BAB II BUDAYA RELIGIUS SEKOLAH DAN AKHLAQUL KARIMAH A. BUDAYA RELIGIUS SEKOLAH 1. Pengertian Budaya Kata “ Budaya” berasal dari bahasa sansekerta “ Buddhayah” yakni bentuk jamak dari “ Budhi” (akal). Dengan kata lain, kebudayaan ialah segala hal yang bersangkutan dengan akal. Kata “ Budaya ” juga dapat berarti “ budi dan daya “ atau “ daya dari budi “. Jadi budaya adalah segala daya dari budi, yakni cipta, rasa dan karsa. Dengan demikian kebudayaan merupakan hasil ( karya ) dari cipta, rasa, dan karsa manusia.1 Dalam kamus besar bahasa Indonesia, budaya (cultural) diartikan: pikiran, adat istiadat, sesuatu yang berkembang, sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar diubah.2 Dalam pemakaian sehari-hari, orang biasanya mensinonimkan pengertian budaya dan tradisi. Dalam hal ini tradisi diartikan sebagai ide-ide umum, sikap dan kebiasaan dari masyarakat yang nampak dari perilaku sehari-hari yang menjadi kebiasaan dari kelompok dalam masyarakat tenrsebut.3 Taylor mengartikan budaya sebagai “ that complex whole which includes knowledege, beliefs, art, morals, laws, customs and other capabilities and habits acquired by man as a member of society”. Budaya 1 Ary H Gunawan, Sosiologi Pendidikan ( Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hlm. 16. Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: PT. Balai Pustaka 1991), hlm. 149. 3 Soekarta Indrafchrudi, Bagaimana Mengakrabkan Sekolah dengan Orang Tua Murid dan Masyarakat ( Malang: Ikip Malang, 1994), hlm. 18. 2 22 23 merupakan suatu kesatuan yang unik dan bukan jumlah dari bagian-bagian suatu kemampuan kreasi manusia yang immaterial, berbentuk kemampuan psikologis seperti ilmu pengetahuan, teknologi, kepercayaan, keyakinan, seni dan sebagainya.4 Sedangkan menurut Nur Kholis, budaya adalah asumsi-asumsi dasar dan keyakinan-keyakinan diantara para anggota kelompok atau organisasi.5 Menurut John P. Kotter dan James L. Heskett dalam Sahlan, dalam suatu organisasi (termasuk lembaga pendidikan), budaya diartikan sebagai berikut: Pertama, sistem nilai yaitu keyakinan dan tujuan yang dianut bersama yang dimiliki oleh anggota organisasi yang potensial membentuk perilaku mereka dan bertahan lama meskipun sudah terjadi pergantian anggota. Dalam lembaga pendidikan, misalnya budaya ini berupa semangat belajar, cinta kebersihan, mengutamakan kerjasama dan nilainilai luhur lainnya. Kedua, norma perilaku yaitu cara berperilaku yang sudah lazim digunakan dalam sebuah organisasi yang bertahan lama karena semua anggotanya mewariskan perilaku tersebut kepada anggota baru. Dalam lembaga pendidikan, perilaku ini antara lain berupa semangat untuk selalu 4 Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya ( Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 18. 5 Nur Kholis, Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model dan Aplikasi ( Jakarta: PT. Gramedia Widiasmara Indonesia, 2003), hlm. 200. 24 giat belajar, selalu menjaga kebersihan, bertutur sapa santun dan berbagai perilaku mulia lainnya.6 Selanjutnya, menurut koentjoroningrat budaya itu paling sedikit mempunyai tiga wujud yaitu kebudayaan sebagai : 1) suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma; 2) suatu aktivitas kelakuan manusia dalam masyarakat; 3) sebagai benda-benda karya manusia. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa budaya adalah pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap, nilai-nilai yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun nonfisik (abstrak). Agar budaya tersebut menjadi nilai-nilai yang tahan lama, maka harus ada proses internalisasi budaya. Internalisasi budaya berarti proses menanamkan dan menumbuh kembangkan suatu nilai atau budaya menjadi bagian diri (self) orang yang bersangkutan. 