NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN BURNOUT PADA RELAWAN KORBAN BENCANA ALAM Oleh : HUTFI SEKARDHINI Hj. RATNA SYIFA’A RAHMAHANA FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA PROGRAM STUDI PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007 NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN BURNOUT PADA RELAWAN KORBAN BENCANA ALAM Telah Disetujui Pada Tanggal -------------------------------------- Dosen Pembimbing (Hj. Ratna Syifa’a Rahmahana, S. Psi, M.si, Psikolog) HUBUNGAN ANTARA EMPATI DAN BURNOUT PADA RELAWAN KORBAN BENCANA ALAM Hutfi Sekardhini Hj. Ratna Syifa’a Rahmahana, S. Psi, M.si, Psikolog INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan negatif antara Empati dengan Burnout pada relawan korban bencana alam. Dugaan awal yang diajukan adalah ada hubungan negatif antara Empati dengan Burnout pada relawan korban bencana alam. Semakin tinggi tingkat Burnout yang dialami oleh seseorang maka semakin rendah tingkat Empati yang dimiliki orang tersebut, sebaliknya semakin rendah tingkat Burnout yang dialami oleh seseorang, maka semakin tinggi tingkat Empati yang dimilikinya. Subyek dalam penelitian ini adalah para relawan yang tergabung dalam organisasi pecinta alam MAPALA UNISI Universitas Islam Indonesia baik yang masih aktif menjadi mahasiswa UII maupun yang sudah tidak aktif menjadi mahasiswa (alumni mahasiswa UII), yang menjadi relawan di Nanggroe Aceh Darussalam dan di kawasan DIY dan Jateng, tanpa spesifikasi jenis kelamin dan rentang usia, yang murni bekerja secara sukarela dan tidak tergabung dalam organisasi ataupun LSM yang menerima upah atau gaji. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah menggunakan angket (kuisioner). Adapun skala yang digunakan adalah skala Burnout yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan 3 dimensi Burnout dari Maslach dan Jackson (1982) yang meliputi Emotional Exhaustion (kelelahan emosional), Depersonalization (depersonalisasi), dan Low Personal Accomplishment (penurunan penghargaan diri sendiri) yang berjumlah 32 aitem, dan Skala Empati yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori Davis (1983) yang terdiri dari dua ketegori yaitu komponen Kognitif yang meliputi aspek Perspective Taking (PT) dan aspek Fantasy (FS), dan komponen Afektif meliputi aspek Empathic Concern (EC) dan aspek Personal Distress (PD), yang berjumlah 21 aitem. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas komputer program SPSS for windows versi 11.0 untuk menguji apakah ada hubungan antara Empati dengan Burnout. Angka koefisien korelasi Product Moment dari Pearson menunjukkan korelasi sebesar rxy = - 0,362; p = 0,016 (p<0,05) yang menunjukkan hubungan antara dua variabel tersebut terbukti. Oleh karena itu, hipotesis yang berbunyi ada hubungan negatif antara Empati dengan Burnout pada relawan korban bencana alam adalah diterima. Kata Kunci : Burnout, Empati, Relawan. I. Pengantar Bencana alam merupakan sebuah fenomena alami dan di luar kemampuan manusia, baik untuk memprediksi maupun melawannya. Manusia sampai detik ini tidak bisa memperkirakan dengan tepat kapan bencana alam akan terjadi. Selain itu, manusia juga belum mampu membuat konstruksi bangunan yang dijamin seratus persen mampu bertahan melawan bencana alam. Di pihak lain, kita tidak boleh melupakan fakta bahwa alam semesta merupakan karunia terbesar yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manusia, kita tidak boleh melupakan nikmat Allah SWT tersebut hanya karena terjadinya beberapa bencana alam. Diberitakan dalam Aceh Media Center, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Alwi shihab mengatakan : “ dari hasil rapat evaluasi harian tim penanggulangan bencana Aceh, hingga kini tingkat semangat relawan sudah mulai menurun, karena faktor kelelahan sejak sebulan lalu. Bahkan tidak sedikit relawan yang sudah menarik para relawannya untuk dipulangkan ke daerah asal karena alasan yang sama. “ Sementara itu ketua FPI, Habib Ridzieq, mengakui kejenuhan memang dirasakan oleh semua relawan. Dari 1.300 relawan FPI yang ada di Aceh sejak sebulan lalu, kini hanya tinggal 700 personel, selebihnya sudah dipulangkan karena faktor kelelahan dan menurunnya kondisi kesehatan. (Aceh Media Center, 03/02/05). Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar tersebut mengakibatkan relawan mudah merasa tertekan dan akhirnya mengalami stres. Bila stres menyerang individu terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama dan individu itu tidak segera mengatasinya, maka akan timbul gejala melemahnya fisik dan psikis. Menurut teori yang dilambangkan oleh Selye (Sulistyantini, 1997) tubuh manusia tidak dapat secara cepat membangun kemampuan untuk mengatasi stres. Akibatnya individu mengalami melemahnya fisik dan psikis dalam usahanya melawan stres tersebut. Kondisi seperti ini disebut Burnout, yaitu kelelahan emosi yang berlebihan, merasa terpisah dari pekerjaan, dan merasa tidak mampu mencapai tujuan. Beberapa pekerjaan menolong orang lain seperti konselor, petugas kesehatan, pekerja sosial (relawan), dan pekerjaan lain memiliki intensitas stres yang tinggi dan cenderung lebih mudah terkena Burnout. Hendri Satrio yang mengkoordinir relawan yang tergabung dari Sampoerna Foundation Student Club (SFSC) mengemukakan : "Jangan pernah dibayangkan, menjadi relawan itu mudah. 1-2 hari di lapangan bisa mengalami stres. Bayangkan saja, jika kita sebagai relawan misalnya, belum sampai selesai melakukan sesuatu sudah ada yang lain minta tolong dengan menyebutnya sebagai sangat urgent, apa tidak stres. Barulah setelah itu relawan juga harus dilatih menjaga kesehatan, karena kegiatan dalam mengurus bencana seperti ini bukan hanya sekejap selesai, tapi bisa sangat panjang waktunya termasuk jika masih terlibat dalam recovery". (Kedaulatan Rakyat, 04/06/06). Diberitakan dalam harian Media Indonesia bahwa didapati seorang sukarelawan asing dirawat di Instalasi jiwa RS Sardjito karena mengalami stres berat. Relawan yang negara asalnya dirahasiakan itu adalah seorang dokter umum. Koordinator penanganan psikologis korban gempa RS Sardjito, Bambang Hasta Yuda mengatakan ia seorang dokter umum yang membantu penanganan pasien di RS Sardjito. Hasta menyatakan kemungkinan sukarelawan itu tertekan melihat kondisi yang ada. Sejak kedatangannya dua hari pascagempa, sukarelawan itu berulang kali turun langsung ke lapangan. Melihat ribuan korban gempa dan ribuan rumah hancur. (Media Indonesia, 11/06/06). Dalam artikel yang disusun oleh Gusti Nur Cahya Aryani dikemukakan pula bahwa selain bahaya dari wabah penyakit menular, para relawan juga rentan terhadap stress dan trauma yang timbul dari tekanan psikologis, karena secara tidak langsung mereka juga melihat keseharian yang sama dengan para korban bencana alam tersebut. (Aceh Media Center, 08/01/05). Fakta mengenai adanya tekanan psikologis yang dialami oleh para relawan korban bencana alam juga diberitakan dalam harian Media Indonesia dimana diberitakan bahwa timbul kekhawatiran dalam masalah psikologis dikarenakan para relawan dan PMI tidak disiapkan untuk menghadapi situasi evakuasi mayat. Mereka dididik dan disiapkan untuk menangani korban survivor dengan pencapaian target yang jelas. Kemudian faktor kelelahan dan kejenuhan. Banyaknya hambatan terhadap relawan yang masuk ke Aceh, menyebabkan suatu kesulitan dalam melakukan rotasi penugasan. 100 % kekuatan dikerahkan, tidak ada yang beristirahat dan mereka bekerja nyaris 18 jam sehari tanpa henti. Apalagi suplai logistik ke lapangan untuk mereka tidak terlalu baik karena minimnya fasilitas transportasi, sanitasi, pasokan air bersih yang terbata. Kualitas gizi pun kurang diperhatikan karena dapur umum baru bisa dibentuk pada awal minggu ini, karena kurangnya tenaga. Hal ini secara fisik dan mental merupakan teror yang secara drastis menurunkan semangat dan kinerja mereka. (Media Indonesia, 06/01/05). Fakta tersebut diatas menunjukkan adanya Burnout yang dialami oleh para relawan korban bencana alam tersebut. Burnout adalah sindrom yang dialami oleh individu yang awalnya sangat antusias dengan kontribusinya dalam melayani banyak orang. Individu yang sangat menyukai apa yang dia berikan bagi orang lain tapi kemudian sampai pada suatu saat dia merasa apa yang dia lakukan sudah hilang ”greget”-nya. Merasa letih secara emosional dan merasa segala kerja keras dan curahan perasaan yang selama ini dia berikan seolah tidak ada hasilnya. Sindrom ini umumnya dialami oleh para pekerja yang tugasnya melayani orang lain seperti guru, dokter, perawat, polisi, relawan, dll. (Strawberrycute, 2006). Istilah Burnout pertama kali diperkenalkan oleh Herbert J. Freudenberger, PhD pada 1973. Ia adalah seorang ahli psikologi klinis pada lembaga pelayanan sosial di New York yang menangani remaja bermasalah. Freudenberger memberikan ilustrasi, sindrom Burnout seperti gedung terbakar habis (burnedout). Suatu gedung yang pada mulanya berdiri megah dengan berbagai aktivitas di dalamnya, setelah terbakar yang tampak hanya kerangka luarnya saja. Ilustrasi ini memberikan gambaran bahwa orang yang terkena Burnout, dari luar segalanya tampak utuh, tapi di dalamnya kosong, penuh masalah. (Firdaus, 2006). Burnout telah lama diakui sebagai sesuatu yang berbahaya untuk berbagai orang, dipandang dari pekerjaannya, seperti sebagai pekerja jasa, pendidik, dan perawat kesehatan. Hal ini didiskusikan pertama kali di tengah tahun 1970 (Freudenberger, 1974,1975; Maslach, 1976 dalam Maslach dan Goldberg, 1998), dan gambaran dari Burnout di kemudian hari tidak banyak berubah dari tahunketahun. Kunci karakteristik Burnout adalah Exhaustion (kelelahan mental) yang sangat berlebihan seperti perasaan frustasi, berbahaya, sinisme, dan perasaan bahwa diri sendiri tidak berguna dan melakukan kesalahan. Bila mengalami hal ini dapat menyebabkan kerusakan fungsi personal dan sosial. Hal tersebut diperkuat dengan adanya artikel yang disusun oleh Muhammad Idrus untuk harian Republika dimana para relawan, meski mereka yang tidak langsung mengalami peristiwa, dapat merasa tidak berdaya saat menyaksikan kondisi para pengungsi. Mereka juga bisa merasa bersalah saat tidak lagi mampu untuk menyelamatkan orang-orang yang seharusnya diselamatkannya. (Republika, 16/05/06). Hal ini sesuai dengan sindrom Burnout yang meliputi timbulnya perasaan Low Personal Accomplishment atau rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri. Hendri Satrio juga mengemukakan dengan tegas bahwa sesungguhnya perlu ada pelatihan untuk menjadi relawan. Paling tidak, relawan itu harus dilatih untuk pertama-tama, “nguwongke” (tidak menganggap korban sebagai obyek pekerjaan) korban sehingga bisa bersikap empati terhadap mereka yang menjadi korban. (Kedaulatan Rakyat, 04/06/06). Dari data tersebut didapatkan suatu kesimpulan bahwa Burnout yang terjadi pada para relawan diakibatkan oleh banyaknya tuntutan dari para korban bencana alam serta kondisi lingkungan yang parah dan kurangnya fasilitas yang memadai, sehingga akan menimbulkan kelelahan baik psikis maupun fisik yang akan mengakibatkan menurunnya semangat dan kinerja mereka. Dalam Baron dan Bryne (1994) para ahli berpendapat bahwa banyaknya perbedaan pada minat seseorang untuk menolong bersumber pada motif altruistik yang berdasarkan pada empati (Clary dan Orenstein, 1991; Grusec, 1991). Dalam Baron dan Bryne (1994) dijelaskan bahwa empati paling besar ditujukan pada siapapun atau apapun yang mirip dengan diri sendiri. Kejadian khusus dari empati seperti ini adalah respon dari orang pada kejadian alam (misalnya, gempa bumi, bom meledak, banjir) yang dialami oleh orang asing. Kebanyakan orang berespons dengan simpati dan kadang-kadang memberikan bantuan materi, tetapi perhatian terbesar muncul ketika korban mirip dengan diri sendiri. Sebagai tambahan pada similaritas korban, orang-orang mengekspresikan empati yang lebih besar jika mereka sendiri telah mengalami bencana yang sama (Batson, Sager, dkk, 1897). Misalnya, mereka yang telah mengalami badai lebih responsif terhadap korban badai (Sattler, Adams, dan Watts, 1995), dan mereka yang telah mengalami banjir di Belanda lebih responsif terhadap korban banjir di Bangladesh daripada mereka yang tidak mengalami (Den Ouden dan Russell, 1997). Johnson, dkk (Sari, 2003) mengemukakan bahwa empati adalah kecenderungan untuk memahami kondisi atau keadaan pikiran orang lain. Seorang yang empati digambarkan sebagai seorang yang toleran, mampu mengendalikan diri, ramah, mempunyai pengaruh, serta bersifat humanistik. Batson dan Coke (Sari, 2003) mendefinisikan empati sebagai suatu keadaan emosional yang dimiliki oleh seseorang yang sesuai dengan apa yang dirasakan oleh orang lain. Eisenberg dan Fabes (Sari, 2003) menambahkan bahwasannya kemampuan merasakan perasaan ini membuat seorang yang empati seolah mengalami sendiri peristiwa yang dialami orang lain. Koestner dan Franz (Sari, 2003) yang mengartikan empati sebagai kemampuan untuk menempatkan diri dalam perasaan atau pikiran orang lain tanpa harus secara nyata terlibat dalam perasaan atau tanggapan orang tersebut. Berdasarkan uraian, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan antara kemampuan berempati dengan kecenderungan Burnout yang dialami oleh para relawan korban bencana alam, sehingga dapat diketahui bahwasannya apakah benar bahwa dengan memiliki rasa Empati yang tinggi maka dapat menekan timbulnya kondisi Burnout yang dialami para relawan korban bencana alam. II. Metode Penelitian A. Subyek Penelitian Yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah para relawan yang tergabung dalam organisasi pecinta alam MAPALA UNISI Universitas Islam Indonesia baik yang masih aktif menjadi mahasiswa UII maupun yang sudah tidak aktif menjadi mahasiswa (alumni mahasiswa UII), yang menjadi relawan di Nanggroe Aceh Darussalam dan di kawasan DIY dan Jateng. Dengan modal sendiri para relawan MAPALA UNISI tersebut secara bertahap memberangkatkan anggotanya secara berkelompok dengan jumlah anggota berkisar antara 20 sampai dengan 30 orang sebanyak tiga kali jadwal keberangkatan ke Nanggroe Aceh Darussalam untuk memberikan bantuannya, keberangkatan