faktor determinan “stunting” pada anak usia 24 – 59

advertisement
FAKTOR DETERMINAN “STUNTING” PADA
ANAK USIA 24 – 59 BULAN DI INDONESIA
ADITIANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Faktor Determinan Stunting pada
Anak Usia 24 – 59 Bulan di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2010
Aditianti
NRP I151080141
ABSTRACT
ADITIANTI Determinants Factors of Stunting in Children 24-59 Month in
Indonesia Supervised by ALI KHOMSAN and DADANG SUKANDAR
Age under five year old is one of the most important periods for a
child’s growth and development. This period is important for placing health
and intelectual development for a child’s future. Based on that, nutrition
problems in childhood are needed to be eliminated. There are many problems
in childhood related to nutrition .According to Ministry of Health (2008),
there are 36,8% of children were stunted. It is larger than the number of
undernourished and wasted children. The objective of this study were : (1)
study the family characteristics, infectious diseases, environmental sanitation,
hygiene behaviour, access and healthcare utilization, parents’ height and
nutritional status according to height-for-age in children; (2) to analyze the
relationship between environmental sanitation and healthcare utilization, and
between hygiene behaviour and infectious diseases; and (3) to analyze
determinant factors of 24-59 months old stunted children. This study used
secondary data taken from Basic Health Research 2007 with cross sectional
design. Sample size of 42042 children were taken. Pearson’s correlation were
used to test relationship among variables. Determinants factors were revealed
using SAS program with stepwise method. The results showed that there was
a significant relationship (p<0,05) between infectious diseases and sanitation;
among infectious diseases and access and healthcare utilization and hygiene
behaviour. Factors affecting stunting significantly (p<0,05) were father’s
height, mother’s height, age, gender, neighborhood, social and economic
status, mother’s education, infectious diseases, personal hygiene, and
environmental sanitation.
Keywords : stunting, children
RINGKASAN
ADITIANTI. Faktor Determinan Stunting pada Anak Usia 24 – 59 di Indonesia.
Dibimbing oleh ALI KHOMSAN dan DADANG SUKANDAR
Masa balita merupakan salah satu masa penting untuk kelangsungan hidup
dan tumbuh kembang anak. Masa ini merupakan salah satu masa yang paling
penting untuk meletakan dasar-dasar kesehatan dan intelektual anak untuk
kehidupan yang akan datang. Berdasarkan hal tersebut, masalah gizi anak perlu
mendapatkan perhatian. Namun pada kenyataannya, masih terdapat masalah yang
berhubungan dengan keadaan gizi pada masa balita.
Menurut Depkes (2008) di Indonesia terdapat 13% anak balita dengan
status gizi kurang bahkan terdapat 5,4 % anak balita berstatus gizi buruk dan 4,3
% anak mempunyai status gizi lebih. Sebesar 7,4% anak mempunyai status gizi
kurus bahkan 6,2% anak sangat kurus dan 12,2% anak gemuk. Keadaan gizi lain
yang dapat ditemukan pada anak adalah pendek (stunting). Jumlah anak stunting
sebesar 36,8% atau berjumlah 9,3 juta anak. Jumlah ini jauh lebih besar daripada
jumlah anak yang berstatus gizi kurang dan berstatus gizi kurus.
Pada keadaan stunting, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan
normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang
terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan
sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang
kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah balita
pendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Karena
masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri
masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang
sifatnya kronis (Depkes 2009).
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor –faktor
yang menyebabkan terjadinya stunting pada anak balita usia 24 – 59 bulan.
Sementara itu, tujuan khusus penelitian ini adalah : (1) Mempelajari karakteristik
anak usia 24 – 59 bulan dan keluarganya; (2) Mempelajari penyakit infeksi,
sanitasi lingkungan, perilaku higienis, akses dan pemanfaatan pelayanan
kesehatan dan tinggi badan orang tua; (3) Mempelajari status gizi menurut
indikator tinggi badan menurut umur (TB/U); (4) Menganalisis hubungan antara
sanitasi lingkungan, perilaku higienis dan akses dan pemanfaatan kesehatan
dengan penyakit infeksi ; (5) Menganalisis faktor determinan stunting pada anak
usia 24 – 59 bulan
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007). Riskesdas merupakan survei dengan desain
cross sectional yang dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesahatan
penduduk di Indonesia secara keseluruhan, akurat dan berorientasi pada
kepentingan para pengambil keputusan di berbagai tingkat administratif.
Populasi dalam analisis ini adalah seluruh anak balita di Indonesia yang
telah terdata oleh BPS. Sampel yang digunakan adalah anak yang berusia 24-59
bulan menjadi responden Riskesdas 2007. Sample rumah tangga Riskesdas identik
dengan two statge sampling yang digunakan dalam Susenas 2006. Pada setiap
kabupaten atau kota diambil sejumlah blok sensus terhadap jumlah rumah tangga
di kota atau kabupaten tersebut, kemudian dipilih 16 rumah tangga secara acak
sederhana. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah usia anak 24-59 bulan dan
memiliki hubungan kandung dengan orang tua. Jumlah keseluruhan sample dalam
penelitian ini adalah 42.062 orang.
Pengolahan dan analisa data dalam penelitian ini menggunakan software
Microsoft Office Excell 2007, SPSS versi 16.0 dan SAS. Pengolahan data dilakukan
terhadap karakteristik keluarga (tempat tinggal, besar keluarga, status ekonomi,
pendidikan orang tua dan pekerjaan orang tua), sanitasi lingkungan, akses dan pelayanan
kesehatan dan perilaku higienis, penyakit infeksi, tinggi badan orang tua dan status gizi
menurut TB/U.
Tempat tinggal adalah tempat responden tinggal pada saat dilakukan
penelitian yang dikategorikan menjadi desa dan kota berdasarkan BPS. Jumlah
anggota rumah tangga adalah banyaknya individu yang tinggal dalam satu rumah
tangga. Status ekonomi adalah pengeluaran rumah tangga berdasarkan BPS yang
dibagi menjadi 5 kuantil. Setiap kuantil menggambarkan tingkat kemiskinan
berjenjang yang kemudian dikategorikan menjadi miskin (kuantil 1 dan 2) dan
tidak miskin (kuantil 3, 4 dan 5). Pendidikan ayah dan ibu adalah jenjang
pendidikan formal tertinggi yang pernah diikuti dan ditamatkan oleh orang tua
yang selanjutnya dikategorikan menjadi tidak sekolah, rendah, menengah dan
tinggi. Pekerjaan ayah dan ibu adalah kegiatan atau pekerjaan orang tua selain
pekerjaan rutin dalam rumah tangga dan memperoleh gaji/upah/uang untuk
menambah penghasilan keluarga.
Perilaku higienis adalah perilaku hidup bersih dan sehat yang dilakukan
ibu, yang meliputi kebiasaan mencuci tangan Penyakit infeksi adalah penyakit
yang diderita anak yang dinilai berdasarkan penyakit ISPA, pneumonia (radang
paru), demam typhoid, campak, malaria, diare, tuberkulosis paru (TB paru) dan
demam berdarah. Sanitasi lingkungan adalah keadaan lingkungan tempat tinggal
yang diantaranya mencangkup air yang digunakan, tempat pembuangan limbah,
dan lokasi sumber pencemaran. Akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan
adalah tingkat kemudahan dalam mengakses dan memanfaatan pelayanan
kesehatan yang diukur berdasarkan jarak dan waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan serta pemanfaatan pelayanan yang telah
tersedia. Status gizi anak adalah keadaan gizi anak balita umur 24-59 bulan yang
diukur dengan antropometri berdasarkan indeks TB/U yang dikategorikan
menjadi stunting dan normal. Tinggi badan orang tua adalah tinggi badan dari
ayah dan ibu, yang diukur menggunakan alat pengukur tinggi badan microtoice.
Stunting adalah keadaan fisik anak usia 24-59 bulan yang memiliki z score TB/U
kurang dari -2 SD berdasarkan referensi WHO 2005.
Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi dan
frekuensi dari berbagai variabel yang diteliti.. Untuk menguji hubungan antar
variable digunakan uji korelasi spearman dan uji Chi Square. Untuk menentukan
faktor determinan stunting dilakukan dengan analisis regresi linear berganda
dengan metode stepwise
Sebagian besar anak, baik yang berada dalam keadaan stunting maupun
normal berada dalam rentang usia 24 - 35 bulan, yaitu masing-masing 19,7% dan
24,4 Berdasarkan tempat tinggalnya, anak yang tinggal di desa lebih banyak
jumlahnya daripada yang tinggal di kota baik anak dengan kategori stunting
maupun normal. Proporsi terbanyak pendidikan kepala keluarga dan pendidikan
ibu adalah pendidikan dasar. Sebagian besar kepala keluarga memiliki pekerjaan,
sebaliknya sebagian besar ibu tidak bekerja. Sebagian besar ayah dan ibu bekerja
sebagai petani.
