Ida Ayu Brahmasari, Peniel Siregar Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan Situasional dan Pola Komunikasi terhadap Disiplin Kerja dan Kinerja Karyawan pada PT Central Proteinaprima Tbk. Ida Ayu Brahmasari Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Peniel Siregar Plant GM, PT Central Proteinaprima Tbk Abstract: Contribution of employees’ performances to the overall performance of organization is very important as they are one of the determinant of the organizational success and competitiveness. A new challenge faced by an organization encourage the creation of a new way to do something to improve the organization performance continuously. Therefore, organization culture may be used as a means to adapt any external organization changes as well as to integrate the internal organization. Moreover, communication and the leaders’ ability to influence, motivate, and enable others to contribute to the effectiveness and success of the organizations of which they are members, are very essential to the organization. The purpose of this research is to prove and analyze the influences of corporate culture, situational leadership and communication pattern on employees’ diciplines and performances. The results proved that corporate culture, situational leadership and communication pattern have significant influences on employees’ diciplines and performances. Keywords: corporate culture, situational leadership, communication pattern, employees’ diciplines, employees’ performances Pada masa krisis global seperti saat ini, banyak perusahaan mengalami kelesuan dalam menjalankan kehidupan organisasinya. Di antara perusahaanperusahaan tersebut bahkan ada yang telah mengalami penurunan usaha karena terfokus pada berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja sekaligus daya saingnya. Upaya-upaya tersebut penting dilakukan sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan yang terjadi pada lingkungan eksternalnya, namun seringkali tanpa disadari perusahaan mengabaikan integrasi internal perusahaan, seperti melakukan pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM)nya sebagai salah satu aset penting perusahaan. Perusahaan yang mampu bertahan dan bersaing telah mencerminkan Alamat Korespondensi: Ida Ayu Brahmasari, Fakultas Ekonomi dan PPS Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Jawa Timur 238 kemampuannya dalam mengelola segala sumberdaya yang dimilikinya (Susanto, 1997:74). Menurut Kotter dan Heskett (1992:6), terdapat empat faktor yang membentuk perilaku manajerial, yaitu: budaya perusahaan; struktur formal, sistem, rencana, dan kebijakan; kepemimpinan, sebagai upaya untuk mengartikulasi dan mengimplementasikan visi dan strategi bisnis: serta lingkungan yang teratur dan bersaing. Perusahaan terdiri dari berbagai elemen terintegrasi dan dibentuk oleh budaya yang lebih besar. Budaya perusahaan dibangun untuk mengatasi tantangan di masa yang lalu. Berbagai kebijakan, prosedur, filosofi perusahaan, kebiasaan dan lain-lain merupakan respon terhadap situasi dan tantangan di masa yang lalu. Ketika kondisi berubah lebih cepat daripada kecepatan penyesuaian budaya, kesuksesan organisasi dan bahkan kelangsungan hidup perusahaan mungkin berada dalam bahaya (Zwell, 2000:64–65). JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME238 7 | NOMOR 1 | FEBRUARI 2009 Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan Situasional dan Pola Komunikasi Budaya organisasi dapat sangat mempengaruhi individu dan kinerja perusahaan, terutama dalam lingkungan yang bersaing. Tantangan baru yang dihadapi perusahaan mendorong diciptakannya cara baru melakukan sesuatu untuk perbaikan kinerja yang terus menerus (continous improvement). Budaya organisasi menembus kehidupan organisasi dalam berbagai cara untuk mempengaruhi setiap aspek organisasi. Telah banyak studi yang dilakukan membuktikan bahwa budaya organisasi mempengaruhi berbagai outcomes seperti produktivitas, kinerja, komitmen, kepercayaan diri, dan perilaku etis (Deal dan Kennedy, Denison, Ouchi, Posner, Kouzes dan Schmidt, Pritchard dan Karasick, serta Sathe dalam Ritchie, 2000). Bagi PT Central Proteinaprima Tbk konsep budaya organisasi telah lama diterapkan pada semua lini karyawan sesuai dengan tugas di bidangnya masing-masing, karena PT Central Proteinaprima Tbk memahami pentingnya pemahaman tujuan dari apa yang menjadi misi dan visi perusahaan serta tujuan organisasi oleh setiap karyawan akan membawa pada kemajuan dan daya saing dari PT Central Proteinaprima Tbk. Budaya perusahaan (corporate culture) merupakan aplikasi dari budaya organisasi (organizational culture) terhadap badan usaha atau perusahaan. Kedua istilah ini sering dipergunakan untuk maksud yang sama secara bergantian (Ndraha, 2003:4). Dalam tulisan ini diupayakan konsistensi penggunaan kedua istilah tersebut dengan pengertian yang sesuai dengan istilah asli dari buku teks dan jurnal yang dijadikan acuan serta disesuaikan dengan konteks kalimat. Budaya perusahaan merupakan bagian dari lingkungan internal yang tidak terpisahkan dari perusahaan yang terdiri dari seperangkat asumsi, keyakinan dan nilai yang dianut bersama oleh anggota organisasi dan digunakan untuk mengatur serta mengarahkan perilaku sesuai dengan fungsi yang diharapkan (Gordon, 2002:374). Dengan demikian, seperti dinyatakan oleh Rue dan Byars (1989:513), budaya perusahaan mengkomunikasikan bagaimana anggota organisasi seharusnya berperilaku dengan membangun suatu sistem nilai yang disampaikan melalui tata cara, ritual, mitos, legenda, dan berbagai aktivitas lainnya. Beberapa penulis mendefinisikan budaya organisasi sebagai berikut: ”pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu dalam upaya untuk belajar mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internalnya, dan yang telah berjalan dengan baik. Oleh karenanya, diajarkan kepada anggota baru sebagai cara merasakan dan memikirkan masalah tersebut” Schein (1991:9); ”nilainilai, penuntun keyakinan akan suatu hal dan kebiasaan yang dimiliki bersama dalam organisasi, yang berinteraksi dengan struktur formal guna menghasilkan berbagai norma perilaku yang membedakan organisasinya dari organisasi lainnya” (Hofstede, 1984:21, Kotter and Heskett, 1992:6). Werther dan Davis (1996:47) mendefinisikan budaya perusahaan sebagai ”produk semua segi organisasi: orangnya, keberhasilannya dan kegagalannya yang secara sadar atau di bawah sadar, dijalankan dalam kegiatan organisasi sehari-hari, sedangkan Ashby, 1999:5 serta Sherriton dan Stern (1997:24) mendefinisikannya sebagai ”cara hidup suatu kelompok, yaitu perusahaan atau organisasi”, dan (Wheelen and Hunger, 1996:134) mendefinisikannya sebagai ” nilai-nilai yang dianut bersama oleh anggota perusahaan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya”. Beberapa penulis lainnya mendefinisikan budaya organisasi sebagai ”cara kita melakukan sesuatu di sekitar kita” dan ”beberapa nilai dominan yang didukung oleh organisasi” (Bower dalam Deal dan Kennedy, 2000:4); dan ”serangkaian asumsi yang secara implisit dipegang oleh kelompok dan yang menentukan bagaimana kelompok tersebut merasakan, memikirkan, dan bereaksi terhadap lingkungan” (Kreitner dan Kinicki, 2006:43). Budaya yang dicirikan oleh nilai inti dari organisasi yang dianut dengan kuat, diatur dengan baik, dan dirasakan bersama secara luas. Makin banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti, menyetujui jajaran tingkat kepentigannya, dan merasa sangat terikat kepadanya, maka makin kuat budaya tersebut. Organisasi yang masih baru atau yang turnover anggotanya konstan, mempunyai budaya yang lemah karena para anggota tidak akan mempunyai pengalaman yang diterima bersama sehingga dapat menciptakan pengertian yang sama. Ini jangan diartikan bahwa semua organisasi yang sudah matang dengan TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 43/DIKTI/KEP/2008 ISSN: 1693-5241 239 Ida Ayu Brahmasari, Peniel Siregar anggota yang stabil akan mempunyai budaya yang kuat (Wheelen and Hunger, 1996). Salah satu teori kontingensi yang paling terkenal adalah Model Kepemimpinan Situasional yang diciptakan oleh Hersey dan Blanchard pada tahun 1988. Model kepemimpinan ini mengemukakan bahwa pemimpin yang efektif memiliki gaya yang bervariasi dengan ”kesiapan” pengikutnya. Kesiapan yang dimaksud menunjuk pada kemampuan karyawan atau tim kerja serta kemauan untuk mencapai tugas tertentu. Kemampuan menunjuk pada sejauhmana pengikutnya memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk melaksanakan tugasnya tanpa petunjuk dari pimpinannya. Kemauan menunjuk pada motivasi diri dan komitmen pengikutnya untuk melaksanakan tugas yang diberikan. Model kepemimpinan ini menekan konsepkonsep yang berbeda ini ke dalam suatu kondisi situasi tunggal (McShane dan Von Glinov, 2005:426). Hershey dan Blanchard menggunakan studi dari Ohio State University (OSU) untuk mengembangkan lebih lanjut empat gaya kepemimpinan untuk para manajer, yaitu: • Telling–pemimpin mendifinisikan peran yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan dan menceritakan kepada pengikutnya tentang apa, di mana, bagaimana, dan kapan melakukan tugasnya. • Selling–pemimpin memberikan kepada pengikutnya instruksi terstruktur dan mendukung. • Participating–pemimpin dan pengikutnya berbagi keputusan tentang bagaimana yang terbaik untuk memenuhi pekerjaan yang berkualitas tinggi. • Delegating–pemimpin memberikan arahan sedikit spesifik, tertutup atau dukungan personal kepada pengikutnya (Ivancevich, Konopaske dan Matteson, 2005:504–505). Gaya kepemimpinan yang tepat didapatkan dengan cara menyilangkan anatara kesiapan pengikut yang bervariasi dari rendah ke tinggi dengan salah satu daya kepemimpinan. Keempat gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi antara tugas dan perilaku pemimpin yang berorientasi pada hubungan (S1–S4). Para pemimpin didorong untuk menggunakan gaya ”telling” kepada pengikutnya dengan kesiapan rendah. Gaya ini mengkombinasikan perilaku pemimpin yang berorientasi pada tugas yang tinggi, 240 seperti memberikan instruksi, dengan perilaku pemimpin yang berorientasi pada hubungan rendah. Karena kesiapan pengikut meningkat, maka pemimpin disarankan untuk secara bertahap bergerak gaya kepemimpinan dari telling ke selling ke participating dan pada akhirnya ke gaya delegating (Kinicki dan Kreitner, 2005:352–353). Stoner (2000:216) menyatakan bahwa komunikasi sebagai proses yang dipergunakan oleh manusia untuk mencari kesamaan arti lewat transmisi pesan simbolik. Selanjutnya, Stoner menyatakan bahwa pengertian komunikasi tersebut ada tiga butir penting, yaitu (a) bahwa komunikasi melibatkan orang, dan bahwa memahami komunikasi termasuk mencoba memahami cara manusia saling berhubungan; (b) bahwa komunikasi termasuk kesamaan arti, yang berarti bahwa agar manusia dapat berkomunikasi, mereka harus menyetujui definisi istilah yang mereka gunakan; dan (c) bahwa komunikasi termasuk simbol, baik itu badan, suara, huruf, angka, dan kata-kata hanya dapat mewakili atau mendekati ide yang mereka maksudkan untuk dikomunikasikan. Komunikasi menurut Robbins (2001:6) adalah langkah-langkah antara satu sumber dan penerima yang menghasilkan pentransferan dan pemahaman makna. Gibson, et al. (2003:230–232) menyatakan bahwa komunikasi sebagai suatu proses penyampaian informasi dan pengertian dengan menggunakan tandatanda yang sama. Komunikasi merupakan perekat yang merekatkan organisasi secara bersama-sama. Komunikasi membantu anggota organisasi untuk mencapai baik tujuan individu maupun organisasi, mengimplementasikan dan merespon perubahan organisasi, mengkoordinasikan berbagai aktivitas, dan berkaitan secara virtual dengan semua perilaku yang relevan dengan organisasi. Ketika efektivitas komunikasi organisasi kurang efektif seperti seharusnya, maka organisasi juga tidak seefektif seharusnya (Ivancevich, Konopaske dan Matteson, 