naskah publikasi hubungan antara empati dengan burnout pada

advertisement
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN BURNOUT PADA
RELAWAN KORBAN BENCANA ALAM
Oleh :
HUTFI SEKARDHINI
Hj. RATNA SYIFA’A RAHMAHANA
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2007
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN BURNOUT PADA
RELAWAN KORBAN BENCANA ALAM
Telah Disetujui Pada Tanggal
--------------------------------------
Dosen Pembimbing
(Hj. Ratna Syifa’a Rahmahana, S. Psi, M.si, Psikolog)
HUBUNGAN ANTARA EMPATI DAN BURNOUT PADA RELAWAN
KORBAN BENCANA ALAM
Hutfi Sekardhini
Hj. Ratna Syifa’a Rahmahana, S. Psi, M.si, Psikolog
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan negatif antara
Empati dengan Burnout pada relawan korban bencana alam. Dugaan awal yang
diajukan adalah ada hubungan negatif antara Empati dengan Burnout pada
relawan korban bencana alam. Semakin tinggi tingkat Burnout yang dialami oleh
seseorang maka semakin rendah tingkat Empati yang dimiliki orang tersebut,
sebaliknya semakin rendah tingkat Burnout yang dialami oleh seseorang, maka
semakin tinggi tingkat Empati yang dimilikinya.
Subyek dalam penelitian ini adalah para relawan yang tergabung dalam
organisasi pecinta alam MAPALA UNISI Universitas Islam Indonesia baik yang
masih aktif menjadi mahasiswa UII maupun yang sudah tidak aktif menjadi
mahasiswa (alumni mahasiswa UII), yang menjadi relawan di Nanggroe Aceh
Darussalam dan di kawasan DIY dan Jateng, tanpa spesifikasi jenis kelamin dan
rentang usia, yang murni bekerja secara sukarela dan tidak tergabung dalam
organisasi ataupun LSM yang menerima upah atau gaji. Teknik pengambilan data
yang digunakan adalah menggunakan angket (kuisioner). Adapun skala yang
digunakan adalah skala Burnout yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan 3
dimensi Burnout dari Maslach dan Jackson (1982) yang meliputi Emotional
Exhaustion (kelelahan emosional), Depersonalization (depersonalisasi), dan Low
Personal Accomplishment (penurunan penghargaan diri sendiri) yang berjumlah
32 aitem, dan Skala Empati yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori
Davis (1983) yang terdiri dari dua ketegori yaitu komponen Kognitif yang
meliputi aspek Perspective Taking (PT) dan aspek Fantasy (FS), dan komponen
Afektif meliputi aspek Empathic Concern (EC) dan aspek Personal Distress (PD),
yang berjumlah 21 aitem.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
fasilitas komputer program SPSS for windows versi 11.0 untuk menguji apakah
ada hubungan antara Empati dengan Burnout. Angka koefisien korelasi Product
Moment dari Pearson menunjukkan korelasi sebesar rxy = - 0,362; p = 0,016
(p<0,05) yang menunjukkan hubungan antara dua variabel tersebut terbukti. Oleh
karena itu, hipotesis yang berbunyi ada hubungan negatif antara Empati dengan
Burnout pada relawan korban bencana alam adalah diterima.
Kata Kunci : Burnout, Empati, Relawan.
I. Pengantar
Bencana alam merupakan sebuah fenomena alami dan di luar kemampuan
manusia, baik untuk memprediksi maupun melawannya. Manusia sampai detik ini
tidak bisa memperkirakan dengan tepat kapan bencana alam akan terjadi. Selain
itu, manusia juga belum mampu membuat konstruksi bangunan yang dijamin
seratus persen mampu bertahan melawan bencana alam. Di pihak lain, kita tidak
boleh melupakan fakta bahwa alam semesta merupakan karunia terbesar yang
telah dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manusia, kita tidak boleh melupakan
nikmat Allah SWT tersebut hanya karena terjadinya beberapa bencana alam.
Diberitakan
dalam
Aceh
Media
Center,
Menteri
Koordinator
Kesejahteraan Rakyat, Alwi shihab mengatakan :
“ dari hasil rapat evaluasi harian tim penanggulangan bencana Aceh,
hingga kini tingkat semangat relawan sudah mulai menurun, karena faktor
kelelahan sejak sebulan lalu. Bahkan tidak sedikit relawan yang sudah
menarik para relawannya untuk dipulangkan ke daerah asal karena
alasan yang sama. “
Sementara itu ketua FPI, Habib Ridzieq, mengakui kejenuhan memang
dirasakan oleh semua relawan. Dari 1.300 relawan FPI yang ada di Aceh sejak
sebulan lalu, kini hanya tinggal 700 personel, selebihnya sudah dipulangkan
karena faktor kelelahan dan menurunnya kondisi kesehatan. (Aceh Media Center,
03/02/05).
Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar tersebut mengakibatkan relawan
mudah merasa tertekan dan akhirnya mengalami stres. Bila stres menyerang
individu terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama dan individu itu
tidak segera mengatasinya, maka akan timbul gejala melemahnya fisik dan psikis.
Menurut teori yang dilambangkan oleh Selye (Sulistyantini, 1997) tubuh manusia
tidak dapat secara cepat membangun kemampuan untuk mengatasi stres.
