ekosistem lahan kering sebagai pendukung

advertisement
EKOSISTEM LAHAN KERING SEBAGAI
PENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN
Ai Dariah, dan Irsal Las
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian
Indonesia merupakan negara agraris dengan penduduk yang bekerja di sektor pertanian
sekitar 44,04 persen, memiliki luas lahan pertanian beririgasi teknis hanya sekitar 6,5 juta
ha, dengan tingkat alih fungsi lahan pertanian sekitar 35.000 ha/tahun (Pasaribu, 2009).
Oleh karena itu, pembangunan pertanian, tidak mungkin hanya bertumpu pada lahan sawah.
Lahan kering merupakan ekosistem yang sangat potensial sebagai salah satu tumpuan sumber
daya lahan bagi pembangunan pertanian. dengan faktor pembatas yang relatif lebih ringan
dibandingkan dengan lahan rawa seperti gambut dan pasang surut. Jenis komoditas yang dapat
dikembangkan pada ekosistem lahan kering juga lebih beragam, baik tanaman pangan maupun
tanaman perkebunan dan hortikultura.
Lahan kering merupakan suatu bentuk ekosistem yang tidak pernah tergenang atau
digenangi air hampir sepanjang tahun dengan Luas total lahan kering 148 juta ha atau
sekitar 78 persen dari luas daratan Indonesia (Hidayat dan Mulyani, 2004; Puslitbangtanak,
2001). Optimalisasi lahan kering sebagai penghasil produk pertanian, dihadapkan pada
beberapa kendala, baik biofisik maupun sosial dan ekonomi. Kendala biofisik yang
menonjol adalah sifat kimia, fisika, dan biologi tanah, produktivitas dan keberlanjutan
(sustainabilitas) usahataninya. Secara sosial ekonomi, keterbatasan pengetahuan dan modal
serta pemilikan lahan yang sempit juga seringkali menjadi penghambat adopsi teknologi
usahatani lahan kering, baik terkait produktivitas, keuntungan usahatani dan pelestarian
sumber daya yang relatif lebih sulit diwujudkan.
Pentingnya usaha pelestarian atau konservasi serta rehabilitasi lahan kering sangat
penting, karena lahan kering lebih rentan terhadap berbagai deraan dan kekurangtepatan
pengelolaan. Luas lahan kering yang mengalami degradasi semakin meningkat dari waktu
ke waktu dan kondisi tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di
berbagai negara terutama di negara berkembang. Pada peringatan Hari Penanggulangan
Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia tanggal 17 Juni 2009 dinyatakan bahwa dalam
40 tahun terakhir hampir sepertiga dari lahan kering pertanian (cropland) di dunia telah
menjadi tidak produktif. Utomo dan Wisnusubroto (2007) menyatakan bahwa penyebab
degradasi lahan sangat kompleks, bukan hanya menyangkut teknis, seperti penggunaan
dan pengelolaan lahan, tetapi juga masalah-masalah sosial, ekonomi, dan budaya yang
menentukan pengambilan keputusan oleh petani.
Makalah ini menguraikan status pertanian pada ekosistem lahan kering di Indonesia,
potensi lahan kering untuk mendukung pembangunan pertanian baik pada sektor pangan
maupun non pangan seperti perkebunan, dampak dari pembangunan pertanian terhadap
EKOSISTEM LAHAN KERING SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN
kelestarian fungsi ekosistem lahan kering dan berbagai usaha yang telah dan sedang dilakukan
untuk mendukung keberlanjutan usahatani dan kelestarian fungsi lahan kering.
Penggunaan Lahan Kering untuk Pertanian
Menurut BPS (2008), lahan pertanian Indonesia meliputi luas 70,2 juta ha, sekitar 61,5
juta ha di antaranya berupa lahan kering. Penggunaan terluas adalah untuk perkebunan
sekitar 18,5 juta ha (Tabel 1) terutama terdapat di Provinsi Sumut, Riau, Jambi, Sumsel,
Kalbar, dan Kalteng. Menurut Ditjen Perkebunan (2001) komoditas perkebunan yang
paling banyak ditanam adalah karet (3,6 juta ha), kelapa sawit (3,8 juta ha), kelapa (3,7
juta ha), dan kopi (1,1 juta ha).
Tabel 1. Penggunaan Lahan Kering untuk Pertanian
Tipe penggunaan
Tegalan/kebun
Perkebunan
Kayu-kayuan
Rumah dan Pekarangan
Lahan terlantar*
Padang rumput**
Jumlah
Luas (ha)
14.614.144
18.489.589
9.303.625
5.357.596
11.341.757
2.432.113
61.538.824
Catatan: *Tidak diusahakan sementara dengan berbagai alasan,
** di beberapa lokasi merupakan lahan produktif
Sumber: BPS (2005)
Penggunaan lahan kering nomor dua terluas untuk pertanian adalah dalam bentuk
tegalan/kebun (14,6 juta ha) yang sebagian besar digunakan untuk produksi berbagai
komoditas pangan nasional (jagung kedelai, kacang-kacangan dan ubi-ubian) dan
pamasok kedua setelah lahan sawah. Selain tanaman pangan, komoditas yang ditanam
pada penggunaan lahan tegal atau kebun adalah sayuran dan buah-buahan. Selain tanaman
semusim yang diusahakan secara monokultur, tegalan/kebun biasa diusahakan petani
sebagai kebun campuran (tanaman semusim dan tanaman tahunan atau berbagai macam
tanaman tahunan).
Luas lahan yang tidak diusahakan (lahan terlantar) sering juga disebut sebagai lahan
tidur menempati urutan ketiga yakni seluas 11,3 juta ha yang terluas terdapat di Provinsi
Kaltim, Kalbar, dan Kalteng. Banyak faktor penyebab terjadinya lahan-lahan terlantar,
diantaranya adalah status kepemilikan lahan, areal perladangan berpindah yang telah atau
sedang ditinggalkan, atau merupakan lahan yang telah mengalami degradasi berat. Padang
rumput sering juga sering dikategorikan sebagai lahan terlantar, namun di beberapa lokasi
47
EKOSISTEM LAHAN KERING SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN
padang rumput digunakan sebagai lahan penggembalaan. Penggunaan lahan ini umumnya
terdapat di Indonesia Timur, misalnya di NTT.
Keberadaan lahan yang tidak diusahakan atau lahan terlantar dapat dijadikan
prioritas untuk program ektensifikasi, mengingat ketersediaan lahan untuk pertanian
semakin menciut. Padahal kebutuhan lahan sampai tahun 2010 untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi saja diperkitaran mencapai 9,29 juta ha (Pasaribu, 2009). Namun
demikian status lahan tersebut perlu diperjelas terlebih dahulu sebelum diputuskan untuk
menjadi areal ekstensifikasi pertanian, sehingga tidak akan menimbulkan konflik pada masa
mendatang. Selain yang berada dikasawan APL (areal penggunaan lahan/budidaya), juga
terdapat > 40 juta ha lahan kering potensial yang saat ini terdegradasi dan/atau terlantar di
kawasan hutan. Jika tidak dapat segera dihutankan kembali, lahan tersebut sangat potensial
untuk pengembangan Hutan Tanaman dan Perkebunan.
Peran, Potensi dan Kendala Pengembangan Lahan Kering
Peranan lahan kering yang sangat besar, bukan hanya pada skala nasional, namun juga
pada skala global. Pada Tahun Internasional Biodiversitas, masyarakat dunia diingatkan
bahwa lahan kering merupakan areal dengan keragaman hayati sangat besar. Tiga puluh
persen tanaman yang dikonsumsi di berbagai sudut dunia berasal dari lahan kering. Lahan
kering juga merupakan kolam (pool) C-organik yang terbesar (UN, 2010).
