Bab I PENDAHULUAN

advertisement
Bab I
PENDAHULUAN
Sebagai salah satu negara dengan kekuatan menengah di kawasan Asia Pasifik,
Australia memiliki sejarah dan hubungan luar negeri yang dinamis terhadap negara-negara
di kawasan tersebut, khususnya terhadap negara-negara Asia Tenggara. Asia Tenggara
memiliki arti yang penting bagi Australia dalam berbagai aspek, termasuk politik,
keamanan, perdagangan, pendidikan dan industri.1 Penting untuk dicatat bahwa hubungan
antara Association of South East Asian Nations (ASEAN) dan Australia dalam aspek
perdagangan maupun kerja sama ekonomi lainnya telah menempuh sebuah proses evolusi
yang panjang dan sangat menarik. Tesis ini akan berfokus pada hubungan ASEANAustralia dalam aspek kerja sama ekonomi yang dianalisis melalui perspektif ekonomi
politik. Dalam membahas aspek ekonomi tersebut diperlukan paparan awal tentang
perkembangan hubungan ekonomi ASEAN-Australia.
A. Dinamika Strategi Perdagangan Australia
Berbeda dengan aspek politik dan keamanan, hubungan ASEAN-Australia dalam
aspek ekonomi telah menempuh beberapa tahap proses pendekatan yang relatif kompleks
dan beragam. Menarik untuk dilihat bahwa bagi Australia, khususnya dalam periode pasca
perang, hubungan dengan ASEAN cenderung berfokus pada aspek politik dan keamanan.
Kontestasi pengaruh kekuatan dalam Perang Dingin, khususnya upaya Uni Soviet dalam
memperluas pengaruh komunisme di Asia Tenggara, di mana beberapa negara dalam
kawasan tersebut sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan, seperti Indonesia,
Malaysia, Filipina dan Vietnam, menjadikan hubungan ASEAN-Australia memiliki peran
yang semakin penting untuk menjaga stabilitas keamanan kawasan. Pada masa awal
pendirian ASEAN di akhir tahun 1960-an, Australia memandang perlunya pendampingan
pembangunan ekonomi dalam kawasan sebagai instrumen membendung pengaruh
komunisme yang datang dari utara, dibanding dengan membuka akses ASEAN bagi pasar
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
1
Hal ini terlihat, misalnya, dari peran Australia yang telah menjadi mitra wicara pertama bagi ASEAN
sejak tahun 1974 dengan pembentukan ASEAN-Australia Consultative Meetings (AACM) sebagai penanda
kerja sama tersebut. Sejak pertemuan AACM, mekanisme dialog ASEAN-Australia terus berkembang
hingga saat ini dalam bentuk forum, komite, konferensi maupun kelompok kerja pada berbagai tingkatan.
1
domestik Australia. Dari sudut pandang tersebut kemudian Australia mengeluarkan
berbagai kebijakan yang melindungi ekonomi domestik pada masa itu. Kebijakan tersebut
meliputi
proteksionisme
terhadap
produk
manufaktur
Australia
dari
kompetisi
internasional, di antaranya produk agrikultur dan pertambangan.
Upaya liberalisasi perdagangan antara Australia dengan negara-negara sekitar
kawasan tidak dapat tercapai hingga Partai Buruh Australia memenangkan pemilu pada
tahun 1972. Di bawah kepemimpinan Gough Whitlam, Australia menerapkan reformasi
kebijakan liberalisasi perdagangan yang cukup signifikan, seperti pemotongan tarif bea
masuk sebesar 25% dan diversifikasi pasar ekspor Australia.2 Namun, kebijakan yang
diterapkan oleh Whitlam ini tidak sepenuhnya berjalan dengan lancar. Resesi ekonomi
yang menghantam berbagai kawasan dunia seperti Amerika Serikat, Jepang, Eropa dan
Australia pada akhir tahun 1974 mengakibatkan permasalahan ekonomi yang serius bagi
Australia. Jumlah ekspor Australia menurun drastis, ditambah dengan laju inflasi yang
terus melambung tinggi mengakibatkan naiknya jumlah pengangguran di Australia.
Kebijakan Whitlam yang mulanya dianggap sebagai upaya peningkatan daya saing produk
Australia justru kemudian dilihat sebagai salah satu faktor yang memperburuk kondisi
ekonomi domestik Australia.
Kekuasaan Partai Buruh berakhir pada tahun 1975 dan pemerintahan direbut
kembali oleh Partai Liberal di bawah kepemimpinan Malcolm Fraser.3 Kontras dengan
kebijakan Whitlam yang menginisiasi pendekatan terhadap kawasan regional seperti AsiaPasifik dan khususnya Asia Tenggara, kepemimpinan Fraser diwarnai dengan perselisihan,
perdebatan dan kesalahpahaman antara Australia dengan negara-negara Asia Tenggara
dalam konteks kebijakan ekonomi.4 Pada masa pemerintahan Fraser, Australia menolak
permintaan negara-negara ASEAN untuk membuka pasar domestik, dan justru
menawarkan paket bantuan pembangunan kepada ASEAN. Kebijakan ini menimbulkan
pertanyaan dari negara-negara ASEAN tentang komitmen Australia dalam perdagangan
bebas. Upaya liberalisasi perdagangan yang mulanya digagas oleh Partai Buruh ditarik
kembali oleh Fraser yang tidak ingin membuat kebijakan berlawanan dengan upaya-upaya
proteksionisme.
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
2
H. Bull, ‘The Whitlam Government Perception of Our Role in the World’, dalam B.D. Beddie (ed.),
Advance Australia Where?, Oxford University Press, Melbourne, 1975, p. 213.
3
P. Kelly, November 1975: The Inside Story of Australia’s Greatest Political Crisis, Allen & Unwin,
Sydney, 1995, pp. 56-75.
4
J. Okamoto, The Historical Development of Australia-ASEAN Relations: Implications for APEC into
the Year 2000, Research Paper, APEC Study Center, Institute of Developing Economy, 2000, pp. 115-116.
2
Kesalahpahaman antara ASEAN dan Australia terus berlangsung hingga Partai
Buruh kembali memenangkan pemilu pada tahun 1983 di bawah administrasi Bob Hawke.
Hawke mengambil berbagai kebijakan seperti liberalisasi pasar finansial Australia,
deregulasi suku bunga bank, liberalisasi pembukaan dan operasi bank asing di Australia,
privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara serta penurunan proteksionisme yang
diterapkan melalui penurunan tarif impor dan penghilangan kuota impor dalam jangka
waktu sepuluh tahun. Di samping disambut baik oleh ASEAN, liberalisasi ekonomi ini
juga
diperkuat
dengan
orientasi
politik
luar
negeri
Australia
yang
kembali
memprioritaskan peningkatan kualitas hubungan dengan negara-negara Asia-Pasifik.
Liberalisasi ekonomi yang dijalankan oleh Hawke terus berlanjut hingga Australia
mencapai komitmen dalam perdagangan bebas dalam level regional maupun global.
Berbagai upaya diplomasi perdagangan regional dan multilateral secara proaktif diterapkan
oleh Australia terhadap kawasan Asia-Pasifik pada akhir dekade 1980-an. Terbentuknya
Cairns Group sebagai wadah akomodasi kepentingan negara-negara penghasil produk
agrikultur serta APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) sebagai forum kerja sama
ekonomi Asia-Pasifik merupakan dua pencapaian penting Australia dalam melakukan
diplomasi perdagangan regional. 5 Pendekatan proaktif Partai Buruh tersebut terus
berlangsung hingga Paul Keating menjabat sebagai Perdana Menteri Australia pada tahun
1993-1996. Keating yang dikenal memiliki visi yang ramah dengan negara-negara Asia
meneruskan kebijakan yang digagas pada periode Hawke hingga pada tahun 1996 ketika
Partai Liberal kembali memenangkan posisi pemerintahan di bawah kepemimpinan John
Howard.
Berbeda dengan pemerintahan Hawke dan Keating, John Howard mengambil
kebijakan ekonomi dan perdagangan internasional dengan pendekatan bilateral. Langkah
ini diambil sebagai respon diplomasi perdagangan multilateral yang dinilai tidak
memberikan keuntungan ekonomi yang maksimal bagi Australia. Kegagalan tercapainya
kesepakatan dalam The Early Voluntary Sectoral Liberalization (EVSL) sebagai upaya
untuk mendorong liberalisasi APEC adalah salah satu tanda bahwa Australia harus
berupaya lebih keras untuk melakukan pendekatan terhadap negara-negara Asia-Pasifik.6
Pada masa pemerintahan Howard sejumlah Free Trade Area (FTA) disepakati dengan
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
5
‘Trade in Agriculture, The Cairns Group’, Department of Foreign Affairs and Trade,
<http://www.dfat.gov.au/ trade/negotiations/cairns_group.html>, diakses 6 Februari 2012.
6
J. Okamoto, Australia’s Foreign Economic Policy and ASEAN, ISEAS, Singapore, 2010, p. 212.
3
negara-negara anggota ASEAN seperti Singapura dan Thailand.7 Bagi Howard, diplomasi
perdagangan bilateral cenderung lebih menunjukkan hasil dan dapat dinegosiasikan dalam
jangka waktu yang lebih singkat. Langkah diplomasi bilateral yang diambil oleh Howard
ini menunjukkan fase baru dalam diplomasi perdagangan Australia, dari yang semula
berbasis proteksionis pada dekade 1970-an berubah menjadi plurilateralis pada dekade
1980-an, kemudian berubah menjadi bilateralis pada akhir dekade 1990-an.8
Dalam konteks ini, perlu dicatat bahwa terlepas dari prinsip bilateralis yang mulai
diterapkan oleh Australia untuk melakukan diplomasi perdagangan dalam satu dekade
terakhir, wacana inisiatif FTA antara Australia dengan Selandia Baru dan ASEAN (AFTACER, ASEAN Free Trade Area-Closer Economic Relationship) yang pada akhirnya diberi
nama AANZFTA (ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area) telah digagas sejak
akhir tahun 1999. Berbagai studi yang mendalami prospek keuntungan ekonomi Australia
maupun ASEAN dalam AFTA-CER menunjukkan bahwa keuntungan ekonomi maksimal
tetap dapat diraih melalui perjanjian perdagangan bilateral. Salah satu studi tersebut
dikeluarkan oleh National Interest Analysis (NIA), yang menegaskan bahwa pada sebagian
sektor industri, tarif bea masuk yang diatur dalam AANZFTA masih lebih tinggi
dibandingkan dengan tarif yang diterapkan dalam perjanjian perdagangan bilateral
Australia dengan beberapa negara di Asia Tenggara. 9 Sebagai contoh, dalam sektor
industri hortikultur dan agrikultur yang menjadi komoditas andalan Australia, tarif yang
diterapkan dalam AANZFTA jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perjanjian
perdagangan bilateral yang telah ada, seperti Thailand-Australia FTA. NIA lebih lanjut
memaparkan bahwa AANZFTA tidak memiliki banyak aturan terinci tentang bagaimana
AANZFTA terhubung dengan beberapa FTA bilateral yang telah disepakati sebelumnya.