Jumlah anak yang mengidap penyakit infeksi baik pada kelompok stunting
dan normal jumlahnya tidak jauh berbeda yaitu masing-masing 50,5% yang
mengidap penyakit infeksi dan 49,5% yang tidak mengidap penyakit. Jenis
penyakit infeksi yang terbanyak diderita anak adalah ISPA dan diare. Sebagian
besar ibu (71%), baik yang memiliki anak stunting maupun normal mempunyai
perilaku higienis kurang. Sisanya (29%) ibu berperilaku higienis baik. Sebagian
besar (75%) lingkungan anak baik paada kelompok stunting maupun normal
berada dalam kategori sanitasi lingkungan sedang. Hanya sebagian kecil (7%)
responden berada dalam kategori sanitasi lingkungan baik.
Rumah tangga pada kedua kelompok dengan akses dan pemanfaatan baik
dan sedang jumlahnya tidak jauh berbeda, yaitu masing-masing, yaitu sebesar
36.6 dan 37.7%. Sementara rumah tangga dengan akses dan pemanfaatan
kesehatan kurang sebesar 26.7%. Anak dengan status gizi normal menurut TB/U
berjumlah 53, 3% dan anak dengan z-score yang lebih rendah dengan -2 atau
stunting berjumlah 46, 7%.
Berdasarkan uji statistik, penyakit infeksi berhubungan dengan sanitasi
lingkungan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan (p<0.05). Sementara
dengan variabel perilaku higienis tidak terdapat hubungan yang nyata.
Hasil regresi linier berganda menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
berpengaruh signifikan terhadap stunting adalah tinggi badan ayah, tinggi badan
ibu, umur, tempat tinggal, status sosial ekonomi, pendidikan ibu, penyakit infeksi,
personal higiene dan sanitasi lingkungan. Secara keseluruhan ke-9 variabel
tersebut memberikan kontribusi pada status gizi sebesar 4,58%.
Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap stunting adalah tinggi
badan ayah, tinggi badan ibu, umur, tempat tinggal, status sosial ekonomi,
pendidikan ibu, penyakit infeksi, personal higiene dan sanitasi lingkungan.
Rekomendasi yang dapat diberikan diantaranya adalah : (1) Perbaikan
ekonomi keluarga diantaranya dengan mendorong pengusaha atau pemerintah
setempat untuk menggalakan potensi daerah setempat dengan menggunakan
tenaga lokal seperti ibu rumah tangga, khususnya di desa; (2) Perbaikan kesehatan
lingkungan diantaranya fasilitas air bersih tempat sampah, dan saluran
pembuangan limbah rumah tangga; (3) Meningkatkan KIE khususnya pada ibu
rumah tangga diantaranya tentang pentingnya menjaga kesehatan anak balita dan
perilaku higienis dan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan; dan (4) Untuk
bidang kesehatan, kegiatan yang dapat dilakukan adalah melakukan revitalisasi
Posyandu dan meningkatkan akses dan pelayanan kesehatan di masyarakat.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
FAKTOR DETERMINAN “STUNTING” PADA
ANAK USIA 24 – 59 BULAN DI INDONESIA
ADITIANTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Mayor Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : DR. Ir. Hadi Riyadi, MS
Judul Tesis
Nama
NRP
Program Studi
: Faktor Determinan Stunting pada Anak Usia 24 – 59
Bulan
di Indonesia
: Aditianti
: I151080141
: Ilmu Gizi Masyarakat
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS
MSc
Ketua
Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar,
Anggota
Diketahui
Koordinator
Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Gizi Masyarakat
drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal ujian : 22 Juli 2010
Tanggal lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada AllahSWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang bejudul Faktor
Determinan Stunting pada Anak Usia 24-59 bulan di Indonesia. Tesis ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master (S2) pada program
study Ilmu Gizi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Dari lubuk hati yang paling dalam penulis menghaturkan terimakasih yang
tulus dan penghargaan yang tinggi kepada kepada Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS
dan Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc yang telah memberikan bimbingan dan
arahan yang sangat berharga dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS sebagai dosen penguji
luar komisi dan kepada Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku moderator yang telah
memandu jalannya sidang tesis.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Badan Litbangkes, Kementrian
Kesehatan RI yang telah mengizinkan penulis untuk memanfaatkan data hasil
Riskesdas 2007 sebagai bahan analisis penelitian ini dan telah memberi beasiswa
sehingga dapat menempuh pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor Mayor Ilmu
Gizi Masyarakat. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada seluruh staf
pengajar program studi Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana IPB yang telah
memberikan ilmunya selama penulis menempuh studi, serta seluruh staf
administrasi program studi Gizi Masyarakat dan Sekolah Pascasarjana IPB atas
pelayanan yang telah diberikan.
Kepada DR Abas Basuni Jahari, MSc selaku ketua Kelompok Kerja
Penelitian Gizi Masyarakat (KPP-GM) penulis menyampaikan terimakasih atas
izinnya untuk melanjutkan sekolah dan arahan dalam menyelesaikan tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman- teman GM
angkatan 2008 atas kebersamaan, bantuan dan dukungannya selama menempuh
pendidikan di program studi Gizi Masyarakat IPB. Kita telah melewati masa-masa
indah di bangku kuliah. Terima kasih pula kepada Pera atas diskusi statistiknya
dan teman-teman di Puslitbang Gizi dan makanan, khususnya Kelompok Kerja
Penelitian Komunikasi Informasi dan Edukasi (KPP KIE).
Kepada suami tercinta, Reza Mulyawan dan anakku M. Alif Satria Adiza,
terima kasih atas semua do’a, dukungan, pengertian dan kasih sayang selama
penulis menempuh pendidikan. Terima kasih tak terhingga kepada kepada
Ayahanda Bambang Mandoyoreno dan Ibunda Hj. Sriwiati dan adiku Danti
Astrini serta kepada keluarga H. Oyok Sukardi yang tak putus-putusnya selalu
memberikan dukungan dan mendoakan untuk kelancaran dan keberhasilan
penulis.
Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
berpartisipasi dalam menyelesaikan studi ini, penulis ucapkan terimakasih,
semoga Allah SWT memberikan balasan atas semua kebaikannya. Akhir kata,
semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan keilmuan,
khususnya terkait dengan stunting pada anak.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Agustus 2010
Aditianti
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 10 Maret 1981 dari ayah H.
Bambang Mandoyoreno dan Ibu Hj. Sriwiati. Penulis merupakan anak pertama
dari dua bersaudara.
Pada tahun 1996 penulis menamatkan pendidikan di SMP Negeri 4 Bogor
dan melanjutkan sekolah di SMA Negeri 3 Bogor. Tahun 1999 penulis lulus dan
pada tahun yang sama penulis diterima di Insitut Pertanian Bogor jurusan Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga melalui jalur PMDK dan berhasil lulus
pada tahun 2003. Tahun 2008 penulis menempuh pendidikan Pascasarjana di
Institut Pertanian Bogor.
Pada tahun 2004 penulis diterima bekerja sebagai ahli gizi pada Rumah
Sakit Bogor Medical Center (BMC) selanjutnya pada tahun 2005 penulis bekerja
sebagai PNS di Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan hingga saat ini.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ...............................................................................................................
i
DAFTAR TABEL .......................................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................
iv
PENDAHULUAN
Latar Belakang ........................................................................................................
Tujuan .....................................................................................................................
Kegunaan ................................................................................................................
1
4
4
TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................................
5
Gangguan Pertumbuhan Linier................................................. .................................
5
Indeks Antropometri menurut TB/U..........................................................................
5
Status Gizi.................................................................................. ................................
7
Karaktristik Keluarga................................................................ .................................
8
Besar Keluarga…………………………………………..................................
8
Pendidikan Orang Tu………………………………….................................... .
9
Pekerjaan Orang Tua……………………………………... .............................
10
Pengeluaran....................................................................................................
11
Penyakit Infeksi………………………………………………. ................................
11
Sanitasi Lingkungan…………………………………………...................................
12
Pelayanan Kesehatan................................................................. ................................
15
Puskesmas……………………………………………….................................
16
Polindes………………………………………………… ................................
16
Posyandu………………………………………………...................................
17
Perilaku Higienis........................................................................................................
17
KERANGKA PEMIKIRAN ………………………………………. .............................
18
METODE PENELITIAN………………………………………….. .............................
22
Data yang Digunakan................................................................ .....................................
22
Desain dan Lokasi Penelitian ……………………………...… .....................................
23
Cara Pengumpulan Data Penelitian.......................................... ......................................
23
Populasi dan Sampel.......................................................................................................
24
Keterbatasan Penelitian ................................................................................................
25
Pengolahan Data ..........................................................................................................
25
i
Analisis Data............................................................................. .....................................