Lahan kering di Indonesia tersedia cukup luas, dan memiliki potensi untuk menghasilkan
padi gogo lebih dari 5 ton/ha (Adimihardja et al., 2009). Selain itu, bahan pangan untuk
memenuhi kebutuhan nasional selain beras, seperti jagung, sorgum, kedelai, kacang hijau,
ubi kayu, ubi jalar, dan lain sebagainya, sekitar 70 persen diantaranya dihasilkan dari lahan
kering. Jika menggunakan teknologi yang sesuai dan strategi pengembangan yang tepat,
lahan kering dapat memberikan kontribusi yang jauh lebih besar. Selain tanaman pangan,
berbagai jenis tanaman yakni tanaman hortikultura, perkebunan, dan tanaman industri
justru dominan dikembangkan pada agroekosistem lahan kering.
Dari total luas lahan kering sekitar 148 juta ha, yang sesuai untuk budidaya pertanian
adalah sekitar 68.8 juta ha atau sekitar 47,2 persen total lahan kering atau 37,8 persen
dari total luas daratan (BBSDLP 2008; Las, 2009). Lahan kering yang sesuai untuk
pengembangan komoditas pertanian dominan berada di dataran rendah yaitu seluas 62,9
juta ha, yang sekitar dua pertiga berada di daerah beriklim basah. Sebaran lahan kering
menurut komoditas dan wilayah tertuang pada Tabel 2. Di wilayah dataran rendah, lahan
datar-bergelombang (lereng <15 persen) yang tergolong sesuai untuk pertanian tanaman
pangan mencapai luas sekitar 23,3 juta ha. Sedangkan, pada lereng antara 15-30 persen (47,5
juta ha), lahan kering tersebut lebih baik diarahkan untuk tanaman tahunan. Di dataran
tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman semusim hanya sekitar 2,1 juta ha (umumnya
dominan digunakan untuk tanaman semusim hortikultura), dan untuk tanaman tahunan
sekitar 5,5 juta ha.
48
EKOSISTEM LAHAN KERING SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN
Tabel 2. Luas Lahan Kering yang Berpotensi untuk Pengembangan Komoditas Pertanian
Komoditas
Luas
(juta
ha)
Tanam Semusim
19,72
Tahunan tahunan
44,12
Tanam Semusim
1,95
Tahunan tahunan
3,20
Tanam Semusim
2,74
Tahunan tahunan
3,34
Tanam Semusim
Tahunan tahunan
0,12
0,28
Wilayah lahan kering
Dataran rendah
beriklim basah
Dataran tinggi
beriklim basah
Dataran rendah
beriklim kering
Dataran tinggi
beriklim kering
Daerah penyebaran utama
Kalimantan, Sumatera, Papua, Jawa,
Sulawesi
Sumatera, Kalimantan, Papua, Maluku,
Jawa, Sulawesi
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi
Sulawesi, Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Papua
Nusa Tenggara, Sulawesi, Jawa, Sumatera
Nusa Tenggara, Bali, Sulawesi, Maluku,
Jawa, Sumatera
Jawa, Nusa Tenggara
Nusa Tenggara, Sumatera, Jawa, Sulawesi
Sumber: Puslitbangtanak (2002)
Selain faktor biofisik seperti lereng (kemiringan lahan), ketebalan solum, dan tingkat
kesuburan tanah, status lahan dan berbagai aspek sosial-budaya juga sering menjadi
pembatas pengembangan pertanian di lahan kering. Banyak lahan kering yang tidak
dibolehkan untuk budidaya pertanian meskipun secara biofisik sesuai untuk pertanian,
karena berada pada kawasan hutan, terutama hutan lindung dan konservasi. Selain itu,
di beberapa lokasi, dengan alasan khusus, lahan kering tidak dapat digunakan untuk
pertanian, seperti kawasan konservasi keanekaragaman hayati, areal suaka margasatwa,
kawasan cagar budaya, hak ulayat/adat, dan lain-lain.
Pemanfaatan lahan kering untuk mendukung pembangunan pertanian dihadapkan
pada beberapa kendala, baik biofisik maupun sosial ekonomi. Kendala biofisik yang
menonjol adalah topografi (kemiringan lahan), kesuburan tanah, dan ketersediaan air.
Dalam batasan tertentu kendala biofisik dapat diminimalisir dengan menerapkan suatu
inovasi teknologi yang tepat, tetapi jika terlalu berat, penerapan suatu inovasi teknologi
menjadi tidak efektif dan ekonomis (terlalu mahal).
Topografi
Sebagian besar lahan daratan di Indonesia terdapat di wilayah yang bergunung (>30
persen) dan berbukit (15-30 persen), dengan luasan masing-masing 51,3 juta ha dan 36,9
juta ha atau sekitar 47 persen dari total luas lahan (Tabel 3). Lahan dengan topografi
bergunung idealnya dipertahankan sebagai vegetasi hutan. Sedangkan budidaya pertanian
idealnya dilakukan pada lahan dengan kemiringan < 30 %. Khusus untuk tanaman semusim
sebaiknya diusahakan pada lahan dengan kemiringan lahan <15 persen, lebih ideal lagi
49
EKOSISTEM LAHAN KERING SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN
dilakukan pada kemiringan lahan < 8 persen jika diusahakan secara monokultur. Sedangkan
lahan dengan lereng antara 15-30 persen lebih baik diarahkan untuk tanaman tahunan.
Namun demikian, meskipun secara potensial luas lahan kering dengan kemiringan lahan
< 30 persen mencapai 97 juta ha (sekitar 52 persen dari total luas daratan), namun secara
aktual ketersediaan lahan dengan kemiringan tersebut sudah sulit didapat, salah satunya
karena lahan berada dalam kawasan hutan, atau telah digunakan untuk penggunaan lahan
lainnya. Oleh karena itu, budidaya komoditas pertanian terpaksa masih ditoleransi pada
lahan kering dengan kemiringan sampai 40 persen.
Tabel 3. Penyebaran Bentuk Wilayah pada Pulau-Pulau Besar di Indonesia
Pulau
Datar
(<3%)
Sumatera
Jawa
Nusatenggara
Kalimantan
Sulawesi
Maluku dan Papua
Total
Persentase (%)
13.516
2.430
430
10.045
2.778
13.359
42.568
22,6
DatarBerombakBerbukit
Bergunung
berombak
bergelombang
(15-30%)
(>30%)
(3-8%)
(8-15%)
--------------------- luas (ribu ha) -------------------*
6.611
10.244
6.758
9.680
1.433
3.017
5.239
1.059
857
714
1.961
3.206
15.900
6.427
7.702
12.444
388
1.087
5.708
8.624
6.288
2.791
9.505
16.294
31.477
24.290
36.871
51.307
16,7
12,9
19,6
27,3
* 1.700 ha (0,9 %) digolongkan sebagai grup Aneka, Sumber : Subagyo et al. (2000)
Aspek topografi pada usahatani tanaman semusim menjadi kendala yang lebih
pelik, yang mana lahan dengan kemiringan lahan <15 persen lebih sulit lagi didapatkan,
karena banyak yang telah dimanfaatkan untuk perkebunan. Hidayat dan Mulyani (2004)
menyatakan perkebunan khususnya perkebunan karet, kelapa sawit dan kelapa, dominan
diusahakan di dataran rendah dan umumnya memanfaatkan lahan dengan bentuk wilayah
datar, datar-berombak, berombak-bergelombang.