Beberapa analisis lain bahkan mengklaim bahwa penerapan AANZFTA akan tumpang
tindih dengan beberapa FTA bilateral dalam kawasan.10
Studi juga telah menunjukkan bahwa keberadaan China-ASEAN FTA akan jauh
lebih penting dan diprioritaskan oleh negara-negara ASEAN dibanding dengan skema
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
7
Okamoto, Australia’s Foreign Economic Policy and ASEAN, pp. 223-226.
FTA dalam level plurilateral adalah perjanjian perdagangan bebas antara beberapa negara (dalam level
regional). Istilah plurilateral digunakan oleh WTO untuk menegaskan perbedaan plurilateral dengan FTA
multilateral yang melibatkan banyak negara seperti GATT. Selengkapnya baca WTO, ‘Plurilateral’, Glossary
Term, <http://www.wto.org/english/thewto_e/glossary_e/plurilateral_e.htm>, diakses 22 Februari 2013.
9
K. Thomson, et al., Report 102: Treaties Tabled on 12 and 16 March 2009, The Parliament of
Commonwealth of Australia, Canberra, June 2009, pp. 8-9.
10
R. Scollay, ‘Prospects for Linking PTAs in the Asia-Pacific Region’, dalam C.E. Morisson & E.
Pedrosa (eds.), An APEC Trade Agenda? The Political Economy of a Free Trade Area of the Asia Pacific,
ISEAS, Singapore, 2007, pp. 170-171.
8
4
AFTA-CER FTA. Hal ini ditunjukkan melalui analisis NIA yang menilai negosiasi
Australia dalam AANZFTA jauh lebih lemah dibanding dengan negosiasi Cina dalam
China-ASEAN FTA.11 Gagasan AFTA-CER juga dinilai tidak memiliki ambisi sebesar
FTA bilateral yang lebih dulu dilaksanakan antara Australia dengan Singapura dan
Thailand, sebagaimana telah dibuktikan dengan negosiasi tarif yang lebih lunak dibanding
dengan FTA bilateral. Dengan kata lain, AFTA-CER tampaknya tidak akan mendapat
perhatian sebesar FTA bilateral. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa AFTA-CER
tidak akan membawa banyak keuntungan ekonomi bagi ketiga pihak jika dibandingkan
dengan pendekatan FTA bilateral.12
Tanpa
memperhatikan
pengalaman
Australia
dalam
membina
diplomasi
perdagangan plurilateral sejak masa Bob Hawke dan beberapa rekomendasi dari studi di
atas, pada akhirnya Australia tetap meneruskan pembahasan skema AFTA-CER FTA
hingga mencapai kesepakatan pada tahun 2009. Skema tersebut kemudian berkembang
dengan nama Australia-ASEAN-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA). Gagasan
AFTA-CER FTA pada masa Howard dan kesepakatan AANZFTA yang dicapai di bawah
pemerintahan Perdana Menteri Kevin Rudd dari Partai Buruh menimbulkan sebuah
pertanyaan terkait alasan tetap dilaksanakannya skema FTA tersebut. Diplomasi
perdagangan Australia yang pada awal pemerintahan Howard telah bertransformasi
menjadi diplomasi berbasis hubungan bilateral kini berevolusi pada strategi plurilateral
yang menurut beberapa penelitian tidak mampu membawa keuntungan ekonomi yang lebih
besar bagi Australia dibanding dengan pendekatan bilateral.
B. Pertanyaan Penelitian
Uraian di atas telah memberi dasar yang cukup untuk memahami dinamika strategi
perdagangan internasional Australia, khususnya dalam hubungannya dengan negara-negara
di Asia Tenggara. Dinamika tersebut menarik untuk diteliti, terlebih ketika banyak analisis
melihat bahwa keuntungan ekonomi yang lebih besar telah ditunjukkan melalui skema
perdagangan bilateral dibanding dengan skema plurilateral. Dari sini penulis mengajukan
pertanyaan penelitian: mengapa Australia tetap menginisiasi AANZFTA sebagai salah
satu mekanisme diplomasi perdagangan regionalnya?
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
11
Thomson, pp. 9-10.
R. Trewin, Resource Based Industry and Development of AANZFTA, Working Paper 07-03, Crawford
School of Economics and Government, Australian National University, Canberra, 2006, pp. 15-18.
12
5
C. Tinjauan Pustaka
Dalam kajian politik perdagangan, hubungan dan kerja sama ekonomi AustraliaASEAN relatif jarang diangkat setidaknya hingga terjadi perubahan strategi diplomasi
kebijakan ekonomi Australia terhadap ASEAN pada awal dekade 1980-an. Salah satu
peneliti yang memberikan kontribusi penting terhadap kajian kerja sama ekonomi
Australia-ASEAN adalah Jiro Okamoto, peneliti senior di Institute of Developing
Economies (IDE-JETRO) Jepang. Dalam beberapa dekade terakhir, Okamoto melalui
sejumlah publikasi menjelaskan dengan terinci hubungan dan kerja sama ekonomi
Australia-ASEAN. Salah satu publikasi Okamoto dengan tajam menganalisis dinamika
evolusi hubungan dan kerja sama ekonomi Australia-ASEAN sejak akhir pemerintahan
Partai Liberal di awal dekade 1970-an hingga masa pemerintahan Partai Buruh yang saat
ini sedang berkuasa. 13 Okamoto mengajukan sebuah pendekatan “koalisi negaramasyarakat” yang dijadikan kerangka teori untuk menganalisis setiap perubahan yang
terjadi dalam hubungan ekonomi Australia-ASEAN.14
Dalam koalisi negara-masyarakat, para aktor kebijakan dalam koalisi memiliki
peran dalam membentuk kepentingan dan tujuan kebijakan. Menurut Okamoto, para aktor
dalam koalisi negara-masyarakat tidak hanya terdiri dari institusi pemerintah dan
kelompok-kelompok kepentingan, namun juga wartawan, akademisi serta analis kebijakan
yang memiliki perhatian terhadap masalah kebijakan.15 Aktor dalam koalisi tidak harus
berafiliasi dengan partai politik maupun kelompok kepentingan tertentu. Karakter utama
koalisi negara-masyarakat menekankan pada dua aspek utama dalam kerangka analisis.
Pertama, koalisi negara-masyarakat tidak hanya terfokus pada kepentingan material aktoraktor tertentu dalam koalisi, namun juga kontribusi dalam pembentukan tujuan kebijakan
dengan jangka waktu yang lebih panjang, seperti kepentingan nasional yang terkait dengan
kepentingan masyarakat umum. Kedua, interaksi dalam koalisi akan membentuk preferensi
dalam kebijakan serta menentukan tujuan kebijakan.
Lebih lanjut, Okamoto membagi pendekatan koalisi negara-masyarakat dalam dua
struktur. Struktur yang pertama adalah “ide-ide kebijakan inti” (core policy ideas). Dalam
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
13
Okamoto, Australia’s Foreign Economic Policy and ASEAN.
Penggunaan terma “koalisi negara-masyarakat” oleh Okamoto dikembangkan dari teori sejenis yang
digagas oleh Paul Sabatier dan Hank Jenkins-Smith yang dikenal dengan terma “koalisi advokasi”. Lihat
P.A. Sabatier & H.C. Jenkins-Smith, Policy Change and Learning: An Advocacy Coalition Approach,
Westview Press, Boulder, 1993.
15
Okamoto, Australia’s Foreign Economic Policy and ASEAN, pp. 28-29.
14
6
konteks kebijakan dan kerja sama ekonomi antarnegara, ide-ide kebijakan inti dapat
diterapkan dalam gagasan terkait preferensi sistem dan kerja sama ekonomi serta
perdagangan internasional yang ideal untuk ekonomi nasional maupun peningkatan standar
hidup dalam suatu negara. Ide-ide kebijakan inti mencerminkan persepsi dasar suatu
negara dalam memahami bagaimana hubungan internasional berjalan, seperti bagaimana
negara melihat politik internasional dari perspektif realis atau liberal. Sementara itu,
struktur kedua adalah ide-ide kebijakan nyata yang memiliki peran dalam mendukung
implementasi ide-ide kebijakan inti. Sebagai contoh, apabila suatu negara menganut
liberalisasi perdagangan dan investasi sebagai ide-ide kebijakan inti, maka ide-ide
kebijakan nyata dapat berbentuk kebijakan teknis yang mengatur pilihan sektor industri
yang akan diliberalisasi dan bagaimana proses liberalisasi dijalankan, apakah secara
bertahap atau dalam waktu singkat.
