peraturan pemerintah republik indonesia nomor 4 tahun 2006

advertisement
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2006
TENTANG
PENYELENGGARAAN DAN KERJA SAMA
PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan dan Kerja sama
Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga;
Mengingat
: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419).
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN DAN KERJA
SAMA PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Pemulihan korban adalah segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga
agar lebih berdaya, baik secara fisik maupun psikis.
2. Penyelenggaraan pemulihan adalah segala tindakan yang meliputi pelayanan dan pendampingan
kepada korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Pendarnpingan adalah segala tindakan berupa konseling, terapi psikologis, advokasi, dan
bimbingan rohani, guna penguatan diri korban kekerasan dalam rumah tangga untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
4. Kerjasama adalah cara yang sistematis dan terpadu antar penyelenggara pemulihan dalam
memberikan pelayanan untuk memulihkan korban kekerasan dalam rumah tangga.
5. Petugas penyelenggara pemulihan adalah tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan
pendamping, dan/atau pernbimbing rohani.
6. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan
perempuan.
BAB II
PENYELENGGARAAN PEMULIHAN
Pasal 2
(1) Penyelenggaraan pemulihan terhadap korban dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan
pemerintah daerah serta lembaga sosial sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing,
termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban.
(2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. ruang pelayanan khusus dijajaran kepolisian;
b. tenaga yang ahli dan profesional;
c.
pusat pelayanan dan rumah aman; dan
d. sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban.
(3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 3
(1) Menteri rnenetapkan pedoman pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga yang sensitif
gender.
(2) Pedoman pemulihan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan
standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
Penyelenggaraan kegiatan pemulihan korban meliputi :
a. pelayanan kesehatan;
b. pendampingan korban;
c. konseling;
d. bimbingan rohani; dan
e. resosialisasi.
Pasal 5
(1) Pelayanan kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan di sarana kesehatan milik pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat, termasuk swasta dengan cara memberikan pelayanan
pengobatan dan pemulihan kesehatan korban.
(2) Pendampingan korban dilakukan oleh tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping,
dan/atau pembimbing rohani dengan cara memberikan konseling, terapi, bimbingan rohani dan
advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban.
(3) Pemberian konseling dilakukan oleh pekerja sosial, relawan pendamping, dengan mendengarkan
secara empati dan menggali permasalahan untuk penguatan psikologis korban.
(4) Bimbingan rohani dilakukan oleh pembimbing rohani dengan cara memberikan penjelasan
mengenai hak dan kewajibannya, serta penguatan iman dan takwa sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianutnya.
(5) Resosialisasi korban dilaksanakan oleh instansi sosial dan lembaga sosial agar korban dapat
kembali melaksanakan fungsi sosialnya dalam masyarakat.
Pasal 6
Untuk kepentingan pemulihan, korban berhak mendapatkan pelayanan dari tenaga kesehatan,
pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 7
(1) Tenaga kesehatan halals memberikan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan korban
sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, dan kebutuhan medis Icorban.
(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan dasar dan
sarana kesehatan rujukan milik pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat termasuk
swasta.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri Kesehatan.
Pasal 8
(1) Dalam memberikan pelayanan kepada korban, tenaga kesehatan melakukan upaya :
a. anamnesis kepada korban;
b.
c.
d.
e.
f.
pemeriksaan kepada korban;
pengobatan penyakit;
pemulihan kesehatan, baik fisik maupun psikis;
konseling; dan/atau
merujuk ke sarana kesehatan yang lebih memadai bila diperlukan.
(2) Selain upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kasus tertentu, tenaga kesehatan
dapat melakukan :
a. pelayanan keluarga berencana darurat untuk korban perkosaan; dan
b. pelayanan kesehatan reproduksi lainnya sesuai dengan kebutuhan medis.
(3) Dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tenaga
kesehatan harus rnembuat rekam medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4) Untuk setiap tindakan medis yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan harus ada persetujuan
tindakan medis (informed consent) dari korban atau keluarganya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Untuk keperluan penyidikan, tenaga kesehatan yang berwenang harus membuat visum et
repertum dan/atau visu.nt et repertum. psichiatricum atau membuat surat keterangan medis.
(6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri Kesehatan.
Pasal 9
(1) Pekerja sosial dalam memberikan pelayanan kepada korban, dapat dilakukan di rumah aman,
pusat pelayanan atau tempat tinggal alternatif milik pemerintah, pemerintah daerah, atau
masyarakat.