Kesuburan Tanah
Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah, yang
antara lain dicirikan oleh mineral yang dikandungnya sudah mengalami pelapukan lanjut,
sehingga suplai hara secara alami menjadi rendah. Sebagian besar atau seluas 102,8 juta
atau 70 persen dari total luas lahan kering di Indonesia mempunyai tanah yang bereaksi
masam(Tabel 4) dengan jenis tanah yang didominasi oleh Inceptisols, Ultisols dan Oxisols.
Karakteristik tanah Ultisol dan Oxisol disajikan pada Tabel 5.
50
EKOSISTEM LAHAN KERING SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN
Tabel 4. Luas Lahan Kering Berdasarkan Kemasaman Tanah
Kemasaman tanah
Masam (pH<5)
Tidak masam (pH>5)
-------------ha-----------28.571.200
4.464.300
3.892.700
7.174.000
364.000
6.443.400
38.827.400
5.036.000
9.097.900
8.320.400
6.589.500
6.483.500
12.212.300
5.959.400
99.564.000
44.381.000
Pulau
Sumatera
Jawa
Bali dan Nusa Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
Papua
Total
Sumber: Puslitbangtanak (2002)
Tanah masam dicirikan oleh pH yang rendah (< 5,5) dan biasanya berkaitan dengan
kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi dan tidak tersedia bagi tanaman, kandungan basa dapat
dipertukarkan dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan yang mendekati batas
meracuni, dan miskin elemen biotik (Adiningsih dan Sudjadi, 1993; Soepardi, 2001).
Rendahnya tingkat kesuburan tanah pada lahan kering juga ditunjukkan oleh
kandungan bahan organik yang rata-rata tergolong rendah, terutama pada lahan yang telah
diusahakan secara intensif (Tabel 5). Secara alamiah penurunan kadar bahan organik tanah
di daerah tropis juga relatif cepat, dapat mencapai 30-60 persen dalam waktu 10 tahun
(Brown dan Lugo, 1990). Padahal bahan organik ini memiliki peran yang cukup besar
dalam memperbaiki sifat kimia, fisika, dan biologi tanah. Meskipun kontribusi unsur
hara makro N, P dan K relatif rendah, namun peranan bahan organik cukup penting,
karena sebagai sumber unsur hara esensial lain seperti C, Zn, Cu, Mo, Ca, Mg, dan Si
(Suriadikarta et al., 2002).
Tabel 5. Karakterisitik Kimia Tanah Ultisols dan Oxisols di Indonesia
Propinsi
pH (H2O)
Al-dd
(me/100g )
Keje-nuhan Al
(%)
Ca-dd
KTK
(me/100g soil)
C-organik
(%)
P-Bray1
(ppm)
Aceh
5,19
2,50
28,4
4,32
9,00
1,63
10,6
Sumatera Utara
5,22
0,94
20,7
1,87
4,09
1,56
11,1
Sumatera Barat
4,66
2,89
44,9
2,75
7,23
4,05
8,2
Riau
4,69
5,46
50,4
2,96
10,18
2,12
9,0
Jambi
4,48
3,37
60,1
1,17
5,75
1,77
9,3
Bengkulu
4,71
2,44
47,0
1,08
4,63
2,64
3,8
Sumatera Selatan
4,65
2,02
50,9
1,41
4,33
1,58
6,9
Lampung
4,74
1,43
42,1
1,03
3,21
1,48
7,3
51
EKOSISTEM LAHAN KERING SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN
Tabel 5. Karakteristik Kimia Tanah Ultisols dan Oxisols di Indonesia (lanjutan)
Propinsi
pH (H2O)
Al-dd
(me/100g )
Keje-nuhan Al
(%)
Ca-dd
KTK
(me/100g soil)
C-organik
(%)
P-Bray1
(ppm)
Java Barat
5,29
2,19
13,4
6,90
13,52
1,34
4,3
Kalimantan Barat
4,27
6,48
75,0
0,71
8,49
2,29
17,1
Kalimantan Tengah
4,56
3,29
61,7
0,82
5,00
2,05
8,4
Kalimantan Timur
4,44
5,33
59,3
2,53
9,72
1,49
29,6
Kalimantan Selatan
4,77
3,84
57,8
1,46
6,27
1,44
5,5
Sulawesi Tengah
5,15
6,95
45,9
2,67
11,95
2,42
36,7
Sulawesi Selatan
5,21
1,22
27,7
4,66
8,06
2,09
33,5
Sulawesi Tenggara
5,30
1,27
26,7
3,45
6,89
1,16
10,8
Sumber : Santoso (1991)
Ketersediaan Air
Ketersediaan air seringkali menjadi kendala pengembangan lahan kering. kebutuhan
air untuk usahatani umumnya hanya tergantung pada curah hujan. Sebagian besar lahan
kering di Indonesia mempunyai regim kelembaban udik atau setara dengan kondisi iklim
basah (Tabel 6). Namun demikian, meskipun rata-rata curah hujan tahunan pada pada
lahan kering beriklim basah tergolong tinggi(>1.500 mm/th), namun kejadian hujan yang
tidak merata sepanjang tahun dan sering bersifat eratik (tidak menentu), apalagi dengan
terjadinya perubahan iklim.
Perubahan iklim global yang disebabkan oleh pemanasan global menyebabkan
ketidakmenentuan (uncertainty) dan variabilitas iklim semakin meningkat. Perubahan
iklim selain mendorong perubahan/pergeseran pola curah hujan, juga mendorong
peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrim, terutama El-Nino dan La-Nina, yang sangat
berkaitan erat dengan curah hujan (Las et al.2007).
Permasalah ketersediaan air lebih serius dirasakan di wilayah beriklim kering dengan
curah hujan tahunannya <1.500 mm/th dan durasi musim hujan yang singkat (< 3 bulan).
Akibatnya jenis komoditas yang bisa ditanam sangat terbatas dengan indeks pertanaman
terbatas, dan khusus untuk tanaman semusim, umumnya hanya bisa IP-100. Tanaman
tahunan yang bisa diusahakan terbatas pada komoditas yang tahan kekeringan, seperti
jambu mete, mangga, dan jeruk. Variabilitas dan perubahan iklim menjadi kendala yang
makin serius dirasakan petani di areal beriklim kering. Kesalahan perhitungan musim
tanam yang kecilpun dapat menyebabkan terjadinya gagal panen.
52
EKOSISTEM LAHAN KERING SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN
Tabel 6. Luas dan Penyebaran Lahan Kering Dataran Rendah Berdasarkan Iklim
Pulau
Jawa
Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Bali
Nusa Tenggara
Maluku
Papua
Total
Regim kelembaban Udik
Regim kelembaban Ustik
(setara dengan kondisi iklim basah)
(setara dengan iklim kering)
-----------------ha-------------3.363.700
4.477.300
18.928.500
29.785.500
4.730.100
2.215.800
125.800
105.200
2.768.800
263.600
3.305.300
762.100
12.333.400
78.144.900
9.220.600
Sumber: Puslittanah (2000)
Kendala Sosial Ekonomi
Beberapa permasalahan dan kendala sosial ekonomi pada lahan kering adalah luas
pemilikan lahan per petani yang cenderung menyempit. Data Sensus Pertanian 1993 dan
2003, dan beberapa hasil penelitian Puslitbangtanak pada tahun 2002/2003 (Adimihardja
et al., 2005), menunjukkan bahwa luas lahan pertanian di Pulau Jawa cenderung menurun,
sedangkan di luar Pulau Jawa sedikit meningkat. Di lain pihak, jumlah rumah tangga
petani (RTP) meningkat secara signifikan dalam sepuluh tahun terakhir, sehingga luas
penguasaan lahan secara rata-rata nasional menurun dari 0,86 menjadi 0,73 ha per
RTP. Sejalan dengan hal tersebut, jumlah petani gurem (luas lahan garapan < 0,5 ha)
juga meningkat dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga petani
pada tahun 2003, dengan rata-rata peningkatan jumlah petani gurem sekitar 2,4 persen
per tahun. Usaha peningkatan produktivitas lahan melalui upaya intensifikasi pada lahan
kering masih jauh tertinggal dibanding lahan sawah, antara lain disebabkan karena tingkat
pengetahuan yang masih tertinggal dan rendahnya aksesibilitas petani lahan kering terhadap
modal dan inovasi teknologi.