2. Nilai Religius Berdasarkan sudut pandang kebahasaan kata religius (agama) berasal dari kata religi, religion (inggris), religie (belanda), religio/relegare (latin), dan dien (arab). Kata religion (bahasa inggris) dan religie (bahasa belanda) adalah berasal dari induk kedua bahasa tersebut, yaitu bahasa latin “religio” dari akar kata “relegare” yang berarti mengikat.7 Menurut Cicero, relegare berarti melakukan suatu perbuatan dengan penuh 6 Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah: Upaya Pengembangan PAI dari Teori ke Aksi (Malang: UIN Malang Press, 2010), hlm. 74. 7 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 29. 25 penderitaan, yakni jenis laku peribadatan yang dikerjakan berulang-ulang dan tetap. Lactancius mengartikan kata relegare sebagai mengikat menjadi satu dalam persatuan bersama.8 Dalam bahasa arab , agama dikenal dengan kata al-dîn dan al-milah. Kata al-dîn sendiri mengandung berbagai arti. Ia bisa berarti al-mulk (kerajaan), al-khidmat (pelayanan), al-̛izz (kejayaan), al-ẓull (kehinaan), al-ikrah (pemaksaan), al-ikhsan (kebijakan), al-̛adat (kebiasaan), al-̛ibadat (pengabdian), al-qahr wa sulṭan (kekuasaan dan pemerintahan), al-taẓallul wa al-khudu’ (tunduk dan patuh), al-ṭa’at (taat), al-Islam al-taukîd ( penyerahan dan mengesakan tuhan).9 Dari istilah agama inilah muncul apa yang dinamakan religiusitas. Glock dan Stark merumuskan religiusitas sebagai komitmen religius ( yang berhubungan dengan agama atau keyakinan iman), yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu yang bersangkutan dengan agama atau keyakinan iman yang dianut.10 Religiusitas sering diidentikan dengan keberagamaan. Religiusitas seseorang mencapai tingkatan yang optimal, maka ia mempeoleh berbagai pengalaman dan penghayatan keagamaan, itulah ihsan dan merupakan akhlak tingkat tinggi. Keberagamaan ( religiusitas) tidak selalu identik dengan agama. Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada tuhan, dalam aspek yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum8 Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis ( Jogjakarta: Titian Ilahi Press, 2000), hlm. 30. 9 Dadang kahmad, Op. Cit., hlm. 13. 10 http//religiusitas<<all about Psikologi. html/2010/04/0/. Budayareligius(4 April 2010). Diakses, 8 januari 2014. 26 hukumnya. Sedangkan keberagamaan atau religiusitas lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati nurani” pribadi dan karena itu, religiusitas lebih dalam dari agama yang tampak formal.11 Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa nilai religius adalah nilai-nilai kehidupan yang mencerminkan tumbuh kembangnya kehidupan beragama yang terdiri dari tiga unsur pokok yaitu akidah, ibadah dan akhlak yang menjadi pedoman perilaku sesuai dengan aturan-aturan Illahi untuk mencapai kesejahteraan serta kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Menurut Gay Hendrik dan Kate Ludeman dalam Ari Ginanjar, sebagaimana dikutip oleh Asmaun Sahlan, terdapat beberapa sikap religius yang tampak dalam diri seseorang dalam menjalankan tugasnya, diantaranya: 1. Kujujuran 2. Keadilan 3. Bermanfaat bagi orang lain 4. Rendah hati 5. Bekerja efisien 6. Visi ke depan 7. Disiplin tinggi 8. Keseimbangan12 11 12 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam ( Bandung: Rosdakarya, 2001), hlm. 288. Asmaun Sahlan, Op. Cit., hlm. 67-68. 27 Sedangkan menurut A. Musthofa, sikap religius yang tampak dalam diri seseorang itu lebih dikenal dengan konsep kesalehan. Dimana Kesalehan adalah buah penghayatan dan pengamalan ajaran agama secara sempurna. Ketika seorang muslim mengamalkan ajaran Islam berarti ia berada dalam proses pencapaian kesalehan. Pengamalan yang kontinyu terhadap ajaran Islam menjadi awal tertanamnya kesalehan dalam jiwa setiap muslim. Tegasnya, perintah menjalankan agama tujuan utamanya adalah mencetak hamba Allah yang saleh yang tidak hanya berakibat positif bagi dirinya, tetapi juga bagi lingkungannya. Kesalehan merupakan pondasi dasar yang harus dicapai oleh setiap individu dan setiap masyarakat (sosial). Didalam kehidupan berindividu kita harus mempunyai banyak amal ibadah yang baik, untuk mencapai tingkat kesalehan. Sebab kesalehan itu merupakan pokok cerminan diri manusia yang baik. Sedangkan didalam kehidupan social kita juga harus mempunyai amal ibadah yang baik pula, diantaranya: 1. Membantu teman/ orang lain yang sedang terkena musibah. 