Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan Situasional dan Pola

advertisement
Ida Ayu Brahmasari, Peniel Siregar
Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan Situasional dan Pola
Komunikasi terhadap Disiplin Kerja dan Kinerja Karyawan
pada PT Central Proteinaprima Tbk.
Ida Ayu Brahmasari
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Peniel Siregar
Plant GM, PT Central Proteinaprima Tbk
Abstract: Contribution of employees’ performances to the overall performance of organization is very
important as they are one of the determinant of the organizational success and competitiveness. A new
challenge faced by an organization encourage the creation of a new way to do something to improve the
organization performance continuously. Therefore, organization culture may be used as a means to adapt
any external organization changes as well as to integrate the internal organization. Moreover, communication and the leaders’ ability to influence, motivate, and enable others to contribute to the effectiveness
and success of the organizations of which they are members, are very essential to the organization. The
purpose of this research is to prove and analyze the influences of corporate culture, situational leadership
and communication pattern on employees’ diciplines and performances. The results proved that corporate
culture, situational leadership and communication pattern have significant influences on employees’
diciplines and performances.
Keywords: corporate culture, situational leadership, communication pattern, employees’ diciplines, employees’ performances
Pada masa krisis global seperti saat ini, banyak
perusahaan mengalami kelesuan dalam menjalankan
kehidupan organisasinya. Di antara perusahaanperusahaan tersebut bahkan ada yang telah mengalami penurunan usaha karena terfokus pada berbagai
upaya untuk meningkatkan kinerja sekaligus daya
saingnya. Upaya-upaya tersebut penting dilakukan
sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan yang
terjadi pada lingkungan eksternalnya, namun seringkali
tanpa disadari perusahaan mengabaikan integrasi internal perusahaan, seperti melakukan pengembangan
kualitas sumber daya manusia (SDM)nya sebagai
salah satu aset penting perusahaan. Perusahaan yang
mampu bertahan dan bersaing telah mencerminkan
Alamat Korespondensi:
Ida Ayu Brahmasari, Fakultas Ekonomi dan PPS Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Jawa Timur
238
kemampuannya dalam mengelola segala sumberdaya
yang dimilikinya (Susanto, 1997:74). Menurut Kotter
dan Heskett (1992:6), terdapat empat faktor yang
membentuk perilaku manajerial, yaitu: budaya perusahaan; struktur formal, sistem, rencana, dan kebijakan;
kepemimpinan, sebagai upaya untuk mengartikulasi
dan mengimplementasikan visi dan strategi bisnis: serta
lingkungan yang teratur dan bersaing.
Perusahaan terdiri dari berbagai elemen terintegrasi dan dibentuk oleh budaya yang lebih besar. Budaya perusahaan dibangun untuk mengatasi tantangan
di masa yang lalu. Berbagai kebijakan, prosedur,
filosofi perusahaan, kebiasaan dan lain-lain merupakan
respon terhadap situasi dan tantangan di masa yang
lalu. Ketika kondisi berubah lebih cepat daripada kecepatan penyesuaian budaya, kesuksesan organisasi dan
bahkan kelangsungan hidup perusahaan mungkin
berada dalam bahaya (Zwell, 2000:64–65).
JURNAL APLIKASI
Nama Orang
MANAJEMEN | VOLUME238
7 | NOMOR 1 | FEBRUARI 2009
Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan Situasional dan Pola Komunikasi
Budaya organisasi dapat sangat mempengaruhi
individu dan kinerja perusahaan, terutama dalam lingkungan yang bersaing. Tantangan baru yang dihadapi
perusahaan mendorong diciptakannya cara baru
melakukan sesuatu untuk perbaikan kinerja yang terus
menerus (continous improvement). Budaya organisasi menembus kehidupan organisasi dalam berbagai
cara untuk mempengaruhi setiap aspek organisasi.
Telah banyak studi yang dilakukan membuktikan
bahwa budaya organisasi mempengaruhi berbagai
outcomes seperti produktivitas, kinerja, komitmen,
kepercayaan diri, dan perilaku etis (Deal dan Kennedy,
Denison, Ouchi, Posner, Kouzes dan Schmidt,
Pritchard dan Karasick, serta Sathe dalam Ritchie,
2000).
Bagi PT Central Proteinaprima Tbk konsep
budaya organisasi telah lama diterapkan pada semua
lini karyawan sesuai dengan tugas di bidangnya
masing-masing, karena PT Central Proteinaprima Tbk
memahami pentingnya pemahaman tujuan dari apa
yang menjadi misi dan visi perusahaan serta tujuan
organisasi oleh setiap karyawan akan membawa pada
kemajuan dan daya saing dari PT Central
Proteinaprima Tbk.
Budaya perusahaan (corporate culture) merupakan aplikasi dari budaya organisasi (organizational
culture) terhadap badan usaha atau perusahaan.
Kedua istilah ini sering dipergunakan untuk maksud
yang sama secara bergantian (Ndraha, 2003:4).
Dalam tulisan ini diupayakan konsistensi penggunaan
kedua istilah tersebut dengan pengertian yang sesuai
dengan istilah asli dari buku teks dan jurnal yang
dijadikan acuan serta disesuaikan dengan konteks
kalimat.
Budaya perusahaan merupakan bagian dari lingkungan internal yang tidak terpisahkan dari perusahaan
yang terdiri dari seperangkat asumsi, keyakinan dan
nilai yang dianut bersama oleh anggota organisasi dan
digunakan untuk mengatur serta mengarahkan perilaku sesuai dengan fungsi yang diharapkan (Gordon,
2002:374). Dengan demikian, seperti dinyatakan oleh
Rue dan Byars (1989:513), budaya perusahaan mengkomunikasikan bagaimana anggota organisasi seharusnya berperilaku dengan membangun suatu sistem
nilai yang disampaikan melalui tata cara, ritual, mitos,
legenda, dan berbagai aktivitas lainnya.
Beberapa penulis mendefinisikan budaya organisasi sebagai berikut: ”pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok
tertentu dalam upaya untuk belajar mengatasi masalah
adaptasi eksternal dan integrasi internalnya, dan yang
telah berjalan dengan baik. Oleh karenanya, diajarkan
kepada anggota baru sebagai cara merasakan dan
memikirkan masalah tersebut” Schein (1991:9); ”nilainilai, penuntun keyakinan akan suatu hal dan kebiasaan yang dimiliki bersama dalam organisasi, yang berinteraksi dengan struktur formal guna menghasilkan
berbagai norma perilaku yang membedakan organisasinya dari organisasi lainnya” (Hofstede, 1984:21,
Kotter and Heskett, 1992:6).