Akibatnya individu mengalami melemahnya fisik dan psikis dalam usahanya
melawan stres tersebut. Kondisi seperti ini disebut Burnout, yaitu kelelahan emosi
yang berlebihan, merasa terpisah dari pekerjaan, dan merasa tidak mampu
mencapai tujuan. Beberapa pekerjaan menolong orang lain seperti konselor,
petugas kesehatan, pekerja sosial (relawan), dan pekerjaan lain memiliki intensitas
stres yang tinggi dan cenderung lebih mudah terkena Burnout.
Hendri Satrio yang mengkoordinir relawan yang tergabung dari Sampoerna
Foundation Student Club (SFSC) mengemukakan :
"Jangan pernah dibayangkan, menjadi relawan itu mudah. 1-2 hari di
lapangan bisa mengalami stres. Bayangkan saja, jika kita sebagai
relawan misalnya, belum sampai selesai melakukan sesuatu sudah ada
yang lain minta tolong dengan menyebutnya sebagai sangat urgent, apa
tidak stres. Barulah setelah itu relawan juga harus dilatih menjaga
kesehatan, karena kegiatan dalam mengurus bencana seperti ini bukan
hanya sekejap selesai, tapi bisa sangat panjang waktunya termasuk jika
masih terlibat dalam recovery".
(Kedaulatan Rakyat, 04/06/06).
Diberitakan dalam harian Media Indonesia bahwa didapati seorang
sukarelawan asing dirawat di Instalasi jiwa RS Sardjito karena mengalami stres
berat. Relawan yang negara asalnya dirahasiakan itu adalah seorang dokter umum.
Koordinator penanganan psikologis korban gempa RS Sardjito, Bambang Hasta
Yuda mengatakan ia seorang dokter umum yang membantu penanganan pasien di
RS Sardjito. Hasta menyatakan kemungkinan sukarelawan itu tertekan melihat
kondisi yang ada. Sejak kedatangannya dua hari pascagempa, sukarelawan itu
berulang kali turun langsung ke lapangan. Melihat ribuan korban gempa dan
ribuan rumah hancur. (Media Indonesia, 11/06/06).
Dalam artikel yang disusun oleh Gusti Nur Cahya Aryani dikemukakan
pula bahwa selain bahaya dari wabah penyakit menular, para relawan juga rentan
terhadap stress dan trauma yang timbul dari tekanan psikologis, karena secara
tidak langsung mereka juga melihat keseharian yang sama dengan para korban
bencana alam tersebut. (Aceh Media Center, 08/01/05).
Fakta mengenai adanya tekanan psikologis yang dialami oleh para relawan
korban bencana alam juga diberitakan dalam harian Media Indonesia dimana
diberitakan bahwa timbul kekhawatiran dalam masalah psikologis dikarenakan
para relawan dan PMI tidak disiapkan untuk menghadapi situasi evakuasi mayat.
Mereka dididik dan disiapkan untuk menangani korban survivor dengan
pencapaian target yang jelas. Kemudian faktor kelelahan dan kejenuhan.
Banyaknya hambatan terhadap relawan yang masuk ke Aceh, menyebabkan suatu
kesulitan dalam melakukan rotasi penugasan. 100 % kekuatan dikerahkan, tidak
ada yang beristirahat dan mereka bekerja nyaris 18 jam sehari tanpa henti. Apalagi
suplai logistik ke lapangan untuk mereka tidak terlalu baik karena minimnya
fasilitas transportasi, sanitasi, pasokan air bersih yang terbata. Kualitas gizi pun
kurang diperhatikan karena dapur umum baru bisa dibentuk pada awal minggu ini,
karena kurangnya tenaga. Hal ini secara fisik dan mental merupakan teror yang
secara drastis menurunkan semangat dan kinerja mereka. (Media Indonesia,
06/01/05).
Fakta tersebut diatas menunjukkan adanya Burnout yang dialami oleh para
relawan korban bencana alam tersebut. Burnout adalah sindrom yang dialami oleh
individu yang awalnya sangat antusias dengan kontribusinya dalam melayani
banyak orang. Individu yang sangat menyukai apa yang dia berikan bagi orang
lain tapi kemudian sampai pada suatu saat dia merasa apa yang dia lakukan sudah
hilang ”greget”-nya. Merasa letih secara emosional dan merasa segala kerja keras
dan curahan perasaan yang selama ini dia berikan seolah tidak ada hasilnya.
Sindrom ini umumnya dialami oleh para pekerja yang tugasnya melayani orang
lain seperti guru, dokter, perawat, polisi, relawan, dll. (Strawberrycute, 2006).
Istilah Burnout pertama kali diperkenalkan oleh Herbert J. Freudenberger,
PhD pada 1973. Ia adalah seorang ahli psikologi klinis pada lembaga pelayanan
sosial di New York yang menangani remaja bermasalah. Freudenberger
memberikan ilustrasi, sindrom Burnout seperti gedung terbakar habis (burnedout). Suatu gedung yang pada mulanya berdiri megah dengan berbagai aktivitas di
dalamnya, setelah terbakar yang tampak hanya kerangka luarnya saja. Ilustrasi ini
memberikan gambaran bahwa orang yang terkena Burnout, dari luar segalanya
tampak utuh, tapi di dalamnya kosong, penuh masalah. (Firdaus, 2006).
Burnout telah lama diakui sebagai sesuatu yang berbahaya untuk berbagai
orang, dipandang dari pekerjaannya, seperti sebagai pekerja jasa, pendidik, dan
perawat kesehatan. Hal ini didiskusikan pertama kali di tengah tahun 1970
(Freudenberger, 1974,1975; Maslach, 1976 dalam Maslach dan Goldberg, 1998),
dan gambaran dari Burnout di kemudian hari tidak banyak berubah dari tahunketahun. Kunci karakteristik Burnout adalah Exhaustion (kelelahan mental) yang
sangat berlebihan seperti perasaan frustasi, berbahaya, sinisme, dan perasaan
bahwa diri sendiri tidak berguna dan melakukan kesalahan. Bila mengalami hal
ini dapat menyebabkan kerusakan fungsi personal dan sosial.