2. mempunyai sikap sopan santun dihadapan publik. 3. Mempererat tali silaturrahim.13 Kesalehan individual disebut juga dengan kesalehan ritual, Karena lebih menekankan dan mementingkan pelaksanaan ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat, haji, zikir, dst. Disebut kesalehan individual karena hanya mementingkan ibadah yang semata-mata berhubungan dengan 13 Musthofa Ahmad, Akhlak Tasawuf (Bandung: PT. Pustaka setia, 1999), hlm. 152. 28 Tuhan dan kepentingan diri sendiri. Pendek kata, kesalehan jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba formal, yang hanya hanya mementingkan ḥablumminallâh, tidak disertai ḥablum minannâs. Sedangkan “Kesalehan Sosial” menunjuk pada perilaku orangorang yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami, yang bersifat sosial. Bersikap santun pada orang lain, suka menolong, sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, memperhatikan dan menghargai hak sesama; mampu berpikir berdasarkan perspektif orang lain, mampu berempati, artinya mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan seterusnya.14 Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tidak hanya ditandai dengan rukuk dan sujud, puasa, haji melainkan juga ditandai dengan seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang merasa nyaman, damai, dan tentram berinteraksi dan bekerjasama dan bergaul dengannya. 3. Budaya Sekolah Budaya sekolah merupakan satuan organisasi yang bergerak di bidang pendidikan formal yang di dalamnya berlangsung penanaman nilainilai budaya yang diupayakan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dari sekolah inilah berlangsungnya pembudayaan berbagai 14 http://emikahar.blogspot.com/2012/03/kesalehan-individual-dan-kesalehan.htm/. (29 Maret 2012). Diakses, 21 Oktober 2014. 29 macam nilai yang diharapkan dapat membentuk warga masyarakat yang beriman dan bertakwa dan berilmu pengetahuan sebagai bekal hidup peserta didik di masa yang akan datang. Budaya sekolah berarti memberi pengertian bahwa sekolah perlu di dudukan sebagai suatu organisasi yang didalamnya terdapat individuindividu yang memiliki hubungan dan tujuan bersama. Tujuan itu diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang berkepentingan ( stakeholders). Menurut Muhaimin budaya sekolah merupakan perpaduan nilainilai keyakinan, asumsi, pemahaman dan harapan-harapan yang diyakini oleh warga sekolah serta dijadikan pedoman bagi perilaku dan pemecahan masalah (internal dan eksternal) yang mereka hadapi.15 Menurut Deal dan peterson, budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbolsimbol yang dipraktikan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, pesert didik , dan masyarakat sekitar sekolah.16 Sejalan dengan pengertian tersebut, Nasution menyatakan bahwa kebudayaan sekolah itu adalah kehidupan di sekolah dan norma-norma yang berlaku di sekolah tersebut.17walaupun kebudayaan sekolah merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat luas, namun memiliki ciri-ciri yang khas sebagai suatu sub culture. Sekolah bertugas untuk menyampaikan kebudayaan 15 Muhaimin, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Rekonstruksi Sosial ( Malang: Depag. UIN Malang, 2004), hlm. 308 16 Ibid. 17 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan ( Bandung: Jemmars, 1998), hlm. 73 30 kepada generasi baru dan karena itu harus selalu memperhatikan masyarakat dan kebudayaan umum. Menurut Suprapto, budaya sekolah adalah keseluruhan latar fisik, lingkungan, suasana, rasa, sifat dan iklim sekolah yang secara produktif mampu memberikan dorongan kepada siswa untuk melakukan aktivitas yang di butuhkan siswa. Budaya sekolah mampu berubah berdasarkan faktor luar maupun dalam. 