Hubungan Antara Empati dengan Forgiveness pada Mahasiswa

advertisement
HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN FORGIVENESS PADA
MAHASISWA UNIVERSITAS “X” DI KOTA MAKASSAR YANG PERNAH
TERLIBAT TAWURAN
OLEH
JESSICA AMELIA ANNA
802011115
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
Abstrak
Penelitian ini bertujan untuk mengetahui hubungan antara empati dan forgiveness
pada mahasiswa Universitas “X” yang pernah terlibat tawuran di Kota Makassar.
Teknik pengambilan sampel dala penelitian ini menggunakan teknik snowball
sampling dengan subjek berjumlah 80 mahasiswa. Dimana subjek terdiri dari
mahasiswa fakulas “A” sebanyak 40 orang dan fakultas “B” sebanyak 40 orang.
Pengumpulan data empati diukur menggunakan Interpersonal Reactive Index (IRI)
yang disusun oleh Davis (1983), berdasarkan aspek yang diungkap oleh Davis
(1983), sementara pengumpulan data forgiveness menggunakan skala TransgressionRelated Interpersonal Motivation Inventory (TRIM-18) yang disusun oleh
McCullough, Root, & Cohen (2006), berdasarkan aspek yang diungkapkan oleh
McCullough, Root, & Cohen (2006). Teknik analisa data menggunakan Pearson
Product Moment. Hasil yang diperoleh dari perhitungan tersebut adalah nilai
koefisien korelasi
(r) = -0,008 dengan sig. = 0,471 (p > 0,05), yang berarti tidak
ada hubungan yang signifikan antara empati dan forgiveness.
Kata kunci :Forgiveness, empati, mahasiswa yang ernah terlibat tawuran
Abstract
This study aims to find the relationship between empathy and forgiveness on
students at the University "X" students which have been involved brawl in Makassar.
The researcher use snowball sampling method with participants of this study are 80
students, that consist of 40 students are students of the faculty of "A" and 40
students are students of the faculty of "B". Interpersonal Reactive Index (IRI) scale
was used to measure the empathy which prepared by Davis (1983), based on
aspects revealed by Davis (1983). Transgression Related Interpersonal Motivation
Inventory (TRIM-18) scale was used to measure the forgiveness were prepared by
McCullough , Root, and Cohen (2006), based on aspects revealed by McCullough,
Root, and Cohen (2006). Data analysis technique uses Pearson Product Moment.
The results shows that calculationsof the value of the correlation coefficient
(r)
= -0.008 with sig. = 0.471 (p> 0.05), which means there is no significant
relationship between empathy and forgiveness.
Keywords :Forgiveness, empathy, students which have been involved brawl
1
PENDAHULUAN
Montagomery dan Côté (2003, dalam Papalia, dkk, 2013), perguruan tinggi
merupakan jalur penting menuju kedewasaan, walaupun hanya merupakan salah satu
jalur dan baru belakangan ini menjadi pilihan yang paling umum.
Lebih lanjut
Montagomery dan Côté menjelaskan bahwa lewat perkuliahan, mahasiswa dapat
mengalami periode penemuan intelektual dan pertumbuhan pribadi, terutama dalam
keterampilan verbal dan kuantitatif, berpikir kritis, serta penalaran moral. Oleh karena
itu, kedudukan mahasiswa dalam masyarakat sering disamakan sebagai orang yang
memiliki intelektual yang tinggi, mampu berpikir kritis, dan mampu menyelesaikan
konflik dengan strategi yang baik.
Belakangan ini, media sering menampilkan kasus tawuran yang dilakukan oleh
mahasiswa. Kota Makassar merupakan salah satu kota yang paling sering diliput
mengenai kasus di atas.Maraknya kasus tawuran yang terjadi, ternyata juga
mengakibatkan munculnya banyak korban. Tawuran yang terjadi biasanya dilakukan
antar fakultas, antar etnis, bahkan hingga antar universitas. Tak jarang, tawuran yang
terjadi sering memunculkan korban sesama mahasiswa, baik yang terlibat dalam
tawuran, maupun yang tidak sengaja terkena sasaran dari pelaku tawuran. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korban dapat diartikan sebagai orang,
binatang, dsb yang menjadi menderita (mati dsb) akibat suatu kejadian, perbuatan jahat,
dsb, sehingga korban dalam sebuah peristiwa tawuran, bukan hanya mereka yang tak
sengaja terkena sasaran dari pelaku tawuran, namun termasuk juga mereka yang terlibat
dalam tawuran dan menjadi menderita (mati, dsb).
Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti terhadap beberapa mahasiswa
Universitas “X” yang pernah terlibat dan yang belum pernah terlibat dalam
2
tawuran,pada tanggal 28 dan 29Apri 2015, peneliti menemukan bahwa tawuran yang
terjadi di Universitas “X”biasanya dilakukan oleh dua fakultas yang sama. Hampir tiap
minggunya (hari Senin dan Kamis atau Jumat), sering terjadi tawuran diantara dua
fakultas tersebut. Tawuran yang terjadi memang sering dikarenakanhal-hal yang sepele,
tetapi di balik alasan tersebut ada alasan besar yang melatarbelakangi terjadinya
tawuran di antara kedua fakultas tersebut. Adanya sakit hati dan kekecewaanpara
mahasiswa dari kedua fakultas tersebut akibat munculnya korbandan serangan dari
lawan dalam sebuah peristiwa tawuran, yang terus berlangsung hingga menimbukan
dendam, akibat sebuah peristiwa tawuran, yang kembali terulang pada peristiwa
tawuran setelahnya, dan begitu seterusnya, hingga sekarang ini. Korban yang
munculpun biasanya berasal dari sejumlah mahasiswa yang juga terlibat dalam kasus
tawuran tersebut. Berbagai mediasi telah dilakukan oleh pihak kampus, namun
membawa hasil yang sia-sia.Hal ini membuataksi balas dendam yang terjadi lewat
peristiwa tawuran dari tahun ke tahun terus terjadi.