Werther dan Davis (1996:47) mendefinisikan
budaya perusahaan sebagai ”produk semua segi organisasi: orangnya, keberhasilannya dan kegagalannya
yang secara sadar atau di bawah sadar, dijalankan
dalam kegiatan organisasi sehari-hari, sedangkan
Ashby, 1999:5 serta Sherriton dan Stern (1997:24)
mendefinisikannya sebagai ”cara hidup suatu kelompok, yaitu perusahaan atau organisasi”, dan (Wheelen
and Hunger, 1996:134) mendefinisikannya sebagai ”
nilai-nilai yang dianut bersama oleh anggota perusahaan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya”.
Beberapa penulis lainnya mendefinisikan budaya
organisasi sebagai ”cara kita melakukan sesuatu di
sekitar kita” dan ”beberapa nilai dominan yang didukung oleh organisasi” (Bower dalam Deal dan
Kennedy, 2000:4); dan ”serangkaian asumsi yang
secara implisit dipegang oleh kelompok dan yang menentukan bagaimana kelompok tersebut merasakan,
memikirkan, dan bereaksi terhadap lingkungan”
(Kreitner dan Kinicki, 2006:43).
Budaya yang dicirikan oleh nilai inti dari organisasi yang dianut dengan kuat, diatur dengan baik,
dan dirasakan bersama secara luas. Makin banyak
anggota yang menerima nilai-nilai inti, menyetujui
jajaran tingkat kepentigannya, dan merasa sangat
terikat kepadanya, maka makin kuat budaya tersebut.
Organisasi yang masih baru atau yang turnover
anggotanya konstan, mempunyai budaya yang lemah
karena para anggota tidak akan mempunyai pengalaman yang diterima bersama sehingga dapat menciptakan pengertian yang sama. Ini jangan diartikan
bahwa semua organisasi yang sudah matang dengan
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 43/DIKTI/KEP/2008
ISSN: 1693-5241
239
Ida Ayu Brahmasari, Peniel Siregar
anggota yang stabil akan mempunyai budaya yang
kuat (Wheelen and Hunger, 1996).
Salah satu teori kontingensi yang paling terkenal
adalah Model Kepemimpinan Situasional yang diciptakan oleh Hersey dan Blanchard pada tahun 1988.
Model kepemimpinan ini mengemukakan bahwa pemimpin yang efektif memiliki gaya yang bervariasi
dengan ”kesiapan” pengikutnya. Kesiapan yang
dimaksud menunjuk pada kemampuan karyawan atau
tim kerja serta kemauan untuk mencapai tugas tertentu. Kemampuan menunjuk pada sejauhmana pengikutnya memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk
melaksanakan tugasnya tanpa petunjuk dari pimpinannya. Kemauan menunjuk pada motivasi diri dan komitmen pengikutnya untuk melaksanakan tugas yang
diberikan. Model kepemimpinan ini menekan konsepkonsep yang berbeda ini ke dalam suatu kondisi situasi
tunggal (McShane dan Von Glinov, 2005:426).
Hershey dan Blanchard menggunakan studi dari
Ohio State University (OSU) untuk mengembangkan
lebih lanjut empat gaya kepemimpinan untuk para
manajer, yaitu:
• Telling–pemimpin mendifinisikan peran yang
dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan dan menceritakan kepada pengikutnya tentang apa, di
mana, bagaimana, dan kapan melakukan tugasnya.
• Selling–pemimpin memberikan kepada pengikutnya instruksi terstruktur dan mendukung.
• Participating–pemimpin dan pengikutnya berbagi keputusan tentang bagaimana yang terbaik
untuk memenuhi pekerjaan yang berkualitas
tinggi.
• Delegating–pemimpin memberikan arahan
sedikit spesifik, tertutup atau dukungan personal
kepada pengikutnya (Ivancevich, Konopaske dan
Matteson, 2005:504–505).
Gaya kepemimpinan yang tepat didapatkan
dengan cara menyilangkan anatara kesiapan pengikut
yang bervariasi dari rendah ke tinggi dengan salah
satu daya kepemimpinan. Keempat gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi antara tugas dan
perilaku pemimpin yang berorientasi pada hubungan
(S1–S4). Para pemimpin didorong untuk menggunakan gaya ”telling” kepada pengikutnya dengan
kesiapan rendah. Gaya ini mengkombinasikan perilaku
pemimpin yang berorientasi pada tugas yang tinggi,
240
seperti memberikan instruksi, dengan perilaku pemimpin yang berorientasi pada hubungan rendah. Karena
kesiapan pengikut meningkat, maka pemimpin disarankan untuk secara bertahap bergerak gaya kepemimpinan dari telling ke selling ke participating
dan pada akhirnya ke gaya delegating (Kinicki dan
Kreitner, 2005:352–353).
Stoner (2000:216) menyatakan bahwa komunikasi sebagai proses yang dipergunakan oleh manusia
untuk mencari kesamaan arti lewat transmisi pesan
simbolik. Selanjutnya, Stoner menyatakan bahwa pengertian komunikasi tersebut ada tiga butir penting,
yaitu (a) bahwa komunikasi melibatkan orang, dan
bahwa memahami komunikasi termasuk mencoba
memahami cara manusia saling berhubungan; (b) bahwa komunikasi termasuk kesamaan arti, yang berarti
bahwa agar manusia dapat berkomunikasi, mereka
harus menyetujui definisi istilah yang mereka gunakan;
dan (c) bahwa komunikasi termasuk simbol, baik itu
badan, suara, huruf, angka, dan kata-kata hanya dapat
mewakili atau mendekati ide yang mereka maksudkan
untuk dikomunikasikan.
Komunikasi menurut Robbins (2001:6) adalah
langkah-langkah antara satu sumber dan penerima
yang menghasilkan pentransferan dan pemahaman
makna. Gibson, et al. (2003:230–232) menyatakan
bahwa komunikasi sebagai suatu proses penyampaian
informasi dan pengertian dengan menggunakan tandatanda yang sama.
Komunikasi merupakan perekat yang merekatkan organisasi secara bersama-sama. Komunikasi
membantu anggota organisasi untuk mencapai baik
tujuan individu maupun organisasi, mengimplementasikan dan merespon perubahan organisasi, mengkoordinasikan berbagai aktivitas, dan berkaitan secara
virtual dengan semua perilaku yang relevan dengan
organisasi. Ketika efektivitas komunikasi organisasi
kurang efektif seperti seharusnya, maka organisasi
juga tidak seefektif seharusnya (Ivancevich, Konopaske
dan Matteson, 2005:421).