para relawan MAPALA UNISI tersebut disertai dengan keberangkatan para mahasiswa UII lainnya dari berbagai fakultas, yang dengan sukarela mendaftar diri menjadi relawan yang bersedia diberangkatkan ke Nanggroe Aceh Darussalam dengan modal sendiri. Begitu pula dengan kesigapan para anggota MAPALA UNISI ketika bencana gempa bumi melanda DIY dan Jateng, puluhan anggota MAPALA UNISI langsung menuju lokasi yang paling parah, yaitu di Kabupaten Bantul tanpa menunggu adanya koordinasi lebih lanjut, dengan mengendarai motor dan satu buah mobil para anggota MAPALA UNISI tersebut langsung menuju lokasi dengan membawa perangkat logistik maupun obat-obatan. Adapun jumlah anggota MAPALA UNISI yang masih aktif sebanyak 58 orang, hanya 12 orang yang tercatat tidak menjadi relawan yang berangkat ke Nanggroe Aceh Darussalam, sedangkan anggota MAPALA UNISI yang telah menjadi alumni UII yang ikut diberangkatkan berjumlah 13 orang. Anggota MAPALA UNISI yang menjadi relawan di Kabupaten Bantul dan sekitarnya setelah terbentuk koordinasi bantuan bencana pada hari ketiga pasca bencana berjumlah 47 orang yang masih aktif menjadi mahasiswa dan 17 orang yang telah menjadi alumni. Namun dikarenakan kurangnya modal pribadi dari sebagian anggota MAPALA UNISI yang berangkat ke Nanggroe Aceh Darussalam, membuat mereka kemudian bergabung dengan sejumlah LSM untuk mendapatkan upah demi kelangsungan hidup mereka selama di lokasi bencana, keterbatasan dana dan sulitnya mendapatkan layanan ATM memungkinkan para mahasiswa tersebut bergabung dengan sejumlah LSM dan menerima upah atas kerja keras mereka menolong para korban bencana, namun pada bencana gempa bumi di DIY dan Jateng tidak ada satupun anggota MAPALA UNISI yang tergabung dalam LSM, dikarenakan fasilitas masih mudah didapat dan adanya bantuan besar yang diberikan oleh para alumni mahasiswa UII dan para donatur yang membutuhkan tenaga relawan untuk menyalurkan bantuan mereka, anggota MAPALA UNISI yang tergabung dalam LSM tercatat sebanyak 22 orang. Oleh sebab itu relawan dari anggota MAPALA UNISI yang murni tidak tergabung dalam LSM maupun menerima imbalan dalam bentuk apapun, yang dapat dijadikan subyek penelitian ini berjumlah 101 orang. B. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua buah skala, yaitu : 1. Skala Empati. Skala empati yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Empati yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori Davis (Wardani, 1996), yang membagi empati menjadi dua komponen yang masing-masing meliputi dua aspek, yang terdiri dari : 1. Komponen Kognitif : komponen ini difokuskan dalam proses-proses intelektual untuk memahami perspektif orang lain secara tepat. Disini seseorang diharapkan untuk mampu membedakan emosi-emosi orang lain dan menerima pandangan-pandangan mereka. Komponen ini meliputi : a) Perspective Taking (PT) atau pengambilan perspektif yaitu sebuah kecenderungan individu untuk mengambil alih tentang sudut pandang orang lain secara spontan; b) Fantasy (F) atau khayalan yaitu kecenderungan kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajinatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakteristik khayalan yang terdapat pada layar kaca atau televisi, buku-buku, film-film bioskop maupun dalam sebuah drama yang dipahaminya. 2. Komponen Afektif yang diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan-perasaan emosional orang lain. Komponen ini meliputi : a) Empathy Concern (EC) atau perhatian Empatik yang merupakan sebuah reaksi afektif yang menitik beratkan pada perasaan empatik terhadap seseorang yang telah tertimpa kemalangan; b) Personal Distress (PD) atau distres pribadi yaitu perasaan diri seseorang yang menitik beratkan pada diri sendiri yang dapat berupa perasaan cemas, gelisah, keragu-raguan pada situasi interpersonal yang tidak menyenangkan. Skala Empati ini keseluruhan aitemnya berjumlah 39 aitem. Terdiri dari 19 aitem favourable dan 20 aitem unfavourable. Aitem favorable adalah aitem yang memihak atau mendukung pada atribut yang hendak diukur, sedangkan aitem unfavorable adalah aitem yang menentang atau menolak atribut yang hendak diukur. 2. Skala Burnout. Untuk mengungkapkan tingkat Burnout pada relawan korban bencana alam digunakan skala Burnout yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan 3 dimensi Burnout dari Maslach dan Jackson (Sulistyantini, 1997) yaitu : 1. Kelelahan Emosi (Emotional Exhaution) yang ditandai dengan : a) Terkurasnya tenaga; b) Sering merasa lelah (letih); c) Mengalami rasa bosan (jenuh); d) Mengalami frustrasi; e) Mudah tersinggung dan marah tanpa tahu apa penyebabnya; f) Mudah putus asa; g) Merasa sedih; h) Merasa tidak berdaya; i) Mengalami perasaan tertekan; dan j) Merasa terjebak dalam pekerjaan. 