Kartono (2003, dalam Saad), juga mengemukakan bahwa alasan yang muncul
dari para siswa yang terlibat tawuranbiasanya bernada klise seperti : membela teman,
didahului, solider, membela diri, atau merasa dendam. Penyebab tersembunyi banyak
kasus tawuran menurut Kartono (2003), adalah rasa bermusuhan yang diwariskan
secara turun-temurun dari angkatan ke angkatan selanjutnya.Perasaan menjadi bagian
dari sebuah kelompok, membuat mereka, yang terlibat dalam tawuran, merasa memiliki
dendam yang samasehingga membuat mereka meyakini perlunya membantukelompok
dalam membalaskan dendamnya melalui tawuran. Hal ini senada dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sulaeman (2010), yang menemukan bahwa tawuran
berkepanjangan yang sering terjadi pada masyarakat Desa Pantura-Jabar lebih didorong
3
oleh perasaan emosional yang selalu ingin membalas dendam. Dendam yang muncul
dikarenakan adanya korban pada tawuran sebelumnnya, membuat korban menuntut
untuk membalas dendam, dan didukung oleh teman sekampung atau sedesanya.
Pasca tawuran, tampaknya mereka yang terlibat dalam tawuran membutuhkan
proses untuk bisa memaafkan perlakuan kasar yang membuat dirinya atau teman dalam
kelompoknya terluka.Memaafkan (forgiveness) dianggap dapat menjadi pusat
pembangunan manusia yang sehat dan dapat menjadi salah satu proses yang paling
penting dalam pemulihan hubungan interpersonal setelah konflik (Hill, 2001 dalam
Toussaint &Webb, 2005).Ketika seseorang memaafkan, maka motivasi untuk
membalas dendam dan menghindari hubungan dengan pelaku berkurang, sementara
motivasi untuk berbelas kasih atau niat baik terhadap pelaku (transgressor)akan
bertambah atau muncul kembali (McCullough, Worthington, &Rachal ,1997).
Dengan memaafkan, mahasiswa yang pernah terlibat dalam tawuranakan
mendapatkan keuntungan dalam membangun relasi yang positif dengan pelaku tawuran
yang menyerang dirinya dan juga kelompoknya. Hubungan yang dekat dengan orang
lain seringkali merupakan suatu sumber penting bagi kebahagiaan dan kepuasan serta
mendukung kesejahteraan (Karemans & Van Lange, 2008).Selain itu terdapat pula
penelitian yang menyebutkan bahwa forgiveness memiliki hubungan yang kuat dengan
perilaku berdamai dan motivasi untuk pengelakan dan balas dendam terhadap orang
yang telah menyakiti atau bersalah (Watkins, dkk, 2011).Kaballu (2013), dalam
penelitiannya mengenai makna pemaafan pada korban konflik Poso, menemukan
bahwapara korban yang cenderung memilih untuk memaafkan pelaku dengan tujuan
mengantisipasi timbulnya dendam dan menciptakan perdamaian di masa depan untuk
4
warga Poso. Hal ini menggambarkan betapa pentingnya kemampuan korban tawuran
untuk bisa memaafkan perilaku pelaku tawuran saat menyerang dirinya.
Sementara itu, banyak faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk dapat
memaafkan orang lain (Wade dan Worthington, 2003), faktor-faktor tersebut antara
lain: religiusitas (religiosity), empati, keramahan, kemarahan, perasaan malu (shamepronenes), kedekatan, kualitas hubungan interpersonal sebelum transgresi, reaksi
transgressor (luka yang ditimbulkan oleh transgressor), dan permintaan maaf. Salah
satu faktor penting yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah empati. Empati
merupakan faktor yang lebih universal dalam melakukan forgiveness (Exline, dkk.,
2008). Empati diartikan sebagaifaktor utama di dalam proses pemaafan yang berasal
dari dalam diri individu untuk memposisikan dirinya berada dalam situasi dan kondisi
yang dialami oleh individu lain, serta turut merasakan gejolak jiwa yang terjadi di
dalam diri transgressor(Wade dan Worthington, 2003).
Empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain,
merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan, dan mengambil perspektif orang lain
(Baron & Byrne, 2005). Dengan memiliki empati, maka individu bisa membina relasi
yang baik dengan orang lain. Empati meliputi komponen afektif maupun kognitif
(Baron & Byrne, 2005 ; Wade dan Worthington, 2003). Secara afektif, orang yang
berempati merasakan apa yang orang lain rasakan. Secara kognitif, orang yang
berempati memahami apa yang orang lain rasakan dan alasannya. Goleman (1999),
menjelaskan bahwa empati dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional juga
mampu memberikan kontribusi terhadap kehidupan sosial seseorang.Walaupun empati
dianggap sebagai keadaan emosional, sering kali empati memiliki komponen kognitif
atau kemampuan melihat keadaan psikologis dalam diri orang lain, atau apa yang
5
disebut dengan mengambil perspektif orang lain. Ketika individu akan memberikan
maaf, individu tersebut pasti mengingat kembali rasa sakit yang diterima dari orang
yang menyakiti dan membutuhkan empati yang baik (McCullough, 2000).
Lebih lanjut, penelitian telah menemukan hubungan yang positif antara empati
dan forgiveness(Wade dan Worthington, 2003; Toussaint & Webb, 2005). Penelitian
lainnya yang dilakukan oleh Macaskill, Maltby, dan Day (2002), menemukan hal yang
senada, bahwa empati berkorelasi positif dengan memaafkan orang lain, namun
berkorelasi negatif dengan memaafkan diri sendiri.Hal ini menjadi mungkin, mengingat
empati berhubungan dengan memahami perilaku dan perasaan orang lain, bukan diri
sendiri. Sehingga, bisa dikatakan bahwa empati memiliki peranan penting dalam
terwujudnya forgiveness pada seseorang.