Menurut Kinicki dan Kreitner (2007:438), manajemen adalah komunikasi. Setiap fungsi manajerial
dan aktivitas melibatkan berbagai bentuk komunikasi
baik langsung maupun tidak langsung. Apakah dalam
melakukan perencanaan dan pengorganisasian atau
pengarahan dan memimpin, manajer berkomunikasi
dengan atau melalui orang lain. Keputusan manajerial
JURNAL APLIKASI
Nama Orang
MANAJEMEN | VOLUME 7 | NOMOR 1 | FEBRUARI 2009
Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan Situasional dan Pola Komunikasi
dan kebijakan organisasional tidak efektif kecuali dapat
dipahami oleh orang-orang yang bertanggungjawab
untuk melaksanakannya. Komunikasi didefinisikan
sebagai ”pertukaran informasi antara seorang pengirim dan seorang penerima, dan kesimpulan (persepsi)
terhadap makna komunikasi antara individu yang
terlibat. Komunikasi merupakan suatu proses dua arah
yang terdiri dari elemen-eleman yang terkait secara
berurutan. Manajer yang memahami proses ini dapat
menganalisis pola komunikasi mereka serta program
desain komunikasi yang cocok untuk kebutuhan
organisasi.
Komunikasi dapat mengalir secara vertikal atau
lateral. Dimensi vertikal dibagi menjadi dua arah, yaitu
ke bawah dan ke atas (Robbins, 2005–301–302). Komunikasi yang mengalir dari satu tingkat suatu kelompok atau organisasi ke tingkat yang lebih rendah merupakan komunikasi ke bawah.
Pola komunikasi ke bawah biasa digunakan oleh
manajer untuk berkomunikasi dengan karyawannya.
Komunikasi ini digunakan oleh pimpinan kelompok
dan manajer untuk menentukan tujuan, memberikan
instruksi pekerjaan, menginformasikan kepada karyawan tentang kebijakan dan prosedur, menunjukkan
masalah yang perlu mendapatkan perhatian, dan
memberikan umpan balik tentang kinerja. Pola komunikasi ini tidak harus berbentuk kontak lisan atau
face to face, misalnya menggunakan surat atau email.
Pola komunikasi ke atas mengalir ke tingkat yang
lebih tinggi dalam kelompok atau organisasi. Pola
komunikasi digunakan untuk memberikan umpan balik
ke atas. Pola komunikasi ini membuat manajer
menyadari bagaimana karyawan merasakan pekerjaannya, rekan kerja, dan organisasi secara umum.
Manajer juga bergantung pada pola komunikasi ini
untuk mendapatkan ide-ide untuk memperbaiki berbagai hal. Misalnya, laporan kinerja yang disiapkan
oleh lower management untuk ditinjau oleh middle
dan top management, kotak saran, survei tentang
sikap karyawan, diskusi antara atasan dan bawahan
serta sesi ”keluhan” informal di mana karyawan memiliki peluang untuk mengidentifikasi dan menidiskusikan masalah dengan bosnya atau wakil dari
manajemen yang lebih tinggi.
Pola komunikasi lateral terjadi ketika komunikasi
terjadi di antara anggota dalam kelompok kerja yang
sama, di antara anggota kelompok kerja pada tingkat
yang sama, di antara manajer pada tingkat yang sama,
atau di antara personel yang secara horisontal sama.
Jika komunikasi horisontal seringkali dilakukan
untuk menghemat waktu, dan memfasilitasi koordinasi, komunikasi lateral secara formal memiliki sanksi.
Pola komunikasi ini secara informal diciptakan untuk
memotong hierarki vertikal dan mempercepat tindakan. Komunikasi lateral dari sisi manajemen dapat baik
atau buruk. Ketaatan yang ketat pada struktur vertikal
yang formal untuk semua komunikasi dapat menghalangi efisiensi dan akurasi transfer informasi. Oleh
sebab itu, pola komunikasi lateral dapat menguntungkan. Dalam kasus tertentu, komunikasi ini terjadi
dengan sepengetahuan dan dukungan penyelia, namun
sebaliknya, juga dapat menciptakan konflik disfungsional ketika saluran vertikal yang formal dilanggar,
bilamana anggota organisasi melewati penyelia mereka agar semuanya dapat berjalan, atau ketika bosnya
mengetahui bahwa tindakan yang dilakukan atau
keputusan yang dibuat adalah tanpa sepengetahuannya.
Kadang-kadang perilaku karyawan yang tidak
tepat mengacaukan atau kinerjanya tidak dapat
diterima oleh organisasi. Dalam kondisi ini, dibutuhkan
disiplin. Disiplin merupakan tindakan manajemen yang
mendorong pemenuhan standar organisasi (Werther
dan Davis, 1996:515). Menurut Mondy dan Noe
(2005:451), disiplin merupakan kontrol diri dan tingkah
laku tertata karyawan dan mengindikasikan adanya
tim kerja yang sejatinya di dalam suatu organisasi.
Tindakan disiplin memberikan suatu penalti atas
karyawan yang gagal memenuhi standar. Tindakan
disiplin yang efektif menunjukkan perilaku karyawan
yang salah, bukan karyawan sebagai perseorangan.
Tindakan disiplin yang dilakukan secara tidak tepat
dapat merusak, baik bagi karyawan maupun organisasi. Oleh sebab itu, tindakan disiplin tidak boleh
dilakukan dengan sembarangan.
Mathis dan Jackson (2000:314) menyatakan
bahwa disiplin merupakan bentuk pelatihan yang
menegakkan peraturan-peraturan organisasi. Tujuan
pencegahan disiplin adalah untuk meningkatkan
kesadaran karyawan akan kebijakan dan aturan organisasi. Pengetahuan tentang tindakan disiplin dapat
mencegah terjadinya pelanggaran. Penekanan pada
pencegahan disiplin serupa dengan penekanan pada
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 43/DIKTI/KEP/2008
ISSN: 1693-5241
241
Ida Ayu Brahmasari, Peniel Siregar
pencegahan kecelakaan. Konseling oleh penyelia di
unit kerja dapat memberikan dampak positif. Seringkali orang membutuhkan untuk disadarkan tentang
suatu aturan, dan konseling dapat memberikan kesadaran tersebut. Pelanggaran tertentu membawa
penalti yang lebih berat daripada pelanggaran lainnya.
Masalah disiplin yang umum ditimbulkan oleh
karyawan bermasalah antara lain terlambat datang,
pulang cepat, tidak masuk kerja, defisiensi produktivitas, alkoholisme, dan ketidak patuhan. Lebih lanjut,
Mathis dan Jackson mengemukakan bahwa disiplin
yang terbaik adalah jenis disiplin diri, karena sebagian
besar orang memahami apa yang diharapkan dari
dirinya dalam pekerjaannya, dan biasanya karyawan
diberi kepercayaan untuk menjalankan pekerjaannya
secara efektif. Namun, beberapa orang menyadari
perlunya disiplin eksternal untuk membantu disiplin
diri mereka. Disiplin yang efektif sebaiknya diarahkan
kepada perilakunya, bukan kepada karyawan secara
pribadi, karena alasan untuk pendisiplinan adalah untuk
meningkatkan kinerja.
