I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi hepatitis B

advertisement
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi hepatitis B merupakan salah satu masalah utama kesehatan dunia.
Penyakit ini menjadi penyebab kematian ke-10 dan menginfeksi lebih dari dua
milyar orang. Hepatitis B Virus (HBV) kronis menginfeksi 350 juta orang. Satu
hingga dua juta jiwa tiap tahunnya meninggal akibat kanker hati yang diakibatkan
virus HBV (Nguyen dan Dare, 2008). HBV berbahaya karena mengakibatkan
hepatitis kronis, cirrhosis, dan hepatocellular carcinoma (Lee, 1997). Asia Pasifik
(kecuali Jepang, Australia, dan Selandia Baru) dan Afrika adalah daerah endemik
HBV dengan prevalensi infeksi sebesar 40% (Nguyen dan Dare, 2008). Infeksi
HBV adalah penyebab utama kematian di negara-negara anggota South East
Asian Region (SEAR) WHO (Maroof dkk., 2012).
Status HBV menjadi perhatian khusus di Indonesia. Endemisitas infeksi
HBV di Indonesia tergolong menengah hingga tinggi (Utsumi dkk., 2010).
Indonesia merupakan negara dengan pengidap infeksi HBV nomor dua di antara
negara anggota SEAR WHO setelah Myanmar.Sebanyak 23 juta jiwa di Indonesia
telah terinfeksi HBV(Kemenkes, 2012). Tingkat karier HBV pada masyarakat
umum di Indonesia mencapai 5-20% (Utsumi dkk., 2010). Menurut hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, hasil pemeriksaan biomedis 10.391
sampel serum, 9,4% diantaranya positif HBsAg, penelitian tersebut menunjukkan
setiap 1 dari 10 orang penduduk Indonesia terkena infeksi HBV (Kemenkes,
2012).
2
Darah dan produknya merupakan alat transmisi HBV dalam praktik
kedokteran (Shepard dkk., 2006). Persebaran HBV di negara anggota SEAR
WHO banyak terjadi melalui transfusi darah dan prosedur infasif medis, seperti
jarum suntik (Maroof dkk., 2012). Transmisi vertikal terjadi melalui kontak
seksual, kontak sehari-hari dalam rumah tangga, atau prosedur penyuntikan yang
tidak steril (Vadivale dkk., 1992).
HBsAg ditemukan dalam saliva penderita hepatitis B melalui
pemeriksaan serologis. Saliva dapat terkontaminasi HBV dari perdarahan yang
terjadi di dalam rongga mulut selama prosedur perawatan dental. Dokter gigi yang
setiap hari berkontak dengan darah dan saliva memiliki resiko tinggi terinfeksi
HBV. Konsentrasi HBsAg terbesar berada di sulkus gingiva dengan proporsi 90%
(Lesmana dan Rahardjo, 1994).
Setiap tahun terjadi 66.000 kasus infeksi HBV yang terjadi pada pertugas
kesehatan yang disebabkan oleh luka tusukan jarum yang terkontaminasi darah
penderita infeksi HBV. Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
melaporkan dari 360 orang praktisi kesehatan yang mengalami luka dalam praktik
terdiri dari 36% dokter gigi, 34% ahli bedah mulut, 22% perawat gigi, dan 4%
mahasiswa kedokteran gigi (Wicker dan Rabenau, 2011).
Penularan infeksi HBV di kedokteran gigi terjadi dengan arah horizontal,
yaitu antara pasien dengan dokter gigi atau antara pasien dengan pasien lewat
instrument perawatan yang digunakan. Penularan secara vertikal juga dapat terjadi
dari dokter gigi yang terinfeksi ke anaknya melalui hubungan kontak yang erat
(Cottone dkk., 1998).
3
Penelitian Pedersen dkk. (1996) melaporkan bahwa dari 8 kasus dokter
gigi yang terinfeksi HBV, satu dokter gigi menularkan HBV ke 55 pasiennya.
Resiko terkena infeksi HBV pada dokter lebih tinggi dari pada masyarakat umum.
Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa resiko paparan HBV pada
dokter gigi tiga hingga empat kali lebih tinggi. Resiko dokter spesialis bedah
mulut yang belum mendapat imunisasi enam kali lebih tinggi daripada dokter gigi
umum (Cottone dan Mollinari, 1989).