(2) Dalam hal diperlukan dan atas persetujuan korban, korban dapat ditempatkan oleh pekerja sosial
di rumah aman, pusat pelayanan, atau tempat tinggal alternatif yang aman untuk melindungi
korban dari ancaman.
(3) Pengadaan rumah aman, pusat pelayanan, atau tempat tinggal alternatif yang dilakukan
masyarakat dapat difasilitasi oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan pelayanan pada rumah aman, atau
tempat tinggal alternatif milik pemerintah, diatur dengan Peraturan Menteri Sosial.
Pasal 10
Menteri Sosial dan Menteri Kesehatan, setelah memperhatikan saran dan pertimbangan menteri,
dapat menyelenggarakan pusat pelayanan milik pemerintah.
Pasal 11
Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, pekerja sosial melakukan upaya :
a. menggali permasalahan korban untuk membantu pemecahan masalahnya;
b. mernulihkan korban dari kondisi traumatis melalui terapi psikososial;
c. melakukan rujukan ke rumah sakit atau rumah aman atau pusat pelayanan atau tempat alternatif
lainnya sesuai dengan kebutuhan korban;
d. mendampingi korban dalam upaya pemulihan melalui pendampingan dan konseling; dan/atau
e. melakukan resosialisasi agar korban dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya di dalam
masyarakat.
Pasal 12
Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, relawan pendamping melakukan upaya :
a. membangun hubungan yang setara dengan korban agar bersedia membuka diri dalam
mengemukakan persoalannya;
b. berempati dan tidak menyalahkan korban mengenai atau yang terkait dengan permasalahannya;
c.
meyakinkan korban bahwa tidak seorang pun boleh melakukan tindakan kekerasan;
d. menyayakan apa yang ingin dilakukan dan bantuan apa yang diperlukan;
e. memberikan informasi dan menghubungkan dengan lembaga atau perorangan yang dapat
membantu mengatasi persoalannya; dan/atau
f.
membantu memberikan informasi tentang layanan konsultasi hukum.
Pasal 13
Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, pembimbing rohani melakukan upaya :
a. menggali informasi dan mendengarkan keluh kesah dari korban;
b. mempertebal keimanan dan ketakwaan korban serta mendorong untuk menjalankan ibadat
menurut agama masing-masing korban dan kepercayaannya itu.
c.
menyarankan pemecahan masalah kekerasan dalam rumah tangga menurut agama masingmasing korban dan kepercayaannya itu.
d. memberikan pemahaman mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Pasal 14
Pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dapat diberikan juga
kepada pelaku dan anggota keluarganya.
BAB III
KERJASAMA PEMULIHAN
Pasal 15
(1) Menteri dapat melakukan koordinasi mengenai pelaksanaan kerjasama dalam rangka pemulihan
korban.
(2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri dapat membentuk
forum koordinasi pusat yang keanggotaannya berasal dari instansi terkait dan masyarakat yang
peduli terhadap penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan koordinasi, syarat dan tata cara pembentukan
forum koordinasi diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 16
(1) Untuk melaksanakan kerjasama dalam rangka pemulihan korban, pernerintah daerah dapat
melakukan koordinasi antar instansi terkait dengan masyarakat yang peduli terhadap
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu badan yang khusus
membidangi pemberdayaan perempuan dan anak.
(3) Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk oleh Gubernur.
Pasal 17
(1) Tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan pembimbing rohani dapat
melakukan kerjasama dalam melaksanakan pemulihan korban.
(2) Kerjasama sebagai-rnana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan sebagai berikut :
a. melakukan rujukan dalam pelaksanaan upaya pemulihan korban; dan
b. penyiapan fasilitas rumah aman atau tempat alternatif bagi korban.
Pasal 18
Dalam hal tertentu, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing
rohani dapat menjalin kerjasama dengan
a. kepolisian, untuk melaporkan dan memproses pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga;
b. advokat, untuk membantu korban dalam proses peradilan;
c.
penegak hukum lainnya, untuk membantu korban dalam proses di sidang pengadilan;
d. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan;
e. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI);
f.
pihak tertentu yang diinginkan demi kepentingan korban.
Pasal 19
Untuk penyelenggaraan pemulihan, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan tugas dan
fungsi masing-masing dapat melakukan kerjasama dengan masyarakat atau lembaga sosial, baik
nasional maupun internasional yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 20
Pemerintah dan pernerintah daerah :
a. menjamin terlaksananya kemudahan pelayanan kepada korban;
b. mengupayakan efektivitas dan efisiensi bagi proses pemulihan korban; dan
c.
mengupayakan terciptanya kerjasama dan koordinasi dalam upaya pemulihan korban,
Pasal 21
Menteri melakukan pemantauan, evaluasi, dan peningkatan kinerja pelaksanaan kerjasama
pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga secara transparan dan bertanggung jawab.