28
Definisi Operasional ………………………………………… ...................................... .
29
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………….. ............................
31
Gambaran Umum Indonesia………………………………….. ................................
31
Karakteristik Anak................................................................... ..................................
31
Karakteristik Keluarga.............................................................. .................................
32
Status Gizi menurut TB/U....................................................... ..................................
36
Penyakit Infeksi……………………………………………… .................................
38
Perilaku Higienis........................................................................................................
40
Sanitasi Lingkungan............................................................... ...................................
42
Akses dan Pemanfaan Pelayanan Kesehatan............................ .................................
45
Tinggi Badan Orang Tua....................................................... ....................................
48
Hubungan sanitasi lingkungan, akses dan pemanfaatan
pelayanan kesehatan dan perilaku higienis
dengan penyakit infeksi......................................................... ....................................
50
Faktor Determinan Stunting.......................................................................................
52
KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………,, ............................
58
Simpulan……………………………………………………… ................................
58
Saran………………………………………………………….. ................................
59
DAFTAR PUSTAKA........................................................................ .............................
60
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Pengkategorian variabel penelitian…………..…………..... .............................
27
Tabel 2 Sebaran anak berdasarkan jenis kelamin dan usia……......... ...........................
31
Tabel 3 Sebaran anak berdasarkan karekteristik keluarga…………. ............................
34
Tabel 4. Sebaran jenis pekerjaan ayah…………………………....................................
35
Tabel 5. Sebaran jenis pekerjaan ibu…………………………. .....................................
36
Tabel 6 Sebaran prevalensi stunting ……….................................................................
37
Tabel 7 Sebaran anak berdasarkan jenis penyakit infeksi……….. ...............................
39
Tabel 8 Sebaran anak berdasarkan variabel sanitasi lingkungan….. ..............................
44
Tabel 9 Sebaran anak berdasarkan variabel akses dan pemanfaatan
pelayanan kesehatan………………………………. ........................................
47
Tabel 10 Sebaran tinggi badan ayah……………………………. ..................................
49
Tabel 11 Sebaran tinggi badan ibu……………………………. ....................................
49
Tabel 10 Sebaran penyakit infeksi berdasarkan personal higiene,
sanitasi lingkungan dan akses dan pemanfaatan
pelayanan kesehatan …………………………………………........................
50
Tabel 11 Hasil uji F bagi peubah bebas terhadap TB/U……………… ........................
53
Tabel 12 Sebaran penyakit infeksi beerdasarkan sanitasi lingkungan,
Personal higiene dan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ................
50
Tabel 13 Hasil uji F bagi peubah bebas terhadap TB/U ................................................
53
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka pemikiran faktor-faktor yang mempengaruhi
status gizi anak menurut TB/U.…………..…………..... ..............................
21
Gambar 2 Sebaran anak berdasarkan status gizi menurut TB/U ....................................
38
Gambar 3 Sebaran anak berdasarkan jenis penyakit infeksi………… ...........................
39
Gambar 4 Sebaran anak berdasarkan perilaku higienis ibu…………. ...........................
41
Gambar 5 Sebaran anak berdasarkan jenis perilaku higienis .........................................
41
Gambar 6 Sebaran anak berdasarkan sanitasi lingkungan……………. .........................
42
Gambar 7 Sebaran anak berdasarkan akses dan pemanfaatan
pelayanan kesehatan ..................................................................................
iv
46
v
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan
sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik
yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Sebagai
generasi penerus bangsa, anak diharapkan menjadi sumberdaya manusia yang
berkualitas. Untuk mewujudkannya, di samping dibutuhkan pendidikan yang
baik, faktor gizi pun penting untuk diperhatikan.
Masa balita merupakan salah satu masa penting untuk kelangsungan
hidup dan tumbuh kembang anak. Masa ini merupakan salah satu masa yang
paling penting untuk meletakan dasar-dasar kesehatan dan intelektual anak untuk
kehidupan yang akan datang. Menurut Syarief (1997), tahun-tahun pertama
kehidupan seorang anak, merupakan periode yang sangat menentukan masa
depannya. Kekurangan gizi pada periode ini dapat mengakibatkan terganggunya
perkembangan mental dan kemampuan motorik anak. Gangguan tersebut sulit
diperbaiki hingga periode berikutnya.
Berdasarkan hal tersebut, masalah gizi anak perlu mendapatkan
perhatian.
Namun
pada
kenyataannya,
masih
terdapat
masalah
yang
berhubungan dengan keadaan gizi pada masa balita. Menurut Depkes (2008)
yang diperoleh melalui penelitian Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 di
Indonesia terdapat 13% anak balita dengan status gizi kurang bahkan terdapat
5,4 % anak balita berstatus gizi buruk dan 4,3 % anak mempunyai status gizi
lebih. Sebesar 7,4% anak mempunyai status gizi kurus bahkan 6,2% anak sangat
kurus dan 12,2% anak gemuk. Keadaan gizi lain yang dapat ditemukan pada
anak adalah pendek (stunting). Jumlah anak stunting sebesar 36,8% atau
berjumlah 9,3 juta anak. Jumlah ini jauh lebih besar daripada jumlah anak yang
berstatus gizi kurang dan berstatus gizi kurus.
Di Indonesia, seperti negara berkembang lainnya masalah gizi pada
balita adalah wasting, anemia, berat badan lahir rendah dan stunting. Prevalensi
stunting tertinggi terjadi pada anak saat anak berusia 24 – 59 bulan (Ramli et al.
2009). Stunting mengindikasikan masalah kesehatan masyarakat karena
1
berhubungan dengan
meningkatknya risiko
morbiditas dan
mortalitas,
terhambatnya perkembangan dan fungsi motorik dan mental serta mengurangi
kapasitas fisik. Anak dengan keadaan stunting tidak mengalami potensi
pertumbuhan secara maksimal dan dapat menjadi remaja dan dewasa yang
stunting (Ricci & Becker 1996). Dampaknya pada masa dewasa diantaranya
adalah terbatasnya kapasitas kerja karena terjadi pengurangan aktivitas tubuh
dan pada wanita dapat menyebabkan terjadinya risiko komplikasi kandungan
karena memiliki ukuran panggul yang kecil serta berisiko melahirkan bayi
dengan berat badan lahir rendah (Shrimpton 2006). Sementara Nurmiati (2006)
yang melakukan penelitian tentang pertumbuhan dan perkembangan pada anak
balita yang mengalami stunting menyatakan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan kelompok anak normal lebih baik daripada kelompok anak
stunting
Pada keadaan stunting, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan
normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang
terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan
sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang
kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah balita
pendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Karena
masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri
masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang
sifatnya kronis (Depkes 2009).
Penilaian status gizi pada anak dapat dilakukan dengan metode
antropometri. Dengan menggunakan indeks antropometri, di samping mudah
penggunaannya biaya operasionalnya pun lebih murah dibandingkan dengan
cara lengkap yang menggunakan pemeriksaan laboratorium dan klinis (Jahari
1988). Menurut Faber & Benade (1998) antropometri mudah diterima, tidak
mahal, cepat dan merupakan indikator kesehatan yang objektif. Terdapat
beberapa indeks antropometri yang umum dikenal yaitu berat badan menurut
umur (BB/U), panjang badan atau tinggi badan menurut umur (PB/U atau
TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).
2
Status gizi balita tidak hanya dipengaruhi oleh konsumsi pangan dan
penyakit infeksi saja yang disebut dengan determinan langsung. Faktor lainnya
adalah lingkungan rumah atau disebut dengan determinan tidak langsung terdiri
dari ketahanan pangan, pola pengasuhan, pelayanan kesehatan dan kesehatan
lingkungan. Keempat hal tersebut berkaitan dengan pendidikan, keterampilan,
dan pengasuhan (UNICEF 1990). Menurut Kilimbira et al. (2006), faktor yang
menyebabkan terjadinya kekurangan gizi pada anak adalah kurangnya akses
untuk mendapatkan pangan, pola asuh yang tidak tepat, sanitasi yang buruk dan
kurangnya pelayanan kesehatan.
Banyak anak yang berasal dari keluarga miskin di negara berkembang
yang mengalami stunting sejak bayi dikarenakan penyakit infeksi dan kurangnya
asupan makanan yang bergizi (Faber & Benade 1998). Penelitian di Sudan
melaporkan melaporkan konsumsi zat gizi, jenis kelamin, status pemberian ASI
dan status sosial ekonomi merupakan fakor yang berkorelasi positif dengan
kejadian stunting pada anak usia 6-72 bulan (Sedgh et al. 2000). Menurut Ramli
et al. (2009) yang melakukan penelitian tentang faktor risiko stunting di Maluku
menyatakan bahwa faktor risiko stunting pada anak adalah usia anak, jenis
kelamin dan rendahnya status sosial ekonomi. Sementara menurut Schmidt et al
(2002) berat badan dan tinggi badan bayi lahir adalah faktor yang paling
mempengaruhi tinggi badan bayi hingga berusia 15 bulan.
