DAMPAK PENGEMBANGAN LAHAN SKALA BESAR TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR SPASIAL PERI-URBAN KOTA JAKARTA Research Series UPDRG 01-2007 Haryo Winarso, Delik Hudalah, Maulien Khairina Sari, Ardy Maulidy Navastara Background Sejak tahun 1980, pertumbuhan permukiman dan kegiatan ekonomi yang sangat cepat di kawasan peri-urban1. telah menjadi perhatian banyak peneliti. Pembangunan di kawasan “abuabu” ini menawarkan banyak kesempatan buat para investor, pengembang dan khususnya penghuni baru karena aksesibilitas dan fleksibilitas dari kota ini dibandingkan dengan kejenuhan di dalam kota dan terisolirnya daerah pinggiran. Sebagai hasilnya, kawasan periurban mengalami perubahan fisik, sosial dan ekonomi yang cepat. Pada awalnya, munculnya trend pembangunan ini diharapkan dapat menciptakan kesempatan lapangan pekerjaan yang besar dan efek multiplier dari ekonomi (Webster, 2002). Selain itu, kawasan peri-urban dipertimbangkan sebagai hal yang penting dalam konteks pembangunan wilayah untuk menunjukkan hubungan antar daerah perkotaan dan perdesaan (Adell, 1999). Beberapa penelitian, sejauh ini mengkritik peri-urbanisasi2 sebagai gambaran dari tidak terkontrolnya dan ketidakberkelanjutan pembangunan (Webster, 2002). Efek negatif seperti degradasi lingkungan dan tidak efisiennya sistem transportasi lebih jelas dampaknya dibandingkan dengan keuntungan yang diharapkan. Saat ini, pembangunan di daerah periurban diduga sebagai faktor yang memperkuat pemisahan spasial dan sosial (Firman, 2004 ; Leisch, 2002). Selain itu, debat mengenai pembangunan peri-urban sebagai alat yang efektif untuk mendekonsentrasikan pembangunan daerah urban, menjadi suatu pertanyaan sejak banyak orang tinggal di wilayah proyek pembangunan perumahan besar melaju ke kota utama untuk bekerja dan untuk pemenuhan utama jasa (Firman, Winarso, 2002 ; Leisch, 2002). Peri-urbanisasi telah menjadi isu utama khususnya kota-kota di negara berkembang karena kebanyakan urbanisasi di dunia terjadi di wilayah ini. Penelitian empiris mengenai periurbanisasi pertama kali diperkenalkan di kota Afrika yang fokus utamanya sebagai pengaruh dari kegiatan pertanian (Sumberg, 1997) dan penyesuaian struktur (Briggs & Mwamfupe, 2000). Sejauh ini, pembangunan kawasan peri-urban di kota-kota Asia menunjukkan phenomena yang berbeda. Kebanyakan dari mereka dibentuk dari proses yang lebih kompleks. Di Cina dan Thailand, pembangunan dipicu oleh kebutuhan akan lahan yang luas untuk proses produksi dan bertanggung jawab untuk mengalokasikan pertumbuhan FDI yang cepat di bidang manufaktur (Webster, 2002). Lebih jauh lagi, Webster (2002) berpendapat peri-urbanisasi di Cina mengambil keuntungan dari buruh yang murah di kawasan miskin. Hal ini juga didorong 1 Daerah Peri-Urban adalah zona transisi dimana karakteristik daerah urban dan perdesaan bertemu. Secara fisik, ini sering diasosiasikan sebagai daerah pinggiran yaitu zona transisi antara kota kecil dan kota besar (Browder & Bohland,1995). 2 Peri – Urbanisasi adalah proses transformasi fisk, ekonomi dan sosial dari fungsi perdesaan ke daerah urban di pinggiran suatu kota (Webster, 2002). 1 oleh kebijakan pemerintah yang mendukung peri-urbanisasi. Banyak pemerintahan pada kotakota besar di negara-negara ini ingin mende-industrialisasikan dalam kota untuk memperbaiki kondisi kehidupan di wilayah ini (Webster, 2002). Secara mengejutkan pembangunan peri-urban di Indonesia, khususnya di Kawasan Metropolitan Jakarta (KMJ) dikemudikan bukan dari faktor-faktor tersebut tetapi oleh pembangunan perumahan berskala besar. Karena meningkatnya pendapatan perkapita, sekitar 15,2 % pertahun (1980 – 1990), kebutuhan akan perumahan skala menengah dan atas di kota ini meningkat cepat. Sebagai respon pasar yang besar, pembangunan perumahan didorong ke arah wilayah peri-urban, dimana jumlah ketersedian dan harga lahan yang murah memungkinkan untuk menampung pembangunan berskala besar. Dengan populasi sebesar 8,4 juta jiwa (2000), Jakarta sendiri sulit untuk membangun perumahan berskala besar di dalam kota. Kita juga tidak dapat mengabaikan pengaruh dari deregulasi dan kebijakan orientasi pasar sejak tahun 1980-an yang didorong oleh perkembangan investasi dan bisnis keuangan skala besar di bidang real estate (Winarso & Firman, 2002). Lagi pula, kelemahan dan tidak tanggapnya kebijakan dan administrasi pemerintahan di wilayah peri-urban juga ikut bertanggung jawab tidak terkontrolnya pembangunan perumahan di wilayah ini (Webster, 2004). Pada periode keemasan (1980 – 1995), ada dua puluh lima perumahan berskala besar dibangun di KMJ yang luasnya berkisar dari 500 sampai 6000 ha (Firman, 2004). Pembangunan eksklusif ini meniru kota baru di USA (Cowherd, 2005). Penyediaan perumahan besar ini yang utamanya membentuk kota baru di wilayah pinggiran lebih baik karena kemampuannya menawarkan keamanan yang tinggi, kenyamanan dan pergerakan jarak jauh (Webster, 2002; Firman, 2004; Leisch, 2002). Saat ini, ada indikasi bahwa pembangunan berskala besar di Jakarta memperkuat pemisahan keruangan (spatial segregation), sebagai salah satu kota peninggalan kolonial (Firman, 2004). Kondisi ini mempolarisasi kelompok-kelompok ekonomi pada wilayah proyek dan meningkatkan kesenjangan kondisi sosial-ekonomi antar warga yang berdekatan (Firman, 2004 ; Leisch 2002). *Diadopsi dari http://www.sappk.itb.ac.id/ppk/index.php?option=com_content&task=view&id=266&Itemid=80 2