tentang penyiaran dengan rahmat tuhan yang maha

advertisement
02 Feb 2016
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENYIARAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
bahwa kemerdekaan berkomunikasi dan memperoleh
informasi melalui penyiaran sebagai perwujudan hak
asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara dilaksanakan secara selaras
dan seimbang antara hak dan tanggung jawab
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa spektrum frekuensi radio merupakan sumber
daya alam terbatas yang dikuasai oleh negara sebagai
wujud
kedaulatan
negara
yang
pengelolaan,
pemanfaatan, dan pengamanannya dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
bahwa penggunaan teknologi penyiaran diarahkan untuk
menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan
kehidupan
bangsa
dan
ikut
melaksanakan ketertiban dunia;
bahwa untuk menjalankan kedaulatan negara dan
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
perlu
dilakukan
penataan
kebijakan
penyiaran,
hubungan tata kerja semua pemangku kepentingan
dalam bidang penyiaran, dan penyelenggaraan kegiatan
penyiaran melalui sistem penyiaran nasional;
bahwa sistem penyiaran nasional diarahkan bagi
terciptanya penyelenggaraan penyiaran yang sehat,
berkualitas,
dan
bermanfaat,
dalam
rangka
memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa,
mewujudkan demokrasi yang lebih baik, menyelaraskan
kemajemukan masyarakat Indonesia, meningkatkan
harkat, martabat dan citra bangsa, meningkatkan daya
saing
bangsa
dan
kesejahteraan
masyarakat,
menciptakan iklim usaha yang sehat di bidang
penyiaran, serta meningkatkan penggunaan teknologi
penyiaran;
bahwa lembaga penyiaran merupakan media komunikasi
massa yang menyalurkan isi siaran yang mampu
mengonstruksi realitas sosial, mempengaruhi pola pikir,
pendapat, sikap, dan perilaku khalayak maka harus
selaras dengan nilai agama, moral, kemanusiaan,
keadilan, budaya, dan kepribadian bangsa serta selaras
dengan agenda dan tujuan pembangunan nasional;
1
g.
h.
i.
bahwa
kegiatan
memancarteruskan
dan/atau
mengalirkan siaran disesuaikan dengan kemajuan
teknologi dan kemampuan masyarakat dalam menerima
teknologi penyiaran;
bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
teknologi penyiaran, sosial kemasyarakatan, dan
kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu diganti;
bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, huruf f, dan huruf g, perlu membentuk UndangUndang tentang Penyiaran;
Mengingat: Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal
27, Pasal 28, Pasal 28 F, Pasal 29,Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32,
Pasal 33 ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 34 ayat (3),ayat (4)dan
Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENYIARAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Siaran adalah pesan, rangkaian pesan dan/atau data dalam bentuk
suara, gambar, atau suara dan gambar yang disiarkan oleh media
penyiaran dan diterima melalui perangkat penerima.
2.
Penyiaran
adalah
memancarteruskan,
mengalirkan,
dan/atau
menyebarluaskan Siaran baik secara satu arah maupun interaktif
melalui sarana pemancaran, pipa aliran, dan/atau sarana transmisi di
darat, laut, udara, atau antariksa dengan menggunakan spektrum
frekuensi radio melalui terestrial, kabel, dan satelit, serta menggunakan
internet.
3.
Isi Siaran adalah Siaran yang diproduksi oleh Lembaga Penyiaran
dan/atau penyedia isi Siaran.
4.
Wilayah Siar adalah wilayah layanan penerimaan stasiun lembaga
penyiaran yang diproteksi dari gangguan/interferensi sinyal frekuensi
radio lainnya, sesuai dengan Izin Penyelenggaraan Penyiaran.
5.
Sistem Penyiaran Nasional adalah keterpaduan penataan penyelenggara
penyiaran, sistem berjaringan, dan jasa penyiaran yang meliputi
keseluruhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6.
Digitalisasi Penyiaran adalah proses perubahan segala bentuk informasi
(angka, kata, gambar, suara, dan gerak) dikodekan kedalam bentuk bit
(binary digit) sehingga dimungkinkan adanya manipulasi dan
transformasi data (bit streaming) termasuk penggandaan, pengurangan,
maupun penambahan melalui teknologi digital.
2
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Komisi Penyiaran Indonesia yang selanjutnya disingkat KPI adalah
lembaga negara yang bersifat independen yang bertugas mengatur isi
Siaran.
Lembaga Penyiaran adalah lembaga yang memproduksi dan
memancarteruskan Siaran secara teratur dan berkesinambungan melalui
satelit, kabel, dan terestrial.
Lembaga Penyiaran Publik yang selanjutnya disingkat LPP adalah
lembaga negara penyelenggara Penyiaran publik, bersifat independen dan
nirlaba untuk melayani kebutuhan dan kepentingan warga negara yang
siarannya dipancarteruskan melalui jasa Penyiaran televisi, dan/atau
radio.
Radio Televisi Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat RTRI
adalah lembaga negara penyelenggara Penyiaran publik Republik
Indonesia yang memproduksi dan memancarterukan Siaran untuk
kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Lembaga Penyiaran Komunitas yang selanjutnya disingkat LPK adalah
adalah Lembaga Penyiaran yang didirikan oleh komunitas tertentu,
bersifat independen, dan nirlaba, luas jangkauan Wilayah Siarannya
terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya yang
siarannya dipancarteruskan melalui jasa Penyiaran televisi dan/atau
radio.
Lembaga Penyiaran Swasta yang selanjutnya disingkat LPS adalah
Lembaga Penyiaran yang didirikan oleh badan hukum di Indonesia
bersifat komersial dan tidak berbayar yang Siaran dan/atau datanya
dipancarteruskan
dan
disalurkan
melalui
terestrial
dengan
menggunakan jasa Penyiaran radio dan/atau televisi.
Lembaga Penyiaran Berlangganan yang selanjutnya disingkat LPB adalah
Lembaga Penyiaran yang didirikan oleh badan hukum di Indonesia
bersifat komersial yang siarannya disalurkan melalui satelit, kabel, atau
terestrial yang hanya dapat diakses melalui pembayaran berlangganan.
Sistem Siaran Jaringan yang selanjutnya disingkat SSJ adalah pola
jaringan penyelenggaraan Penyiaran yang adil dan terpadu yang
dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan sistem jaringan
antarLembaga Penyiaran.
Izin Penyelenggaraan Penyiaran yang selanjutnya disingkat IPP adalah
izin yang diberikan oleh pemerintah kepada Lembaga Penyiaran untuk
penyelenggaraan Penyiaran yang di dalamnya termuat alokasi frekuensi
Penyiaran dalam waktu yang ditentukan.
Pemohon adalah orang perseorangan yang berkewarganegaraan
Indonesia, bertindak untuk dan atas nama badan hukum Indonesia.
Siaran Iklan adalah Siaran dalam bentuk iklan layanan masyarakat atau
iklan komersial yang diproduksi oleh penyedia jasa periklanan dan/atau
Lembaga Penyiaran dengan maksud untuk menyampaikan informasi
atau mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat.
Pedoman Perilaku Penyiaran yang selanjutnya disingkat P3 adalah
ketentuan bagi Lembaga Penyiaran yang ditetapkan oleh KPI sebagai
panduan tentang batasan perilaku penyelenggaraan Penyiaran dan
pengawasan Penyiaran nasional
Standar Program Siaran yang selanjutnya disingkat SPS adalah panduan
kelayakan isi Siaran yang wajib dipatuhi oleh Lembaga Penyiaran.
Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh
Wakil Presiden dan menteri menyelenggarakan urusan pemerintah
dibidang komunikasi dan informatika.
Pasal 2
3
Penyelenggaraan Penyiaran dilakukan berdasarkan asas:
a. persatuan dan kesatuan;
b. kepentingan umum;
c.
moral dan etika;
d. manfaat;
e.
keamanan;
f.
kebebasan berekspresi;
g.
kreativitas;
h. tanggung jawab;
i.
netralitas;
j.
aksesibilitas;
k. pelayanan;
l.
keberagaman;
m. kemitraan;
n. keadilan;
o. persaingan yang sehat; dan
p. kepastian hukum.
BAB II
TUJUAN, ARAH, FUNGSI, DAN RUANG LINGKUP
Bagian Kesatu
Tujuan
Pasal 3
Penyelenggaraan Penyiaran bertujuan untuk:
a. menjaga dan memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa;
b. menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. membina karakter dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa;
d. meningkatkan harkat, martabat, dan citra bangsa;
e. menumbuhkembangkan kearifan lokal, kecintaan, kebanggaan, kejuangan,
dan kontribusi terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia;
f. mencerdaskan kehidupan bangsa;
g. memelihara dan mengembangkan kebudayaan nasional;
h. meningkatkan kesadaran, kepatuhan, dan tanggung jawab hukum;
i. meningkatkan demokrasi;
j. mendorong peran aktif masyarakat dalam pembangunan;
k. menumbuhkembangkan kreativitas masyarakat yang positif dan produktif;
l. memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi, pengetahuan, dan
hiburan, serta meningkatkan kemampuan literasi media masyarakat;
m. meningkatkan daya saing bangsa dan kesejahteraan masyarakat;
n. menumbuhkembangkan Lembaga Penyiaran yang produktif dalam iklim
usaha Penyiaran yang sehat;
o. melindungi keberadaan Lembaga Penyiaran dalam rangka meningkatkan
daya saing di era Penyiaran global; dan
p. mendorong kemampuan adaptasi teknologi Penyiaran terhadap kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi.
Bagian Kedua
Arah
Pasal 4
Penyiaran diarahkan untuk memberikan jaminan terhadap:
a. kepastian hukum;
b. kepatuhan hukum;
c. keselarasan dengan agenda dan tujuan pembangunan nasional; dan
4
d. terbangunnya industri penyiaran yang sehat.
Bagian Ketiga
Fungsi
Pasal 5
Penyiaran berfungsi sebagai media:
a. informasi;
b. pendidikan;
c. kebudayaan;
d. hiburan;
e. kontrol sosial;
f. perekat sosial;
g. ekonomi; dan
h. pemberdayaan masyarakat.
Bagian Keempat
Ruang Lingkup
Pasal 6
Ruang lingkup Undang-Undang ini meliputi:
a. tugas dan wewenang negara;
b. penyelenggaraan Penyiaran;
c. Penyiaran dengan teknologi digital;
d. KPI;
e. Lembaga Penyiaran;
f. perizinan;
g. P3 dan SPS;
h. Siaran Iklan; dan
i. peran serta masyarakat.
BAB III
TUGAS DAN WEWENANG NEGARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 7
Spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas yang
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat.
Bagian Kedua
Tugas
Pasal 8
Pengelolaan, pemanfaatan, pengamanan spektrum frekuensi radio, dan
penataan penggunaan teknologi Penyiaran menjadi tugas negara di bidang
Penyiaran.
Bagian Ketiga
Wewenang
Pasal 9
(1) Tugas negara di bidang Penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dilakukan oleh Pemerintah dengan wewenang meliputi:
5
a. menentukan arah kebijakan Sistem Penyiaran Nasional;
b. menetapkan pemetaan penggunaan frekuensi Penyiaran di setiap
wilayah layanan Siaran secara berkala;
c. memberikan dan mengawasi IPP;
d. memberikan perpanjangan IPP;
e. menetapkan biaya hak penggunaan frekuensi; dan
f. memberikan sanksi terkait penggunaan IPP.
(2) Tugas negara di bidang Penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dilakukan oleh KPI dengan wewenang meliputi:
a. penilaian terhadap uji coba Siaran dalam aspek Isi Siaran; dan
b. memberikan rekomendasi perpanjangan IPP.
(3) Adaptasi kemajuan teknologi Penyiaran yang disesuaikan dengan
kemampuan masyarakat dalam menerima teknologi Penyiaran dilakukan
oleh Pemerintah.
BAB IV
PENYELENGGARAAN PENYIARAN
Bagian Kesatu
Sistem Penyiaran Nasional
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 10
Penyiaran diselenggarakan dalam Sistem Penyiaran Nasional.
Sistem Penyiaran Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penataan kebijakan Penyiaran;
b. hubungan tata kerja semua pemangku kepentingan dalam bidang
Penyiaran; dan
c. penyelenggaraan kegiatan Penyiaran.
Sistem Penyiaran Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh Pemerintah, KPI, dan/atau Lembaga Penyiaran.
Sistem Penyiaran Nasional yang diselenggarakan oleh Pemerintah, KPI,
dan/atau Lembaga Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
didukung oleh penyedia Isi Siaran, penyedia jasa periklanan, dan penyedia
pemeringkat Isi Siaran.
Bagian Kedua
Jasa Penyiaran
Pasal 11
(1) Jasa Penyiaran meliputi:
a. jasa Penyiaran radio; dan/atau
b. jasa Penyiaran televisi.
(2) Jasa Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh
Lembaga Penyiaran yang terdiri:
a. LPP;
b. LPS;
c. LPB; dan
d. LPK.
(3) Lembaga Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan
jasa Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui internet.
(4) Setiap badan hukum yang akan menyelenggarakan jasa Penyiaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui internet wajib menjadi
Lembaga Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c,
dan huruf d.
6
BAB V
PENYIARAN DENGAN TEKNOLOGI DIGITAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 12
Penyelenggaraan jasa Penyiaran dilaksanakan
perkembangan teknologi digital.
dengan
memanfaatkan
Pasal 13
Pemanfaatan perkembangan teknologi digital dalam bidang Penyiaran
ditujukan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan Penyiaran bagi
masyarakat.
