RAPBN 2016, Semangat Pemerataan Kesejahteraan Oleh Siko Dian Sigit Wiyanto, pegawai Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan RI* Pasca dibacakannya Pidato Kenegaraan Pengantar Nota Keuangan dan RAPBN 2016, perekonomian memang tidak langsung merespon dengan cepat. Namun, harapan-harapan lain membuncah setelah menelaah lebih dalam kebijakan fiskal yang dicanangkan. Anggaran yang lebih pro rakyat yaitu yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat semakin menjadi tuntutan. Pemerataan pendapatan dan pembanguan semakin menjadi perhatian. Permasalahan sempitnya celah fiskal yang selalu jadi kendala pada APBN 5 tahun terakhir seakan berakhir sejak RAPBN-P 2015 lalu. Banyaknya belanja earmarking dan belanja wajib membuat APBN sudah terkaplingkapling dan cenderung masih menampilkan ego sektoral. Hambatan dan tantangan lain dalam proses perencanaan anggaran adalah ruang fiskal yang masih terbatas, proses penganggaran belum optimal, dan persepsi stakeholder yang cenderung masih belum sepenuhnya mendukung kebijakan pemerintah. Meski demikian, tahap terakhir penghilangan subsidi premium yang dimulai sejak masa pemerintahan SBY, berakhir pada awal pemerintahan Jokowi. Sebelumnya, subsidi energi merupakan satu dari sekian pos anggaran yang mengikat. Meski demikian, pos anggaran wajib yang masih ada sekarang ini antara lain belanja fungsi pendidikan dan belanja fungsi kesehatan. Belanja fungsi pendidikan sebesar minimal 20% dari total belanja dalam APBN. Hal ini sesuai dengan Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 Amandemen ke 4 mengamanatkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Sementara itu, anggaran sektor kesehatan sebesar minimal 5% dari total belanja APBN sesuai dengan Undang-Undang tentang Kesehatan No.36 tahun 2009. Pada RAPBN 2016, untuk pertama kalinya amanat Undang-Undang tersebut terpenuhi. Perbandingan Ruang Fiskal APBN 2011-APBN P 2015 Sumber: Kementerian Keuangan Desentralisasi fiskal merupakan salah satu semangat yang tertulis dalam nawacita Pemerintahan Jokowi yakni Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Belanja Transfer ke Daerah Diharapkan Lebih Berkualitas Dari tahun ke tahun, Belanja Transfer Ke Daerah mengalami kenaikan. Pada APBN 2014, total Dana Transfer ke Daerah sebesar Rp592,5 triliun, pada APBN 2015 sebesar Rp637.975, dan meningkat Rp643,83 triliun pada APBN P 2015. Kemudian pada RAPBN 2016, total belanja Transfer ke Daerah meningkat menjadi Rp735,21 triliun. Anggaran transfer ke daerah merupakan aplikasi dari peran pemerintah pusat mendorong desentralisasi fiskal. Untuk pertama kalinya Belanja Transfer ke Daerah sebesar Rp735,2 triliun, lebih besar dari total belanja Kementerian/Lembaga Pemerintah yaitu Rp780 triliun. Dana Desa yang pada APBNP 2015 masih sekitar Rp20,8 triliun meningkat menjadi Rp47 triliun pada RAPBN 2016. Diharapkan dana ini dapat meningkatkan pembangunan di daerah. Rasa pesimis muncul saat aparat pemerintah daerah dirasa belum cukup mampu mengelola dana yang relatif besar. Di lain sisi, banyak pejabat daerah yang harus mendekam di penjara karena berbagai kasus korupsi. Isu ini menjadi salah satu alasan atas lambatnya penyerapan anggaran sampai semester II 2015 ini. Sebagai salah satu bentuk perbaikan manajemen pengeluaran pemerintah, untuk pertama kalinya Dana Alokasi Khusus yang sekarang berdasarkan proposal based. Dengan adanya proposal ini kinerja kegiatan dan perencanaan dapat lebih mudah dinilai. Dana Kesehatan Meningkat Pesat Anggaran fungsi kesehatan akhirnya memenuhi amanat UU Kesehatan. Prioritas anggaran kesehatan kali ini adalah untuk memperluas coverage Jaminan Kesehatan Nasional melalui BPJS Kesehatan. Penerima Bantuan Iuran (PBI) meningkat dari 86,4 juta orang pada APBN-P 2015 menjadi 92,4 juta Jiwa pada RAPBN 2016. Selain itu anggaran fungsi kesehatan lebih diupayakan untuk kegiatan promotif dan kuratif seperti yang dijelaskan oleh Menteri Kesehatan. Meski demikian, dalam tataran pelayanan juga harus diperhatikan. Meski