Anak adalah generasi penerus bangsa. Untuk mewujudkan bangsa besar,
keadaan gizi anak perlu diperhatikan. Sejak lahir hingga berusia lima tahun
merupakan periode yang penting dalam pertumbuhan anak, karena masa tersebut
adalah masa yang rentan dan akan menentukan masa depannya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang status gizi menurut TB/U pada anak berusia 24-59 bulan dan
faktor determinan yang mempengaruhinya dengan menggunakan data Riskesdas
2007.
3
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor –faktor
yang menyebabkan terjadinya stunting pada anak balita usia 24 – 59 bulan.
Sementara itu, tujuan khusus penelitian ini adalah :
1. Mempelajari karakteristik anak usia 24 – 59 bulan dan keluarganya
2. Mempelajari penyakit infeksi, sanitasi lingkungan, perilaku higienis,
akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dan tinggi badan orang tua
3. Mempelajari status gizi menurut indikator tinggi badan menurut umur
(TB/U)
4. Menganalisis hubungan antara sanitasi lingkungan, perilaku higienis dan
akses dan pemanfaatan kesehatan dengan penyakit infeksi.
5. Menganalisis faktor determinan stunting pada anak usia 24 – 59 bulan
Kegunaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan
tentang faktor determinan stunting pada anak. Bagi pemerintah penelitian ini
dapat bermanfaat sebagai bahan informasi untuk perencanaan program tentang
penanganan masalah stunting
Bagi bidang pendidikan penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan dan pengetahuan khususnya masalah stunting. Sementara bagi penulis,
penelitian ini dapatt menambah pengetahuan dan pengalaman khususnya di
bidang gizi masyarakat, sekaligus sebagai media untuk menerapkan ilmu
pengetahuan yang telah diperoleh di bangku kuliah.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Gangguan Pertumbuhan Linier (Stunting)
Gangguan pertumbuhan linier yang tidak sesuai dengan umur
merefleksikan masalah gizi kurang. Gangguan pertumbuhan linier (stunting)
mengakibatkan anak tidak mampu mencapai potensi genetik, mengindikasikan
kejadian jangka panjang dan dampak kumulatif dari ketidakcukupan konsumsi
zat gizi, kondisi kesehatan dan pengasuhan yang tidak memadai (Shrimpton
2006).
Pada keadaan stunted, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan
normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang
terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan
sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang
kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah balita
pendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Karena
masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri
masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang
sifatnya kronis (Depkes 2009).
Menurut
Nurmiati
(2006)
yang
melakukan
penelitian
tentang
pertumbuhan dan perkembangan pada anak balita yang mengalami stunting
menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kelompok anak normal
lebih baik daripada kelompok anak stunting. Menurut WHO 2005, indikator
tinggi badan menurut umur kurang dari -2 SD median National Center for
Health Statistic/ World Health Organization (NCHS/WHO) didefinisikan
sebagai kejadian stunting.
Indeks Antropometri Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
Indeks antropometri lebih praktis, cukup teliti, dan mudah dilakukan oleh
siapa saja dengan bekal latihan sederhana. Menurut Gibson (1990) antropometri
berarti ukuran tubuh manusia, sehingga antropometri gizi berhubungan dengan
5
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi.
Menurut Jahari & Abunain (1986) indeks antropometri untuk memantau
status gizi merupakan suatu pilihan alternatif cara yang termudah. Disamping
mudah penggunaannya, biaya operasionalnya pun lebih mudah dibandingkan
pemeriksaan laboratorium dan klinis. Untuk mengukur status gizi secara
antropometri dianjurkan menggunakan tiga ukuran yaitu berat badan, tinggi
badan dan umur. Selanjutnya, ketiga ukuran tersebut dikombinasikan
membentuk tiga indikator status gizi yaitu berat badan menurut umur (BB/U),
tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).
Indikator-indikator tersebut lalu dibandingkan dengan standar baku yang
ditetapkan. Menurut Husaini (1988) masing-masing indikator mempunyai
kelebihan dan kekurangan. Kelebihan indikator TB/U adalah :
1. Merupakan indikator yang baik untuk mengetahui kurang gizi pada masa
lampau
2. Pengukuran objektif dan memberikan hasil yang sama jika dilakukan
berulang-ulang
3. Alat pengukuran mudah dibawa dan dapat dibuat secara lokal
4. Ibu yang keberatan jika anaknya diukur sangat jarang
5. Paling baik untuk anak yang berusia lebih dari 2 tahun
Kekurangan indikator TB/U adalah :
1.
Dalam menilai intervensi, harus disertai dengan indikator lain seperti BB/U
2.
Membutuhkan beberapa tekhnik pengukuran seperti : alat ukur panjang
badan untuk anak umur < 2 tahun dan alat ukur TB untuk anak umur > 2
tahun
3.
Lebih sulit untuk dilakukan, bila kader/pertugas belum mempunyai
pengalaman
4.
Memerlukan dua orang untuk mengukur anak
5.
Umur kadang-kadang sulit untuk didapatkan secara pasti
Jahari
(1988)
menambahkan
bahwa
tinggi
badan
merupakan
antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pertumbuhan
tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek.
6
Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak pada saat yang
cukup lama. Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lalu. Indeks
TB/U di samping dapat memberikan gambaran tentang status gizi masa lampau
juga lebih erat kaitannya dalam masalah sosial ekonomi (Martorell 1985 dalam
Jahari 1988). Oleh karena itu indeks TB/U, di samping digunakan sebagai
indikator status gizi dapat pula digunakan sebagai indikator perkembangan
keadaan sosial ekonomi masyarakat.
Tinggi Badan tidak terpengaruh oleh keadaan yang terjadi dalam waktu
singkat. Tinggi badan juga merupakan indikator yang baik bagi pertumbuhan
kerangka tubuh. Gangguan pertumbuhan merupakan salah satu tanda yang
ditemukan pada penderita KEP. Ketinggalan pertumbuhan akibat gangguan gizi
yang terjadi pada masa anak-anak sulit dikejar dan akan terlihat akibatnya pada
umur-umur selanjutnya bahkan pada waktu dewasa. Dengan demikian, tinggi
badan merupakan indikator yang baik untuk status energi dan protein masa lalu
(Abunain & Jahari 1987).
Status Gizi
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau
sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi) dan
penggunaan (utilisasi) zat gizi makanan (Riyadi 2001). Kekurangan konsumsi
pangan dan gizi pada balita dapat menyebabkan berbagai macam penyakit yang
disebabkan kurangnya asupan gizi. Kekurangan energi dan protein dalam jangka
panjang dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan balita (Hardinsyah &
Martianto 1992).
Menurut UNICEF (1990) status gizi balita tidak hanya dipengaruhi oleh
konsumsi pangan saja, melainkan secara garis besar disebabkan oleh dua
determinan utama, yaitu determinan langsumg dan determinan tidak langsung.
Determinan langsung merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi
yang berasal dari individu itu sendiri. Hal ini meliputi intik makanan (energi,
protein, lemak dan zat gizi mikro) dan adanya penyakit infeksi, sedangkan yang
dimaksud determinan tidak langsung adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
status gizi yang berasal dari lingkungan rumah. Determinan tidak langsung
terdiri dari ketahanan pangan, pola pengasuhan, pelayanan kesehatan dan
7
kesehatan lingkungan. Keempat hal tersebut berkaitan dengan pendidikan,
keterampilan, dan pengasuhan. Namun, faktor yang mendasarinya adalah
kemiskinan.
Karakteristik Keluarga
Besar Keluarga
Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan
sumberdaya yang sama. Besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang
dikonsumsi. Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan
menentukan status gizi keluarga dan individu. Besar keluarga mempengaruhi
pengeluaran pangan (Sanjur 1982).
Menurut Suhardjo (1989) besarnya jumlah keluarga menentukan
pemenuhan kebutuhan makanan. Apabila jumlah anggota keluarga semakin
banyak maka kebutuhan pangan pun semakin banyak pula. Jumlah anggota
keluarga juga akan mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang tersedia
dalam keluarga. Keluarga yang memiliki anggota keluarga dalam jumlah banyak
akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang
dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keluarga.
Besar keluarga turut mempengaruhi pola pengasuhan yang diberikan
kepada anak. Makin besar keluarga diduga semakin sedikit waktu dan perhatian
ibu terhadap anak karena harus berbagi dengan anggota keluarga lainnya.