Hal tersebut diperkuat dengan adanya artikel yang disusun oleh
Muhammad Idrus untuk harian Republika dimana para relawan, meski mereka
yang tidak langsung mengalami peristiwa, dapat merasa tidak berdaya saat
menyaksikan kondisi para pengungsi. Mereka juga bisa merasa bersalah saat tidak
lagi
mampu
untuk
menyelamatkan
orang-orang
yang
seharusnya
diselamatkannya. (Republika, 16/05/06). Hal ini sesuai dengan sindrom Burnout
yang meliputi timbulnya perasaan Low Personal Accomplishment atau rendahnya
penghargaan terhadap diri sendiri.
Hendri Satrio juga mengemukakan dengan tegas bahwa sesungguhnya
perlu ada pelatihan untuk menjadi relawan. Paling tidak, relawan itu harus dilatih
untuk pertama-tama, “nguwongke” (tidak menganggap korban sebagai obyek
pekerjaan) korban sehingga bisa bersikap empati terhadap mereka yang menjadi
korban. (Kedaulatan Rakyat, 04/06/06).
Dari data tersebut didapatkan suatu kesimpulan bahwa Burnout yang
terjadi pada para relawan diakibatkan oleh banyaknya tuntutan dari para korban
bencana alam serta kondisi lingkungan yang parah dan kurangnya fasilitas yang
memadai, sehingga akan menimbulkan kelelahan baik psikis maupun fisik yang
akan mengakibatkan menurunnya semangat dan kinerja mereka.
Dalam Baron dan Bryne (1994) para ahli berpendapat bahwa banyaknya
perbedaan pada minat seseorang untuk menolong bersumber pada motif altruistik
yang berdasarkan pada empati (Clary dan Orenstein, 1991; Grusec, 1991). Dalam
Baron dan Bryne (1994) dijelaskan bahwa empati paling besar ditujukan pada
siapapun atau apapun yang mirip dengan diri sendiri. Kejadian khusus dari empati
seperti ini adalah respon dari orang pada kejadian alam (misalnya, gempa bumi,
bom meledak, banjir) yang dialami oleh orang asing. Kebanyakan orang
berespons dengan simpati dan kadang-kadang memberikan bantuan materi, tetapi
perhatian terbesar muncul ketika korban mirip dengan diri sendiri. Sebagai
tambahan pada similaritas korban, orang-orang mengekspresikan empati yang
lebih besar jika mereka sendiri telah mengalami bencana yang sama (Batson,
Sager, dkk, 1897). Misalnya, mereka yang telah mengalami badai lebih responsif
terhadap korban badai (Sattler, Adams, dan Watts, 1995), dan mereka yang telah
mengalami banjir di Belanda lebih responsif terhadap korban banjir di Bangladesh
daripada mereka yang tidak mengalami (Den Ouden dan Russell, 1997).
Johnson, dkk (Sari, 2003) mengemukakan bahwa empati adalah
kecenderungan untuk memahami kondisi atau keadaan pikiran orang lain. Seorang
yang empati digambarkan sebagai seorang yang toleran, mampu mengendalikan
diri, ramah, mempunyai pengaruh, serta bersifat humanistik. Batson dan Coke
(Sari, 2003) mendefinisikan empati sebagai suatu keadaan emosional yang
dimiliki oleh seseorang yang sesuai dengan apa yang dirasakan oleh orang lain.
Eisenberg dan Fabes (Sari, 2003) menambahkan bahwasannya kemampuan
merasakan perasaan ini membuat seorang yang empati seolah mengalami sendiri
peristiwa yang dialami orang lain. Koestner dan Franz (Sari, 2003) yang
mengartikan empati sebagai kemampuan untuk menempatkan diri dalam perasaan
atau pikiran orang lain tanpa harus secara nyata terlibat dalam perasaan atau
tanggapan orang tersebut.
Berdasarkan uraian, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan
antara kemampuan berempati dengan kecenderungan Burnout yang dialami oleh
para relawan korban bencana alam, sehingga dapat diketahui bahwasannya apakah
benar bahwa dengan memiliki rasa Empati yang tinggi maka dapat menekan
timbulnya kondisi Burnout yang dialami para relawan korban bencana alam.
II. Metode Penelitian
A. Subyek Penelitian
Yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah para relawan yang
tergabung dalam organisasi pecinta alam MAPALA UNISI Universitas Islam
Indonesia baik yang masih aktif menjadi mahasiswa UII maupun yang sudah tidak
aktif menjadi mahasiswa (alumni mahasiswa UII), yang
menjadi relawan di
Nanggroe Aceh Darussalam dan di kawasan DIY dan Jateng.
Dengan modal sendiri para relawan MAPALA UNISI tersebut secara
bertahap memberangkatkan anggotanya secara berkelompok dengan jumlah
anggota berkisar antara 20 sampai dengan 30 orang sebanyak tiga kali jadwal
keberangkatan ke Nanggroe Aceh Darussalam untuk memberikan bantuannya,
keberangkatan para relawan MAPALA UNISI tersebut disertai dengan
keberangkatan para mahasiswa UII lainnya dari berbagai fakultas, yang dengan
sukarela mendaftar diri menjadi relawan yang bersedia diberangkatkan ke
Nanggroe Aceh Darussalam dengan modal sendiri.