Disiplin dapat secara positif dikaitkan dengan
kinerja, di mana hal ini bertentangan dengan anggapan
orang-orang bahwa disiplin dapat merusak perilaku.
Para karyawan bisa saja menolak tindakan disiplin
yang tidak adil dari manajemennya, namun tindakan
yang diambil untuk mempertahankan standar yang
sudah ditetapkan bisa mendorong adanya norma
kelompok dan menghasilkan peningkatan kinerja dan
rasa keadilan.
Dari pendapat para ahli yang telah disebutkan
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa seorang karyawan dapat dinilai sebagai individu yang memiliki kedisiplinan yang tinggi apabila individu tersebut memiliki
kesadaran dalam melaksanakan aturan perusahaan
dan norma sosial. Kesadaran adalah sikap seseorang
yang secara sukarela menaati semua peraturan dan
sadar akan tugas dan tanggung jawabnya. Jadi, dia
akan mematuhi/mengerjakan semua tugasnya dengan
baik, bukan atas paksaan. Kesediaan adalah suatu
sikap, tingkah laku, dan perbuatan seseorang yang
sesuai dengan peraturan perusahaan, baik yang tertulis
maupun tidak (Hasibuan, 2000:74).
Peraturan sangat diperlukan untuk memberikan
bimbingan dan penyuluhan bagi karyawan dalam menciptakan tata tertib yang baik diperusahaan. Dengan
tata tertib, semangat kerja, moral kerja yang baik,
242
efisiensi dan efektivitas kerja karyawan akan meningkat. Hal ini akan mendukung tercapainya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat. Perusahaan akan
sulit mencapai tujuannya, jika karyawannya tidak
mematuhi peraturan-peraturan perusahaan tersebut.
Kedisiplinan suatu perusahaan dikatakan baik, jika
sebagian besar karyawan menaati peraturan-peraturan
yang ada. Peraturan diperlukan dalam meningkatkan
kedisiplinan dan mendidik karyawan supaya menaati
semua peraturan perusahaan. Pemberian hukuman
harus adil dan tegas terhadap semua karyawan.
Dengan keadilan dan ketegasan, sasaran pemberian
hukuman akan tercapai. Peraturan tanpa dibarengi
pemberian hukuman yang tegas bagi pelanggarnya
bukan menjadi alat pendidik bagi karyawan.
Kinerja adalah pencapaian atas tujuan organisasi
yang dapat berbentuk output kuantitatif maupun
kualitatif, kreativitas, fleksibilitas, dapat diandalkan,
atau hal-hal lain yang diinginkan oleh organisasi. Penekanan kinerja dapat bersifat jangka pendek maupun
jangka panjang, juga dapat pada tingkatan individu,
kelompok ataupun organisasi. Kinerja juga dapat diartikan sebagai pemenuhan suatu tugas. Poin penting
dari kinerja adalah bahwa harus dipikirkan secara
luas. Oleh karena itu, kinerja yang hanya difokuskan
pada kuantitas output akan disayangkan (Aldac dan
Stearns, 1987:77–78).
Kinerja individu memberikan kontribusi pada
kinerja kelompok yang selanjutnya, memberikan kontribusi pada kinerja organisasi. Pada organisasi yang
sangat efektif, pihak manajemen membantu menciptakan sinergi yang positif, yaitu secara keseluruhan
yang lebih besar daripada jumlah dari bagianbagiannya. Tidak ada satupun ukuran atau kriteria
yang tepat merefleksikan kinerja di tingkat manapun
(Gibson, et al., 1988:18).
Dalam pengertian bebas, kinerja (performance)
dapat diartikan sebagai suatu pencapaian hasil kerja
sesuai dengan aturan dan standar yang berlaku pada
masing-masing organisasi kerja. Menurut Simamora
(2001:327), kinerja merupakan suatu pencapaian
persyaratan-persyaratan pekerjaan tertentu yang
akhirnya secara langsung dapat tercermin dari output yang dihasilkan baik jumlah maupun kualitasnya.
Output yang dihasilkan sebagaimana yang dikatakan
Simamora di atas dapat berupa fisik maupun nonfisik.
Hal ini ditegaskan oleh Nawawi (1997:234) yang
JURNAL APLIKASI
Nama Orang
MANAJEMEN | VOLUME 7 | NOMOR 1 | FEBRUARI 2009
Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan Situasional dan Pola Komunikasi
menyebut kinerja dengan istilah karya, yaitu suatu hasil
pelaksanaan suatu pekerjaan, baik bersifat fisik/material maupun non fisik/non material.
Pada organisasi/unit kerja di mana output-nya
dapat teridentifikasi secara individual dalam bentuk
kuantitas seperti pabrik rokok, indikator kinerja pekerjanya dapat diukur dengan mudah, yaitu dari besarnya
output yang dicapainya dalam kurun waktu tertentu.
Namun pada unit kerja kelompok atau tim, kinerja
tersebut agak sulit teridentifikasi secara kuantitas
secara individual. Simamora menyatakan bahwa
kinerja antara lain dapat dilihat dari indikator-indikator
berikut: kepatuhannya terhadap segala aturan yang
telah ditetapkan dalam perusahaan, dapat melaksanakan tugasnya tanpa kesalahan (dengan tingkat kesalahan paling rendah), dan ketepatan dalam menjalankan tugasnya.
Menurut Robbins (2005:526–527) ada tiga kriteria untuk mengetahui kinerja seseorang, yaitu:
• Hasil pelaksanaan tugas individual, yang apabila
hasil akhir diperhitungkan, maka pihak manajemen harus mengevaluasi hasil kerja karyawan.
Menggunakan hasil kerja, seorang manajer pabrik dapat dinilai berdasarkan kriteria tertentu
seperti kualitas produksi atau biaya yang dikeluarkan untuk satu unit produksi.
•
Perilaku, tidak mudah untuk mengidentifikasi
hasil-hasil tertentu secara langsung dari kegiatan
karyawan. Hal ini khususnya terjadi pada karyawan di tingkat menengah yang peranannya berada ditengah-tengah kelompok kerja.
• Sifat, merupakan kriteria paling lemah yang secara luas dipergunakan oleh organisasi. Kriteria
ini paling lemah dibandingkan dengan dua kriteria
lainnya, karena kriteria ini dihilangkan paling jauh
dari kinerja pekerjaan yang sebenarnya.
Tujuan penilaian kinerja adalah sebagai ”alat”
diagnostik dan proses penilaian terhadap pengembangan individu, tim dan organisasi. Oleh karena kinerja merupakan suatu fungsi potensi, untuk mencapai
dan mempertahankan kinerja diperlukan berbagai
proses organisasional yang memungkinkan orang
maupun program mewujudkan potensi mereka sepenuhnya. Maka itu, kebutuhan untuk mencapai dan
mempertahankan kinerja menentukan target kemampuan organisasi. Kinerja juga dinilai berdasarkan
tujuan organisasi secara keseluruhan yang mungkin
telah dipecah menjadi beberapa target terpisah yang
bersama-sama memberikan kontribusi bagi tujuan
keseluruhan organisasi.