Mahasiswa kepaniteraan dan dokter gigi yang bekerja di klinik memiliki
resiko yang tinggi terkena luka tusukan jarum atau instrumen tajam yang
terkontaminasi. Cedera dalam klinik seperti ini biasanya terjadi karena
pengalaman praktik yang kurang. Luka tusukan yang sering terjadi selama masa
pendidikan dokter gigi dan dokter gigi spesialis menempatkan mereka rentan
terhadap infeksi hepatitis B. Occupational exposure selama masa pendidikan
dokter dan dokter gigi mencapai 11-50% dari jumlah mahasiswa. Walaupun sudah
ada himbauan untuk imunisasi hepatitis B sebelum menempuh pendidikan di
bidang kesehatan, namun tidak semua mahasiswa melakukannya (Cervini dan
Chairn dkk., 2005).
Penelitian Reddy dkk. (2011) menunjukkan tidak ada perbedaan yang
signifikan antara pengetahuan residen dan mahasiswa kepaniteraan. Perbedaan
yang signifikan terlihat pada perilaku pencegahan yang dilakukan. Residen
memiliki perilaku pencegahan yang lebih baik daripada mahasiswa kepaniteraan.
Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Singh dkk. (2011)
yang menyatakan bahwa mahasiswa kepaniteraan memiliki pengetahuan lebih
4
tinggi tentang hepatitis B. Hal ini dapat terjadi karena semakin tinggi tingkat
pendidikan dan karena kesibukan berpraktik, dokter gigi lupa akan materi yang
pernah diajarkan selama masa pendidikan strata satu.
Penelitian Abdal dan Al-Mousa (2013) tentang tingkat pengetahuan,
sikap dan perilaku dokter gigi di Kuwait menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan
tentang hepatitis B tidak terkait dengan tingkat pendidikan. Belum tentu mereka
yang lebih senior dan memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki
pengetahuan yang tinggi pula tentang hepatitis B. Tingkat pengetahuan tentang
hepatitis B pada dokter gigi memiliki kaitan dengan lama berpraktik.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa tenaga kesehatan gigi yang
bekerja di klinik kedokteran gigi memiliki resiko yang tinggi terhadap infeksi
HBV. Residen dan mahasiswa kepaniteraan yang sedang menjalani pendidikan
profesi termasuk dalam golongan yang memiliki resiko tinggi karena
occupational exposure selama masa pendidikan. Hal tersebut melatar belakangi
penulis untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan perilaku mahasiswa
kepaniteraan dan residen di RSGM Prof. Soedomo tentang infeksi hepatitis B
dalam praktik dokter gigi. Pengetahuan dan perilaku yang tinggi akan mencegah
terjadinya persebaran HBV di klinik serta mengurangi angka penderita infeksi
hepatitis B di Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka diperoleh perumusan masalah
sebagai berikut: Apakah ada perbedaan pengetahuan dan perilaku tentang infeksi
5
hepatitis B dalam praktik kedokteran gigi antara mahasiswa kepaniteraan dengan
residen di RSGM Prof. Soedomo?
C. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai pengetahuan dan perilaku tentang resiko infeksi
hepatitis B terhadap mahasiswa kedokteran gigi di fakultas kedokteran gigi swasta
di India telah dilakukan oleh Saini dkk. (2010). Penelitian tersebut dilakukan pada
mahasiswa kedokteran gigi tahun pertama sampai keempat yang belum berpraktik
dalam klinik tanpa ada kelompok pembanding berbeda dengan penelitian ini yang
menggunakan mahasiswa kepaniteraan dan residen sebagai subjek penelitian.
Di Indonesia telah dilakukan penelitian sejenis oleh Vioriesca (2013)
mengenai tingkat pengetahuan mahasiswa fakultas kedokteran gigi Universitas
Sumatra Utara tahun 2010 tentang penularan dan pencegahan infeksi hepatitis B.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada subjek dan
lokasi dilakukannya penelitian. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran tingkat
pengetahuan dan perilaku tentang infeksi hepatitis B dalam praktik kedokteran
gigi pada mahasiswa kepaniteraan dan residen di RSGM Prof. Soedomo,
Yogyakarta.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan
dan perilaku tentang infeksi hepatitis B dalam praktik kedokteran gigi antara
mahasiswa kepaniteraan dan residen di RSGM Prof. Soedomo.
6
E. Manfaat Penelitian
1. Sebagai referensi bagi pendidikan kedokteran gigi untuk membuat
perencanaan program edukasi terkait Universal Precaution (kewaspadaan
universal) dalam praktik di klinik kedokteran gigi.
2. Masukan bagi RSGM sebagai provider safety untuk merencanakan program
penyuluhan mengenai resiko hepatitis B serta tindakan pencegahan dalam
klinik kedokteran gigi.
Download