Begitu pula dengan kesigapan para anggota MAPALA UNISI
ketika
bencana gempa bumi melanda DIY dan Jateng, puluhan anggota MAPALA
UNISI langsung menuju lokasi yang paling parah, yaitu di Kabupaten Bantul
tanpa menunggu adanya koordinasi lebih lanjut, dengan mengendarai motor dan
satu buah mobil para anggota MAPALA UNISI tersebut langsung menuju lokasi
dengan membawa perangkat logistik maupun obat-obatan.
Adapun jumlah anggota MAPALA UNISI yang masih aktif sebanyak 58
orang, hanya 12 orang yang tercatat tidak menjadi relawan yang berangkat ke
Nanggroe Aceh Darussalam, sedangkan anggota MAPALA UNISI yang telah
menjadi alumni UII yang ikut diberangkatkan berjumlah 13 orang. Anggota
MAPALA UNISI yang menjadi relawan di Kabupaten Bantul dan sekitarnya
setelah terbentuk koordinasi bantuan bencana pada hari ketiga pasca bencana
berjumlah 47 orang yang masih aktif menjadi mahasiswa dan 17 orang yang telah
menjadi alumni. Namun dikarenakan kurangnya modal pribadi dari sebagian
anggota
MAPALA UNISI yang berangkat ke Nanggroe Aceh Darussalam,
membuat mereka kemudian bergabung dengan sejumlah LSM untuk mendapatkan
upah demi kelangsungan hidup mereka selama di lokasi bencana, keterbatasan
dana dan sulitnya mendapatkan layanan ATM memungkinkan para mahasiswa
tersebut bergabung dengan sejumlah LSM dan menerima upah atas kerja keras
mereka menolong para korban bencana, namun pada bencana gempa bumi di DIY
dan Jateng tidak ada satupun anggota MAPALA UNISI yang tergabung dalam
LSM, dikarenakan fasilitas masih mudah didapat dan adanya bantuan besar yang
diberikan oleh para alumni mahasiswa UII dan para donatur yang membutuhkan
tenaga relawan untuk menyalurkan bantuan mereka, anggota MAPALA UNISI
yang tergabung dalam LSM tercatat sebanyak 22 orang. Oleh sebab itu relawan
dari anggota MAPALA UNISI yang murni tidak tergabung dalam LSM maupun
menerima imbalan dalam bentuk apapun, yang dapat dijadikan subyek penelitian
ini berjumlah 101 orang.
B. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua
buah skala, yaitu :
1. Skala Empati.
Skala empati yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Empati
yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori Davis (Wardani, 1996), yang
membagi empati menjadi dua komponen yang masing-masing meliputi dua aspek,
yang terdiri dari :
1. Komponen Kognitif : komponen ini difokuskan dalam proses-proses
intelektual untuk memahami perspektif orang lain secara tepat. Disini
seseorang diharapkan untuk mampu membedakan emosi-emosi orang lain
dan menerima pandangan-pandangan mereka. Komponen ini meliputi : a)
Perspective Taking (PT) atau pengambilan perspektif yaitu sebuah
kecenderungan individu untuk mengambil alih tentang sudut pandang
orang lain secara spontan; b) Fantasy (F) atau khayalan yaitu
kecenderungan kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara
imajinatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakteristik
khayalan yang terdapat pada layar kaca atau televisi, buku-buku, film-film
bioskop maupun dalam sebuah drama yang dipahaminya.
2. Komponen Afektif yang diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk
mengalami perasaan-perasaan emosional orang lain. Komponen ini
meliputi : a) Empathy Concern (EC) atau perhatian Empatik yang
merupakan sebuah reaksi afektif yang menitik beratkan pada perasaan
empatik terhadap seseorang yang telah tertimpa kemalangan; b) Personal
Distress (PD) atau distres pribadi yaitu perasaan diri seseorang yang
menitik beratkan pada diri sendiri yang dapat berupa perasaan cemas,
gelisah,
keragu-raguan
pada
situasi
interpersonal
yang
tidak
menyenangkan.
Skala Empati ini keseluruhan aitemnya berjumlah 39 aitem. Terdiri dari 19
aitem favourable dan 20 aitem unfavourable. Aitem favorable adalah aitem yang
memihak atau mendukung pada atribut yang hendak diukur, sedangkan aitem
unfavorable adalah aitem yang menentang atau menolak atribut yang hendak
diukur.
2. Skala Burnout.
Untuk mengungkapkan tingkat Burnout pada relawan korban bencana
alam digunakan skala Burnout yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan 3
dimensi Burnout dari Maslach dan Jackson (Sulistyantini, 1997) yaitu :
1. Kelelahan Emosi (Emotional Exhaution) yang ditandai dengan : a)
Terkurasnya tenaga; b) Sering merasa lelah (letih); c) Mengalami rasa
bosan (jenuh); d) Mengalami frustrasi; e) Mudah tersinggung dan marah
tanpa tahu apa penyebabnya; f) Mudah putus asa; g) Merasa sedih; h)
Merasa tidak berdaya; i) Mengalami perasaan tertekan; dan j) Merasa
terjebak dalam pekerjaan.
2. Depersonalisasi
(Depersonalization)
yang
ditandai
dengan
:
a)
Menjauhnya individu dari lingkungan sosial; b) Bersikap apatis (tidak
peduli terhadap lingkungan serta individu lain disekitarnya); dan c) Tidak
melibatkan perasaan dalam bekerja (menganggap orang lain sebagai
obyek).