Pasal 14
Penyiaran dengan teknologi digital dilaksanakan oleh Lembaga Penyiaran:
a. jasa Penyiaran televisi; dan
b. jasa Penyiaran radio.
Bagian Kedua
Digitalisasi Jasa Penyiaran Televisi
Paragraf 1
Batas Akhir Penggunaan Teknologi Analog
Pasal 15
Batas akhir penggunaan teknologi analog Lembaga Penyiaran jasa Penyiaran
televisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, paling lambat 5 (lima)
tahun terhitung sejak diundangkannya undang-undang ini.
Pasal 16
(1) Pemerintah memberikan jaminan ketersediaan frekuensi bagi Lembaga
Penyiaran jasa Penyiaran televisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
huruf a.
(2) Pemerintah wajib menyusun cetak biru penyelenggaraan Penyiaran dengan
teknologi digital jasa Penyiaran televisi.
(3) Cetak biru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaksanakan oleh
Pemerintah.
(4) Cetak biru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari pertimbangan:
a. alokasi frekuensi digital di setiap Wilayah Siar;
b. kesiapan masyarakat;
c. kesiapan penyelenggara Penyiaran;
d. kesiapan produsen perangkat Penyiaran;
e. kesiapan distribusi alat pendukung teknologi digital; dan
f. iklim usaha yang sehat.
Pasal 17
(1) Selain melaksanakan cetak biru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (3), Pemerintah wajib mengelola tahapan teknis batas akhir
penggunaan teknologi analog.
(2) Tahapan teknis batas akhir penggunaan teknologi analog sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menyusun rencana peralihan penggunaan teknologi analog menjadi
teknologi digital;
7
b. membuat perencanaan tentang kebutuhan infrastruktur dan perangkat
penerima Siaran;
c. menyiapkan perencanaan sosialisasi dan distribusi penggunaan
perangkat penerima Siaran digital kepada masyarakat;
d. mengawasi dan mengevaluasi implementasi batas akhir penggunaan
teknologi analog; dan
e. menyusun peraturan teknis pelaksanaan mengenai peralihan
penggunaan teknologi analog menjadi teknologi digital.
Pasal 18
(1) Pemerintah membentuk tim pengawasan yang melibatkan pemangku
kepentingan dalam proses digitalisasi Penyiaran.
(2) Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang komunikasi dan
informatika, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
dibidang perdagangan, dan menteri yang menyelenggarakan urusan
perindustrian.
(3) Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, fungsi, dan wewenang tim
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Presiden.
Pasal 19
Lembaga Penyiaran wajib menyiapkan perangkat penerima Isi Siaran,
distribusi perangkat penerima Isi Siaran, dan sosialisasi penggunaan teknologi
digital kepada masyarakat.
Paragraf 2
Tata Cara Migrasi Teknologi Analog ke Digital
Pasal 20
(1) Pemerintah wajib menetapkan tata cara migrasi teknologi analog ke digital
yang terdiri dari:
a. batas akhir penggunaan teknologi analog per zona Wilayah Siar;
b. standar pelayanan Siaran digital; dan
c. pengaturan batas akhir produksi dan distribusi televisi dengan
teknologi analog.
(2) Penetapan tata cara migrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan jaminan keberlangsungan usaha
Lembaga Penyiaran.
(3) Pemerintah wajib mengkonsultasikan penataan alokasi frekuensi kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 21
Untuk memperhatikan jaminan keberlangsungan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2), Lembaga Penyiaran wajib menyiapkan:
a. infrastruktur Siaran dengan teknologi digital; dan
b. Isi Siaran untuk penyelenggaraan Penyiaran dengan teknologi digital.
Paragraf 3
Model Migrasi Analog Ke Digital
Pasal 22
Model migrasi analog ke digital dilakukan oleh:
a. RTRI;
b. LPS yang telah memiliki IPP; dan
8
c. LPK yang telah memiliki IPP.
Pasal 23
(1) RTRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a wajib mengelola dan
memanfaatkan frekuensi Penyiaran dengan teknologi digital yang
dimilikinya di setiap Wilayah Siar.
(2) Selain mengelola dan memanfaatkan frekuensi dengan teknologi digital
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), RTRI dapat melakukan kerja sama
dengan penyedia isi Siaran milik lembaga negara atau kementerian.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban RTRI dalam pengelolaan dan
pemanfaatan frekuensi Penyiaran dengan teknologi digital sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang.
Pasal 24
(1) LPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b wajib mengelola dan
memanfaatkan frekuensi Penyiaran dengan teknologi digital yang
dimilikinya di satu Wilayah Siar.
(2) Selain mengelola dan memanfaatkan frekuensi Penyiaran dengan teknologi
digital yang dimilikinya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPS wajib:
a. membayar biaya hak penggunaan frekuensi;
b. aktif melakukan Siaran; dan
c. menyiarkan peringatan dini bencana.
(3) Selain mengelola dan memanfaatkan frekuensi Penyiaran dengan teknologi
digital yang dimilikinya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPS dapat
membuka kesempatan kepada penyedia Isi Siaran di satu Wilayah Siar.
(3) Pengelolaan dan pemanfaatan frekuensi Penyiaran dengan teknologi digital
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan jangka waktu
paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(4) Perpanjangan pengelolaan dan pemanfaatan frekuensi Penyiaran dengan
teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan perizinan dalam Undang-Undang ini.
Paragraf 4
Wilayah Siar
Pasal 25
(1) Wilayah Siar ditentukan berdasarkan prinsip:
a. keberagaman kepemilikan;
b. keberagaman Isi Siaran; dan
c. antimonopoli.
(2) Wilayah Siar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:
a. letak geografis Wilayah Siar; dan
b.penyebaran penduduk di Wilayah Siar.
Paragraf 5
Penyelenggaraan Penyiaran dengan Teknologi Digital
Pasal 26
(1) Penyelenggaraan Penyiaran dengan teknologi digital jasa Penyiaran televisi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, dilakukan melalui
terestrial.
(2) LPS yang menyelenggarakan Penyiaran dengan teknologi digital selain
terestrial wajib menjadi LPB.
(3) Dalam hal LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menjadi LPB,
LPS dikenai sanksi adminisratif oleh Pemerintah berupa:
a. teguran tertulis;
9
b. denda; dan
c. pencabutan IPP.
Bagian Ketiga
Digitalisasi Jasa Penyiaran Radio
Paragraf 1
Umum
Pasal 27
(1) Digitalisasi jasa Penyiaran radio dilakukan secara alamiah.
(2) Digitalisasi secara alamiah sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1)
dilaksanakan melalui pilihan teknologi analog dan teknologi digital secara
bersamaan.
(3) Pilihan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh:
a. masyarakat; dan
b. Lembaga Penyiaran jasa Penyiaran radio.
(4) Pilihan teknologi yang dilaksanakan oleh Lembaga Penyiaran jasa
Penyiaran radio sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, dilakukan
dengan memperhatikan jaminan keberlangsungan usaha Lembaga
Penyiaran jasa Penyiaran radio.
Paragraf 2
Model Migrasi Analog ke Digital
Pasal 28
Model migrasi analog ke digital dilakukan oleh:
a. RTRI;
b. LPS yang telah memiliki IPP; dan
c. LPK yang telah memiliki IPP.
Pasal 29
(1) RTRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a wajib mengelola dan
memanfaatkan frekuensi Penyiaran dengan teknologi digital yang
dimilikinya di setiap Wilayah Siar.
(2) Selain mengelola dan memanfaatkan frekuensi dengan teknologi digital
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), RTRI dapat membuka kesempatan
kepada penyedia isi Siaran milik lembaga negara atau kementerian.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban RTRI dalam pengelolaan dan
pemanfaatan frekuensi Penyiaran dengan teknologi digital sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam undang-undang.
Pasal 30
(1) LPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b wajib mengelola dan
memanfaatkan frekuensi Penyiaran dengan teknologi digital yang
dimilikinya di satu Wilayah Siar.
(2) Selain mengelola dan memanfaatkan frekuensi Penyiaran dengan teknologi
digital yang dimilikinya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPS wajib:
a. membayar biaya hak penggunaan frekuensi;
b. aktif melakukan Siaran; dan
c. menyiarkan peringatan dini bencana.
(3) Selain mengelola dan memanfaatkan frekuensi Penyiaran dengan teknologi
digital yang dimilikinya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPS dapat
membuka kesempatan kepada penyedia Isi Siaran di satu Wilayah Siar.
10
(4) Pengelolaan dan pemanfaatan frekuensi Penyiaran dengan teknologi digital
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan jangka waktu
paling lama 5 (lima) tahun.
(5) Perpanjangan pengelolaan dan pemanfaatan frekuensi Penyiaran dengan
teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan perizinan dalam Undang-Undang ini.
Paragraf 3
Penyelenggaraan Penyiaran Dengan Teknologi Digital
Pasal 31
(1) Penyelenggaraan Penyiaran dengan teknologi digital jasa Penyiaran radio
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b, dilakukan melalui sistem
digital terestrial.
(2) Sistem digital terestrial sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan
berdasarkan pilihan teknologi dengan memperhatikan:
a. letak geografis; atau
b. kebutuhan masyarakat berdasarkan identifikasi program Siaran.
(3) Selain pilihan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sistem
digital terestrial dapat menggunakan pilihan teknologi yang sesuai dengan
perkembangan teknologi Penyiaran.
Pasal 32
(1) RTRI menggunakan pilihan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 ayat (2) dan ayat (3).
(2) LPS Jasa Penyiaran Radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b,
dapat memilih pilihan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
ayat (2) atau ayat (3).
(3) LPS yang memilih pilihan teknologi dengan memperhatikan letak geografis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a, tetap berada pada
frekuensi yang saat ini dipergunakan.
(4) Pilihan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memiliki karakter:
a. dapat menggunakan teknologi analog maupun digital secara bersamaan;
dan
b. dapat menggunakan semua jenis gelombang radio.
(5) LPS yang memilih pilihan teknologi dengan memperhatikan kebutuhan
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf b,
berada pada frekuensi baru yang ditentukan oleh Pemerintah.
(6) Pilihan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), memiliki karakter:
a. menggunakan teknologi digital; dan
b. menggunakan jenis gelombang radio frequency modulation (FM).
BAB VI
KPI
Bagian Kesatu
Kelembagaan
Pasal 33
(1) KPI berkedudukan di ibukota negara.
(2) KPI dapat membentuk perwakilan KPI di daerah.
(3) Perwakilan KPI di daerah sebagaimana dimaksud ayat (2) berkedudukan di
ibukota provinsi.
(4) KPI dengan perwakilan KPI di daerah memiliki hubungan yang bersifat
hierarkis.
11
Pasal 34
KPI berfungsi sebagai perwujudan hak masyarakat dalam mengatur Isi Siaran.
Pasal 35
(1) KPI dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34,
bertugas:
a. memberikan jaminan kepada masyarakat untuk memperoleh dan
menerima isi Siaran yang benar, sehat, layak, dan bermanfaat sesuai
dengan hak asasi manusia;
b. ikut mendukung perwujudan Sistem Penyiaran Nasional;
c. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah terhadap konsep Isi
Siaran yang diajukan oleh Lembaga Penyiaran dalam proses perizinan;
d. membangun iklim persaingan yang sehat terkait Isi Siaran antara
Lembaga Penyiaran;
e. meningkatkan dan mengembangkan profesionalitas Penyiaran;
f. mewadahi, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik
dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan Penyiaran; dan
g. mewadahi dan menindaklanjuti sengketa di bidang penyelenggaraan Isi
Siaran
(2) Perwakilan KPI di daerah bertugas:
a. melakukan pemantauan Isi Siaran di daerah;
b. mengedukasi publik dalam hal penerimaan Isi Siaran;
c. melakukan literasi media di daerah;
d. menerima keluhan masyarakat utk disampaikan kepada KPI; dan
e. melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh KPI.
Pasal 36
(1) Selain melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2), dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (1), KPI berwenang:
a. menyusun dan menetapkan P3;
b. menyusun dan menetapkan SPS;
c. memberikan masukan kepada Pemerintah dalam rangka penataan
Sistem Penyiaran Nasional mengenai Isi Siaran;
d. melakukan koordinasi dan/atau kerja sama dengan Pemerintah,
Lembaga Penyiaran, dan masyarakat;
e. memberikan hasil penilaian uji coba Siaran kepada Pemerintah terkait
Isi Siaran;
f. mengawasi Isi Siaran;
g. mengevaluasi program Siaran secara berkala sesuai dengan tujuan
Penyiaran;
h. melakukan audit terhadap pelaksanaan pemeringkatan tingkat
kepemirsaan yang diselenggarakan oleh lembaga pemeringkatan
mensosialisasikan P3 dan SPS;
i. membentuk panel ahli yang bersifat sementara terkait dengan
permasalahan dalam pengawasan Isi Siaran;
j. memanggil para pihak yang terlibat untuk didengar keterangannya
dalam rangka penyelesaian masalah Isi Siaran;
k. melakukan penelitian tentang materi dan/atau dampak Isi Siaran;
l. melakukan literasi media;
m. melakukan pembinaan terhadap insan Penyiaran;
n. melakukan pembinaan terhadap asosiasi pemerhati Isi Siaran;
o. memberikan sanksi administratif kepada Lembaga Penyiaran;
12
p. menetapkan besaran denda kepada Lembaga Penyiaran; dan
q. menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran.