Empati dianggap mampu untuk menurunkan motivasi balas dendam dan
menghindari transgressor dan mendorong munculnya motivasi untuk berbelas kasih
terhadap trangeressor (McCullough, dkk, 2000). Lebih lanjut, perubahan motivasi ini
dapat terjadi karena empatimembuat korban untuk peduli terhadap trangressor atas
dasar (a) membayangkan rasa bersalah atau berdosadistress yang dialami trangressor,
(b) membayangkan keinginan transgressor untuk kembali membangun hubungan yang
baik dengan dirinya, atau (c) keinginan dari dalam diri korban untuk memperbaiki
hubungan dengan transgressor.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh
McCullough, Fincham, &Tsang (2003) menemukan bahwa empati tidak memliki
korelasi yang signifikan terhadap forgiveness. McCullough, dkk menyatakan bahwa
empati hanyalah berperan dalam forgiveness yang bersifat sementara, tidak untuk
jangka waktu yang lama. Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin meneliti, apakah
6
adahubungan antara empati dan forgiveness pada mahasiswa Universitas “X” yang
pernah terlibat dalamtawuran.
Hipotesis
Berdasarkan pemahaman tersebut, hipotesis yang dihasilkan dalam penelitian ini
adalah terdapat hubungan positif signifikan antara empati dengan forgiveness pada
mahasiswa Universitas “X” yang pernah terlibat dalam tawuran.
Forgiveness
Definisi Forgiveness
Forgiveness, merupakan sebuah proses dimana korban mampu untuk
melakukan sesuatu terhadap transgresor dengan didasari niat baik terhadapnya, bukan
karena perasaan marah dan sakit hati yang dirasakan akibat serangan dari transgresor
(Bono & McCullough, 2006).Lebih lanjut, forgiveness diartikan sebagai suatu bentuk
perubahan motivasional, berkurangnya atau menurunnya motivasi untuk membalas
dendam dan motivasi untuk menghindari orang yang telah menyakiti, yang cenderung
mencegah seseorang berespon yang destruktif dalam interaksi sosial dan mendorong
orang untuk menunjukkan perilaku yang konstruktif terhadap orang yang telah
menyakitinya (McCullough, Worthington dan Rachal, 1997). Teori McCullough
(McCullought, Root, & Cohen, 2006), menyatakan bahwa forgiveness adalah motivasi
berbuat baik (benevolence motivations) yaitu bertambahnya dorongan untuk berbuat
baik dari kesalahan yang telah dilakukan dengan tidak menghindar dan tidak ingin
membalas
dendam.
Dengan
forgiveness,
seseorang dimotivasi
untuk
tidak
menghindari transgresor dan membalas dendam.
Berdasarkan uraian teori di atas, dapat disimpulkan bahwa forgiveness
merupakan sebuah proses perubahan sikap individu terhadap orang yang
7
menyakitinya, dengan didasarkan oleh motivasi untuk berbuat baik terhadapnya dan
mengurangi motivasi untuk menghindar dan balas dendam terhadap orang yang telah
menyakitinya.
Aspek Forgiveness
Menurut McCullough (2000), aspek forgiveness terdiri dari:
a. Avoidance Motivation (Motivasi untuk Menghindar)
Semakin menurunnya motivasi untuk menghindari pelaku, membuang keinginan
untuk menjaga kerenggangan (jarak) dengan orang yang telah menyakitinya
b. Revenge Motivation (Motivasi untuk Balas Dendam)
Semakin menurunnya motivasi untuk membalas dendam terhadap suatu hubungan
mitra, membuang keinginan untuk membalas dendam terhadap orang yang telah
menyakiti.
c. Benevolence Motivation(Motivasi untuk Berbuat Baik)
Semakin individu termotivasi oleh niat baik dan keinginan untuk berdamai dengan
pelaku meskipun pelanggarannya termasuk tindakan berbahaya, keinginan untuk
berdamai atau melihat well-being orang yang menyakitinya.
Faktor yang Mempengaruhi Forgiveness
Ada beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya pemaafan. Menurut Wade
dan Worthington (2003), faktor-faktor tersebut antara lain :
a. Religiusitas (religiosity), dimana individu yang mendasarkan tingkah laku hidup
sehari-hari atau segala aspek hidupnya dalam agama yang diyakininya dapat
melakukan pemaafan. Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi dapat
melakukan pemaafan.
8
b. Empati, dimana hal ini merupakan faktor utama di dalam proses pemaafan yang
berasal dari dalam diri individu untuk memposisikan dirinya berada dalam situasi
dan kondisi yang dialami oleh individu lain, serta turut merasakan gejolak jiwa
yang terjadi di dalam diri transgressor.
c. Keramahan, dimana individu dapat mengerti keadaan individu lain dan
memakluminya. Keramahan memungkinkan untuk terjadinya pemaafan.
d. Kemarahan, dimana merupakan emosi negatif yang sering menstimulasi usaha
untuk mengurangi tindakan untuk memaafkan.
e. Perasaan malu (shame-pronenes), yakni dimana individu sebagai pelaku kejahatan
merasa malu atas perbuatan yang dilakukannya yang kemudian menyakiti orang
lain. Adanya perasaan malu tersebut kemudian akan mempersulit terjadinya
pemaafan.
f. Kedekatan hubungan dengan transgressor. Hal ini dikarenakan pemaafan
melibatkan perubahan dorongan dari negatif menjadi positif terhadap transgressor,
maka kedekatan hubungan kemudian akan mempengaruhi proses tersebut.
g. Kualitas hubungan interpersonal sebelum transgresi. McCullough, Rachal, Sandage,
Worthington, Brown & Hight (1998) menyatakan bahwa hubungan yang romantik
mungkin lebih bersedia untuk memaafkan karena mempunyai sumber daya yang
cukup besar dalam hubungan.
h. Reaksi transgressor (luka yang ditimbulkan oleh transgressor), dimana semakin
besar luka yang dihasilkan, maka semakin sulit pula individu untuk memaafkan
transgressor.
