GAMBARAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA DI PUSKESMAS MANTRIJERON KOTA YOGYAKARTA1 Suharni2 INTISARI Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui gambaran kejadian stunting di Puskesmas Mantrijeron Kota Yogyakarta. Jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan waktu cross sectional. Variabel yang diteliti adalah kejadian stunting dan karakteristik Balita yang mengalami stunting meliputi: usia, jenis kelamin, berat lahir, asupan nutrisi, pendidikan ibu dan status ekonomi. Populasi dalam penelitian ini adalah Balita dengan sampel balita yang mengalami stunting. Teknik pengambilan sampel menggunakan simple random sampling dengan jumlah 41 balita. Lokasi penelitian di wilayah kerja Puskesmas Mantrijeron dengan 2 Kelurahan yaitu Kelurahan Gedungkiwo dan Kelurahan Suryodiningratan. Instrumen yang digunakan untuk menentukan stunting adalah tabel Z-score. Analsisis data yang dilakukan dengan analisis univariat. Hasil penelitian balita stunting usia paling banyak ≥ 24 – 60 bulan (83%), Jenis kelamin laki- laki 58,8%, Berat lahir normal (2500-4000 gram) 81,4%, mayoritas balita 92,7% diberikan ASI eksklusif, Pendidikan ibu 56,1% tamat SMA, dan 51,2% balita stunting berasal dari keluarga dengan social ekonomi rendah 51,2%. Kata Kunci: Stunting, balita, gizi 1 Judul Penelitian 2 Dosen Prodi DIII Kebidanan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakara PENDAHULUAN Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2013) prevalensi Stunting nasional mencapai 37,2 persen, meningkat dari tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Hal tersebut menunjukkan sekitar 8 juta anak Indonesia mengalami pertumbuhan tidak maksimal. Prevalensi Stunting di Indonesia lebih tinggi daripada negaranegara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%). Indonesia menduduki peringkat ke lima dunia untuk jumlah anak dengan kondisi Stunting. Lebih dari sepertiga anak berusia di bawah lima tahun di Indonesia tingginya berada di bawah rata-rata. Menurut penelitian (Fitri K, 2012) terdapat 4 faktor yang berhubungan dengan terjadinya Stunting yaitu berat lahir, jenis kelamin, wilayah tempat tinggal, dan status ekonomi. Sedangkan yang merupakan faktor risiko determinan terhadap kejadian Stunting adalah pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, tinggi badan ayah, tinggi badan ibu dan pemberian ASI eksklusif (Wahdah, 2012). Hasil penelitian (Picauly & Toy, 2013) menunjukkan bahwa faktor-faktor determinan menyebabkan Stunting adalah faktor pendapatan keluarga, pengetahuan gizi ibu, pola asuh ibu, riwayat infeksi penyakit, riwayat imunisasi, asupan protein dan pendidikan ibu. Siswa yang Stunting lebih banyak memiliki prestasi belajar yang kurang, sementara siswa yang non Stunting lebih banyak memiliki prestasi belajar yang baik. Bidan sebagai tenaga kesehatan dan ujung tombak kesehatan Ibu dan anak mempunyai tugas penting dalam upaya menurunkan AKI dan AKB salah satunya dengan memberikan pendidikan kesehatan, tidak hanya kepada perempuan, namun juga meliputi keluarga dan masyarakat. Kegiatan ini mencakup pendidikan antenatal dan persiapan menjadi orang tua serta dapat meluas pada kesehatan perempuan, kesehatan seksual atau kesehatan reproduksi dan asuhan anak (IBI, 2016). Bidan memberikan pelayanan kebidanan yang berkesinambungan dan paripurna berfokus pada spek pencegahan, promosi kesehatan dengan berlandaskan kemitraan dan pemberdayaan masyarakat. Pemerintah menjabarkan standar profesi Bidan dala KEPMENKES NO: 369 