(2) Perwakilan KPI di daerah berwenang:
a. mengawasi Isi Siaran di daerah;
b. melakukan sosialisasi P3 dan SPS di daerah;
c. menerima dan menyampaikan keluhan masyarakat terkait dengan Isi
Siaran di daerah kepada KPI; dan
d. melaksanakan kebijakan KPI di daerah.
Pasal 37
(1) Dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (3), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), dan Pasal 36
ayat (1) KPI diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(2) Dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (2), Pasal 35 ayat (2), dan Pasal 36 ayat (2) Perwakilan
KPI di daerah diawasi oleh KPI.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 38
Anggota KPI berjumlah 9 (sembilan) orang.
Anggota perwakilan KPI di daerah berjumlah paling banyak 5 (lima) orang.
Keanggotaan KPI dan perwakilan KPI di daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) terdiri dari unsur akademisi, praktisi, dan
masyarakat.
Masa jabatan anggota KPI dan perwakilan KPI di daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) selama 4 (empat) tahun dan dapat
dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Ketua dan wakil ketua KPI dan perwakilan KPI di daerah dipilih dari dan
oleh anggota.
Bagian Kedua
Persyaratan
Pasal 39
Untuk dapat diangkat menjadi calon anggota KPI dan Perwakilan KPI di
daerah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f. berpendidikan paling rendah Strata satu (S1) atau memiliki kompetensi
intelektual yang setara;
g. memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman dalam bidang Penyiaran;
h. memiliki kepedulian terhadap kegiatan di bidang Penyiaran;
i. bukan anggota lembaga legislatif dan lembaga yudikatif;
j. bukan pejabat pimpinan tinggi;
k. tidak sedang bekerja di Lembaga Penyiaran;
l. tidak menjadi anggota dan pengurus partai politik; dan
m. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
13
Bagian Ketiga
Pengangkatan, Pemberhentian, dan Penggantian Anggota KPI
Paragraf 1
Proses Pengangkatan Anggota KPI
Pasal 40
(1) Pemilihan
calon
anggota KPI dilakukan oleh Pemerintah dengan
membentuk panitia seleksi.
(2) Panitia seleksi mengumumkan secara terbuka pendaftaran calon anggota
KPI paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak dibentuknya panitia seleksi.
(3) Panitia seleksi mengusulkan 27 (dua puluh tujuh) nama calon anggota KPI
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk mengikuti uji
kepatutan dan kelayakan secara terbuka.
Pasal 41
(1) Calon anggota KPI dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia melalui uji kepatutan dan kelayakan untuk memperoleh jumlah
anggota KPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1).
(2) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menetapkan 9 (sembilan)
nama peringkat teratas dari 27 (dua puluh tujuh) nama calon anggota KPI.
(3) Calon anggota KPI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya
diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai anggota KPI.
Pasal 42
(1) Jika jumlah calon anggota KPI yang didapat melalui uji kelayakan dan
kepatutan tidak sesuai dengan jumlah yang dimaksud dalam Pasal 41 ayat
(2), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib melakukan uji
kelayakan dan kepatutan kembali sampai dengan jumlah anggota KPI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) terpenuhi.
(2) Calon anggota KPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selanjutnya
diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai anggota KPI.
Paragraf 2
Pemberhentian Anggota KPI
Pasal 43
(1)
(2)
Anggota KPI diberhentikan dengan hormat sebelum habis masa
jabatannya jika:
a. meninggal dunia;
b. sakit jasmani dan rohani secara terus menerus selama 3 (tiga) bulan
sehingga tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai anggota KPI; atau
c. mengundurkan diri setelah mendapat persetujuan dari Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian dengan hormat Anggota
KPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan KPI.
Pasal 44
(1)
Anggota KPI diberhentikan dengan tidak hormat sebelum habis masa
jabatannya jika:
a. melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
14
(2)
c. terbukti terkait langsung atau tidak langsung dengan kepemilikan dan
pengelolaan Lembaga Penyiaran;
d. menduduki jabatan pimpinan tinggi;
e. menduduki jabatan publik di tempat lain;
f. melakukan pelanggaran Kode Etik KPI;
g. menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik;
h. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40; dan/atau
i. kinerjanya rendah.
DPR merekomendasikan kepada Presiden mengenai pemberhentian
dengan tidak hormat Anggota KPI.
Paragraf 3
Penggantian Anggota KPI
Pasal 45
Jika anggota KPI berhenti sebelum habis masa jabatannya karena alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan Pasal 44, yang bersangkutan
digantikan oleh anggota pengganti sampai habis masa jabatannya.
Pasal 46
Anggota pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berasal dari nama
calon anggota KPI peringkat berikutnya setelah nama peringkat teratas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2).
Pasal 47
Anggota pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ditetapkan oleh
Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Bagian Keempat
Pengangkatan, Pemberhentian, dan Penggantian Anggota Perwakilan KPI di
Daerah
Pasal 48
Pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota perwakilan KPI di
daerah dilakukan dan ditetapkan oleh KPI.
Bagian Kelima
Pembiayaan
Pasal 49
(1) Sumber pembiayaan KPI dan perwakilan KPI di daerah berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Selain sumber pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPI dan
perwakilan KPI di daerah dapat menerima hibah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
15
Bagian Keenam
Aset
Pasal 50
(1) Aset KPI berasal dari aset KPI yang telah dimiliki.
(2) Selain aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPI dapat menerima
hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketujuh
Sistem Pendukung
Pasal 51
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang KPI dan KPI
daerah dibentuk kesekretariatan KPI dan kesekretariatan perwakilan KPI di
daerah.
Pasal 52
(1) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang KPI dan
perwakilan KPI di daerah dibentuk divisi pemantau Isi Siaran dan divisi
analis Isi Siaran Lembaga Penyiaran.
(2) Tim pemantau Isi Siaran dan tim analis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menjalankan tugas dan fungsinya serta bertanggungjawab kepada
pimpinan KPI.
Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, tugas, wewenang
kesekretariatan KPI, kesekretariatan perwakilan KPI di daerah, divisi
pemantau Isi Siaran dan divisi analis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
dan Pasal 52 diatur dengan Peraturan KPI.
Bagian Kedelapan
Pertanggungjawaban
Pasal 54
Dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 34, Pasal 35 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1), KPI
menyampaikan laporan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.
Pasal 55
Dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (2), perwakilan KPI di daerah
menyampaikan laporan kepada KPI.
Bagian Kesembilan
Kode Etik
Pasal 56
(1) KPI menetapkan kode etik KPI.
16
(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk
mengarahkan para anggota KPI atau perwakilan KPI di daerah untuk
bertanggung
jawab
dalam
menjalankan
kewajiban
dan
tidak
menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaannya.
(3) Kode etik KPI harus diumumkan kepada masyarakat dan Lembaga
Penyiaran.
(4) KPI membentuk dewan kehormatan untuk mengawasi pelaksanaan kode
etik paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak periode keanggotaan KPI
ditetapkan.
(5) Dewan kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir masa
jabatannya pada saat dibentuknya dewan kehormatan yang baru.
(6) Dewan kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berjumlah 3 (tiga)
orang yang terdiri dari:
a. 1 (satu) orang dari unsur akademisi;
b. 1 (satu) orang dari unsur Pemerintah; dan
c. 1 (satu) orang dari unsur masyarakat.
(7) Dalam hal terdapat dugaan pelanggaran kode etik, dewan kehormatan
wajib mempelajari dan menindaklanjutinya.
(8) Dalam hal ditemukan pelanggaran kode etik, dewan kehormatan
memberikan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara; dan/atau
c. pemberhentian tetap.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dewan
kehormatan dan tata beracara penegakan kode etik KPI diatur dengan
Peraturan KPI.
Bagian Kesepuluh
Penelitian
Pasal 57
(1) KPI melakukan penelitian mengenai:
a. peringkat materi Isi Siaran; dan
b. dampak materi Isi Siaran.
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan KPI
dengan mengikutsertakan perguruan tinggi, pemerintah, lembaga
penelitian/survey, dan/atau pemerintah daerah di seluruh Indonesia.
BAB VII
P3 DAN SPS
Bagian Kesatu
P3
Pasal 58
(1) P3 bagi penyelenggaraan Siaran ditetapkan oleh KPI.
(2) P3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun dan bersumber pada:
a. nilai agama, moral, dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
b. norma lain yang berlaku dan diterima oleh masyarakat umum dan
lembaga Penyiaran.
(3) KPI wajib menerbitkan dan mensosialisasikan P3 kepada Lembaga
Penyiaran dan masyarakat umum.
17
(4) P3 dibentuk dalam rangka membangun profesionalitas insan Penyiaran.
(5) KPI memfasilitasi pembentukan kode etik Penyiaran.
Pasal 59
KPI secara berkala menilai P3 sesuai dengan perkembangan norma yang
berlaku dalam masyarakat.
Pasal 60
(1) KPI mengawasi pelaksanaan P3 di Lembaga Penyiaran.
(2) KPI menerima dan menindaklanjuti aduan dari setiap orang atau
kelompok yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap P3.
(3) KPI meneruskan aduan kepada Lembaga Penyiaran yang diadukan dan
memberikan kesempatan hak jawab.
(4) KPI menyampaikan secara tertulis hasil evaluasi dan penilaian kepada
pihak yang mengajukan aduan dan Lembaga Penyiaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5) Lembaga Penyiaran wajib menaati hasil evaluasi dan penilaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Bagian Kedua
SPS
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 61
SPS bagi penyelenggaraan Siaran ditetapkan oleh KPI.
SPS berisikan panduan kelayakan Isi Siaran yang wajib dipatuhi Lembaga
Penyiaran.
Selain wajib dipatuhi oleh Lembaga Penyiaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), SPS wajib dipatuhi oleh pengisi Siaran.
SPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk melindungi kepentingan
masyarakat, menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain, sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama,
dan ketertiban umum.
Penyusunan
SPS
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1),
mempertimbangkan masukan dari para pemangku kepentingan.
Pasal 62
(1) SPS sebagaimana dimaksud pada Pasal paling sedikit memuat panduan
kelayakan isi Siaran mengenai:
a. menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa;
b. menjaga kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. penghormatan atas suku, budaya, agama, ras, dan antargolongan
serta budaya;
d. penghormatan terhadap kesopanan, kepantasan, dan kesusilaan;
e. penghormatan terhadap hak privasi dan pribadi;
f. perlindungan terhadap hak anak, remaja, perempuan, kelompok
masyarakat minoritas dan terpinggirkan;
g. penghormatan atas lambang negara;
h. kewajiban netralitas;
i. kewajiban Lembaga Penyiaran untuk menyiarkan siaran jajak
pendapat, hitung cepat, dan pemilihan umum legislatif, pemilihan
umum presiden, dan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota secara
adil dan berimbang;
j. penegakan etika jurnalistik;
k. penegakan etika periklanan;
l. bahasa;
18
m. teks dan sulih suara dalam Siaran berbahasa asing;
n. penataan jam siar sesuai dengan klasifikasi usia khalayak;
o. program faktual dan nonfaktual;
p. blocking time;
q. penempatpaduan produk;
r. relai Siaran asing;
s. hak siar;
t. ralat dan hak jawab isi Siaran; dan
u. arsip isi Siaran.
(2) Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), SPS memuat pembatasan mengenai:
a. isi Siaran terkait narkotika, psikotropika, dan zat adiktif, alkohol, dan
perjudian;
b. isi Siaran terkait rokok; dan
c. penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
(3) Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan pembatasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), SPS memuat larangan
mengenai:
a. penayangan suatu profesi atau tokoh yang memiliki perilaku atau
gaya hidup negatif yang berpotensi ditiru oleh masyarakat;
b. penayangan aksi kekerasan dan/atau korban kekerasan;
c. penayangan informasi yang terkait dengan kepentingan keamanan
dan keselamatan masyarakat;
d. penayangan Siaran yang mengandung unsur mistik;
e. penayangan Siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual,
biseksual, dan transgender;
f. penayangan program Siaran pengobatan supranatural;
g. penayangan rekayasa negatif informasi hiburan;
h. menyampaikan Isi Siaran yang secara subjektif menyangkut
kepentingan politik yang berhubungan dengan pemilik dan/atau
pengelola Lembaga Penyiaran; dan
i. pencemaran nama baik.
Pasal 63
(1) SPS berlaku untuk seluruh Wilayah Siar di Indonesia.
(2) Perwakilan KPI di daerah dapat mengusulkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada KPI.
penambahan
SPS
Pasal 64
(1) Dalam rangka melaksanakan P3 dan SPS, KPI menyusun P3SPS.
(2) P3SPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi secara berkala oleh
KPI sesuai dengan perkembangan masyarakat dan industri Penyiaran.
Pasal 65
(1) Pelanggaran atas SPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dikenai
sanksi administratif oleh KPI berupa:
a. teguran tertulis;
b. pemindahan jam tayang;
c. pengurangan durasi isi Siaran yang bermasalah;
d. pengaturan penggantian judul dan/atau alur cerita;
e. penghentian sementara isi Siaran yang bermasalah;
f. denda yang besarannya ditetapkan melalui Peraturan KPI; dan/atau
g. penghentian Isi Siaran yang bermasalah.