18 4. Konsep Budaya Religius Sekolah Konsep Islam tentang budaya religius dapat dipahami dari doktrin keagamaan. Dalam Islam seseorang diperintahkan untuk beragama atau ber-Islam secara menyeluruh (kâffah). Setiap muslim baik dalam berpikir, bersikap, maupun bertindak diperintahkan untuk ber-Islam. Keberagamaan atau religiusitas seseorang diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupannya. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan ritual (beribadah), tetapi juga ketika seseorang melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat dengan mata , tetapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang.19 18 Suprapto, et. all., Budaya Sekolah dan Mutu Pendidika n ( Jakarta: Pena Citra Ksatria, 2008), hlm. 17. 19 Djamaluddin Ancok, Psikologi Islam: Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi, cet II ( Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 76. 31 Budaya religius sekolah merupakan cara berfikir dan cara bertindak warga sekolah yang didasarkan atas nilai-nilai religius (keberagamaan). Religius menurut Islam adalah menjalankan ajaran agama secara menyeluruh. 20 Allah berfirman dalam al-Qur‟an surat al- Baqarah ayat 208: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” Menurut Glock dan Stark dalam Muhaimin, ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu: a) Dimensi keyakinan yang berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu. Dimensi keyakinan atau akidah dalam islam menunjukkan pada seberapa tingkat keyakinan muslim terhadap kebenaran ajaran agama terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan bersifat dogmatik.21 Dalam keber-Islaman, isi dimensi keimanan menyangkut keyakinan tentang Allah, malaikat, nabi/rasul, kitab-kitab Allah, hari akhir serta Qadha dan qadar. b) Dimensi praktik agama yang mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen 20 Asmaun Sahlan, Op. Cit., hlm. 75. Djamaluddin ancok, Psikologi Islam :Sosial Islam atas Problem-Problem Psikologi, cet. Ii (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 76. 21 32 terhadap agama yang dianutnya.menunjukkan pada seberapa tingkat kepatuhan muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana yang diperintahkan dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam keberislaman, dimensi peribadatan menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji, membaca al-Qur‟an, do‟a, zikir, ibadah Qurban, dan sebagainya. c) Dimensi pengalaman. Dimensi ini berisikan dan memperlihatkan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu. Menunjukkan pada seberapa tingkatan muslim berprilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu-individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain. Dalam islam dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama, berderma, mensejahterakan, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, dll. d) Dimensi pengetahuan agama yang mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengatahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi. e) Dimensi pengamalan atau konsekuensi. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari-kehari.22 22 Muhaimin, Op. Cit., 294. 