Dalam analisis kebijakan ekonomi antarnegara, menurut Okamoto, perubahan
bentuk hubungan dan kerja sama ekonomi pada prinsipnya memerlukan perubahan ide-ide
kebijakan inti. Dengan kata lain, resistensi terhadap perubahan dalam bentuk hubungan
dan kerja sama ekonomi akan muncul dengan kuat apabila tidak diawali dengan perubahan
ide-ide kebijakan inti suatu negara. Dalam konteks Australia, salah satu mekanimse
perubahan ide-ide kebijakan inti adalah perubahan pemerintahan eksekutif antara Partai
Buruh dan Partai Liberal. Australia dengan sistem pemerintahan parlementer Westminster
memungkinkan perubahan konstruksi pemerintahan yang masif dalam setiap perubahan
kepemimpinan. Okamoto lebih lanjut menekankan bahwa perubahan tersebut tentunya
akan berpengaruh terhadap ide-ide kebijakan serta dukungan politik bagi suatu koalisi.
Pada aspek tertentu, analisis terkait kebijakan ekonomi luar negeri Australia dalam
artikel jurnal yang ditulis oleh Ann Capling sejalan dengan argumen yang diajukan
Okamoto.16 Meskipun tidak secara spesifik membahas kerja sama ekonomi luar negeri
Australia-ASEAN, Capling menggarisbawahi bahwa perubahan kebijakan ekonomi luar
negeri Australia (disebut Okamoto sebagai kebijakan-kebijakan inti) sepenuhnya
tergantung oleh perubahan struktur dan profil pemerintahan eksekutif Australia.
Pemerintahan Liberal lebih memfokuskan strategi kebijakan perdagangan bebas melalui
skema bilateral, sebaliknya Partai Buruh menekankan peran penting multilateralisme
dalam menjalankan kebijakan ekonomi luar negeri Australia. Capling memberikan contoh
dengan kebijakan Partai Buruh di bawah kepemimpinan Bob Hawke dan Paul Keating
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
16
A. Capling, ‘Australia’s trade policy dilemmas’, Australian Journal of International Affairs, vol. 62,
no. 2, 2008, pp. 229-244.
7
yang melakukan liberalisasi perdagangan melalui jalur multilateral, serta John Howard
yang berfokus pada pendekatan bilateral. Lebih lanjut, Capling bahkan memberikan
penjelasan lebih terinci terkait motif perubahan kebijakan ekonomi luar negeri Australia
yang didasarkan pada tiga hal, yaitu defensif, politis dan strategis.
Dalam konteks motif defensif, kebijakan ekonomi luar negeri Australia seharusnya
mampu mengamankan pasar-pasar internasional tertentu yang selama ini telah dikuasai
oleh Australia dari ancaman persaingan melalui berbagai perjanjian perdagangan negara
mitra dengan negara lain. Capling memberikan contoh perjanjian perdagangan antara
Korea Selatan dengan AS yang berpotensi mengancam turunnya nilai ekspor daging sapi
Australia ke Korea Selatan. Hal ini menjadi sebab dimulainya negosiasi perjanjian
perdagangan berbasis preferensi antara Australia-Korea Selatan untuk mengamankan
kepentingan Australia tersebut.
Secara politik, kebijakan ekonomi luar negeri Australia pada dasarnya
dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional Australia untuk selalu tampil menjadi pemain
penting dalam perdagangan internasional. Dengan dinamika dan persaingan dalam
perdagangan internasional yang semakin ketat, Australia perlu menyesuaikan diri melalui
berbagai perubahan kebijakan ekonomi luar negeri untuk memastikan dirinya tetap berada
di dalam persaingan. Capling menggunakan contoh ASEAN yang dinilai telah melakukan
banyak pencapaian dalam menjalin hubungan strategis dengan negara-negara mitra dagang
utama Australia. Jika tidak disikapi dengan tepat oleh Australia dengan membina
hubungan ekonomi yang lebih erat dengan ASEAN, hal tersebut bisa membuat posisi
Australia tergeser dan tidak lagi diprioritaskan dalam kerja sama perdagangan
internasional. Sementara itu, berkenaan dengan motif strategis, kerja sama perdagangan
juga dapat didasarkan pada pertimbangan keamanan. Motif ini tidak mampu memberikan
keuntungan ekonomi jangka pendek, melainkan lebih menekankan pada manfaat
kepentingan jangka panjang Australia dalam kebijakan keamanan maupun politik luar
negeri. Perjanjian perdagangan bebas AS-Australia (AUSFTA) menjadi contoh yang
dimaksud oleh Capling. Dalam AUSFTA keuntungan ekonomi yang didapat oleh Australia
tidak sebanding dengan tercapainya tujuan utama AUSFTA bagi Australia, yaitu
terpenuhinya kepentingan nasional Australia untuk memperkuat kemitraan strategis dan
hubungan politik dengan AS.
Secara umum, Okamoto mengklaim bahwa kerangka teori koalisi negaramasyarakat mampu menjelaskan motif di balik munculnya perubahan kebijakan ekonomi
Australia terhadap ASEAN sejak awal dekade 1980-an. Dinamika koalisi antara
8
pemerintah dan masyarakat di Australia menentukan bagaimana negara tersebut
membentuk kebijakan ekonomi terhadap ASEAN. Sementara itu, Capling melengkapi
pendapat Okamoto dengan lebih menekankan pada ragam motif utama perubahan
kebijakan ekonomi luar negeri Australia yang didasarkan pada motif defensif, politik dan
strategis. Ini melengkapi pendapat Capling yang sejalan dengan Okamoto terkait dengan
perubahan konstelasi politik dalam negeri Australia yang juga berpengaruh terhadap
kebijakan perdagangan Australia.
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa proposisi yang diajukan Okamoto dalam
koalisi negara-masyarakat belum mampu menerjemahkan seluruh dinamika hubungan dan
kerja sama ekonomi Australia-ASEAN dengan baik dan komprehensif. Hal ini setidaknya
didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, dalam publikasi yang diterbitkan tahun 2010
tersebut, Okamoto cenderung terlalu berfokus pada perubahan kebijakan ekonomi
Australia terhadap ASEAN pada jangka waktu 1975-2007. Dalam rentang waktu tersebut
perubahan yang terjadi dalam kebijakan ekonomi Australia-ASEAN selalu berbentuk
evolusi menuju adopsi sebuah sistem yang baru dan belum pernah diterapkan sebelumnya.
Okamoto menjelaskan bagaimana proteksionisme Australia terhadap ASEAN berubah
menjadi liberalisasi perdagangan yang kemudian berevolusi menjadi beberapa agenda
diplomasi perdagangan plurilateral melalui APEC, sebelum akhirnya berfokus pada
strategi diplomasi perdagangan bilateral, sebagaimana ditekankan Howard di tahun 2006.
Okamoto cenderung meninggalkan bahasan bagaimana skema AFTA-CER kembali
muncul setelah strategi bilateral mendominasi dan berevolusi menjadi AANZFTA. Hal ini
terlihat dari pembahasan yang diuraikan oleh Okamoto yang berfokus pada penundaan
inisiatif AFTA-CER pada tahun 2000, meskipun pembahasan inisiatif tersebut telah
dimulai kembali pada tahun 2004.17
Kedua, teori koalisi negara-masyarakat yang lebih menekankan pada aspek
dinamika hubungan negara-masyarakat serta politik domestik suatu negara cenderung
mengabaikan peran politik internasional dalam proses pembuatan kebijakan. Definisi ideide kebijakan inti yang menurut Okamoto memiliki peran penting dalam menentukan
perspektif dasar suatu negara dalam melihat politik internasional belum mampu mengukur
signifikansi peran politik internasional terhadap proses pembuatan kebijakan. Dalam
konteks AANZFTA, kepentingan ekonomi maupun politik dari negara-negara anggota
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
17
ASEAN, ‘Joint Declaration of The Leaders at The Asean-Australia & New Zealand Commemorative
Summit’, ASEAN on the Web, 30 November 2004, <http://aanzfta.asean.org/uploads/docs/2004-Joint_
Declaration_of_the_Leaders.pdf>, diakses 7 April 2012.
9
ASEAN memiliki peran penting dalam inisiatif perjanjian perdagangan bebas tersebut.
Sayangnya, melalui teori koalisi negara-masyarakat kepentingan ASEAN ini tidak
mendapat ruang yang cukup untuk dianalisa.
Ketiga, teori koalisi negara-masyarakat terlalu berfokus pada aspek kalkulasi
ekonomi dan tidak memberi batasan yang jelas dalam membedakan kepentingan aktor
koalisi dengan kepentingan nasional. Hal ini terlihat dari perubahan bentuk hubungan
ekonomi Australia-ASEAN melalui perspektif teori tersebut berdasar pada perubahan
koalisi yang dipicu oleh upaya pemenuhan kepentingan yang berbasis pada kepentingan
masyarakat umum. Dengan kata lain, pendekatan koalisi negara-masyarakat tidak mampu
memberikan analisis yang tegas antara kepentingan masyarakat umum dengan potensi
perubahan kebijakan yang didasarkan pada kepentingan politik partai tertentu dalam
mengumpulkan dukungan politik.
Keempat, terkait salah satu argumen Okamoto tentang perubahan kebijakan yang
dipicu oleh perubahan ide-ide kebijakan inti melalui perubahan pemerintahan,
sebagaimana juga ditegaskan oleh Capling, penting untuk dicatat bahwa argumen tersebut
perlu dikaji dengan lebih terinci. Perubahan bentuk hubungan ekonomi Australia-ASEAN
sejak dekade 1970-an hingga 2000-an pada umumnya terjadi mengikuti setiap perubahan
pemerintahan di Australia. Sebagai contoh, proteksionisme terjadi pada masa Malcolm
Fraser (Liberal); liberalisasi perdagangan dan upaya diplomasi strategi plurilateral melalui
APEC digagas pada masa Bob Hawke dan Paul Keating (Buruh); serta strategi diplomasi
perdagangan bilateral ditekankan oleh John Howard (Liberal). Namun demikian, menarik
untuk dilihat bahwa munculnya kembali inisiatif untuk merumuskan AANZFTA dimulai
sejak akhir periode Howard pada tahun 2004. Inisiatif AANZFTA yang kembali dibahas
pada masa Howard ini menunjukkan realitas yang berbeda dengan argumen Okamoto.
Perubahan bentuk hubungan kerja sama ekonomi Australia-ASEAN pada implementasinya
tidak selalu didasarkan pada perubahan pemerintahan di Australia.