(2) Pengisi Siaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (3) yang
melanggar SPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dikenai sanksi
teguran oleh KPI.
19
Pasal 66
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dilaksanakan
secara transparan dan bertanggung jawab.
(2) Sebelum sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
huruf b sampai dengan huruf g diberikan, Lembaga Penyiaran diberi
kesempatan untuk menjelaskan dan berhak untuk mengajukan keberatan.
Bagian Kedua
Pelanggaran dan Sengketa
Paragraf 1
Pelanggaran
Pasal 67
KPI melaksanakan pemeriksaan pelanggaran SPS yang dilakukan oleh
Lembaga Penyiaran berdasarkan:
a. temuan dari pengawasan KPI terhadap pelaksanaan SPS; dan/atau
b. pengaduan orang atau kelompok masyarakat.
Pasal 68
(1) Pemeriksaan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67
dilakukan melalui proses yang transparan dan bertanggung jawab.
(2) KPI melakukan verifikasi setiap aduan kepada pengadu dan materi Isi
Siaran.
(3) Verifikasi terhadap materi Isi Siaran dilakukan berdasarkan hasil
pemantauan dan analisis Isi Siaran.
(4) KPI dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat membentuk panel ahli.
(5) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memanggil narasumber dari Isi Siaran yang bermasalah dan/atau
Lembaga Penyiaran yang melakukan pelanggaran.
Pasal 69
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan pelanggaran SPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dan Pasal 68 diatur dengan Peraturan
KPI.
Paragraf 2
Sengketa
Pasal 70
(1) Untuk menyelesaikan sengketa di bidang Isi Siaran KPI dapat membentuk
tim panel ahli.
(2) Tim panel ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat tetap.
(3) Tim panel ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah 5 (lima)
orang.
(4) Tim panel ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur
akademisi dan masyarakat yang memiliki keahlian dan/atau kompetensi di
bidang Isi Siaran.
20
(5) Tim panel ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk
memeriksa, meneliti, dan menangani sengketa di bidang Isi Siaran.
(6) Hasil pemeriksaan tim panel ahli disampaikan kepada KPI berupa
rekomendasi yang bersifat kolektif kolegial.
(7) Sumber pembiayaan tim panel ahli berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
Pasal 71
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian sengketa di bidang Isi
Siaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 diatur dengan Peraturan KPI.
BAB VIII
LEMBAGA PENYIARAN
Bagian Kesatu
LPP
Pasal 72
(1) LPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a merupakan
lembaga negara penyelenggara Penyiaran publik yang bersifat independen,
netral, nirlaba, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan
masyarakat, dan negara.
(2) LPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah RTRI yang stasiun pusat
penyiarannya berada di ibukota negara Republik Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai RTRI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Undang-Undang.
Bagian Kedua
LPS
Paragraf 1
Persyaratan Pendirian
Pasal 73
(1) Pendirian LPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. didirikan oleh warga negara Indonesia;
b. berbentuk badan hukum Indonesia;
c. bidang usahanya menyelenggarakan jasa Penyiaran radio dan/atau
jasa Penyiaran televisi;
d. seluruh modal awal usahanya dimiliki oleh warga negara Indonesia
dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh sahamnya dimiliki
oleh warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
e. memenuhi jumlah minimal modal dasar sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan
pengembangan usaha dengan menyelenggarakan jasa Penyiaran melalui
internet.
21
Paragraf 2
Sumber Pendapatan
Pasal 74
Sumber pendapatan LPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf
b terdiri dari:
a. Siaran Iklan komersial; dan/atau
b. usaha lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Paragraf 3
Direksi dan Komisaris
Pasal 75
(1) Pimpinan badan hukum LPS bertanggung jawab secara umum atas
penyelenggaraan Penyiaran.
(2) Pimpinan badan hukum LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
menunjuk penanggung jawab untuk setiap Program Siaran yang disiarkan.
(3) Pembatasan dilakukan terhadap warga negara asing yang menjadi
komisaris dan direksi LPS.
(4) Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a. jumlah komisaris dan direksi yang berasal dari warga negara asing;
dan
b. kewenangan komisaris dan direksi yang berasal dari warga negara
asing.
(5) Pembatasan jumlah komisaris dan direksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) huruf a paling banyak berjumlah 2 (dua) orang untuk setiap
jabatan.
(6) Pembatasan kewenangan komisaris dan direksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) huruf b, yaitu komisaris dan direksi tidak dapat mengambil
dan memutuskan kebijakan strategis perusahaan.
Paragraf 4
Sistem Siaran Jaringan
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 76
LPS memancarteruskan Siaran ke lebih dari satu Wilayah Siar dapat
melalui SSJ.
LPS yang berada pada Wilayah Siar yang juga mencakup wilayah
perbatasan dengan negara tetangga wajib menjangkau Siaran hingga ke
wilayah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
SSJ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan memancarteruskan
Isi Siaran melalui:
a. LPS kepada stasiun perwakilan di daerah; dan/atau
b. LPS kepada LPS lain di wilayah siar yang lain.
Memancarteruskan Isi Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan secara tetap pada jam Siaran tertentu.
Pasal 77
Stasiun perwakilan di daerah dan LPS lain di Wilayah Siar yang lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) huruf a dan huruf b harus
memuat dan menyajikan muatan siaran lokal paling sedikit 10% (sepuluh
persen) dari keseluruhan jam Siaran setiap hari.
22
Paragraf 5
Penambahan dan Pengembangan Modal
Pasal 78
Penambahan dan pengembangan modal bagi LPS berlaku bagi:
a. badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas tertutup; atau
b. badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas terbuka.
Pasal 79
Penambahan modal yang berasal dari penanaman modal dalam negeri
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 80
(1) LPS dapat menambah dan mengembangkan modal yang berasal dari
modal asing dengan jumlah tidak lebih dari 20% (dua puluh persen) dari
seluruh modal dasar dan paling rendah dimiliki oleh 2 (dua) orang
pemegang saham dan tidak sebagai pemegang saham pengendali.
(2) Penambahan dan pengembangan modal asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
Pasal 81
(1) Penambahan dan pengembangan modal asing LPS yang badan hukumnya
berbentuk perseroan terbatas tertutup, jumlah kepemilikan saham paling
tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) oleh warga negara asing dan/atau
badan hukum asing dapat diperoleh melalui investasi langsung dan tidak
sebagai pemegang saham pengendali.
(2) Penambahan dan pengembangan modal asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 82
(1) Penambahan dan pengembangan modal asing LPS yang badan hukumnya
berbentuk perseroan terbatas terbuka, jumlah kepemilikan saham paling
tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) oleh warga negara asing dan/atau
badan hukum asing dapat diperoleh melalui pasar modal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penambahan dan pengembangan modal asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dapat menjadi pemegang saham pengendali.
Pasal 83
(1) Setiap perubahan kepemilikan saham baik langsung maupun tidak
langsung yang menyebabkan terjadinya perubahan saham pengendali
pada LPS wajib melaporkan perubahannya kepada Pemerintah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
sanksi administratif oleh Pemerintah berupa:
a. teguran tertulis;
b. penolakan perpanjangan IPP; dan/atau
c. pencabutan IPP.
23
Pasal 84
LPS memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham
perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
LPB
Paragraf 1
Umum
Pasal 85
(1) LPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c merupakan
Lembaga Penyiaran yang bersifat komersial, berbentuk badan hukum
perseroan terbatas, didirikan di Indonesia, dan bidang usahanya berupa
penyelenggaraan jasa Penyiaran radio dan jasa Penyiaran televisi melalui
pembayaran berlangganan.
(2) LPB memancarluaskan dan/atau menyalurkan isi Siaran hanya kepada
pelanggan.
(3) Dalam menyelenggarakan Siaran, LPB wajib:
a. menyediakan kapasitas kanal saluran untuk menyalurkan program dari
LPP; dan
b. menyediakan 1 (satu) kanal saluran Siaran produksi dalam negeri
berbanding 10 (sepuluh) Siaran produksi luar negeri atau paling sedikit
1 (satu) kanal saluran Siaran produksi dalam negeri jika jumlah kanal
saluran Siaran kurang dari 10 (sepuluh).
Paragraf 2
Persyaratan Pendirian
Pasal 86
(1) Pendirian LPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c
harus memenuhi syarat:
a. didirikan oleh warga negara Indonesia;
b. berbentuk badan hukum perseroan terbatas; dan
c. seluruh modal awal usahanya dimiliki oleh warga negara Indonesia
dan/atau badan hukum Indonesia.
(2) LPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan
pengembangan usaha dengan menyelenggarakan jasa Penyiaran melalui
internet.
Paragraf 3
Kelembagaan
Pasal 87
Penyelenggaraan Penyiaran dengan teknologi digital yang dilakukan oleh LPB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c terdiri atas:
a. LPB melalui satelit;
b. LPB melalui kabel;
c. LPB melalui teresterial; dan/atau
d. LPB melalui internet.
24
Paragraf 4
Wilayah Layanan Siaran
Pasal 88
(1) LPB melalui satelit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf a, wajib
memenuhi ketentuan wilayah layanan Siaran sebagai berikut:
a. memiliki jangkauan Siaran yang dapat diterima di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
b. memiliki stasiun pengendali Siaran yang berlokasi di Indonesia;
c. memiliki stasiun pemancar ke satelit yang berlokasi di Indonesia; dan
d. menggunakan satelit yang mempunyai hak pemancaran atau hak labuh
di Indonesia.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi administratif oleh Pemerintah berupa:
a. teguran tertulis;
b. penolakan perpanjangan IPP; dan/atau
c. pencabutan IPP.
Pasal 89
(1) LPB yang menggunakan kabel dan/atau teresterial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 87 huruf b dan huruf c dalam menyalurkan isi Siaran wajib
memenuhi ketentuan wilayah layanan Siaran sebagai berikut:
a. memiliki jangkauan Siaran meliputi 1 (satu) atau beberapa provinsi;
b. memiliki stasiun pengendali Siaran yang berlokasi di Indonesia;
c. memiliki head end yang berlokasi di Indonesia; dan
d. menerima program Siaran asing dari satelit yang mempunyai hak
pemancaran atau hak labuh di Indonesia.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi administratif oleh Pemerintah berupa:
a. teguran tertulis;
b. penolakan perpanjangan IPP; dan/atau
c. pencabutan IPP.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 90
Selain wilayah layanan Siaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dan
Pasal 89, LPB dalam rangka pengembangan usaha dapat melakukan kerja
sama dengan badan hukum yang berfungsi menyebarluaskan Siaran pada
Wilayah Siaran terbatas.
Wilayah layanan Siaran terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilaporkan kepada Pemerintah.
Badan hukum yang berfungsi menyebarluaskan Siaran pada Wilayah
Siaran terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan
penambahan Isi Siaran sesuai kesepakatan dengan LPB.
Penambahan Isi Siaran sesuai kesepakatan dengan LPB sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) wajib dilaporkan kepada KPI.
Dalam hal badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang akan menyelenggarakan
Siaran di wilayah layanan Siaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88
ayat (1) dan Pasal 89 ayat (1) wajib menjadi LPB yang ketentuan
pendiriannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86.
Paragraf 5
Sumber Pendapatan
25
Pasal 91
Sumber pendapatan LPB berasal dari:
a. uang jasa layanan berlangganan;
b. Siaran Iklan komersial; dan/atau
c. usaha lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Paragraf 6
Isi Siaran
Pasal 92
(1) Dalam menyelenggarakan Siaran, LPB wajib:
a. sesuai dengan SPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62;
b. memancarteruskan program LPP;
c. menyediakan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk program dari
LPS; dan
d. melakukan kerja sama dengan LPS sebagai penyedia Isi Siaran;
(2) LPB dilarang menyalurkan Isi Siaran yang terindikasi membahayakan
kepentingan bangsa dan negara serta mengancam keamanan nasional.
(3) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai
sanksi administratif oleh KPI berupa pelarangan penayangan Isi Siaran
yang bermasalah.
(4) LPB dilarang:
a. menyiarkan dan/atau menyalurkan Isi Siaran yang bertentangan
dengan nilai kesusilaan; dan
b. menyiarkan dan/atau menyalurkan Isi Siaran yang terindikasi
mengandung unsur pornografi, sadis, serta mempertentangkan suku,
agama, ras, dan antar golongan.
(5) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai
sanksi administratif oleh KPI berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda yang besarannya ditetapkan melalui Peraturan KPI;
c. penghentian sementara isi Siaran yang bermasalah; dan/atau
d. penghentian isi Siaran yang bermasalah.
(6) LPB wajib melakukan sensor internal terhadap Isi Siaran yang akan
disiarkan dan/atau disalurkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(7) Dalam menyelenggarakan Siaran, LPB melengkapi pelanggan dengan
peralatan yang memungkinkan pelanggan untuk menutup kanal yang
tidak diinginkan.
Pasal 93
(1) LPB dilarang menjadikan Program Siaran yang digemari masyarakat luas
menjadi hak eksklusif Penyiaran berbayar tersebut dengan menutup akses
bagi masyarakat luas untuk menikmati program tersebut melalui Lembaga
Penyiaran non-berbayar.
(2) Pelanggaran atas ketentuan pada ayat (1) dikenai sanksi administratif oleh
KPI berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda yang besarannya ditetapkan melalui Peraturan KPI;
c. penghentian sementara isi Siaran yang bermasalah; dan/atau
d. penghentian isi Siaran yang bermasalah.