Sebaliknya, pada keluarga kecil memungkinkan bagi ibu untuk merawat dan
mengurus anak-anaknya dengan lebih baik. Dengan semakin bertambahnya
anggota keluarga, jika pangan yang tersedia terbatas akan menyebabkan
berkurangnya pangan yang didapat anak, sehingga dapat menimbulkan
gangguan status gizi pada anak balita. Selain itu, keluarga yang memiliki
anggota keluarga yang jumlahnya banyak akan berusaha membagi makanan
yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan
kebutuhan masing-masing anggota keluarga. Anak-anak yang sedang tumbuh
dari suatu keluarga miskin adalah kelompok yang paling rawan terhadap gizi
8
kurang diantara semua anggota keluarga, anak yang paling kecil biasanya yang
paling terpengaruh oleh kekurangan pangan (Suhardjo 1989).
Situasi semacam ini sering terjadi sebab seandainya besar keluarga
bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua
tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan
yang relatif lebih tinggi daripada golongan yang lebih tua. Jumlah anggota
keluarga berperngaruh terhadap terjadinya stunting pada anak. Semakin
bertambahnya jumlah anggota keluarga, terjadinya stunting semakin besar
(Soehardjo 1989)
Sediaoetama (1993) menambahkan bahwa dengan bertambahnya jumlah
anggota keluarga, maka pengaturan pengeluaran pangan sehari-hari semakin
sulit. Hal ini mengakibatkan kualitas dan kuantitas pangan yang diperoleh
semakin tidak mencukupi untuk anggota keluarga termasuk anak balita. Besar
keluarga merupakan faktor risiko terjadinya kurang gizi pada anak di negara
berkembang
Menurut Adeladza (2009) besarnya keluarga dapat menjadi faktor risiko
terjadinya malnutrisi pada anak di negara berkembang. Penelitian ini
menemukan bahwa anak-anak dari rumah tangga yang besar lebih banyak yang
mengalami kurang gizi. Sumberdaya yang tersedia jika anggota keluarga
tersebut besar tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan anak seperti
terbatasnya asupan makanan pada anak.
Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola
konsumsi pangan dan status gizi (Rahmawati 2006). Pendidikan memiliki
peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas hidup seseorang.
Tingkat pendidikan orang tua marupakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan
status gizi anak (Madanijah 2003). Dalam pengasuhan anak, pendidikan orang
tua terutama pendidikan ibu penting diperhatikan karena turut menentukan
dalam kualitas pengasuhan anak. Pendidikan formal yang lebih tinggi pada ibu
9
membuat pengetahuan gizi dan pola pengasuhan seorang ibu akan bertambah
baik (Amelia 2001).
Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor
yang
berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola
konsumsi pangan dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan
mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Ibu yang
memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan
informasi mengenai gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 2006).
Menurut Madanijah (2003), terdapat hubungan positif antara pendidikan
ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang
memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan,
dan pengasuhan anak yang baik. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor
penentu mortalitas bayi dan anak, karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh
terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, higiene, dan
kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga. Menurut Adeladza (2009),
pendidikan ibu berhubungan dengan status gizi anak. Anak yang berasal dari ibu
yang tidak berpendidikan lebih berisiko untuk mengalami underweight
dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan. Tingkat pendidikan merupakan
faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan
tingkat pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki
tentang gizi menjadi lebih baik.
Pekerjaan Orang Tua
Pekerjaan seseorang sangat berhubungan dengan pendapatan yang
didapatnya. Pekerjaan yang baik dan sesuai dengan bidangnya akan
mendapatkan pendapatan yang sesuai. Menurut Patrick & Nicklas (2005),
pendapatan sangat berhubungan dengan pola makan. Pendapatan yang tinggi
berhubungan dengan konsumsi vitamin pada anak dan pola makan keluarga
Anak yang berasal dari keluarga sosial ekonomi rendah di Inggris memiliki
asupan energi dan zat gizi lainya banyak yang berasal dari makanan selingan
Saat ini, kaum wanita yang memasuki dunia kerja semakin besar. Ibu
yang bekerja di luar rumah cenderung memiliki waktu yang lebih terbatas untuk
10
melaksanakan tugas rumah tangga dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja.
Bila ini terjadi pada keluarga yang berpenghasilan rendah maka pola asuh makan
anak akan terpengaruh dan pada akhirnya pertumbuhan dan perkembangan anak
akan terganggu terutama pada masa usia prasekolah (Lusiasari & Susanto 1990).
Pengeluaran
Salah satu cara untuk melihat tingkat kesejahteraan atau status ekonomi
rumah tangga adalah dengan mengetahui rata-rata pengeluaran rumah tangga
yang bersangkutan. Salah satu hukum ekonomi yang dinyatakan oleh Ernest
Engel menyatakan bahwa bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran
untuk makanan menurun dengan meningkatnya pendapatan (BPS 2008).
Sementara itu Suhardjo (1989) menjelaskan bahwa dari hasil analisis data
sekunder SUSENAS ditemukan adanya kecenderungan bahwa samakin besar
pengeluaran pangan rumah tangga maka akan semakin rendah proporsi energi
dari pangan padi-padian, lemak/minyak, serta buah-buahan.
Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk
konsumsi makanan mengindikasikan rumah tangga yang berpenghasilan rendah.
Makin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, makin kecil proporsi
pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin
sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil
dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan (BPS 2008).
Penyakit Infeksi
Infeksi dapat berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara
yaitu mempengaruhi nafsu makan, dapat juga menyebabkan kehilangan bahan
makanan karena diare/muntah atau pengaruh metabolisme makanan dan banyak
cara lain lagi. Secara umum definisi gizi sering merupakan awal dari gangguan
defisiensi sistem kekebalan (Suhardjo 1989). Keadaan gizi kurang dan infeksi
bermula dari kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi yang
buruk. Selain itu juga diketahui bahwa infeksi manghambat reaksi imunologis
yang normal dengan menghabiskan sumber-sumber energi dalam tubuh.
11
Antara infeksi dan status gizi kurang terdapat interaksi timbal balik.
Orang yang mengalami gizi kurang, daya tahan tubuh terhadap penyakit lebih
rendah dan lebih mudah terkena serangan penyakit infeksi. Demikian pula
sebaliknya infeksi yang akut mengakibatkan kurangnya nafsu makan dan
toleransi terhadap makanan, sehingga orang yang terkena penyakit infeksi dapat
mengalami kurang gizi. Anak balita sebagai golongan yang rawan, dengan
kondisi tubuh yang lemah, akan mudah terserang penyakit menular. Hal ini
mengakibatkan semakin lemahnya kondisi tubuh dan kehilangan nafsu makan,
sehingga lama kelamaan status gizinya akan memburuk (Suhardjo 1989).
Adeladza (2009) menyatakan terdapat interaksi antara penyakit infeksi
dengan status gizi. Infeksi penyakit dapat menjadi penyebab menurunnya intake
makanan. Sedikitnya intake makanan, berkurangnya nutrient akibat muntah,
diare, malabsorpsi dan demam yang berkepanjangan dapat menyebabkan
defisiensi nutrisi sehingga konsekuensinya adalah pertumbuhan dan sistem
imunitas bayi dan anak akan terganggu.
Salah satu penyakit infeksi yang sering terjadi pada anak adalah diare.
Menurut Faber & Benade (1998), selain asupan makanan, penyakit diare dapat
berkontribusi terhadap pertumbuhan anak. Penyakit diare yang dialami pada
awal masa kanak-kanak dapat memberikan konsekuensi jangka panjang terhadap
tinggi badan menurut umur. Sementara itu, menurut Bomela (2007), rendahnya
kualitas air berhubungan dengan terjadinya water borne disease seperti diare,
yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi dan kehilangan berat badan. Lokasi
toilet juga berhubungan dengan higiene lingkungan di rumah.
Sanitasi Lingkungan
Lingkungan yang baik merupakan prakondisi untuk hidup sehat bagi
masyarakat (Depkes 1991). Menurut Notoatmodjo (1997), kesehatan lingkungan
pada hakekatnya adalah kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum
sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang
optimum. Ruang lingkup sanitasi lingkungan antara lain meliputi perumahan,
pembuangan tinja, penyediaan air bersih, pembuangan sampah dan sebagainya.
Menurut Sukarni (1989) melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan
12
fisik atau daya tahannya terhadap penyakit kurang, akan mudah terserang
penyakit.
Sanitasi lingkungan erat kaitannya dengan status gizi seseorang. Syarief
(1997) mengatakan status gizi selain ditentukan oleh jumlah dan mutu pangan
yang dikonsumsi secara langsung juga dipengaruhi oleh faktor kesehatan dan
sanitasi termasuk sanitasi lingkungan pemukiman. Pemukiman yang sanitasi
lingkungannya tidak baik, seperti tidak tersedianya air bersih, jamban, tempat
pembuangan
sampah,
tidak
tersedia
saluran
pembuangan
air
kotor
memungkinkan seseorang dapat menderita penyakit infeksi yang menyebabkan
seseorang dapat menderita kurang gizi. Penyakit infeksi tersebut antara lain diare
dan cacingan. Sediaoetama (1993) menambahkan bahwa penyakit infeksi dari
infeksi cacing dapat memberikan hambatan absorpsi dan hambatan utilisasi zat
gizi yang menjadi dasar timbulnya penyakit kurang energi protein. Menurut
Bomela (2007) faktor lingkungan yang turut mempengaruhi status gizi adalah
sumber air, tipe rumah dan lokasi toilet.