Degradasi Ekosistem Lahan Kering
Lahan merupakan faktor produksi yang utama dan bersifat unik karena tidak dapat
digantikan dalam sebuah proses atau usaha pertanian (Pasaribu, 2009; Rustandi, 2009),
termasuk di dalamnya usahatani lahan kering. Namun demikian faktor produksi yang
sangat penting tersebut sebagian besar telah mengalami degradasi, baik secara kuantitas
maupun kualitas. Menurut Las (2010), degradasi lahan, kelangkaan lahan subur dan
perubahan iklim adalah tiga masalah serius dalam pembangunan pertanian ke depan yang
saling berinteraksi. Ketiganya disebabkan oleh eksploitasi berlebihan (over exploitation)
dan atau salah kelola (mis-management) sumber daya lahan melalui praktik pertanian dan/
atau kegiatan eksploitasi lahan dan hutan.
53
EKOSISTEM LAHAN KERING SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN
Konversi Lahan
Degradasi kuantitas lahan pertanian dapat diartikan sebagai penciutan luas
lahan pertanian, terjadi akibat terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Terabaikannya
kepentingan sektor pertanian dan cepatnya laju pertumbuhan industri, perumahan dan
berbagai fasilitas umum mengakibatkan tingginya tingkat konversi lahan pertanian bukan
hanya lahan sawah, tetapi lahan kering. Perubahan penggunaan lahan yang tidak sesuai
dengan peruntukannya tidak hanya menimbulkan degradasi pada bagian above ground
(”biomass”) saja, namun juga menimbulkan degradasi pada bagian below ground (”tanah
dan kehidupan yang ada di dalamnya”).
Sebagian besar lahan kering yang dikonversi ke non pertanian umumnya merupakan
lahan kering yang potensial untuk usaha pertanian, misalnya terletak pada topografi yang
relatif datar atau merupakan lahan pertanian yang subur. Konversi lahan pertanian ke non
pertanian merupakan bentuk degradasi yang bersifat irreversible, atau kecil kemungkinan
untuk kembali difungsikan sebagai lahan pertanian.
Degradasi Kualitas Lahan
Degradasi kualitas lahan merupakan penurunan produktivitas lahan secara
fisika, kimia, dan biologi, baik yang bersifat sementara maupun tetap. Akibat lanjut dari
proses degradasi lahan adalah munculnya lahan-lahan yang tidak produktif atau dapat
diidentikkan sebagai lahan kritis. Data luas lahan kritis baik di luar kawasan hutan maupun
di dalam kawasan hutan disajikan pada Tabel 7. Banjir pada musim hujan dan kekeringan
pada musim kemarau merupakan salah satu indikator utama kerusakan DAS (Sinukaban,
2007), dimana lahan kering seringkali menjadi bagian dominan dari DAS. Pada musim
hujan, sebagian besar dari curah hujan tidak terperkolasi ke dalam tanah untuk mengisi
aquifer, melainkan mengalir menjadi aliran permukaan yang selanjutnya masuk ke sungai,
kemudian mengalir sebagai banjir di bagian hilir. Sebaliknya di musim kemarau peluang
terjadinya kekeringan semakin besar akibat menurunnya daya tampung air bawah tanah
yang menyebabkan penurunan debit aliran sungai secara cepat dan sumber-sumber mata
air di kali bukit.
Tabel 7. Luas Lahan Kritis di Indonesia
Fungsi Kawasan
Luar kawasan
Dalam kawasan
Total
Agak kritis
16.082.933
31.527.148
47.610.081
Kriteria Lahan Kritis
Kritis
Sangat kritis
8.587.558
2.102.753
14.718.675
4.787.813
23.306.233
6.890.567
Total
26.773.245
51.033.636
77.806.881
Sumber: Anwar, 2007
Permasalahan degradasi lahan kering bukan hanya terjadi pada skala nasional, namun
sudah menjadi permasalahan global. UNEP (2006) menyatakan bahwa lahan kering yang
mengalami degradasi di seluruh dunia berkisar antara 10-20 persen dari lahan yang ada,
54
EKOSISTEM LAHAN KERING SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN
dan masalah yang lebih buruk terjadi di negara-negara berkembang. Setiap tahun 20 juta
ha lahan pertanian mengalami degradasi untuk produksi tanaman atau menjadi hunian
urban.
Penyebab utama terjadinya degradasi lahan kering adalah penggunaan lahan yang
tidak sesuai dengan kemampuannya dan/atau eksploitasi berlebihan yang menyebabkan
ketidakseimbangan antara input dan ouput. Keduanya mendorong terjadinya erosi,
pengurasan dan pencucian hara tanah, termasuk bahan organik, penggerusan biologi, dan
lain-lain.
Erosi
Erosi dan aliran permukaan sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan pada
lahan kering di Indonesia, berdampak bukan hanya terhadap lahan yang mengalami erosi
berupa penurunan kondisi fisik, kimia dan biologi serta produktivitas lahan, tetapi juga
menimbulkan dampak juga terhadap daerah hilir berupa banjir, sedimentasi, dan polusi
badan air dengan berbagai implikasi sosial dan ekonom (Arsyad, 2007; Adimihardja, 2007;
dan Rachman, 2007).
Penggunaan lahan kering dengan kemiringan relatif datar untuk kepentingan lain,
seperti pemukiman, sarana transportasi atau untuk usahatani tanaman perkebunan,
mendorong petani memanfaatkan lahan marginal atau lahan sensitif dan konservasi untuk
kegiatan usahatani. Misalnya, usahatani dilakukan pada lahan dengan kemiringan lahan
yang relatif curam tanpa disertai dengan penerapan teknik konservasi yang memadai. Hasil
pengukuran di berbagai tempat menunjukkan bahwa pada budidaya tanaman pangan
semusim tanpa disertai konservasi tanah, besarnya erosi yang terjadi berkisar antara 46351 t/ha/tahun (Sukmana, 1994; 1995).
Praktek usahatani pada lahan yang tidak sesuai sering juga dilakukan karena jenis
tanaman yang diusahakan mensyaratkan kondisi lingkungan tertentu. Misalnya, sebagian
besar komoditas sayur diusahakan di dataran tinggi yang umumnya merupakan hulu daerah
aliran sungai (DAS), dan umumnya merupakan daerah bergunung dengan topografi yang
curam. Yusdar et al., (2009) menyatakan bahwa salah satu tantangan lingkungan yang
dihadapi pembangunan pertanian khususnya yang berbasis komoditas sayuran di dataran
tinggi adalah kerusakan lahan garapan akibat erosi dan longsor.
Perubahan iklim antara lain peningkatan intensitas hujan pada musim hujan dan
penurunan hujan pada musim kemarau, juga turut berkontribusi terhadap peningkatan
laju erosi. Beberapa faktor erosi (jumlah dan intensitas curah hujan, kepekaan tanah,
penutupan dan sistem pengelolaan lahan).