Tahun 2007 tentang standar profesi bidan yang menyebutkan bahwa kompetensi pertaa bidan harus memiliki pengetahuan, keterampilan dari ilmu- ilmu social, kesehatan masyarakat dan etik yang membentuk dasar dari asuhan yang bermutu tinggi sesuai dengan budaya untuk perempuan, bayi baru lahir dan keluarga (Menkes, 2007). Qur’an Surat An- Nisa ayat 9 menyebutkan bahwa: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. QS.4: 09. Berdasarkan ayat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, Orang tua mempunyai tanggung jawab besar untuk membentuk generasi yang berkualitas dengan memberikan yang pola asuh yang baik. Orang tua harus mengoptimalkan proses pertumbuhan dan perkembangan anak, salah satunya dengan memberikan makanan yang bergizi agar dapat mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran kejadian Stunting pada Balita di Puskesmas Mantrijeron Kota Yogyakarta. METODE PENELITIAN Jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan waktu cross sectional. Variabel yang diteliti dlam peneitian adalah karekteriktik balita yang berhubungan dengan stunting meliputi: usia balita, jenis kelamin, berat bayi lahir, asupan nutrisi, pendidikan ibu dan status ekonomi. Populasi penelitian adalah semua balita yang mengalami stunting di Wilayah kerja Puskesmas Mantrijeron dengan jumlah 153 anak. Teknik sampling yang digunakan adalah simple random sampling dengan jumlah 41 anak. Tempat penelitian di 2 Kelurahan di Wilayah Kerja Puskesmas Mantrijeron yaitu Kelurahan Gedongkiwo dan Kelurahan Suryodiningratan. Intrumen yang digunakan menggunakan kuisioner dengan mengadopsi pertanyaan dalam Riset Kesehatan Dasar dan pengukur panjang badan/ tinggi badan serta tabel Z score. Analisis data meliputi ediing, coding, prosessing dan cleaning. Etika penelitian meliputi menjamin kerahasiaan responde dan mendapatkan persetujuan responden. HASIL Tabel 4.2 Variabel Penelitian Variabel Jumlah Persetase Usia Anak < 12 bulan 1 2,4 % 12- 23 bulan 6 14,6% ≥ 24 – 60 bulan 34 83% Total 41 100% Jenis Kelamin Laki- laki 24 58,5% Perempuan 17 41,5% Total 41 100% Berat Bayi Lahir < 2500 gram 5 12,2% 2500- 4000 gram 35 81,4% >4000 gram 1 2,4% Pemberian Nutrisi ASI Ekslusif 38 92,7% Non ASI Ekslusif 3 7,3% Total 41 100% Tingkat Pendidikan Ibu SD 3 7,3% SMP 7 17,1% SMA 23 56,1% Diploma 3 7,3% Perguruan Tinggi 5 12,2% Total 41 100% Status Ekonomi Dibawah UMK 21 51,2% Diatas UMK 20 48,8% Total 41 100% Status Stunting (Z Score) Sangat Pendek (≤ -3SD) 17 41,5% Pendek (≤ -2SD) 24 58,5% Total 41 100% PEMBAHASAN a. Gambaran Usia Balita Stunting Berdasarkan tabel 4.2 anak usia ≥ 24 bulan- 60 bulan paling banyak mengalami stunting. Menurut Soetjiningsih (1995) usia merupakan faktor gizi internal yang menentukan bahwa pada usia dibawah 6 bulan kebanyakan bayi masih dalam keadaan status yang baik sedangkan golongan umur setelah 6 bulan jumlah balita yang berstatus gizi baik tampak jelas menurun sampai 50%. Menurut (Zottare, Sunil, & Rajaram, 2007) usia anak ≥12 bulan lebih banyak mengalami stunting dibandingkan anak usia <12 bulan. Hal tersebut disebabkan karena semakin tinggi usia anak makan akan semakin meningkat kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk pembakaran enegri dalam tubuh. Menurut penelitian Ramli et al (2009) di Provinsi Maluku, Indonesia, prevalensi Stunting anak usia 12 hingga 59 bulan lebih banyak terjadi dibanding usia anak 0- 11 bulan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pertumbuhan anak usia > 2 tahun terjadi tidak secepat pada periode bayi