Menurut Sukarni (1989) keadaan perumahan mempunyai hubungan yang
erat dengan status kesehatan penghuninya. Air bersih merupakan faktor utama
yang menentukan bagi proses kehidupan dan kesehatan. Air yang bersih
berperan penting dalam menjaga kesehatan karena beberapa bibit penyakit
tertentu dapat ditularkan oleh air yang terkontaminasi. Air bersih dapat diperolah
melalui : (1) sumur pompa tangan, (2) penampungan air hujan jika sumber mata
air yang lain tidak ada, (3) mata air yang dirawat, dan (4) sumur gali tertutup.
Agar memenuhi syarat kesehatan sebagai sumber air utama rumah tangga, maka
sumber air harus dilindung dari bahaya-bahaya pengotoran.
Syarat air minum ditentukan oleh syarat fisik, kimia dan bakteriologis.
Syarat fisik dikatakan baik, jika air tidak berwarna, berbau, tidak berasa, jernih
dan suhu sebaiknya berada di bawah suhu udaha sehingga terasa nyaman. Syarat
kimia dikatakan baik, jika tidak mengandung zat kimia atau mineral yang
berbahaya bagi kesehatan misalnya CO 2 , H 2 S, NH 4 , dan lain-lain. Syarat
bakteriologi dikatakan baik jika tidak mengandung bakteri E. coli yang
melampaui batas yang ditentukan (Sukarni 1989).
13
Salah satu elemen penting untuk menunjang kesehatan manusia ialah air
bersih dan sanitasi yang baik. Menurut situs resmi organisasi kesehatan dunia
(WHO), dampak kesehatan dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar terhadap air
bersih dan sanitasi diantarnya terlihat pada anak-anak sebagai kelompok usia
rentan yang secara khusus berisiko terhadap penyakit bersumber air seperti
diare, dan penyakit akibat parasit. Penyakit diare, secara spesifik, sebagian besar
diakibatkan oleh air yang tidak bersih, sanitasi, dan higiene yang buruk
(Anonymous 2007).
Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik
yang berasal dari rumah tangga atau hasil proses industri. Agar sampah tidak
membahayakan manusia, maka perlu pengaturan yaitu dalam hal penyimpanan,
pengumpulan dan pembuangan. Untuk penyimpanannya, diperlukan tempat
sampah di setiap rumah. Sementara itu, yang dimaksud dengan air limbah terdiri
dari kotoran manusia, dapur dan kamar mandi termasuk
air kotor dari
permukaan tanah. Pengaturan air limbah sangat diperlukan diantaranya agar : (1)
mencegah pengotoran sumber air rumah tangga, (2) menjaga kebersihan
makanan agar tidak terkontaminasi, (3) melindungi air minum dari ternak dan
(4) mencegah berkembangbiaknya bibit penyakit (Sukarni 1989).
Jamban ialah tempat pembuangan tinja yang memenuhi syarat kesehatan
sehingga tinja tidak kontak langsung dengan lingkungan sekitar. Jamban
merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Pembuatan jamban merupakan
usaha manusia untuk memelihara kesehatan dengan membuat lingkungan tempat
hidup yang sehat (Sukarni 1989). Berdasarkan data BPS tentang aksesibilitas
terhadap fasilitas sanitasi hingga tahun 2006 tingkat rumah tangga di Indonesia
yang menggunakan jamban pribadi baru mencapai 60% atau sekitar 31,8 juta.
Dari angka tersebut, kualitas jamban yang baik yang klosetnya berbentuk leher
angsa baru mencapai 62% saja. Rumah tangga yang mempunyai tangki
pembuangan tinja juga baru mencapai 41% (Permanasari, Luciasari & Purwanto
2009)
Perilaku pembuangan kotoran manusia masih merupakan suatu kebiasaan
yang kurang menunjang upaya peningkatan kesehatan lingkungan dan kesehatan
masyarakat. Pembuangan yang tidak baik berperan dalam pencemaran tanah dan
14
sumber air bersih yang dibutuhkan manusia untuk minum, masak, mandi dan
mencuci. Akibat langsung, yaitu meningkatnya insiden penyakit-penyakit
tertentu seperti diare, kolera, serta tipus yang ditularkan melalui air yang
terkontaminasi. Selain itu kotoran manusia di permukaan tanah lama-kelamaan
menjadi kering. Setelah kering terbawa tiupan angin bersama-sama debu dan
menyebar kemana-mana sambil membawa kuman penyakit seperti bakteri, telur
cacing, kista amuba dan lain-lain. Di samping itu lalat dan insekta lainnya bisa
hinggap di atas tinja dan selanjutnya hinggap di atas makanan sambil membawa
kuman penyakit seperti tersebut di atas. Penurunan kondisi higiene lingkungan
akan menyebabkan menurunnya kesejahteraan masyarakat (Kusnodiharjo 1997).
Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri atau
bersama-sama dalam organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan seseorang,
keluarga, kelompok dan masyarakat (Levey & Loomba dalam Brotojoyo 2006).
Pelayanan kesehatan yang ideal mengandung arti bahwa pelayanan sesuai
dengan kondisi penyakit yang diderita dan keberadaan pasien, tanpa mengenal
deskriminatif dari segi apapun dan menjangkau semua lapisan masyarakat di
seluruh wilayah Indonesia (BPS 2004).
Pelayanan Kesehatan Dasar atau Primary Health Care di Indonesia
dilakukan melalui Puskesmas, Posyandu, Dasawisma, yang kesemuanya
mengkomunikasikan gagasan, nilai, dan perilaku yang menguntungkan
kesehatan selain memberikan perawatan kuratif kepada penduduk yang
umumnya lapisan bawah, maupun penduduk mayoritas pedesaan.
Pelayanan kesehatan adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga
terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti
imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak,
penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti
posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter, rumah sakit dan persediaan air
bersih. Ketidakterjangkauan pelayanan kesehatan (karena jauh dan atau tidak
mampu membayar), kurangnya pendidikan dan pengetahuan, merupakan
15
kendala masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik pelayanan
kesehatan yang tersedia. Hal ini dapat berdampak juga pada status gizi anak.
Kejadian infeksi penyakit (morbiditas) erat kaitannya dengan akses dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan. Selain itu pelayanan kesehatan dan sanitasi
lingkungan juga berkaitan erat dengan morbiditas dan akhirnya berpengaruh
terhadap status gizi. Upaya penurunan angka morbiditas dan meningkatkan
status gizi bayi dan balita dapat diusahakan melalui memanfaatkan akses
pelayanan kesehatan dan penatalaksanaan kasus penderita secara benar dan tepat
waktu (Hidayat, Hermina & Fuada 2009).
Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS)
Puskesmas adalah organisasi fungsional yang menyelenggarakan upaya
kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan
terjangkau oleh masyarakat, dengan peran serta aktif masyarakat dan
menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna,
dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat. Upaya
kesehatan tersebut diselenggarakan dengan menitikberatkan kepada pelayanan
untuk masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa
mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan. Pengelolaan Puskesmas
umumnya berada di bawah dinas kesehatan kabupaten/kota.
Pondok Bersalin Desa (POLINDES)
Pondok Bersalin Desa (Polindes) adalah salah satu bentuk Upaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang merupakan wujud nyata bentuk
peran serta masyarakat didalam menyediakan tempat pertolongan persalinan dan
pelayanan kesehatan ibu dan anak lainnya, termasuk KB di desa. Latar belakang
sebagai bentuk peranserta masyarakat, polindes seperti halnya posyandu,
dikelola oleh pamong setempat, dalam hal ini kepala desa melalui Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Namun berbeda dengan posyandu yang
pelaksanaan pelayanan dilakukan oleh kader dan didukung oleh petugas
puskesmas, polindes dalam pelaksanaan pelayanannya sangat tergantung pada
keberadaan bidan. Hal ini karena pelayanan di Polindes merupakan pelayanan
16
profesi kebidanan Faktor penghambat tumbuh kembang Polindes antara lain
kesulitan mendapatkan lokasi yang strategis, kesulitan menggali peran serta
masyarakat, bidan tidak tinggal di desa, budaya masyarakat melahirkan di tolong
oleh dukun dan melahirkan dirumahnya sendiri (Depkes 2006).
Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU)
Pengertian Posyandu adalah suatu wadah komunikasi alih teknologi dalam
pelayanan kesehatan masyarakat dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk
masyarakat dengan dukungan pelayanan serta pembinaan teknis dari petugas
kesehatan dan keluarga berencana yang mempunyai nilai strategis untuk
pengembangan sumber daya manusia sejak dini. Sasaran Posyandu adalah
bayi/Balita, ibu hamil/ibu menyusui dan wanita usia subur (WUS) dan pasangan
usia subur (PUS) (Sembiring 2004).
Tujuan penyelenggaraan Posyandu adalah : (1) Menurunkan Angka
Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Ibu ( ibu Hamil, melahirkan dan nifas);
(2) Membudayakan NKKBS; (3) Meningkatkan peran serta dan kemampuan
masyarakat untuk mengembangkan kegiatan kesehatan dan KB beserta kegiatan
lainnya yang menunjang untuk tercapainya masyarakat sehat sejahtera dan (4)
Berfungsi sebagai Wahana Gerakan Reproduksi Keluarga Sejahtera, Gerakan
Ketahanan Keluarga dan Gerakan Ekonomi Keluarga Sejahtera. Kegiatan Pokok
Posyandu adalah : (1) KIA; (2) KB; (3) lmunisasi; (4) Gizi dan (5)
Penggulangan Diare. Pelaksanaan posyandu umumnya setiap sebulan sekali
Dalam pelaksanaannya, dilakukan pelayanan masyarakat dengan sistem 5 (lima)
meja yaitu : (1) Meja I : Pendaftaran; (2) Meja II : Penimbangan ; (3) Meja III :
Pengisian KMS ; (4) Meja IV : Penyuluhan perorangan berdasarkan KMS dan
(5) Meja V : Pelayanan Keluarga berencana dan imunisasi (Sembiring 2004).
Perilaku Higienis
Cuci tangan merupakan salah satu kebiasaan yang tercakup dalam
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Meski terkesan sepele, cuci tangan
memiliki manfaat besar. Mencuci tangan adalah kegiatan membersihkan bagian
17
telapak, punggung tangan dan jari agar bersih dari kotoran dan membunuh
kuman penyebab penyakit yang merugikan kesehatan manusia serta membuat
tangan menjadi harum baunya. Banyak orang yang menyepelekan dan
melupakan aktifitas mencuci tangan setelah melakukan suatu pekerjaan dan
sebelum makan sehingga mereka berisiko terserang penyakit yang berasal dari
kuman di tangan (Adytama 2009).
Cuci tangan efektif mencegah penyakit dengan catatan dilakukan secara
benar. Syaratnya menggunakan air dan sabun antiseptik yang bisa membunuh
kuman, dilakukan pada seluruh bagian telapak dan jari-jari tangan, serta
menggunakan air yang mengalir. Cuci tangan sebaiknya dilakukan pada saat
sebelum makan, sesudah beraktivitas dari luar, sebelum menghidangkan
makanan, sesudah dari toilet/kamar mandi, dan sesudah memegang hewan.
Praktik cuci tangan pakai sabun pada waktu tertentu, yaitu sebelum makan,
setelah buang air besar, sebelum memegang bayi, setelah menceboki pantat
anak, dan sebelum menyiapkan makanan bisa mengurangi prevalensi diare
sampai 40% (Adytama 2009).
18
KERANGKA PEMIKIRAN
Masa balita merupakan masa emas dalam proses kehidupan manusia
untuk meletakkan dasar-dasar kecerdasan, kepribadian, dan kemandirian dimana
pertumbuhan mental dan intelektual berkembang dengan sangat cepat. Pada
masa ini terbentuklah dasar-dasar kemampuan keindraan, berpikir dan berbicara
serta pertumbuhan mental intelaktual yang intensif yang juga merupakan awal
dari pertumbuhan moral (Mariani 2003).
Salah satu faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang balita adalah
terpenuhinya asupan gizi pada anak. Kekurangan gizi yang terjadi pada masa
tersebut dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan
fisik, mental dan spiritual. Bahkan pada bayi, gangguan tersebut dapat bersifat
permanen dan sangat sulit untuk diperbaiki. Kekurangan gizi pada bayi dan
balita, dengan demikian, akan mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya
manusia (Satoto 1990).
Namun pada kenyataanya, masih terdapat adanya masalah gizi pada
anak. Menurut Depkes (2008) jumlah balita berstatus gizi kurang adalah 13%
bahkan terdapat 5,4% anak dengan status gizi buruk, 6,2% balita sangat kurus
dan 7,4% balita berstatus gizi kurus. Jumlah balita pendek (stunting) adalah
sebesar 36,8%. Jumlah balita pendek jauh lebih besar dibandingkan balita gizi
kurang dan balita kurus. Berdasarkan batas masalah gizi masyarakat WHO, bila
prevalensi stunting lebih dari 20%, hal tersebut menandakan adanya masalah
gizi masyarakat (Depkes 2009).
Anak dengan keadaan stunting tidak mengalami potensi pertumbuhan
secara maksimal dan dapat menjadi remaja dan dewasa yang stunted (Ricci &
Becker 1996). Stunting diakibatkan oleh kekurangan makanan atau sakit dalam
jangka waktu yang lama (Depkes 2009).
Menurut UNICEF (1990), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
status gizi pada anak. Faktor penyebab langsung pertama adalah penyakit infeksi
dan makanan yang dikonsumsi harus memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi
yang memenuhi syarat gizi seimbang. Konsumsi pangan dipengaruhi oleh
ketersediaan pangan, Ketersediaan pangan sepanjang waktu, dalam jumlah yang
19
cukup dan harga terjangkau sangat menentukan tingkat konsumsi pangan di
tingkat rumah tangga.
Kedua faktor penyebab langsung tersebut dapat ditimbulkan oleh tiga
faktor penyebab tidak langsung, yaitu: (i) ketersediaan dan pola konsumsi
pangan dalam rumah tangga, (ii) pola pengasuhan anak, dan (iii) jangkauan dan
mutu pelayanan kesehatan masyarakat. Ketiganya dapat berpengaruh pada
kualitas konsumsi makanan anak dan frekuensi penyakit infeksi. Ketidakstabilan
ekonomi, politik dan sosial, dapat berakibat pada rendahnya tingkat
kesejahteraan rakyat yang antara lain tercermin pada maraknya masalah gizi
kurang dan gizi buruk di masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, disusunlah
kerangka pikir faktor determinan status gizi menurut TB/U bagi anak balita
dengan menyesuaikan data yang terdapat dalam Riskesdas 2007.
Karakteristik keluarga yang meliputi tempat tinggal, besar keluarga,
status ekonomi, pendidikan orang tua dan pekerjaan orang tua, akan
mempengaruhi sanitasi lingkungan dan akses dan pemanfaatan kesehatan dan
konsumsi gizi. Selanjutnya, sanitasi lingkungan serta akses dan pemanfaatan
pelayanan kesehatan akan mempungaruhi penyakit infeksi. Penyakit infeksi
dipengaruhi pula oleh perilaku higienis. Selanjutnya penyakit infeksi, konsumsi
gizi dan tinggi badan orang tua akan mempengaruhi status gizi anak menurut
TB/U. Namun, variabel konsumi gizi tidak diteliti dalam penelitian ini.
Kerangka pemikiran faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi menurut TB/U
dapat dilihat pada Gambar 1.
