BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG AIDS merupakan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
AIDS merupakan salah satu penyakit kronis dengan tingkat
kematian yang tinggi di dunia. Sejak awal kemunculannya pada tahun 1980
sampai dengan tahun 2009, terdapat 2,7 juta infeksi baru dan 2 juta kematian
setiap tahunnya (Sarafino & Smith, 2011). AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala atau syndrome yang
muncul akibat infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus ini
menyerang CD4+ yang berperan dalam fungsi kekebalan tubuh (Nursalam
& Kurniawati, 2007). Sehingga, saat kekebalan melemah, tubuh menjadi
mudah terserang berbagai infeksi oportunis (opportunistic infection), seperti
paru-paru basah (pneumocystis carinii pneumonia) dan bahkan kanker
(kaposi’s sarcoma) (Sarafino & Smith, 2011).
Di Indonesia, berdasarkan data dari Ditjen PP dan PL Kemenkes RI
sampai dengan Desember 2015, menyebutkan bahwa penyebaran HIV
mencapai angka 191.073 kasus dan AIDS 77.112 kasus, dengan jumlah
kumulatif AIDS tertinggi terdapat pada hubungan heteroseksual sebanyak
51.467 kasus (Spiritia.or.id, 2015). Data tersebut menjelaskan bahwa
transmisi HIV didominasi oleh hubungan seksual beda jenis.
Transmisi juga terjadi pada pasangan pernikahan. Amelia (2015)
menyebutkan bahwa di Kota Medan, Sumatera Utara, kasus infeksi sudah
terjadi pada perempuan yang menikah, yakni 167 orang Ibu Rumah Tangga
1
Universitas Sumatera Utara
(IRT) terjangkit HIV. Angka tersebut lebih dari tiga kali lipat jumlah PSK
(Pekerja Seks Komersial) saat itu, yakni sekitar 179 orang yang turut
mengidap HIV. Menurut pengamatan Eban Totonta Kaban (dalam Amelia,
2015), kebanyakan virus pada IRT berasal dari suami yang sering “jajan”,
alias tidak setia kepada istrinya. Kondisi ini begitu memprihatinkan,
ternyata penularan HIV juga beresiko mengancam pasangan yang telah
menikah.
Dalam pernikahan kepercayaan dan cinta diikat dalam hubungan
yang disahkan Undang-undang. Berdasarkan Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan merupakan ikatan lahir dan bathin antara
laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Mahaesa (Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 1974). Jika HIV
telah menyerang rumah tangga, amanah perkawinan yang tertuang dalam
UU. Perkawinan tersebut nyaris mustahil untuk diwujudkan.
Penularan HIV dalam keluarga kebanyakan bersumber dari suami
(McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000). Selain menggunakan jasa
PSK, suami yang melakukan perselingkuhan dan suka berganti-ganti
pasangan seksual juga berpeluang terinfeksi HIV (Papalia, Olds, &
Feldman, 2011; Dalimoenthe, 2011).
Keluarga
tidak
luput
dari
pandangan
miring
masyarakat
(Dalimoenthe, 2011), akan ada diskriminasi dan stigma negatif terhadap
keluarga yang terjangkit HIV/AIDS. Menurut Pittman (dalam Handayani,
2
Universitas Sumatera Utara
Suminar, Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008), walaupun suami telah
melakukan kesalahan dengan berselingkuh, masyarakat malah beranggapan
perselingkuhan tersebut terjadi atas kesalahan istri. Hal senanda juga
diungkapkan oleh Dalimoenthe (2011) bahwa, masyarakat pertama kali
akan menyalahkan istri, dianggap tidak mampu menjaga diri, suami dan
keluarga, istri dianggap sebagai orang yang tidak baik perilakunya, sehingga
suami lebih memilih memenuhi kebutuhan biologis dengan perempuan lain.