2005:421). Menurut Kinicki dan Kreitner (2007:438), manajemen adalah komunikasi. Setiap fungsi manajerial dan aktivitas melibatkan berbagai bentuk komunikasi baik langsung maupun tidak langsung. Apakah dalam melakukan perencanaan dan pengorganisasian atau pengarahan dan memimpin, manajer berkomunikasi dengan atau melalui orang lain. Keputusan manajerial JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 7 | NOMOR 1 | FEBRUARI 2009 Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan Situasional dan Pola Komunikasi dan kebijakan organisasional tidak efektif kecuali dapat dipahami oleh orang-orang yang bertanggungjawab untuk melaksanakannya. Komunikasi didefinisikan sebagai ”pertukaran informasi antara seorang pengirim dan seorang penerima, dan kesimpulan (persepsi) terhadap makna komunikasi antara individu yang terlibat. Komunikasi merupakan suatu proses dua arah yang terdiri dari elemen-eleman yang terkait secara berurutan. Manajer yang memahami proses ini dapat menganalisis pola komunikasi mereka serta program desain komunikasi yang cocok untuk kebutuhan organisasi. Komunikasi dapat mengalir secara vertikal atau lateral. Dimensi vertikal dibagi menjadi dua arah, yaitu ke bawah dan ke atas (Robbins, 2005–301–302). Komunikasi yang mengalir dari satu tingkat suatu kelompok atau organisasi ke tingkat yang lebih rendah merupakan komunikasi ke bawah. Pola komunikasi ke bawah biasa digunakan oleh manajer untuk berkomunikasi dengan karyawannya. Komunikasi ini digunakan oleh pimpinan kelompok dan manajer untuk menentukan tujuan, memberikan instruksi pekerjaan, menginformasikan kepada karyawan tentang kebijakan dan prosedur, menunjukkan masalah yang perlu mendapatkan perhatian, dan memberikan umpan balik tentang kinerja. Pola komunikasi ini tidak harus berbentuk kontak lisan atau face to face, misalnya menggunakan surat atau email. Pola komunikasi ke atas mengalir ke tingkat yang lebih tinggi dalam kelompok atau organisasi. Pola komunikasi digunakan untuk memberikan umpan balik ke atas. Pola komunikasi ini membuat manajer menyadari bagaimana karyawan merasakan pekerjaannya, rekan kerja, dan organisasi secara umum. Manajer juga bergantung pada pola komunikasi ini untuk mendapatkan ide-ide untuk memperbaiki berbagai hal. Misalnya, laporan kinerja yang disiapkan oleh lower management untuk ditinjau oleh middle dan top management, kotak saran, survei tentang sikap karyawan, diskusi antara atasan dan bawahan serta sesi ”keluhan” informal di mana karyawan memiliki peluang untuk mengidentifikasi dan menidiskusikan masalah dengan bosnya atau wakil dari manajemen yang lebih tinggi. Pola komunikasi lateral terjadi ketika komunikasi terjadi di antara anggota dalam kelompok kerja yang sama, di antara anggota kelompok kerja pada tingkat yang sama, di antara manajer pada tingkat yang sama, atau di antara personel yang secara horisontal sama. Jika komunikasi horisontal seringkali dilakukan untuk menghemat waktu, dan memfasilitasi koordinasi, komunikasi lateral secara formal memiliki sanksi. Pola komunikasi ini secara informal diciptakan untuk memotong hierarki vertikal dan mempercepat tindakan. Komunikasi lateral dari sisi manajemen dapat baik atau buruk. Ketaatan yang ketat pada struktur vertikal yang formal untuk semua komunikasi dapat menghalangi efisiensi dan akurasi transfer informasi. Oleh sebab itu, pola komunikasi lateral dapat menguntungkan. Dalam kasus tertentu, komunikasi ini terjadi dengan sepengetahuan dan dukungan penyelia, namun sebaliknya, juga dapat menciptakan konflik disfungsional ketika saluran vertikal yang formal dilanggar, bilamana anggota organisasi melewati penyelia mereka agar semuanya dapat berjalan, atau ketika bosnya mengetahui bahwa tindakan yang dilakukan atau keputusan yang dibuat adalah tanpa sepengetahuannya. Kadang-kadang perilaku karyawan yang tidak tepat mengacaukan atau kinerjanya tidak dapat diterima oleh organisasi. Dalam kondisi ini, dibutuhkan disiplin. Disiplin merupakan tindakan manajemen yang mendorong pemenuhan standar organisasi (Werther dan Davis, 1996:515). Menurut Mondy dan Noe (2005:451), disiplin merupakan kontrol diri dan tingkah laku tertata karyawan dan mengindikasikan adanya tim kerja yang sejatinya di dalam suatu organisasi. Tindakan disiplin memberikan suatu penalti atas karyawan yang gagal memenuhi standar. Tindakan disiplin yang efektif menunjukkan perilaku karyawan yang salah, bukan karyawan sebagai perseorangan. Tindakan disiplin yang dilakukan secara tidak tepat dapat merusak, baik bagi karyawan maupun organisasi. Oleh sebab itu, tindakan disiplin tidak boleh dilakukan dengan sembarangan. Mathis dan Jackson (2000:314) menyatakan bahwa disiplin merupakan bentuk pelatihan yang menegakkan peraturan-peraturan organisasi. Tujuan pencegahan disiplin adalah untuk meningkatkan kesadaran karyawan akan kebijakan dan aturan organisasi. Pengetahuan tentang tindakan disiplin dapat mencegah terjadinya pelanggaran. Penekanan pada pencegahan disiplin serupa dengan penekanan pada TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 43/DIKTI/KEP/2008 ISSN: 1693-5241 241 Ida Ayu Brahmasari, Peniel Siregar pencegahan kecelakaan. Konseling oleh penyelia di unit kerja dapat memberikan dampak positif. Seringkali orang membutuhkan untuk disadarkan tentang suatu aturan, dan konseling dapat memberikan kesadaran tersebut. Pelanggaran tertentu membawa penalti yang lebih berat daripada pelanggaran lainnya. Masalah disiplin yang umum ditimbulkan oleh karyawan bermasalah antara lain terlambat datang, pulang cepat, tidak masuk kerja, defisiensi produktivitas, alkoholisme, dan ketidak patuhan. Lebih lanjut, Mathis dan Jackson mengemukakan bahwa disiplin yang terbaik adalah jenis disiplin diri, karena sebagian besar orang memahami apa yang diharapkan dari dirinya dalam pekerjaannya, dan biasanya karyawan diberi kepercayaan untuk menjalankan pekerjaannya secara efektif. Namun, beberapa orang menyadari perlunya disiplin