Di sisi lain, meskipun pendapat Capling dalam hal perubahan struktur dan profil
pemerintahan di Australia sebagai penentu utama perubahan kebijakan ekonomi luar
negeri Australia tidak sepenuhnya kuat, menarik untuk dilihat bahwa Capling memaparkan
analisis yang cukup terinci terkait dengan motif perubahan kebijakan ekonomi luar negeri
Australia. Kelemahan pendapat Okamoto dengan ketidakhadiran aspek politik yang jelas
dan terlalu berfokus pada kalkulasi ekonomi pada aspek tertentu telah dilengkapi oleh
Capling melalui tiga motif tersebut di atas. Pada aspek defensif, Capling menekankan
peran penting keuntungan ekonomi yang tetap menjadi bagian dari prioritas kebijakan
10
ekonomi luar negeri Australia. Sementara itu, kalkulasi ekonomi yang tersirat melalui
motif defensif tersebut diimbangi dengan motif politik dan strategis yang keduanya
merupakan identitas kepentingan nasional Australia dalam melakukan kerja sama ekonomi
luar negeri. Motif politik dan strategis sekaligus menjadi penegas pendapat Capling dari
Okamoto, yang dengan terma kepentingan masyarakat umum tidak berhasil memberikan
gambaran jelas dan tegas tentang kepentingan nasional Australia. Meskipun demikian,
ketiga motif yang diajukan Capling tersebut juga tidak menjadikan aspek politik
internasional sebagai motif keempat dalam menentukan perubahan kebijakan. Dengan kata
lain, sama halnya dengan Okamoto, Capling tidak berhasil memberikan gambaran yang
jelas tentang peran politik internasional dalam mempengaruhi kebijakan ekonomi luar
negeri Australia. Ketiga motif yang digagas Capling murni terbatas pada kacamata
kepentingan domestik Australia dalam menilai persaingan ekonomi internasional.
Selain pendekatan Okamoto dan Capling dalam analisis motif dibalik perjanjian
perdagangan yang diinisiasi Australia, Vinod K. Aggarwal dan Seungjoo Lee dengan fokus
analisis yang lebih luas menggagas lima faktor yang mendorong suatu negara menginisiasi
perjanjian perdagangan yang terfokus kepada wilayah Asia. Lima faktor tersebut meliputi
keuntungan ekonomi, pertimbangan ekonomi politik, motivasi untuk reformasi domestik,
asimetri kekuatan serta pertimbangan diplomatik dan keamanan.18 Pada faktor pertama,
Aggarwal dan Lee menegaskan peran kalkulasi keuntungan ekonomi yang menjadi salah
satu bagian penting dalam agenda liberalisasi perdagangan. Dari faktor ini, terdapat dua
indikator yang menjelaskan mengapa proliferasi perjanjian perdagangan terjadi di wilayah
Asia. Pertama, setelah pendekatan multilateral melalui WTO, perjanjian minilateral dan
bilateral merupakan pendekatan yang terbaik dalam melakukan liberalisasi perdagangan.
Semakin banyak jumlah perjanjian yang diinisiasi, kalkulasi tentang keuntungan ekonomi
yang akan diraih akan semakin besar. Hal inilah yang menjelaskan sebab pertumbuhan
jumlah perjanjian perdagangan di negara-negara Asia dalam satu dekade terakhir. Kedua,
preferensi memilih mitra dagang dalam perjanjian perdagangan menunjukkan hubungan
koheren antara jarak geografis dengan keuntungan ekonomi. Pengurangan biaya yang
timbul akibat jarak mitra dagang yang jauh dipadukan dengan optimalisasi keuntungan
ekonomi menunjukkan bahwa negara-negara cenderung memiliki preferensi memilih mitra
dagang dengan negara-negara tetangga. Kondisi ini semakin menguatkan gagasan negara!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
18
V.K. Aggarwal & S. Lee, ‘The domestic political economy of preferential free trade agreements in
the Asia-Pacific’, dalam V.K. Aggarwal & S. Lee (eds.), Trade Policy in the Asia-Pacific: The Role of Ideas,
Interests and Domestic Institutions, Springer, London, 2011, p. 16
11
negara di wilayah Asia yang meningkatkan jumlah perjanjian perdagangan dengan negara
sekitar. Beberapa perjanjian perdagangan seperti AFTA, ASEAN-Cina dan SingapuraCina menjadi contoh kasus yang dimaksud. Meskipun demikian, menarik untuk dilihat
bahwa faktor keuntungan ekonomi tidak selalu berhasil dalam menjelaskan fenomena
diplomasi perdagangan di Asia. Negara-negara besar di Asia Timur seperti Korea Selatan,
Cina dan Jepang justru tidak memiliki perjanjian perdagangan bebas antar ketiga negara
tersebut.
Kedua, faktor pertimbangan ekonomi politik juga memainkan peran penting dalam
melatarbelakangi suatu negara menggagas perjanjian perdagangan. Menurut Aggarwal dan
Lee, faktor ini memiliki pendekatan yang berbeda dengan faktor keuntungan ekonomi.
Faktor ekonomi politik menunjukkan bahwa perjanjian perdagangan antarnegara dalam
bentuk minilateral atau bilateral dapat menciptakan ‘efek domino’ atau dampak kerja sama
yang lebih luas antar para pihak. Selain itu, dibanding menjadikan kalkulasi ekonomi
sebagai dasar tunggal untuk menentukan arah perjanjian perdagangan, pertimbangan
ekonomi politik mendorong suatu negara menginisiasi perjanjian perdagangan dan
memilih mitra dagang yang dapat mengurangi dampak negatif domestik dari liberalisasi
perdagangan. Perjanjian perdagangan pada dasarnya tidak hanya mendorong peningkatan
intensitas perdagangan, investasi dan transfer teknologi, namun juga mampu berperan
sebagai instrumen untuk menyelesaikan permasalahan politik domestik yang dihadapi oleh
para pihak yang terlibat. Contoh dari pertimbangan ini dapat dilihat dari beberapa negara
di kawasan Asia yang menggagas perjanjian perdagangan bebas transregional seperti
Singapura-AS, Korea Selatan-AS dan Jepang-Meksiko. Ketiga perjanjian transregional ini
ditujukan untuk mengurangi tekanan politik lintas sektoral dalam negeri terhadap agenda
liberalisasi perdagangan, sebagaimana ditekankan oleh Aggarwal dan Lee.
Ketiga, faktor reformasi domestik. Inisiatif menggagas perjanjian perdagangan juga
dapat dilatarbelakangi oleh agenda untuk melakukan reformasi industri domestik. Suatu
negara dapat menjadikan perjanjian perdagangan sebagai instrumen pendukung kebijakan
industri, baik untuk melindungi industri yang sedang berkembang di dalam negeri, atau
meningkatkan daya saing industri tersebut. Menurut Aggarwal dan Lee, negosiasi dalam
perjanjian perdagangan bilateral dapat membantu memfasilitasi suatu negara melakukan
penyederhanaan, peningkatan atau restrukturisasi ekonomi. Dalam kondisi ini, perjanjian
perdagangan digunakan untuk mendukung reformasi domestik, sehingga pemerintah dapat
menggunakan perjanjian tersebut sebagai pengaruh politik dalam negeri untuk mengurangi
resistensi liberalisasi perdagangan yang ditekankan oleh sektor pemihak proteksionisme.
12
Keempat, faktor asimetri kekuatan turut berperan dalam mendorong munculnya
inisiatif perjanjian perdagangan. Menurut Aggarwal dan Lee, perjanjian perdagangan dapat
digagas untuk menjembatani munculnya asimetri kekuatan di antara negara-negara yang
terlibat. Negara dengan kekuatan besar cenderung menjajaki perjanjian perdagangan yang
mencakup semua sektor, termasuk liberalisasi perdagangan barang maupun jasa. Di sisi
lain, negara dengan kekuatan besar juga cenderung menghindari liberalisasi perdagangan
yang merugikan sektor-sektor industri sensitif dalam negeri. Kecenderungan ini menjadi
tekanan tersendiri bagi negara-negara berkekuatan menengah, dimana negara berkekuatan
menengah justru cenderung dipaksa untuk lebih berkompromi dalam negosiasi perjanjian
perdagangan. Keputusan untuk bergabung dalam negosiasi perjanjian perdagangan bebas
dengan negara berkekuatan besar dilihat sebagai bentuk kekhawatiran negara-negara
berkekuatan menengah terhadap pengecualian (fear of exclusion) yang dilakukan oleh
negara berkekuatan besar dalam menentukan agenda liberalisasi ekonomi regional. Contoh
dari faktor ini dapat dilihat dalam perjanjian antara AS-Australia, AS-Singapura dan ASKorea Selatan. Kekhawatiran pengecualian pasar ekspor oleh AS dilihat sebagai pemicu
negara-negara tersebut menjajaki kerja sama perdagangan dengan AS.
Kelima, faktor pertimbangan diplomatik dan keamanan adalah faktor terakhir yang
digagas Aggarwal dan Lee berperan melatarbelakangi munculnya perjanjian perdagangan
bebas. Negara berkekuatan besar seperti AS menghubungkan pertimbangan diplomatik dan
keamanan dalam negosiasi perjanjian perdagangan, dimana perjanjian perdagangan bebas
menjadi bentuk penghargaan bagi para sekutu negara tersebut. Perjanjian perdagangan ASIsrael dan AS-Yordania merupakan contoh bagaimana AS menjadikan perjanjian sebagai
alat diplomasi. Tidak hanya AS, Cina dan Jepang memiliki karakter strategi diplomasi
yang relatif sama. Sebagaimana ditekankan oleh Aggarwal dan Lee, inisiatif perjanjian
perdagangan antara Cina-ASEAN pada dasarnya merupakan upaya diplomatik Cina untuk
meningkatkan hubungan politik antara Cina dan negara-negara ASEAN di tengah realitas
bahwa struktur ekonomi Cina dan ASEAN pada dasarnya lebih bersifat kompetitif. Hal
yang sama dapat juga dilihat dari Jepang yang menginisiasi perjanjian perdagangan bebas
sebagai bagian dari kebijakan strategis untuk menegaskan eksistensi negara tersebut di
kawasan.
