Harmonisasi Data Produksi dan Pemanfaatan Padi, Jagung, dan Kedelai di Tingkat Propinsi: Kasus Jawa Barat Badan Litbang Pertanian yang diwakili oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian bersama Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat, BKPD Jawa Barat dan BPS menyelenggarakan FGD Harmonisasi data produksi dan pemanfaatan Padi, jagung, kedelai (Pajale) di tingkat propinsi Jawa Barat. Focus Group Discussion tingkat propinsi ini dilakukan dengan tujuan untuk mendalami isu dan permasalahan konsistensi data padi, jagung, dan kedelai pada level propinsi dan meningkatkan kesadaran daerah akan perlunya pengumpulan, penghitungan, dan penyajian data pangan secara akurat. Jawa Barat merupakan provinsi penyumbang produksi pertanian pangan yang besar. Tahun 2013, produksi Padi di Jawa Barat mencapai 12,08 juta ton, atau menyumbang sekitar 16,95% terhadap produksi nasional, yang menjadikan Jawa Barat sebagai provinsi penyumbang produksi padi nasional terbesar . Pada tahun 2015 sasaran produksi padi sebesar 11,96 juta ton, dengan sasaran laju pertumbuhan sampai tahun 2018 sebesar 3% per tahun. Namun demikian, sebagai konsekuensi dari implementasi program Upaya Khusus peningkatan produksi padi nasional, sasaran produksi padi Jawa Barat tahun 2015 dinaikkan menjadi sebesar 13,25 juta ton. Produksi jagung di Jawa Barat pada tahun 2013 adalah 1.101.998 ton, atau menyumbang 5,95 % terhadap produksi nasional. Pada tahun yang sama produksi kedelai di propinsi ini sebesar 51 ribu ton, atau menyumbang 6,56% dari produksi kedelai nasional. Sasaran laju pertumbuhan produksi jagung dan kedelai sampai tahun 2018 masing-masing sebesar 5% dan 3% per tahun. Guna mencapai sasaran produksi Pajale dan pemanfaatan produksi Pajale tersebut diperlukan keakuratan pengukuran data. Akan tetapi di lapangan terdapat beberapa hal yang menjadi kendala. Kendala yang terjadi saat ini adalah pendataan produksi di lapangan terdapat beberapa data yang berbeda, hal ini dikarenakan perbedaan cara pengambilan data; Pengukuran data produksi padi, jagung, dan kedelai di lapangan dilakukan oleh Kantor Statistik Kecamatan (KSK) bersama Kantor Cabang Dinas (KCD) menggunakan Metode pengukuran produktivitas tanaman menggunakan metode pengukuran ubinan, dan KCD sendiri melakukan dengan metode pengukuran luas tanam. Petugas TNI yang ditugaskan dalam pelaksanaan Upsus Pajale juga menggunakan pengambilan data yang berbeda. Sehingga hal ini memunculkan disharmoni data. Beberapa hal yang mempengaruhi akurasi data produksi Pajale di Jawa Barat, antara lain adalah: (a) Keakurasian luas baku sawah; (b) besaran angka konversi sawah dan lahan pertanian pangan; (c) ketepatan sistem ubinan untuk mengukur produtivitas di lapangan, terutama yang disebabkan oleh variasi jarak dan pola tanam pada suatu hamparan lahan tertentu; (d) ketelitian dan kompetensi petugas danam mengestimasi luas tanam dan luas panen; dan (e) tidak lengkapnya data ubinan dan data luas tanam, sehingga masih diperlukan estimasi data. Kesulitan yang ditemukan dalam penyusunan Neraca Bahan Makanan (NBM) untuk padi/beras, jagung, dan kedelai antara lain karena belum tersedianya data secara akurat atau belum dipebaharui untuk beberapa variabel berikut: (a) Jumlah stok yang dimiliki petani, perusahaan penggilingan padi, pedagang, dan masyarakat konsumen; (b) angka kehilangan hasil saat panen dan pasca panen; (c) volume pengunaan bibit yang digunakan petani, terutama untuk bibit jagung dan kedelai; (d) rendemen dan angka konversi padi, jagung, dan kedelai; (e) angka konsumsi per kapita tingkat provinsi; dan (f) besaran pemanfaatan jagung dan kedelai (bungkil) untuk industri pangan dan non pangan, industri pakan, dan usaha perunggasan. Ketidak konsitenan data produksi Pajale ini menegaskan perlunya dengan segera menyempurnakan metode pengumpulan data luas tanam, luas panen, dan produktivitas pangan di lapangan; metode penghitungan jumlah ketersediaan pangan (termasuk konversi, kehilangan hasil, dll); dan metoda penghitungan pemanfaatan pangan untuk konsumsi, bahan baku industi pangan dan non pangan, serta bahan baku industri pakan. Upaya lain yang perlu dilakukan yakni: a) Pendataan stok beras yang ada pada pemerintah (Bulog), pemerintah daerah, penggilingan beras, pedagang beras, rumahtangga, dan lumbung pangan masyarakat; sebagai crosscheck angka surplus beras; b) Pendataan usaha perunggasan dan industri pakan berbasis jagung untuk mengetahui kebutuhan jagung yang lebih riil. Data nasional menunjukkan bahwa sebagian besar jagung digunakan untuk bahan baku industri pakan (44%), pakan langsung (22%), dan bahan baku industri makanan (25%). Untuk itu perlu pemetaan sentra produksi jagung dan penyebaran usaha/entitas industri pakan dan perunggasan; c) Pemetaan industri/pengrajin tahu, tempe, tauco, kecap dan industri berbasis kedelai lainnya. Konsumsi kedelai secara langsung di tingkat rumahtangga di propinsi ini sangat kecil; d) Data konsumsi per kapita beras, jagung, dan kedelai di tingkat propinsi dan kabupaten/kota diperlukan sebagai bahan perencanaan dalam rangka meningkatkan produksi pangan dan pencapaian ketahanan pangan di daerah tersebut. Sehubungan dengan itu, Badan Ketahanan Pangan sebaiknya mengembangkan metoda penghitungan tersebut yang dapat diaplikasikan pada tingkat propinsi dan kabupaten/kota, serta data tersebut konsisten bila diakumulaskan ke tingkat di atasnya sampai tingkat nasional; e) Dalam upaya meningkatkan kualitas data mulai dari tingkat terbawah perlu diupayakan peningkatan jumlah petugas pengumpul data statistik yang bertugas di KCD dan KSK, peningkatan kapasitas dan kompetensi petugas untuk pengumpulan secara terus menerus untuk mengatasi tingginya tingkat mutasi, dan pemutakhiran metoda dan alat pengukuran data di lapangan.