DAMPAK PENGEMBANGAN LAHAN SKALA BESAR TERHADAP PASAR LAHAN DAN TRANSFORMASI PERI-URBAN KOTA JAKARTA Research Series UPDRG 02-2007 Denny Zulkaidi; Maulien Khairina Sari; Ardy Maulidy Navastara Background Proses pembangunan di Indonesia terus bergulir dan ekspansi pemanfaatan ruang terus berlanjut. Sejalan dengan ini maka pengembangan lahan terus terjadi dan akan berhadapan dengan berbagai bentuk penggunaan lahan seperti persawahan, hutan, perikanan dan lahan produktif lainnya yang kemudian berubah fungsi menjadi perumahan beserta infrastruktur, fasilitas umum dan fasilitas sosial, pengembangan kesempatan usaha melalui industri, jaringan kegiatan sosial-ekonomi melalui pusat perdagangan, dan lain sebagainya. Pengembangan lahan bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah pengembangan lahan dalam skala besar. Di Indonesia, khususnya wilayah Jabotabek, pengembangan lahan skala besar oleh sektor swasta begitu marak. Pada akhir tahun 1980-an terdapat lebih dari 30 pengembangan lahan skala besar, dengan luas area untuk masing-masing pengembangannya mencapai lebih dari 500 hektar, tersebar di wilayah Bogor, Tangerang dan Bekasi (Bappeda DKI Jakarta, 1997 dalam Winarso, 2007). Pengembangan lahan tersebut tampaknya tidak terlepas dari aktivitas Jakarta yang sudah sangat padat, sehingga pengembangan lahan ini berupaya untuk menampung limpahan pertumbuhan kegiatan perkotaan Jakarta serta mengurangi tekanan urbanisasi yang kuat bagi kota tersebut. Para pengembang swasta – khususnya para pengembang besar, yang merespon gejala urbanisasi yang terjadi di wilayah kota, melakukan intervensi pengembangan lahan berskala besar. Mereka tidak hanya menciptakan pusat pertumbuhan baru, namun juga meningkatkan urban sprawl, terutama untuk daerah peri-urban Jakarta. Sementara urban sprawl merupakan suatu fenomena yang timbul dari lajunya urbanisasi dan pertumbuhan penduduk kota yang semakin tidak terkendali. Ekspansi kota Jakarta melalui pemanfaatan dan penggunaan lahan menyebabkan densifikasi permukiman yang semakin besar serta populasi penduduk yang semakin tinggi di daerah peri-urban Jakarta. Hal ini diindikasikan dengan pertumbuhan penduduk kota yang paling dramatis terjadi pada periode 1980-1990 dengan laju pertumbuhan 2,4 persen, sedangkan kota-kota besar sekitar 2,7 persen. Namun kemudian pada periode berikutnya, yaitu 1990-2000, terjadi penurunan drastis dari 2,4 persen menjadi 1,3 persen1. Penurunan penduduk kota tersebut adalah konsekuensi dari bentuk pencarian atas pelayanan sosial dan ekonomi serta penghidupan yang lebih baik, yang selanjutnya didukung dengan kemudahan aksesibilitas melalui pembangunan infrastruktur jalan. Hal ini semakin memperluas urbanisasi ke daerah peri-urban kota Jakarta. Pengembangan lahan skala besar tidak hanya membawa pengaruh pada area tempat dilakukannya pengembangan itu sendiri, tetapi juga kerap memberikan peluang bagi daerah lain di sekitarnya untuk ikut berubah. Perubahan tersebut salah satunya adalah terkait dengan 1 Samiadji (2006:146) membahas tentang Ekonomi Perkotaan dalam Winarso (Editor)., 2006: Metropolitan di Indonesia: Kenyataan dan Tantangan dalam Penataan Ruang. 