BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seks bukan hanya soal pelepasan nafsu atau birahi lahiriah sepasang manusia. Ia juga bukan sekadar tentang masalah reproduksi. Seks justru esensi dalam kehidupan. Bukan cuma kehidupan pribadi, tetapi merembet ke masyarakat dan negara. Perilaku seksual individu akan mempengaruhi kelompok, bahkan sebuah bangsa (Lubis, 2010). Perilaku seks dapat diartikan sebagai suatu perbuatan untuk menyatakan cinta dan menyatukan kehidupan secara intim (Carle, 2010). Perilaku seks yang dimaksud diatas juga didefinisikan sebagai tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu dan senggama. Objek seksualnya dapat berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri (Sarwono, 2010). Perilaku seks merupakan salah satu kebutuhan pokok yang senantiasa mewarnai pola kehidupan manusia dan senantiasa sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku dan setiap golongan 1 2 masyarakat. Bagi golongan masyarakat tradisional dan khususnya golongan yang belum cukup umur, cenderung memandang seks sebagai suatu perilaku yang bersifat rahasia dan tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Para orangtua pada umumnya menutup pembicaraan tentang seks kepada anak-anaknya, termasuk mereka sendiri sebagai suami isteri merasa risih dan malu berbicara tentang seks. Bagi kalangan ini perilaku seksual diatur sedemikian rupa dengan ketentuan-ketentuan hukum adat, agama dan ajaran moralitas, dengan tujuan agar dorongan perilaku seks yang alamiah ini dalam prakteknya sesuai dengan batas-batas kehormatan dan kemanusiaan (Lubis, 2010). Berbeda dengan hubungan intim yang terjadi dalam kehidupan masyarakat modern, biasanya cenderung bersifat rasional. Anak-anak yang mulai tumbuh remaja lebih suka berbicara seks dikalangan temantemannya, begitu pula dengan pasangan, karena salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya seksual adalah komunikasi. Jadi komunikasi yang terbuka pada pasangan, yaitu saling mengatakan kekurangan pasangan dengan bahasa yang tepat dan memuji pasangan akan membuat hubungan menjadi lebih baik (Ellison, dalam Masters & Lauersen & Graves, 1984). Dalam kehidupan pergaulan memang hubungan intim kaitannya mengarah akan seks, tetapi secara umum dalam perkembangannya, seks lebih didambakan secara fisik, ketimbang hubungan cinta dan kasih 3 sayang. Semua jenis aktivitas fisik yang menggunakan tubuh untuk mengekspresikan perasaan erotis atau perasaan afeksi dalam berhubungan intim (Rathus & Rathus dalam Amalia, 2007). Keintiman adalah elemen emosi, yang didalamnya terdapat kehangatan, kepercayaan (trust) dan keinginan untuk membina hubungan. Ada tiga komponen penting dalam cinta, masing-masing intimacy, passion, dan commitment. Sayang, satu sama lain, kadar kandungannya tidak seimbang Ciri-cirinya antara lain seseorang akan merasa dekat dengan seseorang, senang bercakap-cakap dengannya sampai waktu yang lama, merasa rindu bila lama tidak bertemu. Gairah adalah elemen motivasional yang didasari oleh dorongan dari dalam diri yang bersifat seksual. Komitmen adalah elemen kognitif, berupa keputusan untuk secara sinambung dan tetap menjalankan suatu kehidupan bersama (Sternberg & Barnes, 1988). Menanggapi perkembangan pemahaman kehidupan seks tersebut,dapat diasumsikan bahwa orang masa kini cenderung "lebih cepat jatuh seks ketimbang jatuh cinta". Cinta dan seks dikondisikan sebagai wujud sikap dan perilaku majemuk dengan nilai persahabatan, pergaulan intim menikmati kebersamaan, kasih sayang, hubungan seks, dan saling mempercayai antar lawan jenisnya tanpa batas tegas. Setelah keintiman berlanjut pada gairah yang lebih besar (dalam beberapa budaya) harus disertai dengan komitmen yang lebih besar, misalnya melalui perkawinan (Sternberg & Barnes 1988). 