Pencemaran (Polusi)
Di beberapa lokasi degradasi lahan disebabkan oleh terjadinya pencemaran yakni
masuknya dan terakumulasi bahan-bahan yang merugikan tanaman, terutama berupa
55
EKOSISTEM LAHAN KERING SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN
bahan kimia. Pencemaran dapat disebabkan oleh adanya kegiatan industri, pertambangan,
atau karena kegiatan pertanian. Limbah industri terutama yang menggunakan bahan kimia
dalam proses produksinya atau unsur pencemar lainnya seringkali membuang limbahnya
langsung ke areal lahan kering atau ke badan air yang dijadikan sumber pengairan lahan.
Meski dampaknya tidak separah pada lahan sawah yang intensif menggunakan air, namun
dalam jangka tertentu akumulasi bahan polutan dapat terjadi juga di lahan kering.
Pemcemaran lahan dapat pula terjadi karena kegiatan pertanian yang intensif
menggunakan bahan-bahan agrokimia, misalnya pestisida atau pupuk kimia dalam dosis
yang tidak terkendali. Indikasi terjadinya pencemaran tanah akibat bahan agrokimia selain
terindikasi peningkatan kandungan bahan tersebut di dalam tanah (Abdul Muti el al.,
2000), juga terindikasi kandungannya dalam produk pertanian.
Ekploitasi Lahan
Ekploitasi dalam arti terjadinya ketidakseimbangan antara input pertanian dan
output yang didapat khususnya lewat panen, juga merupakan penyebab rendahnya tingkat
keberlanjutan usahatani lahan kering. Input pupuk (mineral maupun organik) yang rendah
atau kadangkala hanya mengandalkan apa yang tersedia dalam tanah, menyebabkan hara
tanah terkuras. Akhirnya tanah tidak mampu lagi berproduksi. Kalaupun masih mampu
berproduksi menjadi tidak ekonomis lagi.
Hara yang keluar dari areal pertanian bukan hanya yang terangkut lewat panen,
kehilangan lewat erosi dan aliran permukaan seharusnya juga turut diperhitungkan.
Percepatan dekomposisi bahan organik akibat pengolahan tanah yang intensif tanpa
dibarengi pengembalian yang seimbang, sering pula menjadi penyebab penurunan kualitas
tanah pada areal lahan kering. Hasil monitoring status bahan organik tanah di beberapa
lokasi menunjukkan C-organik pada lahan kering yang diusahakan untuk pertanian ratarata <2 persen (Tabel 8).
56
EKOSISTEM LAHAN KERING SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN
Tabel 8. Hasil Monitoring Status Bahan Organik pada Beberapa Bentuk Penggunaan
Lahan di Lampung dan Jawa Barat
Lokasi
Jagang, Lampung Barat
Bodong, Lampung Barat
Laksana, Lampung Barat
Tepus , Lampung Barat
Papan Rejo, Lampung Utara
Taman Bogo, Lampung Tengah
Mulyorejo, Lampung Utara
Terbanggi, Lampung
Gunung Madu, Lampung
Ciaruteun, Bogor
Cigudeg, Bogor
Kentrong, Bogor
Cikembang,Sukabumi
Cikembar, Sukabumi
Sukalarang, Sukabumi
Cibadak, Sukabumi
Cidahu, Sukabumi
Cisarua, Bogor
Cigudeg, Bogor
Jasinga, Bogor
Sajira, Bogor
Naibonat, Kupang
Nualise, Ende
Tou, Maumere
Pringgabaya, Lombok Timur
Penggunaan lahan
C-organik (%)
Tanaman Pangan
kopi
kopi
kopi
Tanaman Pangan
Tanaman Pangan
Tanaman Pangan
Tanaman Pangan
Tebu
Tanaman Pangan
Tanaman Pangan
Tanaman Pangan
Tanaman Pangan
Tanaman Pangan
Tanaman Pangan
Tanaman Pangan
Tanaman Pangan
Sayur
Tanaman Pangan
Tanaman Pangan
Tanaman Pangan
Tanaman pangan
Tanaman Pangan
Tanaman Pangan
Tanaman Pangan
1,55
2,21
3,37
2,40
2,04
1,09
1,33
1,60
2,38
1,88
1,78
2,10
1,58
1,52
2,60
1,23
1,38
2,23
0,70
1,31
2,67
1,50
1,44
1,76
0,80
Sumber: Rachman et al., 2008
Kegiatan Penambangan
Sebagian besar kegiatan penambangan dilakukan di lahan kering, seperti batubara,
timah, emas dan lain-lain. Sebagian besar bahan tambang tersebut terdapat pada lapisan
bumi yang relatif dekat dengan permukaan tanah, sehingga kegiatan penambangan
dilakukan secara terbuka (open pit mine methode). Sistem ini menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan unsur-unsur bentang alam, seperti topografi, vegetasi penutup,
pola hidrologi dan kerusakan tubuh tanah (Mulyanto, 2008), yang menyulitkan proses
reklamasinya dan menimbulkan berbagai masalah, antara lain: (1) tercampurnya tanah
pucuk (top soil dengan bahan galian (overburden) yang kurang subur, (2) limbah tailing,
yang mempunyai daya dukung sangat rendah untuk pertumbuhan tanaman seringkali
menumpuk menutupi lansekap, dan (3) beberapa aktivitas penambangan menghasilkan
bahan pencemar yang dapat meracuni tanaman atau menurunkan kualitas tanaman yang
tumbuh di areal bekas tambang.
57
EKOSISTEM LAHAN KERING SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN
Penanggulangan Degradasi Lahan Kering
Sebagai salah satu bentuk kepedulian dan komitmen dalam penanggulangan degradasi
lahan, Indonesia telah meratifikasi konvensi penangulangan degradasi lahan (United Nation
Convension to Combat Desertificatian/UNCCD) yang. Konvensi tersebut diadopsi pada
tanggal 17 Juni 1994 di Paris, dan tanggal tersebut dinyatakan sebagai hari penaggulangan
degradasi lahan dan kekeringan sedunia. Pada tahun 2010 tema yang diambil adalah:
”memperbaiki tanah dimanapun, memperbaiki kehidupan di mana-mana” (Enhancing soil
anywhere, enhance life everywhere).
Upaya untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis telah dilakukan sejak lama.
Program yang masih relatif baru dan masih berjalan sampai saat ini adalah Gerakan Nasional
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan). Areal yang direhabilitasi melalui program ini
bukan hanya areal yang berada di kawasan hutan namun juga yang berada di luar kawasan
hutan. Jauh sebelum program Gerhan, beberapa program (proyek lainnya) dengan tujuan
yang serupa juga telah dilakukan, misalnya saja program pemerintah yang tergolong besar
adalah INPRES Penghijauan dan Reboisasi yang dimulai sejak tahun 1976.
Setelah itu, beberapa proyek konservasi tanah khususnya untuk lahan kering telah
dilaksanakan diantaranya (a) Upland Agriculture and Conservation Project (UACP) di DAS
Brantas (Jawa Timur) dan Jratunseluna (Jawa Tengah) tahun 1984-1992, (b) Yogyakarta
Upland Agriculture Development Project (YUADP) di D.I. Yogyakarta tahun 1990-1998,
(c) National Watershed Mangement and Conservation Project (NWMCP) di DAS Cimanuk
(Jawa Barat) tahun 1995-2000, dan (d) Upland Farmer Development Project (UFDP) di
Jawa Barat, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Timur. Selain itu masih ada beberapa
program pengembangan lahan kering baik yang berskala nasional maupun lokal.