karena laju pertumbuhan anak usia > 2 tahun melambat dan terjadi perubahan bentuk yaitu anak ramping dan lebih berotot (Rudolf & Levene, 2006). Anak usia > 12 bulan menjadi lebih ramping karena ada peningkatan secara bertahap ketebalan lemak pada laki-laki dan perempuan sampai pubertas. Perempuan memiliki kandungan lemak tubuh yang lebih besar daripada laki- laki pada semua tahap pertumbuhan. Kebutuhan energi anakanak ditentukan oleh metabolisme individu basal tingkat, pola aktivitas, dan tingkat pertumbuhan (Boyle & Roth, 2010). b. Gambaran Jenis Kelamin Balita Stunting Sebagian besar anak yang mengalami stunting berjenis kelamin lakilaki 24 (58,5%) dan jumlah anak perempuan yang mengalami stunting sebanyak 17 (41,5%). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Bosch, Baqui & Ginneken, (2008) menyebutkan bahwa kemungkinan Stunting pada masa remaja perempuan adalah sekitar 0,4 kali kemungkinan untuk anak lakilaki, hal tersebut dapat diartikan bahwa anak perempuan di masa remaja sedikit lebih menjadi Stunting daripada anak laki-laki. Perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan mungkin berkaitan dengan efek gabungan dari perbedaan dalam pertumbuhan dan perbedaan potensi dalam konteks kekurangan gizi. Anak perempuan memasuki masa puber dua tahun lebih awal daripada anak laki-laki, pertumbuhan mereka berhenti setidaknya dua tahun lebih dahulu dari anak laki-laki, dan dua tahun juga merupakan selisih di puncak kecepatan tinggi antara kedua jenis kelamin. Berbeda dengan pendapat (Soetjiningsih, 1995) yang menyatakan bahwa Pada masyarakat tradisional, perempuan jelas mempunyai status lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak laki- laki sehingga angka kematian bayi dan malnutrisi masih tinggi pada perempuan. Jenis kelamin menentukan pula besar kecilnya kebutuhan gizi bagi seseorang. Laki- laki lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan protein dibandingkan perempuan. Laki- laki lebih sanggup mengerjakan pekerjaan berat yang biasanya tidak biasa dilakukan oleh perempuan. Tetapi dalam kebutuhan zat besi, perempuan jelas membutuhkan lebih banyak daripada laki- laki. Anak laki-laki lebih sering sakit dibandingkan anak perempuan tetapi belum diketahui secara pasti kenapa demikian. c. Gambaran Berat Bayi Lahir Balita Stunting Berdasarkan tabel 4.2 terdapat 35 (81,4%) anak yang mengalami stunting lahir dengan berat badan normal (2500- 4000 gram) dan 1 (2,4%) lahir dengan BBL > 4000 gram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi dengan berat badan normal lebih banyak mengalami stunting, hal tersebut dikarenakan pada lokasi penelitian, peneliti tidak banyak menemukan anak dengan riwayat BBLR. Terdapat 5 (12,2%) anak stunting dengan riwayat BBLR (BBL < 2500 gram). Menurut Podja & Kelley (2000) bayi lahir dengan berat lahir rendah beresiko lebih tinggi terhadap morbiditas, kematian, penyakit infeksi, kekurangan berat badan, Stunting di awal periode neonatal sampai masa kanak-kanak. Bayi dengan berat lahir 2000-2499 gr 4 kali beresiko meninggal 28 hari pertama hidup daripada bayi dengan berat 2500- 2999 gr, dan 10 kali lebih beresiko dibandingkan bayi dengan berat 3000 - 3499 gr. Berat lahir rendah berkaitan dengan gangguan fungsi kekebalan tubuh, perkembangan kognitif yang buruk, dan beresiko tinggi terjadinya diare akut atau pneumonia. Bukti menunjukkan bahwa orang dewasa yang lahir dengan berat lahir rendah menghadapi peningkatan risiko penyakit kronis termasuk tekanan darah tinggi, diabetes mellitus, penyakit