eksternal untuk membantu disiplin diri mereka. Disiplin yang efektif sebaiknya diarahkan kepada perilakunya, bukan kepada karyawan secara pribadi, karena alasan untuk pendisiplinan adalah untuk meningkatkan kinerja. Disiplin dapat secara positif dikaitkan dengan kinerja, di mana hal ini bertentangan dengan anggapan orang-orang bahwa disiplin dapat merusak perilaku. Para karyawan bisa saja menolak tindakan disiplin yang tidak adil dari manajemennya, namun tindakan yang diambil untuk mempertahankan standar yang sudah ditetapkan bisa mendorong adanya norma kelompok dan menghasilkan peningkatan kinerja dan rasa keadilan. Dari pendapat para ahli yang telah disebutkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa seorang karyawan dapat dinilai sebagai individu yang memiliki kedisiplinan yang tinggi apabila individu tersebut memiliki kesadaran dalam melaksanakan aturan perusahaan dan norma sosial. Kesadaran adalah sikap seseorang yang secara sukarela menaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya. Jadi, dia akan mematuhi/mengerjakan semua tugasnya dengan baik, bukan atas paksaan. Kesediaan adalah suatu sikap, tingkah laku, dan perbuatan seseorang yang sesuai dengan peraturan perusahaan, baik yang tertulis maupun tidak (Hasibuan, 2000:74). Peraturan sangat diperlukan untuk memberikan bimbingan dan penyuluhan bagi karyawan dalam menciptakan tata tertib yang baik diperusahaan. Dengan tata tertib, semangat kerja, moral kerja yang baik, 242 efisiensi dan efektivitas kerja karyawan akan meningkat. Hal ini akan mendukung tercapainya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat. Perusahaan akan sulit mencapai tujuannya, jika karyawannya tidak mematuhi peraturan-peraturan perusahaan tersebut. Kedisiplinan suatu perusahaan dikatakan baik, jika sebagian besar karyawan menaati peraturan-peraturan yang ada. Peraturan diperlukan dalam meningkatkan kedisiplinan dan mendidik karyawan supaya menaati semua peraturan perusahaan. Pemberian hukuman harus adil dan tegas terhadap semua karyawan. Dengan keadilan dan ketegasan, sasaran pemberian hukuman akan tercapai. Peraturan tanpa dibarengi pemberian hukuman yang tegas bagi pelanggarnya bukan menjadi alat pendidik bagi karyawan. Kinerja adalah pencapaian atas tujuan organisasi yang dapat berbentuk output kuantitatif maupun kualitatif, kreativitas, fleksibilitas, dapat diandalkan, atau hal-hal lain yang diinginkan oleh organisasi. Penekanan kinerja dapat bersifat jangka pendek maupun jangka panjang, juga dapat pada tingkatan individu, kelompok ataupun organisasi. Kinerja juga dapat diartikan sebagai pemenuhan suatu tugas. Poin penting dari kinerja adalah bahwa harus dipikirkan secara luas. Oleh karena itu, kinerja yang hanya difokuskan pada kuantitas output akan disayangkan (Aldac dan Stearns, 1987:77–78). Kinerja individu memberikan kontribusi pada kinerja kelompok yang selanjutnya, memberikan kontribusi pada kinerja organisasi. Pada organisasi yang sangat efektif, pihak manajemen membantu menciptakan sinergi yang positif, yaitu secara keseluruhan yang lebih besar daripada jumlah dari bagianbagiannya. Tidak ada satupun ukuran atau kriteria yang tepat merefleksikan kinerja di tingkat manapun (Gibson, et al., 1988:18). Dalam pengertian bebas, kinerja (performance) dapat diartikan sebagai suatu pencapaian hasil kerja sesuai dengan aturan dan standar yang berlaku pada masing-masing organisasi kerja. Menurut Simamora (2001:327), kinerja merupakan suatu pencapaian persyaratan-persyaratan pekerjaan tertentu yang akhirnya secara langsung dapat tercermin dari output yang dihasilkan baik jumlah maupun kualitasnya. Output yang dihasilkan sebagaimana yang dikatakan Simamora di atas dapat berupa fisik maupun nonfisik. Hal ini ditegaskan oleh Nawawi (1997:234) yang JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 7 | NOMOR 1 | FEBRUARI 2009 Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan Situasional dan Pola Komunikasi menyebut kinerja dengan istilah karya, yaitu suatu hasil pelaksanaan suatu pekerjaan, baik bersifat fisik/material maupun non fisik/non material. Pada organisasi/unit kerja di mana output-nya dapat teridentifikasi secara individual dalam bentuk kuantitas seperti pabrik rokok, indikator kinerja pekerjanya dapat diukur dengan mudah, yaitu dari besarnya output yang dicapainya dalam kurun waktu tertentu. Namun pada unit kerja kelompok atau tim, kinerja tersebut agak sulit teridentifikasi secara kuantitas secara individual. Simamora menyatakan bahwa kinerja antara lain dapat dilihat dari indikator-indikator berikut: kepatuhannya terhadap segala aturan yang telah ditetapkan dalam perusahaan, dapat melaksanakan tugasnya tanpa kesalahan (dengan tingkat kesalahan paling rendah), dan ketepatan dalam menjalankan tugasnya. Menurut Robbins (2005:526–527) ada tiga kriteria untuk mengetahui kinerja seseorang, yaitu: • Hasil pelaksanaan tugas individual, yang apabila hasil akhir diperhitungkan, maka pihak manajemen harus mengevaluasi hasil kerja karyawan. Menggunakan hasil kerja, seorang manajer pabrik dapat dinilai berdasarkan kriteria tertentu seperti kualitas produksi atau biaya yang dikeluarkan untuk satu unit produksi. • Perilaku, tidak mudah untuk mengidentifikasi hasil-hasil tertentu secara langsung dari kegiatan karyawan. Hal ini khususnya terjadi pada karyawan di tingkat menengah yang peranannya berada ditengah-tengah kelompok kerja. • Sifat, merupakan kriteria paling lemah yang secara luas dipergunakan oleh organisasi. Kriteria ini paling lemah dibandingkan dengan dua kriteria lainnya, karena kriteria ini dihilangkan paling jauh dari kinerja pekerjaan yang sebenarnya. Tujuan penilaian kinerja adalah sebagai ”alat” diagnostik dan proses penilaian terhadap pengembangan individu, tim dan organisasi. Oleh karena kinerja merupakan suatu fungsi potensi, untuk mencapai dan mempertahankan kinerja diperlukan berbagai proses organisasional yang memungkinkan orang maupun program