Di bidang legislasi, Pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai peraturan
perundang-undangan. Dua diantaranya adalah untuk mencegah alih fungsi lahan pertanian
produktif khususnya pangan telah disahkan UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Untuk mengatur penggunaan lahan agar sesuai
dengan peruntukan dan kemampuannya, telah pula dikeluarkan UU No. 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Khusus untuk mendorong upaya konservasi tanah pada lahan
kering, pada tahun 2007, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Perttanian
No. 47/2007 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan.
Meskipun berbagai program penanggulangan degradasi lahan sudah sejak lama
dilakukan, namun perluasan dan tingkat degradasi lahan terus bertambah dari tahun ke
tahun. Hal ini selain disebabkan oleh kekurangefektifan berbagai program tersebut di atas,
hal tersebut juga disebabkan kecepatan (volume) rehabilitasi jauh lebih rendah dibanding
kecepatan degradasi lahan. Pasaribu (2009) menyatakan bahwa laju degradasi lahan dan
hutan diperkirakan sekitar 2,8 juta ha/tahun, sedangkan rehabilitasinya hanya 400.000500.000 ha/tahun dengan tingkat keberhasilan 50 persen.
58
EKOSISTEM LAHAN KERING SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN
Beberapa pakar berpendapat bahwa penyebab rendahnya adopsi teknologi konservasi
dan rehabilitasi lahan bukan hanya disebabkan oleh keterbatasn teknologi, namun juga
oleh masalah non teknis, yaitu masalah kebijakan, sosial, dan ekonomi (Adimihardja, 2009,
Arsyad, 2009, Utomo dan Wisnusubroto, 2009). Kebijakan dan perhatian pemerintah
sangat menentukan pengendalian degradasi lahan. Namun, selaras dengan tantangan yang
dihadapi, selama ini program pertanian lebih ditujukan pada peningkatan produksi bahan
pangan dan pertumbuhan ekonomi secara makro, sehingga aspek pelestarian sumber daya
lahan tertinggalkan. Permasalahan sosial sering pula menghambat adopsi program konservasi
dan rehabilitas lahan, misalnya saja masalah status kepemilikan lahan, fragmentasi lahan
yang menyebabkan semakin sempitnya lahan garapan petani, dan tekanan penduduk.
Teknologi pengelolaan lahan kering baik dalam bentuk komponen teknologi (teknik
pengelolaan hara dan bahan organik tanah, konservasi dan rehabilitasi lahan, pengelolaan
air, dan sebagainya), atau berupa rakitan teknologi (berbagai bentuk pola usahatani) telah
dikembangkan sejak lebih dari 3 dekade. Dari segi ketersediaan inovasi sebetulnya tidak
kalah dari teknologi pengelolaan lahan sawah.
Teknik Pengelolaan Kesuburan Tanah
Selama ini pengelolaan kesuburan tanah seringkali hanya dikonotasikan dengan
pemberian pupuk. Padahal selain pemberian pupuk, masih banyak tindakan lainnya
yang perlu dilakukan, selain perbaikan sifat kimia lainnya misalnya perbaikan pH tanah,
kemampuan tanah memegang hara. Aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah
perbaikan sifat fisik dan biologi tanah. Sifat fisik, kimia, dan biologi tanah mempunyai
efek yang saling berhubungan. Sehingga gangguan pada salah satu sifat akan berpengaruh
pada sifat lainnya.
Salah satu teknologi pengelolaan hara yang penting adalah pemupukan berimbang,
yang mampu memantapkan produktivitas tanah pada level yang tinggi. Hasil penelitian
Santoso et al., (1995), Santoso dan Sofyan (2005), dan beberapa penelitian lainnya
menunjukkan pentingnya pemupukan berimbang dan pemantauan status hara tanah secara
berkala. Penerapan teknologi pemupukan organik juga sangat penting untuk dilakukan.
Jenis pupuk lain yang mulai berkembang pesat adalah pupuk hayati (biofertilizer),
seperti mikroba pelarut fosfat, mikroba pemacu tumbuh dan pengendali hama, dan
mikroflora tanah multiguna. Pupuk hayati selain mampu meningkatkan ketersediaan hara,
juga bermanfaat untuk: (a) melindungi akar dari ganguan hama-penyakit; (b) menstimulasi
sistem perakaran agar berkembang sempurna dan memperpanjang usia akar; (c) memacu
mitosis jaringan meristem pada titik tumbuh pucuk, kuncup bunga, dan stolon; (d)
penawar racun beberapa logam berat; (d) metabolit pengatur tubuh; dan (e) bioaktivator
perombak bahan organik.
59
EKOSISTEM LAHAN KERING SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN
Kemasaman tanah yang tinggi pada lahan kering masam dapat ditanggulangi melalui
pemberian kapur. Kapur yang diberikan ke dalam tanah akan mengikat unsur Al dan Fe
yang jika kadarnya berlebih akan bersifat racun bagi tanaman. Peningkatan pH tanah juga
akan membebaskan hara P dan K yang semula terikat menjadi bebas dan tersedia bagi
tanaman. Dosis kapur didasarkan kepada batas kritis toleransi tanaman terhadap unsur
racun tersebut, khususnya untuk Al. Beberapa hasil penelitian menunjukan penggunaan
pupuk organik dapat mensubstitusi kebutuhan kapur pada lahan kering (Basri dan Zaini,
1992).
Teknik Konservasi Tanah
Beberapa jenis teknik konservasi dapat diterapkan pada lahan kering, dengan
memperhatikan persyaratan teknis (Puslitbangtanak, 2004, Agus et al., 1999). Selain
untuk menekan besarnya erosi yang terjadi, penerapan teknik konservasi juga ditujukan
untuk memelihara kualitas tanah.
Teknik konservasi secara garis besar dapat dibagi menjadi teknik konservasi secara
mekanik, vegetatif dan kimia. Teknik konservasi yang banyak dikembangkan pada
lahan kering di Indonesia adalah teknik konservasi secara mekanik dan vegetatif. Dalam
aplikasinya kedua jenis konservasi ini seringkali sulit untuk dipisahkan. Misalnya, tindakan
konservasi secara mekanik akan lebih efektif bila disertai dengan tindakan secara vegetatif,
demikian pula sebaliknya.
Teras bangku merupakan teknik konservasi mekanik yang telah banyak diteliti dan
dikembangkan pada lahan kering di Indonesia (terutama di Pulau Jawa). Kelemahan
dari teras bangku adalah membutuhkan biaya aplikasi relatif tinggi, dan tidak dapat
diaplikasikan pada semua kondisi lahan, misalnya pada tanah bersolum dangkal.
Teknik konservasi mekanik yang lainnya yang dapat dijadikan pilihan adalah teras
gulud. Biaya aplikasi teras gulud jauh lebih murah, yaitu 8-10 kali lebih murah (Dariah et
al., 2004, Agus et al., 1999), namun demikian bentuk teras ini memerlukan pemeliharaan
yang lebih intensif. Bentuk teras lainnya dengan biaya aplikasi yang juga relatif murah
adalah teras kredit, yaitu teras yang terbentuk secara bertahap (terbentuk dalam jangka
waktu sekitar 2-3 tahun) sebagai dampak dari penanaman tanaman konservasi (dari jenis
rumput atau legum perdu) menurut kontur.
Bentuk teknik konservasi mekanik lainnya seperti rorak, teras kebun, dan teras
individu lebih sesuai untuk dikembangkan pada lahan kering yang berbasis tanaman
tahunan. Pembuatan saluran drainase (saluran pengelak, saluran pembuangan air/SPA,
saluran teras, dan bangunan terjunan) pada lahan kering juga dapat dikategorikan sebagai
tindakan konservasi secara mekanik.