9
i. Permintaan maaf, dimana hal ini menstimulasi emosi dalam diri korban dan
menumbuhkan empati terhadapnya, sehingga dapat meningkatkan pemaafan
individu terhadap transgressor.
Empati
Pengertian Empati
Eisenberg (2002), menyatakan bahwa empati merupakan sebuah respon afektif
yang berasal dari penangkapan atau pemahaman keadaan emosi atau kondisi lain dan
yang mirip dengan perasaan orang lain. Empati juga diartikan sebagai kemampuan
untuk memosisikan diri sendiri dalam posisiorang lain dan mampu untuk menghayati
pengalaman orang lain. Selain itu, empati juga dimaksudkan untuk kemampuan
seseorang dalam melakukan pemahaman terhadap emosi orang lain.Lebih lanjut Baron
& Byrne (2005), menjelaskan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan
keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan, dan
mengambil perspektif orang lain. Dengan memiliki empati, maka individu bisa
membina relasi yang baik dengan orang lain. Kemampuan berempati juga
didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain,
ikut berperan dalam pergulatan dalam arena kehidupan, mulai dari penjualan dan
manajemen hingga ke asmara, dari belas kasih hingga tindakan politik (Goleman,
1999).
Berdasarkan definisi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa empati
adalah suatu keadaan emosional yang dimiliki oleh seseorang untuk memahami
kondisi, perasaan atau keadaan pikiran orang lain, sehingga dapat merasakan
sebagaimana yang dirasakan dan dipikirkan orang lain.
10
Aspek Empati
Aspek empati menurut Davis (1983) dapat dibedakan menjadi dua yaitu aspek
kognitif dan aspek afektif.
1) Aspek Kognitif
a. Pengambilan pespektif (perspective taking) merupakan kecenderungan
sesorang untuk mengambil sudut pandang psikologis orang lain secara spontan.
Terdapat dua penekanan aspek kognitif yaitu, penekanan terhadap kemampuan
yang tidak berorientasi pada kepentingan sendiri, tetapi kepentingan orang lain
(Mead, 1934 dalam Davis, 1983). Penekanan yang kedua berhubungan dengan
pengambilan perspektif yang berhubungan dengan reaksi emosional dan
perilaku menolong pada orang dewasa yaitu memahami apa yang dipikirkan
orang lain (Coke, 1978 dalam Davis, 1983).
b. Imajinasi (Fantasy) merupakankemampuan seseorang untuk mengubah dirinya
secara imajinatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal
(membayangkan) dalam buku, film atau cerita yang dibaca serta apa yang
diceritakan individu lain dan yang ditontonnya (Simorangkir, 2014). Stotland
(dalam Davis 1983), menyatakan bahwa imajinasi merupakan aspek kognitif
yang berpengaruh pada reaksi emosi terhadap orang lain dan menimbulkan
perilaku menolong.
2) Aspek Emosi
a. Perhatian empatik (emphatic concern) merupakan perasaan empatik seseorang
yang berorientasi pada orang lain dan perhatian kepada kemalangan orang lain.
Aspek ini jaga merupakan cermin dari perasaan kehangatan yang erat
kaitannya dengan kepekaan dan kepedulian terhadap orang lain
11
b. Distress pribadi (personal distress), menekankan pada kecemasan pribadi yang
berorientasi pada diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi setting
interpersonal yang tidak menyenangkan.
METODOLOGI PENELITIAN
Partisipan
Penelitian ini dilakukan di Universitas “X” di Kota Makassar. Subjek penelitian
adalah mahasiswa Universitas “X”, Fakultas “A” dan Fakultas “B”, yang pernah
terlibat dalam tawuran (Januari 2015 –April 2015). Dari kriteria tersebut, penulis
memutuskan untuk mengambil subjek sebanyak 80 orang mahasiswa, yang terdiri dari
40 mahasiswa Fakultas “A” dan 40 mahasiswa Fakultas “B”.
Prosedur Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Sebelum peneliti melakukan
pengumpulan data, peneliti terlebih dahulu meminta ijin penelitian dari pihak
Universitas “X”, khususnya Fakultas “A” dan Fakultas “B”. Selanjutnya, pihak
Universitas “X” memberikan ijin dengan persyaratan bahwa nama universitas dan
fakultas tidak dituliskan dalam penelitian ini. Setelah mendapatkan ijin, peneliti
melakukan pengumpulan data pada tanggal 29 April 2015 s/d 4 Mei 2015 dengan cara
peneliti langsung mencari mahasiswa yang pernah terlibat tawuran, bertanya dan
meminta tolong dengan teman yang sekiranya mempunyai kenalan mahasiswa yang
pernah terlibat tawuran. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik snowball
sampling. Snowball sampling merupakan teknik penentuan sampel yang mulanya
jumlanya kecil, kemudian membesar ibarat bola salju yang menggelinding lama
menjadi besar (Sugiyono,2012). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan try
12
outterpakai, dimana subjek yang digunakan untuk try out digunakan sekaligus untuk
penelitian. Data yang diperoleh dalam penelitian ini kemudian diolah menggunakan
bantuan program computer SPSS 17.0 for windows.