Kerangka Konseptual
Gambar 1. Kerangka Konseptual
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 43/DIKTI/KEP/2008
ISSN: 1693-5241
243
Ida Ayu Brahmasari, Peniel Siregar
-
METODE
Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian penjelasan
(explanatory research), yang akan menjelaskan
hubungan kausal antara variabel budaya perusahaan,
kepemimpinan situasional dan pola komunikasi terhadap disiplin kerja dan kinerja karyawan PT Central
Proteinaprima Tbk. melalui pengujian hipotesis.
-
Populasi
-
Populasi pada penelitian ini adalah karyawan tetap
di PT Central Proteinaprima Tbk yang berjumlah 100
orang dan karyawan kontrak sejumlah 150 orang.
-
Sampel
-
Mengingat penelitian ini membahas budaya
organisasi yang berkaitan dengan interaksi yang erat
antara karyawan dan filosofi perusahaan, maka dipilih
karyawan tetap sebagai anggota sampel. Bendasarkan pada syarat minimal untuk jumlah sampel bagi
analisis dengan menggunakan SEM, maka keseluruhan karyawan tetap akan diambil sebagai sampel, yaitu
sejumlah 100 orang.
Definisi Operasional dan Variabel Penelitian
Berdasarkan kajian teori, kerangka konseptual
dan hipotesis penelitian didepan maka dapat diidentifikasikan variabel eksogen dalam penelitian ini sebagai
berikut ini.
• Budaya perusahaan adalah ”nilai-nilai, penuntun
keyakinan akan suatu hal dan kebiasaan yang
dimiliki bersama dalam organisasi, yang berinteraksi dengan struktur formal guna menghasilkan
berbagai norma perilaku yang membedakan
organisasinya dari organisasi lainnya” (Hofstede,
1984:21, Kotter and Heskett, 1992:6). Secara
operasional,variabel ini diukur menggunakan
indikator sebagai berikut.
- Seberapa jauh para karyawan dapat memahami tujuan yang ingin dicapai perusahaan
(tujuan perusahaan)
- Seberapa jauh inisiatif perusahaan memberikan kesempatan kepada seluruh karyawan
untuk terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan (konsensus).
244
-
•
Seberapa besar tingkat kemampuan perusahaan untuk menumbuhkan suatu sikap agar
selalu menjadi yang terbaik dan berprestasi
yang lebih baik lagi dari apa yang pernah
dilakukan sebelumnya (keunggulan).
Sikap yang dilakukan perusahaan terhadap
karyawannya. Dalam hal ini perusahaan
harus dapat berlaku adil dan tidak memihak
terhadap kelompok tertentu pada lingkungan
intern perusahaan (kesatuan).
Sikap perusahaan terhadap prestasi karyawannya (prestasi).
Sejauhmana perusahaan mau menggunakan
bukti-bukti empirik di dalam pengambilan
keputusan (empirik).
Gambaran suatu kondisi pergaulan sosial
dalam perusahaan dan antar karyawan
perusahaan (keakraban).
Sejauhmana anggota perusahaan mau bekerja sama dengan sungguh-sungguh dalam
pencapaian tujuan perusahaan (integrasi).
Kepemimpinan Situasional adalah teori kepemimpinan yang memfokus pada para pengikut.
Kepemimpinan yang berhasil dicapai dengan
memilih gaya kepemimpinan yang tepat, yang
menurut argumen Hersey dan Blanchard bersifat
bergantung pada tingkat kesiapan atau kedewasaan para pengikutnya. Secara operasional,
variabel ini diukur menggunakan indikator sebagai
berikut:
- Kemampuan pemimpin untuk mendefinisikan peranan-peranan yang dibutuhkan untuk
melakukan tugas dan mengatakan pada
pengikutnya apa, di mana, bagaimana, dan
kapan melakukan tugas-tugasnya (telling).
- Kemampuan pemimpin untuk menyediakan
instruksi-instruksi terstruktur bagi bawahannya disamping juga harus supportif (selling).
- Interaksi antara pemimpin dan bawahan di
mana pimpinan dan bawahan saling berbagi
dalam keputusan mengenai bagaimana yang
paling baik untuk menyelesaikan tugas
dengan baik (participating).
- Kemampuan pimpinan dalam menyerahkan
tanggung jawab atas pelaksanaan pekerjaan
JURNAL APLIKASI
Nama Orang
MANAJEMEN | VOLUME 7 | NOMOR 1 | FEBRUARI 2009
Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan Situasional dan Pola Komunikasi
pada bawahan agar dapat melakukan efektifitas pekerjaan (delegating).
•
Pola Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi dan pengertian dengan menggunakan tanda-tanda yang sama Gibson (2003:230232). Secara operasional, variabel ini diukur
menggunakan indikator sebagai berikut:
- Komunikasi Vertikal.
Komunikasi yang bergerak ke atas atau
kebawah menurut rantai komando.
- Komunikasi Lateral
Komunikasi lateral biasanya mengikuti pola
arus pekerjaan dalam sebuah perusahaan,
terjadi antara angota kelompok kerja yang
lain, antara satu kelompok dengan kelompok
kerja yang lain, antara anggota departemen
yang berbeda, dan antara karyawan lini dan
staf.
•
Displin Kerja adalah salah satu fungsi operatif
dari manajemen sumber daya manusia yang mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya (Mathis, 2000:314). Secara operasional,
variabel ini diukur menggunakan indikator sebagai
berikut:
- Tingkat kehadiran
- Ketepatan waktu kerja
- Ketaatan terhadap peraturan
•
Kinerja karyawan merupakan hasil kerja yang
dicapai oleh karyawan di lingkungan perusahaan
yang diukur melalui tiga indikator sebagai berikut
Robbins (2001:650):
- Hasil pelaksanaan tugas individu
- Perilaku individu
- Sikap individu
pengujian sebuah rangkaian hubungan antar variabel
secara simultan. Hubungan yang rumit tersebut dapat
dibangun antara satu atau beberapa variabel eksogen
dengan satu atau beberapa variabel endogen. Masingmasing variabel eksogen dan endogen tersebut dapat
berupa faktor atau konstruk (latent variable atau
unobserved construct) yang dibangun dari beberapa
indikator/dimensi, dapat pula beberapa manifest variable atau observed construct yang dapat diukur
secara langsung dalam sebuah proses penelitian
(Sharman, 1996:420).