Teknik konservasi vegetatif yakni menggunakan unsur tanaman sebagai komponen
utama pencegahan erosi, seperti alley cropping, strip cropping, agroforestry, dan lain-lain,
merupakan teknik konservasi yang dinilai tepat untuk diterapkan pada lahan kering. Selain
60
EKOSISTEM LAHAN KERING SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN
biaya aplikasinya murah dan cukup efektif menahan erosi, juga dapat berkontribusi dalam
pemeliharaan status bahan organik, baik secara langsung yaitu jika hijauan yang dihasilkan
langsung dikembalikan ke tanah, atau secara tidak langsung yaitu siklus pengembalian
bahan organik diperpanjang melalui integrasi ternak ke dalam sistem usahatani. Sistem olah
tanah konservasi yakni cara pengolahan tanah yang bertujuan untuk menyiapkan lahan
agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi optimum, namun tetap memperhatikan
aspek konservasi tanah dan air, merupakan tindakan yang dapat meminimalkan dampak
negatif dari pengolahan tanah yang biasa dilakukan secara intensif (Rachman et al., 2004).
Olah tanah konservasi dicirikan oleh berkurangnya pembongkaran/pembalikan tanah,
penggunaan sisa tanaman sebagai mulsa. Mulsa yang merupakan pendukung sistem olah
tanah konservasi juga dapat digunakan untuk mencegah kehilangan air melalui evaporasi,
aliran permukaan, dan mengurangi fluktuasi temperatur.
Teknik Rehabilitasi dan Penilaian Tingkat Degradasi Lahan
Pada lahan yang telah mengalami degradasi, penerapan teknik konservasi saja tidak
akan mampu membuat lahan dapat berproduksi secara optimal. Pada lahan yang telah
mengalami degradasi rehabilitasi lahan perlu terlebih dahulu dilakukan. Rehabilitasi lahan
secara vegetatif bisa dilakukan dengan menanam tanaman legum penutup tanah.
Penggunaan bahan tertentu yang tergolong sebagai bahan pembenah tanah baik
yang berbahan dasar mineral, organik atau campuran mineral dan organik dapat pula
digunakan untuk mempercepat jangka waktu rehabilitasi lahan. Balai Penelitian Tanah
mengembangkan bahan pembenah tanah berbahan dasar bahan organik dengan diberi
tambahan skim lateks, biochart (arang) dan bahan mineral seperti zeolit, kapur, dan lain
sebagainya. Pupuk hayati berupa mikroba yang aktif dalam proses agregasi tanah juga
dapat digunakan sebagi bahan pembenah tanah.
Jangka waktu rehabilitasi selain ditentukan oleh jenis teknik rehabilitasi yang dipilih,
ditentukan oleh tingkat degradasi lahan yang terjadi. Pemilihan teknik rehabilitasi yang
paling tepat juga ditentukan oleh penyebab utama terjadinya degradasi lahan.
Teknik Konservasi Air dan Irigasi Suplemen
Konservasi air sebenarnya sulit dipisahkan dari konservasi tanah. Prinsipnya dari
konservasi air adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah seefisien mungkin dan pengaturan
waktu aliran yang tepat, sehingga tidak terjadi banjir yang merusak pada musim hujan
dan terdapat cukup air pada musim kemarau. Penerapan teknik konservasi air pada lahan
kering penting untuk dilakukan karena kelangkaan air seringkali menjadi faktor pembatas
utama optimalisasi lahan kering.
Beberapa teknik konservasi air yang dapat diterapkan pada lahan kering adalah teknik
pemanenan air (water harvesting). Teknologi ini utamanya bermanfaat untuk lahan yang
tidak mempunyai jaringan irigasi atau sumber air bawah permukaan (ground water).
Beberapa jenis teknik pemanenan air yang dikembangkan pada lahan kering di Indonesia
61
EKOSISTEM LAHAN KERING SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN
diantaranya adalah embung, kedung, rorak, dan dam parit. Semua jenis teknik pemanenan
air yang telah disebutkan di atas merupakan tindakan untuk memanfaatkan komponen
hidrologi yang bersumber dari aliran permukaan.
Tindakan lainnya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan konservasi air pada
lahan kering adalah dengan mengembangkan sistem pemberian dan pendistribusian air
yang paling sesuai atau dikenal dengan sistem irigasi suplemen. Berdasarkan sarana irigasi
yang digunakan, sistem irigasi suplemen yang dapat diaplikasikan pada lahan kering di
antaranya adalah: (1) irigasi permukaan, (2) irigasi bawah permukaan, (3) irigasi sprinkle,
(4) irigasi tetes, dan (5) kombinasi dari dua atau lebih sistem (irigasi hybrid).
Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air, konsep MAD (management
allowable depletion atau maximum allowable depletion), dapat digunakan guna merancang
penjadwalan irigasi suplemen bagi suatu jenis tanaman. MAD dapat didefinisikan sebagai
derajat kekeringan tanah yang masih diperbolehkan untuk menghasilkan produksi yang
optimum (James, 1978; Subagyono, 1996; Sutono et al., 2006 ).
Penutup
Sekitar 88persen dari total luas lahan pertanian di Indonesia merupakan lahan kering,
oleh karena itu ekosistem ini mempunyai peranan sangat penting dalam pembangunan
pertanian. Optimalisasi lahan kering untuk mendukung pembangunan pertanian
dihadapkan pada beberapa kendala, baik biofisik maupun sosial ekonomi. Kendala biofisik
yang umum ditemui diantaranya adalah topografi (kemiringan lahan), kesuburan tanah,
dan ketersediaan air. Dalam batasan tertentu, kendala biofisik dapat diminimalisir dengan
menerapkan suatu inovasi teknologi yang tepat.
Degradasi lahan baik dari segi kuantitas maupun kualitas merupakan permasalahan
utama pengembangan lahan kering untuk pertanian. Konversi lahan pertanian ke non
pertanian merupakan bentuk degradasi yang bersifat irreversible, dan menyebabkan
pertanian terdesak ke lahan marginal. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan
kemampuannya dan eksploitasi lahan yang menyebabkan ketidakseimbangan antara input
dan output merupakan penyebab utama degradasi kualitas lahan kering.
Berbagai program penanggulangan degradasi lahan sudah dilakukan. Di bidang
legislasi, pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan,
namun luas lahan terdegradasi terus bertambah dari tahun ke tahun. Penyebab rendahnya
adopsi teknologi pengelolaan lahan kering bukanlah hanya disebabkan oleh keterbatasan
teknologi, namun juga oleh masalah non teknis, yaitu masalah kebijakan, sosial, dan
ekonomi.
Teknologi pengelolaan lahan kering juga telah banyak dikembangkan, namun tingkat
adopsinya masih relatif rendah, permasalahan sosial sering menghambat adopsi program
pengembangan lahan kering. Misalnya, masalah status kepemilikan lahan dan fragmentasi
lahan menyebabkan semakin sempitnya lahan garapan petani dan tekanan penduduk.
62
EKOSISTEM LAHAN KERING SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN
Daftar Pustaka
Adimihardja, A. dan S. Sutono. 2005. Teknologi pengendalian erosi lahan berlereng. Hlm.
103-145 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif
dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Adimihardja, A. 2007. Siapkah kita menghadapi eskalasi tantangan konservasi lahan
pertanian di Indonesia. Hlm. 76-84 dalam Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air.
Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia. Jakarta.
Adimihardja.A. Dariah, dan A. Mulyani. 2008. Teknologi dan Strategi Pendayagunaan
Lahan Kering Mendukung Pengadaan Pangan Nasional. Jurnal Badan Litbang
Pertanian.