Instrumen Penelitian
Skala Forgiveness
Skala dari forgiveness yang digunakan sebagai alat pengumpul data
menggunakan skala Transgression-Related Interpersonal Motivation Inventory (TRIM18).Skala ini disusun oleh McCullough, Root, & Cohen (2006), berdasarkan aspek yang
diungkapkan oleh McCullough, Root, & Cohen (2006) yaitu, avoidance motivation
(motivasi untuk menghindar), revenge motivation (motivasi untuk balas dendam), dan
benevolence motivation (motivasi untuk berbuat baik). Pada penelitian sebelumnya
(McCullough, Root, & Cohen, 2006) telah menemukan bahwa TRIM-18 memiliki
tingkat reliabilitas yang baik (α = 0,85) dan validitas konstruk yang baik.
Penilaian
skala
ini
adalah
makin
tinggi
skor
yang
diperoleh,
makaforgivenessnya semakin tinggi.Begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor yang
diperoleh maka forgivenessnya semakin rendah. Skala ini menggunakan format Likert
yang terdiri dari 5 alternatif jawaban, dengan nilai skoring berkisar dari 1-5.Total aitem
yang digunakan adalah 18aitem.Setelah dilakukan pengujian daya diskriminasi aitem,
maka ditemukan tidak ada aitem yang gugur. Dari uji reliabilitas dengan Alpha
Cronbach diperoleh hasil α= 0,902( > 0,90), yang berarti reliabilitas alat ukur TRIM-18
tergolong tinggi (Guilford, 1956).
13
Skala Empati
Skala empati yang digunakan sebagai alat pengumpul data menggunakan skala
Interpersonal Reactive Index (IRI). Skala ini disusun oleh Davis (1983), berdasarkan
aspek yang diungkap oleh Davis (1983) yaitu, pengambilan perspektif (perspective
taking) (IRIpt), imajinasi (fantasy scale) (IRIfs), perhatian empati (empathic concern)
(IRIec), and distres pribadi (personal distress) (IRIpd).Hawk, dkk (2013), menyebutkan
bahwa IRI memiliki validitas dan reliabiltas alat ukur yang baik, dimana koefisien alfa
bergerak dari 0,67-0,87 dan validitas konstruk yang baik.
Penilaian skala ini adalah makin tinggi skor yang diperoleh, maka empatinya
semakin tinggi.Begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka
empatinya semakin rendah. Skala ini menggunakan format Likert yang terdiri dari 5
alternatif jawaban, dengan nilai skoring berkisar dari 0-4. Total aitem yang digunakan
adalah 28aitem. Setelah dilakukan pengujian daya diskriminasi aitem, maka ditemukan
terdapat 5 aitem yang gugur (aitem 3, 11, 16, 18, dan 28). Dari uji reliabilitas
denganAlpha Cronbach diperoleh hasil α = 0,902( > 0,90), yang berarti reliabilitas alat
ukur IRI tergolong tinggi (Guilford, 1956).
14
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Normalitas
Tabel 1.1 : Hasil Uji Normalitas Empati dengan Forgiveness
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
forgiveness
N
a,,b
Normal Parameters
Mean
Most Extreme Differences
Std. Deviation
Absolute
empati
80
53.1875
80
66.3625
11.01563
.079
10.68329
.082
.079
-.052
.704
.705
.082
-.054
.734
.653
Positive
Negative
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Berdasarkan uji hasil pengujian normalitas pada table 1.1 di atas, kedua variabel
memiliki signifikansi p>0,05. Variabel forgiveness memiliki nilai K-S-Z sebesar0,704
dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,705 (p > 0,05). Oleh karena nilai
signifikansi p > 0,05, maka distribusi data forgiveness berdistribusi normal. Hal ini juga
terjadi pada variabel empati yang memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,734 dengan
probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,653 (p > 0,05). Dengan demikian data
empati juga berdistribusi normal
Uji Linearitas
Table 1.2 : Hasil Uji Linearitas antara Empati dengan Forgiveness
ANOVA Table
Sum of
Squares
forgiveness *
empati
Between
Groups
(Combined)
Linearity
Deviation from
Linearity
Within Groups
Mean
Square
df
F
Sig.
5159.238
36
143.312
1.392
.149
.432
1
.432
.004
.949
5158.805
35
147.394
1.432
.131
4426.950
43
102.952
15
ANOVA Table
Sum of
Squares
forgiveness *
empati
Between
Groups
(Combined)
5159.238
Linearity
Mean
Square
df
36
143.312
F
Sig.
1.392
.149
.432
1
.432
.004
.949
5158.805
35
147.394
1.432
.131
Within Groups
4426.950
43
102.952
Total
9586.188
79
Deviation from
Linearity
Dari uji linearitas, maka diperoleh nilai Fbeda sebesar1,432 (p > 0,05) dengan sig.=
0,131 (p > 0,05) yang menunjukkan hubungan antar empati dengan forgivenessadalah
linier.
Analisis Korelasi
Table 1.3 : Hasil Uji Korelasi antara Empati dengan Forgiveness
Correlations
forgiveness
forgiveness
Pearson Correlation
empati
1
Sig. (1-tailed)
N
Empati
Pearson Correlation
Sig. (1-tailed)
N
-.007
.476
80
80
-.007
1
.476
80
Berdasarkan hasil pengujian iji korelasi diperoleh koefisien korelasi antara empati
dengan forgiveness sebesar -0,007 dengan sig. = 0,476 (p > 0,05) yang berarti tidak
ada hubungan yang signifikan antara empati dan forgiveness.
80
16
Analisis Deskriptif
Forgiveness
Tabel 1.4 : Kategorisasi Pengukuran Skala Forgiveness
NO.
1.
2.
3.
4.
5.