4 Di dalam hubungan seks umumnya terdapat proses kesepakatan bahwa masing-masing pelaku berbuat secara sukarela dan bebas dari ikatan norma atau jaminan resiko jangka panjang, Semua perilaku seks disepakati sebagai sebuah kemerdekaan yang bebas dari tuntutan moral. Hubungan cinta cenderung tidak konsisten, tergantung kapan datangnya letupan perasaan kebutuhan seksual. Kepedulian terhadap tindakan yang semu kadang sebagai dalih atau muslihat untuk memperoleh hubungan seks. Kata-kata yang mengatas namakan cinta sering dilontarkan sebagai jebakan yang sebenarnya mengandung unsur pemaksaan (Neli, 2010). Perkembangan mengenai seksual juga dikenal dalam teori seksualitas manusia yang dipopulerkan pertama kali oleh Sigmund Freud, yang memandang seks sebagai kebutuhan dasar manusia. Freud menyatakan bahwa seks memiliki dinamika psikologis yang jauh lebih penting dibandingkan kebutuhan lain, juga bahwa manusia adalah makhluk sosial dan seks merupakan kebutuhan yang paling bersifat sosial (Boeree, 2009). Perilaku manusia menurut Freud, didasarkan pada dua insting dasar, yaitu insting hidup dan insting mati. Insting hidup berisi pemenuhan kebutuhan dasar manusia seperti rasa lapar, rasa haus, atau seks, yang bekerja melalui energy yang disebut libido (Hall & Lindzey, 1970). Kualitas keserasian seks melalui libido yang menyatu dalam erotis dan afeksi terjadi dalam kehidupan bersama antara dua pribadi utuh yang 5 bersatu dalam pembinaan dan tanggung jawab keluarga berdasarkan hukum, agama, moral dan budaya, Perilaku seksual yang sehat adalah sehat (tidak patologis) dalam fungsi keseluruhan serta bertanggung jawab merupakan tujuan dari perkembangan seksualitas. Seks yang sehat secara fisik artinya tidak tertular penyakit, tidak menyebabkan kehamilan sebelum menikah, tidak menyakiti dan merusak kesehatan orang lain. Hubungan seksual yang normal dan bertanggung jawab yaitu pada saat kita sudah menikah dan sudah dihalalkan oleh agama (Maramis,1999). Wanita dan pria dapat disebut normal dan dewasa bila mampu mengadakan relasi seksual dalam bentuk normal dan bertanggung jawab, hubungan seks yang normal mengandung pengertian bahwa hubungan tersebut tidak menimbulkan efek dan konflik psikis bagi kedua belah pihak serta tidak bersifat paksaan. Sedangkan untuk yang bertanggung jawab adalah bahwa kedua belah pihak menyadari konsekuensinya dan bertanggung jawab terhadapnya. Misalnya, mau menikah dan memelihara anak yang menjadi hasil relasi seksual yang dilakukan (Kartono 1981). Sehat secara psikologi artinya mempunyai integritas yang kuat (kesesuaian antara nilai, sikap, dan perilaku), mampu mengambil keputusan dan mempertimbangkan segala resiko yang akan dihadapi dan siap atas segala resiko dari keputusan. Sehat secara sosial artinya mampu mempertimbangkan nilai-nilai sosial yang ada disekitarnya (agama, budaya dan sosial), mampu menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan nilai dan 6 norma yang diyakini. Jadi perilaku seks yang sehat dan bertanggung jawab adalah perilaku yang dipilih berdasarkan pertimbangan secara fisik, sosial, dan agama serta psikologis (Gunarsa 1989, mengutip dalam Maslow). Libido atau dorongan seks mengacu pada kekuatan motivasi seksual yang dalam berbagai penelitian terbukti memiliki tingkat yang berbeda berdasarkan gender (Baumeister, Catanese, dan Vohs 2001). Sherley (dalam Baumeister dan Twenge, 2002) menyatakan bahwa perempuan justru memiliki dorongan seksual yang secara natural lebih kuat dibandingkan laki-laki. Mayoritas hasil penelitian yang pernah dilakukakan menunjukkan bahwa laki-laki lebih sering memikirkan dan menginginkan seks, dan tidak ada hasil pengukuran yang menyatakan bahwa perempuan memiliki dorongan seks yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Akan tetapi, beberapa kasus menunjukkan bahwa sebagian perempuan memang dapat memiliki dorongan seksual yang tinggi. Banyak cara untuk melampiaskan hasrat seseorang dalam melakukan hubungan seksual. Bisa dengan cara alami bahkan bisa juga dengan menyimpang (Baumeister, Catanese, dan Vohs 2001). Dalam dunia psikologi abnormal, gangguan abnormalitas seksual merupakan ruang lingkup didalamnya. Berdasarkan DSM-IV-TR, gangguan seksual diklasifikasi menjadi tiga garis besar yaitu disfungsi seksual, parafilia dan gangguan identitas gender. Penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan 7 kenikmatan seksual dengan tidak sewajarnya misalnya eksibisionisme, fetisisme, frotteurisme, pedofilia, masokisme seksual, sadisme seksual, fetisisme, transvestic, dan voyeurisme. DSM-IV-TR juga mengategorikan paraphilia yang tidak umum, seperti orang yang suka berhubungan seks dengan binatang (bestiality), orang yang suka berhubungan seks dengan mayat (necrophily), dan lain-lain. Biasanya, cara yang digunakan oleh orang tersebut adalah menggunakan obyek seks yang tidak wajar. Penyebab terjadinya kelainan ini bersifat psikologis atau kejiwaan, seperti pengalaman sewaktu kecil, dari lingkungan pergaulan, dan faktor genetik. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (dikenal sebagai DSM) edisi keempat revisi (DSM-IV-TR), panduan yang digunakan oleh profesional kesehatan mental untuk mendiagnosis gangguan mental, suatu kondisi yang tidak umum pada seseorang yang memiliki lebih dari satu paraphilia. (Asosiasi Psikiatrik Amerika). Disebut paraphilia atau (deviasi seks) dari bahasa Yunani para, yang berarti "disamping" atau "salah" dan philia, yang berarti "kasih", adalah perilaku seksual yang memuaskan terhadap sumber yang tidak wajar, gangguan seksual ini karena pada penderita seringkali menghayalkan perbuatan seksual yang tidak lazim, sehingga khayalan tersebut menjadi kekuatan yang mendorong penderita untuk mencoba dan melakukan aktivitas yang dikhayalkannya (Kaplan & Kreuger, 1997; Marshall, Serran, & Cortoni, 2000). 8 Seperti misalnya pada penyimpangan seksual masokis, ini merupakan bentuk penyimpangan seksual melalui penyiksaan, dijelaskan pula bahwa masokis termasuk salah satu gangguan deviasi atau penyimpangan seksual. Masokis biasanya dialami oleh wanita yang menerima penganiayaan. Masokisme pada wanita itu banyak distimulir oleh kefasihan wanita sedangkan seksual seperti sadisme biasanya lebih banyak terdapat pada kalangan pria, (Kartono, 1981). Jika ada masokis yang mendapatkan kenikmatan saat disakiti oleh pasangannya. ada juga sadisme yang adalah suatu kelainan saat seseorang akan mengalami kenikmatan penuh saat menyakiti lawan jenisnya secara fisik dan psikis. Karena pada pelaksanaan hubungan seksual itu berpasangan (antara pria dan wanita), maka disebutlah sadomasokisme yang dimana pasangan saling melakukan sadisme dan masokisme. Penyimpangan yang terjadi ini berbahaya atau tidaknya dilihat apabila seorang sadistis bertemu dengan seorang masokis. Alasannya, karena keduanya klop dan saling mengisi. Tetapi jika salah satu bertemu dengan orang normal, barulah di sini akan menjadi masalah. Berbahayanya, jika orang normal jelas akan tersakiti kalau dia bertemu seorang sadistis, sedangkan pada masokis orang yang merasa tidak suka menyakiti akan tidak menikmati kegiatan seksualnya karena, akan mengalami kesakitan fisik maupun psikis. Kedua kondisi ini termasuk kelainan seksual yang berhubungan dengan kejiwaan. 9 Penyebabnya dapat ditimbulkan dari berbagai hal. Tetapi umumnya ada suatu trauma kejiwaan yang berhubungan dengan aktivitas seksual saat si penderita dalam masa pertumbuhan. Pada seseorang yang mempunyai penyakit masokis, jika dilihat dari segi fisik (luar) maka tidak akan tampak suatu kelainan. Kelainan akan terlihat saat masuk dalam fase aktivitas seksualnya sendiri (Loetan, 2011). Dalam masokisme, sepertinya tidak ada yang menderita dan tidak ada yang jadi korban. Mereka melakukan atas dasar suka sama suka. Masokis termasuk dalam gangguan penyimpangan seksual, karena dinilai secara sosial tidak wajar. Jika dikatakan sakit jiwa sepertinya tidak, karena mereka pasti melakukan dengan berpasangan, baik berdua ataupun bertiga bahkan berempat sekalipun. Dan cara melakukannya pun tentunya telah mereka sepakati. Pengidap penyimpangan ini memiliki masa lalu yang suram, terbiasa dengan kekerasan, dan kurang kasih sayang. Sebuah kenikmatan yang diperoleh dengan cara yang berbeda yakni menyakiti dan sebaliknya justru ada yang malah senang karena baru merasa nikmat setelah disakiti (Sakti, 2012). Ekspresi masokisme yang paling berbahaya adalah hipoksifilia (hypoxyphilia), dimana subjek merasa terangsang secara seksual dengan dikurangi konsumsi oksigennya, misalnya dengan menggunakan jerat, kantung