3. Rendahnya
Penghargaan
Terhadap
Diri
Sendiri
(Low
Personal
Accomplishment) yang ditandai dengan : a) Ketidakpuasan terhadap hasil
kerja sendiri; b) Minat terhadap pekerjaan berkurang; c) Merasa tidak
berarti bagi orang lain; d) Merasa gagal; e) Merasa rendah diri,;dan f)
Merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya
maupun bagi orang lain.
Skala Burnout ini keseluruhan aitemnya berjumlah 55 aitem. Terdiri dari
29 aitem favourable dan 26 aitem unfavourable. Aitem favorable adalah aitem
yang memihak atau mendukung pada atribut yang hendak diukur, sedangkan
aitem unfavorable adalah aitem yang menentang atau menolak atribut yang
hendak diukur.
C. Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur empati dan
Burnout, yang mana untuk mengukur tingkat Burnout penulis menggunakan skala
yang disusun sendiri yang mengacu pada teori Maslach dan Jackson (1982), dan
untuk mengukur tingkat empati penulis menggunakan skala yang disusun sendiri
yang mengacu pada teori Davis (1983).
D. Metode Analisis Data
Metode analisis data untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan korelasi Product Moment (r) dari Karl Pearson. Alasan
menggunakan korelasi Product Moment adalah karena penelitian ini bertujuan
untuk melihat ada tidaknya hubungan antara variabel bebas (X) dengan variabel
tergantung (Y), dimana koefisien korelasi Product Moment digunakan apabila
kedua variabel bersifat kontinyu, bukan kategorial. (Azwar, 1997).
Berdasarkan teknik korelasi Product Moment, apabila didapatkan
koefisien korelasi yang signifikan, berarti terdapat hubungan antara variabel bebas
dengan veriabel tergantung. Sebaliknya apabila koefisien korelasi tidak signifikan,
berarti tidak terdapat hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment
dengan bantuan komputer program SPSS for windows versi 11.0.
III. Hasil Penelitian
Uji asumsi yang mencakup uji normalitas dan linearitas dilakukan sebelum
dilakukan uji hipotesis. Hal ini perlu dilakukan karena teknik korelasi yang
digunakan adalah teknik korelasi product moment yang harus menggunakan data
yang berdistribusi normal dan linier, karena korelasi product moment digunakan
untuk mendapatkan hubungan antara dua variabel yang sama-sama berjenis
interval, sehingga dapat diketahui hasil secara murni korelasi antara dua variabel
tersebut.
1. Uji Asumsi
Sebelum melakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji asumsi
yang meliputi uji normalitas dan uji linearitas.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan fasilitas komputer SPSS
for windows versi 11. 0 dengan statistik teknik one sample kolmogorov smirnov
test. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa pada skala Empati memiliki skor K
– S Z = 0,951 dengan angka signifikasi sebesar 0,326 (p>0,05); yang
menunjukkan bahwa persebaran data skor untuk skala empati adalah normal.
Sedangkan pada skala Burnout memiliki skor K - S Z = 0,589 dengan
angka signifikasi sebesar 0,879 (p>0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa
persebaran data skor untuk skala Burnout adalah normal.
b. Uji Linearitas
Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan fasilitas komputer SPSS for
windows versi 11. 0 dengan statistik teknik compare mean. Hasil uji linearitas
didapatkan angka F = 6,631; p = 0, 016 (p<0,05). Hal tersebut menunjukkan
bahwa hubungan antara Empati dan Burnout adalah linier.
2. Analisa Hasil
Dengan menggunakan SPSS for windows versi 11. 0 maka analisa statistik
yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian ini adalah analisa korelasi
product moment yang terdiri dari satu variabel tergantung yaitu skala Empati dan
satu variabel bebas yaitu skala Burnout. Analisis hasil uji hipotesis dapat dilihat
pada tabel deskripsi data penelitian yang berisikan fungsi-fungsi statistik dasar
yang disajikan secara lengkap pada tabel berikut ini :
Tabel 5
Deskripsi Data Penelitian.
Hipotetik
Variabel
x max x min Mean
SD
x max
x min
Mean
SD
Empati
84
21
52,5
10,5
74
56
61,86
2,90
Burnout
128
32
80
16
63
42
52,54
4,25
Empirik
a. Skala Empati
Skala Empati terdiri dari 21 aitem dan diberi nilai minimum 1 dan nilai
maksimum 4. Rentang nilai minimum dan maksimum adalah 56 – 74 dengan
jarak sebaran sebesar 63. Dengan demikian satuan deviasi standar hipotetik (SDH)
= 10,5. Sedangkan nilai rata-rata hipotetik (MH) = 52,5 dan rata-rata empirik =
61,86.
Dalam analisis skala Empati ini, membagi kriteria kategori menjadi lima,
yaitu:
1. x < MH – 1,8 SDH
= sangat rendah.
2. MH – 1,8 SDH < x < MH – 0,6 SDH
= rendah.
3. MH – 0,6 SDH < x < MH + 0,6 SDH
= sedang.
4. MH + 0,6 SDH < x < MH + 1,8 SDH
= tinggi.
5. x > MH + 1,8 SDH
= sangat tinggi.
Keterangan:
X
= Skor Total.
SDH
= Standar Deviasi Hipotetik.
MH
= Mean Hipotetik.