PBI meluas, jumlah fasilitas kesehatan (faskes) juga harus meningkat. Lebih dari itu, kualitas pelayanan BPJS adalah pekerjaan utama yang harus diperhatikan. Kementerian Keuangan sebaiknya juga harus mengantisipasi kenaikan iuran BPJS, khususnya untuk PBI ini. Hal ini agar kualitas layanan kesehatan tidak menurun. BPJS kesehatan sebagai badan publik pengelola dana dari APBN dan masyarakat seharusnya memberikan keluwesan dan terbuka dalam menjalin kerjasama dengan faskes swasta. Keterbatasan klinik swasta untuk melayani peserta PBI menjadi salah satu kendala utama. Padahal, hampir setengah dari peserta BPJS adalah PBI. KPK menemukan potensi fraud (penyimpangan) atas dibolehkannya perpindahan peserta PBI dari Puskesmas ke FKTP swasta seperti klinik. Fakta di lapangan menunjukkan, oknum petugas Puskesmas mendirikan FKTP swasta (hukumonline.com, 22/1/2015). Akibatnya, para peserta BPJS PBI malah mendapatkan pelayanan yang kualitasnya berkurang, khususnya antrian yang memanjang. Bottleneck ini tidak dilihat oleh KPK. Padahal, sebagain faskes swasta juga memiliki semangat untuk mensukseskan BPJS. Anggaran untuk Program Ketahanan Pangan Dalam Nota Keuangan RAPBN 2016, ketahanan pangan antara lain pengembangan asuransi pertanian, pengembangan benih yang adaptif terhadap perubahan iklim, pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dan penyakit hewan, serta penyaluran bantuan pangan pada saat terjadi bencana alam. Mahalnya sebagian komoditas ternak saat ini semakin menyatakan bahwa ketahanan pangan sudah pada kondisi yang hampir mendekati kritis. Terlebih dengan adanya el nino di tahun 2016. Berdasarkan data pada kementerian pertanian, produksi padi juga menurun. Menurunnya jumlah lahan produktif dan semakin tidak menariknya profesi petani menjadi hal yang harus diperhatikan. Peningkatan teknologi pengolahan lahan dan pelatihan petani seharusnya juga menjadi prioritas. Di sisi lain, jalur distribusi dan penjualan juga menjadi kendala. Petani kadang harus menjual ke tengkulak dengan harga yang rendah karena tidak memiliki alat angkut yang memadai. Itupun kalau harga tidak dimainkan para tengkulak atau pedagang besar yang menjalankan sistem kartel. Sebagai contoh, harga tomat yang sangat jatuh baru-baru ini, membuat sebagian petani tomat dengan sangat terpaksa membuangnya di jalanan. Dana untuk ketahanan pangan dapat digunakan untuk membangun koperasi petani, menjalin kerjasama dengan enduser, memperbarui teknologi pengolahan lahan pertanian, terlebih rekayasa tanah-tanah kritis agar lebih produktif. Anggaran Infrastruktur Infrastruktur menjadi salah satu katalis dalam pembangunan menjadi perhatian pemerintahan Jokowi. Pergeseran sebagian anggaran subsidi ke anggaran infrastruktur merupakan hal yang tepat. Belanja sektor Infrastruktur pada RAPBN 2016 senilai Rp313,5 triliun antara lain untuk peningkatan konektivitas nasional diarahkan melalui pegembangan jalan nasional dan provinsi, pembangunan jalan baru dan jalan bebas hambatan, bandara, jalur kereta api, dan peningkatan kapasitas pelabuhan utama untuk mendukung tol laut. Diharapkan mobilitas sumber daya serta komoditas antar wilayah semakin lancar sehingga biaya logistik dapat ditekan. Peningkatan ketahanan energi dilaksanakan melalui pembangunan waduk baru dan jaringan irigasi, penambahan kapasitas pembangkit listrik dan pembangunan energi baru terbarukan. Pemanfaatan energi terbarukan harus menjadi prioritas. Kurang tersedianya pembangkit listrik juga ternyata menjadi salah satu faktor utama tertundanya pembangunan smelter di Indonesia. Pengembangan infrastruktur yang bertujuan untuk meningkatkan investasi, yang nantinya diharapkan memperbesar lapangan pekerjaan dan pada akhirnya memeratakan distribusi pendapatan juga harus didukung kejelasan prosedur perijinan dan perpajakan. Terkait dengan insentif fiskal seperti tax holiday, pemerintah pastilah sudah mengukur dampak fiskalnya terhadap APBN. *Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili instansi tempat penulis bekerja