33 Hal yang sama juga dinyatakan oleh Nurkholis Madjid bahwa secara substansial terwujudnya budaya agama adalah ketika nilai-nilai keagamaan berupa nilai rabbaniyah dan insaniyah ( ketuhanan dan kemanusiaan) tertanam dalam diri seseorang dan kemudian teraktualisasikan dalam sikap, perilaku dan kreasinya. Nilai-nilai ketuhanan tersebut oleh Madjid dijabarkan antara lain berupa nilai iman, ihsan, taqwa, ikhlas, tawakal, syukur, dan sabar. Sementara niali kemanusiaan berupa silaturrahmi, persaudaraan, peramaan, adil, baik sangka, rendah hati, tepat janji, lapang dada, dapat dipercaya, hemat, dan dermawan.23 Menurut Muhammad Alim bahwa sikap religius (budaya agama) merupakan bagian penting dari kepribadian seseorang yang dapat dijadikan sebagai orientasi moral, internalisasi nilai-nilai keimanan, dan sebagai etos kerja dalam meningkatkan keterampilan sosial.24 Budaya agama sebagai orientasi moral, moral adalah keterikatan spiritual pada norma-norma yang telah di tetapkan baik yang ersumber pada ajaran agama, budaya masyarakat, atau dari tradisi berfikir secara alamiah. Keterikatan spiritual tersebut akan mempengaruhi keterikatan sikapnya terhadap nilai-nilai kehidupan (norma) yang akan menjadi pijakan utama dalam menetapkan suatu perilaku, pengembangan perasaan dan dalam menetapkan tindakan. 23 Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramedia, 1997), hlm. 98-100. Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 9. 24 34 Budaya agama sebagai internalisasi nilai agama, internalisasi nilai agama adalah proses memasukkan nilai agama secara penuh kedalam hati, sehingga ruh dan jiwa bergerak berdasarkan ajaran agama secara utuh dan diteruskan dengan kesadaran akan pentingnya ajaran agama, serta ditemukannya possibilitas untuk merealisasikan dalam kehidupan nyata. Budaya agama sebagai etos kerja dan keterampilan sosial, agama memegang peranan penting dalam menata kehidupan manusia, baik secara individual maupun sebagai anggota masyarakat dalam kehidupan sosial. Ajaran agama bertujuan membimbing, mendorong untuk berbuat, dan memilih tindakan tertentu. Lebih penting dari itu agama memberi makna terhadap segala tindakan yang dilakukan. Di sinilah agama berperan sebagai sumber etos kerja, bagi orang yang yang beragama. Etos kerja itu muncul dari dorongan sikap yang terbentuk oleh nilai-nilai agama.25 Dalam tataran nilai, budaya religius berupa: semangat berkorban, semangat persaudaraan, semangat saling menolong, dan tradisi mulia lainnya. Sedangkan dalam tataran perilaku, budaya religius berupa: tradisi shalat berjamaah, gemar bershodaqoh, rajin belajar dan perilaku mulia lainnya. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan indikator sikap religius seseorang yakni: (1) komitmen terhadap perintah dan larangan agama, (2) bersemangat mengkaji ajaran agama, (3) aktif dalam kegiatan agama, (4) 25 Ibid., hlm. 11. 35 menghargai simbol agama, (5) akrab dengan kitab suci, (7) ajaran agama dijadikan sumber pengembangan ide.26 Dengan demikian, budaya religius sekolah pada hakikatnya adalah terwujudnya nilai-nilai ajaran agama sebagai tradisi dalam berperilaku dan budaya organisasi yang diikuti oleh seluruh warga sekolah. B. AKHLAQUL KARIMAH 1. Pengertian Akhlak Pengertian akhlak secara etimologi, menurut pendekatan perkataan “akhlak” berasal dari bahasa Arab jama‟ dari bentuk “khuluqun” yang menurut logat diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabiat. kalimat tersebut mengandung segi- segi persesuaian dengan perkataan “khalqun” ( ( خلقyang berarti kejadian serta erat hubungannya dengan “khaliq” ( )خالقyang berarti pencipta dan “makhluk” yang berarti yang diciptakan.27 Adapun dasar akhlak yang dijelaskan dalam Al-qur‟an adalah sebagai berikut: Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah” (Q.S. AlAhzab, 33: 21) 26 Ibid., hlm 12. Zahruddin AR, Pengantar Studi Akhlak ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. 1. Hlm. 1. 