Interval
18 ≤ x ≤ 32,4
32,4 < x ≤ 46,8
46,8 < x ≤ 61,2
61,2 < x ≤ 75,6
75,6 <x ≤ 90
Kategori
Mean
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
53,2
Tinggi
Sangat Tinggi
Jumlah
SD = 11 Min = 31 Max = 87
N
2
30
39
7
2
80
Presentase (%)
2,5%
37,5%
48,8%
8,75%
2,5%
100%
Berdasarkan table 1.4 di atas, dapat dilihat bahwa mahasiswa yang memiliki skor
forgiveness yang berada pada kategori sangat rendah dengan jumlah 2 mahasiswa dan
presentase 2,5%, mahasiswa memiliki forgiveness yang berada pada kategori rendah
dengan jumlah 30 mahasiswa dan presentase 37,5%, mahasiswa memiliki forgiveness
yang berada pada kategori sedang dengan jumlah 39 mahasiswa dan presentase 48,8%,
mahasiswa memiliki forgiveness yang berada pada kategori tinggi dengan jumlah 7
mahasiswa dan presentase 8,75%, mahasiswa memiliki forgiveness yang berada pada
kategori rendah dengan jumlah 2 mahasiswa dan presentase 2,5%. Berdasarkan
presentase di atas, ditemukan rata-rata mahasiswa memiliki kemampuan forgiveness
pada kategori sedang, dengan mean = 53,2.
Empati
NO.
1.
2.
3.
4.
5.
Tabel 1.5 : Kategorisasi Pengukuran Skala Empati
Interval
Kategori
Mean
N
Presentase (%)
0 ≤ x ≤ 18,4
Sangat Rendah
0
0%
18,4< x ≤ 36,8
Rendah
2
2,5%
36,8< x ≤ 55,2
Sedang
7
8,75%
55,2 < x ≤ 73,6
Tinggi
66,4
51
63,75%
73,6< x ≤ 92
Sangat Tinggi
20
25%
Jumlah
80
100%
SD = 10,68 Min = 43 Max = 102
17
Berdasarkan table 1.5 di atas, dapat dilihat bahwa mahasiswa yang memiliki skor
empatiyang berada pada kategori sangat tinggi dengan jumlah 20 mahasiswa dan
presentase 25%, mahasiswa memiliki empatiyang berada pada kategori tinggi dengan
jumlah 51 mahasiswa dan presentase 63,75%, mahasiswa memiliki empatiyang berada
pada kategori sedang dengan jumlah 7 mahasiswa dan presentase 8,75%, mahasiswa
memiliki empatiyang berada pada kategori rendah dengan jumlah 2 mahasiswa dan
presentase 2,5%, dan tidak ada mahasiswa yang memiliki skor empati berada pada
sangat rendah, sementara nilai
rata-rata mahasiswa memiliki kemampuan empati
berada pada kategori tinggi, dengan mean = 66,4
Pembahasan
Berdasarkan hasil pengujian terhadap hipotesis penelitian, diperoleh hasil bahwa
hipotesis yang diajukan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara empati
dengan forgiveness pada mahasiswa Universitas “X” di kota Makassar yang pernah
melakukan tawuran ditolak. Hasil uji hipotesis menunjukkan koefisien korelasi
(r)=-0,008 dengan sig. = 0,471 (p > 0,05), yang berarti tidak ada hubungan yang
signifikan antara empati dan forgiveness. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang mendukung adanya hubungan yang positif antara empati
dan forgiveness (Wade dan Worthington, 2003 ;Macaskill, Maltby, dan Day, 2002),
dimana empati yang dianggap sebagai kemampuan dalam memahami perasaan dan
pikiran orang lain, ditemukan mampu membuat seseorang mengalami forgiveness.
Lebih lanjut, McCullough (2000) juga menyatakan bahwa dengan memiliki
kemampuan berempati seseorang akan mampu untuk menumbuhkan kepedulian,
termasuk kepedulian terhadap orang yang telah menyakitinya. Tetapi, penelitian ini
menemukan hasil yang berbeda.
18
McCullough, Fincham, & Tsang (2003), dalam penelitiannya menemukan hasil
yang serupa dengan penelitian ini, yakni tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
kemampuan
berempati
dan
forgiveness
pada
seseorang.
Dalam
penelitian
longintudional yang dilakukan McCullough, dkk (2003), menemukan bahwa empati
sebenarnya memiliki hubungan yang positif pada forgiveness yang bersifat sementara,
tetapi tidak untukforgivenessdalam jangka waktu yang lama. McCullough, dkk (1998),
dalam penelitian eksperimennya juga menemukan hal yang serupa. Dimana ia
membandingkan sikap partisipan terhadap transgressor antara kelompok psikoedukasi
berbasis empati dan dua kelompok psikoedukasi lainnya.Setelah diberi treatment,
kelompok psikoedukasi berbasis empati memang menunjukkan perbedaan, namun
perbedaan tersebut menghilang setelah enam minggu kemudian.
Kedua penelitian tersebut, mendukung bahwa empati tidak memiliki hubungan
dengan kecenderungan forgiveness dari waktu ke waktu. Ada banyak penjelasan
mengenai hal tersebut. McCullough, dkk (1998), mengemukakan bahwa empati akan
mampu memiliki korelasi dengan forgiveness, hanya ketika korban mendapatkan
perlakuan kasar dari transgresor yang memiliki hubungan yang dekat, memiliki
komitmen bersama, dan memiliki hubungan yang memuaskan dengan transgresor,
demikian pula sebaliknya. Di sini kita dapat melihat bahwa kualitas dan kedekatan
hubungan interpersonal sebelum transgresi dapat berhubungan dengan dapat/tidaknya
forgiveness terjadi (Wade dan Worthington, 2003). Dalam kasus tawuran di Universitas
“X”, sepertinya hubungan interpersonal sebelum trangresi menjadi penghambat dalam
melakukan forgiveness. Adanya stigma yang diturunkan dari angkatan sebelumnya
kepada angkatan selanjutnya kepada fakultas lawan, membuat kedua fakultas yang
sering terlibat tawuran memiliki hubungan yang tidak sehat. Intensitas terjadinya
19
tawuran yang terbilang cukup sering, juga membuat kemampuan mahasiswa dalam
berempati tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kecenderungan
mahasiswa dalam melakukan forgiveness terhadap pelaku tawuran yang telah
menyakitinya atau teman sekelompoknya.