2. Depersonalisasi (Depersonalization) yang ditandai dengan : a) Menjauhnya individu dari lingkungan sosial; b) Bersikap apatis (tidak peduli terhadap lingkungan serta individu lain disekitarnya); dan c) Tidak melibatkan perasaan dalam bekerja (menganggap orang lain sebagai obyek). 3. Rendahnya Penghargaan Terhadap Diri Sendiri (Low Personal Accomplishment) yang ditandai dengan : a) Ketidakpuasan terhadap hasil kerja sendiri; b) Minat terhadap pekerjaan berkurang; c) Merasa tidak berarti bagi orang lain; d) Merasa gagal; e) Merasa rendah diri,;dan f) Merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya maupun bagi orang lain. Skala Burnout ini keseluruhan aitemnya berjumlah 55 aitem. Terdiri dari 29 aitem favourable dan 26 aitem unfavourable. Aitem favorable adalah aitem yang memihak atau mendukung pada atribut yang hendak diukur, sedangkan aitem unfavorable adalah aitem yang menentang atau menolak atribut yang hendak diukur. C. Alat Ukur Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur empati dan Burnout, yang mana untuk mengukur tingkat Burnout penulis menggunakan skala yang disusun sendiri yang mengacu pada teori Maslach dan Jackson (1982), dan untuk mengukur tingkat empati penulis menggunakan skala yang disusun sendiri yang mengacu pada teori Davis (1983). D. Metode Analisis Data Metode analisis data untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan korelasi Product Moment (r) dari Karl Pearson. Alasan menggunakan korelasi Product Moment adalah karena penelitian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara variabel bebas (X) dengan variabel tergantung (Y), dimana koefisien korelasi Product Moment digunakan apabila kedua variabel bersifat kontinyu, bukan kategorial. (Azwar, 1997). Berdasarkan teknik korelasi Product Moment, apabila didapatkan koefisien korelasi yang signifikan, berarti terdapat hubungan antara variabel bebas dengan veriabel tergantung. Sebaliknya apabila koefisien korelasi tidak signifikan, berarti tidak terdapat hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dengan bantuan komputer program SPSS for windows versi 11.0. III. Hasil Penelitian Uji asumsi yang mencakup uji normalitas dan linearitas dilakukan sebelum dilakukan uji hipotesis. Hal ini perlu dilakukan karena teknik korelasi yang digunakan adalah teknik korelasi product moment yang harus menggunakan data yang berdistribusi normal dan linier, karena korelasi product moment digunakan untuk mendapatkan hubungan antara dua variabel yang sama-sama berjenis interval, sehingga dapat diketahui hasil secara murni korelasi antara dua variabel tersebut. 1. Uji Asumsi Sebelum melakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan uji linearitas. a. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan fasilitas komputer SPSS for windows versi 11. 0 dengan statistik teknik one sample kolmogorov smirnov test. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa pada skala Empati memiliki skor K – S Z = 0,951 dengan angka signifikasi sebesar 0,326 (p>0,05); yang menunjukkan bahwa persebaran data skor untuk skala empati adalah normal. Sedangkan pada skala Burnout memiliki skor K - S Z = 0,589 dengan angka signifikasi sebesar 0,879 (p>0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa persebaran data skor untuk skala Burnout adalah normal. b. Uji Linearitas Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan fasilitas komputer SPSS for windows versi 11. 0 dengan statistik teknik compare mean. Hasil uji linearitas didapatkan angka F = 6,631; p = 0, 016 (p<0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara Empati dan Burnout adalah linier. 2. Analisa Hasil Dengan menggunakan SPSS for windows versi 11. 0 maka analisa statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian ini adalah analisa korelasi product moment yang terdiri dari satu variabel tergantung yaitu skala Empati dan satu variabel bebas yaitu skala Burnout. Analisis hasil uji hipotesis dapat dilihat pada tabel deskripsi data penelitian yang berisikan fungsi-fungsi statistik dasar yang disajikan secara lengkap pada tabel berikut ini : Tabel 5 Deskripsi Data Penelitian. Hipotetik Variabel x max x min Mean SD x max x min Mean SD Empati 84 21 52,5 10,5 74 56 61,86 2,90 Burnout 128 32 80 16 63 42 52,54 4,25 Empirik a. Skala Empati Skala Empati terdiri dari 21 aitem dan diberi nilai minimum 1 dan nilai maksimum 4. Rentang nilai minimum dan maksimum adalah 56 – 74 dengan jarak sebaran sebesar 63. Dengan demikian satuan deviasi standar hipotetik (SDH) = 10,5. Sedangkan nilai rata-rata hipotetik (MH) = 52,5 dan rata-rata empirik = 61,86. Dalam analisis skala Empati ini, membagi kriteria kategori menjadi lima, yaitu: 1. x < MH – 1,8 SDH = sangat rendah. 