Pasal 94
Isi Siaran LPB dilarang disebarluaskan secara komersial oleh pelanggan atau
pihak lain.
26
Paragraf 7
Penambahan dan Pengembangan Modal
Pasal 95
Penambahan dan pengembangan modal bagi LPB berlaku bagi:
a. badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas tertutup; atau
b. badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas terbuka.
Pasal 96
Penambahan modal yang berasal dari penanaman modal dalam negeri
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 97
LPB dapat menambah dan mengembangkan modal yang berasal dari modal
asing dengan jumlah tidak lebih dari 20% (dua puluh persen) dari seluruh
modal dasar dan paling rendah dimiliki oleh 2 (dua) orang pemegang saham
dan bukan sebagai pemegang saham pengendali.
Pasal 98
(1) LPB yang badan hukumnya berbentuk perseroan terbatas tertutup, jumlah
kepemilikan saham sebesar 20% (dua puluh persen) oleh warga negara
asing dan/atau badan hukum asing dapat diperoleh melalui investasi
langsung dan bukan sebagai pemegang saham pengendali.
(2) Kepemilikan saham pada LPB melalui investasi langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Kepemilikan saham oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menjadi pemegang saham
pengendali.
Pasal 99
(1) LPB yang badan hukumnya berbentuk perseroan terbatas terbuka, jumlah
kepemilikan saham sebesar 20% (dua puluh persen) oleh warga negara
asing dan/atau badan hukum asing dapat diperoleh melalui pasar modal
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kepemilikan saham oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menjadi pemegang saham
pengendali.
Pasal 100
LPB yang badan hukumnya berbentuk perseroan terbatas terbuka
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1) dapat mencatatkan seluruh
sahamnya di pasar modal dengan pembatasan kepemilikan warga negara asing
dan/atau badan hukum asing dari keseluruhan saham yang dicatatkan paling
banyak 20% (dua puluh persen) dari jumlah modal dasar.
27
Pasal 101
(1) Setiap perubahan kepemilikan saham baik langsung maupun tidak
langsung yang menyebabkan terjadinya perubahan saham pengendali pada
LPB wajib melaporkan perubahannya kepada Pemerintah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelanggaran atas ketentuan pada ayat (1) dikenai sanksi administratif oleh
Pemerintah berupa:
a. teguran tertulis; dan/atau
b. tidak diberi perpanjangan IPP.
Pasal 102
LPB memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham
perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
LPK
Pasal 103
(1) LPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d berbentuk
badan hukum Indonesia yang bertujuan untuk melayani kepentingan
komunitasnya.
(2) LPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan untuk:
a. mendidik dan memajukan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan
dengan melaksanakan program acara yang meliputi budaya,
pendidikan, dan informasi yang menggambarkan identitas bangsa;
b. mendorong partisipasi komunitas dalam menyelesaikan permasalahan
komunitas dan terlibat aktif dalam proses pengambilan kebijakan
publik di tingkat komunitas;
c. mendorong peningkatan kapasitas ekonomi masyarakat komunitas;
d. memelihara dan mengembangkan kearifan dan kompetensi komunitas;
e. menumbuhkembangkan sarana ekspresi budaya komunitas dengan
semangat multikulturalisme; dan/atau
f. menyiarkan sosialisasi pembangunan daerah.
(3) LPK merupakan komunitas nonpartisan yang keberadaan organisasinya:
a. tidak mewakili organisasi atau lembaga asing serta bukan komunitas
internasional;
b. tidak untuk kepentingan partai politik dan/atau organisasi politik
tertentu; dan
c. tidak untuk kepentingan propaganda bagi kelompok atau golongan
tertentu serta organisasi terlarang.
(4) LPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan pengembangan
usaha dengan menyelenggarakan jasa Penyiaran melalui konvergensi
media.
Pasal 104
(1) LPK didirikan dengan kontribusi komunitas dan menjadi milik komunitas
tersebut.
(2) Sumber pembiayaan LPK berasal dari:
a. iuran anggota komunitas; dan/atau
28
b. sumbangan, hibah, iklan layanan masyarakat, atau sumber lain yang
sah sepanjang tidak mengikat dan/atau tidak mempengaruhi isi siaran
komunitas.
Pasal 105
(1) LPK dilarang menerima bantuan dana awal mendirikan dan dana
operasional dari pihak asing dalam bentuk apapun.
(2) Pelanggaran atas bantuan dana awal mendirikan dan dana operasional
dari pihak asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
administratif oleh Pemerintah berupa:
a. teguran tertulis;
b. penolakan IPP;
c. penolakan perpanjangan IPP; dan/atau
d. pencabutan IPP.
Pasal 106
LPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d dapat
memancarluaskan Siaran melalui SSJ LPK.
Bagian Kelima
Lembaga Penyiaran Asing
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 107
Lembaga penyiaran asing dilarang didirikan di Indonesia.
Lembaga penyiaran asing dan kantor penyiaran asing yang akan
melakukan kegiatan jurnalistik di Indonesia, baik yang disiarkan secara
langsung maupun dalam rekaman, harus memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
KPI dapat memberikan masukan terkait dengan pedoman kegiatan
peliputan lembaga penyiaran asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman kegiatan peliputan lembaga
penyiaran asing disusun oleh Pemerintah.
Pasal 108
Lembaga Penyiaran dapat melakukan kerja sama dengan Lembaga
Penyiaran asing.
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan oleh:
a. LPP;
b. LPS; dan
c. LPK.
Lembaga penyiaran asing dapat melakukan kerja sama dengan badan
hukum Indonesia untuk membentuk LPS.
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib dilaporkan kepada
Pemerintah mengenai kelembagaan, permodalan, dan perangkat teknik.
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib dilaporkan kepada
KPI mengenai rencana program siaran.
BAB IX
PERIZINAN
Bagian Kesatu
Umum
29
Pasal 109
(1) Pemerintah wajib menginformasikan peluang usaha berupa ketersediaan
alokasi frekuensi Penyiaran setiap tahun secara terbuka.
(2) Setiap pendirian dan penyelenggaraan Penyiaran wajib memenuhi
ketentuan rencana dasar teknik Penyiaran dan persyaratan teknis
perangkat Penyiaran.
(3) Rencana dasar teknik Penyiaran dan persyaratan teknis perangkat
Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(4) Rencana dasar teknik Penyiaran dan persyaratan teknis perangkat
Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dievaluasi dan diperbarui
oleh Pemerintah.
(5) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan pada saat
perpanjangan izin.
(6) Selain dilakukan pada saat perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dalam
hal Lembaga Penyiaran tidak bersiaran dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) bulan.
(7) Rencana dasar teknik Penyiaran dan persyaratan teknis perangkat
sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) digunakan untuk perizinan
penyelenggaraan Penyiaran
(8) Pendirian dan penyelenggaraan Penyiaran yang tidak memenuhi ketentuan
rencana dasar teknik Penyiaran dan persyaratan teknis perangkat
Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diberikan IPP.
(9) Dalam hal penyelenggaraan Penyiaran tidak memenuhi ketentuan rencana
dasar teknik Penyiaran dan persyaratan teknis perangkat Penyiaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), IPP Lembaga Penyiaran dicabut oleh
Pemerintah.
Bagian Kedua
Mekanisme Perizinan
Pasal 110
Lembaga Penyiaran dalam menyelenggarakan jasa Penyiaran radio dan jasa
Penyiaran televisi di setiap Wilayah Siar wajib memiliki IPP.
Pasal 111
(1) Mekanisme pemberian IPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110
dilakukan dengan memperhatikan prinsip:
a. sederhana;
b. transparan dan akuntabel;
c. adil dan tidak diskriminatif; dan
d. waktu yang singkat.
(2) IPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui mekanisme
evaluasi dan seleksi.
Pasal 112
(1) IPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 diberikan oleh Pemerintah.
(2) IPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat alokasi dan penggunaan
spektrum frekuensi radio serta penyelenggaraan penyiaran.
(3) Syarat pengajuan IPP wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. berbadan hukum;
b. mengajukan rencana alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio;
30
c. mencantumkan visi, misi, dan program Siaran yang akan
diselenggarakan;
d. mencantumkan penjelasan tentang kecukupan modal selama 1 (satu)
tahun, kesiapan infrastruktur Penyiaran, dan sumber daya;
e. memproduksi dan menayangkan hasil program acara Siaran dan Isi
Siaran selama uji coba Siaran; dan
f. melakukan uji coba Siaran.
(4) Pengajuan permohonan perizinan disampaikan Pemohon kepada
Pemerintah.
(5) Pemerintah
melakukan
penilaian
berkas
permohonan
perizinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung
sejak diterimanya berkas permohonan perizinan.
(6) Pemerintah wajib menyampaikan berkas permohonan perizinan terkait
dengan program siaran kepada KPI paling lambat 1 (satu) bulan terhitung
sejak diterimanya berkas permohonan perizinan dari Pemohon.
(7) KPI menyampaikan evaluasi terkait program Siaran kepada pemerintah
paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya berkas
permohonan perizinan dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(6).
(8) Pemerintah memberikan IPP sementara kepada Pemohon sebagai dasar
untuk melakukan uji coba Siaran.
(9) Keputusan tentang pemberian atau penolakan IPP sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dikeluarkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja terhitung sejak berkas permohonan izin diterima oleh Pemerintah.
(10) Setelah memperoleh IPP sementara, Pemohon wajib melakukan uji coba
Siaran dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Bagian Ketiga
Uji Coba Siaran dan Pemberian IPP
Paragraf 1
Uji Coba Siaran
Pasal 113
(1) Uji coba Siaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (6) dilakukan
penilaian oleh KPI dengan memperhatikan:
a. kesesuaian Isi Siaran dengan program Siaran, hasil produksi, dan Isi
Siaran;
b. kesiapan penyelenggaraan Penyiaran; dan
c. batas jangka waktu uji coba Siaran.
(2) Dalam masa uji coba Siaran, Pemohon dilarang:
a. mengubah susunan kepemilikan saham;
b. memindahtangankan keputusan tentang pemberian IPP sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (4) kepada pihak lain;
c. menyelenggarakan iklan dan/atau kegiatan komersial Penyiaran; atau
d. menggunakan frekuensi radio yang tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) KPI memberikan hasil penilaian uji coba Siaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) kepada Pemerintah sebagai pertimbangan pemberian
keputusan IPP.
(4) Infrastruktur Penyiaran yang digunakan pada uji coba Siaran merupakan
infrastruktur Penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3)
huruf d.
Paragraf Kedua
Pemberian IPP
31
(1)
(2)
Pasal 114
Pemerintah memberikan IPP kepada Lembaga Penyiaran yang memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3).
Masa berlaku IPP untuk Lembaga Penyiaran sebagai berikut:
a. 10 (sepuluh) tahun untuk LPP televisi dan LPS televisi;
b. 5 (lima) tahun untuk LPP radio dan LPS radio;
c. 10 (sepuluh) tahun untuk LPB; dan
d. 5 (lima) tahun untuk LPK.
Pasal 115
(1) LPS yang melakukan SSJ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3)
huruf a diberikan 1 (satu) IPP oleh Pemerintah.
(2) LPS di Wilayah Siar yang melakukan SSJ sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76 ayat (3) huruf b masing-masing diberikan IPP oleh Pemerintah.
Pasal 116
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pengalihan kepemilikan Lembaga Penyiaran tidak secara langsung
mengalihkan IPP kepada pemilik Lembaga Penyiaran yang baru.
Pemilik Lembaga Penyiaran yang lama wajib mengembalikan IPP kepada
Pemerintah dalam hal pemindahtanganan kepemilikan saham 51% (lima
puluh satu persen) atau lebih.
Pemilik Lembaga Penyiaran yang baru harus mengajukan permohonan
IPP kepada Pemerintah sesuai dengan syarat pengajuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pemohon IPP yang telah memiliki saham 51% (lima puluh satu persen)
atau lebih sebagaimana dimaksud ayat (2) wajib mengajukan
permohonan IPP kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
112.
Pelanggaran atas ketentuan ayat (3) dikenai sanksi administratif oleh
Pemerintah berupa tidak diberikannya IPP.
Pasal 117
(1) Lembaga Penyiaran dilarang memindahtangankan IPP sebelum berakhirnya
masa berlaku IPP pada periode pertama.
(2) Lembaga Penyiaran dilarang memindahtangankan IPP kepada pihak lain
dengan mengatasnamakan badan hukum yang sama.
(3) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (4) dikenai sanksi administratif oleh Pemerintah berupa:
a. teguran tertulis;
b. penolakan perpanjangan IPP; dan/atau
c. pencabutan IPP.
Pasal 118
(1) IPP dicabut oleh Pemerintah jika Lembaga Penyiaran:
a. melakukan pelanggaran penggunaan spektrum frekuensi radio
dan/atau wilayah jangkauan Siaran;
b. memindahtangankan IPP kepada pihak lain;
c. melanggar ketentuan rencana dasar teknik Penyiaran dan persyaratan
teknis perangkat Penyiaran; dan/atau
d. tidak membayar biaya hak penyelenggaraan Penyiaran.
(2) IPP dicabut oleh Pemerintah setelah memperoleh rekomendasi dari KPI jika
Lembaga Penyiaran:
a. tidak melakukan kegiatan Siaran lebih dari 3 (tiga) bulan atau lebih
secara terus menerus;
32
b. menyajikan muatan isi Siaran yang berbeda dari format dan rencana
Program Siaran yang diajukan saat uji coba Siaran; dan/atau
c. melanggar ketentuan mengenai SPS.
