalokasikan anggaran pada sektor-sektor produktif yang berdampak luas pada masyarakat serta perekonomian nasional, seperti infrastruktur, ketahanan pangan, perikanan, dan pariwisata. Agar alokasi belanja benar-benar dapat menyentuh lebih cepat ke masyarakat, sesuai prinsip desentralisasi, serta mendorong pertumbuhan ekonomi dari pinggiran Pemerintah mengalokasikan dana transfer ke daerah dalam tahun 2016 lebih tinggi dari belanja kementerian/lembaga. Pemerintah juga menerapkan prinsip kehati-hatian dalam mencari sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit. Pembiayaan utang diarahkan dari sumber pinjaman bilateral dan multilateral yang tidak mengikat, biaya pinjaman utang yang -L.2- hemat, dan hanya digunakan untuk pembangunan yang produktif. Strategi dan kebijakan tersebut diharapkan dapat memperbaiki dan memperkuat perekonomian domestik dalam menghadapi ketidakpastian situasi global. Menanggapi pandangan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai konsistensi arah pembangunan Pemerintah yang harus dapat menjawab tantangan perekonomian baik internal maupun eksternal dapat disampaikan sebagai berikut. Pemerintah pada hakekatnya senantiasa menjaga agar pencapaian sasaran pembangunan dalam RPJMN dapat dicapai secara optimal dan konsisten dengan arah kebijakan dalam jangka panjang. Hal tersebut dimaksudkan agar setiap tahapan dalam pembangunan senantiasa sinergis, mempunyai benang merah serta konsisten dalam mewujudkan sasaran pembangunan jangka panjang, yaitu mewujudkan Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. Pada tahun 2016, pemerintah telah mencanangkan sasaran pembangunan sesuai dengan NAWACITA melalui pembangunan tiga dimensi yaitu dimensi pembangunan manusia, dimensi pembangunan sektor unggulan dan dimensi pembangunan pemerataan dan kewilayahan. Melalui pendekatan strategi tiga dimensi tersebut diharapkan mampu memberi kontribusi yang menyeluruh bukan hanya berfokus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, namun juga diharapkan mampu mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan yang berkeadilan. Secara umum, arah kebijakan fiskal 2016 tidak hanya untuk mendukung percepatan pembangunan infrastruktur, namun juga diarahkan untuk mendukung programprogram pro rakyat yang esensinya mencakup keberpihakan pada penanggulangan kemiskinan, pengurangan pengangguran dan pengurangan kesenjangan. Programprogram tersebut antara lain mendukung peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dan keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan jaminan sosial ketenagakerjaan, peningkatan kualitas dan akses pendidikan, peningkatan kesejahteraan pegawai dan penguatan reformasi birokrasi dalam rangka efisiensi birokrasi, mendorong penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, dan program-program yang diarahkan untuk pengurangan ketimpangan antar kelompok masyarakat dan antar wilayah serta penguatan desentralisasi fiskal. Dalam rangka menjawab tantangan perekonomian, Pemerintah senantiasa melakukan upaya penguatan daya tahan fiskal yang bertujuan untuk mendukung tetap terlaksananya program-program prioritas pembangunan ditengah tekanan fiskal yang relatif kuat, memperkuat kemampuan bertahan serta memperkokoh daya redam untuk merespon dinamika perekonomian. Adapun upaya untuk memperkuat daya tahan fiskal ditempuh melalui, antara lain (1) memperkuat fiscal buffer melalui pemanfaatan SAL untuk mengantisipasi ketidakpastian perekonomian dan pengalokasian cadangan risiko fiskal; (2) meningkatkan fleksibilitas dengan -L.3- penguatan payung hukum yang esensinya memberikan keleluasaan bagi Pemerintah dalam pengelolaan fiskal; dan (3) mengendalikan kerentanan dalam konteks untuk pengendalian risiko dalam batas toleransi, antara lain dengan menjaga debt service ratio terhadap pendapatan dalam negeri (PDN), rasio utang terhadap PDB, rasio utang terhadap PDN dan pembayaran bunga utang terhadap PDN dalam batas aman. Sejalan dengan hal tersebut maka strategi yang ditempuh pada tahun 2016 adalah (i) memperkuat stimulus yang diarahkan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan penguatan daya saing baik dari sisi pendapatan, belanja mapun pembiayaan, (ii) memperkuat ketahanan fiskal agar berdaya tahan menjaga terlaksananya programprogram prioritas dalam menghadapi tekanan serta mempunyai daya redam yang efektif untuk merespon ketidakpastian, dan (iii) mengendalikan risiko dan menjaga kesinambungan fiskal dalam jangka menengah dan panjang. Melalui strategi tersebut diharapkan pengelolaan fiskal akan lebih produktif, berdaya tahan, risiko terkendali dan berkelanjutan. Hal ini menjadi basis untuk memperkokoh fondasi pengelolaan fiskal yang sehat dan berkelanjutan yang selanjutnya akan mampu mewujudkan peningkatan derajat kesejahteraan yang berkeadilan. Menanggapi pernyataan Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya mengenai keberpihakan pada investor dengan pemberian insentif dan pembukaan impor, namun di sisi lain masyarakat diberatkan dengan penghapusan subsidi, dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemerintah berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, menargetkan pertumbuhan realisasi investasi sebesar 15 persen setiap tahunnya. Pertumbuhan investasi ini sangat penting untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi di Indonesia adalah pemberian insentif melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pusat di BKPM antara lain (a) Fasilitas Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Mesin Serta Barang dan Bahan Untuk Pembangunan Atau Pengembangan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal; (b) Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal dibidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah – daerah tertentu (Tax Allowance); dan (c) Fasilitas Pembebasan Atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (Tax Holiday). Namun, dalam memberikan insentif, Pemerintah telah menentukan kriteria bagi investor baik asing maupun domestik antara lain: investasi yang menyerap banyak tenaga kerja, merupakan industri skala prioritas tinggi, melakukan pembangunan infrastruktur, melakukan alih teknologi, melakukan industri pionir, berlokasi di -L.4- daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, menjaga kelestarian lingkungan hidup, melaksanakan kegiatan penelitian, bermitra dengan UKM atau koperasi serta menggunakan barang modal atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri. Pemberian insentif tersebut diharapkan akan mendorong masuknya investasi ke Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mendorong percepatan realisasi investasi yang pada akhirnya akan mendorong percepatan penciptaan lapangan pekerjaan dan peningkatan daya beli masyarakat, serta mendorong penyebaran investasi ke luar pulau Jawa. Sedangkan kebijakan penghapusan subsidi bertujuan untuk meningkatkan fiscal space bagi program-program yang lebih produktif, juga bertujuan untuk meminimalkan kerentanan fiskal yang disebabkan oleh fluktuasi harga minyak dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerikat Serikat (AS). Terjadinya risiko fiskal yang tidak diantisipasi dengan baik akan membebani anggaran dan memengaruhi target pertumbuhan ekonomi, yang selanjutnya akan menjalar dengan cepat pada perekonomian secara keseluruhan, mendorong capital outflow, dan bahkan mengubah arah pertumbuhan ekonomi. Penghematan dari kebijakan ini kemudian dialihkan kepada belanja-belanja prioritas yang lebih produktif. Selanjutnya menanggapi pandangan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Nasional Demokrat, Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat, dan terkait Asumsi Pertumbuhan Ekonomi dapat kami sampaikan sebagai berikut. Asumsi pertumbuhan ekonomi 5,5 persen pada dasarnya telah mengacu pada kesepakatan antara pemerintah dan DPR dalam pembicaraan pendahuluan RAPBN tahun 2016. Penetapan angka asumsi pertumbuhan tersebut juga mempertimbangkan kondisi perkembangan perekonomian terkini dan prospek perekonomian domestik maupun global serta berbagai kebijakan yang akan ditempuh Pemerintah ke depan dalam upaya pencapaian sasaran-sasaran pembangunan yang telah ditetapkan. Prospek membaiknya perekonomian global di tahun 2016 dibandingkan tahun 2015 diperkirakan turut mendorong kinerja pertumbuhan ekonomi nasional. Meskipun demikian, berdasarkan perkembangan terkini menunjukkan bahwa perekonomian global masih diliputi risiko yang perlu diwaspadai, antara lain dampak tingkat kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat, volatilitas harga komuditas yang -L.5- sedang menurun, serta tren perlambatan kinerja perekonomian Tiongkok. Dengan demikian, sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang berasal dari sisi eksternal belum dapat memberikan kontribusi secara optimal. Oleh karena itu, faktor pendorong pertumbuhan ekonomi tahun 2016 terutama berasal dari sisi domestik, antara lain akan ditopang oleh konsumsi yang masih cukup kuat dan peningkatan investasi (PMTB), serta sektor industri dan pengolahan. Kuatnya konsumsi rumah tangga tersebut terutama akan didukung oleh terjaganya daya beli masyarakat sejalan dengan perkiraan terkendalinya laju inflasi. Selain itu, kebijakan penyesuaian Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) terakhir pada tahun 2015 diharapkan dapat mendorong daya beli masyarakat. Di sisi lain, peningkatan PMTB terutama akan didorong oleh meningkatnya belanja infrastruktur Pemerintah khususnya untuk mendorong sektor pertanian dan maritim guna mencapai kedaulatan pangan serta sektor industri pengolahan yang mampu meningkatkan nilai tambah produk sektor primer. Dalam upaya pengembangan sektor industri pengolahan terutama industri hilir, Pemerintah juga akan memperluas sektor-sektor industri pionir yang bisa diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan (tax holiday) yakni dari semula hanya 5 (lima) subsektor industri menjadi 9 (sembilan) subsektor industri. Hal ini merupakan salah satu bentuk komitmen Pemerintah untuk meningkatkan investasi langsung pada sektor-sektor tersebut melalui pemanfaatan teknologi terkini dan perluasan kesempatan kerja. Langkah tersebut diharapkan dapat meningkatkan kapasitas produksi dan kinerja pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dengan mempertimbangan berbagai faktor tersebut di atas, Pemerintah cukup optimis untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen. Meskipun demikian, pemerintah juga akan sangat terbuka untuk membahas dan mendalami lebih lanjut asumsi pertumbuhan ekonomi tahun 2016 tersebut bersama para anggota Dewan Yang Terhormat. Menanggapi tanggapan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Nasional Demokrat, dan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat, terkait asumsi nilai tukar rupiah RAPBN tahun 2016 dapat kami jelaskan sebagai berikut. Pemerintah sependapat bahwa Nilai Tukar Rupiah harus dijaga agar tetap stabil dan berada pada nilai fundamentalnya. Sejalan dengan perkembangan kondisi -L.6- perekonomian global yang bergerak sangat dinamis dalam beberapa bulan terakhir, Pemerintah berusaha untuk mengajukan asumsi nilai tukar Rupiah dalam RAPBN 2016 serealistis mungkin dengan tetap memperhatikan kesepakatan bersama antara Pemerintah dan DPR dalam pembicaraan pendahuluan. Namun perlu dipahami bahwa nilai tukar rupiah merupakan variabel yang bergerak sangat cepat dan dinamis serta dipengaruhi oleh faktor eksternal yang sepenuhnya berada di luar kendali Pemerintah. Di sisi lain, penentuan angka asumsi nilai tukar yang akurat dengan rentang waktu yang cukup panjang tidak mudah dilakukan, terlebih di tengah situasi ketidakpastian yang cukup tinggi. Deviasi antara realisasi dan asumsi sangat mungkin terjadi mengingat pergerakan nilai tukar rupiah yang dinamis, serta cukup panjangnya rentang waktu saat angka asumsi nilai tukar disepakati dan waktu pelaksanaan APBN. Namun demikian, Pemerintah dan Bank Indonesia tidak pernah berdiam diri untuk mengatasi pelemahan nilai tukar rupiah. Pemerintah saat ini terus mencermati perkembangan perekonomian terkini, serta pergerakan pasar keuangan khususnya pasca kebijakan devaluasi Yuan yang dilakukan Tiongkok. Kebijakan devaluasi tersebut telah menambah ketidakpastian di pasar keuangan yang sebelumnya juga telah mendapat tekanan dari dampak kebijakan normalisasi The Fed. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah ke depan, Pemerintah akan terus mengupayakan berbagai langkah kebijakan antara lain meningkatkan koordinasi dalam protokol pencegahan krisis melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) bersama Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan. Dalam kerangka forum ini, beberapa kebijakan yang telah dan akan terus ditempuh antara lain pengutamaan transaksi valuta asing yang memiliki underlying transaction, kewajiban penggunaan Rupiah dalam transaksi domestik, pendorongan aktivitas lindung nilai (hedging), intervensi melalui pasar Surat Berharga Negara (SBN), serta himbauan agar pelaku di pasar forward lebih berhatihati dalam bertransaksi. Pemerintah juga akan menempuh berbagai upaya untuk mendorong perbaikan kinerja transaksi berjalan melalui reformasi kebijakan subsidi energi, perbaikan iklim investasi, pelaksanaan program pendalaman pasar keuangan (financial deepening) dan keuangan inklusif (financial inclusion), insentif fiskal untuk mendorong ekspor (tax holiday, tambahan fasilitas bebas visa baru untuk sebanyak 30 negara), penugasan khusus kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) untuk meningkatkan kinerja ekspor, serta penguatan aturan mengenai mekanisme pembiayaan Public Private Partnership (PPP) dan Non-PPP, sehingga diharapkan dapat menambah sentimen positif bagi perekonomian. Pemerintah juga menyadari bahwa depresiasi nilai tukar membawa dampak negatif bagi daya beli dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu disiapkan beberapa respon -L.7- kebijakan terhadap masalah ini, di antaranya peningkatan plafon Penghasilan Tidak Kena Pajak, penghapusan objek Pajak Penjualan Barang Mewah (PPNBM) tertentu, serta penyediaan subsidi suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR). Di sisi lain beberapa faktor seperti membaiknya neraca pembayaran, minat investor asing terhadap aset keuangan Indonesia yang masih relatif tinggi, sebagaimana tercermin dari kondisi oversubscribe penjualan obligasi global Pemerintah, serta peningkatan credit outlook oleh lembaga rating Standard & Poor’s pada gilirannya akan dapat mengurangi tekanan pada nilai tukar Rupiah. Dengan memperhatikan kondisi tersebut di atas, Pemerintah memperkirakan nilai tukar Rupiah di tahun 2016 bergerak di kisaran Rp 13.400 per dolar AS. Namun dengan tingginya dinamika di pasar keuangan, Pemerintah terbuka untuk melakukan diskusi lebih lanjut bersama DPR guna mendapatkan asumsi nilai tukar Rupiah yang lebih sesuai. Menanggapi pandangan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Nasional Demokrat, dan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat terkait dengan Asumsi Inflasi sebesar 4,7 persen serta permasalahan inflasi dan potensi tekanan kenaikan inflasi dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam menentukan asumsi inflasi pada tahun 2016 sebesar 4,7 persen, Pemerintah telah mempertimbangkan berbagai tantangan yang akan dihadapi, baik dari sisi eksternal maupun internal. Dari sisi eksternal, tantangan tersebut adalah masih lambatnya pemulihan perekonomian global, harga komoditas energi di pasar global yang masih lemah, serta dinamika pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan konstelasi geopolitik global khususnya negara-negara produsen energi. Dari sisi internal, tantangannya adalah administered price, seperti tarif tenaga listrik (TTL) dan LPG, faktor musiman, seperti panen raya, Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) dan tahun ajaran baru sekolah, dan perubahan iklim seperti El Nino yang berpotensi memundurkan waktu tanam bahkan gagal panen karena kekeringan. Bauran kebijakan yang mendukung pengembangan sektor riil akan terus diimplementasikan secara efektif guna pencapaian sasaran inflasi yang rendah dan stabil. Kebijakan tersebut adalah kebijakan suku bunga dan stabilisasi nilai tukar sesuai fundamentalnya, serta meminimalisasi adanya gejolak harga komoditas bahan pangan dan energi di pasar domestik, baik dari sisi produksi, distribusi, maupun konsumsi, yang sejalan dengan langkah-langkah Pemerintah dalam mendukung -L.8- pencapaian kedaulatan pangan. Pemerintah juga melakukan penegakan hukum atas tindakan-tindakan pelaku pasar atau kartel yang berdampak kerugian masyarakat umum yaitu penimbunan, penurunan kualitas, penipuan, dan pemalsuan dengan melibatkan aparat berwajib. Upaya pengendalian inflasi dari sisi produksi pada dasarnya sejalan dengan langkahlangkah yang ditempuh Pemerintah dalam mendukung pencapaian kedaulatan pangan serta antisipasi risiko melalui alokasi dana cadangan stabilitas pangan. Sementara itu, dari sisi distribusi, Pemerintah akan melanjutkan komitmen kebijakan penataan jalur distribusi dan sistem logistik nasional, pembangunan pasar tradisional, pemantauan dan pengendalian harga pangan melalui operasi pasar serta penetapan dan penyimpanan bahan pokok dan barang strategis serta program dukungan lain terkait dengan implementasi program pembangunan konektivitas nasional dan logistik distribusi. Upaya percepatan penganekaragaman konsumsi pangan, penguatan pengawasan keamanan pangan, pengembangan kawasan mandiri pangan, serta promosi, advokasi, dan kampanye untuk konsumsi ikan juga dilakukan dalam rangka diversifikasi konsumsi masyarakat. Pemerintah sepakat bahwa pencapaian sasaran inflasi harus dapat memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Pemerintah terus melakukan evaluasi dan analisis guna memilah dan memilih kebijakan dengan mempertimbangkan dampak inflasi, efek psikologis dan tingkat kesejahteraan masyarakat (terutama masyarakat miskin), serta tekanan pada perekonomian. Pemerintah menyadari bahwa faktor-faktor kepastian besaran (magnitude), waktu pelaksanaan (timing), kejelasan aturan hukum yang melandasi kebijakan, serta sosialisasi dan dukungan legislatif terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut memiliki dampak signifikan dalam meredam tekanan ekspektasi inflasi masyarakat. Oleh karena itu, koordinasi kebijakan fiskal, moneter dan sektor riil akan terus ditingkatkan seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran Pemerintah daerah dalam upaya pengendalian inflasi. Dalam hal pengendalian inflasi di daerah, Pemerintah mengupayakan usaha pengendalian inflasi melalui sosialisasi dan koordinasi antar instansi terkait di daerah melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Oleh sebab itu kedepannya Pemerintah akan senantiasa mendorong penguatan koordinasi lintas sektor dan TPID wilayah lain, pembentukan TPID pada daerah tingkat 2, pembentukan basis data TPID, pemfokusan program TPID untuk mengatasi permasalahan struktural, serta evaluasi program-program yang diimplementasikan oleh TPID. Adapun penguatan institusi Bulog sebagai lembaga penjaga inflasi di tiap daerah juga terus dilakukan dengan mengoptimalkan peran Divisi regional Bulog dalam penyaluran -L.9- Raskin dan Operasi Pasar, serta pengaturan strategi penetapan HPP dan aksi pembelian beras petani yang lebih antisipatif. Memperhatikan faktor-faktor yang memengaruhi inflasi dan kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil dalam pengendalian inflasi, laju inflasi tahun 2016 diperkirakan mencapai 4,7 persen atau masih berada pada kisaran rentang sasaran inflasi yang telah ditetapkan sebesar 4,0 ± 1,0 persen dan dalam jangka panjang akan diupayakan dapat ditekan pada level yang lebih rendah. Menanggapi pandangan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Gerindra, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Nasional Demokrat, dan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat, bahwa pemerintah perlu menjaga tingkat Suku Bunga SPN 3 Bulan terutama di tengah kondisi pasar keuangan global yang masih mengalami ketidakpastian, dapat kami sampaikan sebagai berikut. Faktor yang mempengaruhi tingkat suku bunga SPN bukan hanya bersumber dari sisi domestik, tapi juga dipengaruhi oleh perilaku wait-and-see yang dilakukan para investor sejalan dengan perkembangan ekonomi global. Pemerintah memahami bahwa inflasi merupakan faktor domestik yang menjadi salah satu acuan pergerakan yield SPN. Oleh karena itu, upaya pemerintah dalam mengendalikan inflasi akan sejalan dengan upaya menjaga suku bunga SPN agar tetap pada tingkat yang diinginkan. Oleh karena itu, pemerintah terus meningkatkan koordinasi dengan Bank Indonesia terkait pengendalian inflasi Selanjutnya, suku bunga SPN 3 bulan mulai menjadi salah satu asumsi dasar ekonomi makro dalam penyusunan APBN, yaitu pada pengajuan RAPBN-P tahun 2011, untuk menggantikan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan yang sebelumnya digunakan sebagai asumsi dalam APBN. Pelelangan SBI 3 bulan dihentikan pada bulan Oktober 2010 sebagai langkah antisipasi fluktuasi nilai tukar yang berlebihan karena masuknya hot money dalam jangka pendek, sehingga dapat memicu risiko pembalikan arus dana (sudden capital reversal). Penghentian lelang SBI 3 bulan diharapkan mampu mengalihkan modal asing masuk ke instrumen investasi dengan tenor yang lebih panjang, mengingat pada Oktober 2010 arus modal asing melalui instrumen SBI mencapai 32,2 persen. Untuk menggantikan SBI 3 bulan sebagai asumsi dalam penghitungan postur APBN, Pemerintah mengajukan SPN 3 bulan mengingat sistem pelelangan SPN 3 bulan dan ketentuan dan persyaratan (terms and condition) setara dengan SBI 3 bulan. Pada Maret 2011, Pemerintah mulai menerbitkan SPN dengan tenor 3 bulan sebagai dasar penghitungan tingkat bunga surat utang negara dengan tingkat bunga mengambang -L.10- atau variable rate. Secara historis, suku bunga SPN 3 bulan bergerak seiring dengan BI rate dan indikator cost of fund lainnya dan cenderung menurun sejalan dengan terjaganya stabilitas ekonomi makro dan kesehatan fiskal. Sebagai salah satu komponen surat berharga negara, maka semakin rendah tingkat suku bunga SPN tentunya akan memperingan biaya bunga dalam APBN. Menanggapi tanggapan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Fraksi Partai Nasional Demokrat, mengenai Asumsi Harga Minyak Mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemerintah sependapat bahwa pergerakan harga minyak mentah Indonesia (ICP) selalu mengikuti pergerakan harga minyak mentah dunia. Oleh karena itu, asumsi ICP dalam RAPBN tahun 2016 sebesar USD60/barel telah memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai aspek yang memengaruhi pergerakan harga minyak dunia. Beberapa faktor tersebut meliputi, pemulihan ekonomi dunia yang terus berlanjut pada tahun 2016 diperkirakan akan mendorong permintaan energi, khususnya minyak dunia. OPEC memperkirakan permintaan minyak dunia sampai dengan akhir tahun 2016 mengalami pertumbuhan sebesar 1,4 persen, yaitu dari 92,6 juta barel per hari pada tahun 2015 menjadi 93,9 juta barel per hari pada tahun 2016. Di sisi lain, pasokan minyak dunia diperkirakan mampu mencukupi permintaan yang meningkat meskipun pasokan non-OPEC diperkirakan hanya mengalami sedikit peningkatan. Pasokan non-OPEC tumbuh menjadi sebesar 0,3 juta barel per hari dengan pasokan utama berasal dari Amerika Serikat dan Amerika Latin. Terjaganya pasokan minyak dunia juga akan didukung oleh ekspor minyak mentah Iran pasca kesepakatan nuklir Iran. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, perkiraan harga minyak mentah Indonesia tahun 2016 diperkirakan akan stabil pada kisaran harga USD60 per barel. Dalam jangka panjang, pergerakan harga minyak mentah dunia diperkirakan akan kembali meningkat. Namun, peningkatan pasokan minyak mentah dan sumber energi alternatif lainnya (shale gas, biofuel, energi surya) akan menyebabkan harga minyak meningkat secara moderat. Selain itu, masih perlu diwaspadai risiko gejolak harga minyak dunia mengingat pergerakannya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor nonfundamental yang sulit diperkirakan, seperti gangguan cuaca dan perkembangan kondisi geopolitik. Selanjutnya menanggapi pandangan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Kebangkitan -L.11- Bangsa, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Fraksi Partai Nasional Demokrat terkait dengan Asumsi Lifting Minyak Bumi, dapat dijelaskan bahwa asumsi lifting minyak yang diajukan oleh Pemerintah telah mempertimbangkan tingkat produksi yang ada, dan rencana pengembangan lapangan serta potensi produksi dari lapangan baru. Pemerintah tetap berupaya mendorong Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk mengoptimalkan produksi minyak yang ada, namun tetap realistis dengan kemungkinan adanya penurunan secara bertahap, mengingat kondisi sumur-sumur minyak tersebut telah memasuki tahap mature. Selain itu, proses lifting minyak juga selalu dihadapkan pada risiko operasional, seperti gangguan produksi (cuaca, gangguan teknis, dan unplanned shutdown) serta gangguan non-teknis (perizinan, lahan dan keamanan). Kondisi faktual memperlihatkan terjadinya penurunan produksi minyak bumi, karena sebagian besar sumur-sumur yang beroperasi saat ini adalah sumur tua, sementara kegiatan investasi di sektor migas masih rendah akibat tingginya biaya eksplorasi. Untuk meningkatkan lifting minyak dan gas bumi dan meningkatkan PNBP SDA Migas, di tahun 2016, Pemerintah terus mendorong Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas untuk terus meningkatkan tingkat produksinya dengan melakukan langkah dan kebijakan antara lain: 1. Percepatan produksi migas yang bersumber dari lapangan baru seperti Banyu Urip, Bukit Tua, Senoro, Husky-Madura, Matindok, dan Kepodang. 2. Melakukan langkah-langkah kebijakan untuk meningkatkan lifting migas melalui: a. Optimalisasi perolehan minyak dari cadangan minyak yang ada pada lapangan-lapangan yang telah beroperasi melalui peningkatan manajemen cadangan minyak; b. Melakukan percepatan pengembangan lapangan baru; c. Melakukan percepatan produksi pada lapangan penemuan baru dan lama; d. Meningkatkan penguasaan teknologi eksplorasi dan eksploitasi, meningkatan kehandalan fasilitasi produksi dan sarana penunjang untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan frekuensi unplanned shutdown; e. Mengupayakan peningkatan cadangan melalui kegaitan eksplorasi dan penerapan Enhanced Oil Recovery (EOR); f. Meningkatkan koordinasi antar instansi untuk mendukung operasi hulu migas dalam rangka memfasilitasi percepatan proses pembebasan lahan; g. Meningkatkan promosi dan penawaran lapangan baru termasuk dari lapangan gas nonkonvensional seperti CBM dan shale gas; -L.12- 3. Mengupayakan terciptanya efisiensi cost recovery melalui pengendalian sehingga menjaga angka rasio cost recovery terhadap gross revenue dan pengawasan intensif terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan KKKS. 4. Memperbaharui harga jual gas melalui renegosiasi kontrak dengan KKKS. Berbagai upaya lain juga akan terus dilakukan seperti insentif kebijakan-kebijakan untuk mendorong penemuan sumur-sumur baru, penyederhanaan peraturan dan regulasi untuk mendukung percepatan produksi lapangan-lapangan yang siap olah. Namun perlu disadari pula bahwa penemuan sumur baru membutuhkan upaya yang berat, modal yang tidak sedikit, disertai ketidakpastian yang cukup tinggi. Selanjutnya, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas tata kelola sektor migas, pemerintah sedang menyusun rancangan Undang-undang tentang Minyak dan Gas (RUU Migas) dan aturan-aturan pendukungnya sebagai payung hukum dalam pengelolaan migas baik dari sisi hulu maupun hilir. Di samping itu, beberapa strategi telah dilakukan guna menata ulang distribusi bahan bakar minyak antara lain dengan pembelian minyak mentah secara langsung dari produsen minyak dengan kontrak jangka menengah, mengupayakan peningkatan cadangan stok bahan bakar minyak nasional menjadi sekitar 21 hari, serta mendorong operator migas untuk melakukan modernisasi kilang-kilang minyak yang ada. Berkenaan dengan upaya peningkatan kapasitas produksi, kilang minyak dan gas baru berkapasitas 300.000 barel per hari telah direncanakan akan dibangun dengan skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) di Bontang. Sementara itu, mengingat minyak merupakan sumber daya alam tidak terbaharukan, Pemerintah menyadari akan keterbatasan cadangan minyak di masa yang akan datang. Ke depan, pemerintah berupaya untuk mengurangi konsumsi minyak dengan lebih meningkatkan pemanfaatan gas alam yang diperkirakan masih memiliki cadangan yang cukup berlimpah. Pemanfaatan gas tersebut terutama akan difokuskan untuk memenuhi kebutuhan energi domestik baik untuk memenuhi kebutuhan sektor transportasi maupun konsumsi rumah tangga. Strategi tersebut diharapkan dapat mengurangi tingginya impor minyak yang saat ini membebani neraca perdagangan nasional. Di samping itu, Pemerintah melalui Dewan Energi Nasional (DEN) telah menyusun Kebijakan Energi Nasional (KEN). Dalam KEN tersebut, telah dirancang target jangka panjang bauran energi nasional hingga tahun 2050. Sesuai dengan KEN tersebut, arah penyediaan energi nasional adalah mengurangi ketergantungan pemerintah terhadap bahan bakar fosil dengan mempertimbangkan potensi penggunaan energi alternatif serta energi baru dan terbarukan (EBT). -L.13- Selanjutnya menanggapi pandangan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Fraksi Partai Nasional Demokrat terkait dengan Asumsi Lifting Gas Bumi, dapat dijelaskan bahwa asumsi lifting gas bumi yang diajukan oleh Pemerintah sebesar 1.155.000 barel per hari setara minyak memang lebih rendah dari target lifting gas bumi tahun sebelumnya. Asumsi lifting gas yang diajukan tersebut telah mempertimbangkan potensi produksi dan potensi tingkat penyerapan pasar atas gas nasional. Penurunan tingkat lifting yang terjadi terutama disebabkan oleh tingkat penyerapan gas domestik yang relatif masih rendah. Namun demikian, pemerintah meyakini bahwa penurunan tersebut bersifat sementara, mengingat arah kebijakan pemerintah ke depan akan mendorong perbaikan tata kelola gas bumi dengan peningkatan pemanfaatan gas bumi dalam negeri untuk sektor industri, transportasi, dan rumah tangga. Hal ini didukung dengan rencana pembangunan infrastruktur gas yang meliputi pembangunan Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) dan LNG terminal, pembangunan sarana pengisian bahan bakar gas (SPBG), serta pembangunan pipa transmisi gas ke industri dan jaringan gas kota untuk rumah tangga. Dengan tingginya kebutuhan penggunaan gas dalam negeri, ke depan Pemerintah meyakini bahwa lifting gas bumi akan meningkat. Menanggapi pandangan dari Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai Dampak Perekonomian Global Terhadap Indonesia, dapat kami sampaikan sebagai berikut. Kinerja perekonomian global tahun 2016 secara umum diperkirakan akan mengalami peningkatan, baik di negara maju maupun di negara berkembang. World Economic Outlook edisi Juli 2015 memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2016 akan menguat ke level 3,8 persen, lebih tinggi dari proyeksi tahun 2015 sebesar 3,3 persen. Secara lebih rinci, negara maju diproyeksikan tumbuh sebesar 2,4 persen dan negara berkembang tumbuh sebesar 4,7 persen. Meskipun menunjukkan tanda-tanda pemulihan, risiko perekonomian global masih tetap ada. Beberapa risiko memang masih perlu diwaspadai, termasuk oleh Indonesia, antara lain: (i) tren perlambatan kinerja perekonomian Tiongkok sebagai mitra dagang utama Indonesia yang akan berdampak pada kinerja ekspor nasional; (ii) volatilitas harga komoditas dengan tren yang cenderung menurun juga berpotensi memengaruhi kinerja ekspor; (iii) ketidakpastian terkait ekspektasi kenaikan tingkat suku bunga acuan di AS yang berpotensi mempengaruhi kondisi likuiditas domestik; serta (iv) gejolak nilai tukar terkait devaluasi Yuan Tiongkok, -L.14- yang sejauh ini telah diikuti oleh Vietnam, turut menyebabkan tekanan pada nilai tukar regional termasuk Indonesia. Terkait devaluasi Yuan, kebijakan tersebut diperkirakan akan berpotensi mempengaruhi kinerja perdagangan internasional Indonesia. Dari sisi impor, kebijakan tersebut menyebabkan penurunan harga relatif komoditas Tiongkok sehingga dapat menimbulkan peningkatan permintaan produk Tiongkok di dalam negeri. Sementara di sisi ekspor, dalam jangka pendek, akan menyebabkan meningkatnya persaingan produk Indonesia terhadap produk Tiongkok di pasar internasional. Namun dalam jangka panjang, masih terdapat peluang perbaikan kinerja ekspor khususnya untuk produk-produk bahan baku Indonesia yang menjadi input produk Tiongkok. Dari sisi pasar keuangan, kebijakan devaluasi Yuan berpotensi menjadi kendala bagi penguatan nilai tukar rupiah. Di samping itu kebijakan tersebut juga dapat menimbulkan gejolak baru di pasar keuangan khususnya apabila diikuti fenomena perang mata uang (currency war) oleh negaranegara lain. Terkait dengan pandangan Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Nasional Demokrat mengenai indikator Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan dapat kami sampaikan sebagai berikut. Pemerintah terus berupaya mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkeadilan, yaitu mampu mengurangi tingkat pengangguran, angka kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan. Arah strategi pembangunan ekonomi juga lebih dititikberatkan untuk mendorong sumber-sumber pertumbuhan produktif khususnya melalui penguatan kinerja investasi yang diyakini memberikan efek lebih besar bagi penciptaan lapangan kerja baru. Di samping itu, upaya penanggulangan kemiskinan juga ditempuh melalui program kesejahteraan dan perlindungan sosial yang komprehensif, pengembangan penghidupan berkelanjutan, serta perluasan dan peningkatan pelayanan dasar. Di bidang ketenagakerjaan, pemerintah berupaya untuk meningkatkan daya saing atau keterampilan pekerja dan memberikan perlindungan bagi pekerja yang rentan terhadap goncangan ekonomi. Sementara itu untuk mengatasi ketimpangan, pemerintah memiliki tantangan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk berpenghasilan 40 persen terbawah lebih cepat dibandingkan kelompok 40 persen menengah dan 20 persen teratas. Upaya yang dilakukan Pemerintah untuk mencapai hal tersebut adalah dengan memastikan bahwa penduduk miskin dan rentan memperoleh perlindungan sosial agar dapat mengurangi beban pengeluaran rumah tangga. Upaya ini didukung melalui penguatan kerangka regulasi dan mekanisme -L.15- yang jelas, serta penguatan kerangka kelembagaan seperti Tim Koordinasi Penanganan Kemiskinan Daerah (TKPKD) dan pendampingan. APBN harus berpihak kepada seluruh rakyat Indonesia, termasuk buruh, petani, dan nelayan. Dapat kami sampaikan bahwa strategi pemerintah pada tahun 2016 adalah meningkatkan akses penduduk miskin terhadap lapangan kerja yang berkualitas melalui penyempurnaan peraturan ketenagakerjaan untuk mendorong tumbuhnya industri padat karya, penyediaan fasilitas informasi pasar kerja di daerah-daerah terutama daerah kantong pengangguran, peningkatan akses kepada kegiatan ekonomi produktif yang berkelanjutan, peningkatan pembangunan infrastruktur perdesaan, pengembangan lembaga pelatihan di daerah sesuai dengan kebutuhan dan potensi lokal. Dengan mendorong industri padat karya dan pembangunan infrastruktur perdesaan, maka diharapkan kesejahteraan buruh, petani, dan nelayan akan mengalami peningkatan dan pada akhirnya akan mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Program pengentasan kemiskinan saat ini telah mencakup penduduk miskin dan rentan dimana kontinuitas terus dipertahankan. Dari sisi targeting, Basis Data Terpadu (BDT) terus dimutakhirkan dan diintegrasikan dengan basis data Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) yang menjadi sistem registrasi tunggal program perlindungan sosial terpadu. Data ini berisi karakteristik anggota rumah tangga secara rinci dan penggunaannya dapat mendorong transparansi pelaksanaan program. Terkait dengan indikator kemiskinan menjadi target APBN, dapat kami sampaikan bahwa indikator kesejahteraan dan ketenagakerjaan yaitu angka kemiskinan dan tingkat pengangguran merupakan sasaran pembangunan yang dituangkan dalam RPJMN 2015-2019 dan RKP 2016. Sasaran-sasaran tersebut dijabarkan ke dalam RAPBN tahun 2016 melalui berbagai program sosial dan penciptaan lapangan kerja. Sementara itu, Pemerintah juga memperhatikan angka rasio Gini dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan akan berupaya untuk terus memperbaikinya. Pemerintah sependapat dengan pandangan anggota Dewan Yang Terhormat dari Fraksi Partai Nasional Demokrat mengenai perlunya kerja keras dan sinergi dari semua stakeholders dalam mewujudkan tema RAPBN tahun 2016. Dalam RAPBN tahun 2016 Pemerintah berkomitmen untuk melakukan langkahlangkah perbaikan struktural yang akan berdampak pada perbaikan fundamental dalam rangka mendukung penguatan stabilitas dan kinerja pertumbuhan ekonomi. Langkah-langkah tersebut dilakukan melalui koordinasi dan sinergi, baik di internal pemerintah maupun antara Pemerintah sebagai otoritas fiskal dengan otoritas moneter, dan otoritas jasa keuangan. -L.16- Di sisi internal, pemerintah telah dan akan terus melakukan penataan/restrukturisasi kelembagaan birokrasi pemerintah agar efektif, efisien, dan sinergis yang ditempuh melalui penataan kelembagaan pemerintah pusat dan daerah, pemantapan kelembagaan untuk mendukung pelaksanaan program pembangunan (Nawa Cita), penyempurnaan sistem ketatalaksanaan dan pemantapan sinergitas hubungan kelembagaan inter/antar tingkatan kelembagaan pusat dan daerah. Sementara itu, koordinasi dan sinergi yang dilakukan Pemerintah dengan otoritas moneter, dan otoritas jasa keuangan di antaranya dilakukan dalam rangka perbaikan struktur pasar valuta asing, reformasi kebijakan subsidi energi, dan perbaikan neraca jasa. Kebijakan-kebijakan tersebut diharapkan dapat mengurangi tekanan nilai tukar rupiah. Upaya yang dilakukan dari sektor keuangan adalah melalui pendalaman pasar finansial yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan kapasitas pendanaan pembangunan melalui sektor keuangan, baik melalui sektor perbankan maupun Industri Keuangan Non Bank (IKNB) dan pasar modal, sehingga diharapkan akan dapat mendorong peningkatan kemampuan sektor keuangan di dalam menopang pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan upaya-upaya tersebut dan adanya sinergi kebijakan fiskal, moneter, jasa keuangan dan sektor riil, serta adanya akselerasi implementasi program yang telah ada saat ini, maka diharapkan dapat memberi manfaat yang lebih besar bagi tercapainya pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. B. PENDAPATAN NEGARA Menjawab pernyataan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat, dan Fraksi Partai Demokrat yang meminta Pemerintah untuk melakukan penggalian sektor-sektor yang masih under tax, meningkatkan kepatuhan WP, menurunkan tingkat tax evasion dan mereduksi transfer pricing dapat diberikan penjelasan sebagai berikut. Pemerintah sependapat dengan pandangan Dewan Yang Terhormat untuk terus berupaya maksimal dalam meningkatkan penerimaan perpajakan setiap tahun melalui penggalian sektor-sektor yang masih under tax. Untuk itu, Pemerintah akan terus menggali sektor-sektor tersebut diantaranya penguatan bank data melalui optimalisasi pemanfaatan data dan/atau informasi berkaitan dengan perpajakan dengan institusi lain dan otoritas pajak luar negeri, meningkatkan kerjasama perpajakan internasional dalam pertukaran informasi dan mempermudah pemajakan bagi sektor informal dan usaha kecil. -L.17- Dalam upaya meningkatkan kepatuhan pajak, Pemerintah akan melakukan berbagai upaya diantaranya melalui: Pertama, peningkatan penerimaan pajak melalui perluasan cakupan pelayanan dan pengawasan (penambahan kantor dan pembentukan mobile tax office). Kedua, perluasan basis pajak melalui kegiatan ekstensifikasi terhadap calon Wajib Pajak baru, antara lain melalui kegiatan operasi pasar dan pemanfaatan data pihak ketiga. Ketiga, peningkatan pengawasan Pengusaha Kena Pajak melalui implementasi faktur pajak elektronik (e-Tax invoice) secara nasional. Keempat, perbaikan kualitas data internal berbasis IT, antara lain melalui migrasi Wajib Pajak ke e-Filing dan perluasan jangkauan Data Processing Center. Kelima, peningkatan kerjasama dengan pihak ke-3 untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas data eksternal. Keenam, peningkatan efektivitas pengelolaan Wajib Pajak melalui implementasi manajemen kepatuhan Wajib Pajak Berbasis Risiko (Compliance Risk Management). Ketujuh, peningkatan efektivitas penegakan hukum melalui implementasi modul manajemen alur kerja dalam Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP) pada fungsi pemeriksaan, keberatan, dan banding. Kedelapan, peningkatan efektivitas pelayanan dan pengawasan berbasis IT antara lain melalui penerapan tax clearance dan cash register online Terkait upaya untuk menurunkan tingkat penghindaran pajak (tax evasion) khususnya perusahaan asing melalui transfer harga (transfer pricing), Pemerintah telah melakukan beberapa langkah diantaranya melalui: Pertama, pembentukan unit khusus yang melakukan penanganan transfer pricing. Kedua, pemberian diklat khusus mengenai transfer pricing kepada para pemeriksa, account representative, Kepala KPP Madya, KPP Khusus, dan Large Tax Office (LTO). Ketiga, peningkatan kuantitas penanganan transfer pricing, melalui pemberian kewajiban kepada setiap KPP di lingkungan Kanwil DJP WP Besar, KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan KPP Madya di seluruh Indonesia untuk melakukan pemeriksaan khusus transfer pricing minimal 4 WP setiap KPP serta mewajibkan setiap Kanwil DJP yang berada di wilayah Jakarta untuk melakukan pemeriksaan simultan terhadap perusahaan-perusahaan yang berada di bawah satu grup, minimal 1 grup untuk setiap Kanwil. Keempat, peningkatan kualitas penanganan transfer pricing yang dilakukan dalam bentuk pemberian bimbingan kepada setiap level penanganan masalah transfer pricing, yaitu di tingkatan analisis risiko, pemeriksaan, keberatan, dan banding serta penyediaan sarana pendukung dalam penanganan transfer pricing (pengadaan database pembanding dan industrial report dari perusahaan penyedia commercial databases). Kelima, melakukan penyempurnaan format SPT terkait pelaporan transaksi afiliasi, sehingga WP lebih transparan dalam melaporkan transaksi afiliasinya. -L.18- Menanggapi pertanyaan dan pandangan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera,dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengenai tax ratio yang masih rendah dan perlu ditingkatkan, Pemerintah sepenuhnya sependapat dengan pandangan anggota Dewan Yang Terhormat. Mengingat masih besarnya potensi di sektor perpajakan, maka Pemerintah secara konsisten dan bertahap akan berupaya meningkatkan tax ratio agar dapat mencapai kisaran 15-17 persen. Hal ini akan dilakukan dengan tetap menjaga iklim investasi dan dunia usaha, sehingga pengenaan pajak akan tetap kondusif dalam upaya meningkatkan perekonomian. Secara nominal, perkembangan penerimaan perpajakan dalam lima tahun terakhir terus mengalami peningkatan dengan ratarata sebesar 15,5 persen dari Rp723,3 triliun tahun 2010 menjadi Rp1.489,3 triliun pada APBNP 2015 dan diharapkan mencapai Rp1.565,8 triliun dalam RAPBN tahun 2016. Target penerimaan perpajakan dalam tahun 2016 meningkat 5 persen dari target penerimaan perpajakan dalam APBN-P tahun 2015. Hal ini disebabkan rencana penerimaan perpajakan tahun 2016 telah memperhitungkan perkiraan realisasi penerimaan perpajakan tahun 2015 yang masih lebih kecil dari targetnya dalam APBN-P tahun 2015. Dengan perhitungan yang realistis, target penerimaan perpajakan tahun 2016 tumbuh sekitar 14,5 persen dari perkiraan realisasi tahun 2015. Pemerintah menyadari bahwa besarnya penerimaan perpajakan serta tax ratio saat ini masih belum optimal dan masih terdapat potensi yang belum tergali. Masih belum optimalnya tax ratio tersebut antara lain dipengaruhi oleh masih tingginya sektor informal yang belum terjangkau oleh sistem perpajakan. Sektor informal mempunyai peran yang besar dalam perekonomian Indonesia. Di samping itu, lambatnya peningkatan tax ratio juga dipengaruhi oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi, terutama sektor pertambangan yang merupakan salah satu sektor penyumbang pajak yang besar. Pemerintah akan terus berupaya meningkatkan tax ratio mengingat potensi pajak yang belum tergali masih besar. Untuk meningkatkan tax ratio, Pemerintah telah dan akan terus melakukan program-program yang berkesinambungan, antara lain melalui peningkatan kepatuhan Wajib Pajak, penggalian potensi sektor unggulan, perluasan basis pajak, peningkatan efektivitas penegakan hukum, perbaikan administrasi, penyempurnaan regulasi, dan peningkatan kapasitas DJP, serta peningkatan ekstensifikasi dan intensifikasi. Pemerintah sepakat bahwa penerimaan dalam negeri harus ditingkatkan untuk mewujudkan kemandirian bangsa. -L.19- Menjawab pernyataan dari Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Partai Amanat Nasional yang meminta Pemerintah untuk melakukan perluasan basis penerimaan pajak dan insentif fiskal dalam rangka investasi dan daya saing serta daya beli masyarakat, serta melakukan terobosan kebijakan khususnya perbaikan regulasi perpajakan, mendorong konektivitas sektor perbankan dan perpajakan serta penegakan hukum perpajakan dapat diberikan penjelasan sebagai berikut: Bahwasanya Pemerintah sependapat dengan pernyataan Dewan Yang Terhormat untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan khususnya melalui penguatan dan perluasan basis pajak antara lain melalui: Pertama, digitalisasi SPT dan implementasi e-SPT & e-filing. Kedua, implementasi e-tax invoice di seluruh Indonesia, Ketiga, implementasi cash register dan Electronic Data Capturing (EDC)yang online dengan administrasi perpajakan. Keempat, implementasi penghimpunan data dari Instansi, Lembaga, Asosiasi dan Pihak Lain. Sementara itu, dalam upaya meningkatkan investasi dan daya saing, Pemerintah berupaya melanjutkan dan memperluas pemberian insentif fiskal antara lain melalui tax holiday, tax allowance, pembebasan PPN barang strategis dalam rangka mendukung investasi, perkembangan industri nasional, dan perkembangan sektorsektor/daerah tertentu, serta pemberian pajak ditanggung Pemerintah (DTP) yang terdiri atas PPh DTP untuk komoditas panas bumi; PPh DTP atas bunga, imbal hasil, dan penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan kepada Pemerintah dalam penerbitan SBN di pasar internasional; PPh DTP atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diterima atau diperoleh masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo; serta bea masuk DTP. Selain itu, untuk lebih mengoptimalkan penerimaan perpajakan,saat ini Pemerintah tengah mengusulkan revisi RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dengan harapan bahwa revisi RUU KUP tersebut mampu memberikan fleksibilitas baik bagi WP maupun pemungut pajak dengan tujuan akhir dapat meningkatkan penerimaan perpajakan dimasa depan. Sementara itu, terkait upaya konektivitas sektor perbankan dan perpajakan, Pemerintah meminta dukungan sepenuhnya kepada seluruh anggota dewan yang terhormat agar Pemerintah, dalam hal ini melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), diberi kewenangan untuk dapat mengakses data wajib pajak yang ada pada sistem perbankan sebagai bahan untuk membandingkan kesesuaian data yang disampaikan wajib pajak secara self assessment kepada DJP dengan data wajib pajak yang ada pada sistem perbankan. Sistem self assessment akan berjalan dengan semestinya manakala DJP memiliki data yang cukup, akurat, dan tersedia tepat waktu untuk -L.20- memastikan bahwa data dan/atau informasi yang disampaikan wajib pajak sudah lengkap dan benar sesuai amanah UU di bidang Perpajakan. Selanjutnya, dalam upaya penegakan hukum, Pemerintah akan melakukan berbagai upaya antara lain melalui: meningkatkan efektivitas pemeriksaan pajak, meningkatkan efektivitas penagihan pajak, menerapkan penegakan hukum secara selektif untuk menimbulkan efek jera, dan memastikan kualitas dan konsistensi penegakan hukum. Setelah melakukan pembinaan yang intensif di tahun 2015, maka di tahun 2016 Pemerintah akan melakukan law enforcement yang lebih optimal, dalam rangka optimalisasi perpajakan. Menjawab pernyataan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang meminta Pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan di bidang kepabenan dan cukai pada tahun 2016 dapat diberikan penjelasan sebagai berikut: Pemerintah sependapat dengan pernyataan Dewan Yang Terhormat untuk lebih mengoptimalkan penerimaan di bidang kepabeanan dan cukai pada tahun 2016 antara lain melalui: Pertama, memperkuat kerangka hukum (legal framework) dan implementasi peraturan dibidang kepabeanan, antara lain: (i) penyelesaian/penyempurnaan peraturan di bidang impor dan ekspor; (ii) implementasi penuh sistem pembayaran penerimaan negara melalui billing sistem Modul Penerimaan Negara Generasi 2 dan (iii) melakukan sinergi dengan DJP dalam hal pertukaran data. Kedua, mengembangkan dan menyempurnakan sistem dan prosedur yang berbasis IT, antara lain: (i) penerapan manajemen resiko yang terpusat terkait dengan pelayanan dan pengawasan kepabeanan dan cukai; (ii) peningkatan implementasi pintu tunggal nasional indonesia (Indonesia National Single Window-INSW); (iii) mengembangkan otomasi Tempat Penimbunan Sementara (TPS); dan (iv) penyempurnaan prosedur pengawasan barang kena cukai melalui sistem pengamanan penerimaan cukai. Ketiga, optimalisasi pengawasan impor melalui: (i) Penelitian terhadap Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dalam memberitahukan nilai pabean dan atau tarif; dan (ii) Penelitian terhadap PIB yang mendapat fasilitas FTA melalui pengecekan validitas dan otentisitas Certificate of Origin (CoO). Keempat, Penegakan hukum di bidang cukai khususnya terkait dengan rokok dan minuman mengandung etil alkohol ilegal. Kelima, intensifikasi penerimaan cukai melalui penyesuaian tarif cukai dengan memperhatikan kesejahteraan petani tembakau dan keberlangsungan industri rokok. Keenam, optimalisasi pengawasan ekspor melalui : (i) Pengawasan terhadap modus antar pulau; (ii) Penguatan fungsi laboratorium; dan (iii) Audit terhadap eksportir. Ketujuh, penyelarasan organisasi, sumber daya manusia, dan infrastruktur melalui: (i) Identifikasi fungsi utama dan cakupan kerja; dan (ii) Prioritisasi aspek organisasi dan sumber daya manusia. -L.21- Menanggapi pernyataan dari Fraksi Partai Amanat Nasional mengenai peluang peningkatan ekspor impor sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dengan perbaikan ―dwelling time‖, dapat diberikan penjelasan sebagai berikut: Pemerintah sependapat dengan pandangan Dewan Yang Terhormat bahwa di tengah kondisi perekonomian dunia yang melemah saat ini, perlu usaha extra dari pemerintah untuk mempertahankan bahkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, di mana salah satunya dengan mendorong peningkatan ekspor dan impor. Perluang untuk meningkatkan volume ekspor impor bisa dilakukan dengan memberikan instrumen kebijakan fiskal/ nonfiskal, perbaikan infrastruktur dan tentunya menurunkan dwelling time yang ditengarai sebagai penyebab tingginya biaya logistik. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menurunkan dwelling time di pelabuhan yaitu dengan penyederhanaan regulasi, penyederhanaan proses perijinan dan tentunya sinergi yang lebih baik antar K/L di pelabuhan. Proses dwelling time dari Januari sampai dengan Agustus terus mengalami penurunan, dimana pada tanggal 17 Agustus 2015 dwelling time mencapai adalah 5,53 hari. Penurunan dwelling time ini telah menjadi fokus prioritas serta target Pemerintah untuk dapat segera diselesaikan. Menjawab pandangan Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Fraksi Partai Nasional Demokrat, terkait kontribusi BUMN terhadap pendapatan negara pada RAPBN tahun 2016 yang mengalami penurunan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada prinsipnya, Pemerintah sepakat untuk terus melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kinerja BUMN agar lebih berkontribusi terhadap APBN melalui kemampuannya dalam membayar dividen. Terhadap BUMN yang belum bisa memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara, Pemerintah akan berusaha meningkatkan kinerja keuangan BUMN tersebut sebagai berikut: 1. Penentuan dividen memperhatikan tingkat laba BUMN serta kemampuan cash flow perusahaan. Dalam beberapa kasus, ada BUMN dengan tingkat profitabilitas tinggi namun bermasalah dalam hal likuiditas. 2. Penentuan dividen mempertimbangkan kemampuan BUMN dalam mendanai investasi yang menguntungkan dalam rangka menjaga keberlangsungan usaha. 3. Penentuan dividen diusahakan tidak akan menurunkan nilai pasar BUMN listed. 4. Penentuan dividen harus tidak melanggar regulasi atau perjanjian (covenant) yang mengikat BUMN. -L.22- Pada tahun 2016, dividen BUMN ditargetkan lebih rendah dari tahun sebelumnya karena dalam rangka mendukung program Pemerintah, BUMN diminta menjadi agent of development untuk merealisasikan proyek-proyek strategis seperti jalan tol, pembangkit listrik, pembangunan bandara, pelabuhan, dan proyek infrastruktur lain, serta memperkuat sektor pendukung seperti perbankan dan jasa keuangan lainnya. Dengan fungsi tersebut, BUMN membutuhkan lebih banyak pendanaan baik dari internal (laba ditahan) ataupun pendanaan dari eksternal. Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai upaya mengoptimalkan PNBP SDA nonmigas khususnya dari sektor industri seperti industri telekomunikasi serta sektor industri kelautan dan perikanan, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut. Optimalisasi PNBP terus diupayakan baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi PNBP, antara lain dengan mencari jenis-jenis PNBP baru dan meningkatkan tarif PNBP dengan tetap memperhatikan aspek keadilan kepada masyarakat. Terkait optimalisasi PNBP dari sektor telekomunikasi, tarif PNBP dari industri telekomunikasi akan direvisi untuk memperoleh PNBP yang optimal. Revisi tarif PNBP tersebut dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang saat ini dalam proses untuk segera ditetapkan. Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut juga akan mengatur pelayanan cepat untuk pungujian alat telekomunikasi sebagai bentuk peningkatan pelayanan PNBP pada sektor telekomunikasi. Sedangkan dalam rangka meningkatkan PNBP sektor Kelautan dan Perikanan, Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan akan melakukan upayaupaya sebagai berikut: 1. Upaya penegakan hukum di sektor kelautan dan perikanan untuk mengatasi Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUU Fishing) melalui: a. moratorium/penghentian sementara perizinan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan Negara RI untuk kapal eks asing; b. Larangan transhipment (pemindahan ikan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan ke kapal pengangkut ikan atau pemindahan ikan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan ke kapal penangkap ikan) dimana setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lain yang ditunjuk; serta -L.23- c. Larangan penangkapan lobster, kepiting dan rajungan, larangan pengeluaran ikan hiu koboi dan hiu martil, dan larangan penggunaan pukat hela. 2. Ekstensifikasi dan intensifikasi PNBP dengan melakukan reviu secara periodik jenis dan besaran tarif PNBP sektor perikanan disesuaikan dengan kondisi terkini. 3. Perbaikan peraturan teknis terkait pengelolaan di sektor kelautan dan perikanan antara lain melalui penetapan harga patokan ikan dan cara perhitungan volume hasil tangkapan ikan. C. BELANJA NEGARA Pemerintah sependapat dengan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Partai Nasional Demokrat mengenai APBN yang harus digunakan untuk mencapai tujuan terciptanya kesejahteraan rakyat, memberikan stimulus lebih bagi rakyat miskin penurunan tingkat pengangguran dan penyempitan ketimpangan pendapatan. Untuk itu dalam tahun 2016 Pemerintah telah menargetkan penurunan tingkat pengangguran pada kisaran 5,2-5,5 persen, angka kemiskinan sebesar 9,010,0 persen, serta tingkat ketimpangan pendapatan yang diukur dengan rasio Gini menjadi 0,39. Target-target tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi Pemerintah dalam mewujudkannya. Untuk itu, dalam RAPBN tahun 2016, Belanja Negara lebih diarahkan untuk belanja yang lebih produktif seperti pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, waduk, dan tenaga listrik, hal ini akan memberikan multiplier efek kepada kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat banyak. Selanjutnya, program-program pemerataan akan diarahkan untuk penciptaan future income melalui peningkatan kualitas SDM (pendidikan dan kesehatan), dan perluasan bantuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Selain itu, Pemerintah terus mengupayakan akses yang lebih luas kepada kelompok masyarakat bawah agar bisa terpenuhi hak-hak dasarnya dan dapat menikmati hasilhasil pembangunan secara lebih baik. Langkah ini ditempuh melalui dukungan keuangan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, baik dalam bentuk dana penjaminan kredit/pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) dan koperasi serta dukungan bantuan tunai bersyarat. Sejalan dengan itu, pada tahun 2016 arah kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan adalah membangun landasan yang kuat agar ekonomi tumbuh dan menghasilkan kesempatan kerja yang berkualitas, penyelenggaraan perlindungan sosial yang komprehensif, pengembangan penghidupan berkelanjutan, serta perluasan dan peningkatan pelayanan dasar. -L.24- Selanjutnya untuk menjaga future income masyarakat, di tahun 2016 Pemerintah akan meningkatkan kualitas kegiatan yang sudah berjalan, seperti raskin, akses kesehatan melalui Kartu Indonesia Sehat (KIS), akses pendidikan (Kartu Indonesia Pintar), dan pemberian uang tunai bersyarat. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sebagai stimulus bagi kelompok masyarakat bawah, serta menurunkan tingkat ketimpangan baik ketimpangan antarkelompok pendapatan maupun ketimpangan antarwilayah. Sementara itu, sehubungan dengan saran dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Fraksi Partai Demokrat tentang kesiapan menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dapat disampaikan bahwa untuk mendukung pencapaian TPT 2016 sebesar 5,2 – 5,5 persen serta menyambut persaingan dan tantangan MEA 2015, arah kebijakan dan strategi di bidang ketenagakerjaan ditetapkan melalui langkah-langkah sebagai berikut: (i) memperkuat daya saing tenaga kerja dalam memasuki pasar tenaga kerja secara global; (ii) memperluas akses angkatan kerja kepada sumber daya produktif, yang utamanya ditujukan kepada pekerja rentan, pencari kerja, tenaga kerja muda, dan setengah penganggur; (iii) mendukung penciptaan iklim investasi yang mendorong penciptaan kesempatan kerja yang layak; dan (iv) meningkatkan kualitas pekerja melalui pengembalian pekerja anak ke dalam sistem pendidikan. Selanjutnya, di bidang perdagangan, Kementerian Perdagangan berperan aktif dalam perundingan-perundingan perdagangan yang terkait dengan pelaksanaan MEA, diantaranya melalui perumusan posisi runding agar Indonesia dapat menentukan tidak saja pada posisi defensif tetapi juga ofensif yang dapat semakin membuka akses pasar Indonesia di ASEAN dan negara mitra ASEAN. Pemerintah sependapat dengan pandangan anggota Dewan Yang Terhormat dari Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Nasional Demokrat. RAPBN 2016 diarahkan untuk mendukung kegiatan ekonomi produktif, meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan future income, meningkatkan produktifitas masyarakat, dan mendorong daya beli masyarakat. Selain itu, Pemerintah sependapat dengan pandangan anggota Dewan Yang Terhormat dari Fraksi Partai Nasional Demokrat. Dalam RAPBN 2016 Pemerintah berkomitmen untuk melakukan langkah-langkah perbaikan struktural melalui koordinasi dan sinergi, baik di internal pemerintah maupun antara Pemerintah sebagai otoritas fiskal dengan otoritas moneter, dan otoritas jasa keuangan. Pemerintah sependapat dengan pandangan anggota Dewan Yang Terhormat dari Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, -L.25- Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Nasional Demokrat agar APBN diarahkan untuk mendukung pembangunan yang berkualitas dengan mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai amanat konstitusi, perlunya instrumen yang tepat dalam membelanjakan anggaran agar efektif dan efisien, serta menyusun anggaran yang realistis dan memberikan stimulus lebih bagi rakyat miskin. Alokasi anggaran yang tepat, realistis, dan memberikan stimulus kepada rakyat, merupakan amanat Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 Amandemen Keempat. Namun, dalam menyusun RAPBN tahun 2016 Pemerintah masih menghadapi berbagai tantangan antara lain: (1) reformasi subsidi agar lebih tepat sasaran; (2) fiscal space yang tersedia masih perlu ditingkatkan untuk menopang belanja produktif prioritas; (3) belanja yang bersifat mengikat perlu dikendalikan; (4) perlu pengendalian keseimbangan primer; dan (5) pola dan penyerapan anggaran yang produktif perlu ditingkatkan. Untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut, maka RAPBN tahun 2016 sebagai instrumen fiskal direncanakan agar senantiasa efisien dalam pengelolaan sumber daya, produktif dalam mendukung pencapaian target-target pembangunan (pertumbuhan dan kesejahteraan) dengan tetap mengendalikan risiko, dan menjaga keberkelanjutan fiskal dalam jangka menengah. RAPBN tahun 2016 disusun berdasarkan pokok-pokok kebijakan fiskal dengan tema ―Penguatan Pengelolaan Fiskal dalam Rangka Memperkokoh Fundamental Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas‖. Sejalan dengan hal tersebut maka strategi yang ditempuh adalah: (1) memperkuat stimulus yang diarahkan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan penguatan daya saing, (2) meningkatkan ketahanan fiskal dan menjaga terlaksananya program-program prioritas di tengah tantangan perekonomian global, serta (3) mengendalikan risiko dan menjaga kesinambungan fiskal dalam jangka menengah dan panjang. Melalui strategi tersebut diharapkan pengelolaan fiskal akan lebih produktif, berdaya tahan, risiko terkendali dan berkelanjutan. Dalam APBN-P tahun 2015 Pemerintah telah mengambil langkah yang signifikan dalam perbaikan kualitas pembangunan dengan mengalihkan alokasi belanja yang kurang produktif dan tidak tepat sasaran dalam APBN, ke belanja yang lebih produktif, terutama untuk pembangunan infrastuktur, kedaulatan pangan, dan perikanan, serta perlindungan sosial. Kita harus sadari bahwa langkah perbaikan tersebut tidak dapat dilakukan hanya bersifat ad hoc dan jangka pendek, tapi harus konsisten dan berkesinambungan. Untuk itu dalam RAPBN tahun 2016, langkah perbaikan yang telah dilakukan di tahun 2015 akan terus dilanjutkan dan ditingkatkan melalui beberapa kebijakan utama. -L.26- Untuk mempercepat pemerataan pembangunan di daerah dan mendukung pelaksanaan Desentralisasi fiskal, anggaran transfer ke daerah akan ditingkatkan secara signifikan, sehingga untuk pertama kalinya dalam APBN, total anggaran transfer ke daerah dan dana desa (Rp782,2 triliun) lebih besar dari anggaran Kementerian/Lembaga (Rp780,4 triliun). Hal ini dilakukan melalui pengalihan dana Dekonsentrasi dan Tugas pembantuan di Kementerian/Lembaga ke DAK, serta peningkatan Dana Desa di tahun 2016 lebih dari 100 persen. Sementara itu, untuk meningkatkan efektifitas Belanja Negara, Pemerintah akan melanjutkan pengalihan belanja yang kurang produktif dan tidak tepat sasaran (subsidi listrik) ke belanja yang lebih produktif melalui peningkatan belanja infrastruktur, pertanian, perikanan, dan pariwisata. Selanjutnya, untuk mewujudkan pembangunan yang berkualitas, maka belanja negara dalam RAPBN tahun 2016 diarahkan untuk mendukung kegiatan ekonomi produktif, meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan future income, meningkatkan produktifitas masyarakat, dan mendorong daya beli masyarakat. Dukungan terhadap sarana dan kegiatan ekonomi produktif dilakukan melalui pembangunan infrastruktur serta ketahanan pangan dan energi yang alokasi anggarannya meningkat tajam dalam RAPBN tahun 2016, guna meningkatkan daya saing dan kapasitas perekonomian nasional. Dalam rangka menciptakan future income yang lebih terjamin, RAPBN tahun 2016 menaruh perhatian besar pada kualitas SDM melalui pembangunan kesehatan dan pendidikan. Pada tahun 2016, untuk pertama kalinya Pemerintah mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari APBN. Anggaran tersebut digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, terutama penyediaan berbagai fasilitas kesehatan (supply side) dan peningkatan cakupan pemberian Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi rakyat miskin sebagai penerima bantuan iuran (PBI) menjadi 92,4 juta jiwa masyarakat miskin. Di bidang pendidikan, alokasi anggaran pendidikan dalam tahun 2016 mencapai Rp424,8 triliun, yang diarahkan untuk mencapai pendidikan dasar 12 (dua belas) tahun, termasuk untuk sarana maupun prasarana pendidikan. Selanjutnya, keberpihakan Pemerintah terhadap rakyat miskin dan tidak mampu dilakukan melalui perluasan penerima bantuan tunai bersyarat menjadi 6 juta keluarga sangat miskin, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, serta Program Sejuta Rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Perluasan bantuan tunai bersyarat secara umum ditujukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat miskin, sekaligus mengurangi tingkat kesenjangan antar -L.27- kelompok pendapatan. Tujuan lain adalah menarik anak usia sekolah untuk bersekolah dan menciptakan budaya hidup sehat di lingkungan keluarga. Keberpihakan pada rakyat miskin juga tercermin dalam pengalokasian subsidi sebesar Rp201,4 triliun, baik dalam bentuk subsidi energi maupun non energi. Untuk menjamin efektivitas pemberian subsidi, Pemerintah akan menata ulang kebijakan subsidi, dengan menyusun sistem seleksi yang ketat untuk menentukan sasaran penerima subsidi yang tepat, dengan menggunakan basis data yang akurat dan transparan. Subsidi juga akan digunakan sebagai instrumen untuk meningkatkan produktivitas dan memberi akses masyarakat kepada perbankan, melalui subsidi bunga KUR. Melalui langkah-langkah tersebut diharapkan program-program pembangunan di tahun 2016 benar-benar dapat mencapai sasaran pembangunan untuk memacu pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan nasional, serta mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Menanggapi pandangan Fraksi Partai Nasional Demokrat terkait dengan perlunya Belanja Negara diarahkan untuk mendorong program pembangunan yang produktif dengan berorientasi ekspor dan mencari pasar baru untuk menumbuhkan cadangan devisa negara, dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemerintah sepakat dengan memperkirakan kinerja ekspor-impor pada tahun 2016 akan meningkat seiring dengan perbaikan ekonomi global dan kenaikan harga beberapa komoditas. Perbaikan ekonomi di negara-negara mitra dagang utama seperti Amerika Serikat, diprediksi akan mendorong permintaan dan kinerja ekspor Indonesia. Dalam rangka memanfaatkan peluang peningkatan aktivitas perdagangan internasional, Pemerintah akan membuka pasar ekspor baru, mengurangi hambatan perdagangan di pasar tujuan ekspor, serta meningkatkan fasilitas ekspor untuk mendorong permintaan terhadap produk Indonesia. Strategi yang dilakukan Pemerintah antara lain (1) pengembangan fasilitas ekspor dan pengelolaan impor yang efektif, (2) pemantapan pangsa ekspor Indonesia di pasar ekspor utama, (3) peningkatan pangsa ekspor Indonesia di pasar ekspor prospektif, serta (4) pengembangan produk ekspor potensial. Selain itu, Pemerintah berupaya untuk mendorong partisipasi sektor industri dalam rantai nilai tambah global (global value chain) dan jaringan produksi global (global production network) yang berorientasi ekspor sebagai upaya untuk memperluas tujuan ekspor dan meningkatkan daya saing produk. Pemerintah juga akan meningkatkan promosi ekspor terutama pada tekstil dan produk tekstil, alas kaki, produk elektronik, dan furnitur ke negara yang diperkirakan sudah mengalami pemulihan ekonomi seperti Amerika Serikat dan India. Dari sisi impor, kebijakan -L.28- diarahkan pada upaya untuk menarik investor guna menumbuhkan industri dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor bahan baku sehingga akan mendorong perbaikan neraca perdagangan. Fasilitas perdagangan dengan sistem online juga akan dikembangkan untuk meningkatkan pelayanan dan mempercepat proses penerbitan perizinan. Langkah utama yang telah ditempuh Pemerintah dalam meningkatkan kualitas belanja negara adalah melalui peningkatan alokasi belanja yang produktif dan mengendalikan belanja yang bersifat konsumtif, serta meminimalisir inefisiensi sehingga pengeluaran dapat diarahkan kepada program-program prioritas nasional. Namun demikian dalam pengelolaan fiskal, pemerintah juga menghadapi tantangan yang cukup kompleks, antara lain relatif besarnya porsi belanja yang bersifat mengikat. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah terus melakukan upaya fundamental untuk memperkuat belanja produktif yang ditempuh melalui peningkatan besaran alokasi belanja produktif, peningkatan ruang fiskal melalui efisiensi belanja yang kurang produktif (subsidi dan belanja non operasional), pengendalian peningkatan porsi belanja yang bersifat mengikat (mandatory spending), serta optimalisasi pendapatan negara baik melalui intensifikasi mapun ekstensifikasi. Di sisi lain, Pemerintah juga terus berupaya mendorong penguatan daya tahan fiskal dan pengendalian risiko untuk menjaga keberlanjutan fiskal dalam jangka menengah. Menanggapi pandangan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Gerakan Indonesia Raya, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Nasional Demokrat terkait kinerja penyerapan anggaran belanja negara yang cenderung lambat pada tahun 2015, dapat Pemerintah sampaikan bahwa kinerja penyerapan anggaran belanja negara tergantung pada tiga aspek utama, yaitu aspek kematangan perencanaan, ketepatan penganggaran, dan kecepatan pelaksanaan. Perencanaan yang kurang akurat dan kurang matang dapat menyebabkan keterlambatan dan memicu revisi dokumen dalam pelaksanaan anggaran. Perencanaan yang kurang akurat tersebut antara lain (1) ketidaksiapan proyek akibat terlambatnya persiapan proyek, kurangnya koordinasi jangka waktu pelaksanaan proyek, dan tidak tersedianya biaya persiapan proyek dalam tahun berjalan; dan (2) perencanaan kegiatan K/L seperti detail engineering design (DED) proyek dan rencana lelang yang belum dipersiapkan di awal. Sementara itu, aspek ketepatan penganggaran dapat menghambat pelaksanaan anggaran, terutama dalam hal ketidaklengkapan dokumen dan data dukung penganggaran, serta terdapatnya ketidaksesuaian pelaksanaan kegiatan dengan perencanaan anggaran. Hambatan -L.29- dalam pelaksanaan anggaran dapat disebabkan antara lain adanya beberapa peraturan terkait pelaksanaan penganggaran yang menghambat penyerapan anggaran, misalnya penetapan/penerbitan dasar hukum, termasuk Susunan Organisasi Tata Kerja (SOTK) sebagai dasar perumusan kinerja K/L dalam kaitannya dengan perubahan nomenklatur K/L yang membutuhkan waktu, keterlambatan penunjukan pejabat perbendaharaan, permasalahan dalam proses pengadaan barang dan jasa, serta adanya kendala terkait aturan dalam proses pembebasan lahan. Guna mengatasi hambatan tersebut, Pemerintah terus melakukan perbaikan sistem dan perencanaan anggaran agar dokumen yang diperlukan dalam pencairan DIPA dapat direncanakan jauh sebelum anggaran tersebut diberlakukan. Dari sisi regulasi, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang diantaranya mengatur bahwa proses pelelangan pengadaan barang/jasa dapat dilaksanakan sebelum tahun anggaran dimulai, setelah RKA-K/L disetujui oleh DPR. Dengan demikian, K/L sudah dapat melakukan perikatan dan pencairan dana DIPA dari sejak awal tahun anggaran. Dari sisi implementasinya: diperlukan komitmen bersama dari seluruh pemangku kepentingan termasuk aparat pemeriksa, serta sosialisasi masif agar dicapai kesamaan persepsi semua pihak, sehingga pejabat pengadaan barang dan jasa tidak diliputi kekhawatiran akan adanya temuan dari pemeriksa. Selanjutnya, dari sisi waktu penarikan anggaran, Pemerintah telah menerbitkan peraturan mengenai Rencana Penarikan Dana, Rencana Penerimaan Dana, dan Perencanaan Kas untuk penyempurnaan aturan, sistem dan prosedur yang terkait dengan penganggaran dan pelaksanaan APBN sehingga penyerapan anggaran lebih terstruktur dan terjadwal serta tidak menumpuk di kuartal IV. K/L diharapkan lebih baik dan terarah dalam hal perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan APBN, dan meningkatkan sinkronisasi proses pengadaan barang dan jasa dengan pelaksanaan kegiatan serta pencairan dananya. Upaya lain yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi terjadinya penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun, adalah: a) Perubahan Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menjadi PP No. 70 Tahun 2012 dalam rangka menyelesaikan hambatan-hambatan yang muncul dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah dan mendorong penyerapan belanja modal. b) Pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan dan menyerahkan dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) kepada K/L pada akhir tahun (t-1), sehingga K/L -L.30- mempunyai cukup waktu untuk melakukan persiapan dan pelaksanaan anggaran sejak awal tahun anggaran. c) Pemerintah telah memberikan fleksibilitas kepada Kementerian Negara/Lembaga dalam pelaksanaan revisi anggaran, serta mengurangi jalur birokrasi dalam proses revisi anggaran yang diajukan oleh K/L sehingga agar mempercepat proses eksekusi pelaksanaan anggaran apabila terjadi revisi anggaran. d) Pemerintah melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan anggaran secara lebih intensif, melalui Koordinasi Triwulanan antara Kementerian Keuangan dan K/L. Monitoring dan evaluasi tersebut dapat memberikan solusi atas hambatan-hambatan dalam penyerapan anggaran dan mengusahakan kesesuaian penyerapan anggaran dengan rencana. Langkah-langkah koordinasi dan upaya maksimal untuk memperbaiki hal itu, telah mulai menunjukan perbaikan di semester II tahun 2015, dimana pada pertengahan Agustus 2015 realisasi belanja K/L telah mencapai Rp297,9 triliun, yang berarti sudah lebih besar dari realisasi belanja di periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp260,3 triliun. Diperkirakan pada bulan-bulan berikutnya realisasi belanja K/L akan meningkat lagi di dorong pemantauan langsung oleh Presiden di sidang kabinet serta tim pemantauan realisasi anggaran oleh lintas Kementerian. Selain itu, menanggapai pandangan terkait lambatnya belanja infrastruktur dapat dijelaskan bahwa belanja infrastruktur sangat erat kaitannya dengan proses pengadaan barang dan jasa dan mekanisme pelaksanaan belanja modal. Pada triwulan I dan II pelaksanaan belanja modal, khususnya infrastruktur sudah memasuki tahap pelelangan, bahkan terdapat pekerjaan fisik yang sudah dimulai. Namun, pekerjaan fisik seringkali tidak berjalan seiring dengan penyerapan anggarannya. Oleh karena itu, tren penyerapan anggaran belanja modal, khususnya proyek infrastruktur yang bernilai besar umumnya terjadi pada Semester II atau bahkan di akhir tahun anggaran, meskipun secara fisik sudah terlaksana. Untuk mempercepat penyerapan anggaran belanja modal tersebut dilakukan dengan mengatur norma waktu penyelesaian tagihan sesuai ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan APBN dan saat ini sedang disusun Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai denda keterlambatan atas tagihan pihak ketiga. Selain langkah-langkah tersebut, Pemerintah telah mengupayakan percepatan eksekusi program-program pembangunan oleh Kementerian/Lembaga (K/L), melalui antara lain. 1. Penyempurnaan mekanisme pemberian reward and punishment dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja Kementerian/Lembaga (K/L). -L.31- 2. Perubahan menyeluruh atas Peraturan Presiden mengenai Pengadaan Barang dan Jasa, agar membantu menyelesaikan permasalahan-permasalahan pengadaan barang dan jasa sehingga tidak menghambat realisasi belanja modal. a. Pengaturan untuk proses pengadaan barang dan jasa yang dapat dilakukan sebelum tahun anggaran dimulai. b. Meningkatkan batasan pengadaan barang dan jasa yang dapat dilakukan tanpa pelelangan dari semula 100 juta menjadi 200 juta. 3. Proses penyiapan lelang dapat dilakukan jauh hari sebelum tahun anggaran dimulai, dengan menggunakan dana tahun berjalan. 4. Penguatan koordinasi K/L dalam pelaksanaan penyerapan realisasi anggaran melalui Tim Evaluasi Pengawasan Pelaksanaan Realisasi Anggaran (TEPRA) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. 5. Pembahasan RAPBN tahun 2016 akan diselesaikan selambatnya pada Oktober 2015 dan rincian APBN akan ditetapkan dalam Keputusan Presiden, sebagai dasar penerbitan DIPA; 6. Berkaitan dengan RKA-K/L tahun 2016 yang telah mendapat persetujuan Komisi DPR: a. K/L mulai melakukan proses pelelangan terhadap proyek dan kegiatan tahun 2016, sejak awal November 2015, setelah disetujui Komisi DPR pada akhir Oktober 2015 dengan menggunakan pagu anggaran tahun 2015; b. Penandatanganan kontrak atas proyek dan kegiatan dilakukan setelah terbitnya DIPA K/L tahun 2016 (pada pertengahan Desember 2015); c. K/L memastikan seluruh unsur pelaksana program/kegiatan sudah siap (Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat perbendaharaan) sejak tahun 2015; d. Perencanaan proyek dan kegiatan K/L di tahun 2016 disusun lebih baik (dari sisi kelengkapan administrasi proyek) sehingga benar-benar siap dilaksanakan sejak awal Januari 2016. Menanggapi pandangan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Nasional Demokrat, dan Fraksi Partai Demokrat terkait kebijakan belanja negara, dapat dijelaskan sebagai berikut. Sejalan dengan tema RKP tahun 2016 ―mempercepat pembangunan infrastruktur untuk memperkuat fondasi pembangunan yang berkualitas‖, maka kebijakan belanja negara diarahkan untuk a.l. mendukung pelaksanaan berbagai program dan sasaran -L.32- pembangunan, antara lain di bidang: (1) pendidikan, kesehatan, dan penyediaan perumahan (dimensi pembangunan manusia); (2) kedaulatan pangan, kedaulatan energi dan ketenagalistrikan, kemaritiman, serta pariwisata dan industri (dimensi pembangunan sektor unggulan); (3) pemerataan dan pengurangan kesenjangan baik antarkelas pendapatan dan antarwilayah. Alokasi belanja terutama ditujukan untuk mendanai program dan kegiatan yang produktif dan prioritas. Selain itu, Pemerintah juga senantiasa menjaga iklim investasi agar kondusif bagi dunia usaha sehingga akan semakin banyak lapangan kerja yang tercipta. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dapat lebih berkualitas. Selain mendorong pertumbuhan ekonomi, Pemerintah juga tetap melanjutkan, bahkan memperluas berbagai kebijakan yang berpihak pada rakyat seperti Program Indonesia Pintar, Program Indonesia sehat, Program Keluarga Sejahtera, dan Program sejuta Rumah, termasuk pengalokasian subsidi bunga untuk kredit usaha rakyat. Peningkatan anggaran program-program yang berpihak rakyat tersebut dapat disampaikan antara lain sebagai berikut. Anggaran untuk PBI/KIS dari Rp20,4 triliun dengan cakupan 88,2 juta orang dalam tahun 2015 meningkat menjadi Rp25,5 triliun dengan luas cakupan 92,4 juta orang pada RAPBN tahun 2016. Anggaran BOS dalam tahun 2015 sebesar Rp31,3 triliun menjadi Rp42,1 triliun dalam tahun 2016. Untuk BOS, mulai tahun 2016 dialokasikan melalui transfer ke daerah. Selain itu, untuk program Bantuan Tunai Bersyarat/conditional cash transfer mengalami peningkatan anggaran dari Rp6,6 triliun dengan luas cakupan sebanyak 3,5 juta KSM dalam tahun 2015 menjadi Rp12,0 triliun dengan luas cakupan sebanyak 6 juta KSM. C.1 BELANJA PEMERINTAH PUSAT Menanggapi pernyataan dari Fraksi Partai Demokrat mengenai penguatan konektivitas ekonomi nasional dan ekonomi internasional dalam rangka meningkatkan daya saing nasional dapat kami sampaikan tanggapan sebagai berikut. Penguatan konektivitas ekonomi nasional sejalan dengan komitmen Pemerintah mengurangi biaya distribusi barang dan jasa, serta transportasi. Peningkatan konektivitas tersebut dilakukan dengan mempercepat pembangunan infrastruktur jalan, kereta api, bandara, pelabuhan laut dan pelabuhan penyeberangan, terutama pada daerah-daerah tertinggal, wilayah terpencil, terluar dan wilayah perbatasan, kawasan pariwisata, kawasan khusus serta kawasan industri. Untuk mendukung Sistem Logistik Nasional dan mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, dilakukan melalui pembangunan transportasi berbasis maritim yang didukung dengan short sea shipping/coastal shipping dan diintegrasikan -L.33- dengan jaringan jalan dan kereta api menuju pelabuhan, bandara, perkotaan atau pusat-pusat pertumbuhan/kehidupan hingga wilayah terpencil dan perbatasan. Transportasi berbasis maritim diwujudkan dalam tol laut yang dicerminkan dengan meningkatnya kapasitas pelabuhan utama pendukung tol laut di 24 pelabuhan strategis serta jumlah dan kapasitas pelabuhan non komersial sebagai sub feeder Tol Laut. Pemerintah akan mendorong pengembangan pelabuhan strategis, pelabuhan non-komersil yang terintegrasi dan bersinergi dengan pengembangan pelabuhan oleh BUMN, serta pelabuhan rakyat untuk mendukung Tol Laut. Terwujudnya tol laut dalam upaya meningkatkan pelayanan angkutan laut serta meningkatkan konektivitas laut difokuskan pada: (a) peningkatan pelayanan angkutan perintis laut dengan 67 unit kapal perintis untuk menghubungkan pulau besar dan pulau-pulau kecil pada 102 trayek perintis angkutan laut; (b) pengembangan 24 pelabuhan, termasuk Bitung dan Kuala Tanjung sebagai New International Hub serta pengembangan 40 lokasi pelabuhan non-komersil dalam rangka mendukung tol laut; dan (c) pemberdayaan industri maritim dan perkapalan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan dalam negeri dan ekspor. Selain itu, konektivitas nasional juga diperkuat melalui pembangunan komunikasi dan informatika yang diarahkan kepada percepatan penyediaan akses komunikasi dan informatika terutama di wilayah perbatasan negara, tertinggal, terpencil, dan terluar untuk menutup kesenjangan antarwilayah, serta pengembangan infrastruktur internet berkecepatan tinggi (pitalebar) untuk meningkatkan daya saing. Beberapa sasaran yang ingin diwujudkan terkait penyediaan akses komunikasi dan informatika adalah sebagai berikut : 1. Tersedianya layanan komunikasi dan informatika di perdesaan, perbatasan negara, pulau terluar, dan wilayah non komersial lainnya melalui, jangkauan layanan akses telekomunikasi universal dan internet mencapai 100 persen di wilayah USO; 2. Tersedianya layanan pitalebar dengan tujuan : a. Terhubungnya jaringan tulang punggung serat optik nasional di seluruh pulau besar dan kabupaten/kota; b. Tingkat penetrasi fixed pitalebar di perkotaan 71 persen rumah tangga dan 30 persen populasi, di perdesaan 49 persen rumah tangga dan 6 persen populasi; c. Tingkat penetrasi mobile pitalebar (1 Mbps) di perkotaan 100 persen dan di perdesaan 52 persen. -L.34- 3. Pengoptimalisasian pengelolaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit melalui: a. Migrasi sistem penyiaran televisi dari analog ke digital selesai (analog switch off); b. Tersedianya alokasi spektrum frekuensi yang mendukung layanan pitalebar. Menanggapi pandangan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Nasional Demokrat mengenai pengalokasian dan sasaran pembangunan infrastruktur, dapat disampaikan bahwa pembangunan infrastruktur memiliki multiplier effect yang besar dan berkelanjutan terhadap pembangunan nasional. Dalam RAPBN tahun 2016, Pemerintah mengalokasikan anggaran infrastruktur sebesar Rp313,5 triliun yang diarahkan untuk pembangunan konektivitas, kedaulatan pangan, energi, serta perumahan, air minum dan sanitasi. Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengenai prioritas pengalokasian anggaran infrastruktur yang juga diarahkan untuk infrastruktur kerakyatan, selain pembangunan infrastruktur di bidang konektivitas, perumahan, energi, dan kedaulatan pangan. Pembangunan infrastruktur dalam kerangka ekonomi kerakyatan, antara lain pembangunan sarana dan prasarana dasar di daerah kumuh (Neighborhood Upgrading and Shelter Project (NUSP), pembangunan sanitasi berbasis masyarakat (SANIMAS), Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW), serta Pembangunan Sarana Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS). Pembangunan infrastruktur kerakyatan juga diarahkan untuk membuka akses terhadap wilayah-wilayah terisolir, terpencil, dan terluar, yang bertujuan untuk memperlancar mobilitas arus barang dan jasa, serta kelancaran proses produksi. Pembangunan infrastruktur tersebut antara lain dilakukan melalui pembangunan (termasuk pemeliharaan) ruas jalan sepanjang 375 kilometer, jembatan sepanjang 6.283,9 meter, 4 darmaga sungai dan danau, jalur kereta api sepanjang 110,9 kmsp, pengembangan sarana distribusi perdagangan melalui pasar rakyat, serta pengembangan sarana dan prasarana pedesaan. Selain itu, Pemerintah juga berupaya mewujudkan kedaulatan energi melalui fasilitasi penyelesaian pembangunan pembangkit 35.000 MW, rasio elektrifikasi 90,15 persen, dan kapasitas pembangkit sebesar 61,5 giga watt. Dengan demikian, pembangunan infrastruktur yang berpola pemberdayaan dan berpihak pada wilayah tertinggal, terpencil, dan terluar diharapkan dapat membuka kesempatan kerja dan mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah, serta membuka peluang tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. -L.35- Selanjutnya, menanggapi pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera terkait pembangunan infrastruktur pertanian dan kelautan, dapat disampaikan sebagai berikut. Pembangunan infrastruktur pertanian diarahkan antara lain untuk pengembangan jaringan dan optimasi air (termasuk jaringan irigasi) seluas 500.000 ha. Terkait dengan infrastruktur kelautan, Pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk (1) membangun kapal perintis penumpang dan barang sebanyak 94 unit; (2) membangun sarana bantu navigasi pelayaran sebanyak 215 unit. Di samping itu, Pemerintah juga mendukung pengembangan perekonomian berbasis bahari secara serius dan terintegrasi baik hulu maupun hilirnya yang mencakup industri perikanan, transportasi, pertambangan laut, industri produk olahan hasil laut, wisata bahari, dan riset maritim. Dengan demikian, pembangunan infrastruktur di bidang pertanian dan kelautan akan dapat menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru. Hal ini sejalan dengan visi pemerintah ―Indonesia yang lebih berdikari dalam bidang ekonomi‖ yang kemudian dijabarkan ke dalam Nawa Cita, khususnya untuk cita 6: meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional dan cita 7: mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Menanggapi pandangan Fraksi Partai Nasional Demokrat terkait keberlanjutan pembiayaan untuk infrastruktur, dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara umum, anggaran infrastruktur selain dialokasikan melalui belanja Kementerian Negara/Lembaga, juga dialokasikan melalui belanja non K/L, transfer ke daerah, dana desa, dan pembiayaan. Alokasi anggaran infrastruktur melalui belanja non-K/L dilakukan dalam bentuk dukungan viability gap fund (VGF) dan belanja hibah ke pemerintah daerah, seperti pembangunan mass rapid transit (MRT). Selanjutnya, anggaran infrastruktur melalui transfer ke daerah dan dana desa dialokasikan dalam bentuk: (1) dana alokasi khusus pada beberapa bidang terkait infrastruktur, yaitu bidang transportasi, jalan, irigasi, air minum dan sanitasi, serta energi perdesaan; (2) dana desa yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur di perdesaan. Adapun anggaran infrastruktur melalui pembiayaan dialokasikan melalui berbagai bentuk investasi Pemerintah (seperti fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan/FLPP), maupun PMN kepada beberapa BUMN yang bergerak di bidang infrastruktur. Selanjutnya, menanggapi saran dan harapan Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera terkait dengan realisasi dari program infrastruktur, dapat disampaikan pandangan sebagai berikut. Pemerintah menyadari bahwa realisasi belanja infrastruktur pada semester I tahun 2015 masih cukup rendah. Hal ini antara lain disebabkan adanya perubahan nomenklatur beberapa Kementerian, termasuk kementerian yang menangani infrastruktur. -L.36- perubahan nomenklatur tersebut berdampak pada perubahan organisasi dan tata kerja, serta alokasi anggaran sehingga memengaruhi terlambatnya pelaksanaan kontrak proyek infrastruktur. Oleh karena itu, pada tahun 2016, Pemerintah berupaya untuk mempercepat pelaksanaan kegiatan infrastruktur, antara lain melalui: (1) K/L mulai melakukan proses pelelangan terhadap proyek dan kegiatan tahun 2016, sejak awal November 2015, setelah disetujui Komisi DPR pada akhir Oktober 2015 dengan menggunakan pagu anggaran tahun 2015; (2) Penandatanganan kontrak atas proyek dan kegiatan dilakukan setelah terbitnya DIPA K/L tahun 2016 (pada pertengahan Desember 2015); (3) K/L memastikan seluruh unsur pelaksana program/kegiatan sudah siap (Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat perbendaharaan) sejak tahun 2015; (4) Perencanaan proyek dan kegiatan K/L di tahun 2016 disusun lebih baik (dari sisi kelengkapan administrasi proyek) sehingga benar-benar siap dilaksanakan sejak awal Januari 2016. Pemerintah sependapat terhadap pandangan Fraksi Partai Nasional Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera untuk terus konsisten mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN sesuai dengan amanat Pasal 31 Ayat 4UUD 1945. Pemenuhan 20 persen anggaran pendidikan dalam RAPBN tahun 2016 ini dimaksudkan agar pengelolaan pendidikan yang efektif dan peningkatan kualitas infrastruktur dan proses pendidikan, mampu meningkatkan kualitas pendidikan yang berdampak pada peningkatan kualitas manusia Indonesia serta daya saing bangsa. Dalam RAPBN tahun 2016, alokasi anggaran pendidikan direncanakan mencapai Rp424,3 triliun, yang berarti meningkat cukup signifikan (Rp15,7 triliun) dari APBNP tahun 2015. Alokasi anggaran pendidikan tersebut akan diarahkan untuk mendukung pencapaian sasaran sebagaimana yang ingin dicapai dalam Program Indonesia Pintar pada RKP 2016, yaitu: 1. melaksanakan Wajib Belajar 12 Tahun, dengan (a) melanjutkan upaya untuk memenuhi hak seluruh penduduk mendapatkan layanan pendidikan dasar, dan (b) memperluas dan meningkatkan pemerataan pendidikan menengah berkualitas antara lain melalui dukungan bagi anak dari keluarga kurang mampu untuk dapat mengikuti Program Indonesia Pintar dengan pemberian Kartu Indonesia Pintar; 2. meningkatkan kualitas pembelajaran, melalui penguatan jaminan kualitas (quality assurance) pelayanan pendidikan; penguatan kurikulum dan pelaksanaannya; dan penguatan sistem penilaian pendidikan yang komprehensif dan kredibel; -L.37- 3. meningkatkan akses terhadap layanan pendidikan dan pelatihan keterampilan melalui peningkatan kualitas lembaga pendidikan formal, terutama pendidikan menengah dan pendidikan tinggi; 4. meningkatkan pengelolaan dan penempatan guru, serta jaminan hidup dan fasilitas pengembangan pengetahuan dan karir bagi guru di daerah khusus; dan 5. meningkatkan pemerataan akses dan kualitas serta relevansi dan daya saing pendidikan tinggi. Untuk itu, alokasi anggaran pendidikan dalam RAPBN tahun 2016 ini akan dipergunakan antara lain untuk: (1) pemberian Kartu Indonesia Pintar kepada 21.570.777 siswa; (2) pemberian beasiswa bidik misi dan bantuan siswa miskin untuk 295.084 mahasiswa; (3) pembangunan 981 unit sekolah baru, pembangunan 14.566 ruang kelas baru, dan rehabilitasi pada 11.625 ruang kelas; (4) pemberian BOS kepada 3.655.420 santri MI/Ula, 3.407.856 santri MTs/Wustha, dan 1.256.035 santri MA/Ulya; (5) perbaikan kurikulum pada 88.918 sekolah; (5) jumlah guru yang mengikuti sertifikasi sebanyak 74.562 guru, jumlah dosen yang mengikuti sertifikasi sebanyak 28.745 dosen; (6) pemberian tunjangan kepada 318.081 guru; (7) peningkatan kompetensi kepada 497.573 orang tenaga pendidik. Dengan pemanfaatan anggaran pendidikan, diharapkan dalam tahun 2016 dapat meningkatkan diantaranya: (1) angka partisipasi PAUD dari 66,81 persen pada tahun 2014 menjadi 70,85 persen pada tahun 2016, (2) APM SD/MI dari 91,28 persen pada tahun 2014 menjadi 91,79 persen pada tahun 2016, (3) APM SMP/MTs dari 79,42 persen pada tahun 2014 menjadi 80,87 persen pada tahun 2016, (4) APM SMA/MA/SMK dari 55,26 persen pada tahun 2014 menjadi 60,84 persen pada tahun 2016, (5) APK perguruan tinggi dari 28,51 persen pada tahun 2014 menjadi 31,31 persen pada tahun 2016); dan (6) meningkatnya jaminan hidup dan fasilitas pengembangan ilmu pengetahuan dan karir bagi guru yang ditugaskan di daerah khusus. Pemerintah pada prinsipnya sependapat dengan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk tetap mengalokasikan Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BO PTN) agar PTN tidak menaikkan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) bagi mahasiswa dan tidak mendorong terjadinya komersialisasi PTN. Realisasi BO PTN untuk