27 36 Artinya : dan Sesungguhnya kamu ( muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung “( Q.S. Al- Qalam, 68:4) …” Dalam bahasa Inggris “akhlak” disamakan dengan istilah moral atau ethic. Begitupun dalam bahasa Yunani perkataan “akhlak” dipergunakan istilah ethos atau ethikos atau etika (tanpa huruf h). jadi berdasarkan sudut pandang kebahasaan definisi akhlak dalam pengertian sehari-hari disamakan dengan budi pekerti, kesusilaan, sopan santun, tata krama ( versi bahasa Indonesia).28 Sedangkan pengertian akhlak secara terminologi dapat dilihat dari beberapa pendapat pakar Islam. Menurut Ibnu Maskawaih, sebagaimana dikutip oleh Aminuddin dalam bukunya Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi bahwa : َا ْل َا ِل َا ِل ْل َا ْل ِل ِل ْل ٍة َا ُق ْل َا ٍة ق َا ٌلا ِللل ْلن ِل َا ِلا َا ٍة َا َا ِل َا َا ْل َا ْلل ُق “akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pemikiran dan pertimbangan”.29 Selanjutnya menurut Zakiah Drajat, akhlak adalah kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindak akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian. Dari kekuatan itu lahirlah 28 Abu Ahmadi dan Noor Salimi, Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam ( Jakarta: Bumi Aksara, 2004), Cet. 4, hlm. 198. 29 Aminuddin et. all., Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi ( Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2002), Cet. 1, hlm. 152. 37 perasaan moral yang terdapat dalam diri manusia sebagai fitrah, sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak berguna, mana yang cantik dan mana yang buruk.30 Dari beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa akhlak adalah perbuatan yang berpangkal pada hati atau rasa kesadaran jiwa seseorang tanpa memerlukan pertimbangan dan tanpa ada unsur pemaksaan, kemudian diwujudkan dalam perbuatan yang berulang- ulang seingga menjadi kebiasaan yang akhirnya menjadi sifat atau kepribadian yang dapat melahirkan perbuatan baik atau buruk. 2. Akhlak Terpuji ( al-akhlâq al-Kar̂imah ) Mengutip pendapat al-Ghazali, Zahruddin AR menjelaskan bahwa akhlak yang terpuji berarti sifat-sifat atau tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma atau ajaran Islami.31 Sementara menurut Aminuddin akhlak terpuji adalah akhlak yang senantiasa berada dalam kontrol Ilahiyah yang dapat membawa nilai-nilai positif dan kondusif bagi kemaslahatan umat.32 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa akhlak terpuji adalah segala macam sikap dan tingkah laku yang baik yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Adapun induk akhlak mulia itu ada empat, yaitu: 30 Zakiah Drajat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah ( Jakarta : CV Ruhama, 1995), Cet. 2, hlm. 10. 31 Zahruddin AR , Op. Cit., hlm, 159. 32 Aminuddin, et. all, Op. Cit., hlm. 153. 38 a) Kekuatan ilmu wujudnya adalah hikmah (kebijaksanaan), yaitu keadaan jiwa yang bisa menentukan hal-hal yang benar di antara yang salah dalam urusan ikhtiariah (perbuatan yang dilaksanakan dengan pilihan dan kemauan sendiri). b) Kekuatan amarah wujudnya adalah syaja’ah (berani), yaitu keadaan kekuatan amarah yang tunduk kepada akal pada waktu dilahirkan atau dikekang. c) Kekuatan nafsu syahwat wujudnya adalah „iffah (perwira), yaitu keadaan syahwat yang terdidik oleh akal dan syari‟at agama. d) Kekuatan keseimbangan diantara ketiga kekuatan di atas wujudnya ialah „adil, yaitu kekuatan jiwa yang dapat menuntun amarah dan syahwat sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh hikmah.33 3. Macam- macam Akhlak Terpuji (al-akhlâq al-Kar̂imah) Akhlak terpuji/ akhlak yang mulia dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, akhlak mulia kepada Allah, kedua akhlak mulia terhadap sesama manusia, dan akhlak mulia terhadap Lingkungan. Ketiga akhlak tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: a) Akhlak terhadap Allah SWT. Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji 33 Khalil Al-Musawi, bagaimana menjadi orang bijaksana : resep-resep mudah dan sederhana meraih hikmah dalam kehidupan (Jakarta: Lentera, 2000), hlm. 92. 