jantung koroner dan stroke di masa dewasa. Menurut Awwal et al (2004) berat lahir merupakan indikator kelangsungan perkembangan hidup, pertumbuhan, psikososial. Berat kesehatan lahir juga jangka panjang mencerminkan dan kualitas perkembangan intra uterin dan pelayanan kesehatan yang diterima oleh ibu selama hamil. Berat lahir juga indikator potensial untuk pertumbuhan bayi, respon terhadap rangsangan lingkungan, dan untuk bayi bertahan hidup. Berat lahir rendah membawa risiko 10 kali lipat lebih tinggi dari kematian neonatal dibandingkan dengan bayi baru lahir beratnya 3 sampai 3,5 kg (Schanler, 2003). d. Gambaran Pemberian Nutrisi Balita Stunting Tabel 4.2 menggambarkan mayoritas ibu 38 (92,7%) memberikan ASI ekslusif selama 6 bulan tanpa pemberian makanan tambahan, dan hanya 3 (7,3%) ibu menyatakan tidak memberikan ASI Eksklusif. Penelitian sebelumnya didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan signifikan antara pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan dengan kejadian stunting pada usia 6-12 bulan. Namun bayi yang tidak diberi ASI eksklusif memiliki risiko 1,3 kali lebih besar untuk mengalami stunting pada usia 6-12 bulan dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI eksklusif (Rahayu & Sofyaningsih, 2011). Responden penelitian terbanyak pada kelompok usia ≥ 24 bulan yaitu 34 (81%), pada kelompok usia diatas 2 tahun asupan nutrisi anak lebih beragam. Pola asuh orang tua terutama pemenuhan nutrisi pada anak sangat berpengaruh terhadap status gizinya, pada usia diatas 2 tahun anak sudah mengenal beragam jenis makanan termasuk jajajan atau makan sampah (junk food) yaitu makanan yang tidak mengandung aupan gizi yang dibutuhkan anak. Kecukupan asupan nutrisi pada ada juga dipengaruhi oleh proses pengolahan makanan. Proses memasak yang salah akan menyebabkan zat gizi yang dikandung dalam makanan rusak. Menurut Almatsier (2004) stunting disebabkan oleh faktor primer dan sekunder. Faktor primer terjadi karena kurangnya konsumsi makanan secara kuantitas maupun kualitas. Faktor sekunder adalah semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi yang telah dikonsumsi tidak sampai ke dalam sel tubuh, misalnya penyakit infeksi, atau karena zat gizi telah rusak akibat pengolahan makanan yang tidak tepat. Status gizi ibu sangat berpengaruh terhadap kejadian stunting. Ibu yang mengalami gizi kurang atau gizi buruk ketika hamil akan meningkatkan risiko kegagalan pertumbuhan intrauterine. Pertumbuhan janin kurang memadai selama dalam kandungan akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan anak yang lebih rendah sehingga dapat menyebabkan stunting pada anak Black et al. (2008). Hasil penelitian (Lestari, Margawati, & Rahfiludin, 2014) menunjukkan bahwa anak yang tidak diberi ASI eksklusif memiliki resiko sebanyak 6,54 kali lebih besar mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang diberi ASI eksklusif. Penelitian (Solomon A & Zemene T, 2008) menyebutkan bahwa bahwa anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif akan 3,2 kali menderita gizi buruk. e. Gambaran Tingkat Pendidikan Ibu Balita Stunting Berdasarkan tabel 4.2 mayortas ibu berpendidikan tinggi (tamat SMA sebanyak 56,1%, Diploma 7,3%, PT 12,25) dan ibu dengan pendidikan dasar (tamat SD 3 7,3% serta 7 ibu tamat SMP 17,1%). Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar ibu dengan anak stunting berpendidikan tinggi. Ibu yang menempuh pendidikan dasar yaitu tamat SMP tidak serta merta menentukan status stunting pada anak. Namun penelitian terdahulu menunjukkan bahwa prevalensi balita Stunting meningkat dengan rendahnya tingkat pendidikan (Zottarelli, et al 2007). Tingkat pendidikan ibu dan ayah yang rendah masing-masing prevalensi stunting adalag 22,56% dan 23,26% dibandingkan dengan 13,81% dan 12,53% pada ibu dan ayah dengan pendidikan yang tinggi. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan adanya hubungan tingkat pendidikan ibu dengan Stunting pada anak dibawah lima tahun di Bangladesh (p<0.05) (Rayhan & Khan, 2006). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Astari, Nasoetion & Dwiriani (2006) menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu pada kedua kelompok (Stunting dan normal) sebagian besar (> 50%) adalah tamat SD. Secara statistik terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) tingkat pendidikan ibu antara kelompok Stunting dan kelompok normal. Secara biologis ibu adalah sumber hidup anak. Tingkat pendidikan ibu banyak menentukan sikap dan menghadapi berbagai masalah, misal memintakan vaksinasi untuk anaknya, memberikan oralit waktu diare, atau kesediaan menjadi peserta KB. Anakanak dari ibu yang mempunyai latar pendidikan lebih tinggi akan mendapat kesempatan hidup serta tumbuh lebih baik. Keterbukaan mereka untuk menerima perubahan atau hal baru guna pemeliharaan kesehatan anak maupun salah satu penjelasannya. Tingkat Pendidikan Ibu Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan dan gizi anak-anak dan keluarganya. Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada faktor sosial ekonomi lainya seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup, makanan, perumahan dan tempat tinggal. Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Suhardjo, 2003). Penelitian Semba et al. (2008) melaporkan bahwa tingkat pendidikan ibu secara signifikan berkaitan dengan status gizi anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi akan berdampak pada pola asuh yang diberikan kepada anak. Peningkatan pendidikan ibu secara signifikan berkaitan dengan penurunan kejadian stunting pada anak balita. f. Gambaran Status Ekonomi Keluarga Balita Stunting Tabel 4.2 menunjukkan bahwa sebanyak 21 (51,2%) ibu menyatakan keluarga memiliki pendapatan diawah UMK, dan 20 (48,8%) ibu menyatakan pendapatan keluarga diatas UMK. Hal tersebut menunjukkan bahwa kasus stunting lebih banyak ditemukan pada keluarga dengan status ekonomi rendah. Hal tersebut berkaitan dengan kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan gizi anak sehingga meningkatkan resiko kekurangan gizi pada anak. Menurut WHO (2010) kekurangan gizi merupakan bagian dari lingkaran yang meliputi kemiskinan dan penyakit. Ketiga faktor ini saling terkait sehingga masing-masing memberikan kontribusi terhadap yang lain. Perubahan sosial-ekonomi dan politik yang meningkatkan kesehatan dan gizi dapat mematahkan siklus; karena dapat gizi tertentu dan intervensi kesehatan. Kekurangan gizi mengacu pada sejumlah penyakit, masing-masing berhubungan dengan satu atau lebih zat gizi, misalnya protein, yodium, vitamin A atau zat besi. Ketidakseimbangan ini meliputi asupan yang tidak memadai dan berlebihan asupan energi, yang pertama menuju kekurangan berat badan, Stunting dan kurus, dan yang terakhir mengakibatkan kelebihan berat badan dan obesitas. Stunting mencerminkan proses kegagalan untuk mencapai potensi pertumbuhan linier sebagai hasil dari kesehatan dan atau kondisi gizi. Pada dasarnya, tingkat Stunting yang tinggi berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah dan