(3) IPP dinyatakan berakhir jika:
a. habis masa izin dan tidak ada permohonan perpanjangan izin; atau
b. habis masa izin dan permohonan izin tidak disetujui oleh Pemerintah.
Bagian Ketiga
Perpanjangan Perizinan
Pasal 119
Pemerintah wajib menyampaikan informasi mengenai akan berakhirnya IPP 1
(satu) tahun sebelum masa berakhir IPP kepada Lembaga Penyiaran dan KPI.
Pasal 120
(1) Lembaga
Penyiaran
wajib
menyampaikan
berkas
permohonan
perpanjangan perizinan kepada Pemerintah paling lambat 3 (tiga) bulan
terhitung sejak diterimanya informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
119.
(2) Berkas permohonan perpanjangan perizinan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri dari:
a. kelembagaan;
b. permodalan; dan
c. data teknik Penyiaran.
(3) KPI melakukan evaluasi Isi Siaran sesuai dengan masa berlaku IPP untuk
Lembaga Penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2).
(4) KPI menyampaikan hasil evaluasi Isi Siaran kepada Pemerintah paling
lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterima informasi berakhirnya masa
berlaku IPP dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118.
(5) Pemerintah melakukan penilaian berkas permohonan perpanjangan
perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hasil evaluasi Isi
Siaran oleh KPI sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 3
(tiga) bulan terhitung sejak diterimanya berkas permohonan perpanjangan
perizinan.
(6) Mekanisme pengambilan keputusan perpanjangan perizinan dilakukan
melalui:
a. klarifikasi yang dilakukan oleh Pemerintah bersama KPI; dan
b. verifikasi faktual yang dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan
Lembaga Penyiaran.
(7) Keputusan perpanjangan perizinan dikeluarkan oleh Pemerintah paling
lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya masa berlaku IPP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2).
(8) IPP baru berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Bagian keempat
Penyelesaian Sengketa
Pasal 121
(1) Lembaga Penyiaran dapat meminta penjelasan kepada pemerintah jika
keputusan perpanjangan perizinan sebagaimana dimaksud dalam pasal
120 ayat (7) ditolak oleh Pemerintah.
(2) Lembaga Penyiaran dapat mengajukan gugatan atas keputusan
perpanjangan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
33
Pasal 122
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme perizinan, uji coba Siaran,
pemberian IPP, perpanjangan perizinan, dan penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 sampai dengan Pasal 121 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PELAKSANAAN SIARAN
Bagian Kesatu
Isi Siaran
Pasal 123
(1) Isi Siaran wajib sesuai dengan SPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62.
(2) Isi Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diproduksi oleh Lembaga
Penyiaran dan/atau penyedia Isi Siaran.
(3) Isi Siaran yang diproduksi oleh penyedia Isi Siaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib disampaikan kepada Lembaga Penyiaran.
(4) Isi Siaran yang disampaikan kepada Lembaga Penyiaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), wajib disesuaikan dengan SPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62 sebelum disiarkan dan/atau disalurkan.
(5) Lembaga Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4)
bertanggung jawab atas seluruh Isi Siaran yang disiarkan dan/atau
disalurkannya.
Pasal 124
(1) Lembaga Penyiaran wajib menyebarluaskan informasi peringatan dini yang
berasal dari sumber resmi Pemerintah tentang kemungkinan terjadinya
bencana
yang
dapat
mengancam
keselamatan
jiwa
dan/atau
mengakibatkan kerusakan harta benda.
(2) Dalam hal terjadi bencana, Lembaga Penyiaran wajib menyebarluaskan
informasi dari sumber resmi Pemerintah yang berkaitan dengan informasi
penanganan bencana pada fase tanggap darurat.
(3) Lembaga Penyiaran wajib menyebarluaskan informasi yang benar kepada
masyarakat tentang penanganan bencana.
Pasal 125
Lembaga Penyiaran wajib menyebarluaskan informasi dari sumber resmi
Pemerintah yang berkaitan dengan pertahanan negara dan keamanan
nasional.
Pasal 126
Dalam hal Lembaga Penyiaran menyebarluaskan informasi di luar sumber
resmi Pemerintah,
Lembaga Penyiaran harus menyampaikan konfirmasi
kepada sumber resmi pemerintah.
Pasal 127
Lembaga Penyiaran dapat berperan serta bersama Pemerintah dalam
memproduksi dan/atau menyebarluaskan informasi kepada masyarakat
tentang cara-cara menghadapi bencana.
34
Pasal 128
(1) Lembaga Penyiaran harus menjaga independensi redaksi dari intervensi
pihak mana pun termasuk pemilik Lembaga Penyiaran.
(2) Lembaga Penyiaran harus menjaga netralitas dan keseimbangan Isi Siaran.
(3) Lembaga Penyiaran dilarang mengutamakan
dan/atau partai politik tertentu.
kepentingan
golongan
Pasal 129
(1) LPS dan LPP wajib menyiarkan Isi Siaran yang berasal dari dalam negeri
paling rendah 60% (enam puluh persen) dari keseluruhan jam Siaran setiap
hari.
(2) Lembaga Penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan
klasifikasi khalayak sesuai dengan muatan Siaran dan menyiarkan Isi
Siaran pada waktu yang tepat.
(3) Lembaga Penyiaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan
kepada anak dan remaja.
(4) Lembaga Penyiaran jasa Penyiaran televisi dalam menyiarkan Siaran berita
wajib memberi aksesibilitas kepada penyandang tunarungu.
(5) Isi Siaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) dan ayat (4)
dilarang:
a. memfitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau membohongi;
b. menonjolkan
unsur
kekerasan,
pencabulan,
perjudian,
serta
penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif, alkohol, dan
obat terlarang;
c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan;
d. memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai
agama dan martabat manusia;
e. membahayakan integritas bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
f. merusak hubungan internasional; dan/atau
g. melanggar hak atas kekayaan intelektual.
Pasal 130
Lembaga Penyiaran yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 123 sampai dengan Pasal 129 dikenai sanksi administratif oleh KPI
berupa:
a. teguran tertulis;
b. pemindahan jam tayang;
c. penghentian sementara Isi Siaran yang bermasalah;
d. denda yang besarannya ditetapkan melalui Peraturan KPI; dan/atau
e. penghentian Isi Siaran yang bermasalah.
Pasal 131
(1) Lembaga Penyiaran dan/atau penyedia pemeringkatan Isi Siaran dapat
melakukan pemeringkatan Isi Siaran.
(2) Pemeringkatan Isi Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
sesuai dengan asas, tujuan, arah, fungsi Penyiaran, dan SPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 62.
(3) Penyedia pemeringkatan Isi Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib menjaga independensi dan akuntabilitas metode penelitian.
35
Bagian Kedua
Bahasa Siaran
Pasal 132
(1) Bahasa utama dalam Isi Siaran harus menggunakan Bahasa Indonesia
yang baik dan benar.
(2) Bahasa daerah dapat digunakan dalam Isi Siaran yang memiliki muatan
lokal atau dalam Isi Siaran yang mempunyai tujuan khusus atau sasaran
khusus.
(3) Bahasa asing hanya dapat digunakan dalam Isi Siaran tertentu yang
mempunyai tujuan khusus atau sasaran khusus.
(4) Bahasa isyarat dapat digunakan dalam Isi Siaran tertentu untuk khalayak
tunarungu.
Pasal 133
(1) Isi Siaran tertentu yang berbahasa asing dapat disiarkan dalam bahasa
aslinya dengan ketentuan untuk jasa Penyiaran televisi wajib diberi teks
Bahasa Indonesia atau secara selektif disulihsuarakan ke dalam Bahasa
Indonesia, dan/atau di beri ulasan dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan
keperluan Isi Siaran tersebut.
(2) Isi Siaran tertentu yang berbahasa asing dapat disiarkan dalam bahasa
aslinya dengan ketentuan untuk jasa Penyiaran radio wajib diberi ulasan
dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan keperluan Isi Siaran tersebut.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Isi Siaran tertentu yang berbahasa asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
KPI.
Pasal 134
Lembaga Penyiaran yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 132 ayat (1) dan Pasal 133 ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi
administratif oleh KPI berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian sementara Isi Siaran yang bermasalah;
c. denda yang besarannya ditetapkan melalui Peraturan KPI; dan/atau
d. penghentian Isi Siaran yang bermasalah.
Bagian Ketiga
Relai dan Siaran Bersama
Pasal 135
(1) Lembaga Penyiaran dapat merelai Siaran Lembaga Penyiaran lain baik dari
dalam negeri maupun luar negeri.
(2) Relai Siaran yang digunakan sebagai acara tetap baik yang berasal dari
dalam negeri maupun dari luar negeri dibatasi.
(3) Relai Siaran secara tetap Lembaga Penyiaran yang berasal dari luar negeri
dibatasi durasinya serta jenis dan jumlah Isi Siarannya dengan
memperhatikan asas resiprositas dan asas manfaat.
(4) Lembaga Penyiaran dapat merelai Siaran Lembaga Penyiaran lain secara
tidak tetap atas Isi Siaran tertentu yang bersifat nasional, internasional,
dan/atau isi Siaran pilihan.
(5) Relai Siaran berita secara tetap yang berasal dari Lembaga Penyiaran luar
negeri dibatasi jumlah waktu siarnya.
(6) Pembatasan relai siaran berita secara tetap sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dikecualikan untuk LPB.
36
(7) Lembaga Penyiaran dilarang merelai Siaran dari Lembaga Penyiaran yang
berasal dari luar negeri yang tidak sesuai dengan ketentuan SPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62.
(8) Lembaga Penyiaran yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dan/atau ayat (6) dikenai sanksi administratif oleh KPI
berupa:
a. teguran tertulis;
b. pemindahan jam tayang;
c. penghentian sementara Isi Siaran yang bermasalah;
d. denda yang besarannya ditetapkan melalui peraturan KPI; dan/atau
e. penghentian Isi Siaran yang bermasalah.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai relai Siaran diatur dalam peraturan KPI.
Pasal 136
Antarlembaga Penyiaran dapat bekerja sama melakukan Siaran bersama
sepanjang Siaran bersama dimaksud tidak mengarah pada monopoli informasi
atau monopoli pembentukan opini.
Bagian Keempat
Hak Siar
Pasal 137
(1) Lembaga Penyiaran wajib memiliki hak siar untuk setiap Isi Siaran.
(2) Hak siar dari Isi Siaran dilindungi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Lembaga Penyiaran yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kelima
Ralat Siaran
Pasal 138
(1) Lembaga Penyiaran wajib melakukan ralat Siaran apabila terdapat
kekeliruan dan/atau kesalahan, atau terjadi sanggahan atas Isi Siaran.
(2) Ralat Siaran dilakukan secara proporsional dan mendapat perlakuan utama
yang disiarkan saat:
a. kesempatan pertama dalam waktu kurang dari 24 (dua puluh empat) jam
berikutnya; dan
b. Isi Siaran yang sama.
(3) Ralat Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak membebaskan
tanggung jawab atau tuntutan hukum yang diajukan oleh pihak yang
merasa dirugikan kepada Lembaga Penyiaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(4) Lembaga Penyiaran yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai sanksi administratif oleh KPI berupa:
a. teguran tertulis;
b. pemindahan jam tayang;
c. penghentian sementara Isi Siaran yang bermasalah;
d. denda yang besarannya ditetapkan melalui Peraturan KPI; dan/atau
e. penghentian Isi Siaran yang bermasalah.
Bagian Keenam
Arsip Siaran
37
Pasal 139
(1) Lembaga Penyiaran wajib menyimpan bahan Siaran termasuk rekaman
audio, rekaman video, foto, dan dokumen paling lama dalam jangka waktu
1 (satu) tahun terhitung sejak disiarkan.
(2) Bahan Siaran yang memiliki nilai sejarah atau nilai informasi yang tinggi
wajib diserahkan kepada lembaga yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Lembaga Penyiaran yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai sanksi administratif oleh KPI berupa:
a. teguran tertulis;
b. pemindahan jam tayang;
c. penghentian sementara Isi Siaran yang bermasalah;
d. denda yang besarannya ditetapkan melalui Peraturan KPI; dan/atau
e. penghentian Isi Siaran yang bermasalah.
Bagian Ketujuh
Sensor Isi Siaran
Pasal 140
(1) Isi Siaran dan Siaran Iklan yang disiarkan oleh Lembaga Penyiaran wajib
diajukan kepada lembaga yang khusus menangani penyensoran sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk memperoleh
tanda lulus sensor.
(2) Lembaga Penyiaran yang memancarteruskan program Siaran sinema
elektronik yang ditayangkan setiap hari wajib memperoleh tanda lulus
sensor pada setiap penayangannya dari lembaga yang khusus menangani
penyensoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 3 (tiga)
hari sebelum program Siaran ditayangkan.
(3) Lembaga yang khusus menangani penyensoran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) selain mengacu kepada pedoman sensor juga mengacu kepada
SPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62.
(4) Lembaga Penyiaran dilarang untuk menyiarkan Isi Siaran dan/atau Siaran
Iklan yang :
a. tidak diajukan kepada lembaga yang khusus menangani penyensoran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau
b. tidak memperoleh tanda lulus sensor
(5) Lembaga Penyiaran yang menyiarkan Isi Siaran dan/atau Siaran Iklan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dikenai sanksi administratif
oleh KPI berupa penghentian Isi Siaran dan/atau Siaran Iklan yang
bermasalah.