Dengan pembagian kriteria tersebut, maka diperoleh kategori dengan nilai
sebagai berikut :
Tabel 6
Kriteria kategori skala Empati.
Skor
Kategori
Jumlah
(%)
x < 33,6
Sangat rendah
0
0%
33,6 < x < 46,2
Rendah
0
0%
46,2 < x < 58,8
Sedang
4
1,76 %
58,8 < x < 71,4
Tinggi
39
17,16 %
x > 71,4
Sangat tinggi
1
0,44 %
Setelah mendapat kriteria tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
subyek penelitian yang mempunyai nilai rata-rata empirik sebesar 61,86 termasuk
dalam kategori TINGGI.
b. Skala Burnout.
Skala Burnout terdiri dari 32 aitem dan diberi nilai minimum 1 dan nilai
maksimum 4. Rentang nilai minimum dan maksimum adalah 42 – 63 dengan
jarak sebaran sebesar 96. Dengan demikian satuan Deviasi Standar Hipotetik
(SDH) = 16. Sedangkan nilai rata-rata hipotetik (MH) = 80 dan rata-rata empirik
= 52,54.
Dalam analisis skala Burnout ini, membagi kriteria kategori menjadi lima,
yaitu:
1. x < MH – 1,8 SDH
= sangat rendah.
2. MH – 1,8 SDH < x < MH – 0,6 SDH
= rendah.
3. MH – 0,6 SDH < x < MH + 0,6 SDH
= sedang.
4. MH + 0,6 SDH < x < MH + 1,8 SDH
= tinggi.
5. x > MH + 1,8 SDH
= sangat tinggi.
Keterangan:
x
= Skor Total.
SDH
= Standar Deviasi Hipotetik.
MH
= Mean Hipotetik.
Dengan pembagian kriteria tersebut, maka diperoleh kategori dengan nilai
sebagai berikut :
Tabel 7
Kriteria kategori skala Burnout.
Skor
Kategori
Jumlah
(%)
x < 51,2
Sangat rendah
19
8,36 %
51,2 < x < 70,4
Rendah
25
11 %
70,4 < x < 89,6
Sedang
0
0%
89,6 < x < 108,8
Tinggi
0
0%
x > 108,8
Sangat tinggi
0
0%
Setelah mendapat kriteria tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
subyek penelitian yang mempunyai nilai rata-rata empirik sebesar 52,54 termasuk
dalam kategori RENDAH.
3. Uji Hipotesis
Hasil
analisis
dengan
menggunakan
SPSS
11.00
for
Windows,
menunjukkan bahwa koefisien korelasi dari analisis product moment antara skala
empati dan skala Burnout adalah rxy = - 0,362; p = 0,016 (p<0,05). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara empati dengan Burnout pada
relawan korban bencana alam, sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa ada
hubungan negatif antara empati dengan Burnout pada relawan korban bencana
alam, hipotesis tersebut DITERIMA.
Pada analisis ini ditemukan juga R. Squared = 0, 131 dengan demikian
diperoleh sumbangan efektif dari variabel bebas (Empati) terhadap variabel
tergantung (Burnout) adalah 13,1 %.
IV. Pembahasan
Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang
signifikan antara variabel empati dengan variabel Burnout. Angka koefisien
korelasi sebesar rxy = - 0,362; p = 0,016 (p<0,05) menunjukkan hubungan antara
dua variabel tersebut terbukti, artinya ada perbandingan korelasi terbalik antara
variabel Burnout dan variabel empati, dimana semakin tinggi Burnout yang
dialami para relawan korban bencana alam tersebut, maka semakin rendah tingkat
empati yang dimilikinya. Sebaliknya, semakin rendah Burnout yang dialami para
relawan korban bencana alam, maka semakin tinggi tingkat empati yang dimiliki
para relawan tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa hipotesis yang
menyatakan bahwa ada hubungan negatif antara empati dengan Burnout pada
relawan korban bencana alam, hipotesis tersebut diterima.
Hasil penelitian pada skala Burnout menunjukkan bahwa mean empirik
yang didapat sebesar 52,54 sedangkan mean hipotetik yang didapat sebesar 80;
berarti secara rata-rata nilai responden pada alat ukur lebih rendah daripada ratarata hipotetiknya dan mayoritas berada pada taraf rendah sebanyak 19 orang (8,36
%) dan pada taraf sangat rendah sebayak 25 orang (11 %). Secara garis besar
dapat dikatakan bahwa relawan MAPALA UNISI Universitas Islam Indonesia
cenderung mengalami Burnout yang rendah dan sangat rendah ketika mereka
memberikan bantuan secara sukarela kepada para korban bencana alam.
Sedangkan hasil penelitian pada skala Empati menunjukkan bahwa mean
empirik yang didapat sebesar 61,86 sedangkan mean hipotetik yang didapat
sebesar 52,5; berarti secara rata-rata nilai responden pada alat ukur lebih rendah
daripada rata-rata hipotetiknya dan mayoritas berada pada taraf sedang sebanyak 4
orang (1,76 %), taraf tinggi sebanyak 39 orang (17,16 %) dan pada taraf sangat
tinggi sebanyak 1 orang (0,44 %). Secara garis besar dapat dikatakan bahwa
relawan MAPALA UNISI Universitas Islam Indonesia cenderung memiliki
Empati yang sedang, tinggi dan sangat tinggi ketika mereka memberikan bantuan
secara sukarela kepada para korban bencana alam.