Tidak hanya masalah penilaian yang diskriminatif yang diterima
oleh istri. Saat mereka menyandang status ODHA (Orang Dengan
HIV/AIDS), mereka memikul beban ganda, selain menjaga kesehatannya,
dia juga harus menjaga suami yang sakit, merawat anak yang juga mungkin
tertular, dan bahkan menggantikan suami mencari nafkah (Dalimoenthe,
2011). Perlakuan tidak manusiawi pun sangat mungkin terjadi, seperti
diberhentikan dari pekerjaan, dikucilkan dan bahkan diusir dari tempat
tinggalnya, karena bagi sebagian masyarakat masih ada stigma bahwa
HIV/AIDS merupakan aib dan penyakit kutukan tuhan (Nursalam &
Kurniawati, 2007). Selain stigma dan diskriminasi, fungsi keibuan ODHA
perempuan juga terganggu, seperti mengandung, melahirkan dan mengasuh
anak hingga membesarkannya (Dalimoenthe, 2011).
ODHA perempuan tidak lah berbeda dengan IRT pada umumnya
terkait tanggung jawab didalam rumah tangga. Mereka harus mengemban
amanah menyelenggarakan dan mengatur keperluan keluarga dengan baik,
menjaga seluruh anggota keluarga dan disamping juga mengurus suami
3
Universitas Sumatera Utara
(Duvall & Miller, 1985). Tentunya tanggung jawab ini meminta
kesimbangan hak terhadap suami. Suami memiliki kewajiban memberi
nafkah, menjadi pemimpin, membawa bahtera keluarga kepada jalan
kebaikan, dan melindungi seluruh keluarga. Duvan & Miller (1985)
menyatakan bahwa, pernikahan akan memuat ketetapan peran antara
pasangan yang menikah. Namun akibat dampak HIV, harapan ODHA
menjadi pupus. Suami yang seyogyanya menjadi nahkoda dalam hidup,
malah menjerumuskannya kepada penyakit yang tidak bisa disembuhkan
(Dalimoenthe, 2011).
Keadaan diatas membuat ODHA perempuan mengalami tekanan
psikologis, seperti perasaan kecewa, menyesal dan merasa salah dalam
memilihi pasangan hidup (Dalimoenthe, 2011). Kondisi ini menurut
Sarafino & Smith (2011) bersumber dari perasaan negatif seperti
kecemasan, depresi, marah, ataupun rasa tidak berdaya. Perasaan negatif ini
muncul akibat adanya transgresi yang dilakukan suami (McCullough,
Pargament, & Thoresen, 2000). Dalam konteks rumah tangga, transgresi
dapat diartikan sebagai perilaku yang melanggar kepercayaan pasangan
(McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000).
Saat transgresi terjadi dalam hubungan interpersonal, menurut
Worthington & Wade, (1999) korban dari perbuatan yang tidak adil dapat
memberikan respon kemarahan, ketakutan, dan kebencian, serta dapat
menyimpan dendam terhadap pelaku kesalahan. Saat transgresi terjadi,
korban (dalam hal ini ODHA perempuan) akan merasa kehilangan
4
Universitas Sumatera Utara
kepercayaan terhadap suami (transgressor) (Worthington & Wade, 1999),
selain itu kedekatan fisik dan emosional dapat ikut serta hilang begitu saja.
Transgressor menurut Worthington & Wade (1999) merupakan pihak yang
melakukan transgresi.
Apabila keadaan dibiarkan, transgresi akan menjadi masalah
berkepanjangan (Widhikora & Rusli, 2013). Keadaan ini tidak hanya
memperburuk kesehatan ODHA, tapi juga memperburuk keharmonisan
rumah tangga, pekerjaan, keberfungsian diri secara sosial maupun
psikologis, dan kesejahteraan spiritual (Temoshok & Chandra, 2000).
Masalah ini perlu diseleseikan, agar tidak berlarut-larut dan
berdampak buruk terhadap segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, kedua
belah pihak (suami dan istri) perlu membangun komunikasi dan melakukan
penyesuaian untuk melanjutkan hubungan yang lebih baik (Handayani,
Suminar, Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008). Penyesuaian diri, pola
komunikasi dan sikap saling menghargai merupakan faktor yang
mempengaruhi kepuasaan pernikahan (Kumala & Trihandayani, 2015).