Adiningsih, J. dan M. Sudjadi. 1993. Peranan Sistem Bertanam Lorong (Alley Cropping)
dalam Meningkatkan Kesuburan Tanah pada Lahan Kering Masam. Risalah Seminar,
Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Agus, F. A. Abdurachman, A. Rachman, S.H. Talao’ohu, A. Dariah, B.R. Prawiradiputra,
B. Hafif, dan S. Wiganda. 1999. Teknik Konservasi Tanah dan Air. Sekretariat Tim
Penendali Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Pusat. Departemen Kehutanan.
Agus, F., E. Surmaini, dan N. Sutrisno. 2005. Teknologi Hemat air dan irigasi suplemen.
Hlm. 223-245 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian
Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Arsyad, S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah. Fak.
Pertanian. IPB.
Aryad, S. 2007. Dimensi manusia dalam konservasi tanah dan air, dan implikasi perubahan
iklim dalam konservasi tanah dan air. Hlm. 65-75. dalam Bunga Rampai Konservasi
Tanah dan Air. Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia. Jakarta.
BPS (Badan Pusat Statistik). 2005. Statistik Indonesia tahun 2005. Biro Pusat Statistik,
Jakarta.
Dariah, A., U. Haryati, dan T. Budhyastoro. 2004. Teknologi Konservasi Mekanik. Hlm.
109-132 dalam Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Departemen
Pertanian.
Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2004. Lahan kering untuk pertanian. hlm. 1-34 dalam
Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah
Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan
Litbang Pertanian.
63
EKOSISTEM LAHAN KERING SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN
Kementrian Kehutanan. 2009. Statistik Kehutanan Indonesia 2008. Departemen
Kehutanan, Jakarta.
Kurnia, U., Sudirman, dan H. Kusnadi. 2005. Teknologi rehabilitasi dan reklamasi lahan.
Hlm. 147-182 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian
Produktif dan Ramah Lingkungan. Puslitbangtanak. Bogor.
Mulyanto, B. 2008. Hubungan fungsi tanah dan kelembagaan pengelolaan kawasan
tambang. Disampaikan dalam Seminar dan Workshop Reklamasi dan Pengelolaan
Kawasan Tambang Pasca Penutupan Tambang. Pusat Studi Reklamasi Tambang.
LPPB-IPB. Bogor 22 Mei 2008.
Nearing, M.A. 2001. Potential Change in Rainfall Erosivity in the U.S. with Climate
Change during 21th century. Jour. Soil and Water Conserva. 56 (3):229-232.
Nearing, M.A., V. Jetten, C. Baffaut, O. Cerdan, A. Couturier, M. Harnandez, Y. Le
Bissonnais, M.H. Nichols, J.P. Nunes, C.S. RFenchler, V. Souvhhere, K. Van Oost.
2005. Modeling Response of Soil Erosion and Runoff to Cahanges in Precepitation
and Cover. Catena 61:131-154.
Pasaribu, B. 2009. Peran Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Menunjang
Tata Ruang dan Kedaulatan Pangan Nasional. Disampaikan dalam Lokakarya
Pembaruan Agraria Pertanian Nasional. Departemen Pertanian. Jakarta September,
2009.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2001. Atlas Arahan Tata
Ruang Pertanian Indonesia Skala 1 : 1.000.000. Puslitbangtanak. Bogor. Indonesia.
37 hal.
Rachman, A., A. Dariah, dan E. Husen. 2004. Olah Tanah Konservasi. Hlm. 189-210
dalam Teknologi Konservasi Tanah Pada Lahan kering Berlereng. Puslibangtanak.
Bogor.
Rachman, A., A. Dariah, dan D. Setyorini. Perkembangan Teknologi Pengelolaan Lahan
Kering. 2008. Balai Penelitian Tanah. Balai Besar Litbang Sumber daya Lahan
Pertanian. Un publish.
Root, T.L., D.P. MacMynowski, M.D. mastrandea and S.H. Schneider. 2005. Human
modified temperature induce species change: combined attribution. In Proceeding of
The National Academy of Science 102:7465-7469.
Rustandi, E. 2009. Penataan ruang dan perlundungan lahan pertanian pangan. 2009.
Disampaikan dalam Lokakarya Pembaruan Agraria Pertanian Nasional. Departemen
Pertanian. Jakarta, September 2009.
64
PERTANIAN PADA EKOSISTEM LAHAN SAWAH
Santoso, D., I P.G. Wigena, Z. Eusof, and C. Xuhui. 1995. The Asian Land management
of sloping lands network: Nutrient balance study on sloping land.p. 03-108. in
Maglinao, A. And A. Sajjapongse (eds.). International Workshop on Conservation
Farming for Sloping Upland in South East Asia: Challenge, Opportunities, and
Prospects. IBSRAM Proc. No. 14. Bangkok. Thailand.
Santoso, D. dan A. Sofyan. 2005. Pengelolaan hara tanaman pada lahan kering. Hlm. 73100 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif dan
Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Sinukaban, N. 2007. Peranan konservasi tanah dan air dalam pengelolaan daerah
aliran sungai (DAS). Hlm.35-44 dalam Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air.
Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia. Jakarta.
Siswomartono, D., A.N. Gintings, K. Sebayong, and S. Sukmana. 1990. Development of
conservation farming systems Indonesia Country Review. Regional Action Learning
Programme on the Development of Conservation Farming Systems. Report of the
Inaugural Workshop. Chiang Mai. 23 Feb-1 March 1990. ASOCON Report No.
2.
Soepardi, H. G. 2001. Strategi Usahatani Agribisnis Berbasis Sumber daya Lahan. h. 3552. Prosiding Nasional Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Pupuk Buku I. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Subagyono, K. 1996. Water Use Efficiency and Available Water cavacity for Irrigated
Corn in Reclaimed Saline Soil. MSc.-Thesis. International Training Center for PostGraduate Soil Science. Faculty of Science. University of Gent. Belgium.
Subagyo, H., N.Suharta, dan A. B. Siswanto. 2002. Tanah-tanah pertanian di Indonesia.
Hlm. 21-65 dalam Sumber daya Lahan di Indonesia dan Pengelolaannya. Puslittanak.
Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Sukmana, S. 1994. Budidaya lahan kering ditinjau dari konservasi tanah. Hlm. 25-39
dalam Prosiding Penanganan lahan Kering Marjinal Melalui Pola Usahatani Terpadu.
Jambi 2 Juli 1994. Puslittanak. Badan Litbang Pertanian.
Sukmana, S. 1995. Teknik konservasi tanah dalam penanggulangan degradasi tanah
pertanian lahan kering. Hlm. 23-42 dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan
Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pulittanak. Badan Litbang
Pertanian.
Suriadikarta, D.A., T. Prihatini, D. Setyorini, dan W. Hartatiek. 2002. Teknologi
Pengelolaan Bahan Organik Tanah. Buku Teknologi Pengelolaan Lahan Kering
menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Puslitbangtanak. Hal 183238.
65
EKOSISTEM LAHAN KERING SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN
Sutono, S., U. Haryati, dan K. Subagyono. 2006. Optimalisasi Irigasi Tanaman Cabai di
Lahan Kering. Hlm. 339-358 dalam Prosiding Seminar Nasional Sumber daya Lahan
Pertanian. Bogor, 14-15 September 2006.
Suwardjo, H., A. Abdurachman, and S. Abujamin. 1989. The use of crop residue mulch to
minimize tillage frequency. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk.
United Nations. 2010. Masage on the World Day to Combat Desertification and Drought.
The Secretary General. 17 June 2010.
Utomo, W. H. dan E.I.Wisnusubroto. 2007. Dari konservasi tanah ke pemeliharaan
lahan. Hlm. 100-109. dalam Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air. Masyarakat
Konservasi Tanah dan Air Indonesia. Jakarta.
66
Download