plastik, bahan kimia, atau tekanan pada dada saat melakukan aktivitas seksual, seperti masturbasi. Pengurangan oksigen biasanya 10 disertai dengan fantasi sesak napas atau dengan dibuat sesak napas oleh pasangan. Orang yang melakukan aktivitas ini biasanya menghentikannya sebelum mereka kehilangan kesadaran, tetapi terkadang kematian karena kehabisan napas juga terjadi akibat salah perhitungan (Blanchard & Hucker, 1991). Biasanya orang-orang yang mengidap masokisme mempunyai riwayat masa lalu yang berhubungan dengan trauma seksual. Misalnya, pada saat masih kecil melihat orangtua atau orang disekitarnya disakiti, atau kemudian disakiti ketika melakukan hubungan seksual, maka ia bisa berperilaku seperti itu pada saat ia dewasa. Karena masih kecil ia tidak tahu bahwa perbuatan itu merupakan sebuah penyimpangan, ia merekamnya dalam memori lantas meniru perbuatan itu. Apabila dari sudut pandang kesehatan reproduksi wanita, masokis ini sangat berbahaya, mengapa wanita mau diperlakukan dengan cara diikat atau dipaksa dengan cara yang tidak wajar. Anehnya memang wanita itu sendirilah yang juga mau dan mampu memuaskan dan terpuaskan. Kalau demikian apakah dapat dikatakan berbahaya secara psikologis. Jikalau keduanya saling setuju dan itu pilihan mereka, maka secara psikologis tidak berbahaya. Namun, akan menjadi berbahaya mana kala mereka tahu akan bahaya atau efek samping luka vagina dan kemungkinan tertularnya PMS, HIV, dan AIDS (Sakti, 2012). 11 Dari uraian di atas maka peneliti akan meneliti lebih lanjut mengenai pemahaman tentang masokisme ini dan bagaimana perilaku tersebut muncul, bagaimana penghayatannya, serta latar belakang kehidupan penderita tersebut. 1.2 Rumusan Masalah-Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran kehidupan seksual masokis?” a. Bagaimana latar belakang kehidupan subjek, gambaran perilaku, dan dorongan seksual mempengaruhi aktivitas seksual subjek? b. Bagaimana pandangan subjek terhadap kondisi psikologisnya, serta kaitannya dengan perilaku seksual masokis yang dirasakan? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan tentang kehidupan seksual masokis pada subjek dan untuk mendeskripsikan perilaku seks masokisnya dengan yang ia rasakan. 12 1.4 Manfaat Penelitian A. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi bagi perkembangan ilmu Psikologi Klinis Dewasa, Psikologi Sosial, dan dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya. B. Manfaat Praktis -Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan bagi subjek penelitian sebagai tambahan informasi mengenai dinamika psikologis yang dialaminya. -Dapat memberikan penjelasan mengenai gambaran kehidupan seksual masokis yang dialami oleh subjek berikut faktor-faktor yang menjadi penyebabnya batasan-batasan seksual dalam kehidupan seksnya sendiri, dan dalam lingkungan masyarakat yang sebagian besar masih berpegang pada standar ganda. 1.5 Sistematika Penelitian 1. Bab satu merupakan bab pendahuluan, yang membahas latar belakang dilakukannya penelitian mengenai gambaran kehidupan seksual masokis pada subjek, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penelitian. 13 2. Bab dua berisi tinjauan pustaka, yang membahas seksualitas manusia secara umum, definisi perilaku menyimpang seksual, tipe-tipe perilaku seksual menyimpang, teori psikologi seksual, pendekatan teori serta kontroversi mengenai penyimpangan seksual. 3. Bab tiga berisi objek penelitian dan metode penelitian, yang menjelaskan: a) pendekatan penelitian, yaitu kualitatif; b) desain penelitian yang terdiri dari pemilihan karakteristik subjek (jenis kelamin perempuan maupun laki-laki yang memiliki perilaku masokis); c) metode pengumpulan data, yaitu wawancara; d) instrumen penelitian, yaitu pedoman wawancara dan tape recorder; e) prosedur penelitian, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan; serta f) tahap pengolahan data. 4. Bab empat berisi hasil penelitian dan analisis pembahasan; yang terdiri dari data demografis subjek, hasil wawancara serta pembahasannya. 5. Bab lima berisi kesimpulan, diskusi dan saran dari penelitian yang telah dilakukan.