Hasil tersebut diperkuat dengan adanya fakta yang dikemukakan oleh
Ahmad Syafii Maarif yang dimuat dalam harian REPUBLIKA, Selasa 15 Februari
2005 dengan judul ”Relawan Pengangkat Mayat” dimana dijelaskan bahwa :
”Di samping ada relawan bayaran, lebih banyak yang datang ke daerah
bencana itu atas panggilan hati nuraninya yang tulus. Cerita dari
kelompok terakhir inilah yang ingin saya rekamkan dalam ''Resonansi''
kali ini. Mereka berasal dari berbagai unsur, antara lain, mahasiswa
pecinta alam UII Yogyakarta ... ”.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tingginya tingkat empati yang mereka
miliki mampu mengalahkan tingkat kecenderungan Burnout yang dapat dialami
oleh para relawan tersebut yang dapat disebabkan dengan banyaknya tugas dan
tekanan berupa keluhan dari para korban bencana alam, sehingga rasa empati
yang ada pada diri para relawan tersebut tidak terpengaruh oleh keadaan Burnout
atau dengan kata lain keinginan menolong dengan secara sukarela tidak menjadi
menurun dikarenakan empati yang mereka miliki tinggi dan mereka menolong
dengan penuh keikhlasan dan bersungguh-sungguh tanpa mengharapkan imbalan
berupa apapun dari para korban bencana alam tersebut.
Gejala Burnout jelas merugikan karena akan mengurangi kemampuan
dan efektivitas pelayanan jasa yang dilakukan oleh para relawan tersebut hal itu
disebabkan karena bekerja melayani orang lain membutuhkan banyak energi
karena harus bersikap sabar dan memahami orang lain dalam keadaan krisis,
frustrasi, ketakutan, dan kesakitan. (Farber, 1991; Maslach, 1982; Sutjipto, 2001).
Pemberi dan penerima pelayanan turut membentuk dan mengarahkan terjadinya
hubungan yang melibatkan emosional, dan secara tidak disengaja dapat
menyebabkan stres emosional karena keterlibatan antar mereka dapat memberikan
penguatan positif atau kepuasan bagi kedua belah pihak, atau sebaliknya.
Namun dengan memiliki empati yang tinggi, kecenderungan Burnout
dapat ditekan sehingga keinginan menolong pada mereka yang membutuhkan
bantuan semakin kuat dan semakin tinggi seiring dengan tingginya tingkat empati
yang dimiliki seseorang, hal ini diperkuat dengan adanya teori yang dikemukakan
oleh Schlenker dan Britt (Baron dan Byrne, 1994) bahwa terdapat beberapa faktor
yang memotivasi seseorang untuk melakukan perilaku menolong, di mana salah
satunya adalah empati pada diri seseorang. Menolong dan ditolong oleh orang lain
jelas meningkatkan kesempatan bagi orang untuk dapat bertahan dan
bereproduksi. Komponen Afektif dari empati juga termasuk merasa simpati,
dimana simpati adalah tidak hanya merasakan penderitaan orang lain tetapi juga
mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan sesuatu untuk meringankan
penderitaan mereka. Misalnya, individu yang memiliki empati tinggi lebih
termotivasi untuk menolong seorang teman daripada mereka yang memiliki
empati rendah.
Kesemua teori diatas yang menguatkan bahwa dengan adanya empati
yang tinggi pada diri seseorang dapat memicu tingginya keinginan untuk
menolong sesama yang membutuhkan, dan hal tersebutlah yang dialami oleh para
relawan dari MAPALA UNISI Universitas Islam Indonesia, dimana sesuai dengan
hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kadar empati yang mereka miliki tinggi
dan sangat tinggi, maka dalam memberikan bantuan secara sukarela kepada para
korban bencana alam, mereka dapat melakukannya dengan penuh semangat dan
keikhlasan, hal tersebut dipengaruhi oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa
kadar Burnout yang mereka miliki rendah dan sangat rendah.
Kesimpulan
Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang
signifikan antar variabel empati dengan variabel Burnout yang dialami para
relawan korban bencana alam. Angka koefisien korelasi sebesar rxy = - 0,362; p =
0,016 (p<0,05) menunjukkan hubungan antara dua variabel tersebut terbukti. Oleh
karena itu, hipotesis yang berbunyi ada hubungan negatif antara empati dengan
Burnout pada relawan korban bencana alam adalah terbukti.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, maka penulis akan
memberikan sumbangan saran yang diharapkan dapat bermanfaat, yaitu:
a. Untuk Relawan
Perlu adanya penanaman motivasi dan semangat yang tinggi kepada para
relawan tersebut, mengingat para relawan bekerja tanpa mendapatkan upah baik
itu berupa uang ataupun materi, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah
dengan menanamkan sikap empati pada diri setiap orang agar mereka dapat
senantiasa berempati dengan penderitaan orang lain, dengan begitu tingginya
keinginan untuk membantu mereka yang sedang tertimpa musibah ataupun
keinginan untuk menolong sesama menjadi sikap dasar yang ada dalam setiap
pribadi seseorang, sehingga tanpa adanya imbalan apapun dengan ikhlas dapat
segera memberikan bantuan bagi sesama yang membutuhkan, tanpa menunggu
adanya iming-iming imbalan baik itu berupa materi, uang, maupun penghargaan.
b. Untuk Penelitian Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya agar dapat menyempurnakan hasil penelitian dan
mengupas lebih dalam mengenai tingkat empati yang dimiliki oleh seseorang,
karena empati merupakan sikap dasar yang harus dimiliki oleh semua orang
sebagai mana kodrat manusia yang membutuhkan bantuan sesama dan saling
hidup berdampingan.