(6) Lembaga Penyiaran yang menyiarkan Isi Siaran dan/atau Siaran Iklan yang
tidak memiliki surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf b dikenai sanksi administratif oleh KPI berupa:
a. penghentian sementara
bermasalah; dan/atau
Isi
Siaran
dan/atau
Siaran
Iklan
yang
b. penghentian Isi Siaran dan/atau Siaran Iklan yang bermasalah.
Pasal 141
Lembaga Penyiaran wajib melakukan sensor internal terhadap semua Isi
Siaran dan/atau Siaran Iklan sebelum dan/atau pada saat disiarkan dan/atau
disalurkan .
38
Bagian Kedelapan
Kegiatan Jurnalistik
Pasal 142
(1) Muatan jurnalistik dalam Isi Siaran Lembaga Penyiaran wajib mengikuti
kode etik jurnalistik dan P3 dan SPS.
(2) Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran
dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB XI
SIARAN IKLAN
Bagian Kesatu
Siaran Iklan
Pasal 143
Siaran Iklan harus:
a. sesuai dengan asas, tujuan, arah, dan fungsi penyelenggaraan Penyiaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5;
b. menghormati nilai agama, keyakinan, budaya, etnis, kebangsaan, martabat
kemanusiaan, dan kehormatan negara;
c. melindungi kepentingan umum, anak, remaja, wanita, dan kelompok
minoritas, serta berkemampuan terbatas dari eksploitasi kepentingan
pribadi ataupun bisnis;
d. dilaksanakan secara efisien dan efektif dalam kebijakan penjadualan
program dan jumlah waktu siar demi kepentingan kenyamanan khalayak,
pengiklan, dan Lembaga Penyiaran;
e. mengembangkan kreativitas perusahaan periklanan nasional dengan
memanfaatkan sebesar-besarnya sumber daya nasional dalam pembuatan
materi iklan;
f. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika pariwara
Indonesia; dan
g. menghormati kode etik kelompok profesi bidang periklanan.
Pasal 144
(1) Materi Siaran Iklan harus:
a. memenuhi SPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62;
b. memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga yang khusus menangani
penyensoran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. menggunakan bahasa yang baik dan benar serta mudah dipahami
khalayak;
d. dikenali dengan mudah dan dapat dibedakan secara jelas dari Isi
program Siaran, baik secara audiovisual untuk media televisi maupun
secara audio untuk media radio; dan
e. menghormati kode etik kelompok profesi periklanan.
(2) Materi Siaran Iklan dilarang:
b. menggunakan kata yang berlebihan;
c. menampilkan suara dan gambar yang mengandung unsur pornografi
dan bertentangan dengan kesantunan dan kesusilaan;
d. eksploitasi anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun; dan/atau
e. mempengaruhi arah dan kebijakan isi atau redaksi program Siaran.
39
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 145
Siaran Iklan diproduksi oleh penyedia jasa periklanan dan/atau Lembaga
Penyiaran.
Siaran Iklan yang diproduksi oleh penyedia jasa periklanan dan/atau
Lembaga Penyiaran harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 143 dan Pasal 144.
Siaran Iklan yang diproduksi oleh penyedia jasa periklanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan kepada Lembaga Penyiaran
untuk disiarkan.
Lembaga Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertanggung
jawab terhadap akibat yang ditimbulkan oleh materi Siaran Iklan.
Lembaga Penyiaran dilarang menyiarkan:
a. Siaran Iklan pada program acara bersifat kenegaraan;
b. Siaran Iklan pada program acara bersifat pelaksanaan ibadah;
c. Siaran Iklan yang menyinggung perasaan dan/atau merendahkan
martabat, agama, ideologi, pribadi, atau kelompok lain;
d. Siaran Iklan yang melanggar nilai kesopanan, nilai kepantasan, dan nilai
kesusilaan;
e. Siaran Iklan yang menggunakan model iklan dan mempromosikan
perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender;
f. Siaran Iklan yang mempromosikan minuman keras, zat adiktif;
g. Siaran Iklan dengan materi makanan yang berpotensi menimbulkan
gangguan kesehatan pada masyarakat;
h. Siaran Iklan dengan materi iklan yang menampilkan wujud rokok diluar
ketentuan SPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf k;
i. Siaran Iklan dengan materi yang melanggar kode etik periklanan yang
disusun oleh masyarakat periklanan Indonesia;
j. Siaran Iklan dengan materi pembuatan yang tidak melibatkan sumber
daya dalam negeri dan tidak diproduksi perusahaan periklanan dalam
negeri;
k. Siaran Iklan dengan materi iklan yang menyesatkan masyarakat; dan
l. Siaran Iklan dengan materi yang berupa klaim dan/atau testimoni yang
tidak didukung oleh bukti yang terdokumentasi.
Lembaga Penyiaran yang menyiarkan Siaran Iklan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dikenai sanksi administratif oleh KPI berupa:
a. teguran tertulis;
b. pemotongan sebagian dari materi Siaran Iklan yang bermasalah;
c. denda yang besarannya ditetapkan melalui Peraturan KPI; dan/atau
d. penghentian materi Siaran Iklan yang bermasalah.
Pasal 146
(1) Siaran Iklan asing yang tidak diperuntukan bagi masyarakat Indonesia
dilarang disiarkan oleh LPB.
(2) Siaran Iklan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diganti
dengan siaran iklan dalam negeri.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dikenai sanksi administratif oleh KPI berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian sementara materi Siaran Iklan yang bermasalah;
c. denda yang besarannya ditetapkan melalui Peraturan KPI; dan/atau
d. penghentian materi Siaran Iklan yang bermasalah.
Pasal 147
Siaran Iklan terdiri atas:
a. Siaran Iklan komersial; dan
b. Siaran Iklan layanan masyarakat.
40
Pasal 148
Waktu Siaran Iklan yang dimiliki oleh Lembaga Penyiaran dilarang dibeli oleh
siapapun untuk kepentingan apapun, kecuali untuk Siaran Iklan.
Bagian Ketiga
Siaran Iklan Komersial
Pasal 149
Siaran Iklan komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 huruf a terdiri
dari:
a. Iklan spot; dan
b. Iklan nonspot.
Pasal 150
Waktu Siaran Iklan spot paling tinggi 40 % (empat puluh persen) dari setiap
waktu tayang program.
Bagian Keempat
Siaran Iklan Layanan Masyarakat
Pasal 151
(1) Siaran Iklan Layanan Masyarakat harus diproduksi dan dipancarteruskan
oleh Lembaga Penyiaran.
(2) Tema Siaran Iklan Layanan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan
masyarakat.
Pasal 152
Waktu Siaran Iklan layanan masyarakat untuk LPS paling tinggi 10% (sepuluh
persen) dari waktu program Siaran Iklan komersial, sedangkan untuk LPP
paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari waktu program Siaran.
Pasal 153
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis Siaran iklan dan waktu Siaran Iklan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 sampai dengan Pasal 152 diatur
dalam Peraturan KPI.
BAB XII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 154
(1) Setiap warga negara Indonesia baik individu maupun kelompok
masayarakat berperan serta dalam pengembangan penyelenggaraan
Penyiaran nasional.
(2) Peran serta kelompok masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diwujudkan dalam bentuk:
a. pelaksanaan kegiatan literasi media;
b. pemantauan Isi Siaran;
c. asosiasi pemerhati Isi Siaran;
d. pengajuan keberatan terhadap Isi Siaran kepada KPI;
e. pengaduan terhadap pelanggaran SPS kepada KPI; dan/atau
41
f. pengaduan terhadap pelanggaran P3 kepada asosiasi Lembaga Penyiaran.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 155
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Lembaga Penyiaran yang
sudah ada sebelumnya tetap dapat menjalankan tugas, fungsi, dan
wewenangnya dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang
ini paling lambat 1,5 (satu koma lima) tahun untuk Penyiaran radio dan
paling lambat 3 (tiga) tahun untuk Penyiaran televisi terhitung sejak
diundangkannya Undang-Undang ini.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, KPI dan KPI Daerah yang
sudah ada sebelumnya, tetap menjalankan fungsi, tugas, dan
wewenangnya sampai dengan masa masa keanggotaan KPI dan KPI Daerah
di masing-masing daerah berakhir.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, LPP RRI dan LPP TVRI yang
sudah ada sebelumnya tetap dapat menjalankan tugas, fungsi, dan
wewenangnya dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang
ini paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak diundangkannya UndangUndang ini.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, LPS yang menyelenggarakan
SSJ dengan stasiun perwakilan di daerah tetap memiliki IPP masingmasing dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini
paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak diundangkannya UndangUndang ini.
Pasal 156
Lembaga Penyiaran yang masih dalam proses pengajuan IPP wajib diproses
berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 157
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundangundangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4252), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 158
Pada saat Undang–Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4252), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 159
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama
2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
42
Pasal 160
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal...
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASSONA LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR...
43
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PENYIARAN
I.
UMUM
Bahwa kemerdekaan menyatakan pendapat, menyampaikan, dan
memperoleh informasi, bersumber dari kedaulatan rakyat dan merupakan
hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang demokratis. Dengan demikian, kemerdekaan atau
kebebasan dalam Penyiaran harus dijamin oleh negara. Dalam kaitan ini
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
Tahun 1945) mengakui, menjamin, dan melindungi hal tersebut. Sesuai
dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, maka kemerdekaan
tersebut harus bermanfaat bagi upaya bangsa Indonesia dalam menjaga
integrasi nasional, menegakkan nilai-nilai agama, kebenaran, keadilan,
moral, dan tata susila, serta memajukan kesejahteraan umum, dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini kebebasan harus
dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan seimbang antara
kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila dan
UUD Tahun 1945.
Dari sisi hukum, sumber segala hukum di Indonesia, Pasal 33 ayat (3)
UUD Tahun 1945 telah mengamanatkan kepada negara untuk
mempergunakan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kekayaan alam
termasuk spektrum frekuensi atau gelombang elektromagnetik yang
digunakan untuk kegiatan penyiaran dan telekomunikasi yang merupakan
sumber daya alam terbatas sehingga pengelolaan, pemanfaatan, dan
pengamanannya diarahkan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Penyiaran adalah public sphere atau dengan kata lain dunia penyiaran
adalah ruang opini dan akses publik secara demokratis dan rasional dapat
dilakukan. Oleh karena itu, kebebasan ruang publik di dalam dunia
Penyiaran perlu dijamin oleh kebijakan dalam bentuk perundangundangan.
Pengaturan penyelenggaraaan Penyiaran dalam praktiknya harus selalu
berdasarkan prinsip diversity of content dan diversity of ownership. Fungsi
Penyiaran sebagai penyalur informasi dan pembentuk pendapat umum,
perannya makin sangat strategis, terutama dalam mengembangkan alam
demokrasi di Indonesia. Penyiaran telah menjadi salah satu sarana
berkomunikasi bagi masyarakat, Lembaga Penyiaran, dunia bisnis, dan
Pemerintah. Untuk itu penataan kebijakan Penyiaran, hubungan semua
pemangku kepentingan dalam Penyiaran, dan penyelenggaraan Penyiaran
perlu disusun sebagai sistem penyiaran nasional.
Sistem Penyiaran Nasional diarahkan bagi terciptanya penyelenggaraan
penyiaran yang sehat, berkualitas, dan bermanfaat, dalam rangka
memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, mewujudkan demokrasi
yang lebih baik, menyelaraskan kemajemukan masyarakat Indonesia,
meningkatkan harkat, martabat, dan citra bangsa, serta meningkatkan
44
daya saing bangsa dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah
berkewajiban untuk menyusun Sistem Penyiaran Nasional.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah melahirkan
masyarakat informasi yang makin besar tuntutannya akan hak untuk
mengetahui dan hak untuk mendapatkan informasi. Informasi telah
menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat dan telah menjadi komoditas
penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi tersebut telah
membawa implikasi terhadap dunia Penyiaran, termasuk Penyiaran di
Indonesia.
Perkembangan teknologi tersebut didukung oleh semangat reformasi
yang memberi kebebasan sehingga Penyiaran di Indonesia mengalami
euphoria kebebasan yang luar biasa, membawa konsekuensi tumbuhnya
stasiun televisi dan radio, baik yang bersifat komersial ataupun nonkomersial. Perkembangan teknologi dan informasi ini juga membawa
implikasi terhadap timbulnya diversifikasi pemancarluasan dan
penyaluran Isi Siaran melalui teknologi digital.
Digitalisasi
Penyiaran
merupakan
suatu
keniscayaan
untuk
memajukan industri Penyiaran, mengingat saat ini industri Penyiaran
masih berbasis analog. Hal ini dikarenakan Penyiaran analog dinilai
sudah tidak lagi sejalan dengan kemajuan zaman. Digitalisasi Penyiaran
dapat menjamin industri Penyiaran akan dimainkan oleh pasar yang
makin beragam. Prinsip diversity of content dan diversity of ownership
pun akan makin terasa dengan adanya Digitalisasi Penyiaran ini.
Digitalisasi Penyiaran diharapkan menghasilkan adanya digital deviden
yang dapat dimanfaatkan untuk perkembangan Penyiaran dan kebutuhan
teknologi
telekomunikasi
yang
didasarkan
kepada
kebutuhan
masyarakat.