Selain itu, adanya konformitas yang dialami mahasiswa dalam sebuah fakultas,
membuat dendam kepada fakultas lawan yang berkepanjangan ini dianggap sebagai hal
yang wajar (Kartono, 2003 ; dalam Saad). Konformitas merupakan perubahan perilaku
sebagai akibat dari tekanan kelompok, konformitas mencerminkan perubahan perilaku
sebagai hasil tekanan kelompok secara nyata atau hanya imajinasi. Hal ini terlihat dari
kecenderungan seseorang untuk selalu menyamakan perilakunya terhadaptekanan
kelompok sehingga dapat terhindar dari celaan, keterasingan maupuncemoohan (Myers,
2005). Peneliti melakukan wawancara terhadap salah satu mahasiswa Fakultas “A”,
pada tanggal 29 April 2015, ia berpendapat bahwa tawuran yang sering terjadi memang
berakar dari dendam yang terus diwariskan dari angkatan sebelumnya ke angkatan
baru. Rasa solidaritas yang memang telah ditanamkan sejak masa orientasi mahasiswa
baru, membuat mahasiswa sulit untuk melakukan forgiveness.
Hal lain yang menyebabkan hipotesis penelitian ini ditolak adalah karena masih
terdapat faktor-faktor lain yang berhubungan dengan forgiveness,selain empati.Seperti
faktor kemarahan(Wade dan Worthington, 2003),yang merupakan emosi negatif yang
sering menstimulasi usaha untuk menumbuhkan motivasi menjahui dan balas dendam,
sehingga kemampuan untuk memaafkan juga ikut berkurang.Kemarahan dapat
mempengaruhi keadaan suasana hati seseorang yang selanjutnya akan ikut menghambat
terjadinya proses forgiveness (McCullough, Fincham, & Tsang, 2003). Munculnya
kemarahan di kalangan mahasiswa diakibatkanadanya serangan saat tawuran,
20
munculnya korban yang merupakan teman se-fakultasnya,serta rasa solidaritas yang
dikembangkan selama masa orientasi mahasiswa baru dan selama berkuliah (Kartono,
2003 ; dalam Saad), yang kemudian menimbulkan stimulus untuk mereduksi motivasi
berbuat baik terhadap transgressor dan meningkatkan motivasi untuk balas dendam dan
menjauhi transgressor.
Faktor reaksi transgresor (Wade dan Worthington, 2003) juga berhubungan
dengan kecenderung untuk tidak mampu melakukan forgiveness. Kaballu (2013),
menemukan bahwa ketidakmampuan dalam melakukan forgiveness pada korban
konflik Poso terjadi seiring besarnya intensitas pencederaan yang diterima. Sehingga
menimbulkan bekas yang mendalam dan kembali mereduksi motivasi berbuat baik
terhadap transgressor, serta meningkatkan motivasi untuk menghindar dan balas
dendam. Oleh sebab itu, terjadinya forgiveness pada mahasiswa, masih berhubungan
dengan banyak faktor lainnya dan membuat kemampuan empati mahasiswa Universias
“X” menjadi tidak memiliki hubungan yang berarti terhadap kemampuan memaafkan
pelaku tawuran yang telah menyakitinya.
Empati, yang sering dikaitkan dengan kemampuan memahami perasaan dan
pikiran orang lain, kemudian tidak memiliki hubungan yang berarti dengan kemampuan
forgiveness seseorang juga dikarenakan adanya persepsi dan nilai-nilai seseorang yang
berbeda dengan sikap yang ditunjukkan transgressor. Seseorang dapat saja memahami
pikiran, perasaan, dan kondisi trangresor, sehingga seketika itu pula ia dapat
memberikan pemakluman yang membuat ia melakukan forgiveness terhadap
trangresor. Tetapi hal ini tidak akan bertahan dalam waktu ke waktu, ketika seseorang
mulai membandingkan sikap yang akan ditunjukkan dirinya dan sikap yang telah
ditunjukkan transgresor berdasarkan persepsi dan nilai-nilai pribadi yang ia miliki,
21
“jika saya menjadi dia, saya tidak akan menyakiti orang lain…”. Hal ini
membuatforgivenessyang telah terjadi ketika ia mampu berempati, menghilang,
Selain itu, tidak adanya korelasi yang signifikan antara empati dengan forgiveness
dalam penelitian ini bisa dikarenakan alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini,
untuk mengukur kemampuan empati mahasiswa, masih bersifat general, tidak spesifik
mengukur kemampuan empati mahasiswa terhadap pelaku tawuran yang telah
menyakiti dirinya, sementara alat ukur yang digunakan untuk mengukur forgiveness
sudah sangat memfokuskan pikiran, sikap, dan perasaan mahasiswa terhadap pelaku
tawuran yang telah menyakiti dirinya.Hal ini membuat tidak ada korelasi antar dua
variabel.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukantentang hubungan antara empati
dengan forgiveness pada mahasiswa Universitas “X” yang pernah terlibat dalam
tawuran, maka dapat disimpulkan :
1. Tidak ada hubungan yang signifikan antara empati dan forgiveness pada mahasiswa
Universitas “X” yang pernah terlibat dalam tawuran.