Kelima faktor di atas menjadi argumen utama Aggarwal dan Lee dalam penjelasan
motif perjanjian perdagangan bebas yang dewasa ini intensitasnya semakin meningkat di
kawasan Asia. Selain kelima faktor tersebut, di dalam tulisan yang sama Aggarwal dan Lee
juga memaparkan kerangka teoritis tentang proses reformulasi kebijakan perdagangan
13
suatu negara. Terdapat tiga variabel utama yang mewarnai proses reformulasi kebijakan
perdagangan, terdiri atas persepsi dan ide-ide; kepentingan; dan institusi domestik. Ketiga
variabel tersebut berada dalam proses politik dalam negeri suatu negara yang menghadapi
tantangan reformulasi kebijakan perdagangan. Persepsi dan ide-ide merupakan variabel
yang dimainkan oleh para aktor dalam negeri yang membantu pembuat kebijakan untuk
mengidentifikasi sekaligus menterjemahkan sifat perubahan eksternal dalam perdagangan,
dimana persepsi dan ide-ide dari aktor-aktor utama tersebut dapat memberikan pilihan dan
alternatif kebijakan reformulasi strategi perdagangan bagi para pembuat kebijakan. Dalam
proses tersebut juga berperan variabel kedua, yaitu kepentingan, dimana para aktor utama
melakukan konfigurasi ulang kepentingan mereka dengan memberikan preferensi terhadap
pilihan kebijakan reformulasi strategi perdagangan. Sejalan dengan proses tersebut juga
berperan variabel ketiga, yaitu institusi domestik, dimana analisis mendalam terkait proses
dan struktur pembuatan kebijakan oleh pemerintah serta kemungkinan perlawanan dalam
negeri terhadap rencana liberalisasi perdagangan merupakan faktor-faktor yang penting
dalam proses reformulasi kebijakan perdagangan.
Melengkapi paparan Aggarwal dan Lee tentang ragam motivasi yang menjadi latar
belakang pembuatan kebijakan perdagangan, John Ravenhill mengemukakan peran penting
regionalisme dalam mendorong meningkatnya intensitas perjanjian perdagangan bebas
dalam satu dekade terakhir. Meskipun dalam tulisannya Ravenhill memfokuskan analisis
pada politik perdagangan di Asia Timur, menarik untuk dilihat bahwa dalam konteks yang
lebih umum, Ravenhill menekankan peran strategis regionalisme sebagai pemicu negaranegara menginisiasi atau bergabung dalam agenda perjanjian perdagangan bebas. Peran
dan kapasitas negara-negara anggota dalam suatu organisasi regional dalam melakukan
negosiasi perdagangan global menjadi lebih baik, merupakan salah satu peran strategis
regionalisme yang dimaksud. Selain itu, regionalisme juga berkontribusi memberikan
pengaruh positif dan kepastian bagi negara-negara yang mulanya memiliki resistensi tinggi
untuk bergabung dalam perjanjian perdagangan bebas.19 Di sisi lain, regionalisme yang
tidak bekerja secara efektif dapat menimbulkan adanya upaya pendekatan regional yang
baru dalam bidang liberalisasi perdagangan. Kegagalan APEC merupakan contoh kasus
yang dimaksud, dimana ketidakpuasan terhadap perkembangan APEC mendorong negaranegara untuk melakukan reformulasi liberalisasi perdagangan di level regional.
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
19
J. Ravenhill, ‘Trade politics in East Asia’, dalam B. Hocking & S.McGuire (eds.), Trade Politics,
Routledge, New York, 2004, pp. 58-62.
14
Selain menegaskan peran strategis regionalisme, Ravenhill juga memaparkan peran
penting kepentingan ekonomi dalam negeri suatu negara dalam membentuk arah perjanjian
perdagangan bebas. Menurut Ravenhill, sebagian besar analisis politik perdagangan dalam
hubungan internasional menjadikan negara sebagai aktor tunggal sehingga analisis yang
memfokuskan pada struktur pembuatan kebijakan dalam suatu negara, termasuk para aktor
yang beprengaruh di dalam negara tersebut masih belum banyak dikembangkan. Dalam
dua dekade terakhir, fokus analisis yang tidak melihat negara sebagai aktor tunggal mulai
banyak dikembangkan, khususnya dalam melihat dinamika perkembangan ekonomi politik
Asia Tenggara. Analisis tersebut melihat komunitas bisnis dalam negeri sebagai kelompok
kepentingan yang memiliki peran penting untuk mempengaruhi kebijakan ekonomi luar
negeri suatu negara. Menurut Ravenhill, kelompok bisnis berpengaruh terhadap penentuan
besaran tingkat proteksi yang ditetapkan terhadap sektor tertentu oleh suatu negara. Di sisi
lain, kepentingan kelompok bisnis terhadap perjanjian perdagangan bebas semakin tinggi
seiring dengan proliferasi jumlah perjanjian tersebut di kawasan Asia. Kepentingan yang
melekat dengan negosiasi perjanjian perdagangan bebas merupakan konsekuensi logis bagi
kelompok bisnis, untuk memastikan bahwa tidak ada dampak negatif yang timbul akibat
negosiasi suatu perjanjian, khususnya dalam preferensi akses pasar mitra dagang. Beberapa
contoh kasus diangkat oleh Ravenhill, seperti dukungan dari Federasi Organisasi Ekonomi
Jepang, Keidanren, terhadap negosiasi perjanjian perdagangan bebas oleh Jepang pada
awal dekade 1990-an. Hal yang sama juga dapat dilihat dari Federasi Industri Korea yang
mengawal Korea Selatan dalam melakukan negosiasi perjanjian perdagangan bebas.
Motif untuk melakukan perjanjian perdagangan bebas juga dianalisis dengan rinci
oleh Bernard M. Hoekman dan Michel M. Kostecki. Dalam sebuah bab yang menganalisis
integrasi perdagangan regional, Hoekman dan Kostecki memaparkan enam faktor yang
mendorong terjadinya perjanjian perdagangan bebas di level regional.20 Pertama, kekuatan
utama dunia yang melemah. Dalam setiap dinamika maupun hambatan yang terjadi dalam
level internasional akan berdampak terhadap reaksi negara-negara dalam menentukan pola
dan strategi perdagangan. Hoekman dan Kostecki memberikan contoh runtuhnya kekuatan
Uni Soviet pada awal dekade 1990-an mendorong terjadinya demokratisasi di negaranegara di Eropa Timur, sekaligus transformasi menuju ekonomi berbasis pasar. Dalam
konteks ini, menjajaki perjanjian perdagangan regional dengan negara-negara di Eropa
Barat menjadi salah satu upaya yang dapat mengakselerasi transformasi menuju ekonomi
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
20
B.M. Hoekman & M.M. Kostecki, The Political Economy of the World Trading System: The WTO
and Beyond, Oxford University Press, New York, 2001, pp. 348-349.
15
pasar yang terbuka. Kedua, perubahan cara pandang AS dalam melihat regionalisme sejak
dekade 1980-an. Posisi AS yang semula lebih memilih jalur diplomasi multilateral dalam
perdagangan pada masa tersebut berubah menjadi preferensi terhadap diplomasi regional.
Hal ini terjadi karena proses dan perkembangan di jalur multilateral yang berlangsung
lambat. Sebagai negara adikuasa, kondisi ini turut merubah preferensi negara berkekuatan
menengah dalam melakukan strategi perdagangan.
Ketiga, munculnya dampak domino yang dipicu dari terbentuknya blok dagang
regional negara-negara berkekuatan besar. Terbentuknya blok ini menciptakan tekanan
terhadap negara-negara yang tidak masuk dalam blok dagang tersebut, sehingga muncul
terciptanya blok-blok dagang baru yang juga disebut dengan istilah domino regionalism.
Keempat, Hoekman dan Kostecki menempatkan globalisasi sebagai faktor pemicu yang
turut berperan penting mendorong munculnya perjanjian perdagangan regional. Fenomena
globalisasi mendorong terjadinya internasionalisasi pasar dan menciptakan tekanan bagi
perusahaan-perusahaan. Kondisi ini mendorong pemerintahan suatu negara untuk mencari
akses pasar yang lebih luas serta akses investasi dan teknologi yang lebih leluasa. Proses
ini menciptakan upaya bagi perusahaan untuk mencoba mempengaruhi pemerintah untuk
menurunkan biaya-biaya terkait ekspor dan impor dalam perdagangan, dimana salah satu
instrumen efektif yang dapat ditempuh adalah dengan perjanjian perdagangan bebas di
level regional.
Kelima, perjanjian perdagangan bebas di level regional merupakan salah satu upaya
negara dalam meningkatkan kredibilitas dalam maupun luar negeri. Komitmen terhadap
perjanjian perdagangan bebas di level regional dipahami sebagai instrumen pengunci
kebijakan reformasi dalam negeri, baik di bidang ekonomi maupun non-ekonomi, seperti
transformasi menuju demokrasi. Dalam konteks ini negara menunjukkan komitmen untuk
bekerjasama serta meningkatkan kredibilitas dalam menarik penanaman modal dari dalam
maupun luar negeri. Keenam, faktor politis, dimana perjanjian perdagangan bebas sering
dipicu oleh pertimbangan politik luar negeri maupun pertimbangan keamanan nasional.
Menurut Hoekman dan Kostecki, dampak ekonomi yang timbul dari perjanjian tersebut,
terlebih bila perjanjian justru tidak memberikan keuntungan bagi negara, merupakan biaya
yang harus dikeluarkan untuk tercapainya tujuan non-ekonomi. Di sisi lain, dibanding
penyelesaian di level multilateral, perjanjian di level regional juga merupakan alternatif
yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah yang timbul di antara negara-negara
tetangga.