mewujudkan potensi mereka sepenuhnya. Maka itu, kebutuhan untuk mencapai dan mempertahankan kinerja menentukan target kemampuan organisasi. Kinerja juga dinilai berdasarkan tujuan organisasi secara keseluruhan yang mungkin telah dipecah menjadi beberapa target terpisah yang bersama-sama memberikan kontribusi bagi tujuan keseluruhan organisasi. Kerangka Konseptual Gambar 1. Kerangka Konseptual TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 43/DIKTI/KEP/2008 ISSN: 1693-5241 243 Ida Ayu Brahmasari, Peniel Siregar - METODE Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian penjelasan (explanatory research), yang akan menjelaskan hubungan kausal antara variabel budaya perusahaan, kepemimpinan situasional dan pola komunikasi terhadap disiplin kerja dan kinerja karyawan PT Central Proteinaprima Tbk. melalui pengujian hipotesis. - Populasi - Populasi pada penelitian ini adalah karyawan tetap di PT Central Proteinaprima Tbk yang berjumlah 100 orang dan karyawan kontrak sejumlah 150 orang. - Sampel - Mengingat penelitian ini membahas budaya organisasi yang berkaitan dengan interaksi yang erat antara karyawan dan filosofi perusahaan, maka dipilih karyawan tetap sebagai anggota sampel. Bendasarkan pada syarat minimal untuk jumlah sampel bagi analisis dengan menggunakan SEM, maka keseluruhan karyawan tetap akan diambil sebagai sampel, yaitu sejumlah 100 orang. Definisi Operasional dan Variabel Penelitian Berdasarkan kajian teori, kerangka konseptual dan hipotesis penelitian didepan maka dapat diidentifikasikan variabel eksogen dalam penelitian ini sebagai berikut ini. • Budaya perusahaan adalah ”nilai-nilai, penuntun keyakinan akan suatu hal dan kebiasaan yang dimiliki bersama dalam organisasi, yang berinteraksi dengan struktur formal guna menghasilkan berbagai norma perilaku yang membedakan organisasinya dari organisasi lainnya” (Hofstede, 1984:21, Kotter and Heskett, 1992:6). Secara operasional,variabel ini diukur menggunakan indikator sebagai berikut. - Seberapa jauh para karyawan dapat memahami tujuan yang ingin dicapai perusahaan (tujuan perusahaan) - Seberapa jauh inisiatif perusahaan memberikan kesempatan kepada seluruh karyawan untuk terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan (konsensus). 244 - • Seberapa besar tingkat kemampuan perusahaan untuk menumbuhkan suatu sikap agar selalu menjadi yang terbaik dan berprestasi yang lebih baik lagi dari apa yang pernah dilakukan sebelumnya (keunggulan). Sikap yang dilakukan perusahaan terhadap karyawannya. Dalam hal ini perusahaan harus dapat berlaku adil dan tidak memihak terhadap kelompok tertentu pada lingkungan intern perusahaan (kesatuan). Sikap perusahaan terhadap prestasi karyawannya (prestasi). Sejauhmana perusahaan mau menggunakan bukti-bukti empirik di dalam pengambilan keputusan (empirik). Gambaran suatu kondisi pergaulan sosial dalam perusahaan dan antar karyawan perusahaan (keakraban). Sejauhmana anggota perusahaan mau bekerja sama dengan sungguh-sungguh dalam pencapaian tujuan perusahaan (integrasi). Kepemimpinan Situasional adalah teori kepemimpinan yang memfokus pada para pengikut. Kepemimpinan yang berhasil dicapai dengan memilih gaya kepemimpinan yang tepat, yang menurut argumen Hersey dan Blanchard bersifat bergantung pada tingkat kesiapan atau kedewasaan para pengikutnya. Secara operasional, variabel ini diukur menggunakan indikator sebagai berikut: - Kemampuan pemimpin untuk mendefinisikan peranan-peranan yang dibutuhkan untuk melakukan tugas dan mengatakan pada pengikutnya apa, di mana, bagaimana, dan kapan melakukan tugas-tugasnya (telling). - Kemampuan pemimpin untuk menyediakan instruksi-instruksi terstruktur bagi bawahannya disamping juga harus supportif (selling). - Interaksi antara pemimpin dan bawahan di mana pimpinan dan bawahan saling berbagi dalam keputusan mengenai bagaimana yang paling baik untuk menyelesaikan tugas dengan baik (participating). - Kemampuan pimpinan dalam menyerahkan tanggung jawab atas pelaksanaan pekerjaan JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 7 | NOMOR 1 | FEBRUARI 2009 Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan Situasional dan Pola Komunikasi pada bawahan agar dapat melakukan efektifitas pekerjaan (delegating). • Pola Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi dan pengertian dengan menggunakan tanda-tanda yang sama Gibson (2003:230232). Secara operasional, variabel ini diukur menggunakan indikator sebagai berikut: - Komunikasi Vertikal. Komunikasi yang bergerak ke atas atau kebawah menurut rantai komando. - Komunikasi Lateral Komunikasi lateral biasanya mengikuti pola arus pekerjaan dalam sebuah perusahaan, terjadi antara angota kelompok kerja yang lain, antara satu kelompok dengan kelompok kerja yang lain, antara anggota departemen yang berbeda, dan antara karyawan lini dan staf. • Displin Kerja adalah salah satu fungsi operatif dari manajemen sumber daya manusia yang mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya (Mathis, 2000:314). Secara operasional, variabel ini diukur menggunakan indikator sebagai berikut: - Tingkat kehadiran - Ketepatan waktu kerja - Ketaatan terhadap peraturan • Kinerja karyawan merupakan hasil kerja yang dicapai oleh karyawan di lingkungan perusahaan yang diukur melalui tiga indikator sebagai berikut Robbins (2001:650): - Hasil pelaksanaan tugas individu - Perilaku individu - Sikap individu pengujian sebuah rangkaian hubungan antar variabel secara simultan. Hubungan yang rumit tersebut dapat dibangun antara satu atau beberapa variabel eksogen dengan satu atau beberapa variabel endogen. Masingmasing variabel eksogen dan endogen tersebut dapat berupa faktor atau konstruk (latent variable atau unobserved construct) yang dibangun dari beberapa indikator/dimensi, dapat pula beberapa manifest variable atau observed construct yang dapat diukur secara langsung dalam sebuah proses penelitian (Sharman, 1996:420). Hasil Uji Instrumen Penelitian Uji