39 demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berakhlak kepada Allah. Diantaranya dengan tidak menyekutukan-Nya, takwa kepada-Nya, mencintai-Nya, ridla dan ikhlas terhadap segala keputusan-Nya dan bertaubat, mensyukuri nikmat-Nya, selalu berdo‟a kepada-Nya, beribadah, meniru-niru sifat-Nya dan selalu berusaha mencari keridlaanNya.34 b) Akhlak terhadap sesama manusia Akhlak kepada sesama manusia menurut M. Nipan Abdul Halim sebagaimana yang dikutip oleh Heny Narendany Hidayati, pada dasarnya bertolak kepada keluhuran budi dalam menempatkan diri orang lain pada posisi yang tepat. Hal ini merupakan refleksi dari totalitas kita dalam menghambakan diri kepada Allah SWT.35 Akhlak terhadap sesama manusia ini menurut Nurul Zuriah dapat dirinci menjadi beberapa bagian, yaitu sebagai berikut: (1) Akhlak terhadap orang tua, seperti memohon izin, memberi salam pada waktu mau pergi dan pulang dari sekolah, lebih baik lagi jika mencium tangannya; gunakan dan peliharalah perabot atau barangbarang yang ada di rumah kita yang menjadi milik orang tua kita; tidak meminta uang yang berleihan dan tidak bersifat boros; serta membantu pekerjaan yang ada di rumah. 34 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf ( Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 150. Hidayati, Pengukuran Akhlakul Karimah Mahasiswa (Jakarta: UIN Press, 2009), Cet. 1, hlm. 13-14 35 40 (2) Akhlak terhadap orang yang lebih tua, seperti bersikap hormat, menghargai, dan mintalah saran, pendapat, petunjuk, dan bimbingannya karena orang yang lebih tua dari kita pengetahuannya, pengalamannya dan kemampuannya lebih dari kita. Dimanapun kita berjumpa berikanlah salam dan datanglah ke tempat orang yang lebih tua dari kita. (3) Akhlak terhadap sesama/teman, seperti: menyapa jika bertemu, tidak mengolok-olok sampai melewati batas, tidak berprasangka buruk, tidak menyinggung perasaannya, tidak memfitnah tanpa bukti, selalu menjaga nama baiknya, menolongnya jika mendapat kesulitan.36 c) Akhlak terhadap lingkungan Akhlak yang diajarkan al-Qur‟an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta bimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.37 Adapun bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk akhlakul karimah terhadap lingkungan diantaranya adalah memelihara tumbuh-tumbuhan, menyayangi hewan, menjaga kebersihan dan menjaga ketentraman.38 36 Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan ( Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 30-31. 37 Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 152. 38 Hidayati, Op. Cit., hlm. 16. 41 4. Pembentukan Akhlak Anak Pembentukan akhlak dapat diartikan sebagai usaha sungguhsungguh dalam rangka membentuk anak dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten. Pembentukan akhlak ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa akhlak adalah hasil usaha pembinaan, bukan terjadi dengan sendirinya. Potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia, termasuk di dalamnya akal, nafsu, amarah, nafsu syahwat, fitrah, kata hati, hati nurani dan intuisi dibina secara optimal dengan cara dan pendekatan yang tepat.39 Oleh karena itu pendidikan akhlak dan pengetahuan di sekolah harus diseimbangkan. Pengertian keseimbangan di sini lebih menekankan pada kebutuhan dan aspek perkembangan manusia. Untuk membantu melihat hal tersebut kiranya perlu dilihat perkembangan kognitif dan perkembangan moral. Menurut teori perkembangan piaget, perkembangan kognitif seseorang di bagi dalam empat tahap, yaitu sensori motor, praoperasional, operasional konkret dan operasional formal. Tahap sensori motor terjadi pada umur sekitar 0-2 tahun. Pada tahap ini anak dicirikan dengan tindakannya yang suka meniru dan bertindak secara refleks. Anak dalam tahap ini hanya memikirkan apa yang terjadi sekarang. Anak akan meniru apa yang diperbuat orang dewasa. Oleh karena itu, model penanaman nilai 39 Abuddin Nata, Op. Cit., hlm 158. 