16
Analisis faktor-faktor penyebab suatu negara menginisiasi perjanjian perdagangan
bebas yang dibuat oleh Aggarwal dan Lee, Ravenhill, Hoekman dan Kostecki di atas
menunjukkan beberapa hal. Pertama, sejalan dengan pendekatan Okamoto dan Capling,
Aggarwal dan Lee menekankan peran politik dalam negeri dalam memberikan pengaruh
terhadap penjajakan perjanjian perdagangan. Lima faktor yang digagas oleh Aggarwal dan
Lee menekankan pada interaksi antaraktor dalam negeri dengan kategori analisis yang
luas. Secara umum, pembedaan antara faktor keuntungan ekonomi dengan non-ekonomi
dipisahkan dengan cukup jelas oleh Aggarwal dan Lee. Asimetri kekuatan dan faktor
diplomatik dan keamanan merupakan faktor non-ekonomi yang turut memberi pengaruh
terhadap pembuat kebijakan.
Namun demikian, meskipun dalam tulisannya Aggarwal dan Lee mengkritik bahwa
sebagian besar analisis terkait politik perdagangan di Asia Timur dan Amerika
menempatkan perubahan dalam sistem internasional sebagai faktor dominan yang memicu
perubahan strategi perdagangan, penting untuk dicatat bahwa dalam kerangka teoritis yang
diajukan, perubahan dalam sistem internasional yang disebut dengan external shock justru
tidak diklasifikasikan dengan lebih rinci. Selain itu, kritik Aggarwal dan Lee juga
ditujukan pada analisis perubahan dalam sistem internasional yang tidak menciptakan pola
kebijakan yang sama bagi sebagian besar negara. Dalam konteks ini, kerangka teoritis
yang dibawa oleh Aggarwal dan Lee dengan penekanan terhadap struktur pembuat
kebijakan dalam negeri pada dasarnya juga tidak menghasilkan hasil atau pola analisis
yang dapat diseragamkan. Peran persepsi dan ide-ide, kepentingan serta institusi domestik
pada dasarnya sangat bergantung dari bentuk perubahan dalam sistem internasional itu
sendiri. Dengan kata lain, meskipun Aggarwal dan Lee berhasil memberikan telaah yang
mendalam terkait peran struktur domestik dan tetap menjadikan perubahan dalam sistem
internasional sebagai faktor yang berkesinambungan sebagai pemicu reformulasi strategi
perdagangan, menarik untuk dicatat bahwa tidak adanya penjelasan yang lebih rinci terkait
perubahan dalam sistem internasional justru dapat dilihat sebagai otokritik bagi kerangka
teoritis yang diajukan.
Kedua, dari arah yang berbeda, Ravenhill memaparkan regionalisme sebagai salah
satu pemicu negara-negara menginisiasi ataupun bergabung dalam perjanjian perdagangan
bebas. Dalam konteks ini, tidak ditemukannya klasifikasi yang rinci terkait perubahan
sistem internasional dalam tulisan Aggarwal dan Lee justru dapat ditemukan dalam tulisan
Ravenhill, meskipun hanya mengajukan argumen tunggal regionalisme sebagai pemicu
perkembangan strategi perdagangan. Di sisi lain penting untuk dicatat bahwa Ravenhill
17
tidak melakukan dikotomi peran dalam dan luar negeri dalam memberikan pengaruh
terhadap sebuah kebijakan perdagangan. Hal ini dapat dilihat dalam tulisan Ravenhill,
dimana peran kelompok bisnis dalam negeri sebagai bagian dari aktor dan kelompok
kepentingan memiliki posisi yang tidak kalah penting dari peran regionalisme sebagai
faktor luar negeri. Meskipun Ravenhill tidak mengajukan kerangka teoritis sebagaimana
diajukan oleh Aggarwal dan Lee, dapat dilihat bahwa Ravenhill menempatkan faktor
dalam dan luar negeri pada posisi yang tepat dan saling memberikan pengaruh terhadap
dinamika strategi perdagangan suatu negara.
Ketiga, dengan uraian yang lebih rinci terkait faktor luar negeri sebagai pendorong
perubahan strategi perdagangan, Hoekman dan Kostecki memaparkan penjelasan yang
komprehensif. Dengan mengajukan enam faktor pemicu semakin meningkatnya intensitas
perjanjian dan integrasi regional dalam dua dekade terakhir, dapat dilihat bahwa Hoekman
dan Kostecki mengindikasikan setidaknya empat faktor luar negeri, terdiri atas perubahan
kekuatan utama dunia, perubahan pandangan AS terhadap regionalisme, dampak domino
dan globalisasi. Sebagaimana Ravenhill, Hoekman dan Kostecki tetap menganggap politik
dalam negeri memiliki peran penting dalam memberikan pengaruh terhadap strategi
perdagangan suatu negara. Dua faktor terakhir yang diajukan oleh Hoekman dan Kostecki,
yaitu kredibilitas dan politik, menjadi penjelasan bahwa faktor luar negeri tidak berdiri
sendiri. Dengan tanpa memberikan kritik teoritis terhadap analisis politik perdagangan di
level regional, Hoekman dan Kostecki memiliki posisi yang sejalan dengan Ravenhill,
menempatkan faktor dalam dan luar negeri pada posisi yang penting dalam memberikan
pengaruh terhadap perubahan strategi perdagangan.
Keempat, penting untuk dicatat bahwa analisis Aggarwal dan Lee, Ravenhill,
Hoekman dan Kostecki memiliki arah yang sama dengan argumen Okamoto dan Capling,
dimana kelimanya memberikan paparan terkait faktor-faktor pendorong suatu negara
dalam melakukan perjanjian perdagangan. Hal yang membedakan dari kelima analisis di
atas adalah bagaimana peran faktor dalam dan luar negeri memiliki pengaruh dan berperan
terhadap proses perubahan kebijakan strategi perdagangan. Okamoto, Capling bersama
Aggarwal dan Lee menempatkan politik dalam negeri beserta struktur yang ada di
dalamnya sebagai faktor terpenting dalam memahami dinamika strategi perdagangan.
Meskipun ketiga analisis menempatkan faktor luar negeri turut berpengaruh, (exogenous
shock dalam bahasa Okamoto, atau external shock, dalam bahasa Aggarwal dan Lee),
namun ketiga analisis tersebut memiliki prioritas yang sama dengan menempatkan politik
dalam negeri sebagai basis analisis. Sementara itu, Ravenhill serta Hoekman dan Kostecki
18
memiliki pendekatan yang lebih lunak. Dengan menempatkan faktor luar negeri sejajar
bersama faktor dalam negeri dalam memberikan pengaruh terhadap negara dalam inisiasi
perjanjian perdagangan, analisis dalam kedua tulisan tersebut memberikan klasifikasi yang
rinci terkait ragam faktor luar negeri. Tanpa meninggalkan peran faktor dalam negeri,
Ravenhill serta Hoekman dan Kostecki menggarisbawahi bahwa kedua faktor bersifat
saling memberikan pengaruh terhadap proses pembuatan strategi perdagangan.
Melengkapi analisis Okamoto, Capling, Aggarwal dan Lee, Ravenhill, Hoekman
dan Kostecki, tesis ini akan berfokus pada faktor dalam dan luar negeri dengan
menitikberatkan pada kompleksitas hubungan tiga pertimbangan yang diajukan oleh
William D. Coplin dan Charles W. Kegley, yaitu konteks politik domestik, kapabilitas
ekonomi dan militer serta konteks internasional dalam proses pembuatan kebijakan terkait
kerja sama ekonomi Australia-ASEAN dalam AANZFTA. Dinamika hubungan negara
dengan masyarakat yang menjadi fokus gagasan Okamoto akan terintegrasi dalam kategori
konteks politik domestik, sementara pendapat Capling terkait dengan motif defensif dan
strategis akan tergabung dalam kategori kapabilitas ekonomi dan militer. Sebagaimana
analisis Ravenhill serta Hoekman dan Kostecki, analisis ini juga akan diimbangi dengan
faktor luar negeri dalam proses pembuatan kebijakan, yaitu konteks internasional yang
akan menjelaskan inisiatif AANZFTA sebagai strategi diplomasi perdagangan plurilateral
adalah bentuk upaya Australia dalam merespon dinamika politik maupun ekonomi yang
terjadi di ASEAN pada dua dekade terakhir. Dalam hal ini, respon Australia tersebut
berupa regional engagement yang tidak hanya berdasar pada pemenuhan kepentingan
jangka pendek seperti keuntungan ekonomi semata, namun juga mencakup kepentingan
jangka menengah berupa hubungan yang harmonis antara Australia dengan negara-negara
Asia Tenggara.
D. Kerangka Teori
Untuk menganalisis pertanyaan penelitian tentang strategi diplomasi perdagangan
Australia dalam kawasan Asia Tenggara, penting untuk melihat kepada teori pembuatan
kebijakan yang digagas oleh William D. Coplin dan Charles W. Kegley. Dalam teori
tersebut Coplin dan Kegley menekankan bahwa kebijakan luar negeri pada dasarnya
merupakan hasil dari tiga pertimbangan yang saling mempengaruhi satu sama lain terhadap
pengambil kebijakan. Pertama, kondisi politik dalam negeri; kedua, kemampuan ekonomi
dan militer; dan ketiga, konteks internasional, yaitu posisi khusus negara dalam
19
hubungannya dengan negara lain dalam sistem internasional. 21 Sebagai pertimbangan
pertama, kondisi politik dalam negeri meliputi interaksi di antara para aktor yang
mempengaruhi kebijakan (policy influencers), yang terdiri atas birokrat, partai politik,
kelompok kepentingan dan massa. Dalam pembuatan kebijakan ekonomi luar negeri,
Coplin dan Kegley menekankan peran kelompok kepentingan, partai politik dan birokat
sebagai aktor yang paling berperan dalam sistem pengaruh kebijakan di level politik dalam
negeri. Sistem pengaruh kebijakan dalam suatu negara merupakan interaksi antara para
pengambil keputusan dengan para policy influencers. Coplin dan Kegley menambahkan,
kelompok kepentingan memiliki peran yang lebih besar dalam negara dengan sistem
politik yang terbuka seperti Australia. Meskipun demikian, tidak dapat diasumsikan bahwa
kelompok kepentingan selalu menjadi penentu utama desain dan arah kebijakan ekonomi
luar negeri sebuah negara. Sebaliknya, dalam sebuah negara bersistem politik terbuka juga
memungkinkan kelompok kepentingan memiliki peran yang terbatas dalam menggunakan
pengaruh. Gambaran yang sama juga terlihat dari peran partai politik dalam negara
bersistem politik terbuka.