BAB IV
PEMBIAYAAN
Pasal 22
Segala biaya untuk pelaksanaan pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah
terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dibebankan pada:
a. Anggaran Pendapatan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah; dan
c.
sumber pendapatan lain yang sah yang perolehannya sesnai dengan peraturan perundangundangan.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Pebruari 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Pebruari. 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK AZASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 15
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2006
TENTANG
PENYELENGGARAAN DAN KERJA SAMA DALAM UPAYA PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
I.
UMUM
Upaya pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga perlu terus dilakukan, yang
pelaksanaannya dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu antar lintas sektor baik pada tingkat
pusat, provinsi, maupun kabupaten/Kota. Untuk kelancaran pelaksanaan pemulihan korban
kekerasan dalam rumah tangga, perlu peraturan perundang-undangan yang mengatur
penyelenggaraan dan kerja sama antar instansi pemerintah dengan melibatkan masyarakat.
Upaya pemulihan tersebut merupakan amanat dari Pasal 43 Undang-Undang Nomor 23 Tabun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Guna menunjang pelaksanaan tersebut, perlu pengaturan mengenai penyelenggaraan dan kerja
sama pemulihan korban dengan menentukan tugas dan fungsi masing-masing dan kewajiban
serta tanggung jawab tenaga kesehatan, pekerja sosial, pembimbing rohani dan relawan
pendamping. Untuk lebih mengefektifkan pelayanan terpadu, maka dalam peraturan ini dibentuk
forum koordinasi yang akan mengkoordinasikan antar petugas pelayanan, sekaligus menyusun
rencana program bagi peningkatan upaya pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Forum koordinasi tersebut dibentuk di pusat dan di daerah. Menteri membentuk forum koordinasi
di tingkat pusat, sedangcan di daerah dibentuk oleh Gubernur.
Penyelenggaraaa kerja sama pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga diarahkan pada
pulihnya kondisi korban seperti semula baik fisik maupun psikis dalam waktu yang tidak terlalu
lama, sehingga korban dapat menjalankan aktivitasnya sehari-hari dan dapat hidup di tengah
masyarakat seperti semula. Oleh karena itu, pelayanan harus dilaksanakan semaksimal mungkin
segera setelah adanya pengaduan atau pelaporan dari korban untuk memperoleh pelayanan bagi
pemulihan kondisi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Dengan demikian, upaya penyelenggaraan pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga
pada dasarnya bertujuan menjamin terlaksananya kemudahan pelayanan korban kekerasan
dalam rumah tangga, menjamin efektivitas dan efisiensi bagi proses pemulihan korban kekerasan
dalam rumah tangga dan terciptanya kerja sama dan koordinasi yang baik dalam pemulihan
korban kekerasan dalam rumah tangga antar instansi, antar petugas pelaksana, dan antar
lembaga terkait lainnya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud pusat pelayanan adalah yang dikenal dengan trauma center,
sedangkan rumah aman dikenal dengan shelter.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "konseling" adalah pemberian bantuan oleh seseorang yang ahli
atau orang yang terlatih sedemikian rupa sehingga pemahaman dan kemampuan
psikologis diri korban meningkat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "bimbingan rohani" adalah konseling yang diberikan oleh
rohaniwan.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Instansi Sosial adalah instansi pemerintah yang ruang lingkup tugasnya menangani
urusan sosial, dan instansi pemerintah daerah yang menanggulangi masalah sosial.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Standar Profesi" adalah batasan kemampuan (knowledge, skill
and proffesional attitude) minimal yang harus dikuasai ofeh seorang individu untuk dapat
melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh
organisasi profesi.
Yang dimaksud dengan "Standar Prosedur Operasional" adalah suatu perangkat
instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin
tertentu, yang dibuat oleh sarana kesehatan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan sarana kesehatan antara lain puskesmas, balai pengobatan, dan
rumah sakit.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "rekam medis" adalah berkas yang berisikan catatan dan
dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan
lain kepada pasien (korban) pada sarana kesehatan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "persetujuan tindakan medis" (informed consent) adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien (korban) atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap korban tersebut. Persetujuan
dapat diberikan secara lisan atau tertulis.
Ayat (5)
Visunt et repertum dibuat oleh dokter yang memeriksa korban dan uisum et repertum
psichiatricum dibuat oleh dokter spesialis kesehatan jiwa.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4604
Download