Dengan membicarakan dan berdikusi, pasangan ODHA akan mendapatkan
solusi mengenai masalah yang mereka hadapi, ditambah dengan sikap saling
menghargai, memungkinkan kedua pihak dapat saling memahami dan
memaafkan.
Memaafkan
bukan
berarti
melupakan
segala
kesalahan
transgressor, tapi lebih kepada kemurahan hati untuk memaafkan sekaligus
merupakan upaya untuk menghapus konsekuensi negatif atas ketidakadilan
5
Universitas Sumatera Utara
yang dirasakan (Enright & North, 1998). Forgiveness harus dibedakan dari
pardoning (merupakan istilah hukum sebagai pengampunan atas
pelanggaran),
condoning
(mengandung
unsur
pembenaran
atas
pelanggaran), excusing (pelanggar dianggap memiliki alasan yang bisa
diterima dalam perbuatannya), forgetting (melupakan kesalahan, tidak lagi
dalam kesadaran, atau ingatan tentang pelanggaran melemah), dan denying
(menyiratkan keengganan atau ketidakmampuan menanggung akibat dari
pelanggaran). Forgiveness juga berbeda dengan reconciliation, yakni istilah
yang menyiratkan pemulihan sebuah hubungan (McCullough, Pargament,
& Thoresen, 2000; McCullough & Witvliet, 2002).
Pertama kali dikonfrontasikan pada kondisi positif HIV, setiap orang
akan menolak untuk menerima kenyataan ini (Sarafino & Smith, 2011),
demikian juga halnya dengan ODHA perempuan, sehingga mereka tidak
mudah untuk memaafkan (unforgiveness) kesalahan suami.
Enright dan kawan-kawan (dalam Riasnugrahani & Wijayanti, 2011)
mengungkapkan bahwa, ketika individu menolak mengampuni, mereka
akan mengalami penderitaan ganda, yakni penderitaan atas kesalahan yang
dilakukan oleh transgressor terhadap dirinya dan penderitaan karena
menyimpan dendam beserta pikiran-pikiran negatif yang terjadi secara
bersamaan. Riasnugrahani & Wijayanti, (2011) menyatakan bahwa, apabila
ODHA perempuan terus-menerus unforgiveness, maka semakin lama
kesehatannya akan terpengaruh secara negatif, dan sebaliknya, jika ODHA
perempuan dapat mengambil sikap forgiveness, kesehatannya akan
6
Universitas Sumatera Utara
terpengaruh secara positif. Kumala & Trihandayani (2015), juga
menyatakan bahwa, forgiveness dan sabar bersama-sama mempengaruhi
kepuasan pernikahan secara positif. Jadi dapat dikatakan bahwa, forgiveness
merupakan pilihan yang tepat bagi ODHA perempuan yang telah menikah.
Menurut Enright & North (1998), mengambil keputusan untuk
forgiveness tidak lah mudah, dibutuhkan kemampuan melewati berbagai
emosi negatif yang dirasakan dan menggantinya dengan emosi yang lebih
positif, seperti halnya empati dan perasaan cinta. Dalam usaha ini tidak
jarang individu akan selalu kembali dibayang-bayangi dengan peristiwa
yang menyakitkan, penderitaan yang masih dirasakan, dan terkadang
dendam yang belum sepenuhnya dapat dihapuskan begitu saja (Zelhas,
Vinaya & Yustisia, 2016). Selain empati ada beberapa faktor lainnya yang
juga ikut mempengaruhi forgiveness, seperti pemaknaan terhadap peristiwa,
dan tingkat keparahan penyakit yang diderita (Worthington & Wade, 1999).
Banyak manfaat yang akan dipetik ODHA ketika menerapkan sikap
forgiveness. McCullough, Worthington, & Rachel (dalam Zelhas, Vinaya &
Yustisia, 2016) mengungkapkan bahwa, forgiveness merupakan salah satu
cara untuk mencegah munculnya masalah. Zelhas, Vinaya & Yustia (2016)
menambahkan, walaupun solusi atas akibat dari kesalahan transgressor
belum didapatkan, tapi ada indikasi penurunan motivasi untuk membalas
dendam, merenggangkan hubungan, dan meningkatkan motivasi untuk
berdamai dan berbuat baik. Dengan adanya motivasi-motivasi tersebut
7
Universitas Sumatera Utara
ODHA perempuan akan lebih mampu memulihkan kembali hubungan
dengan suaminya.