Hasil Uji Instrumen Penelitian
Uji Validitas
Banyak peneliti yang menggunakan nilai kritis
untuk loading factor paling rendah 0,40 dalam
mengukur validitas suatu instrumen penelitian
(Sharma, 1996). Dari hasil uji model terhadap 100
responden ternyata variabel indikator menghasilkan
nilai loading yang masih di atas nilai kritis antara
0,48 sampai dengan 0,86 (Tabel 1).
Selain dari besarnya nilai loading, signifikansi
dari variabel indikator bisa kita amati dari nilai critical ratio (C.R) yang identik dengan thitung pada
regresi. Nilai batas dihitung berdasarkan nilai Chisquare dengan derajat bebas sebesar 25 pada tingkat
signifikansi 0,05 atau ttabel (25:0,05) = 2,201. Apabila
nilai C.R berada di atas nilai ttabel, maka variabel
indikator bisa dikatakan secara signifikan merupakan
dimensi atau indikator dari variabel laten.
HASIL
Pada Tabel 1 nampak bahwa semua nilai critical ratio terbukti diterima secara siginifikan berada
di atas nilai batas 2,201. Ini menunjukkan bahwa
semua variabel indikator valid untuk mengukur variabel laten.
Pengujian Hipotesis
Uji Reliabilitas
Bagi kepentingan analisis dan pengujian hipotesis,
digunakan pendekatan statistik inferensial. Teknik
analisis data yang dipergunakan pada penelitian ini
adalah structural equation model (SEM) dengan
menggunakan bantuan software AMOS version 4.01.
Structural Equation Model (SEM) adalah sekumpulan teknik-teknik statistikal yang memungkinkan
Untuk menguji reliabilitas masing-masing variabel
indikator dalam penelitian, akan digunakan composite-reliability. Nilai batas yang digunakan untuk menilai sebuah tingkat reliabilitas adalah > 0,70, walaupun
angka itu bukanlah sebuah ukuran mati.
Nilai di bawah 0,70 pun masih dapat diterima
sepanjang disertai dengan alasan-alasan empirik
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 43/DIKTI/KEP/2008
ISSN: 1693-5241
245
Ida Ayu Brahmasari, Peniel Siregar
Tabel 1. Loading Factor Measurement Model
(Sumber: Data primer diolah (2006))
(Ferdinand, 2000). Hasil perhitungan composite-reliability dari construct pada penelitian ini dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Uji Composite-Reliability
(Sumber: Data primer diolah (2006))
Pada Tabel 2 nampak bahwa hasil perhitungan
construct reliability menunjukkan rata-rata masih
di atas nilai batas yang ditentukan antara 0,72 sampai
dengan 0,89. Dengan melihat kondisi-kondisi empiris
di atas, maka nilai reliabilitas konstruk hubungan antar
variabel dalam variabel-variabel construct yang
diamati terhadap disiplin kerja dan kinerja karyawan
masih bisa diterima.
Evaluasi atas Hasil SEM
Structural Equation Modelling merupakan
perkembangan lebih lanjut dari analisis regresi berganda. Bila dalam analisis regresi berganda semua variabel bebas berderet dalam suatu blok, maka dalam
analisis jalur variabel bebas terbagi ke dalam sejumlah
blok yang tersusun secara hierarkis sesuai landasan
teorinya. (Pedhazur, 1982:157). Oleh karena itu,
penggunaan analisis ini selalu berdasarkan pada model
konseptual dukungan teoritik. Berdasarkan atas model
konseptual teoritik, selanjutnya diuji model tersebut
secara empirik. Signifikan model yang tampak hanya
berdasarkan koefisien path yang signifikan pada
setiap jalur. Kesimpulan dari model ini terletak pada
kesesuaian data empirik yang terhimpun dengan model
246
teoritik, sehingga model tersebut menjadi berarti.
Sebaliknya, jika tidak ada kesesuaian, maka model
empirik menjadi alternatif teori yang melengkapi,
merevisi, menolak teori, atau bahkan memunculkan
model teoritik baru.
Structural Equation Model (SEM) adalah
sekumpulan teknik-teknik statistikal yang memungkinkan pengujian sebuah rangkaian hubungan antar
variabel secara simultan. Masing-masing variabel
eksogen dan endogen tersebut dapat berupa faktor
atau konstruk (latent variable atau unobserved
construct) yang dibangun dari beberapa indikator/
dimensi, dapat pula beberapa manifest variable atau
observed construct yang dapat diukur secara langsung dalam sebuah proses penelitian (Sharman, 1996:
420).
Evaluasi atas Multikolinearitas atau Singularitas
Multikolinearitas atau singularitas dalam sebuah
kombinasi variabel bisa diamati dari determinan
matriks kovarians. Determinan yang benar-benar
kecil mengindikasikan adanya multikolinearitas atau
singularitas (Tabachnick dan Fidell, 1998 dalam
Ferdinand, 2000). Dari text output yang dihasilkan
oleh AMOS 4.0 data ini adalah sebagai berikut:
Determinant of Sample Covariance Matrix = 41,325
Angka ini sangat jauh dari nol, karena itu dapat
disimpulkan tidak terdapat multikolinearitas atau singularitas dalam data ini, karena itu asumsi ini dipenuhi.
Evaluasi atas Kriteria Goodness of Fit
Hasil perhitungan Goodness of Fit dari model SEM
di atas, dapat disarikan berdasarkan indeks-indeks
dalam SEM sebagaimana nampak dalam Tabel 3.
JURNAL APLIKASI
Nama Orang
MANAJEMEN | VOLUME 7 | NOMOR 1 | FEBRUARI 2009
Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan Situasional dan Pola Komunikasi
Tabel 3. Goodness of Fit Indices
(Sumber: Data primer yang diperbandingkan)
Berdasarkan hasil perhitungan pada uji kesesuaian Tabel 3. di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut;
nilai ÷2 - Chi Square sebesar 4.786 dan significant
probability sebesar 0.361 menunjukkan bahwa model
yang akan diuji memiliki kesesuaian yang baik sebagaimana disampaikan oleh Hair (1995) yang menyatakan bahwa semakin kecil nilai chi square akan
semakin baik model yang disusun (karena dalam uji
beda chi square, ÷2 = 0 berarti benar-benar tidak ada
perbedaan dan H0 diterima) dan diterima dengan cut
off value sebesar p > 0.05. Perhitungan nilai RMSEA
menunjukkan bahwa model yang akan diuji juga memiliki kesesuaian yang baik seperti yang dikatakan oleh
Hair (1995) bahwa nilai RMSEA yang lebih kecil atau
sama dengan 0.08 merupakan indeks untuk diterimanya sebuah model. Perhitungan nilai GFI menunjukkan
bahwa model juga memiliki kesesuaian yang baik di
mana hal tersebut ditunjukkan oleh nilai GFI yang
mendekati 1 (rentang nilai GFI antara 0 (poor fit)
sampai dengan 1 (perfect fit)). Nilai yang tinggi dalam
indeks ini menunjukkan sebuah better fit. Perhitungan
nilai AGFI menunjukkan bahwa model yang diajukan
perlu dipertimbangkan (marjinal) karena nilai AGFI
yang dihasilkan berada di bawah angka 0.90 di mana
batasan sebuah model dinilai memiliki overall model
fit adalah nilai AGFI minimal sebesar 0.95. Perhitungan nilai CMIN/DF menunjukkan bahwa model
yang akan diujikan memiliki kesesuaian antara data
dengan model di mana hal tersebut ditunjukkan dengan
nilai CMIN/DF yang berada di bawah nilai 2.0.