Undang-Undang ini disusun berdasarkan pokok-pokok pikiran sebagai
berikut:
a. Penyiaran merupakan kegiatan memancarteruskan, mengalirkan,
dan/atau menyebarluaskan Siaran dan/atau data melalui sarana
pemancaran, pipa aliran, dan/atau sarana transmisi di darat, laut,
udara, atau antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio
melalui terestrial, kabel, dan satelit, serta menggunakan internet.
b. Penyiaran harus mampu mencerminkan kebebasan, transparansi,
keberagaman isi dan kepemilikan, keamanan, manfaat, etika,
kemandirian, tanggung jawab, kemitraan, keadilan; dan ketertiban dan
kepastian hukum.
c. Penyiaran harus mencerminkan keadilan dan demokrasi dengan
menyeimbangkan antara hak dan kewajiban masyarakat ataupun
Pemerintah dengan hak dan kewajiban penyelenggara Penyiaran.
d. mengantisipasi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi,
khususnya di bidang Penyiaran.
e. mendayagunakan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Komisi
Penyiaran Indonesia sebagai lembaga pengatur aktivitas Penyiaran yang
menjembatani
kepentingan
penyelenggara
Penyiaran
dengan
masyarakat akan Penyiaran.
Pengembangan Penyiaran diarahkan pada terciptanya Siaran yang
berkualitas, bermartabat, mampu menyerap, dan merefleksikan aspirasi
masyarakat yang beraneka ragam, untuk meningkatkan daya tangkal
masyarakat terhadap pengaruh buruk nilai budaya asing, serta
memperokokoh pesatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
45
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas persatuan dan kesatuan” adalah
Isi Siaran harus menjaga keanekaragaman yang dimiliki
bangsa sebagai satu kesatuan utuh dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kepentingan umum” adalah Isi
Siaran harus mengutamakan kepentingan bangsa, negara,
dan masyarakat yang diwujudkan untuk kemakmuran
masyarakat.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas moral” adalah setiap Lembaga
Penyiaran harus menjaga nilai-nilai luhur tentang baik dan
buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan
kewajiban.
Yang dimaksud dengan “asas etika” adalah setiap lembaga
penyiaran harus menjaga norma yang berlaku di masyarakat
pada Isi Siaran dan persaingan usaha Lembaga Penyiaran.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa
penyelenggaraan Penyiaran harus bersifat informatif dan
edukatif.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas keamanan” adalah bahwa
penyelenggaraan Penyiaran oleh Lembaga Penyiaran harus
memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dan
turut serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas kebebasan berekspresi” adalah
bahwa
Lembaga
Penyiaran
dalam
menyelenggarakan
Penyiaran harus mendapatkan jaminan dalam kebebasan
menyatakan pendapat dan kemerdekaan pers sesuai dengan
norma-norma yang berlaku.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas kreativitas” adalah bahwa
penyelenggaraan Penyiaran menghasilkan daya cipta dan
inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas tanggung jawab” adalah
Lembaga Penyiaran harus mempertanggungjawabkan Isi
Siaran yang disiarkan kepada masyarakat.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “asas netralitas” adalah bahwa dalam
penyelenggaraan Penyiaran harus selalu mengedepankan
objektifitas dan tidak berpihak kepada kepentingan politik dan
golongan tertentu.
Huruf j
46
Huruf
Huruf
Huruf
Huruf
Huruf
Huruf
Yang dimaksud dengan “asas aksesibilitas” adalah
penyelenggaraan Penyiaran harus dapat memberikan
kemudahan,
ketersediaan
dan
keterjangkauan
bagi
masyarakat untuk memanfaatkan Penyiaran.
k
Yang dimaksud dengan “asas pelayanan” adalah kegiatan
Penyiaran harus dapat memenuhi kebutuhan pelayanan
kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
l
Yang dimaksud dengan “asas keberagaman” adalah bahwa
penyelenggaraan
Penyiaran
harus
berpegang
pada
keberagaman isi dan kepemilikan.
m
Yang dimaksud dengan “asas kemitraan” adalah bahwa dalam
penyelenggaraan Penyiaran, setiap Lembaga Penyiaran harus
dapat membangun kerja sama dengan semua pemangku
kepentingan yang terkait dengan Penyiaran.
n
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa dalam
penyelenggaraan Penyiaran, setiap orang atau badan hukum
memiliki hak yang sama.
o
Yang dimaksud dengan “asas persaingan yang sehat” adalah
bahwa setiap Lembaga Penyiaran harus bersikap secara jujur,
tidak melawan hukum, dan tidak menghambat persaingan
usaha.
p
Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah
bahwa dalam penyelenggaraan Penyiaran didasarkan kepada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
Cukup
Pasal 4
Cukup
Pasal 5
Cukup
Pasal 6
Cukup
Pasal 7
Cukup
Pasal 8
Cukup
Pasal 9
Cukup
Pasal 10
Cukup
Pasal 11
Cukup
Pasal 12
Cukup
Pasal 13
Cukup
Pasal 14
Cukup
Pasal 15
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
47
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “perangkat Penyiaran” antara lain
televisi digital dan radio digital.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “alat pendukung teknologi digital”
antara lain set top box.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemangku kepentingan di bidang
Penyiaran” antara lain Pemerintah, KPI, Lembaga Penyiaran,
dan unsur masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “zona Wilayah Siar” adalah
pengelompokan beberapa Wilayah Siar berdasarkan
pembatas khusus.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Huruf a
48
Yang dimaksud dengan “Infrastruktur Siaran” adalah sistem
transmisi penyiaran TV secara digital antara lain antena,
pemancar, dan kombinator (combiner).
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penyedia isi Siaran milik lembaga
negara atau kementerian” adalah lembaga yang memproduksi
isi Siaran antara lain TV Parlemen, Radio Parlemen, dan MK TV.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “letak geografis” antara lain di
perdesaan, pegunungan, wilayah kepulauan, wilayah
pesisir, dan perbatasan.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
49
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “Program Siaran” terdiri atas:
1. uraian tentang format saluran, sumber materi acara,
dan khalayak sasaran;
2. jumlah saluran/program, nama program dan isi
program, pola acara siaran harian dan mingguan.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup
Pasal 38
Cukup
Pasal 39
Cukup
Pasal 40
Cukup
Pasal 41
Cukup
Pasal 42
Cukup
Pasal 43
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
50
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “pemangku kepentingan” meliputi
Lembaga Penyiaran dan Pemerintah.
Pasal 62
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
51
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Yang dimaksud “blocking time” adalah suatu bentuk
pembelian waktu siar (air time) di Lembaga Penyiaran
yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun
institusi.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup
Pasal 64
Cukup
Pasal 65
Cukup
Pasal 66
Cukup
Pasal 67
Cukup
Pasal 68
Cukup
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
52
Pasal 69
Cukup
Pasal 70
Cukup
Pasal 71
Cukup
Pasal 72
Cukup
Pasal 73
Cukup
Pasal 74
Cukup
Pasal 75
Cukup
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “stasiun perwakilan di daerah”
adalah perwakilan di daerah lain dari LPS yang telah
memiliki IPP.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 77
Yang dimaksud dengan “muatan siaran lokal” adalah program
dan/atau berita dalam rangka mengembangkan potensi daerah
setempat yang diproduksi dan dipancarteruskan oleh sumber daya
yang berasal dari stasiun perwakilan daerah dan/atau LPS lain di
Wilayah Siar lain.
Pasal 78
Cukup
Pasal 79
Cukup
Pasal 80
Cukup
Pasal 81
Cukup
Pasal 82
Cukup
Pasal 83
Cukup
Pasal 84
Cukup
Pasal 85
Cukup
Pasal 86
Cukup
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
jelas.
53
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “head end” adalah sebuah
perangkat kontrol pusat yang diperlukan oleh beberapa
jaringan misalnya local area network atau metropolitan
area network untuk menyediakan fungsi-fungsi tersebut
terpusat
sebagai
remodulation,
retiming,
pesan
akuntabilitas, pertengkaran kontrol, kontrol diagnostik,
dan akses ke pintu gerbang. Head end biasanya berisi
antena, preamplifiers, konverter frekuensi, demodulators,
modulator, prosesor, dan lain terkait peralatan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “hak pemancaran atau hak
labuh (landing right)” adalah hak yang diberikan kepada
LPB dalam rangka bekerja sama dengan penyelenggara
telekomunikasi asing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Isi Siaran yang terindikasi
membahayakan kepentingan bangsa dan negara serta
mengancam keamanan nasional” adalah Isi Siaran yang
berpotensi menimbulkan gangguan dan/atau ancaman
terhadap kedaulatan Negara, keutuhan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan/atau keamanan nasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
54
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
55
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “klarifikasi” adalah meminta penjelasan
KPI terkait dengan hasil evaluasi Isi Siaran.
Yang dimaksud dengan “verifikasi faktual” adalah pengecekan
kesesuaian berkas permohonan dengan fakta yang dimiliki oleh
Lembaga Penyiaran.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “peringatan dini” adalah upaya
memberitahukan kepada masyarakat yang berpotensi dilanda
bencana untuk menyiagakan mereka dalam menghadapi
kondisi bencana.
Informasi peringatan dini selain mencakup detail kemungkinan
terjadinya bencana juga meliputi lokasi-lokasi aman yang bisa
menjadi tempat untuk berlindung atau menyelamatkan diri.
Yang dimaksud dengan “bencana” adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “informasi penanganan bencana pada
fase tanggap darurat” adalah informasi seputar cara evakuasi
56
warga, penanganan korban, dan daerah yang mengalami
bencana kepada masyarakat luas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “informasi yang benar” adalah
informasi yang akurat, objektif, dan berimbang sehingga tidak
menimbulkan kepanikan, kecemasan, dan ketakutan
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemilik” adalah pemegang saham
Lembaga Penyiaran baik langsung maupun tidak langsung.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “netralitas” adalah opini dan sikap
politik pengelola media yang tidak boleh mencampuri atau
mempengaruhi Isi Siaran.
Yang dimaksud dengan “keseimbangan” adalah Lembaga
Penyiaran wajib memberikan kesempatan yang sama kepada
semua pihak yang memiliki perspektif, opini, pemikiran, atau
pendapat yang berbeda.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 129
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “isi Siaran yang berasal dari dalam
negeri” adalah bagian dari Program Siaran yang berisi muatan
pesan yang diproduksi di dalam negeri dalam bentuk kemasan
yang
ditujukan
kepada
khalayak,
dalam
rangka
menumbuhkembangkan industri dalam negeri, termasuk
industri kreatif, antara lain, animasi, film 3 Dimensi (3D), dan
konten interaktif.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “waktu yang tepat” adalah waktu
penayangan mata acara Siaran yang memperhatikan
khalayaknya, misalnya mata acara Siaran yang memiliki
muatan Siaran dewasa tidak boleh ditayangkan pada waktu
penayangan mata acara Siaran untuk khalayak anak-anak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
57
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Ayat (1)
Yang dimaksud “merelai Siaran“ adalah merelai Siaran secara
langsung, langsung tunda (live delay), dan tunda.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “asas resiprositas“ adalah asas timbal
balik yang meliputi:
a. kepentingan politik yang sama antara negara asing dan
Indonesia;
b. keuntungan yang sama untuk publik Indonesia dan negara
asing; atau
c. penghormatan atas asas kedaulatan negara (state
sovereignty).
Dengan demikian, perlakuan yang diberikan kepada Lembaga
Penyiaran yang berasal dari luar negeri harus diberlakukan
juga pada Lembaga Penyiaran yang berasal dari dalam negeri.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hak siar” adalah hak yang dimiliki
Lembaga Penyiaran untuk menyiarkan Mata Acara Siaran
tertentu yang diperoleh secara sah dari pemilik hak cipta atau
penciptanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
58
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “menyimpan bahan Siaran” antara lain
untuk menjaga kemungkinan terjadinya tuntutan atau
keberatan dari pihak yang merasa dirugikan yang disebabkan
oleh Penyiaran mata acara Siaran tertentu. Bahan atau materi
Siaran yang wajib disimpan adalah bahan atau materi Siaran
untuk jenis Program Siaran kata.
Program Siaran kata adalah semua Program Siaran yang
keluaran utamanya berupa kata-kata baik dalam bentuk berita
maupun bukan berita misalnya Siaran berita dan gelar wicara
(talk show).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Siaran Iklan komersial” adalah iklan
yang dipesan oleh pengiklan mengenai kegiatan dan
kebutuhan masyarakat serta bertujuan untuk kepentingan
komersial dengan imbalan uang.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Siaran Iklan layanan masyarakat”
adalah iklan yang dipesan oleh pengiklan mengenai kegiatan
dan kebutuhan masyarakat, tidak bertujuan untuk
kepentingan komersial, baik dengan imbalan uang secara
terbatas atau imbalan sejenisnya maupun secara cuma-cuma.
Pasal 148
Cukup jelas.
59
Pasal 149
Yang dimaksud dengan “Iklan spot” adalah iklan yang memotong
waktu tayang program.
Yang dimaksud dengan “Iklan nonspot” adalah iklan yang berada
di dalam waktu tayang program.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kebutuhan dan kepentingan
masyakarat” antara lain kesehatan masyarakat, lalu lintas,
bahaya narkotika dan psikotropika, dan wajib belajar.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Cukup jelas.
Pasal 158
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR…
60
Download