Validitas Banyak peneliti yang menggunakan nilai kritis untuk loading factor paling rendah 0,40 dalam mengukur validitas suatu instrumen penelitian (Sharma, 1996). Dari hasil uji model terhadap 100 responden ternyata variabel indikator menghasilkan nilai loading yang masih di atas nilai kritis antara 0,48 sampai dengan 0,86 (Tabel 1). Selain dari besarnya nilai loading, signifikansi dari variabel indikator bisa kita amati dari nilai critical ratio (C.R) yang identik dengan thitung pada regresi. Nilai batas dihitung berdasarkan nilai Chisquare dengan derajat bebas sebesar 25 pada tingkat signifikansi 0,05 atau ttabel (25:0,05) = 2,201. Apabila nilai C.R berada di atas nilai ttabel, maka variabel indikator bisa dikatakan secara signifikan merupakan dimensi atau indikator dari variabel laten. HASIL Pada Tabel 1 nampak bahwa semua nilai critical ratio terbukti diterima secara siginifikan berada di atas nilai batas 2,201. Ini menunjukkan bahwa semua variabel indikator valid untuk mengukur variabel laten. Pengujian Hipotesis Uji Reliabilitas Bagi kepentingan analisis dan pengujian hipotesis, digunakan pendekatan statistik inferensial. Teknik analisis data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah structural equation model (SEM) dengan menggunakan bantuan software AMOS version 4.01. Structural Equation Model (SEM) adalah sekumpulan teknik-teknik statistikal yang memungkinkan Untuk menguji reliabilitas masing-masing variabel indikator dalam penelitian, akan digunakan composite-reliability. Nilai batas yang digunakan untuk menilai sebuah tingkat reliabilitas adalah > 0,70, walaupun angka itu bukanlah sebuah ukuran mati. Nilai di bawah 0,70 pun masih dapat diterima sepanjang disertai dengan alasan-alasan empirik TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 43/DIKTI/KEP/2008 ISSN: 1693-5241 245 Ida Ayu Brahmasari, Peniel Siregar Tabel 1. Loading Factor Measurement Model (Sumber: Data primer diolah (2006)) (Ferdinand, 2000). Hasil perhitungan composite-reliability dari construct pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Uji Composite-Reliability (Sumber: Data primer diolah (2006)) Pada Tabel 2 nampak bahwa hasil perhitungan construct reliability menunjukkan rata-rata masih di atas nilai batas yang ditentukan antara 0,72 sampai dengan 0,89. Dengan melihat kondisi-kondisi empiris di atas, maka nilai reliabilitas konstruk hubungan antar variabel dalam variabel-variabel construct yang diamati terhadap disiplin kerja dan kinerja karyawan masih bisa diterima. Evaluasi atas Hasil SEM Structural Equation Modelling merupakan perkembangan lebih lanjut dari analisis regresi berganda. Bila dalam analisis regresi berganda semua variabel bebas berderet dalam suatu blok, maka dalam analisis jalur variabel bebas terbagi ke dalam sejumlah blok yang tersusun secara hierarkis sesuai landasan teorinya. (Pedhazur, 1982:157). Oleh karena itu, penggunaan analisis ini selalu berdasarkan pada model konseptual dukungan teoritik. Berdasarkan atas model konseptual teoritik, selanjutnya diuji model tersebut secara empirik. Signifikan model yang tampak hanya berdasarkan koefisien path yang signifikan pada setiap jalur. Kesimpulan dari model ini terletak pada kesesuaian data empirik yang terhimpun dengan model 246 teoritik, sehingga model tersebut menjadi berarti. Sebaliknya, jika tidak ada kesesuaian, maka model empirik menjadi alternatif teori yang melengkapi, merevisi, menolak teori, atau bahkan memunculkan model teoritik baru. Structural Equation Model (SEM) adalah sekumpulan teknik-teknik statistikal yang memungkinkan pengujian sebuah rangkaian hubungan antar variabel secara simultan. Masing-masing variabel eksogen dan endogen tersebut dapat berupa faktor atau konstruk (latent variable atau unobserved construct) yang dibangun dari beberapa indikator/ dimensi, dapat pula beberapa manifest variable atau observed construct yang dapat diukur secara langsung dalam sebuah proses penelitian (Sharman, 1996: 420). Evaluasi atas Multikolinearitas atau Singularitas Multikolinearitas atau singularitas dalam sebuah kombinasi variabel bisa diamati dari determinan matriks kovarians. Determinan yang benar-benar kecil mengindikasikan adanya multikolinearitas atau singularitas (Tabachnick dan Fidell, 1998 dalam Ferdinand, 2000). Dari text output yang dihasilkan oleh AMOS 4.0 data ini adalah sebagai berikut: Determinant of Sample Covariance Matrix = 41,325 Angka ini sangat jauh dari nol, karena itu dapat disimpulkan tidak terdapat multikolinearitas atau singularitas dalam data ini, karena itu asumsi ini dipenuhi. Evaluasi atas Kriteria Goodness of Fit Hasil perhitungan Goodness of Fit dari model SEM di atas, dapat disarikan berdasarkan indeks-indeks dalam SEM sebagaimana nampak dalam Tabel 3. JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 7 | NOMOR 1 | FEBRUARI 2009 Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan Situasional dan Pola Komunikasi Tabel 3. Goodness of Fit Indices (Sumber: Data primer yang diperbandingkan) Berdasarkan hasil perhitungan pada uji kesesuaian Tabel 3. di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut; nilai ÷2 - Chi Square sebesar 4.786 dan significant probability sebesar 0.361 menunjukkan bahwa model yang akan diuji memiliki kesesuaian yang baik sebagaimana disampaikan oleh Hair (1995) yang menyatakan bahwa semakin kecil nilai chi square akan semakin baik model yang disusun (karena dalam uji beda chi square, ÷2 = 0 berarti benar-benar tidak ada perbedaan dan H0 diterima) dan diterima dengan cut off value sebesar p > 0.05. Perhitungan nilai RMSEA menunjukkan bahwa model yang akan diuji juga memiliki kesesuaian yang baik seperti yang dikatakan oleh Hair (1995) bahwa nilai RMSEA yang lebih kecil atau sama dengan 0.08 merupakan indeks untuk diterimanya sebuah model. Perhitungan nilai GFI menunjukkan bahwa model juga memiliki kesesuaian yang baik di mana hal tersebut ditunjukkan oleh nilai GFI yang mendekati 1 (rentang nilai GFI antara 0 (poor fit) sampai dengan 1 (perfect fit)). Nilai yang tinggi dalam indeks ini menunjukkan sebuah better fit. Perhitungan nilai AGFI menunjukkan bahwa model yang diajukan perlu dipertimbangkan (marjinal) karena nilai AGFI yang dihasilkan berada di bawah angka 0.90 di mana batasan sebuah model dinilai memiliki overall model fit adalah nilai AGFI minimal sebesar 0.95. Perhitungan nilai CMIN/DF menunjukkan bahwa model yang akan diujikan memiliki kesesuaian antara data dengan model di mana hal tersebut ditunjukkan dengan nilai CMIN/DF yang berada di bawah nilai 2.0. Perhitungan nilai TLI (Tucker Lewis Index) menunjukkan bahwa model yang akan diujikan memiliki kesesuaian yang baik, di mana batasan dari nilai TLI adalah > 0.95 dan nilai yang sangat dekat ke 1 menunjukkan a very good index (Arbuckle, 1997). Nilai CFI (Comparative Fit Index) menunjukkan bahwa semakin mendekati 1, semakin bagus model yang diamati (Arbuckle, 1997) dan nilai CFI yang direkomendasikan adalah > 0.95 di mana berdasarkan perhitungan di atas dapat dilihat bahwa model yang diajukan memiliki kesesuaian yang tinggi dengan nilai CFI sebesar 0.956 Evaluasi atas Regression Weight untuk Uji Kausalitas Untuk menguji hipotesis mengenai kausalitas yang dikembangkan dalam model ini, perlu diuji hipotesis yang menyatakan bahwa koefisien regresi antara hubungan adalah sama dengan nol melalui uji-t yang lazim dalam model-model regresi. Tabel berikut ini menyajikan nilai-nilai koefisien regresi dan t-hitungnya (CR). Dengan menghitung nilai batas berdasarkan nilai Chi-square dengan derajat bebas sebesar 12 pada tingkat signifikansi 0,05 atau ttabel (12;0,05) = +2,201. Maka pada tabel di atas, melalui pengamatan nilai CR terlihat bahwa semua koefisien regresi secara signifikan tidak sama dengan nol (nilai CR > t-tabel +2,201). Hasil tersebut menunjukkan bahwa variabel kompensasi, komunikasi vertikal, partisipasi karyawan, dan iklim kerja berpengaruh secara signifikan terhadap pembentukan disiplin kerja dan prestasi kerja karyawan. Pengujian Hipotesis Berdasarkan hasil perhitungan yang telah diperoleh pada bab V sebelumnya, maka pada bagian ini akan disampaikan hasil pengujian hipotesis dan pembahasan atas hubungan antar variabel yang diamati dalam kegiatan penelitian ini sebagai berikut ini. TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 43/DIKTI/KEP/2008 ISSN: 1693-5241 247 Ida Ayu Brahmasari, Peniel Siregar Tabel 4. Estimasi Parameter (Sumber: Data primer diolah) • • • • • • • Hipotesis terbukti (β1 = 0,543; CR = 2,954) di mana hasil perhitungan menunjukkan variabel budaya organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel disiplin kerja. Hipotesis terbukti (β2 = 0,524; CR = 2.951) di mana hasil perhitungan menunjukkan bahwa budaya organisasi secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Hipotesis terbukti (β3 = 0,201; CR = 3.243) di mana hasil perhitungan menunjukkan bahwa variabel kepemimpinan situasional secara signifikan berpengaruh terhadap disiplin kerja. Hipotesis terbukti (β4 = 0,347; CR = 4.551) di mana hasil perhitungan menunjukkan bahwa variabel kepemimpinan situasional secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Hipotesis terbukti (β5 = 0,119; CR = 4.462) di mana hasil perhitungan menunjukkan bahwa variabel pola komunikasi secara signifikan berpengaruh terhadap disiplin kerja karyawan. Hipotesis terbukti (β6 = 0,174; CR = 3.625) di mana hasil perhitungan menunjukkan bahwa variabel pola komunikasi secara signifikan berpengaruh terhadap disiplin kerja karyawan. Hipotesis terbukti (β6 = 0,511; CR = 3.517) di mana hasil perhitungan menunjukkan bahwa variabel disiplin kerja secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja karyawan. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pembuktian hipotesis dengan menggunakan analisis SEM dibuktikan bahwa variabel budaya organisasi memiliki pengaruh yang signifikan dan dominan terhadap disiplin kerja dan kinerja karyawan, di mana hal tersebut sesuai dengan pendapat 248 yang disampaikan oleh Deal dan Kennedy, Denison, Ouchi, Posner, Kouzes dan Schmidt, Pritchard dan Karasick, serta Sathe dalam Ritchie (2000) dan Gorgon (2002:374), bahwa budaya organisasi dapat sangat mempengaruhi individu dan kinerja perusahaan, terutama dalam lingkungan yang bersaing. Hasil penelitian ini memperkuat teori yang dikemukakan oleh Hersey dan Blanchard (1988) serta McShane dan Von Glinov (2005:426) yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan memiliki pengaruh yang dominan terhadap kinerja karyawan dimana semakin tinggi kesesuaian antara tingkat kematangan bawahan dengan kemampuan dan kemauan pemimpinnya maka karyawan akan merasa mendapatkan perlindungan dan bimbingan dari pemimpin yang pada akhirnya bersedia untuk menyumbangkan karya terbaiknya untuk perusahaan. Hasil penelitian ini juga memperkuat pendapat Ivancevich, Konopaske dan Matteson, 2005:421 serta Kinicki dan Kreitner (2007:438) yang menyatakan bahwa komunikasi membantu anggota organisasi untuk mencapai baik tujuan individu maupun organisasi, mengimplementasikan dan merespon perubahan organisasi, mengkoordinasikan berbagai aktivitas, dan berkaitan secara virtual dengan semua perilaku yang relevan dengan organisasi. Jika komunikasi organisasi kurang efektif maka organisasi juga tidak seefektif yang seharusnya. Hasil penelitian ini mendukung pendapat Mathis dan Jackson (2000:314), yang menyatakan bahwa disiplin dapat secara positif dikaitkan dengan kinerja, dimana hal ini bertentangan dengan anggapan orangorang bahwa disiplin dapat merusak perilaku. Para karyawan bisa saja menolak tindakan disiplin yang tidak adil dari manajemennya, namun tindakan yang JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 7 | NOMOR 1 | FEBRUARI 2009 Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan Situasional dan Pola Komunikasi diambil untuk mempertahankan standar yang sudah ditetapkan bisa mendorong adanya