Pertimbangan kedua, kekuatan ekonomi dan militer, dapat dicatat bahwa Coplin
dan Kegley menekankan beberapa aspek dalam kedua kekuatan tersebut. Pada kekuatan
ekonomi, aspek yang dimaksud meliputi sejarah perkembangan kondisi ekonomi, kapasitas
produksi nasional serta ketergantungan suatu negara pada perdagangan internasional.
Sejarah perkembangan kondisi ekonomi dinilai berperan besar dalam mempengaruhi arah
kebijakan ekonomi luar negeri, khususnya dalam mengukur kapasitas produksi komoditas
ekspor. Analisis terhadap kedua aspek ini menunjukkan tingkat ketergantungan ekonomi
suatu negara terhadap perdagangan internasional. Pada kekuatan militer, Coplin dan
Kegley menekankan peran kapasitas penggunaan kekuatan militer serta ketergantungan
keamanan nasional terhadap aktor luar negeri, dimana keduanya dinilai memiliki pengaruh
dalam membentuk arah politik luar negeri suatu negara.
Pertimbangan ketiga memperlihatkan dimensi yang berbeda dari pertimbangan
pertama dan kedua. Bila politik dalam negeri dan kekuatan ekonomi serta militer adalah
bagian dari dinamika dalam negeri suatu negara, maka konteks internasional sebagai
pertimbangan ketiga merupakan dimensi luar negeri yang berperan dalam memberikan
pengaruh terhadap politik luar negeri. Sifat konteks internasional yang diwarnai dengan
hubungan antar negara dengan kondisi-kondisi dalam sistem internasional menentukan
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
21
W.D. Coplin & C.W. Kegley, Multi Method Introduction to International Politics, Markham
Publishing Company, Chicago, 1971, pp. 30-31.
20
bagaimana suatu negara akan berperilaku. Dalam menjelaskan pertimbangan ini, Coplin
dan Kegley menekankan tiga aspek yang terdiri atas aspek geografis, ekonomis dan politis.
Kedekatan geografis berhubungan dengan perdagangan antarnegara serta keanggotaan
bersama dalam organisasi-organisasi antarpemerintah. Demikian halnya dengan aspek
ekonomis yang merupakan bagian penting dalam konteks internasional. Arus barang dan
jasa maupun arus modal menciptakan pola ketergantungan suatu negara terhadap negara
lain. Selain itu, aspek politis yang digambarkan dengan hubungan politis antarnegara juga
berperan besar dalam politik luar negeri suatu negara. Menurut Coplin dan Kegley, aliansi
keamanan dapat berdampak besar terhadap anggota maupun non-anggota aliansi dalam
perumusan politik luar negeri.
Ketiga pertimbangan di atas memiliki peran yang saling berkesinambungan dalam
mempengaruhi pertimbangan pembuat kebijakan untuk mengambil keputusan. Konteks
dalam negeri yang terdiri atas politik dalam negeri, kekuatan ekonomi dan militer berperan
bersama dengan konteks internasional dalam membentuk arah politik luar negeri. Ketiga
pertimbangan tidak berdiri secara terpisah, melainkan saling memberikan pengaruh dalam
proses pembuatan kebijakan. Politik luar negeri sebagai output dari pendekatan Coplin dan
Kegley ini mencakup fokus analisis yang luas, dari kebijakan yang terkait dengan hukum
dan keamanan internasional hingga kebijakan ekonomi luar negeri suatu negara. Lebih
jauh, Coplin dan Kegley menegaskan bahwa politik internasional adalah perilaku dan
komitmen suatu negara terhadap isu-isu internasional. Dalam kondisi tersebut, kebijakan
luar negeri dapat dipahami sebagai alat untuk mencapai kepentingan nasional tertentu oleh
suatu negara.
Dengan dasar pendekatan di atas, teori Coplin dan Kegley dapat menjelaskan
kebijakan ekonomi luar negeri Australia yang terkait dengan diplomasi perdagangan
dengan Asia Tenggara. Dari sisi pertimbangan pertama, teori ini mengungkap peran policy
influencers politik dalam negeri yang mendorong pemerintah Australia menginisiasi
AANZFTA. Pertama, hubungan pemerintah dan sektor swasta yang diwarnai dengan
agenda liberalisasi perdagangan yang terfokus pada kawasan Asia Pasifik, dimana kondisi
ini menggambarkan peran birokrat, partai politik dan kelompok kepentingan. Bob Hawke
membuka pintu liberalisasi perdagangan sebagai bagian dari agenda reformasi struktural
dengan menciptakan interaksi intensif bersama para pelaku industri dan buruh untuk
memastikan liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Liberalisasi tersebut
terus menjadi prioritas bagi Australia, terlepas dari pergantian pemerintahan. Hingga
pemerintahan Julia Gillard, liberalisasi perdagangan diterapkan dengan beragam strategi.
21
Inisiasi pemerintah Australia atas AANZFTA sebagai perjanjian plurilateral digagas sejak
periode Howard di tengah kebijakan yang lebih mengarah pada perjanjian perdagangan
bilateral. Melalui kerangka kerja AFTA-CER dan pembentukan ACBC perumusan
AANZFTA dinilai sebagai bentuk kerja sama ekonomi yang strategis antara ketiga pihak
tersebut. Meskipun demikian, AANZFTA banyak mendapatkan catatan dan kritik dari
berbagai sektor industri di Australia, khususnya hortikultur dan agrikultur. Penerapan tarif
masuk yang lebih tinggi dibanding perjanjian bilateral Australia dengan negara-negara
ASEAN dipandang oleh sektor industri hortikultur sebagai kondisi yang tidak efektif dan
merugikan pertumbuhan sektor tersebut. Selain itu, Sektor manufaktur menilai AANZFTA
tidak akan mampu membawa dampak positif bagi kenaikan volume ekspor Australia dalam
sektor tersebut. Pada sisi pemerintah, National Interest Analysis juga memberikan catatan
penting seperti pengaturan tarif, mekanisme negosiasi serta masukan pertimbangan tentang
perlindungan lingkungan, hak asasi manusia dan standar hidup buruh. Dengan tidak
didapatkannya dukungan penuh sektor swasta terhadap AANZFTA, dapat dilihat bahwa
inisiasi atas AANZFTA didasarkan pada pertimbangan yang lebih luas dari sekadar
interaksi pemerintah dengan sektor swasta.
Kedua, hal utama yang mendorong AANZFTA selain interaksi pemerintah dengan
swasta dan agenda liberalisasi adalah pengaruh ideologi dan politik bipartisan dalam
dinamika parlemen Australia. Hal ini semakin menegaskan peran penting partai politik
dalam pembuatan kebijakan ekonomi luar negeri Australia. Pengaruh ideologi tidak lagi
berdampak signifikan dalam proses pembuatan kebijakan dalam Partai Buruh maupun
Partai Liberal. Kedua partai yang memiliki ideologi yang berbeda tersebut telah
menghadapi ujian keberpihakan kebijakan partai pada agenda liberalisme. Kondisi ini
mendorong terjadinya politik bipartisan dalam parlemen Australia. Politik bipartisan
terjadi dalam ruang lingkup kebijakan politik keamanan, sosial maupun ekonomi. Dalam
konteks ekonomi, politik bipartisan sangat jelas terlihat dalam kebijakan liberalisasi
ekonomi dalam negeri yang menjadi prioritas bagi kedua partai dalam tiga dekade terakhir.
Dengan komitmen bipartisan di antara kedua partai, inisiasi Australia atas AANZFTA
relatif lancar dan tidak menemukan kendala berarti dalam level prosedural parlemen.
Berdasar pada realitas dalam parlemen tersebut, dapat disimpulkan bahwa inisiasi
AANZFTA tidak hanya didasarkan pada kalkulasi ekonomi, melainkan juga membawa
agenda pendekatan regional terhadap kawasan ASEAN.
Pertimbangan kedua menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda. Pendekatan
Coplin dan Kegley telah mengungkapkan dua hal. Pertama, sejarah perkembangan
22
ekonomi Australia menunjukkan perubahan komposisi ekspor yang mendorong resiko
kerentanan ekonomi memiliki pengaruh besar terhadap inisiasi AANZFTA. Perubahan
dinamika ekonomi global yang ditandai dengan munculnya industrialisasi dan urbanisasi di
negara-negara Asia Timur, khususnya Cina, telah mendorong peningkatan kapasitas
produksi berupa lonjakan permintaan ekspor bahan baku untuk mendukung kebutuhan
sektor manufaktur. Lonjakan ekspor tersebut berdampak signifikan terhadap perekonomian
Australia sehingga mempengaruhi komposisi ekspor Australia yang kini didominasi oleh
sektor pertambangan. Dengan terminologi “resource boom”, Australia melihat lonjakan
ekspor tersebut sebagai dampak positif dari industrialisasi yang terjadi di Asia Timur.
Namun di sisi lain, lonjakan ekspor tersebut juga berdampak terhadap ketergantungan
Australia atas permintaan ekspor dari Cina. Bahkan, lonjakan ekspor tersebut berisiko
mendekatkan Australia pada kerentanan ekonomi ketika daya tahan perekonomian
Australia saat ini justru lebih bergantung dari permintaan ekspor.