setiap Perguruan Tinggi dalam tahun 2014 adalah Rp26,47 miliar. Dengan alokasi BO PTN tahun 2016 untuk 118 PTN sebesar Rp3,79 triliun, maka rata-rata PTN mendapatkan alokasi sebesar Rp32,17 miliar (meningkat dibanding alokasi tahun 2014, yang diharapkan dapat membantu PTN dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan). -L.38- Selanjutnya, untuk memenuhi kebutuhan operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi yang meningkat, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan: a. Mengoptimalkan anggaran dari PNBP/BLU sebesar Rp10 triliun (alokasi 2016); b. Merealokasi anggaran beasiswa dosen yang masih didanai oleh Kemenristek Dikti untuk diusulkan didanai dari Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP); c. Mengidentifikasi anggaran kegiatan lain yang berpotensi duplikasi, untuk direalokasi ke anggaran BO PTN. Pemerintah mengucapkan terima kasih atas apresiasi yang diberikan oleh Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Nasional Demokrat, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat terkait dengan keseriusan dan komitmen Pemerintah untuk melaksanakan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu dalam rangka pemenuhan 5 persen anggaran kesehatan dalam RAPBN 2016. Terpenuhinya 5 persen anggaran kesehatan tersebut diharapkan selain mampu meningkatkan akses pelayanan kesehatan dasar dan rujukan yang berkualitas bagi masyarakat, juga mampu meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi seluruh masyarakat, sehingga pada gilirannya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah berupaya meningkatkan alokasi anggaran di bidang kesehatan, dengan tetap memperhatikan batas-batas kemampuan keuangan Negara dan prioritas-prioritas nasional, juga dengan tetap memperhatikan daya serap kementerian negara/lembaga. Hal ini perlu menjadi perhatian Pemerintah mengingat terdapat prioritas-prioritas lain yang antara lain pendidikan, pengentasan kemiskinan, peningkatan daerah tertinggal, pertahanan (minimum essential forces), pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), ketahanan pangan, dan pembangunan infrastruktur yang berkualitas. Pemerintah juga sependapat dengan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera agar alokasi anggaran kesehatan tersebut selain diarahkan untuk pemenuhan hak-hak rakyat atas pelayanan kesehatan, juga diprioritaskan untuk mendorong program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) agar berjalan lebih baik. Berbagai upaya yang telah dan akan terus dilakukan pemerintah untuk perbaikan program JKN tersebut diantaranya dengan: (1) meningkatkan kuantitas, kualitas fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan Puskesmas maupun fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL) termasuk ruang rawat inap kelas III dan tempat tidur Rumah Sakit serta pemerataannya di daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar yang berpenduduk; (2) -L.39- menerapkan sistem layanan berjenjang/rujukan secara tertib dan optimal; (3) memperluas jaringan pelayanan kesehatan dengan rumah sakit-rumah sakit swasta yang belum bekerja sama dengan BPJS Kesehatan; (4) meningkatkan jumlah, penyebaran, dan kompetensi tenaga kesehatan (Dokter, Perawat, Bidan) dan obatobatan/bahan medis agar dapat menjangkau seluruh wilayah; (5) meningkatkan kegiatan promotif, preventif, dan edukatif terkait dengan pola hidup sehat; dan (6) melakukan penyesuaian besaran iuran/premi peserta program JKN di mana dalam RAPBN tahun 2016 direncanakan dilakukan penyesuaian iuran peserta PBI menjadi sebesar Rp23.000,- per orang per bulan dengan sasaran 92,4 juta jiwa masyarakat miskin dan tidak mampu. Pada akhirnya, dengan alokasi anggaran kesehatan sebesar 5 persen tersebut diharapkan mampu menjamin pemeliharaan kesehatan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kesehatan. Selanjutnya, yang tak kalah penting adalah terus dilakukannya upaya-upaya penajaman terhadap sasaran dan target kinerja program dan kegiatan prioritas kesehatan, peningkatan kualitas belanja dan penegasan pembagian urusan kesehatan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Melalui upaya-upaya tersebut, diharapkan anggaran bidang kesehatan dapat digunakan secara efektif dan efisien. Pemerintah pada dasarnya sependapat dengan pernyataan Fraksi Partai Demokrat untuk memperhatikan kesejahteraan penegak hukum dan melengkapi sarana dan prasarananya. Pada tahun 2016, salah satu strategi di bidang pertahanan dan keamanan adalah meningkatkan profesionalisme Polri yang akan dilaksanakan melalui peningkatan kualitas Alat Material Khusus (Almatsus) Polri, serta pengembangan sarana dan prasarana dalam rangkameningkatkan pelayanan publik dan penguatan pelaksanaan tugas Polri. Hal tersebut antara lain diwujudkan melalui Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Polri, yang memiliki indikator kinerja persentase penambahan Almatsus Polri dari berbagai jenis pembiayaan sebesar 8 persen dibandingkan tahun sebelumnya dan persentase ketersediaan fasilitas dan konstruksi Polri dalam mendukung kesejahteraan Polri sebesar 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Untuk memperkuat kehadiran negara dalam pelaksanaan reformasi sistem dan penegakkan hukum, bebas korupsi dan menghadirkan negara dalam melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman terhadap seluruh warga negara dalam rangka meningkatkan pelayanan publik, kesiapsiagaan dan ketanggapsegeraan penggunaan kekuatan personel Polri, maka perlu dipersiapkan fasilitas perumahan berupa asrama/rumah dinas/Flat, Barak dan infrastruktur terutama pada tingkat Polres, Polsek, Polsubsektor dan pos-pos perbatasan antar Negara, pulau terluar berpenghuni. -L.40- Pemerintah telah memberikan penyesuaian tunjangan kinerja pegawai di lingkungan Polri terhitung mulai bulan Mei 2015. Sementara itu, untuk MA dan Kejaksaan, Pemerintah telah memberikan penyesuaian tunjangan kinerja di lingkungan MA dan pemberian tunjangan fungsional jaksa. Terkait dengan sarana dan prasarana di bidang penegakan hukum, Pemerintah akan melaksanakan strategi peningkatan kapasitas Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Penyimpanan Barang Sitaan, serta peningkatan kualitas pelayanan hukum kepada masyarakat melalui strategi pilot project pelayanan mobil terpadu di bidang imigrasi, hak cipta, dan paten. Menanggapi masukan dari Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang mencermati adanya ketidaksesuaian antara alokasi anggaran fungsi pertahanan dalam RAPBN tahun 2016 dengan sasaran yang ingin dicapai, dapat disampaikan sebagai berikut. Alokasi anggaran pada fungsi pertahanan dalam RAPBN tahun 2016 mengalami penurunan sebesar Rp6,5 triliun dari APBNP 2015. Penurunan tersebut sebagian besar disebabkan oleh adanya penurunan alokasi anggaran yang didanai dari pinjaman luar negeri. Hal ini disesuaikan dengan rencana penarikan (disbursement plan) pengadaan alutsista TNI melalui fasilitas kredit ekspor yang diperkirakan mengalami penurunan pada tahun 2016 sebagai akibat telah dilakukan percepatan penarikan pada dua tahun terakhir. Disamping itu, Pemerintah juga akan memprioritaskan pengadaan alutsista dengan prioritas pembiayaan dalam negeri. Penurunan alokasi anggaran tersebut dilaksanakan dengan tetap menjaga upaya Pemerintah dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan kekuatan pokok minimum (Minimum Essential Force/MEF), terutama dengan meningkatkan kontribusi industri pertahanan dalam negeri bagi penyediaan dan pemeliharaan Alutsita TNI, guna menjaga keamanan, stabilitas dan kedaulatan NKRI. Disamping itu, Pemerintah juga berupaya meningkatkan kesejahteraan prajurit melalui pembangunan perumahan dinas dan memberikan kenaikan remunerasi bagi prajurit TNI. Menanggapi pandangan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang mendorong Pemerintah menjalankan politik harga yang sejalan dengan upaya mewujudkan kedaulatan pangan, kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemerintah memberi perhatian yang sangat besar kepada petani dan nelayan dalam rangka mencapai sasaran utama di bidang kedaulatan pangan. Dari sisi ketersediaan pangan di pasar, dalam bentuk peningkatan produksi pangan utama (padi, jagung, kedelai, dan daging sapi) dan peningkatan produksi perikanan (perikanan tangkap dan budidaya), akan dilakukan antara lain: (1) pembangunan konstruksi bendung irigasi, (2) perluasan areal persawahan melalui pencetakan sawah baru serta pembangunan/peningkatan/rehabilitasi jaringan irigasi, termasuk pengalokasian subsidi pupuk dan subsidi benih. -L.41- Pemerintah juga telah mengambil kebijakan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim, termasuk dampak dari El Nino, dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2011 tentang Pengamanan Produksi Beras Nasional Dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim. Dalam menjaga stabilitas harga pangan, selain dilakukan melalui mekanisme dana cadangan (penyediaan cadangan beras Pemerintah dan cadangan stabilisasi harga pangan dan ketahanan pangan), Pemerintah secara terus menerus memantau perkembangan stok, pasokan, permintaan, kelancaran distribusi, efisiensi biaya produksi, distribusi dan margin, serta menetapkan kebijakan antara lain harga bahan pangan pokok, pengeloaan stok dan logistik, serta pengelolaan ekspor dan impor. Di samping itu, Pemerintah akan meningkatkan peran Perum Bulog dalam mewujudkan kedaulatan pangan melalui penyertaan modal negara (PMN) yang akan digunakan untuk memperkuat struktur permodalan dan pembangunan unit-unit drying centre dan modern rice milling plant untuk mempercepat proses pengeringan dan pengolahan gabah dalam rangka membantu petani meningkatkan kualitas dan harga jual. Pemerintah mengapresiasi tanggapan positif dan dukungan dari Fraksi Partai Nasional Demokrat terhadap kebijakan Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui program bantuan sosial yang tepat sasaran. Langkah-langkah yang akan dilaksanakan Pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut, diantaranya melalui: (1) Perluasan coverage penerima Bantuan Tunai Bersyarat/Conditional Cash Transfer menjadi 6,0 juta keluarga sasaran (KSM) pada tahun 2016; (2) Peningkatan kepesertaan penerima bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN) bagi 92,4 juta masyarakat miskin dan tidak mampu dan di sisi lain dilakukan penyesuaian besaran iuran/premi peserta PBI JKN yang iurannya dibayarkan oleh Pemerintah untuk meningkatkan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat peserta program JKN; dan (3) Pelaksanaan Program Sejuta Rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang bertujuan untuk meningkatkan akses MBR terhadap hunian yang layak, aman, dan terjangkau serta didukung oleh penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas yang memadai melalui pemberian kemudahan fasilitas bunga kredit yang rendah selama masa angsuran, bantuan uang muka perumahan, dan pengenaan uang muka KPR yang rendah. Selanjutnya, kriteria masyarakat yang berhak menikmati Program Sejuta Rumah adalah MBR dengan batasan penghasilan tertentu setiap bulan (maksimal Rp4,0 juta/bulan untuk pembelian rumah tapak dan maksimal Rp7,0 juta/bulan untuk pembelian rumah susun) serta belum pernah memperoleh subsidi Pemerintah untuk kepemilikan rumah. -L.42- Pemerintah sependapat dengan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Fraksi Partai Nasional Demokrat agar program jaring pengaman sosial dan jaminan sosial melalui Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), bantuan tunai bersyarat, dan Raskin dengan memperhatikan 40 persen kelompok penduduk terbawah dan menggunakan pendataan penduduk terpadu sehingga program-program tersebut tepat sasaran. Namun, pelaksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan keuangan negara. Terkait dengan hal tersebut, pada tahun 2015 BPS telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp932,3 miliar untuk pelaksanaan Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) yang mencakup kelompok 40 persen Rumah Tangga Sasaran (RTS) atau sekitar 28 juta RTS. Pelaksanaan PBDT melibatkan unsur komunitas seperti Ketua RT, RW, Kepala Dusun untuk menentukan rumah tangga sasaran melalui Forum Konsultasi Publik (FKP) yang selanjutnya akan dilakukan pendataan secara door to door. Selanjutnya, Kementerian Sosial pada tahun 2015 juga melakukan kegiatan verifikasi dan validasi terhadap data penerima Program Perlindungan Sosial hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011. Pemutakhiran, verifikasi, dan validasi data dilaksanakan agar program jaring pengaman sosial dan jaminan sosial melalui Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Raskin, dan bantuan tunai bersyarat dapat dilaksanakan secara tepat sasaran. Seiring dengan hal tersebut, kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan tahun 2016 yang ditempuh Pemerintah adalah: (1) penyelenggaraan perlindungan sosial yang komprehensif melalui pengembangan dan perluasan cakupan skema uang elektronik untuk penyaluran bantuan sosial, peningkatan komplementaritas dan cakupan bantuan tunai bersyarat, perluasan cakupan serta pengembangan sistem layanan dan rujukan terpadu bagi penduduk miskin dan rentan melalui KIS dalam program JKN, melanjutkan upaya pemenuhan hak seluruh penduduk mendapatkan layanan pendidikan dasar berkualitas, memperluas dan meningkatkan pemerataan pendidikan menengah yang berkualitas melalui KIP, serta penguatan penyaluran program Raskin dengan perbaikan pada kualitas beras dan skema penyaluran; (2) penyempurnaan dan peningkatan efektivitas pelayanan dasar bagi penduduk miskin dan rentan melalui penguatan koordinasi kelembagaan dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah, pengembangan insentif kinerja bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan dasar, dan pengembangan sistem data real time dan terpadu untuk mendukung identifikasi dan target. Menanggapi pernyataan Fraksi Partai Amanat Nasional mengenai penghematan dan pemotongan belanja K/L agar diutamakan pada fungsi non ekonomi dan tidak berdampak pada penurunan penciptaan lapangan pekerjaan, -L.43- kenaikan kemiskinan, dan pelebaran kesenjangan, dapat kami sampaikan sebagai berikut. Alokasi anggaran belanja K/L tahun 2016 difokuskan untuk melaksanakan belanja prioritas yang memegang peranan penting dalam pencapaian sasaran prioritas pembangunan. Secara keseluruhan, efektivitas dan efisiensi belanja K/L, baik belanja prioritas maupun belanja rutin terus didorong sehingga alokasi yang terbatas menjadi lebih berdaya guna. Efektivitas dan efisiensi belanja K/L dapat dilakukan melalui: (a) penajaman prioritas belanja dengan melakukan pengendalian belanja K/L yang nonprioritas; (b) peningkatan efisiensi dalam penganggaran dengan menurunkan biaya-biaya overhead administrative; (c) melakukan review menyeluruh terhadap kebijakan alokasi anggaran dengan mengalihkan belanja yang nonproduktif ke belanja produktif, serta menerapkan belanja-belanja wajib secara konsisten yang berorientasi pada output dan outcome dari setiap pengalokasian anggaran. Pembenahan dalam manajemen kinerja pembangunan secara langsung juga turut mendorong terciptanya efisiensi belanja operasional birokrasi. Penghematan dilakukan pada pos perjalanan dinas dan penyelenggaraan rapat yang akan dijaga pada tingkat yang wajar. Pemerintah senantiasa berupaya untuk meningkatkan belanja-belanja yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan riil rakyat, baik melalui pembangunan infrastruktur yang menjadi kebutuhan rakyat atau bersinggungan langsung dengan masyarakat maupun belanja-belanja untuk mendukung program pengentasan kemiskinan dan perlindungan sosial serta mendorong subsidi yang tepat sasaran bagi masyarakat yang kurang mampu. Arah strategi pembangunan ekonomi juga lebih dititikberatkan untuk mendorong sumber-sumber pertumbuhan produktif khususnya melalui penguatan kinerja investasi yang diyakini memberikan efek lebih besar bagi penciptaan lapangan kerja baru. Untuk itu, pemerintah mengarahkan belanja negara tahun 2016 pada sepuluh kebijakan utama yang akan mendasari pengalokasian anggarannya, yaitu: (i) meningkatkan belanja infrastruktur untuk memperkuat konektivitas nasional, mendukung sektor kemaritiman dan kelautan, mencapai kedaulatan pangan, kedaulatan energi dan ketenagalistrikan serta peningkatan industri dan pariwisata, (ii) meningkatkan efisiensi belanja negara antara lain: kebijakan subsidi yang lebih tepat sasaran dan pengendalian belanja operasional yang tidak prioritas, (iii) mendukung pemantapan reformasi birokrasi dalam rangka peningkatan pelayanan publik dan efisiensi birokrasi melalui peningkatan kesejahteraan aparatur, antisipasi UU No. 5/2014 tentang ASN, (iv) mendukung stabilitas pertahanan dan keamanan nasional melalui kepastian dan penegakan hukum, menjaga stabilitas politik dan demokrasi, (v) mendukung pengurangan kesenjangan -L.44- antar kelompok pendapatan dan antar wilayah, antara lain melalui dukungan pembangunan di daerah perbatasan, perdesaan, pinggiran, pusat pertumbuhan di luar Jawa dan Kawasan Timur (antara lain infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan), (vi) mendukung efektifitas dan keberlanjutan SJSN (Jaminan Kesehatan Nasional dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan) serta perbaikan pelayanan kesehatan, (vii) memenuhi amanat UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan untuk mengalokasikan 5 persen dari APBN untuk mendukung pembangunan dan pelayanan di bidang kesehatan, (viii) mendukung penguatan pelaksanaan desentralisasi fiskal melalui peningkatan alokasi Transfer ke Daerah (peningkatan DAK secara signifikan) dan Dana Desa yang lebih besar daripada peningkatan alokasi Belanja K/L serta pemenuhan secara bertahap alokasi Dana Desa sesuai amanat UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, (ix) penyediaan dukungan bagi pelaksanaan program 1 juta rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), dan (x) antisipasi ketidakpastian perekonomian antara lain dengan menyediakan cadangan risiko fiskal. Sebagai bagian dari kebijakan Pemerintah tersebut, maka alokasi Belanja Transfer ke daerah dan Dana Desa dalam tahun 2016 diusulkan lebih tinggi dari alokasi belanja K/L. Untuk itu, dilakukan realokasi terhadap program dan kegiatan yang selama ini dilaksanakan dengan mekanisme Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan K/L ke DAK. Realokasi ini sekaligus untuk memperkuat desentralisasi fiskal dan mempertajam sasaran pembangunan, sehingga upaya untuk penciptaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan kesenjangan dapat lebih optimal. Di samping itu, upaya penanggulangan kemiskinan juga ditempuh melalui program kesejahteraan dan perlindungan sosial yang komprehensif, pengembangan penghidupan berkelanjutan, serta perluasan dan peningkatan pelayanan dasar. Di bidang ketenagakerjaan, pemerintah berupaya untuk meningkatkan daya saing atau keterampilan pekerja dan memberikan perlindungan bagi pekerja yang rentan terhadap goncangan ekonomi. Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Golongan Karya, dan Fraksi Partai Nasional Demokrat mengenai pemberian reward and punishment terkait disiplin pengelolaan anggaran terutama dalam hal penyerapan anggaran. Untuk penerapan pemberian reward and punishment, Pemerintah telah melaksanakan sistem ini mulai tahun 2011 dengan basis perhitungan evaluasi anggaran tahun 2010 sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011. Sistem tersebut kemudian diatur lebih lanjut melalui Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pemberian Penghargaan dan Pengenaan Sanksi atas Pelaksanaan Anggaran Belanja -L.45- Kementerian/Lembaga. Penerapan kebijakan reward and punishment tersebut mempertimbangkan kinerja K/L baik dari aspek penyerapan anggaran maupun capaian sasaran/target kegiatan. Penyempurnaan juga dilakukan secara terus menerus terkait sistem reward and punishment yang meliputi: 1. Dasar perhitungan: menggunakan realisasi anggaran yang telah diaudit oleh BPK. 2. Dasar penilaian: menggunakan hasil optimalisasi dikurangi sisa anggaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, serta tiga variabel kinerja penganggaran (persentase penyerapan anggaran minimal 95 persen, persentase capaian output minimal 95 persen, dan opini BPK atas Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga Wajar Tanpa Pengecualian). 3. Penghapusan sanksi: tidak akan dikenakan apabila tiga variabel kinerja tersebut dapat terpenuhi. 4. Pengaturan penghargaan: penghargaan kepada penanggung jawab program diberikan secara penuh kepada program yang berkontribusi. Ke depan, kebijakan pemberian reward and punishment akan diharmonisasikan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) terkait dengan pemberian insentif kepada pegawai. 