Saat ODHA berusaha membangun relasi dan memperbaiki
hubungan, konsep diri (self-concept) dapat menjadi lebih positif dari
sebelumnya (Sarikusuma, Hasanah, & Herani, 2012). Selain dapat
memperbaiki hubungan interpersonal, forgiveness juga dapat meningkatkan
kesejahteraan (well-being) (Riasnugrahani & Wijayanti, 2011; Zelhas,
Vinaya & Yustisia, 2016) sehingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan
ODHA.
Dengan demikian ODHA perempuan yang menikah, sangat perlu
mengembangkan perilaku forgiveness dalam menjalani kehidupannya.
Seperti dipaparkan diatas, selain menunjang kesejahteraan dan kualitas
kesehatan, forgiveness turut memberikan dampak positif pada kepuasaan
pernikahan, sehingga harapan pernikahan ODHA yang sebelumnya sempat
sirna, semakin mungkin untuk diwujdukan kembali. Tentu perlu adanya
kerja sama dari suami dan pihak keluarga dari keduanya, agar tercipta
keharmonisan rumah tangga yang memiliki arah dan tujuan. Dengan begitu,
diharapkan kehidupan pernikahan dapat kembali berjalan dengan baik.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka didapatlah pertanyaan
penelitian, yakni “Bagaimana gambaran forgiveness ODHA perempuan
yang terinfeksi dari suami?”
8
Universitas Sumatera Utara
C.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian adalah untuk menggambarkan forgiveness ODHA
perempuan yang terinfeksi HIV dari suaminya.
D.
MANFAAT PENELITIAN
1.
Manfaat Teoritis
a.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang
bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya di
bidang klinis, terutama yang berkaitan dengan forgiveness.
b.
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan bagi
peneliti lain, yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai
forgiveness.
2.
Manfaat Praktis
a.
Bagi orang yang memiliki kepedulian terhadap ODHA,
khsusnya ODHA perempuan, diharapkan penelitian ini dapat
memberikan informasi mengenai gambaran forgiveness pada
ODHA perempuan, sebagai referensi dalam memberikan
penanganan psikologis.
b.
Bagi ODHA, khususnya perempuan yang terinfeksi dari suami,
diharapkan dapat menyadari pentingnya forgiveness dalam
menghadapi kondisi serostatusnya, sehingga dapat memandang
dirinya dengan lebih baik dan positif.
9
Universitas Sumatera Utara
E.
SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I merupakan Pendahuluan; berisi latarbelakang dari masalah yang
akan diteliti, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
dan sistematika penulisan.
BAB II adalah Landasan Teori; berisi teori-teori yang digunakan sebagai
landasan dalam menjelaskan permasalahan penelitian, terdiri dari
teori mengenai forgiveness, pernikahan, dan HIV/AIDS dan
ODHA Perempuan
BAB III adalah Metode Penelitian; berisi metode yang digunakan dalam
mendekati gejala atau masalah yang hendak diteliti, mencakup
pendekatan penelitian, metode pengambilan sampel, karakteristik
sampel, metode pengumpulan data penelitian, dan prosedur
penelitian.
BAB IV adalah Hasil dan Pembahasan; berisi pemaparan hasil penelitian
dan pembahasan, serta analisa terhadap hasil pengolahan data.
BAB V adalah Kesimpulan, Keterbatasan Penelitian, dan Saran; berisi
kesimpulan dari hasil yang diperoleh, menjelaskan keterbatasanketerbatasan yang ditemui selama melakukan penelitian, dan
pemberian saran-saran sehubungan dengan hasil penelitian dan
rencana penelitian lanjutan.
10
Universitas Sumatera Utara
Download