AANZFTA dinilai sebagai instrumen penting untuk mendukung diversifikasi
produk ekspor agar Australia tidak hanya mengandalkan sektor pertambangan sebagai
komoditas ekspor. Hal ini dianggap relevan karena neraca perdagangan antara Australia
dan ASEAN dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan peningkatan
permintaan di sektor non-pertambangan, seperti manufaktur dan agrikultur. Dalam konteks
ini telah disimpulkan bahwa AANZFTA juga berperan dalam mendorong pemerintah
untuk melakukan reformasi domestik, khususnya untuk meningkatkan daya saing industri
pada sektor agrikultur. Meskipun demikian, agenda diversifikasi ekspor dan reformasi
domestik tidak dapat diterjemahkan sebagai faktor terpenting dalam mendorong inisiasi
AANZFTA karena kedua agenda tersebut juga diterapkan dalam perjanjian perdagangan
lainnya yang digagas oleh Australia.
Kedua, kondisi militer Australia yang diwarnai oleh evolusi strategi pertahanan
yang semakin menekankan pentingnya stabilitas kawasan dinilai sebagai faktor yang
mendorong inisiasi AANZFTA. Kondisi ini menunjukkan kapasitas penggunaan kekuatan
militer Australia. Stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara merupakan prioritas bagi
pertahanan Australia, sebagaimana tercantum dalam dokumen Kertas Putih Pertahanan.
Pengerahan kekuatan militer bukan menjadi pilihan bagi Australia, melainkan justru
merupakan bagian dari penjajakan kerja sama antara Australia dan ASEAN di berbagai
bidang, khususnya bidang ekonomi. Peran AANZFTA dalam menjalin kerja sama tersebut
sangat penting untuk mendukung kondisi keamanan Asia Tenggara yang stabil dan
berkelanjutan. Selain itu, perkembangan strategi pertahanan Australia menunjukkan bahwa
23
aliansi keamanan dengan Amerika Serikat tidak lagi sepenuhnya mampu menjamin
keberlanjutan keamanan Australia. Meskipun aliansi tersebut masih berjalan hingga kini,
telah dijelaskan bahwa AANZFTA adalah bentuk upaya Australia untuk meningkatkan
kapabilitas pertahanan secara mandiri melalui diplomasi ekonomi luar negeri yang terfokus
pada penjajakan perjanjian perdagangan bebas antara Australia dan ASEAN.
Pada pertimbangan yang ketiga, pendekatan Coplin dan Kegley mengungkapkan
aspek geografis, ekonomis dan politis yang saling terkait. Pertama, dinamika ekonomi
politik kawasan Asia Tenggara yang mengindikasikan proliferasi perjanjian perdagangan
bebas dalam dua dekade terakhir turut mempengaruhi Australia untuk menggagas
AANZFTA. Keputusan Australia untuk menjajaki perjanjian perdagangan bebas dengan
ASEAN merupakan langkah diplomatis untuk mengirim sinyal kepada kawasan bahwa
Australia tetap memiliki komitmen serius terhadap liberalisasi perdagangan, sekaligus
sebagai bentuk pendekatan regional. Tanpa kehadiran AANZFTA, Australia melihat
potensi munculnya risiko untuk dikesampingkan dalam agenda kerja sama ekonomi
kawasan, khususnya bila tidak ikut serta menjadi salah satu aktor di dalam proliferasi
perjanjian tersebut. Hal ini semakin dikuatkan dengan temuan bahwa negara-negara mitra
dagang yang bekerja sama dengan ASEAN merupakan mitra dagang terpenting bagi
Australia, seperti Cina, Jepang, India dan Korea Selatan.
Kondisi tersebut di atas menunjukkan sentralitas ASEAN yang juga terjadi pada
ruang lingkup kerja sama yang lain. Selain bidang ekonomi, sentralitas ASEAN juga
terlihat dalam bidang politik dan keamanan, sebagaimana terlihat melalui terbentuknya
ARF dan EAS. Menguatnya sentralitas ASEAN ini dipahami oleh Australia sebagai
momentum untuk menguatkan agenda pendekatan regional, salah satunya melalui kerja
sama perdagangan. Hal ini dianggap penting karena pada saat yang sama Australia
menemukan hambatan dalam menjalankan agenda APEC di kawasan sebagai forum kerja
sama ekonomi yang tidak mengikat, beranggotakan negara-negara dengan keberagaman
ekonomi yang tinggi. Melihat dinamika tersebut, AANZFTA dipahami sebagai bentuk
respon proaktif Australia terhadap pengembangan kerja sama ekonomi kawasan Asia
Tenggara.
Kedua, perimbangan kekuatan dan pengaruh antara AS dan Cina di Asia Tenggara
dalam satu dekade terakhir semakin menegaskan motivasi Australia dalam menggagas
AANZFTA. Pertumbuhan ekonomi Cina yang signifikan mendorong pengaruh yang lebih
besar terhadap kawasan Asia Tenggara. Terjalinnya perjanjian perdagangan bebas dalam
skema ACFTA merupakan bentuk pengaruh Cina yang dimaksud. Pertumbuhan pengaruh
24
Cina tersebut disikapi oleh AS dengan penjajakan kerja sama perdagangan dengan ASEAN
melalui jalur bilateral maupun plurilateral. Perjanjian USSFTA dan TPP dilihat sebagai
instrumen yang strategis bagi AS, meskipun ukuran dari kedua perjanjian tersebut berada
di bawah ACFTA. Untuk mengimbangi pengaruh Cina, AS juga menguatkan arus PMA
langsung di Asia Tenggara sehingga selama beberapa dekade terakhir ia menjadi salah satu
negara sumber PMA asing terbesar di kawasan tersebut. Kondisi ini semakin relevan untuk
melihat rivalitas AS-Cina jika dihadapkan realitas di bidang perdagangan, di mana Cina
merupakan mitra dagang terbesar ASEAN.
Selain bidang ekonomi, rivalitas kedua negara besar tersebut juga terlihat dalam
bidang politik dan keamanan, khususnya pada kasus sengketa Laut Cina Selatan. Posisi
Cina yang bersikukuh untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui jalur bilateral serta
kecenderungan sikap asertif Cina dalam menyelesaikan sengketa tersebut menjadi salah
satu pemicu AS untuk menegaskan komitmennya terhadap stabilitas keamanan di ASEAN.
Diplomasi AS melalui ARF yang disikapi Cina sebagai bentuk intervensi yang tidak perlu
semakin menguatkan ketegangan antara kedua negara tersebut dalam hal kontestasi
pengaruh di Asia Tenggara. Kondisi ini menjadi faktor penting yang mendorong
AANZFTA berperan sebagai upaya Australia untuk melakukan harmonisasi hubungan
antara Australia, ASEAN, Cina dan AS. Posisi sebagai mitra aliansi keamanan AS dan
mitra dagang Cina menuntut Australia untuk mampu memainkan peran strategis dengan
baik. AANZFTA diharapkan mampu berperan menjadi jembatan dialog bagi Australia dan
ASEAN dalam menghadapi berbagai perkembangan isu ekonomi dan keamanan
kontemporer, khususnya terkait kontestasi AS-Cina.
E. Hipotesis
Dengan berdasar analisis Okamoto, Capling, Aggarwal dan Lee, Ravenhill,
Hoekman dan Kostecki serta teori pembuatan kebijakan Coplin dan Kegley, penulis
mengajukan hipotesis bahwa Australia tetap menginisiasi AANZFTA karena perjanjian
tersebut didorong oleh faktor politik dalam negeri yang terdiri atas interaksi pemerintah
dengan sektor swasta yang mengarah pada liberalisasi perdagangan, dinamika partai
politik dalam parlemen serta kekuatan ekonomi dan militer Australia, serta faktor luar
negeri berupa dinamika ekonomi politik Asia Tenggara serta kontestasi kekuatan AS-Cina
di kawasan Asia Tenggara. Kedua faktor tersebut mendorong pemerintah Australia untuk
menjadikan AANZFTA tidak hanya sebagai perjanjian perdagangan yang memiliki tujuan
25
ekonomi, namun sekaligus sebagai instrumen diplomasi pendekatan regional terhadap
ASEAN yang dilihat sebagai tujuan non-ekonomi.
F. Sistematika Penulisan
Tesis ini akan terdiri dari lima bab. Setelah Bab I Pendahuluan ini, pada Bab II
akan dijelaskan mengapa Australia tetap melaksanakan skema kerja sama perdagangan
multilateral melalui AANZFTA dari pendekatan politik dalam negeri. Bab ini akan
menguraikan besarnya pengaruh koalisi kelompok kepentingan terhadap kebijakan
pemerintah Australia terkait kerja sama perdagangan dan investasi. Selain itu, pada bab ini
juga akan dijelaskan kecenderungan politik luar negeri Australia yang semakin bipartisan
sehingga akan terlihat gambaran tekanan domestik dalam mendorong perlunya AANZFTA
bagi Australia.
Analisis pada Bab III akan berfokus pada motif Australia di balik inisiasi
AANZFTA melalui pendekatan kemampuan ekonomi dan militer. Bab ini akan
menguraikan kondisi ekonomi Australia dalam satu dekade terakhir yang menuntut
perlunya kerja sama ekonomi melalui perjanjian perdagangan bebas. Kepentingan strategis
Australia dalam menjaga hubungan harmonis dengan ASEAN melalui AANZFTA sebagai
upaya menekan dampak negatif dari kerja sama militer dengan AS juga akan menjadi salah
satu hal yang dijelaskan pada bab ini.
Bab IV akan melihat dinamika konteks internasional dalam lingkup kawasan.
Perkembangan hubungan Australia-ASEAN dalam satu dekade terakhir menuntut
Australia untuk melakukan upaya yang lebih komprehensif dalam melakukan kemitraan
dengan negara-negara anggota ASEAN. Pada bab ini juga akan dijelaskan ragam dinamika
hubungan Australia-ASEAN sehingga akan terlihat bahwa AANZFTA merupakan bentuk
respon diplomasi pemerintah Australia untuk melakukan integrasi holistik dengan Asia
Tenggara yang tidak hanya terbatas pada kalkulasi keuntungan ekonomi.
Penutup tesis ini akan disampaikan di Bab IV, di mana penulis akan menyampaikan
kesimpulan dan inferens yang bisa ditarik dari hasil pengkajian isu yang diteliti.
26
Download