5. Waktu pemberian: diberikan pada saat penetapan alokasi anggaran tahun berikutnya. Menanggapi pandangan Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai Pembayaran Bunga Utang yang telah mencapai 10 persen dari total pendapatan negara dan hampir menyamai besaran anggaran subsidi yang terus menurun, serta Pembayaran Bunga Utang dan cicilan pokok yang menjadi beban APBN, kiranya dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Berbeda dengan anggaran subsidi yang pada tataran kebijakan dapat dialihkan untuk belanja yang lebih produktif, cicilan pokok dan belanja pemerintah pusat untuk Pembayaran Bunga Utang bersifat mengikat sebagai konsekuensi logis yang harus dipenuhi oleh Pemerintah dari pengadaan/penerbitan utang yang baru ataupun utang yang telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya (legacy debts). Jumlah cicilan pokok dan pembayaran bunga utang tersebut setiap tahun mengalami fluktuasi, karena menyesuaikan dengan schedule waktu pembayaran masing-masing instrumen utang dan realisasi variabel ekonomi makro yang mempengaruhinya, seperti nilai tukar dan tingkat bunga referensi. Namun demikian, Pemerintah senantiasa berupaya mengendalikan beban bunga utang secara relatif terhadap -L.46- belanja negara dan Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini terlihat dari rasio pembayaran bunga utang terhadap belanja negara yang menurun dari 10 persen pada tahun 2009 menjadi 7 persen pada tahun 2014. Di samping itu, rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB juga menurun dari 1,7 persen pada tahun 2009 menjadi 1,3 persen pada tahun 2014. Selain itu, Pemerintah juga berupaya mengendalikan besaran cicilan pokok jatuh tempo untuk menghindari risiko pembiayaan kembali (refinancing risk) melalui (1) proyeksi pembayaran sesuai jadwal pembayaran utang, (2) memperhitungkan rencana percepatan pembayaran pinjaman Pemerintah kepada kreditur, dan (3) mempertimbangkan perkembangan nilai tukar rupiah terhadap beberapa mata uang asing, terutama dolar Amerika Serikat. Melihat maturity profile, porsi utang jatuh tempo dalam 1 tahun dan 3 tahun masing-masing sebesar 8,0 persen dan 20,6 persen dari total utang. Upaya pengendalian biaya utang dalam kerangka pengelolaan utang dilakukan antara lain melalui (1) restrukturisasi utang dengan melakukan debt switch dan buyback SBN yang memiliki tingkat kupon yang tinggi, (2) pemilihan seri dan waktu yang tepat dalam melakukan penarikan/penerbitan utang, (3) memilih pemberi pinjaman secara selektif yang memiliki perencanaan dan preferensi pembiayaan yang sesuai dengan kegiatan prioritas, (4) restrukturisasi tingkat bunga dan jenis mata uang, (5) meningkatkan penyerapan pinjaman dan/atau kinerja kegiatan, serta (6) penggunaan instrumen lindung nilai/hedging untuk meningkatkan kepastian terhadap pembayaran kewajiban utang, baik dari pinjaman maupun Surat Berharga Negara (SBN), dan memitigasi risiko lonjakan kenaikan Pembayaran Bunga Utang karena fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain, termasuk dolar Amerika Serikat. Dalam kaitannya dengan tren pelemahan rupiah terhadap mata uang asing, dapat Pemerintah sampaikan bahwa posisi utang pemerintah masih didominasi oleh utang dengan denominasi rupiah. Utang dalam denominasi valas (yang dilakukan secara terukur) tetap dibutuhkan dalam rangka diversifikasi pasar dan upaya untuk mendukung penerapan kerangka Assets Liabilities Management. Dalam kerangka pengelolaan utang yang kredibel, Pemerintah menjamin bahwa pengadaan utang valas tetap dilakukan pada tingkat bunga yang minimal dan risiko yang terkendali. Pemerintah juga senantiasa memonitor sensitivitas pelemahan nilai tukar terhadap pembayaran bunga utang dan cicilan pokok utang. Menanggapi pendapat Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat terkait dengan risiko kenaikan suku bunga The Fed Fund Rate (FFR) di Amerika Serikat yang akan berpengaruh terhadap pergerakan suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) -L.47- 3 bulan, serta melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia dalam mengendalikan inflasi dan suku bunga agar tetap selalu terjaga, dapat disampaikan sebagai berikut. Sebagaimana instrumen pasar keuangan lainnya, pergerakan suku bunga SPN 3 bulan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berada di luar kendali Pemerintah seperti kondisi perekonomian global, termasuk fluktuasi suku bunga The Fed Fund Rate dan perubahan appetite investor. Namun demikian, Pemerintah tetap berupaya mengendalikan suku bunga SPN 3 bulan, melalui pendalaman pasar SBN domestik demi menjaga agar Surat Utang Negara tetap memberikan daya tarik yang tinggi bagi investor. Mengingat laju inflasi merupakan faktor domestik yang memengaruhi pergerakan suku bunga SPN 3 bulan, Pemerintah akan terus meningkatkan koordinasi dan kerja sama dengan Bank Indonesia dan pemerintah daerah dalam rangka pengendalian inflasi nasional melalui forum Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Stabilitas ekonomi makro yang didukung kondisi fiskal yang sehat tersebut diharapkan berdampak positif untuk mengurangi tekanan di pasar domestik, yang selanjutnya dapat turut menjaga suku bunga SPN 3 bulan. Pemerintah sependapat dengan pandangan dari Fraksi Partai Nasional Demokrat, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa bahwa anggaran subsidi harus dikelola secara efisien, lebih tepat sasaran, dan mendorong pembangunan nasional. Pada prinsipnya pengelolaan subsidi dalam belanja negara dialokasikan dalam rangka meringankan beban masyarakat untuk memperoleh kebutuhan dasarnya dan untuk menjaga agar produsen mampu menghasilkan produk dengan harga yang terjangkau. Dalam rangka meningkatkan efisiensi subsidi menuju pencapaian belanja yang berkualitas, maka arah kebijakan subsidi tahun 2016 mencakup antara lain: (1) menjaga stabilisasi harga; (2) membantu masyarakat miskin dan menjaga daya beli masyarakat; (3) meningkatkan produktivitas dan menjaga ketersediaan pasokan dengan harga terjangkau; (4) meningkatkan daya saing produksi dan akses permodalan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Selanjutnya, dalam upaya pengendalian subsidi yang lebih tepat sasaran, Pemerintah secara bertahap melakukan penataan ulang penyaluran subsidi kepada masyarakat yang memang berhak menerimanya (targeted subsidy) melalui sistem seleksi yang ketat dan basis data yang transparan. Terkait subsidi energi, Pemerintah telah dan akan melakukan beberapa langkah pengendalian antara lain: (i) melanjutkan pemberian subsidi tetap untuk BBM jenis minyak solar dan subsidi (selisih harga) untuk minyak tanah dan LPG Tabung 3 kg; (ii) melaksanakan efisiensi dan efektifitas -L.48- subsidi LPG Tabung 3 kg; (iii) meningkatkan pengawasan penyaluran BBM bersubsidi dan LPG tabung 3 kg antara lain melalui penggunaan data dan teknologi; (iv) meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam pengendalian dan pengawasan BBM bersubsidi dan LPG tabung 3 kg; (v) meningkatkan rasio elektrifikasi, khususnya melalui program listrik perdesaan dan instalasi listrik gratis bagi masyarakat tidak mampu dan nelayan; (vi) meningkatkan efisiensi penyediaan tenaga listrik; dan (vii) perbaikan mekanisme pemberian subsidi listrik terutama untuk rumah tangga miskin dan rentan miskin untuk pelanggan 450 VA dan sebagian 900 VA pada tahun 2016 secara lebih tepat sasaran. Sementara itu, untuk subsidi non energi terdapat beberapa kebijakan yang dilakukan antara lain: (i) subsidi pangan (subsidi raskin) melalui pengaturan kembali jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) berdasarkan basis data terpadu yang dikeluarkan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), (ii) subsidi pupuk dengan penyempurnaan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), dan (iii) subsidi benih yang dialokasikan berdasarkan Daftar Usulan Pembeli Benih Bersubsidi (DUPBB). Menanggapi pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai kebijakan subsidi energi, diversifikasi energi, dan sistem distribusi subsidi energi dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Pemerintah berupaya agar anggaran subsidi energi dapat dikendalikan pada kondisi yang manageable melalui efisiensi anggaran subsidi dan diversifikasi energi melalui pengembangan energi baru terbarukan (misalnya: Bahan Bakar Nabati (BBN) dan Bahan Bakar Gas (BBG)) untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Dalam RAPBN Tahun 2016, Pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi BBM, LPG tabung 3 kg dan LGV sebesar Rp71,0 triliun, atau lebih besar Rp6,3 triliun bila dibandingkan dengan alokasinya dalam APBNP tahun 2015 sebesar Rp64,7 triliun. Anggaran subsidi energi tersebut, antara lain terdiri atas: subsidi jenis BBM tertentu (JBT) tahun berjalan sebesar Rp20,3 triliun, subsidi harga atas LPG tabung 3 kg sebesar Rp27,0 triliun, dan subsidi LGV sebesar Rp6,4 miliar. Lebih tingginya alokasi subsidi tersebut dikarenakan sebagian besar alokasinya dipergunakan untuk pembayaran kurang bayar subsidi BBM, LPG tabung 3 kilogram dan LGV tahun sebelumnya. Sementara itu, alokasi anggaran subsidi listrik dalam RAPBN tahun 2016 yang direncanakan sebesar Rp50,0 triliun, atau lebih rendah Rp23,1 triliun apabila dibandingkan dengan anggaran belanja subsidi listrik dalam APBNP tahun 2015 sebesar Rp73,1 triliun. Penurunan tersebut karena ada perbaikan mekanisme pemberian subsidi listrik terutama untuk rumah tangga miskin dan rentan miskin -L.49- pada tahun 2016 secara lebih tepat sasaran. Alokasi subsidi listrik tersebut juga telah mencakup kurang bayar tahun sebelumnya sebesar Rp10,0 triliun. Besaran subsidi listrik dimaksud antara lain diberikan kepada rumah tangga miskin dan rentan miskin untuk pemakaian daya 450 VA dan 900 VA dengan menyesuaikan data jumlah keluarga miskin dan rentan miskin dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Sosial, dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), dan Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Pemerintah menyadari bahwa sistem penyaluran subsidi BBM dan subsidi listrik masih perlu dilakukan penyempurnaan agar lebih tepat sasaran khususnya untuk keluarga yang tidak mampu. Pemerintah juga sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai pengamanan pasokan gas untuk PT PLN (Persero), meningkatkan efisiensi subsidi listrik, dan menurunkan losses jaringan transmisi dan distribusi nasional. Kebijakan tersebut telah dan akan terus dilakukan Pemerintah dalam rangka mengendalikan anggaran subsidi listrik. Sementara itu, menyikapi usulan dari Fraksi Partai Nasional Demokrat agar Pemerintah perlu lebih serius dalam mengelola subsidi bunga kredit perumahan rakyat dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) agar lebih tepat sasaran dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam RAPBN tahun 2016, Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) subsidi bunga kredit perumahan, subsidi bantuan uang muka perumahan, dan pembebasan PPN atas kepemilikan rumah tertentu untuk mendukung pelaksanaan Program Sejuta Rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Sementara itu, kriteria masyarakat yang berhak menikmati Program Sejuta Rumah adalah MBR dengan batasan penghasilan tertentu setiap bulan (maksimal Rp4,0 juta per bulan untuk pembelian rumah tapak dan maksimal Rp7,0 juta per bulan untuk pembelian rumah susun), dan belum pernah memperoleh subsidi pemerintah untuk kepemilikan rumah. Kelompok masyarakat yang berhak mendapatkan fasilitas tersebut diantaranya PNS, Anggota TNI/Polri, masyarakat umum, dan buruh/pekerja. Pengalokasian anggaran subsidi perumahan tersebut menunjukan bukti keseriusan Pemerintah untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) mendapatkan rumah dengan harga terjangkau dan layak huni. Selain itu, dalam rangka mendukung Kebijakan Program Kredit Usaha Rakyat (KUR), Pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk subsidi bunga KUR. Pada tahun 2016, Pemerintah berupaya untuk menurunkan suku bunga KUR pada kisaran 9 persen dari sebelumnya 12 persen di tahun 2015 sehingga dapat terjangkau oleh Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Disamping itu, coverage KUR juga ditingkatkan agar semakin banyak UMKM yang dapat dibantu oleh program KUR. Program KUR diarahkan untuk -L.50- membantu UMKM pada beberapa sektor yang dibiayai yaitu sektor pertanian, perikanan, industri pengolahan dan perdagangan (termasuk TKI), sehingga lebih tepat sasaran. Menanggapi pandangan Fraksi Partai Amanat Nasional mengenai lambatnya penyaluran KUR kiranya dapat dijelaskan bahwa penyaluran KUR di awal tahun 2015 sementara dihentikan berkenaan dengan upaya perbaikan skema KUR agar lebih tepat sasaran dan tepat kelola. Saat ini KUR telah disalurkan kembali dengan target penyaluran yang lebih tinggi, subsidi bunga lebih besar namun dengan sistem penyaluran yang lebih baik, antara lain: 1. Target penyaluran s.d. 31 Desember 2015 sebesar Rp30,0 triliun dan mencapai Rp123,0 triliun di tahun 2016. 2. Penurunan tingkat bunga kepada debitur dari 22 persen menjadi 12 persen pada tahun 2015 dan selanjutnya menjadi 9 persen pada tahun 2016. 3. Menggunakan sistem informasi yang online dan basis data terintegrasi antara Pemerintah, Bank Pelaksana dan Perusahaan Penjamin. Dalam RAPBN tahun 2016, Pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi bunga KUR sebesar Rp10,5 triliun. Dengan alokasi subsidi bunga KUR tersebut diharapkan target penyaluran KUR akan semakin meningkat dibanding tahun 2015 dan semakin banyak UMKM yang dapat menikmati program KUR tersebut serta dengan tingkat harga yang semakin terjangkau. Memperhatikan pandangan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera agar Pemerintah dapat meninjau ulang alokasi anggaran untuk fungsi kedaulatan pangan yang dinilai telah menurun dapat dijelaskan sebagai berikut. Sebagai salah satu komponen dalam pengganggaran fungsi kedaulatan pangan, anggaran subsidi pupuk tidak mengalami penurunan pada tahun 2016. Anggaran subsidi pupuk dalam RAPBN tahun 2016 sebesar Rp30,1 triliun memang lebih rendah jika dibandingkan dengan APBNP tahun 2015 sebesar Rp39,5 triliun. Lebih rendahnya anggaran subsidi pupuk tersebut disebabkan dalam APBNP tahun 2015 alokasi anggaran subsidi pupuk menampung anggaran subsidi tahun berjalan dan kekurangan pembayaran subsidi pupuk tahun sebelumnya sebesar Rp10,9 triliun, sedangkan dalam RAPBN tahun 2016 hanya menampung subsidi pupuk tahun anggaran berjalan. Di sisi lain, Pemerintah terus melakukan perbaikan terhadap desain kebijakan penganggaran sektor pertanian yang komprehensif dengan tujuan antara lain agar sektor pertanian dan maritim mampu menjadi basis industrialisasi dan pusat pertumbuhan baru, serta mendukung terwujudnya kedaulatan pangan nasional. -L.51- Menanggapi pandangan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat terkait alokasi anggaran untuk kedaulatan pangan dapat disampaikan sebagai berikut. Dalam rangka mendorong ketahanan dan kedaulatan pangan, Pemerintah tidak hanya mengalokasikan anggaran dalam bentuk Belanja di Kementerian Pertanian semata, tetapi juga mengalokasikan anggaran untuk fungsi pangan pada belanja Kementerian Pekerjaan Umum, belanja subsidi non energi, belanja lain-lain dan transfer ke daerah dan dana desa. Dalam belanja subsidi non energi, alokasi untuk sektor pertanian terdapat pada belanja subsidi pupuk, subsidi benih, subsidi pangan, dan subsidi kredit program untuk sektor pertanian (tanaman pangan, perikanan, perkebunan, dan peternakan). Dalam mendukung kedaulatan pangan nasional, selain alokasi subsidi pangan, pupuk, pangan, dan benih, terdapat dukungan fiskal lainnya seperti pengalokasian dana Cadangan Stabilisasi Harga Pangan (CSHP), Cadangan Beras Pemerintah (CBP), dan Cadangan Benih Nasional (CBN). Demikian halnya dalam bagian belanja transfer ke daerah, terdapat pula alokasi anggaran untuk Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kedaulatan Pangan, DAK Bidang Kelautan dan Perikanan serta DAK untuk Infrastruktur Irigasi. Selanjutnya untuk mengantisipasi gejolak harga pangan yang tinggi, Pemerintah senantiasa memantau perkembangan harga pangan dan segera mengambil langkah preventif. Dengan pertemuan rutin antar kementerian guna memantau perkembangan harga, kondisi stok pangan, kondisi iklim dan tata niaga serta distribusi pangan pokok. Pemerintah dapat memutuskan langkah strategis yang dapat dilakukan secara cepat dan komprehensif guna menghindari gejolak harga pangan. Disamping itu, upaya menjaga stabilitas harga pangan nasional juga dilakukan dengan melibatkan pemerintah daerah melalui forum Tim Pengendali Inflasi, baik Pusat maupun Daerah. Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Keadilan Sejahtera mengenai peningkatan kinerja reformasi birokrasi nasional (RBN), penataan jumlah dan distribusi PNS, serta kebijakan renumerasi dan kepegawaian yang tepat. Relatif tingginya porsi alokasi anggaran pada fungsi pelayanan umum merupakan konsekuensi dari pelaksanaan fungsi utama pemerintah untuk menjamin kualitas dan kelancaran pelayanan kepada masyarakat, termasuk anggaran pembayaran PBI JKN untuk 92,4 juta jiwa. Pemerintah telah melakukan langkah-langkah kebijakan untuk meningkatkan kualitas belanja pada fungsi pelayanan umum, antara lain melalui: Pertama, penataan regulasi dan kebijakan di bidang aparatur negara termasuk penguatan payung hukum reformasi birokrasi, perluasan dan fasilitasi pelaksanaan -L.52- RBN, penguatan kelembagaan dan tata kelola penyempurnaan sistem evaluasi pelaksanaan RBN. pengelolaan RBN, serta Kedua, pemantapan sistem manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) berbasis merit dan penerapan sistem manajemen kinerja pegawai, penyempurnaan sistem penghargaan dan kesejahteraan ASN. Ketiga, penataan kelembagaan pemerintah pusat dan daerah, pemantapan kelembagaan untuk mendukung pelaksanaan program pembangunan (Nawa Cita), penyempurnaan sistem ketatalaksanaan dan pemantapan sinergitas hubungan kelembagaan inter/antar tingkatan kelembagaan pusat dan daerah. Keempat, menjaga jumlah PNS untuk tetap mengacu pada prinsip zero growth dan berbasis kompetensi, dengan tetap memerhatikan prioritas kebutuhan tenaga pendidik dan tenaga kesehatan. Menanggapi masukan dan pertanyaan dari Fraksi Partai Amanat Nasional mengenai penurunan belanja kementerian/lembaga, dapat disampaikan tanggapan sebagai berikut. Dalam RAPBN tahun 2016, belanja K/L turun sebesar Rp15,1 triliun dibanding pagu APBNP tahun 2015. Penurunan tersebut antara lain disebabkan oleh pengalihan beberapa kegiatan K/L (termasuk yang dibiayai dari dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan) ke dana transfer ke daerah. Selain itu, penurunan tersebut juga disebabkan oleh kebijakan Pemerintah untuk melanjutkan kebijakan efisiensi pada belanja barang operasional (termasuk moratorium pembangunan gedung pemerintah, pengendalian perjalanan dinas, dan konsinyering, serta kebijakan sewa/leasing kendaraan dinas operasional). Meskipun alokasi belanja K/L mengalami penurunan, Pemerintah tetap berupaya untuk melaksanakan kebijakan prioritas dalam menanggulangi kemiskinan diantaranya: (1) meningkatkan akses penduduk miskin terhadap lapangan kerja yang berkualitas melalui penyempurnaan peraturan ketenagakerjaan untuk mendorong tumbuhnya industri padat karya, penyediaan fasilitas informasi pasar kerja di daerah-daerah terutama daerah kantong pengangguran, peningkatan akses kepada kegiatan ekonomi produktif yang berkelanjutan, pengembangan lembaga pelatihan di daerah sesuai dengan kebutuhan dan potensi lokal; (2) menyelenggarakan perlindungan sosial yang komprehensif melalui pengembangan dan perluasan cakupan skema uang elektronik (UNIK) untuk penyaluran bantuan sosial; (3) memperluas cakupan dan paket manfaat Jaminan Kesehatan Nasional/Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan jaminan ketenagakerjaan bagi penduduk rentan dan pekerja informal; (4) penyaluran program raskin dengan perbaikan kualitas beras; (5) pemberian bantuan pendidikan bagi siswa miskin melalui program Kartu Indonesia Pintar (KIP); dan (6) pemberian uang tunai bersyarat. -L.53- C.2 DESENTRALISASI DAERAH FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN Menjawab pernyataan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai harus adanya upaya-upaya sistematis agar peningkatan Transfer ke Daerah dan Dana Desa tidak hanya habis untuk belanja pegawai dan belanja untuk birokrasi lainnya, dapat dijelaskan bahwa Pemerintah sependapat dan mendukung pandangan Fraksi PKS bahwa anggaran transfer ke daerah dan dana desa perlu dipastikan agar benar-benar berdampak pada kesejahteraan dan perbaikan kualitas hidup rakyat di daerah. Anggaran transfer ke daerah dan dana desa memang seharusnya tidak hanya dibelanjakan untuk belanja rutin saja melainkan juga dapat digunakan untuk belanja modal guna mendanai kegiatan-kegiatan yang mendukung pertumbuhan ekonomi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendukung pembangunan di daerah. Upaya lain yang dilakukan Pemerintah untuk mengendalikan agar peningkatan transfer daerah tidak hanya habis untuk belanja pegawai dan belanja untuk birokrasi adalah antara lain melalui kebijakan dalam penghitungan DAU. Kebijakan dalam penghitungan DAU 2016 dilakukan dengan memberikan porsi pagu Celah Fiskal (CF) yang lebih besar dalam perhitungan DAU atau dengan kata lain melalukan pembatasan (pegging) pagu Alokasi Dasar (AD) terhadap pagu DAU nasional. Porsi AD terhadap pagu DAU nasional diupayakan kurang dari 50 persen terhadap belanja gaji PNSD, hal ini sejalan dengan prinsip hard budget constraint. Selain itu, Pemerintah juga telah mengambil langkah-langkah pengendalian, berupa moratorium penerimaan PNS, menjaga jumlah PNS untuk tetap mengacu pada prinsip zero growth dan berbasis kompetensi, dengan tetap memerhatikan prioritas kebutuhan tenaga pendidik dan tenaga kesehatan serta meniadakan AD dalam formula perhitungan DAU dalam rancangan revisi UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dengan penghilangan AD tersebut, pengalokasian DAU tidak lagi dikaitkan secara langsung dengan belanja PNSD. Untuk mencegah pemerintah daerah menggunakan Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa lebih banyak pada belanja pegawai dan barang, Pemerintah juga melakukannya melalui penerapan mekanisme pemberian Dana Insentif Daerah. Dalam tahun 2016, penilaian terhadap daerah yang mendapatkan DID dilakukan melalui penentuan daerah dan perhitungan alokasi DID, dengan mempertimbangkan penilaian kinerja daerah dilakukan berdasarkan kriteria tertentu, yang terdiri atas kriteria utama, dan kriteria kinerja. -L.54- Kriteria utama adalah kriteria yang harus dimiliki oleh suatu daerah sebagai penentu kelayakan daerah penerima, yang terdiri atas (1) Daerah yang mendapatkan opini WTP atau wajar dengan pengecualian (WDP) dari BPK atas LKPD-nya dan (2) Daerah yang menetapkan Perda APBD tepat waktu. Sementara itu, kriteria kinerja adalah kriteria penilaian terhadap kinerja daerah, di antaranya terdiri atas a. kesehatan fiskal dan pengelolaan keuangan daerah, yang antara lain meliputi indikator-indikator: 1) rasio belanja modal terhadap total belanja APBD, 2) rasio belanja pegawai terhadap total belanja APBD, 3) rasio realisasi belanja APBD terhadap pagu anggaran belanja APBD, 4) rasio ruang fiskal daerah terhadap total pendapatan APBD, 5) rasio defisit APBD terhadap total pendapatan APBD, dan 6) rasio SiLPA tahun sebelumnya terhadap total belanja APBD. b. Pelayanan Dasar Publik, meliputi 3 indikator, yaitu: 1) kinerja bidang pendidikan; 2) kinerja bidang kesehatan; dan 3) kinerja bidang pekerjaan umum. c. Ekonomi dan Kesejahteraan, meliputi 4 indikator, yaitu: 1) tingkat pertumbuhan ekonomi; 2) penurunan tingkat kemiskinan; 3) penurunan tingkat pengangguran; dan 4) pengendalian tingkat inflasi. Menanggapi pernyataan dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, mengenai dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang masih terfokus pada alokasi khusus di kementeriankiranya dapat dijelaskan bahwa dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa merupakan bagian dari Belanja Negara dalam rangka mendanai desentralisasi fiskal. Hal ini sejalan dengan usaha untuk mendukung pelaksanaan Nawa Cita, khususnya: 1. Cita ketiga: membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerahdaerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan; 2. Cita kelima: meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; 3. Cita keenam: meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; dan 4. Cita ketujuh: mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. -L.55- Komitmen Pemerintah untuk membangun dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa diwujudkan antara lain dengan peningkatan alokasi anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang lebih besar dari anggaran K/L serta reformulasi dan penguatan DAK. Dalam pelaksanaannya, seluruh dana tersebut dialokasikan kepada Pemda Provinsi/Kabupaten/Kota dan disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah. Dana-dana tersebut menjadi bagian dari penerimaan APBD dan dibelanjakan serta dipertanggungjawabkan sesuai prinsip-prinsip dalam pengelolaan keuangan daerah. Khusus untuk Dana Desa, dana tersebut oleh kabupaten/kota hanya dicatat dalam pendapatan APBD dan dikeluarkan sebagai jenis transfer APBD kepada desa. Dengan demikian yang menggunakan dan mempertanggungjawabkan Dana Desa adalah aparat desa. Berkaitan dengan Transfer ke Daerah, dapat disampaikan bahwa Transfer ke Daerah terdiri atas Dana Perimbangan (Dana Transfer Khusus dan Dana Transfer Umum), Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk Dana Transfer Khusus, dibagi menjadi Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik dan DAK nonfisik. DAK Fisik terdiri atas DAK reguler yang mencakup 10 bidang, DAK infrastruktur public daerah, dan DAK Affirmasi kepada daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan. Proses pengalokasian DAK Fisik akan mengalami perubahan dari semula bersifat top-down, yakni ditentukan besaran alokasi dan bidangnya oleh Pemerintah Pusat berdasarkan kriteria umum (kemampuan keuangan), kriteria khusus (aspek kewilayahan), dan kriteria teknis (indeks kebutuhan teknis per daerah), menjadi bersifat bottom-up, yaitu berdasarkan usulan daerah dengan memperhatikan prioritas nasional. Dengan melalui mekanisme usulan daerah (proposal based) diharapkan alokasi DAK bisa mencerminkan kebutuhan teknis dari masing-masing daerah sesuai dengan bidang yang ditentukan. Data teknis yang diusulkan daerah akan menjadi dasar perhitungan alokasi DAK per bidang. Selanjutnya hasil perhitungan alokasi DAK per bidang per daerah akan dibahas Pemerintah bersama DPR untuk ditetapkan sebagai bagian dari penetapan alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa dalam APBN tahun 2016. DAK yang sudah dialokasikan per daerah akan disalurkan ke rekening kas umum daerah secara triwulan. Selanjutnya untuk memberikan pedoman bagi daerah dalam melaksanakan DAK tersebut, kementerian/lembaga yang terkait dengan bidang DAK akan menyusun petunjuk teknis penggunaan DAK sebagai dasar bagi daerah untuk melaksanakan DAK sesuai dengan pilihan menu kegiatan yang menjadi kebutuhan dan prioritas daerah. Dengan demikian yang mempunyai kewenangan untuk mengelola DAK adalah pemerintah daerah. Sedangkan kementerian/lembaga teknis -L.56- hanya memberikan petunjuk teknis/petunjuk pelaksanaan agar pelaksanaan kegiatan DAK lebih terarah sesuai dengan kebutuhan daerah dan mendukung pencapaian prioritas nasional. Dapat kami sampaikan bahwa, di tahun 2016 akan dilakukan perubahan kebijakan yang sangat progresif dengan meningkatkan anggaran DAK fisik yang sangat signifikan, dari sebesar Rp 58,8 triliun di tahun 2015 menjadi sebesar Rp 91,8 triliun di tahun 2016. Peningkatan anggaran hingga Rp 33 triliun tersebut selain dari realokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan di Kementerian/Lembaga ke DAK, juga dari komitmen Pemerintah untuk lebih nyata mendorong pembangunan yang lebih mandiri ke daerah. Perlu dipahami bahwa, dana DAK tersebut akan dikelola dalam APBD yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Dalam hal itu, Pemerintah pusat lebih berperan untuk mengkomunikasikan pemanfaatan dana tersebut agar tetap berjalan dengan prioritas pembangunan nasional secara keseluruhan. Di samping itu, dalam tahun 2016 bidang DAK juga lebih dipertajam menjadi hanya 10 (sepuluh) bidang serta tidak lagi mempersyaratkan keharusan dana pendamping dari daerah untuk melaksanakan kegiatan DAK tersebut. Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Amanat Nasional dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai adanya dana idle atau dana menganggur yang mengendap di perbankan yang mencapai Rp273 triliun kiranya dapat dijelaskan beberapa hal sebagai berikut. Pada dasarnya Pemerintah sependapat bahwa masih banyak daerah yang belum optimal dalam melaksanakan anggarannya. Hal ini terlihat dari jumlah dana simpanan pemerintah daerah di perbankan yang mengalami peningkatan selama semester pertama dan pada akhir Juni 2015 mencapai Rp273 triliun. Hal tersebut terutama disebabkan karena masih rendahnya realisasi belanja pemerintah daerah yang diperkirakan masih di bawah 30 persen pada akhir semester I. Sebagaimana tren-tren tahun sebelumnya, tren realisasi belanja pemerintah daerah meningkat signifikan pada semester kedua terutama pada bulan November dan Desember. Peningkatan realisasi belanja pemerintah daerah tersebut mempengaruhi besaran dana simpanan pemerintah daerah di perbankan. Upaya yang dilakukan Pemerintah untuk mempercepat penyerapan anggaran di daerah, antara lain melalui kebijakan dalam pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) pada tahun 2016. Kebijakan dalam pelaksanaan DAK tahun 2016 adalah bahwa Daerah dapat segera melakukan proses lelang/tender kegiatan DAK setelah alokasi DAK ditetapkan dalam Perpres tentang Rincian APBN Tahun 2016, sedangkan penandatanganan kontrak dilakukan setelah APBD dan DPA SKPD -L.57- ditetapkan. Hal ini akan diatur payung hukumnya dalam UU APBN Tahun 2016 dan Perpres tentang Rincian APBN tahun 2016 serta diberitahukan kepada Daerah melalui Surat Edaran Menteri Keuangan. Disamping itu, dalam upaya untuk meningkatkan penyerapan anggaran oleh pemerintah daerah dan mengurangi dana idle pemda di perbankan, Pemerintah telah mengusulkan dalam Rancangan Undang-Undang APBN Tahun 2016 pada pasal 15 ayat (2) butir (a), bahwa untuk daerah yang memiliki uang kas dan/atau simpanan di bank dalam jumlah besar, maka penyaluran DBH dan/atau DAU akan dikonversi dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Menanggapi permintaan Fraksi Partai Demokrat mengenai pemberian dan peningkatan program-program pro-rakyat dapat disampaikan bahwa pada prinsipnya Pemerintah mendukung permintaan tersebut. Dalam RAPBN tahun 2016, program-program pro-rakyat tersebut antara lain dianggarkan melalui dana transfer khusus yang terdiri atas Dana Alokasi Khusus Fisik (DAK Fisik) dan Dana Alokasi Khusus Non Fisik (DAK Non Fisik). DAK Fisik terdiri dari DAK Reguler, DAK Infrastruktur Publik, dan DAK Affirmasi kepada daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan. DAK Reguler akan dialokasikan untuk mendanai 10 bidang prioritas yang didalamnya termasuk bidang Pendidikan, Kesehatan, Pertanian, Perikanan, dan Kelautan yang besaran alokasinya mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan anggaran tahun 2015. Sedangkan DAK Non Fisik, terdiri dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Tunjangan Profesi Guru PNSD (TPG), Tambahan Penghasilan Guru PNSD (Tamsil), Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dan Bantuan Operasional Keluarga Berencana (BOKB), Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2), Bantuan Operasional Penyelenggaraan PAUD, dan Peningkatan Kapasitas Koperasi, UKM dan Ketenagakerjaan. Kebijakan BOS yang pada tahun 2015 hanya mencakup tingkat pendidikan dasar yaitu BOS untuk SD/SDLB dan BOS untuk SMP/SMPLB, maka pada tahun 2016 juga akan mencakup BOS untuk tingkat pendidikan menengah yaitu BOS untuk SMA dan SMK. Disamping itu, dalam rangka mempersiapkan perserta didik untuk memasuki jenjang pendidikan dasar yang lebih berkualitas, pada tahun 2016 juga akan diberikan Bantuan Operasional Penyelenggaraan PAUD (BOP PAUD) kepada setiap lembaga penyelenggara PAUD di daerah. Menanggapi pernyataan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera agar peningkatan alokasi anggaran infrastruktur ke daerah dan desa dibarengi dengan kebijakan dan sistem pendukung yang kuat, dapat disampaikan bahwa Pemerintah sependapat dengan penyataan tersebut. Dalam RAPBN tahun 2016, telah dianggarkan dana transfer khusus yang terdiri dari Dana Alokasi Khusus Fisik (DAK Fisik) dan Dana -L.58- Alokasi Khusus Non Fisik (DAK Non Fisik). DAK Fisik terdiri dari DAK Reguler, DAK Infrastruktur Publik Daerah dan DAK Affirmasi kepada Daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan. DAK Reguler sendiri akan dialokasikan untuk mendanai 10 bidang prioritas, dimana secara keseluruhan besaran alokasinya mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan anggaran tahun 2015. Sementara itu, DAK Infrastruktur Publik juga akan diberikan kepada seluruh Pemda Kabupaten/Kota dengan kegiatan pembangunan infrastruktur publik sesuai dengan prioritas daerah. Hal ini mendukung percepatan konektivitas transportasi, perbaikan permukiman, peningkatan produksi pertanian, serta pengembangan sektor kelautan dan perikanan. Berkaitan dengan proyek-proyek yang bersifat massif dan padat karya, tentunya Pemerintah sangat mendukung proyek-proyek tersebut namun harus disesuaikan dengan ruang lingkup kegiatan yang akan dilaksanakan serta tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengadaan barang dan jasa Pemerintah. Sebagian dari kegiatan-kegiatan yang didanai dari DAK dapat dilaksanakan secara swakelola dengan melibatkan kelompok masyarakat sehingga akan sangat berdampak pada peningkatan ekonomi rakyat di daerah. Menanggapi pernyataan Fraksi Partai Amanat Nasional dan Fraksi Partai Demokrat mengenai perlunya menekan laju inflasi dengan mengoptimalkan peran Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID), dapat dijelaskan bahwa Pemerintah sependapat dan mendukung pandangan Fraksi PAN dan Fraksi Partai Demokrat tersebut.Terjaganya inflasi daerah pada tingkat yang rendah dan stabil akan mendukung upaya pencapaian sasaran inflasi nasional. Pemerintah telah berupaya keras mengendalikan tingkat inflasi dengan melakukan upaya koordinasi yang dilakukan di daerah dalam upaya menjaga stabilitas harga, melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dan secara terus menerus mendorong partisipasi aktif Pemda untuk secara efektif melakukan upaya bersama yang bersinergi dan terkoordinasi dalam mengelola inflasi daerah. Selain upaya tersebut, Pemerintah melalui instrumen dana transfer ke daerah dalam bentuk Dana Insentif Daerah (DID) pada tahun 2016 akan memasukkan indikator pengendalian tingkat inflasi daerah ini sebagai salah satu kriteria penilaian terhadap kinerja Daerah sebagai syarat menerima alokasi DID. Diharapkan hal ini dapat memacu Daerah untuk ikut serta dalam upaya menjaga stabilitas harga karena Pemerintah akan menyediakan reward bagi Daerah yang berkinerja baik dalam upaya pengendalian tingkat inflasi di Daerah. Menanggapi masukan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai peningkatan Dana Insentif Daerah untuk mengurangi adanya dana yang idle, dapat -L.59- disampaikan bahwa Pemerintah pada prinsipnya sependapat mengenai penambahan anggaran untuk komponen Dana Insentif Daerah (DID) yang diharapkan dapat memacu kinerja daerah. Dalam rangka memberikan penghargaan (reward) kepada daerah yang menunjukkan kinerja pengelolaan keuangan daerah, kinerja perekonomian dan kesejahteraan masyarakat yang baik maka Pemerintah akan mengalokasikan DID yang lebih besar pada RAPBN tahun 2016. Pada RAPBN tahun 2016, pagu DID diperbesar menjadi Rp 5 triliun dari sebelumnya Rp1,664 triliun pada tahun anggaran 2015, agar besaran alokasi yang diterima masing-masing daerah lebih signifikan sebagai instrumen fiskal untuk menstimulasi perekonomian daerah atas prestasi/kinerja yang baik. Pengunaan dari DID pun juga tidak terikat lagi pada fungsi pendidikan namun bebas digunakan oleh daerah sesuai dengan kewenangan dan urusan pada level pemerintahan masing-masing. Hal ini sejalan dengan kebijakan anggaran transfer ke daerah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah, dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar daerah. Namun demikian, keberhasilan suatu daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga sangat ditentukan oleh kebijakan masing-masing pemerintahan daerah. Agar efektif, kebijakan tersebut perlu diarahkan pada alokasi sumber-sumber pendanaan untuk program dan kegiatan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat (kepentingan publik), termasuk percepatan pembangunan infrastruktur di daerah. Sehingga pada gilirannya diharapkan dapat menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Menanggapi permintaan dari Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai peningkatan anggaran Dana Desa, dukungan dari Fraksi Partai Amanat Nasional agar pemerintah melakukan monitoring dan memberikan pelatihan kepada aparat desa mengenai pengelolaan keuangan desa agar tidak terjerat persoalan hukum, permintaan dari Fraksi Partai Nasional Demokrat mengenai pendampingan dan pengawasan Dana Desa, kekhawatiran dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya mengenai belum adanya kesiapan daerah untuk mengelola Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang mengalami peningkatan, permintaan dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan berkaitan dengan kebijakan dan instrumen yang tepat dalam mengarahkan belanja daerah menjadi efektif dalam meningkatkan kemajuan daerah dan desa, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai perlunya diterapkan reward and punishment yang kuat, dapat dijelaskan berikut ini. Pada hakekatnya Pemerintah sependapat bahwa anggaran Dana Desa perlu ditingkatkan agar dapat memenuhi amanat Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sesuai dengan Undang-Undang tersebut Dana Desa adalah sebesar 10 -L.60- persen dari dan di luar Transfer ke Daerah dan dipenuhi secara bertahap. Untuk memenuhi besaran anggaran Dana Desa tersebut, dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2015 sebagai perubahan atas PP No. 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN, telah disusun roadmap pemenuhan Dana Desa, yaitu minimum 3 persen tahun 2015, minimum 6 persen tahun 2016 dan 10 persen tahun 2017. Dalam RAPBN Tahun 2016 anggaran Dana Desa direncanakan Rp46,98 triliun atau 6,39 persen dari Transfer ke Daerah. Selain Dana Desa dari APBN, sesuai dengan UU No. 6 Tahun 2014, desa juga mempunyai 6 sumber pendapatan lainnya yang potensinya relatif besar, yaitu: (i) Alokasi Dana Desa yang besarnya 10 persen dari DAU dan DBH kabupaten/kota, (ii) 10 persen bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, (iii) bantuan dari APBD kabupaten/kota, (iv) bantuan dari APBD provinsi, (v) hibah dari pihak ketiga yang tidak mengikat, dan (vi) lain-lain pendapatan desa yang sah. Pemenuhan anggaran Dana Desa yang dilakukan secara bertahap tersebut, selain disesuaikan dengan kemampuan APBN, juga mempertimbangkan adanya beberapa hal yang terkait dengan kesiapan daerah dan desa, yaitu: (i) perlunya penyiapan regulasi/peraturan yang lengkap oleh Pemerintah, baik berupa PP maupun peraturan menteri untuk menjadi pedoman bagi desa dalam melaksanakan kewenangan dan pengelolaan keuangan desa, (ii) perlunya penyiapan kemampuan aparat desa dalam menyusun perencanaan desa dan mengelola keuangan desa, termasuk membuat laporan pertanggungjawaban keuangan desa, dan (iii) perlunya penyiapan tenaga pendampingan/fasilitator yang akan mendampingi aparat desa dalam menyusun perencanaan, melaksanakan program/kegiatan, dan mengelola keuangan desa. Ketiga hal ini penting untuk disiapkan, karena apabila desa langsung diberikan Dana Desa yang cukup besar, dan aparatnya tidak dibekali dengan pedoman/aturan yang jelas dan kemampuan yang memadai, justru akan bisa menyebabkan adanya kesalahan dalam pengelolaan keuangan desa, yang berdampak pada masalah hukum. Sementara terkait dengan penyiapan kemampuan aparat desa pada tahun 2015 ini Pemerintah melakukan sosialisasi dan pelatihan kepada aparat desa. Sedangkan untuk pendampingan aparat desa, akan diterjunkan tenaga bagi 74.754 desa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dengan adanya penyiapan dari tiga aspek tersebut, diharapkan aparat desa lebih siap untuk mengelola secara transparan dan akuntabel sumber-sumber keuangan desa sesuai dengan kebutuhan dan prioritas desa, guna meningkatkan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, perekonomian dan kesejahateraan masyarakat desa. -L.61- Terkait dengan penyiapan regulasi, saat ini Pemerintah telah menerbitkan dua PP, yaitu PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang telah diubah dengan PP No. 47 tahun 2015, dan PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN yang telah diubah dengan PP No. 22 tahun 2015. Selain itu juga telah ditetapkan sepuluh peraturan menteri, yang terdiri dari: a. 4 (empat) Peraturan Menteri Dalam Negeri, yang antara lain mengatur mengenai pedoman teknis peraturan di desa, pemilihan kepala desa, pengelolaan keuangan desa, dan pedoman pembangunan desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut, antara lain Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 113 Tahun 2015 yang mengatur mengenai Pengelolaan Keuangan Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2015 yang mengatur Pedoman Perencanaan Pembangunan Desa b. 6 (enam) Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, yang antara lain mengatur mengenai kewenangan desa, tata cara pengambilan keputusan musyarawah desa, pendampingan desa, badan usaha milik desa, dan prioritas penggunaan Dana Desa. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, antara lain Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul Dan Kewenangan Lokal Berskala Desa; Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 2 Tahun 2015 tentang mengenai Pedoman Tata Tertib Dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa; Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015 tentang mengenai Pendampingan Desa; Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Mengenai Pendirian, Pengurusan Dan Pengelolaan, Dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa; serta Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2015 tentang mengenai Prioritas Penggunaaan Dana Desa. c. 1 (satu) Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tatacara pengalokasian, penyaluran, penggunaan, pemantauan dan evaluasi dana desa, yaitu PMK Nomor 93/PMK.07/2015. Selanjutnya terkait permintaan Fraksi Partai Demokrat agar penyaluran dana desa terencana, tersebar merata dan terserap dengan baik agar memiliki manfaat langsung kepada masyarakat desa, dapat dijelaskan sebagai berikut. Sesuai dengan UU No. 6 Tahun 2014, Dana Desa dialokasikan dari APBN kepada kabupaten/kota yang memiliki desa, untuk selanjutnya dialokasikan oleh bupati/walikota kepada masing-masing desa di wilayahnya. Berdasarkan alokasi -L.62- tersebut, Dana Desa disalurkan secara berjenjang, yakni dari pusat ke kabupaten/kota, dan dari kabupaten/kota ke masing-masing desa dalam 3 tahap. Penyaluran tahap I sebesar 40 persen dilakukan pada minggu kedua bulan April, tahap II sebesar 40 persen pada minggu kedua bulan Agustus dan tahap III sebesar 20 persen pada minggu kedua bulan Oktober. Penyaluran Dana Desa dari pusat ke kabupaten/kota dilakukan apabila kabupaten/kota sudah menyampaikan Perda APBD dan Peraturan Bupati/Walikota mengenai pengalokasian Dana Desa kepada setiap desa. Sedangkan penyaluran dari kabupaten/kota ke desa dilakukan paling lambat 7 hari kerja setelah Dana Desa diterima di kas kabupaten/kota dengan syarat, untuk penyaluran tahap I desa sudah menyampaikan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dan untuk penyaluran tahap II dan III desa sudah harus menyampaikan laporan realisasi penggunaan dana desa semester I tahun berjalan. Persyaratan ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa penggunaan Dana Desa sudah direncanakan dalam APBDes dan digunakan sesuai dengan prioritasnya, yakni untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Pelaksanaan pengalokasian, penyaluran, penggunaan, dan pelaporan Dana Desa, akan dilakukan mekanisme monitoring dan evaluasi secara berjenjang. Pengalokasian dan penyaluran Dana Desa dari kabupaten/kota kepada setiap desa akan dilakukan monitoring dan evaluasi oleh Pemerintah, sedangkan penggunaan dan pelaporan dari desa ke kabupaten/kota akan dilakukan monitoring dan evaluasi oleh kabupaten/kota. Apabila kabupaten/kota tidak melakukan pengalokasian dan penyaluran Dana Desa sesuai dengan peraturan perundang-undangan, akan diberikan sanksi berupa penundaan/pemotongan DAU/DBH, sedangkan apabila desa tidak menggunakan dana desa sesuai dengan prioritas dan ketentuan yang diatur akan diberikan sanksi berupa penundaan/penghentian penyaluran Dana Desa oleh kabupaten/kota. D. PEMBIAYAAN DEFISIT ANGGARAN, PENGELOLAAN UTANG, DAN RISIKO FISKAL Terhadap pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai defisit keseimbangan primer yang makin tinggi dan mencerminkan kekurangmandirian fiskal dapat disampaikan tanggapan sebagai berikut. Defisit keseimbangan primer dalam RAPBN Tahun 2016 sebesar Rp89,8 triliun, lebih tinggi sebesar Rp23,0 triliun jika dibandingkan dengan defisit keseimbangan primer dalam APBNP 2015 sebesar Rp66,8 triliun. Pemerintah sependapat dengan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera bahwa defisit keseimbangan primer yang makin tinggi mencerminkan kekurangmandirian fiskal. Oleh karena itu, penguatan pengelolaan kebijakan fiskal mutlak diperlukan untuk mengatasi tantangan tersebut. -L.63- Dalam RAPBN tahun 2016, upaya pengendalian keseimbangan primer dilakukan melalui pengendalian kerentanan fiskal (fiscal vulnerability), meningkatkan bantalan fiskal (fiscal buffer) dan fleksibilitas pengelolaan keuangan negara (pasal krisis, bond stabilization framework, dan Forum Komunikasi Stabilisasi Sektor Keuangan/FKSSK). Dalam RAPBN jangka menengah (2017—2019), defisit anggaran ditargetkan semakin menurun dan keseimbangan primer (primary balance) akan positif. Strategi pengelolaan kebijakan fiskal dalam jangka menengah diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan, serta mendorong strategi industrialisasi dalam rangka transformasi ekonomi dengan tetap mempertahankan keberlanjutan fiskal. Keberlanjutan fiskal tersebut dilakukan melalui peningkatan pendapatan negara pada satu sisi, serta peningkatan efisiensi dan produktivitas belanja negara pada sisi lainnya. Dengan demikian, defisit anggaran dalam jangka menengah dapat terkendali, sehingga rasio utang pemerintah terhadap PDB juga dapat terkendali dan dapat memperkuat kemandirian pembiayaan pembangunan. Kebijakan fiskal ekspansi dan stimulus fiskal untuk mendorong perekonomian juga harus tetap diimbangi dengan pengelolaan kebijakan yang hati-hati dan meminimalkan risiko untuk tetap memberikan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi. Dengan strategi jangka menengah tersebut, keseimbangan primer diharapkan akan membaik dan menjadi positif, dan defisit anggaran akan dijaga dalam batas aman sebagaimana diamanatkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Selanjutnya, Pemerintah menyampaikan terima kasih atas apresiasi Fraksi Partai Golongan Karya terkait solusi Pemerintah dalam penyelesaian defisit anggaran RAPBN Tahun 2016. Selanjutnya, menanggapi pendapat Fraksi Partai Golongan Karya tentang upaya menutup defisit APBN melalui pengurangan belanja K/L lebih fleksibel jika dibanding dengan pengurangan melalui transfer ke daerah, dapat kami sampaikan tanggapan sebagai berikut. Dalam pelaksanaan APBN, Pemerintah selalu berupaya menjaga agar APBN mempunyai kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan kondisi perekonomian yang sangat dinamis. Langkah-langkah penghematan dan pemotongan belanja negara baik belanja pemerintah pusat maupun transfer ke daerah dan dana desa dapat dilaksanakan sebagai tindakan pengendalian dan pengamanan APBN, yang dilakukan sebagai respon terhadap dampak menurunnya target pendapatan negara, khususnya penerimaan perpajakan. Dari sisi belanja Pemerintah Pusat, Pemerintah dapat melakukan pengendalian belanja K/L ataupun non K/L. Dari sisi transfer ke daerah dan dana desa pengendalian secara otomatis -L.64- utamanya dilakukan melalui Dana Bagi Hasil. Hal ini dikarenakan realisasi DBH sangat dipengaruhi oleh perkembangan pendapatan negara yang dibagihasilkan. Jika pendapatan negara mengalami penurunan maka DBH secara otomatis akan berkurang, yang selanjutnya bermuara terhadap penurunan anggaran transfer ke daerah dan dana desa. Pengendalian lebih lanjut terhadap belanja negara baik belanja Pemerintah Pusat maupun transfer ke daerah dan dana desa dapat dilakukan melalui penyesuaian APBN yang akan selalu dikomunikasikan dan dibahas bersama dengan DPR RI. Berdasarkan UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, penyesuaian terhadap APBN dimungkinkan untuk dilakukan. Pasal 27 ayat (3) mengamanatkan bahwa perubahan terhadap APBN dilakukan bila terjadi beberapa hal, yaitu : (1) perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN, (2) perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal, (3) keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antara unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja, dan (4) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih (SAL) tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran pada tahun yang berjalan. Terkait dengan permintaan dari Fraksi Partai Golongan Karya yang meminta ketegasan Pemerintah agar berupaya melakukan penyelesaian segala bentuk dan jenis piutang, terutama yang telah jatuh tempo dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemerintah selama ini senantiasa melakukan upaya-upaya untuk menyelesaikan piutang negara yang telah jatuh tempo baik yang berasal dari Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman (NPPP)/Subsidiary Loan Agreement (SLA) maupun berasal dari Perjanjian Pinjaman Rekening Dana Investasi (RDI). Beberapa langkah yang telah dilakukan Pemerintah sebagai berikut: 1. Penagihan Penagihan dilakukan sebulan sebelum jatuh tempo, dengan dilakukan rekonsiliasi bersama terlebih dahulu terkait jumlah kewajiban pokok dan kewajiban yang jatuh tempo. Apabila tidak dibayar maka akan dikenakan denda keterlambatan. Khusus untuk pinjaman daerah yang perjanjian pinjamannya telah mencantumkan sanksi DAU/DBH, sesuai dengan PMK No. 47/PMK.07/2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Tunggakan Pinjaman Pemerintah Daerah Kepada Pemerintah melalui Sanksi Pemotongan DAU dan/atau DBH, maka akan dilakukan pemotongan DAU/DBH apabila terjadi tunggakan sampai dua kali jatuh tempo. -L.65- 2. Penyelesaian Piutang Negara Optimalisasi penyelesaian piutang negara dapat dilakukan melalui: penjadwalan kembali pembayaran utang pokok, bunga, denda, dan/atau ongkos lainnya; perubahan persyaratan utang; dan/atau penghapusan. Hal ini sesuai dengan PP Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah dan dan PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan PT. Selanjutnya Pemerintah juga telah menerbitkan beberapa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk mengatur lebih lanjut skema penyelesaian piutang negara kepada BUMN/PT, Pemerintah Daerah, dan PDAM. Dalam rangka optimalisasi penyelesaian piutang negara pada BUMN melalui mekanisme restrukturisasi, Kementerian Keuangan telah melakukan langkahlangkah berikut: 1) Bersama dengan Kementerian BUMN membuat MoU dengan ruang lingkup: a. Percepatan penyelesaian piutang negara, antara lain dalam bentuk peningkatan kerjasama tim penyelesaian piutang negara pada BUMN, pertukaran informasi kondisi bisnis dan keuangan BUMN, tindak lanjut penyelesaian piutang negara pada BUMN, dan penyusunan kebijakan/peraturan yang diperlukan. b. Melakukan kerjasama dengan pihak lain, antara lain BPKP, Kejaksaan Agung, BPK c. Melakukan penilaian kinerja dan Key Performance Index (KPI) yang akan dimonitor oleh Kementerian BUMN selaku pemegang saham. 