2. MH – 1,8 SDH < x < MH – 0,6 SDH = rendah. 3. MH – 0,6 SDH < x < MH + 0,6 SDH = sedang. 4. MH + 0,6 SDH < x < MH + 1,8 SDH = tinggi. 5. x > MH + 1,8 SDH = sangat tinggi. Keterangan: X = Skor Total. SDH = Standar Deviasi Hipotetik. MH = Mean Hipotetik. Dengan pembagian kriteria tersebut, maka diperoleh kategori dengan nilai sebagai berikut : Tabel 6 Kriteria kategori skala Empati. Skor Kategori Jumlah (%) x < 33,6 Sangat rendah 0 0% 33,6 < x < 46,2 Rendah 0 0% 46,2 < x < 58,8 Sedang 4 1,76 % 58,8 < x < 71,4 Tinggi 39 17,16 % x > 71,4 Sangat tinggi 1 0,44 % Setelah mendapat kriteria tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa subyek penelitian yang mempunyai nilai rata-rata empirik sebesar 61,86 termasuk dalam kategori TINGGI. b. Skala Burnout. Skala Burnout terdiri dari 32 aitem dan diberi nilai minimum 1 dan nilai maksimum 4. Rentang nilai minimum dan maksimum adalah 42 – 63 dengan jarak sebaran sebesar 96. Dengan demikian satuan Deviasi Standar Hipotetik (SDH) = 16. Sedangkan nilai rata-rata hipotetik (MH) = 80 dan rata-rata empirik = 52,54. Dalam analisis skala Burnout ini, membagi kriteria kategori menjadi lima, yaitu: 1. x < MH – 1,8 SDH = sangat rendah. 2. MH – 1,8 SDH < x < MH – 0,6 SDH = rendah. 3. MH – 0,6 SDH < x < MH + 0,6 SDH = sedang. 4. MH + 0,6 SDH < x < MH + 1,8 SDH = tinggi. 5. x > MH + 1,8 SDH = sangat tinggi. Keterangan: x = Skor Total. SDH = Standar Deviasi Hipotetik. MH = Mean Hipotetik. Dengan pembagian kriteria tersebut, maka diperoleh kategori dengan nilai sebagai berikut : Tabel 7 Kriteria kategori skala Burnout. Skor Kategori Jumlah (%) x < 51,2 Sangat rendah 19 8,36 % 51,2 < x < 70,4 Rendah 25 11 % 70,4 < x < 89,6 Sedang 0 0% 89,6 < x < 108,8 Tinggi 0 0% x > 108,8 Sangat tinggi 0 0% Setelah mendapat kriteria tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa subyek penelitian yang mempunyai nilai rata-rata empirik sebesar 52,54 termasuk dalam kategori RENDAH. 3. Uji Hipotesis Hasil analisis dengan menggunakan SPSS 11.00 for Windows, menunjukkan bahwa koefisien korelasi dari analisis product moment antara skala empati dan skala Burnout adalah rxy = - 0,362; p = 0,016 (p<0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara empati dengan Burnout pada relawan korban bencana alam, sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan negatif antara empati dengan Burnout pada relawan korban bencana alam, hipotesis tersebut DITERIMA. Pada analisis ini ditemukan juga R. Squared = 0, 131 dengan demikian diperoleh sumbangan efektif dari variabel bebas (Empati) terhadap variabel tergantung (Burnout) adalah 13,1 %. IV. Pembahasan Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara variabel empati dengan variabel Burnout. Angka koefisien korelasi sebesar rxy = - 0,362; p = 0,016 (p<0,05) menunjukkan hubungan antara dua variabel tersebut terbukti, artinya ada perbandingan korelasi terbalik antara variabel Burnout dan variabel empati, dimana semakin tinggi Burnout yang dialami para relawan korban bencana alam tersebut, maka semakin rendah tingkat empati yang dimilikinya. Sebaliknya, semakin rendah Burnout yang dialami para relawan korban bencana alam, maka semakin tinggi tingkat empati yang dimiliki para relawan tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan negatif antara empati dengan Burnout pada relawan korban bencana alam, hipotesis tersebut diterima. Hasil penelitian pada skala Burnout menunjukkan bahwa mean empirik yang didapat sebesar 52,54 sedangkan mean hipotetik yang didapat sebesar 80; berarti secara rata-rata nilai responden pada alat ukur lebih rendah daripada ratarata hipotetiknya dan mayoritas berada pada taraf rendah sebanyak 19 orang (8,36 %) dan pada taraf sangat rendah sebayak 25 orang (11 %). Secara garis besar dapat dikatakan bahwa relawan MAPALA UNISI Universitas Islam Indonesia cenderung mengalami Burnout yang rendah dan sangat rendah ketika mereka memberikan bantuan secara sukarela kepada para korban bencana alam. Sedangkan hasil penelitian pada skala Empati menunjukkan bahwa mean empirik yang didapat sebesar 61,86 sedangkan mean hipotetik yang didapat sebesar 52,5; berarti secara rata-rata nilai responden pada alat ukur lebih rendah daripada rata-rata hipotetiknya dan mayoritas berada pada taraf sedang sebanyak 4 orang (1,76 %), taraf tinggi sebanyak 39 orang (17,16 %) dan pada taraf sangat tinggi sebanyak 1 orang (0,44 %). Secara garis besar dapat dikatakan bahwa relawan MAPALA UNISI Universitas Islam Indonesia cenderung memiliki Empati yang sedang, tinggi dan sangat tinggi ketika mereka memberikan bantuan secara sukarela kepada para korban bencana alam. Hasil tersebut diperkuat dengan adanya fakta yang dikemukakan oleh Ahmad Syafii Maarif yang dimuat dalam harian REPUBLIKA, Selasa 15 Februari 2005 dengan judul ”Relawan Pengangkat Mayat” dimana dijelaskan bahwa : ”Di samping ada relawan bayaran, lebih banyak yang datang ke daerah bencana itu atas panggilan hati nuraninya yang tulus. Cerita dari kelompok terakhir inilah yang ingin saya rekamkan dalam ''Resonansi'' kali ini. Mereka berasal dari berbagai unsur, antara lain, mahasiswa pecinta alam UII Yogyakarta ... ”. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingginya tingkat empati yang mereka miliki mampu mengalahkan tingkat kecenderungan Burnout yang dapat dialami oleh para relawan tersebut yang dapat disebabkan dengan banyaknya tugas dan tekanan berupa keluhan dari para korban bencana alam, sehingga rasa empati yang ada pada diri para relawan tersebut tidak terpengaruh oleh keadaan Burnout atau dengan kata lain keinginan menolong dengan secara sukarela tidak menjadi menurun dikarenakan empati yang mereka miliki tinggi dan mereka menolong dengan penuh keikhlasan dan bersungguh-sungguh tanpa mengharapkan imbalan berupa apapun dari para korban bencana alam tersebut. Gejala Burnout jelas merugikan karena akan mengurangi kemampuan dan efektivitas pelayanan jasa yang dilakukan oleh para relawan tersebut hal itu disebabkan karena bekerja melayani orang lain membutuhkan banyak energi karena harus bersikap sabar dan memahami orang lain dalam keadaan krisis, frustrasi, ketakutan, dan kesakitan. (Farber, 1991; Maslach, 1982; Sutjipto, 2001). Pemberi dan penerima pelayanan turut membentuk dan mengarahkan terjadinya hubungan yang melibatkan emosional, dan secara tidak disengaja dapat menyebabkan stres emosional karena keterlibatan antar mereka dapat memberikan penguatan positif atau kepuasan bagi kedua belah pihak, atau sebaliknya. Namun dengan memiliki empati yang tinggi, kecenderungan Burnout dapat ditekan sehingga keinginan menolong pada mereka yang membutuhkan bantuan semakin kuat dan semakin tinggi seiring dengan tingginya tingkat empati yang dimiliki seseorang, hal ini diperkuat dengan adanya teori yang dikemukakan oleh Schlenker dan Britt (Baron dan Byrne, 1994) bahwa terdapat beberapa faktor yang memotivasi seseorang untuk melakukan perilaku menolong, di mana salah satunya adalah empati pada diri seseorang. Menolong dan ditolong oleh orang lain jelas meningkatkan kesempatan bagi orang untuk dapat bertahan dan bereproduksi. Komponen Afektif dari empati juga termasuk merasa simpati, dimana simpati adalah tidak hanya merasakan penderitaan orang lain tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka. Misalnya, individu yang memiliki empati tinggi lebih termotivasi untuk menolong seorang teman daripada mereka yang memiliki empati rendah. Kesemua teori diatas yang menguatkan bahwa dengan adanya empati yang tinggi pada diri seseorang dapat memicu tingginya keinginan untuk menolong sesama yang membutuhkan, dan hal tersebutlah yang dialami oleh para relawan dari MAPALA UNISI Universitas Islam Indonesia, dimana sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kadar empati yang mereka miliki tinggi dan sangat tinggi, maka dalam memberikan bantuan secara sukarela kepada para korban bencana alam, mereka dapat melakukannya dengan penuh semangat dan keikhlasan, hal tersebut dipengaruhi oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa kadar Burnout yang mereka miliki rendah dan sangat rendah. Kesimpulan Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antar variabel empati dengan variabel Burnout yang dialami para relawan korban bencana alam. Angka koefisien korelasi sebesar rxy = - 0,362; p = 0,016 (p<0,05) menunjukkan hubungan antara dua variabel tersebut terbukti. Oleh karena itu, hipotesis yang berbunyi ada hubungan negatif antara empati dengan Burnout pada relawan korban bencana alam adalah terbukti. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, maka penulis akan memberikan sumbangan saran yang diharapkan dapat bermanfaat, yaitu: a. Untuk Relawan Perlu adanya penanaman motivasi dan semangat yang tinggi kepada para relawan tersebut, mengingat para relawan bekerja tanpa mendapatkan upah baik itu berupa uang ataupun materi, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menanamkan sikap empati pada diri setiap orang agar mereka dapat senantiasa berempati dengan penderitaan orang lain, dengan begitu tingginya keinginan untuk membantu mereka yang sedang tertimpa musibah ataupun keinginan untuk menolong sesama menjadi sikap dasar yang ada dalam setiap pribadi seseorang, sehingga tanpa adanya imbalan apapun dengan ikhlas dapat segera memberikan bantuan bagi sesama yang membutuhkan, tanpa menunggu adanya iming-iming imbalan baik itu berupa materi, uang, maupun