peningkatan risiko bertambah dengan adanya penyakit dan atau praktik pemberian makan yang tidak tepat. Prevalensi Stunting mulai naik pada usia sekitar 3 bulan, proses dari terhambatnya pertumbuhan melambat sekitar usia 3 tahun (Semba & Bloem, 2001). Menurut penelitian Semba et al (2008) di Indonesia prevalensi Stunting berdasarkan pengeluaran per kapita berkisar antara 30.9% sampai 37,6%. Stunting berhubungan dengan rendahnya pengeluaran per kapita keluarga. Senada dengan penelitian Riyadi et al. (2006), Zottareli et al. (2007), Salimar (2009), dan Aditianti (2010) yang menyatakan bahwa tingkat ekonomi berpengaruh signifikan terhadap Stunting pada balita. Atau, status sosial ekonomi dapat mendeterminasi kejadian Stunting pada anak. SIMPULAN 1. Usia balita stunting mayoritas terjadi pada usia ≥ 24 – 60 bulan (83%), dan 2,4% terjadi pada usia < 12 bulan. 2. Jenis Kelamin balita stunting lebih banyak terjadi pada anak laki- laki (58,5%), anak perempuan 41,5%. 3. Berat lahir balita stunting sebagian besar lahir dnegan Berat badan normal (2500- 4000 gram) sebanyak 81,4%. 4. Pemberian nutrisi balita stunting sebagian besar diberikan ASI ekslusif (92,7%). 5. Pendidikan Ibu balita stunting sebagian besar ibu berpendidikan tamat SMA (56,1%). 6. Sosial Ekonomi Keluarga balita stunting dengan pengasilan keluarga dibawah Upah Minimum Kota Yogyakarta sebanyak 51,2%. SARAN 1. Bagi Ibu dan Keluarga Diharapkan ibu dan keluarga dapat menerapkan pola asuh yang tepat seperti dalam penyajian menu makan pada anak dengan memperhatikan asuhan gizi seimbang, sehingga dapat memberbaiki asupan nutrisi yang didapat anak. 2. Bagi Kader Diharapkan hasil penelitian ini kader dapat melakukan deteksi kasus stunting dengan memasukkan hasil pemantauan tinggi badan/ usia anak dalam tabel z score yang tersedia dalam buku KIA, yang selama ini beum dilakukan oleh kader. 3. Bagi Bidan Diharapkan dari hasil penelitian ini bidan dapat selalu memberikan KIE pada kader, ibu serta keluarga akan pentingnya pemantauan pertumbuhan yaitu panjang badan/ tinggi badan anak sebagai salah satu indikator kecukupan gizi yang mempengaruhi kualitas hidup anak mendatang. 4. Bagi Ahli Gizi Diharapkan dari hasil penelitian ini ahli gizi dapat meningkatkan kualitas pelayanan terutama dalam KIE gizi sejak ibu hamil, hingga anak usia 6 tahun. Pada kasus stunting diharapkan ahli gizi dapat lebih meningkatkan pemantauan dalam pemberian gizi pada anak stunting 5. Bagi Puskesmas Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk menentukan startegi dalam mendeteksi dan penatalaksanaan kasus stunting. Perlu ditingkatkannya kualitas pemantauan tumbuh kembang pada kader untuk melakukukan deteksi dini masalah KIA terutama deteksi dini stunting, atau masalah KIA lain. Perlunya penningkatan kualitas dan kuantitas kelas ibu balita. Peningkatan pemanfaatan buku KIA dapat ditingkatkan sebagai upaya menambah pengetahuan ibu dan kader dalam deteksi dini masalah KIA seperti stunting. 6. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya diharapkan untuk melakukan penelitian dengan menghubungkan variabel yang berhubungan dengan stunting, desain penelitian dengan kohort, dan jumlah sampel yang lebih banyak. DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S, 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Astri LD, Nasution A, & Dwiriani CM. 2006. Hubungan konsumsi ASI dan MPASI serta kejadian stunting anak usia 6-12 bulan Di Kabupaten Bogor. Media Gizi dan Keluarga, 30(1), 15—23. Awwal, et al. (2004). Nutrition the Foundation of Health and Development. Massline Printers 1/15. Humayun Road, Mohammadpur, Dhaka Black et al. (2008). Maternal And Child Undernutrition: Global And Regional Exposures And Health Consequences. The Lancet Series. www.thelancet.com Bosch A, B , Baqui, A. H. & Ginneken, J. K .