42 dilakukan dengan cara menirukan, dan orang dewasa sebagai teladan yang ditirukan. Pada tahap praoperasional, yang terjadi pada umur 2-7 tahun, anak mulai menggunakan simbol dan bahasa. Dengan penggunaan bahasa, anak mulai dapat memikirkan yang tidak terjadi sekarang, tetapi yang sudah lalu. Dengan adanya bahasa maka ia dapat mengungkapkan sesuatu hal lebih luas daripada yang dapat dijamah, yang sekarang dilihatnya. Dalam hal sikap pribadi, anak pada tahap ini masih egosentris, berpikir pada diri sendiri. penanaman nilai mulai dapat menggunakan bahasa, dengan bicara dan sedikit penjelasan. Pada tahap operasional konkret, umur 7-11 tahun, anak mulai berpikir transformasi reversible (dapat dipertukarkan) dan kekekalan. Dia dapat mengerti adanya perpindahan benda, mulai dapat membuat klasifikasi, namun dasarnya masih pada hal yang konkret. Anak sudah dapat mengerti persoalan sebab-akibat. Oleh karena itu, dalam penanaman nilai pun sudah dapat dikenalkan suatu tindakan dengan akibat yang baik dan tidak baik. Adapun dalam tahap operasional formal, umur 11 tahun keatas, anak sudah dapat berpikir formal, abstrak. Ia dapat berpikir secara deduktif, induktif dan hipotesis. Ia tidak membatasi berpikir pada yang sekarang, tetapi dapat berpikir tentang apa yang akan datang, sesuatu yang diandaikan. Anak sudah dapat diajak menyadari apa yang dibuatnya dengan alasannya. Segi rasionalitas tindakan sudah dapat diajarkan. Pada 43 tahap ini dalam penanaman nilai, anak sudah dapat diajak berdiskusi untuk menemukan nilai yang baik dan tidak baik.40 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam penanaman nilai akhlak pada anak perlu dimulai dari sesuatu yang konkret, nyata, baru pada pengertian yang abstrak. Pada usia yang lebih dini, lebih ditekankan praktik dan pengalaman nyata, sedangkan pada usia selanjutnya dengan penyadaran kognitif dan pengertian. Sealnjutnya apabila dilihat dari teori perkembangan moral L. Kohlberg, usia anak sekolah dasar termasuk kedalam tahap ketiga yaitu usia 7-12 tahun (heteronom), dimana fase ini ditandai dengan suatu paksaan di bawah tekanan orang dewasa atau orang yang berkuasa, anak menggunakan sedikit kontrol moral dan logika terhadap perilakunya, masalah moral dilihat dalam arti hitam putih, boleh tidak boleh, dengan otoritas dari luar (orang tua, guru, dan anak yang lebih besar) sebagai faktor utama dalam menentukan apa yang baik dan apa yang jahat. Pemahaman tentang moralitas yang sebenrnya masih terbatas.41 Oleh karena itu peran orang dewasa disekitarnya sangat mempengaruhi pembentukan konsep pada anak. 40 41 Nurul Zuriah, Op. Cit., hlm. 33. Muhaimin, Op. Cit., hlm. 170. 44 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya, ada tiga aliran yang sudah amat populer, yaitu: a) Aliran nativisme, berpendapat bahwa faktor yang paling berpengaruh dalam pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat, akal, dan lain-lain. Jika seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecencerungan kepada yang baik, maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik. b) Aliran empirisme, berpendapat bahwa faktor yang paling berpengaruh dalam pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pembinaan dan pendidikan yang diberikan kepada anak itu baik, maka baiklah anak itu. c) Aliran konvergensi, berpendapat bahwa pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan si anak, dan faktor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Fitrah dan kecenderungan yang ada di dalam diri manusia dibina secara intensif melalui berbagai metode.42 Dengan demikian faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada anak ada dua, yaitu: 42 Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 167. 45 a) Faktor dari dalam, yaitu potensi fisik, intelektual dan hati ( rohaniah) yang dibawa anak sejak lahir. b) Faktor dari luar yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.