norma kelompok dan menghasilkan peningkatan kinerja dan rasa keadilan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan • • • • • • • Budaya organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap disiplin kerja kerja karyawan di PT Central Proteinaprima Tbk. Budaya organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja kerja karyawan di PT Central Proteinaprima Tbk. Kepemimpinan situasional memiliki pengaruh yang signifikan terhadap disiplin kerja kerja karyawan di PT Central Proteinaprima Tbk. Kepemimpinan situasional memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja kerja karyawan di PT Central Proteinaprima Tbk. Pola komunikasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap disiplin kerja kerja karyawan di PT Central Proteinaprima Tbk. Pola komunikasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja kerja karyawan di PT Central Proteinaprima Tbk. Disiplin kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan di PT Central Proteinaprima Tbk. Saran Budaya organisasi PT Central Proteinaprima yang saat ini dianut oleh seluruh anggota organisasi harus terus dijaga dan terus ditingkatkan agar dapat membantu seluruh pimpinan maupun karyawan (organisasi) untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan di lingkungan eksternalnya serta integrasi di lingkungan internalnya, terutama nilai-nilai organisasi yang menjadi ”jantung” dari budaya organisasi PT Central Proteinaprima Tbk. Selain itu, perlu diciptakan iklim kerja yang harmonis melalui keterbukaan antara manajemen dan karyawan sehingga setiap permasalahan karyawan dapat diketahui dengan jelas oleh pihak manajemen dan dapat dicarikan jalan keluarnya. Upaya tersebut perlu dilakukan mengingat pembentukan suatu kondisi pergaulan sosial yang akrab dan harmonis dalam organisasi akan dapat tercapai bila tercipta iklim kerja yang kondusif yang mendukung terciptanya rasa kebersamaan dalam bekerja dan menghindari sebisa mungkin konflik-konflik yang mungkin timbul. Gaya kepemimpinan situasional yang selama ini dijalankan oleh pimpinan PT Central Proteinaprima Tbk. terutama gaya telling agar tidak terjadi kesalahan interpreasi tentang peran yang dibutuhkan untuk karyawan dalam melakukan pekerjaan. Memberi kesempatan kepada para karyawan untuk mengajukan saran dan pendapat, terutama pada saat perusahaan sedang menghadapi masalah. Upaya ini perlui dilakukan dengan pertimbangan bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan otonomi tugas dapat menjadikan sebuah suasana kerja yang akrab serta mampu memberikan kepuasan kerja para karyawan karena mereka bekerja dalam lingkungan yang akrab dan harmonis. Tindakan disiplin yang diatur dalam peraturan perusahaan harus dijaga agar tidak dilakukan dengan semena-mena, apalagi tidak adil kepada seluruh anggota organisasi, baik pimpinan maupun karyawan. Hal ini untuk menghindari agar disiplin karyawan yang selama ini ada tetap terjaga. Dengan demikian, produktivitas dan kinerja perusahaan secara keseluruhan dapat ditingkatkan. DAFTAR RUJUKAN Ashby, C.F. 2000. Revitalize Your Corporate Culture. Houston, Texas: Cashman Dudley. Brown, A.D. 1998. Organizational Culture. 2nd edition. Harlow, England: Financial Times. Prentice Hall. Champoux, J.E. 2006. Organizational Behavior. 3rd edition, USA: Thomson South-Western. Deal, T.E., and Kennedy, A.A. 2000. Corporate Cultures: The Rites and Rituals of Corporate Life. Cambridge, Massachusetts: Perseus Publishing. Gibson J.L., and Ivancevich J.M., Donnely Jr., J.H. 1995. Organizations. 8th ed., Boston, Massachusetts: Irwin, Inc. Gordon, J.R. 2002. Organizational Behavior: A Diagnostic Approach, New Jersey: Prentice Hall International, Inc. Hodgetts R.M., and Luthans F. 1997. International Management. 3rd ed., New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. Hofstede, G. 1984. Culture’s Consequences: International Differences in Work-Related Values. Abridged edition, California: Sage Publications. Newbury Park. TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 43/DIKTI/KEP/2008 ISSN: 1693-5241 249 Ida Ayu Brahmasari, Peniel Siregar Ivancevich J.M., Konopaske, R., dan Matteson, M.T. 2005. Organizational Behavior and Management. Boston: McGraw Hill. Kotter, J.P., and Heskett, J.L. 1992. Corporate Culture and Performance. New York: The Free Press. Kreitner, R., and Kinicki, A. 2006. Organizational Behaviour. 2nd edition. New York: McGraw Hill. Luthans, F. 2002. Organizational Behavior. 9th ed. New York: McGraw-Hill Irwin. Marcoulides, G.A., and Heck, R.H. 1993. ”Organizational Culture and Performance: Proposing and Testing a Model”. Organization Science. 4(2):209–225. McShane, S.L., dan Von Glinov, M.A. 2005. Organizational Behavior. 3rd edition. New York: McGraw Hill. Miller, S. 1997. Human Resources Management. New York: Prentice Hall Inc. Plunkett, W.R., and Attner R.F. 1989. Management. 3rd ed., Boston, Massachusetts: PWS-KENT Publishing Company. 250 Ritchie, M. Organizational Culture: An Examination of Its Effect on the Internalization Process and Member Performance. Southern Business Review. 1–13. Robbins, S.P. 2005. Organizational Behavior. 11th edition. New Jersey: Prentice-Hall Inc. Rue, L.W., and Byars, L.L. 1989. Management: Theory and Application. 5th ed. Homewood, Illinois: IRWIN. Schein, E.H. 1991. Organizational Culture and Leadership, 1st ed., San Francisco, Oxford: Jossey-Bass Publishers. Simamora, H. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Kedua, Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN. Werther, W.B., and Davis, K. 1996. Human Resources and Personnel Management. 5th ed. New York: MacGraw Hill, Inc. Wheelen, G., and Jolan, H. 1996. Organizational Development: Behavioral Science Interventions for Organization Improvement. New York: John Willey and Son Zwell, M. 2000. Creating a Culture of Competence. Canada: John Wiley & Sons, Inc. JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 7 | NOMOR 1 | FEBRUARI 2009