penghargaan. b. Untuk Penelitian Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya agar dapat menyempurnakan hasil penelitian dan mengupas lebih dalam mengenai tingkat empati yang dimiliki oleh seseorang, karena empati merupakan sikap dasar yang harus dimiliki oleh semua orang sebagai mana kodrat manusia yang membutuhkan bantuan sesama dan saling hidup berdampingan. Hendaknya pada penelitian selanjutnya diupayakan lebih teliti, lebih cermat, serta lebih spesifik dalam memilih dan mengambil subyek penelitian, sehingga didapatkan berbagai gambaran mengenai tinggi rendahnya tingkat empati yang dimiliki seseorang khususnya mereka yang bekerja secara sukarela membantu sesama yang membutuhkan ataupun bagi mereka yang tergolong pekerja sosial, dan juga perlu diketahui lebih lanjut apakah adanya Burnout pada mereka akan memberikan pengaruh negatif bagi kinerja yang mereka lakukan. DAFTAR PUSTAKA Aceh Media. 2005. Relawan Kelelahan, Warga Aceh Diminta Bantu Evakuasi. http://www.airputih.or.id.18/06/07. Aceh Media. 2005. Tsunami Aceh. http://www.airputih.or.id.18/06/07. Azwar, S. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Edisi Ketiga Cetakan Pertama. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Baron, R.A. & Byrne, D. 1994. Psikologi Sosial. Jilid 2. Jakarta. Penerbit: Erlangga. Bringin Life. 2002. Berdamai Dengan Temperamen Anda Di Kantor. http://www.google.com/CBN Portal.htm. 04/11/06. Carlozzi, A. F. Dkk. 1983. Empathy And Ego Development. Journal Of Counseling Psychology, 30, 1, 113 - 116. Damayanti, D. 2001. Hubungan Intensi Prososial Dengan Motivasi Kerja Relawan Lembaga Swadaya Masyarakat Di Yogyakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Davis, M. H. 1983. Measuring Individual Differences in Empathy : Evidence For A Multidimentional Approach. Journal Of Personality And Social Psychology, 44, 1, 113 - 126. Firdaus, U. 2006. Burnout. http://www.pikiran-rakyat.com. 04/11/06. Gusli, D. 2001. Hubungan Persepsi Konsumen Terhadap Empati Dutaniaga Dan Kepuasan Konsumen. Naskah Publikasi (tidak diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Haryati, D. 1999. Hubungan Antara Konsep Diri Dan Penyesuaian Diri remaja Akhir Di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. Skripsi (tidak diterbitkan). Malang. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. Iskandar. L, Dharmawan, & Tim Pulih. 2005. Prinsip-prinsip Dukungan Psikososial Pasca Bencana. http://www.google.com. 04/11/06. Johnson, J. A; Check. J. M & Smither, R. 1983. The Structure Of Empathy. Journal Of Personality And Social Psychology. 45, 6, 1299 - 1312. Khairiyah, R. 1998. Dukungan Sosial, Konsep Diri dan Burnout Pada Guru Sekolah Dasar Negeri Di Kotamadya Yogyakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Kedaulatan Rakyat. 2006. Relawan, Memadukan Keahlian Dan Profesionalisme. Kliping koran. 04/11/06. Kedaulatan Rakyat. 2006. 'Ngungsi', Berkelompok atau Mandiri. http://www.kompas.com. 18/06/07. Koestnerr, R & Franz, C. 1990. The Family Origins Of Empathic Concern : A-26 Year Longitudinal Study. Journal Of Personality And Social Psychology. 58, 4, 709 - 717. Kompas. 2005. Para Sukarelawan Aceh http://www.kompas.com. 04/11/06. Diimbau Persiapkan Diri. Maslach, C & Goldberg, J. 1998. Prevention Of Burnout : New Perspektives. Journal Applied & Preventive Psychology. 7, 63 – 74. Media Indonesia. 2005. Prioritas http://www.google.com. 18/06/07. Penugasan Relawan Di Media Indonesia. 2005. Manajemen. http://www.google.com. 18/06/07. Pitaloka, RR. A. 2005. Manajemen Stres Bagi Relawan. http://www.e-psikologi.com. 04/11/06. Republika, 2005. Relawan Pengangkat Mayat. Artikel. http://www.republika.com. 04/11/06. Republika, 2006. Dampak Psikologis Bencana Merapi. Artikel. http://www.republika.com. 18/06/07. Aceh. Sari, A. T. O; Ramdhani, N & Eliza, M. 2003. Empati Dan Perilaku Merokok Di Tempat Umum. Jurnal Psikologi. No. 2. Sulistyantini, S. R. 1997. Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Burnout Pada Perawat Di rumah Sakit Angkatan Laut Jakarta Pusat. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Sutjipto. 2001. Apakah Anda Mengalami http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/32/sutjipto.htm. 04/11/06. Burnout. Strawberrycute. 2006. Burnout. http://www. strawberrycute.com. 04/11/06. Ubaydillah, 2005. Mengaktifkan Jaringan Kerja. http://www.e-psikologi.com/lain-lain/penulis.htm. 04/11/06. Wardani, I. D. 1996. Hubungan Antara Empati Dengan Intensi Prososial Pada Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. IDENTITAS PENULIS NAMA : Hutfi Sekardhini. NO. MAHASISWA : 01 320 345. ALAMAT RUMAH : Jl. Serma Taruna Ramli No : 5 Kotabaru, Yogyakarta, 55224. NO. HP : 085643492072.