2. Sebagian besar mahasiswa memiliki forgiveness yang berada pada kategori sedang
dengan jumlah 39 mahasiswa dan presentase 48,8% dan mahasiswa memiliki
empatiyang berada pada kategori tinggi dengan jumlah 46 mahasiswa dan
presentase 57,5%,
22
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dicapai, serta mengingat masih banyaknya
keterbatasan dalam penelitian ini, maka peneliti memberikan bebebrapa saran sebagai
berikut :
a. Bagi mahasiswa
Bagi mahasiswa yang pernah terlibat dalam tawuran, agar mampu memahami
pentingnya kemampuan forgiveness terhadap pelaku tawuran yang pernah
menyakiti dirinya maupun kelompoknya. Untuk itu, diperlukan juga pemahaman
terhadap faktor-faktor yang dapat mendukung terjadinya forgiveness, selain empati,
seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan. Sehingga dapat mengurangi
intensitas tawuran yang terjadi di kalangan mahasiswa.
b. Bagi Universitas “X”
Bagi Universitas “X” diharapkan dapat lebih mengontrol dan mengawasi
kegiatan orientasi mahasiswa baru, sehingga doktrin-doktrin negatif mengenai
fakultas lain dapat diminimalisir dan menekan munculnya dendam yang
berkepanjangan dalam suatu fakultas terhadap fakultas lain.
c. Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya, hendaknya lebih memperhatikan penyususnan alat
ukur empati. Jika hendak mengadaptasi alat ukur asli, bisa lebih difokuskan pada
kondisi/situasi yang hendak diteliti, sehingga hasil penelitian menjadi lebih baik.
Selanjutnya bagi peneliti selanjutnya yang hendak meneliti tentang variabel
forgiveness dapat lebih mengkaji dalam jangkauan yang lebih luas, dengan
mengaitkan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan forgiveness,seperti
konformitas, religiusitas, budaya, dan reaksi transgressor.Selain itu, diharapkan
23
peneliti selanjutnya dapat menggunakan sampel dalam jumlah yang lebih besar agar
lebih menggambarkan kemampuan forgiveness yang menyeluruh dalam suatu
populasi. Pemilihan metode penelitian kualitatif, juga dirasa mampu memberikan
gambaran yang lebih mendalam dalam penelitian dengan topik ini serta
menghilangkan bias yang bisa terjadi saat pengisian angket.
24
Daftar Pustaka
Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi. Ed. 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bono, G., & McCullough, M. E. (2006). Positive responses to benefit and harm:
Bringing forgiveness and gratitude into cognitive psychotherapy. Journal of
Cognitive Psychotherapy, 20, 147-158.
Exline, J. J., &Zell, A. L. (2009). Empathy, self-affirmation, and forgiveness : The
moderating roles of gendar and entitlement. Journal of Social and Clinical
Psychology, 28, 1071-1099.
Goleman, D. (1999). Emotional Intelligence. Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Guilford, J.P. 1956. Fundamental Statistics in Psychology and Education. New York:
McGraw Hill. 145.
Hawk, S. T., Keijers, L., Branje, S. J. T., Graaft, J. V. D., Wied, M. D., & Meeus, W.
(2013)/ Examining the Interpersonal Reactivity Index (IRI) among earl among
early and late adolencents and their mother. Journal of Personality Assesment,
95(1), 96-106.
Kaballu, R. B. U. (2013). Makna Pemaafan pada Korban Konflik Poso (Studi Kasus
dengan Menggunakan Teori Representasi Sosial). Tesis. Universitas Katolik
Soegijapranata.
Karremans, J. C., & Van Lange, P. A. M. (2008). The role of forgiveness in shifthing
from “me” to “we”. Self and Identity, 7, 75-88.
Macaskill, A., Maltby, J., & Day, L. (2002). Forgiveness of self and others and
emotional empathy. The Journal of Social Psychology, 142, 663-665.
McCullough, M. E. (2000). Forgiveness as human strength: Theory, measurement, and
links to well-being. Journal of Social and Clinical Psychology, 19, 43–55.
McCullough, M. E., Fincham, F. D., & Tsang, J. A. (2003). Forgiveness, forbearance,
and time: The temporal unfolding of transgression-related interpersonal
motivations. Journal of Personality and Social Psychology, 84, 540–557.
25
McCullough, M. E., Rachal, K,C., Worthington, E. L. Jr. (1997). Interpersonal
forgiving in close relationships.Journal of Personality and Social Psychology,73,
321-336.
McCullough, M. E., Rachal, K,C., Sandage, S.J.,Worthington, E. L. Jr.,Brown, S.W.,
Hight, T. L. (1998).Interpersonal forgiving in close relationshipsII:Theoretical
elaboration and measurement. Journal of Personality and Social Psychology, 75,
1586-1603.
Myers, D. G. (2005). Social Psychology. New York : McGraw Hill, HigherEducation
Papalia, D. E., Olds, S, W., & Feldman, R, D. (2013). Perkembangan Manusia. Jakarta:
Salemba Humanika.
Saad, H. M. (2003). Perkelahian Pelajar: Potret siswa SMU di DKI Jakarta.
Yogyakarta: Galang Press.
Sugiyono, (2012). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan r & d. Bandung:
Alvabeta.
Sulaeman, M. M. (2010). Dasar-dasar konflik dan model resolusi konflik pada
masyarakat Desa Pantura Jabar. Sosiohumaniora : jurnal ilmu-ilmu sosial dan
humaniora, 12, 175-190.
Toussaint, L., & Webb, J. R. (2005). Gender differences in the relationship between
empathy and forgiveness. The Journal of Social Psychology, 145, 6.
Wade, N. G., & Worthington, E. L. Jr. (2003). Overcoming interpersonal offenses: Is
forgiveness the only way to deal with unforgiveness? Journal of Counseling &
Development – Summer, 81, 343-353.
Watkins, D. A., Hui, E. K. P., Luo, W., Regmi, M., Worthington, E. L., Hook, J. N., &
Davis, D. E. (2011). Forgiveness and interpersonal relationships: A nepalese
investigation. The Journal of Social Psychology, 151, 150–161.
Download