2) Untuk menjaga governance dan mitigasi risiko terhadap pilihan skema restrukturisasi, dilakukan penilaian oleh pihak independen. 3. Konversi Piutang Negara menjadi Penyertaan Modal Negara (PMN) pada BUMN setelah mendapat persetujuan DPR. 4. Konversi Utang menjadi Investasi (debt swap to investment) pada Pemerintah Daerah dan PDAM Terhadap tunggakan non pokok Pemerintah Daerah dan PDAM diberlakukan debt swap to investment, yaitu mewajibkan pemerintah daerah membangun infrastruktur senilai tunggakan non pokok yang dihapus tersebut. Jenis infrastruktur yang diperkenankan adalah infrastruktur di bidang pendidikan, kesehatan, jalan dan irigasi, dan air. -L.66- 5. Penyerahan kepada PUPN Sebagaimana diatur dalam PP Nomor 14 Tahun 2005, apabila telah dilakukan optimalisasi penagihan dan piutang tidak dapat diselesaikan, maka piutang Negara dapat diserahkan kepada PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara) untuk dilakukan penagihan atau penyitaan. Terkait penyelesaian piutang negara pada PDAM sebagai tindak lanjut PMK 114/PMK.05/2012 tentang Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri, Rekening Dana Investasi dan Rekening Pembangunan Daerah pada PDAM, telah diserahkan ke PUPN penyelesaian atas utang 28 PDAM yang tidak masuk dalam program restrukturisasi. Guna mendukung upaya penyelesaian piutang negara, saat ini RUU Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2017. Selanjutnya, dalam rangka mempercepat penyelesaian Piutang Negara, Pemerintah memandang perlu adanya crash program/percepatan penyelesaian Piutang Negara khususnya piutang terhadap penanggung utang/debitur UMKM yang memungkinkan adanya pemberiaan keringanan utang kepada debitur tersebut. Dasar hukum untuk melakukan crash program tersebut, telah ditetapkan dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang APBN Tahun 2015 dan telah diusulkan kembali dalam RUU APBN Tahun 2016. Menanggapai permintaan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang meminta Pemerintah untuk menjaga kesinambungan pembiayaan dan mengoptimalkan hasil pengelolaan aset dan investasi serta piutang-piutang negara yang bermasalah agar dapat menjadi penerimaan negara, dapat kiranya dijelaskan sebagai berikut. 1. Pemerintah senantiasa berusaha untuk menjaga kesinambungan pembiayaan setiap tahunnya, dengan mengutamakan sumber penerimaan pembiayaan yang berasal dari nonutang, seperti penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman, Saldo Anggaran Lebih (SAL), privatisasi, dan Hasil Pengelolaan Aset . Namun, dengan semakin terbatasnya sumber penerimaan pembiayaan yang berasal dari nonutang, maka Pemerintah memanfaatkan sumber penerimaan pembiayaan yang berasal dari utang, terutama berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). 2. Setoran hasil pengelolaan aset setiap tahunnya cenderung semakin menurun, seiring dengan semakin berkurangnya aset yang tersedia untuk dijual. Namun demikian, Pemerintah pada prinsipnya akan terus melakukan extra-effort pengelolaan aset yang ada sesuai dengan ketentuan pengelolaan aset yang berlaku saat ini, termasuk dalam pengurusan piutang Negara melalui optimalisasi -L.67- seluruh mekanisme Pengurusan Piutang Negara yang tersedia dan sekaligus secara simultan mengupayakan berbagai penyelesaian atas permasalahan yang ada melalui koordinasi dengan pihak-pihak terkait, khususnya Badan Pertanahan Nasional. Dengan langkah-langkah optimalisasi tersebut, diharapkan realisasi capaian Hasil Pengelolaan Aset sebagai salah satu sumber penerimaan pembiayaan dalam negeri nonutang dapat melebihi target yang ditetapkan dalam RAPBN 2016. Menanggapai pandangan Fraksi Partai Amanat Nasional yang meminta audit khusus terkait dengan masih belum siginifikannya realisasi PMN BUMN dan perlunya Pemerintah untuk berhati hati terkait PMN kepada BUMN yang kapasitasnya sangat terbatas, bahkan BUMN yang justru mengalami kerugian, dapat kiranya dijelaskan sebagai berikut. 1. Salah satu syarat pencairan PMN kepada BUMN adalah penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) untuk masing-masing BUMN. Mengingat banyaknya BUMN yang menerima PMN pada APBNP tahun 2015, yaitu mencapai 39 BUMN, maka proses penyusunan dan penerbitan PP PMN BUMN dilakukan secara bertahap, sesuai dengan kesiapan masing-masing BUMN. Dengan demikian, proses pencairan PMN BUMN juga akan dilakukan secara bertahap. 2. Sampai dengan saat ini, PMN yang sudah cair adalah sebesar Rp7,1 triliun, yaitu PMN kepada PT Waskita Karya dan PT Hutama Karya. Beberapa PMN yang PP nya telah diterbitkan dan siap untuk dicairkan adalah PMN kepada PT PAL Indonesia dan Perum Bulog. Sedangkan PP PMN kepada BUMN yang lain, saat ini sebagian sedang dalam proses penetapan Presiden dan sebagian lainnya sedang dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Diharapkan PMN kepada BUMN dapat dicairkan secara bertahap pada triwulan III dan triwulan IV tahun 2015. 3. Pada dasarnya PMN dialokasikan untuk mencapai beberapa tujuan, antara lain mendukung pencapaian program prioritas pembangunan nasional, mendukung penugasan yang diberikan Pemerintah kepada BUMN, dan mendukung upaya restrukturisasi BUMN. Oleh karena itu, PMN dialokasikan kepada BUMN untuk bisa memperbesar kapasitas usaha BUMN dalam menunjang penugasan yang diberikan oleh pemerintah, atau untuk memperbaiki struktur permodalan BUMN. Dalam pelaksanaannya, Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Amanat Nasional, bahwa Pemerintah harus berhati-hati dalam memberikan PMN kepada BUMN yang kapasitasnya terbatas atau BUMN yang mengalami kerugian. Pemerintah harus mempunyai keyakinan bahwa alokasi PMN tersebut akan membawa perbaikan bagi struktur modal dan kinerja BUMN. -L.68- Menanggapi pandangan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang meminta agar PMN kepada BUMN dilakukan secara selektif untuk mendukung program-program Pemerintah dan diberikan sesuai dengan mekanisme UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dioptimalkan sesuai dengan tujuan dan peran BUMN sebagai agen pembangunan, serta perlunya dilakukan analisis lebih mendalam terkait dengan kelayakan BUMN dan lembaga-lembaga penerimanya, dapat kiranya dijelaskan sebagai berikut. 1. PMN kepada BUMN diberikan untuk mendukung peran BUMN sebagai agen pembangunan (agent of development), sehingga BUMN diharapkan dapat berperan aktif dalam mendukung program prioritas nasional (Nawa Cita). PMN kepada BUMN dalam RAPBN tahun 2016 dialokasikan secara selektif untuk mendukung program kedaulatan pangan, kedaulatan energi, infrastruktur dan maritim, pengembangan industri strategis, kemandirian ekonomi nasional, dan penguatan sektor keuangan. 2. Pegalokasian PMN kepada BUMN dilakukan sesuai dengan mekanisme dan ketentuan perundangan yang berlaku. Sesuai dengan pasal 24 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, alokasi PMN kepada BUMN harus ditetapkan dalam APBN. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah senantiasa melakukan analisis terhadap kebijakan Pemerintah yang perlu mendapat dukungan BUMN dan BUMN yang perlu direstrukturisasi. Selanjutnya, Pemerintah akan melakukan kajian yang mendalam terhadap kesiapan BUMN yang akan menerima penugasan dan yang akan direstrukturisasi, mengusulkannya dalam RAPBN sesuai dengan kapasitas fiskal yang tersedia, dan terakhir melakukan pembahasan dengan DPR guna mendapatkan persetujuan. Selain itu, untuk PMN yang bersifat non tunai (konversi), selain harus mendapat persetujuan terlebih dahulu oleh Menteri Keuangan, Pemerintah juga harus meyakini bahwa PMN tersebut dapat memberikan manfaat bagi perbaikan kondisi keuangan dan struktur modal BUMN, yang selanjutnya akan berdampak pada peningkatan kinerja BUMN. Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang meminta agar PMN kepada Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) harus dapat memberikan kemaslahatan bagi percepatan pembangunan infrastruktur dan pembangunan ekonomi domestik dan PMN kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dapat secara riil menggenjot daya saing ekspor sehingga dapat -L.69- mempersempit neraca perdagangan dan mencetak surplus. Penggunaan dan manfaat PMN kepada AIIB dan LPEI dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Saat ini Indonesia masih mengalami kekurangan kebutuhan pembiayaan infrastruktur (financing gap) yang cukup besar. Berdasarkan RPJMN 2015-2019, kebutuhan infrastruktur Indonesia mencapai Rp6.541 triliun. Diharapkan dengan fasilitas pembiayaan infrastruktur yang disediakan AIIB, dapat menambah sumber-sumber pembiayaan infrastruktur dan memperkecil financing gap pembiayaan infrastruktur di Indonesia. 2. PMN kepada LPEI pada RAPBN tahun 2016 diusulkan sebesar Rp5 triliun. PMN sebesar Rp2 triliun akan dipergunakan untuk melaksanakan penugasan khusus dari Pemerintah kepada LPEI untuk menyediakan pembiayaan, penjaminan dan asuransi bagi transaksi atau proyek yang secara komersil sulit dilaksanakan, tetapi dianggap perlu oleh Pemerintah untuk menunjang kebijakan atau program ekspor nasional sebagaimana diamanatkan pada Pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2009 tentang LPEI. Sedangkan sisanya sebesar Rp3 triliun tidak dibatasi penggunaannya, sehingga dapat dipergunakan untuk menyediakan pembiayaan, penjaminan dan asuransi bagi transaksi atau proyek yang sudah komersiil baik kepada eksportir langsung maupun eksportir tidak langsung. Dengan kombinasi penggunaan dana PMN tersebut diharapkan akan mendorong ekspor nasional dan mengurangi defisit neraca perdagangan serta di sisi lain LPEI tetap sehat dan sustainable agar tetap dapat menjalankan tugas dan fungsinya sesuai amanat UU Nomor 2 Tahun 2009 tentang LPEI. Menanggapai permintaan Fraksi Partai Amanat Nasional yang mendesak Pemerintah untuk menuntaskan persoalan ganti rugi kerugian korban luapan lumpur Sidoarjo yang berada di dalam peta area terdampak, khususnya yang diderita oleh para pelaku usaha, dapat kiranya dijelaskan sebagai berikut. 1. Pemerintah pada tahun 2015 telah mengalokasikan dana antisipasi kepada PT Lapindo Brantas Inc./PT Minarak Lapindo Jaya sebesar Rp781,7 miliar. 2. Dana tersebut disiapkan Pemerintah sebagai pelunasan pembayaran langsung kepada masyarakat yang memiliki tanah dan bangunan di dalam area peta terdampak lumpur Sidoarjo, yang bila dipergunakan akan menjadi pinjaman PT Lapindo Brantas Inc./PT Minarak Lapindo Jaya kepada Pemerintah. 3. Saat ini Pemerintah telah melakukan pembayaran kepada warga korban lumpur Sidoarjo secara bertahap sesuai dengan ketersediaan dokumen yang telah diverifikasi oleh BPKP dan BPLS. -L.70- 4. Selanjutnya, ganti rugi kepada pelaku usaha korban lumpur Lapindo di dalam peta area terdampak masih akan didiskusikan sambil memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi tentang ganti rugi korban lumpur Lapindo kepada para pelaku usaha, yang pada saat ini masih dalam proses persidangan. Menanggapi pandangan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai penerbitan SBN, baik SBN domestik maupun SBN valas harus dilakukan secara terukur untuk meminimalkan risiko refinancing kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pembiayaan melalui penerbitan SBN dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan pembiayaan, ketersediaan alternatif sumber pembiayaan, kondisi portofolio dan risiko utang, agar tujuan pengelolaan SBN untuk membiayai defisit dengan biaya yang minimal pada tingkat risiko yang terkendali dapat tercapai. Dalam rangka pengelolaan risiko pasar keuangan, Pemerintah bersama dengan Bank Indonesia telah memiliki rangkaian parameter indikator risiko/protokol manajemen krisis pasar keuangan yang terus dipantau, dan siap untuk dieksekusi dalam hal terjadi pergerakan yang mengarah pada krisis pasar keuangan. Terkait dengan permasalahan risiko refinancing, Pemerintah secara komprehensif melakukan monitoring risiko utang yang meliputi risiko tingkat bunga (interest rate risk), risiko pembiayaan kembali (refinancing risk), dan risiko nilai tukar (exchange rate risk). Ketiga jenis risiko tersebut digunakan sebagai indikator dalam pengelolaan portofolio utang Pemerintah. Secara khusus mengenai refinancing risk, dapat disampaikan bahwa besaran penerbitan/pengadaan utang baru dengan tenor pendek melalui penerbitan SPN memang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Kebijakan ini untuk memenuhi target penerbitan SBN yang semakin besar dan mengakomodasi permintaan investor yang cukup besar pada instrumen SBN dengan tenor pendek, khususnya pada saat kondisi pasar keuangan masih belum stabil dan volatile. Namun demikian, dampak peningkatan penerbitan SPN terhadap indikator refinancing risk secara keseluruhan relatif rendah karena pada saat yang sama penerbitan SBN seri benchmark yang memiliki tenor menengah–panjang diupayakan tetap dominan. Menanggapi pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera terkait perlunya memprioritaskan penerbitan SBSN PBS dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemanfaatan instrumen sukuk negara untuk membiayai proyek-proyek pemerintah dapat meningkatkan country ownership karena sumber pembiayaannya berasal dari dalam negeri. Sukuk berbasis proyek atau sukuk proyek dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pertama, sukuk yang diterbitkan dengan menggunakan DIPA proyek sebagai underlying asset atau project underlying dan kedua, sukuk yang diterbitkan untuk -L.71- mendanai proyek baru dalam APBN atau project financing. Pemerintah telah mulai menerbitkan sukuk dengan skema underlying project pada tahun 2012. Pada tahun 2013, Pemerintah telah menerbitkan SBSN berbasis proyek (project financing sukuk) sebesar Rp0,8 triliun untuk membiayai proyek infrastruktur transportasi, yakni proyek pembangunan jalur ganda (double track) Lintas Cirebon– Kroya. Pada tahun 2014, jumlah penerbitan SBSN berbasis proyek meningkat menjadi Rp1,6 triliun yang digunakan untuk membiayai kelanjutan pembangunan jalur ganda (double track) lintas Cirebon–Kroya sebesar Rp0,7 triliun, pembangunan railway electrification and double-double tracking of Java main line project sebesar Rp0,6 triliun, dan untuk proyek revitalisasi asrama haji sebesar Rp0,2 triliun. Pada tahun 2015, Pemerintah merencanakan untuk menerbitkan SBSN berbasis proyek sebesar Rp7,5 triliun untuk membiayai berbagai proyek pembangunan di tiga kementerian yaitu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Rp3,5 triliun, Kementerian Perhubungan Rp2,9 triliun, dan Kementerian Agama Rp1,0 triliun. Pada tahun 2016, penerbitan SBSN berbasis proyek direncanakan sebesar Rp13,7 triliun atau naik Rp6,5 triliun (91,5 persen) dibandingkan tahun 2015. Instrumen ini digunakan untuk membiayai proyek-proyek di tiga kementerian yaitu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Rp7,2 triliun, Kementerian Perhubungan Rp5,0 triliun, dan Kementerian Agama Rp1,5 triliun. Kedepannya penerbitan SBSN berbasis proyek untuk membiayai proyek-proyek Pemerintah diharapkan semakin meningkat. Menanggapi pandangan Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai rencana peningkatan penarikan utang terutama utang luar negeri dapat dijelaskan sebagai berikut. Mulai tahun 2016, penarikan pinjaman luar negeri di APBN direncanakan lebih besar dari pelunasan pokok pinjaman luar negeri (positive net flow). Perbaikan kebijakan tersebut diambil mengingat besarnya kebutuhan pembiayaan infrastruktur di dalam negeri dan potensi kapasitas pinjaman luar negeri yang besar, serta untuk mengurangi beban biaya penarikan utang (cost of borrowing) secara keseluruhan. Kebijakan positive net flow pada pinjaman luar negeri juga merupakan bagian dari strategi Pemerintah dalam mengantisipasi ketidakpastian pada pasar finansial yang kemungkinan berdampak pada kemampuan Pemerintah untuk melakukan penerbitan SBN, serta dalam rangka diversifikasi portofolio utang pemerintah. Dalam melaksanakan kebijakan tersebut, Pemerintah mengupayakan pinjaman yang berasal dari kreditor multilateral dan bilateral yang tidak mengikat, menggunakan pinjaman luar negeri untuk kegiatan produktif, serta tetap menjaga rasio utang pemerintah terhadap PDB pada tingkat yang aman (sekitar 26 persen). -L.72- Berkenaan dengan masukan Fraksi Partai Demokrat agar Pemerintah memperkecil rasio utang luar negeri terhadap Produk Domestik Bruto, Pemerintah akan berupaya menjaga dan mengendalikan rasio utang luar negeri tetap dalam batas aman. Dapat kami sampaikan bahwa dengan rencana penarikan pinjaman luar negeri dalam RAPBN tahun 2016, maka rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB pada akhir tahun 2016 diperkirakan sekitar 5,4 persen, atau lebih rendah dari rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB pada akhir tahun 2015 yang diperkirakan sekitar 5,6 persen. Selanjutnya, Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Amanat Nasional untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan DPR terkait perubahan kebijakan pinjaman luar negeri. Pembicaraan dengan DPR tersebut juga dimaksudkan untuk memenuhi asas transparansi, akuntabel, dan prudent dalam perencanaan pinjaman luar negeri. Menanggapi Permintaan Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Nasional Demokrat, bahwa utang Pemerintah harus digunakan untuk kegiatan produktif dan harus dikelola secara optimal dengan prinsip kehati-hatian, profesional, dan memperhatikan kemampuan pengembalian, serta kemampuan penyerapan anggaran, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut. Pembiayaan utang baik yang diperoleh dari penerbitan SBN maupun penarikan pinjaman memiliki beban di masa yang akan datang berupa pembayaran cicilan pokok dan bunga. Selain itu kedua beban tersebut juga memiliki sejumlah risiko khususnya risiko nilai tukar jika pembiayaan utang diperoleh dari luar negeri. Dengan adanya beban tersebut, Pemerintah akan berupaya maksimal agar pemanfaatan pembiayaan utang digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan produktif yang dapat memberikan dampak positif dan multiplier effect yang tinggi bagi upaya penurunan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, Pemerintah juga terus berupaya untuk melakukan inovasi dan diversifikasi instrumen pembiayaan utang dan nonutang. Pemerintah telah menerbitkan Sukuk Negara dengan underlying proyek. Pemerintah juga telah menerbitkan obligasi ritel baik konvensional maupun sukuk. Sampai saat ini sedang dikaji kemungkinan penerbitan instrumen SBN diantaranya Index Linked Bond, yaitu obligasi yang memiliki tingkat bunga mengacu pada tingkat indeks tertentu misalnya inflasi. Pada instrumen pinjaman, Pemerintah juga berupaya melakukan inovasi salah satunya melalui instrumen pinjaman result based lending dan mengoptimalkan sumber pinjaman tunai melalui instrumen pinjaman tunai komersial. Pemerintah juga memanfaatkan pinjaman dalam negeri untuk -L.73- pembiayaan sektor pertahanan dan keamanan untuk mendukung pemberdayaan industri dalam negeri. Berkenaan dengan perbaikan pengelolaan pinjaman luar negeri, Pemerintah menetapkan kebijakan sebagai berikut (1) komitmen pinjaman kegiatan (project loan) baru diarahkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan energi, serta membiayai pembelian barang yang belum dapat diproduksi di dalam negeri dalam rangka alih teknologi, (2) meningkatkan kualitas persiapan kegiatan dan pengadaan pinjaman luar negeri, melalui (a) peningkatan peran serta dalam penyusunan dokumen kerjasama dengan lender untuk menghindari terjadinya pengadaan pinjaman luar negeri yang didikte oleh lender (lenderdriven), (b) negosiasi pinjaman luar negeri hanya dilakukan setelah terpenuhinya seluruh kriteria kesiapan (readiness criteria) dari kegiatan yang akan dibiayai dengan pinjaman luar negeri, dan (c) menetapkan syarat dan ketentuan (terms and conditions) pinjaman luar negeri yang sesuai dengan target risiko dan biaya utang, (3) pinjaman luar negeri tunai/program dilakukan secara selektif, antara lain dalam rangka mendukung fleksibilitas pembiayaan utang, dan (4) meningkatkan kinerja pemanfaatan pinjaman luar negeri, dengan (a) mengoptimalkan evaluasi pemanfaatan pinjaman luar negeri untuk memastikan penarikan pinjaman luar negeri sesuai jadwal, (b) mengambil langkah penanganan atas kegiatan yang bermasalah dan berdampak signifikan terhadap APBN berdasarkan hasil monitoring, dan (c) meningkatkan koordinasi antarunit terkait dalam penganggaran, serta monitoring dan evaluasi pinjaman luar negeri. -L.74-