1 proses peri-urbanisasi. Dengan segala bentuk pemanfaatan ruangnya, pengembangan lahan skala besar bisa mengubah karakteristik area tempat dilakukannya pengembangan lahan maupun wilayah sekitarnya. Ketika pengembangan lahan dilakukan pada area pedesaan, proses peri-urbanisasi mampu menciptakan titik konsentrasi atau pusat aktivitas baru di luar area terbangun kota, serta merubah area yang dulunya berkarakter rural menjadi area periurban, yakni suatu area yang di dalamnya terdapat kombinasi antara karakteristik rural dan karakteristik urban (Bryant dkk, 1982). Konteks peri-urban sendiri merupakan salah satu isu dalam bidang perencanaan wilayah dan kota yang masih memerlukan pembahasan ataupun penelitian lebih lanjut. Penelitianpenelitian yang terkait dengan disiplin ilmu ini, khususnya mengenai pengembangan lahan perkotaan, selama ini lebih menekankan pembahasan pada segmen dinamisasi dan pola perkembangannya, dampak lingkungan yang ditimbulkan, instrumen kebijakan untuk manajemen lahan, pasar lahan dan perumahan bagi penduduk golongan ekonomi menengah ke bawah, peran pemerintah dan isu akses penduduk miskin terhadap ketersediaan lahan, serta perilaku pengembang lahan formal skala besar non pemerintah dalam memilih lahan. Untuk itu penelitian ini lebih menekankan pada eksplorasi pengaruh pengembangan lahan terhadap timbulnya periurbanisasi, terkait dengan pasar lahan dan transformasi wilayah periurban, agar dapat memperkaya pengetahuan, khususnya di bidang pengembangan lahan (termasuk manajemen lahan) serta dapat menyumbangkan proses berpikir baru dalam manajemen pertumbuhan. Gambaran pengembangan lahan skala besar ditunjukkan melalui pengembangan kota baru di Serpong Tangerang, yaitu: Bumi Serpong Damai (BSD). BSD merupakan salah satu pengembangan lahan skala besar2, diarahkan sebagai suatu kota baru mandiri dengan tujuan untuk mengurangi arus urbanisasi serta dapat menarik sebagian penduduk Kota Jakarta. Sebagai kota baru mandiri, BSD diharapkan dapat menciptakan suatu lingkungan kehidupan seutuhnya dengan dilengkapi sarana dan prasarana kota yang memadai untuk dapat melayani berbagai kebutuhan masyarakatnya, oleh karena itu BSD dikembangkan pada lahan seluas kurang lebih 6.000 hektar (PT. Bumi Serpong Damai, 2005). Saat ini BSD dilengkapi dengan berbagai pusat kegiatan serta kelengkapan sarana dan prasarana kota, seperti kawasan komersial, perkantoran, perumahan, industri, fasilitas umum (sekolah, rumah sakit dan sebagainya) serta sarana dan prasarana transportasi (jaringan jalan, terminal dan sebagainya). Pengembangan berbagai pusat kegiatan tersebut akan menciptakan lapangan kerja baru dan melayani berbagai kebutuhan masyarakat yang dapat menjadi daya tarik BSD sebagai suatu kota baru. Mengingat baru memasuki awal tahap kedua dari tahapan pengembangannya, BSD diharapkan dapat berperan sebagai pusat pertumbuhan baru bagi wilayah Kabupaten Tangerang dan wilayah Jakarta. Intensitas pengembangan lahan skala besar yang semakin tinggi; seperti yang dilakukan BSD dan pengembangan lahan skala besar lainnya di wilayah Serpong Tangerang dan sekitarnya; meningkatkan kebutuhan lahan dengan jumlah yang besar untuk melanjutkan proses 2 Tahun 1986 untuk pertama kali proposal kota baru Bumi Serpong Damai (BSD) diajukan dan masih salah satu proposal terbesar. Proposal tersebut mendahului perencanaan Kabupaten Tangerang, lokasi dimana BSD ditetapkan. Rencana struktur direncanakan oleh konsorsium tiga konsultan, dua diantaranya milik Ciputra dan Bumi Serpong Damai sebagai pengembang utama (Winarso, 2000:113, footnote 31 dalam Cowherd, 2002:31, footnote 19). 