(2008). Early-life Determinants of Stunted Adolescent Girls and Boys in Matlab, Bangladesh. International Centre For Diarrhoeal Disease Resear000ch, Bangladesh. 2 : 189 – 199 Boyle, M. A. & Roth, S. L. (2010). Personal Nutrition, Seventh Edition. Wadsworth Cengage Learning, USA Fitri K. (2012). Berat Lahir Sbg Faktor Dominan Stunting Pada Balita (12–59 Bulan) Di Sumatera (RKD, 2010). IBI. (2016). Ikatan Bidan Indonesia. Jakarta. Lestari, W., Margawati, A., & Rahfiludin, M. Z. (2014). Faktor risiko stunting pada anak umur 6-24 bulan di kecamatan Penanggalan kota Subulussalam provinsi Aceh. Jurnal Gizi Indonesia, 3(1), 126–134. Menkes. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 369/Menkes/Sk/Iii/2007 Tentang Standar Profesi Bidan, Pub. L. No. 369/MENKES/SK/III/2007 (2007). Indonesia. Rahayu, L. S., & Sofyaningsih, M. (2011). Pengaruh bblr (berat badan lahir rendah) dan pemberian asi eksklusif terhadap perubahan status. In Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia (pp. 160– 169). Rayhan, M.I & Khan, MSH. (2006). Factors Causing Malnutrion Among Under Five Children In Bangladesh. Pakistan Journal Nutrition 5 (6): 558-562. Picauly, I., & Toy, S. M. (2013). Analisis Determinan Dan Pengaruh Stunting Terhadap Prestasi Belajar Anak Sekolah Di Kupang Dan Sumba Timur , Ntt. Gizi Dan Pangan, 8(1), 55–62. Podja, J. & Kelley, L. (2000). Low Birthweight − Nutrition Policy Discussion Paper No. 18. United Nations Administrative Committee on Coordination Sub−Committee on Nutrition Nutrition Policy Paper No. 18. September 2000 Rahayu, L. S., & Sofyaningsih, M. (2011). Pengaruh bblr (berat badan lahir rendah) dan pemberian asi eksklusif terhadap perubahan status. In Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia (pp. 160– 169). Ramli, et al. (2009). Prevalence And Risk Factor For Stunting And Severe Stunting Among Under Fives In North Maluku Province Of Indonesia. BMC Pediatrics Schanler, R. J. (2003). The Low Birth Weight Infant. Nutrition In Pediatrics Basic Science And Clinical Applications. Walker, W. A., Watkins, J. B & Duggan, C. (Ed). BC Decker Inc, Hamilton, London. Semba (2008). Effect Parental Formal Education On Risk Of Child Stunting In Indonesia And Bangladesh : A Cross Sectional Study. 371 : 322 - 328. www.thelancet.com. Soetjiningsih. (1995). Tumbuh Kembang Anak. Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta Solomon A, & Zemene T. (2008). Risk factors for severe acute malnutrition in children under the age of five: a case-control study. Ethiopian Journal of Health Development, 22(1). https://doi.org/10.4314/ejhd.v22i1.10058 Suhardjo. (2003). Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara Wahdah, S dan Siti. 2012. Faktor Risiko Kejadian Stunting pada anak Umur 6-36 Bulan di Wilayah Pedalaman Kecamatan Silat Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta WHO (2010). WHO Anthro for Personal Computers Manual, Software For Assessing Growth And Development Of The World's Children. Department of Nutrition for Health and Development, Geneva. Zottare, Sunil, & Rajaram. (2007). Influence of parenteral and socio economic factors on stunting in children under 5 years in Egypt. La Revue de Santela de La Mediterranee Orien- Tale, 13(6), 133(6).