Hendaknya pada penelitian selanjutnya diupayakan lebih teliti, lebih
cermat, serta lebih spesifik dalam memilih dan mengambil subyek penelitian,
sehingga didapatkan berbagai gambaran mengenai tinggi rendahnya tingkat
empati yang dimiliki seseorang khususnya mereka yang bekerja secara sukarela
membantu sesama yang membutuhkan ataupun bagi mereka yang tergolong
pekerja sosial, dan juga perlu diketahui lebih lanjut apakah adanya Burnout pada
mereka akan memberikan pengaruh negatif bagi kinerja yang mereka lakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Aceh Media. 2005. Relawan Kelelahan, Warga Aceh Diminta Bantu Evakuasi.
http://www.airputih.or.id.18/06/07.
Aceh Media. 2005. Tsunami Aceh. http://www.airputih.or.id.18/06/07.
Azwar, S. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Edisi Ketiga Cetakan Pertama.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Baron, R.A. & Byrne, D. 1994. Psikologi Sosial. Jilid 2. Jakarta. Penerbit:
Erlangga.
Bringin Life. 2002. Berdamai Dengan Temperamen Anda Di Kantor.
http://www.google.com/CBN Portal.htm. 04/11/06.
Carlozzi, A. F. Dkk. 1983. Empathy And Ego Development. Journal Of
Counseling Psychology, 30, 1, 113 - 116.
Damayanti, D. 2001. Hubungan Intensi Prososial Dengan Motivasi Kerja Relawan
Lembaga Swadaya Masyarakat Di Yogyakarta. Skripsi (tidak diterbitkan).
Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Davis, M. H. 1983. Measuring Individual Differences in Empathy : Evidence For
A Multidimentional Approach. Journal Of Personality And Social
Psychology, 44, 1, 113 - 126.
Firdaus, U. 2006. Burnout. http://www.pikiran-rakyat.com. 04/11/06.
Gusli, D. 2001. Hubungan Persepsi Konsumen Terhadap Empati Dutaniaga Dan
Kepuasan Konsumen. Naskah Publikasi (tidak diterbitkan). Yogyakarta.
Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.
Haryati, D. 1999. Hubungan Antara Konsep Diri Dan Penyesuaian Diri remaja
Akhir Di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. Skripsi
(tidak
diterbitkan).
Malang.
Fakultas
Psikologi
Universitas
Muhammadiyah Malang.
Iskandar. L, Dharmawan, & Tim Pulih. 2005. Prinsip-prinsip Dukungan
Psikososial Pasca Bencana. http://www.google.com. 04/11/06.
Johnson, J. A; Check. J. M & Smither, R. 1983. The Structure Of Empathy.
Journal Of Personality And Social Psychology. 45, 6, 1299 - 1312.
Khairiyah, R. 1998. Dukungan Sosial, Konsep Diri dan Burnout Pada Guru
Sekolah Dasar Negeri Di Kotamadya Yogyakarta. Skripsi (tidak
diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Kedaulatan Rakyat. 2006. Relawan, Memadukan Keahlian Dan Profesionalisme.
Kliping koran. 04/11/06.
Kedaulatan Rakyat. 2006. 'Ngungsi', Berkelompok atau Mandiri.
http://www.kompas.com. 18/06/07.
Koestnerr, R & Franz, C. 1990. The Family Origins Of Empathic Concern : A-26
Year Longitudinal Study. Journal Of Personality And Social Psychology.
58, 4, 709 - 717.
Kompas. 2005. Para Sukarelawan Aceh
http://www.kompas.com. 04/11/06.
Diimbau
Persiapkan
Diri.
Maslach, C & Goldberg, J. 1998. Prevention Of Burnout : New Perspektives.
Journal Applied & Preventive Psychology. 7, 63 – 74.
Media
Indonesia. 2005. Prioritas
http://www.google.com. 18/06/07.
Penugasan
Relawan
Di
Media Indonesia. 2005. Manajemen. http://www.google.com. 18/06/07.
Pitaloka, RR. A. 2005. Manajemen Stres Bagi Relawan.
http://www.e-psikologi.com. 04/11/06.
Republika, 2005. Relawan Pengangkat Mayat. Artikel.
http://www.republika.com. 04/11/06.
Republika, 2006. Dampak Psikologis Bencana Merapi. Artikel.
http://www.republika.com. 18/06/07.
Aceh.
Sari, A. T. O; Ramdhani, N & Eliza, M. 2003. Empati Dan Perilaku Merokok Di
Tempat Umum. Jurnal Psikologi. No. 2.
Sulistyantini, S. R. 1997. Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Burnout
Pada Perawat Di rumah Sakit Angkatan Laut Jakarta Pusat. Skripsi (tidak
diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Sutjipto.
2001.
Apakah
Anda
Mengalami
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/32/sutjipto.htm. 04/11/06.
Burnout.
Strawberrycute. 2006. Burnout. http://www. strawberrycute.com. 04/11/06.
Ubaydillah, 2005. Mengaktifkan Jaringan Kerja.
http://www.e-psikologi.com/lain-lain/penulis.htm. 04/11/06.
Wardani, I. D. 1996. Hubungan Antara Empati Dengan Intensi Prososial Pada
Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada.
IDENTITAS PENULIS
NAMA
: Hutfi Sekardhini.
NO. MAHASISWA : 01 320 345.
ALAMAT RUMAH : Jl. Serma Taruna Ramli No : 5 Kotabaru,
Yogyakarta, 55224.
NO. HP
: 085643492072.
Download