Perhitungan nilai TLI (Tucker Lewis Index) menunjukkan bahwa model yang akan diujikan memiliki
kesesuaian yang baik, di mana batasan dari nilai TLI
adalah > 0.95 dan nilai yang sangat dekat ke 1 menunjukkan a very good index (Arbuckle, 1997). Nilai
CFI (Comparative Fit Index) menunjukkan bahwa
semakin mendekati 1, semakin bagus model yang
diamati (Arbuckle, 1997) dan nilai CFI yang direkomendasikan adalah > 0.95 di mana berdasarkan perhitungan di atas dapat dilihat bahwa model yang diajukan
memiliki kesesuaian yang tinggi dengan nilai CFI
sebesar 0.956
Evaluasi atas Regression Weight untuk Uji
Kausalitas
Untuk menguji hipotesis mengenai kausalitas yang
dikembangkan dalam model ini, perlu diuji hipotesis
yang menyatakan bahwa koefisien regresi antara hubungan adalah sama dengan nol melalui uji-t yang
lazim dalam model-model regresi. Tabel berikut ini
menyajikan nilai-nilai koefisien regresi dan t-hitungnya
(CR).
Dengan menghitung nilai batas berdasarkan nilai
Chi-square dengan derajat bebas sebesar 12 pada
tingkat signifikansi 0,05 atau ttabel (12;0,05) = +2,201.
Maka pada tabel di atas, melalui pengamatan nilai
CR terlihat bahwa semua koefisien regresi secara
signifikan tidak sama dengan nol (nilai CR > t-tabel
+2,201). Hasil tersebut menunjukkan bahwa variabel
kompensasi, komunikasi vertikal, partisipasi karyawan, dan iklim kerja berpengaruh secara signifikan
terhadap pembentukan disiplin kerja dan prestasi kerja
karyawan.
Pengujian Hipotesis
Berdasarkan hasil perhitungan yang telah diperoleh pada bab V sebelumnya, maka pada bagian ini
akan disampaikan hasil pengujian hipotesis dan pembahasan atas hubungan antar variabel yang diamati
dalam kegiatan penelitian ini sebagai berikut ini.
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 43/DIKTI/KEP/2008
ISSN: 1693-5241
247
Ida Ayu Brahmasari, Peniel Siregar
Tabel 4. Estimasi Parameter
(Sumber: Data primer diolah)
•
•
•
•
•
•
•
Hipotesis terbukti (β1 = 0,543; CR = 2,954) di
mana hasil perhitungan menunjukkan variabel
budaya organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel disiplin kerja.
Hipotesis terbukti (β2 = 0,524; CR = 2.951) di
mana hasil perhitungan menunjukkan bahwa
budaya organisasi secara signifikan berpengaruh
terhadap kinerja karyawan.
Hipotesis terbukti (β3 = 0,201; CR = 3.243) di
mana hasil perhitungan menunjukkan bahwa variabel kepemimpinan situasional secara signifikan
berpengaruh terhadap disiplin kerja.
Hipotesis terbukti (β4 = 0,347; CR = 4.551) di
mana hasil perhitungan menunjukkan bahwa
variabel kepemimpinan situasional secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja karyawan.
Hipotesis terbukti (β5 = 0,119; CR = 4.462) di
mana hasil perhitungan menunjukkan bahwa variabel pola komunikasi secara signifikan berpengaruh terhadap disiplin kerja karyawan.
Hipotesis terbukti (β6 = 0,174; CR = 3.625) di
mana hasil perhitungan menunjukkan bahwa variabel pola komunikasi secara signifikan berpengaruh terhadap disiplin kerja karyawan.
Hipotesis terbukti (β6 = 0,511; CR = 3.517) di
mana hasil perhitungan menunjukkan bahwa
variabel disiplin kerja secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja karyawan.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pembuktian hipotesis dengan
menggunakan analisis SEM dibuktikan bahwa variabel
budaya organisasi memiliki pengaruh yang signifikan
dan dominan terhadap disiplin kerja dan kinerja karyawan, di mana hal tersebut sesuai dengan pendapat
248
yang disampaikan oleh Deal dan Kennedy, Denison,
Ouchi, Posner, Kouzes dan Schmidt, Pritchard dan
Karasick, serta Sathe dalam Ritchie (2000) dan
Gorgon (2002:374), bahwa budaya organisasi dapat
sangat mempengaruhi individu dan kinerja perusahaan, terutama dalam lingkungan yang bersaing.
Hasil penelitian ini memperkuat teori yang dikemukakan oleh Hersey dan Blanchard (1988) serta
McShane dan Von Glinov (2005:426) yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan memiliki pengaruh
yang dominan terhadap kinerja karyawan dimana
semakin tinggi kesesuaian antara tingkat kematangan
bawahan dengan kemampuan dan kemauan pemimpinnya maka karyawan akan merasa mendapatkan
perlindungan dan bimbingan dari pemimpin yang pada
akhirnya bersedia untuk menyumbangkan karya
terbaiknya untuk perusahaan.
Hasil penelitian ini juga memperkuat pendapat
Ivancevich, Konopaske dan Matteson, 2005:421 serta
Kinicki dan Kreitner (2007:438) yang menyatakan
bahwa komunikasi membantu anggota organisasi
untuk mencapai baik tujuan individu maupun organisasi, mengimplementasikan dan merespon perubahan
organisasi, mengkoordinasikan berbagai aktivitas, dan
berkaitan secara virtual dengan semua perilaku yang
relevan dengan organisasi. Jika komunikasi organisasi
kurang efektif maka organisasi juga tidak seefektif
yang seharusnya.
Hasil penelitian ini mendukung pendapat Mathis
dan Jackson (2000:314), yang menyatakan bahwa
disiplin dapat secara positif dikaitkan dengan kinerja,
dimana hal ini bertentangan dengan anggapan orangorang bahwa disiplin dapat merusak perilaku. Para
karyawan bisa saja menolak tindakan disiplin yang
tidak adil dari manajemennya, namun tindakan yang
JURNAL APLIKASI
Nama Orang
MANAJEMEN | VOLUME 7 | NOMOR 1 | FEBRUARI 2009
Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan Situasional dan Pola Komunikasi
diambil untuk mempertahankan standar yang sudah
ditetapkan bisa mendorong adanya norma kelompok
dan menghasilkan peningkatan kinerja dan rasa
keadilan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
•
•
•
•
•
•
•
Budaya organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap disiplin kerja kerja karyawan di
PT Central Proteinaprima Tbk.