2 pengembangannya. Dengan demikian pengembangan lahan selalu berkaitan dengan mekanisme persediaan dan permintaan lahan. Hal ini dapat dinyatakan bahwa di satu sisi pengembangan lahan merupakan produk mekanisme pasar lahan. Dan di sisi yang lain, pengembangan lahan skala besar yang dilakukan pengembang diperkirakan mempengaruhi dinamisasi pasar lahan. Dinamika pasar lahan menunjukkan besaran permintaan dan persediaan yang mencapai kesetimbangan pasar, dan hal tersebut direpresentasikan dengan besaran harga lahan. Sehingga adanya perubahan dinamika harga lahan berarti menunjukkan adanya dinamika pasar lahan, demikian juga sebaliknya. Namun seringkali tidak terkendalinya harga lahan mengakibatkan masalah lahan menjadi faktor ketidakpastian yang tinggi dan menyebabkan semakin menyerahkan harga lahan dalam mekanisme ekonomi pasar. Hambatan-hambatan tersebut seringkali mengakibatkan gagalnya pasar lahan. Selain itu, pengembangan lahan skala besar tersebut juga diperkirakan menimbulkan suatu dinamika lain, salah satunya adalah dinamika kependudukan yang diwarnai oleh migrasi, baik ke wilayah BSD itu sendiri maupun ke wilayah sekitarnya. Perubahan pada wilayah sekitar BSD juga dapat dipandang sebagai bentuk peri-urbanisasi, karena selain kemungkinan terjadinya migrasi yang memberikan dampak bagi peningkatan populasi, juga terdapat kemungkinan adanya perubahan-perubahan pada karakteristik masyarakat di sekitar BSD, yang sebelumnya bersifat rural menjadi lebih bersifat kombinasi rural-urban. Pergerakan penduduk yang terjadi ke wilayah sekitar BSD tampaknya terjadi secara alamiah atas inisiatif masyarakat itu sendiri dengan didorong motif perbaikan ekonomi, mengingat perekonomian di BSD ini semakin maju dan membuka peluang kesempatan kerja. Perubahan lainnya yang juga tampak pada area sekitar pengembangan BSD adalah perubahan struktur mata pencaharian. Maraknya kegiatan industri dan perdagangan tidak hanya menjadi faktor penarik bagi para pendatang, tetapi juga bisa menjadi faktor yang menggeser keberadaan sektor pertanian di wilayah ini. Masih terkait dengan sosial ekonomi, Bryant dkk (1982) mengemukakan bahwa urbanisasi pada peri-urban bisa membuat masyarakatnya memiliki standar hidup dan pendapatan yang lebih tinggi. Secara keseluruhan keterkaitan permasalahan dan fenomena yang berkembang tersebut di atas mengindikasikan bahwa peranan pengembangan lahan skala besar di peri-urban terutama mengenai pengaruhnya terhadap dinamika pasar lahan serta transformasi sosial ekonomi masyarakat adalah penting untuk dijelaskan lebih lanjut. Adapun transformasi sosial ekonomi masyarakat yang diangkat dalam kesempatan ini meliputi beberapa komponen perubahan yaitu migrasi, struktur mata pencaharian, struktur pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Pemilihan keempat komponen sosial ekonimi tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa hal, diantaranya adalah hasil tinjauan literatur mengenai peri-urban (di antaranya Bryant, 1992; Briggs & Mwamfupe, 2000; Tacoli, 1999; McGregor, Simon & Thompson, 2006; dll), tinjauan mengenai pengalaman perkembangan peri-urban di negara lain seperti di India dan Afrika (Brook, 2000), pengamatan maupun wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat (pada survei awal), serta pertimbangan keterbatasan waktu, biaya, tenaga dan faktor teknis lainnya. *Diadopsi dari: http://www.sappk.itb.ac.id/ppk/index.php?option=com_content&task=view&id=267&Itemid=80 3