Budaya organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja kerja karyawan di PT
Central Proteinaprima Tbk.
Kepemimpinan situasional memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap disiplin kerja kerja karyawan di PT Central Proteinaprima Tbk.
Kepemimpinan situasional memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap kinerja kerja karyawan
di PT Central Proteinaprima Tbk.
Pola komunikasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap disiplin kerja kerja karyawan di
PT Central Proteinaprima Tbk.
Pola komunikasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja kerja karyawan di PT
Central Proteinaprima Tbk.
Disiplin kerja memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap kinerja karyawan di PT Central
Proteinaprima Tbk.
Saran
Budaya organisasi PT Central Proteinaprima
yang saat ini dianut oleh seluruh anggota organisasi
harus terus dijaga dan terus ditingkatkan agar dapat
membantu seluruh pimpinan maupun karyawan (organisasi) untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan
di lingkungan eksternalnya serta integrasi di lingkungan internalnya, terutama nilai-nilai organisasi yang
menjadi ”jantung” dari budaya organisasi PT Central
Proteinaprima Tbk. Selain itu, perlu diciptakan iklim
kerja yang harmonis melalui keterbukaan antara manajemen dan karyawan sehingga setiap permasalahan
karyawan dapat diketahui dengan jelas oleh pihak
manajemen dan dapat dicarikan jalan keluarnya.
Upaya tersebut perlu dilakukan mengingat pembentukan suatu kondisi pergaulan sosial yang akrab dan
harmonis dalam organisasi akan dapat tercapai bila
tercipta iklim kerja yang kondusif yang mendukung
terciptanya rasa kebersamaan dalam bekerja dan
menghindari sebisa mungkin konflik-konflik yang
mungkin timbul.
Gaya kepemimpinan situasional yang selama ini
dijalankan oleh pimpinan PT Central Proteinaprima
Tbk. terutama gaya telling agar tidak terjadi kesalahan
interpreasi tentang peran yang dibutuhkan untuk karyawan dalam melakukan pekerjaan.
Memberi kesempatan kepada para karyawan
untuk mengajukan saran dan pendapat, terutama pada
saat perusahaan sedang menghadapi masalah. Upaya
ini perlui dilakukan dengan pertimbangan bahwa
kebebasan mengemukakan pendapat dan otonomi
tugas dapat menjadikan sebuah suasana kerja yang
akrab serta mampu memberikan kepuasan kerja para
karyawan karena mereka bekerja dalam lingkungan
yang akrab dan harmonis.
Tindakan disiplin yang diatur dalam peraturan
perusahaan harus dijaga agar tidak dilakukan dengan
semena-mena, apalagi tidak adil kepada seluruh
anggota organisasi, baik pimpinan maupun karyawan.
Hal ini untuk menghindari agar disiplin karyawan yang
selama ini ada tetap terjaga. Dengan demikian, produktivitas dan kinerja perusahaan secara keseluruhan
dapat ditingkatkan.
DAFTAR RUJUKAN
Ashby, C.F. 2000. Revitalize Your Corporate Culture.
Houston, Texas: Cashman Dudley.
Brown, A.D. 1998. Organizational Culture. 2nd edition.
Harlow, England: Financial Times. Prentice Hall.
Champoux, J.E. 2006. Organizational Behavior. 3rd edition, USA: Thomson South-Western.
Deal, T.E., and Kennedy, A.A. 2000. Corporate Cultures:
The Rites and Rituals of Corporate Life. Cambridge,
Massachusetts: Perseus Publishing.
Gibson J.L., and Ivancevich J.M., Donnely Jr., J.H. 1995.
Organizations. 8th ed., Boston, Massachusetts: Irwin,
Inc.
Gordon, J.R. 2002. Organizational Behavior: A Diagnostic Approach, New Jersey: Prentice Hall International,
Inc.
Hodgetts R.M., and Luthans F. 1997. International Management. 3rd ed., New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Hofstede, G. 1984. Culture’s Consequences: International
Differences in Work-Related Values. Abridged edition, California: Sage Publications. Newbury Park.
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 43/DIKTI/KEP/2008
ISSN: 1693-5241
249
Ida Ayu Brahmasari, Peniel Siregar
Ivancevich J.M., Konopaske, R., dan Matteson, M.T. 2005.
Organizational Behavior and Management. Boston:
McGraw Hill.
Kotter, J.P., and Heskett, J.L. 1992. Corporate Culture and
Performance. New York: The Free Press.
Kreitner, R., and Kinicki, A. 2006. Organizational
Behaviour. 2nd edition. New York: McGraw Hill.
Luthans, F. 2002. Organizational Behavior. 9th ed. New
York: McGraw-Hill Irwin.
Marcoulides, G.A., and Heck, R.H. 1993. ”Organizational
Culture and Performance: Proposing and Testing a
Model”. Organization Science. 4(2):209–225.
McShane, S.L., dan Von Glinov, M.A. 2005. Organizational
Behavior. 3rd edition. New York: McGraw Hill.
Miller, S. 1997. Human Resources Management. New York:
Prentice Hall Inc.
Plunkett, W.R., and Attner R.F. 1989. Management. 3rd ed.,
Boston, Massachusetts: PWS-KENT Publishing
Company.
250
Ritchie, M. Organizational Culture: An Examination of Its
Effect on the Internalization Process and Member
Performance. Southern Business Review. 1–13.
Robbins, S.P. 2005. Organizational Behavior. 11th edition.
New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Rue, L.W., and Byars, L.L. 1989. Management: Theory and
Application. 5th ed. Homewood, Illinois: IRWIN.
Schein, E.H. 1991. Organizational Culture and Leadership, 1st ed., San Francisco, Oxford: Jossey-Bass Publishers.
Simamora, H. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia,
Edisi Kedua, Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
YKPN.
Werther, W.B., and Davis, K. 1996. Human Resources and
Personnel Management. 5th ed. New York: MacGraw
Hill, Inc.
Wheelen, G., and Jolan, H. 1996. Organizational Development: Behavioral Science Interventions for Organization Improvement. New York: John Willey and Son
Zwell, M. 2000. Creating a Culture of Competence.
Canada: John Wiley & Sons, Inc.
JURNAL APLIKASI
Nama Orang
MANAJEMEN | VOLUME 7 | NOMOR 1 | FEBRUARI 2009
Download