20
Karakteristik Keluarga
Tempat Tinggal
Besar keluarga
Status ekonomi
Pendidikan orang tua
Pekerjaan orang tua
Sanitasi
lingkungan
Perilaku
Higienis
Akses dan
Pemanfaatan
Pelayanan Kesehatan
Penyakit infeksi
Ketersediaan
pangan
Pengetahuan
gizi
Konsumsi gizi
Status Gizi menurut TB/U
Tinggi badan
orang tua
Gambar 1. Kerangka pemikiran faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi
anak menurut TB/U
Keterangan :
: variabel yang diteliti
: variabel yang tidak diteliti
: hubungan yang diteliti
: hubungan yang tidak diteliti
21
METODE PENELITIAN
Data yang Digunakan
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Riskesdas 2007 diselenggarakan oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), sebagai salah satu unit
utama di lingkungan Departemen Kesehatan yang berfungsi menyediakan
informasi kesehatan berbasis bukti. Pelaksanaan Riskesdas 2007 adalah upaya
mengisi salah satu dari 4 (empat) grand strategi Departemen Kesehatan, yaitu
berfungsinya sistem informasi kesehatan yang evidence-based di seluruh
Indonesia. Data dasar yang dihasilkan Riskesdas 2007 diantaranya terdiri dari
status kesehatan (termasuk data biomedis), status gizi, kesehatan lingkungan,
perilaku kesehatan, dan berbagai aspek pelayanan kesehatan. Data dasar ini,
bukan saja berskala nasional, tetapi juga menggambarkan berbagai indikator
kesehatan sampai ke tingkat kota/kabupaten (Depkes 2008)
Riskesdas 2007 adalah riset berbasis komunitas dengan sampel rumah
tangga dan anggota rumah tangga yang dapat mewakili populasi di tingkat
kabupaten/kota. Riskesdas 2007 menyediakan informasi kesehatan dasar
termasuk biomedis, dengan menggunakan sampel Susenas Kor. Riskesdas 2007
mencakup sampel yang lebih besar dari survei-survei kesehatan sebelumnya, dan
mencangkup aspek kesehatan yang lebih luas. Tujuan Riskesdas 2007 adalah
sebagai berikut :
a. Menyediakan informasi berbasis bukti untuk perumusan kebijakan
pembangunan kesehatan di berbagai tingkat administratif
b. Menyediakan informasi untuk perencanaan kesehatan termasuk alokasi
sumberdaya di berbagai tingkat administratif
c. Menyediakan peta status dan masalah kesehatan di tingkat nasional, propinsi
dan kabupaten/kota
d. Membandingkan status kesehatan dan faktor-faktor yang melatarbelakangi
antar propinsi dan antar kabupaten/kota
Manfaat bagi Riskesdas perencanaan pembangunan adalah : (1)
Tersedianya data dasar dari berbagai indikator kesehatan di berbagai tingkat
22
administratif; (2) Stratifikasi indikator kesehatan menurut status sosial ekonomi
sesuai hasil Susenas 2007 ; dan (3) Tersedianya informasi untuk perencanaan
pembangunan kesehatan yang berkelanjutan
Desain dan Lokasi Penelitian Riskesdas
Riskesdas merupakan sebuah survei yang dilakukan secara cross
sectional yang bersifat deskriptif. Desain Riskesdas terutama dimaksudkan
untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di Indonesia secara
keseluruhan, akurat dan berorientasi pada kepentingan para pengambil
keputusan di berbagai tingkat administratif.
Sampel Riskesdas 2007 terdapat di 17150 blok sensus yang terdapat
kabupaten/kota yang berasal dari 440 kabupaten/kota (dari jumlah keseluruhan
sebanyak 456 kabupaten/kota) yang tersebar di 33 propinsi di Indonesia.
Kabupaten yang tidak termasuk dalam sampel Riskesdas dikarenakan
kabupaten tersebut merupakan pengembangan dari kabupaten baru yang pada
saat perencanaan Riskesdas belum diperhitungkan yaitu sebanyak 16
kabupaten. Waktu pelaksanaan Riskesdas dilakukan pada tahun 2007.
Pengolahan dan analisis data dilakukan pada tahun 2008.
Dalam penelitian ini, data yang digunakan terdiri atas data keluarga yang
memiliki balita yang terdiri atas data keluarga, data anak dan data orang tua
anak. Data yang digunakan terdiri atas 32 propinsi. Propinsi yang tidak
diikutsertakan dalam pengolahan data penelitian ini adalah propinsi Sulawesi
Utara. Hal ini disebabkan terdapatnya ketidaklengkapan data pada propinsi
tersebut. Sementara untuk penelitian ini, pengolahan dan analisis data
dilakukan pada bulan Maret-Mei 2010.
Cara Pengumpulan Data Penelitian Riskesdas
Pengumpulan data dalam Riskesdas 2007 dilakukan dengan teknik
wawancara. Wawancara kuesioner rumah tangga dilakukan enumerator dengan
kepala rumah tangga atau yang mewakilinya. Kuesioner rumah tangga terdiri
atas pengenalan tempat, keterangan rumah tangga, keterangan anggota rumah
23
tangga, mortalitas, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, sanitasi
lingkungan, dan konsumsi. Selain kuesioner rumah tangga, terdapat pula
kuesioner individu. Kuesioner individu terdiri atas identifikasi responden,
penyakit, ketanggapan pelayanan kesehatan, pengetahuan, sikap dan perilaku,
disabilitas, kesehatan mental, dan pengukuran antropomeri. Riskesdas 2007
melakukan pula pengukuran biomedis dan pada blok sensus pada kabupaten/kota
terpilih dilakukan pula penarikan sampel iodium.
Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh balita di Indonesia yang terdata oleh Biro Pusat
Statistik. Sampel yang digunakan adalah anak yang berusia 24-59 bulan menjadi
responden Riskesdas 2007. Metodologi perhitungan dan cara penarikan sampel
untuk Riskesdas 2007 identik pula dengan two stage sampling yang digunakan
dalam Susenas 2007. Berikut ini adalah uraian cara perhitungan dan penarikan
sampel dalam Riskesdas:
a. Penarikan sampel blok sensus
Seperti telah disebutkan sebelumnya, Riskesdas menggunakan sepenuhnya
sampel yang yang terpilih dalam Susenas 2007.
b. Penarikan sampel rumah tangga
Dari setiap blok sensus terpilih kemudian dipilih 16 rumah tangga secara acak
sederhana (simple random sampling) yang menjadi sampel rumah tangga
dengan jumlah rumah tangga di blok sensus tersebut
c. Penarikan sampel anggota rumah tangga
Selanjutnya, seluruh anggota rumah tangga dari setiap rumah tangga yang
terpilih dari kedua proses penarikkan sampel tersebut diatas diambil sebagai
sampel individu.
Selanjutnya, Riskesdas 2007 dapat mengumpulkan sampel sebanyak
258.284 rumah tangga, yang terdiri atas 972.989 individu. Namun, dalam
penelitian ini ditetapkan kriteria inklusi yaitu sampel anak usia 24-59 bulan,
memiliki hubungan ayah kandung/ibu kandung dengan kepala keluarga (ayah)
dan ibu serta memiliki kelengkapan data. Sebanyak 567 sampel tidak memiliki
24
kelengkapan data, yaitu sampel yang terdapat di Propinsi Sulawesi Utara.
Sampel dalam penelitian ini berjumlah 42.062 anak. Berikut cara pemilihan data
dalam penelitian ini :
Jumlah balita :
74.503
diseleksi sampel yang berusia 24 - 59 bulan
Jumlah balita :
47.732
diseleksi sampel yang memiliki hubungan
kandung dengan orang tua
Jumlah balita :
42.649
diseleksi sampel yang memiliki kelengkapan data
Jumlah balita :
42.062
sampel untuk dianalisis
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, sehingga hubungan
atau perbedaan yang ditemukan antara variabel dependen dan independen bukan
merupakan sebab akibat. Hal ini disebabkan kedua variabel tersebut diukur pada
waktu yang bersamaan. Selain itu, data sekunder ini telah melalui proses editing
dan cleaning sehingga bias penelitian kemungkinan dapat terjadi.
Pengolahan Data
Pada penelitian ini, pengolahan data dilakukan terhadap anak, orang tua
(tinggi badan dan perilaku higienis ibu) dan keluarga yang meliputi sanitasi
lingkungan, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dan karakteristik
keluarga. Pengolahan dan analisa data dalam penelitian ini menggunakan
software Microsoft Office Excell 2007, SPSS versi 16.0 dan SAS.
25
Pendidikan ayah dan ibu dikategorikan tidak pernah bersekolah, rendah
(SD dan SMP), menengah (SMA) dan tinggi (perguruan tinggi). Pengkategorian
ini berdasarkan Undang-undang No 20 tahun 2003. Pekerjaan orang tua
dikategorikan menjadi tidak bekerja dan bekerja. Tempat tinggal dikategorikan
menjadi desa dan kota. Pengkategorian ini berdasarkan BPS, yaitu dengan
melakukan perhitungan skor terhadap tiga variabel potensi desa yaitu :
kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian dan akses terhadap
fasilitas umum seperti sekolah, pasar, pertokoan dan rumah sakit.
Sanitasi lingkungan diukur dengan melakukan skoring jawaban yang
didapatkan. Jawaban yang benar diberi nilai 1 dan jawaban yang salah diberi
nilai 0. Cara yang sama dilakukan pula untuk mengukur variabel perilaku
higienis dan variabel akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Cara
perhitungan skor
dilakukan dengan
menggunakan
rumus transformasi
menggunakan program microsoft excell yaitu :
Skor total =
X - nilai minimum
x 100%
Nilai maksimal-nilai minimal
Keterangan : X = jumlah jawaban yang benar
Nilai minimal = jumlah nilai minimal dari 1 set pertanyaan
Nilai maksimal = jumlah nilai maksimal dari 1 set pertanyaan
Selanjutnya, untuk variabel sanitasi dan akses dan pemanfaatan
pelayanan kesehatan dikelompokan menjadi 3 kategori yaitu rendah (persentase
jawaban benar < 60%), sedang (persentase jawaban benar 60-80%) dan tinggi
(persentase jawaban benar > 80%). Pengkategorian ini berdasarkan Khomsan
(2000). Untuk variabel perilaku higienis, dikelompokan menjadi baik
(persentase jawaban benar 100%) dan kurang (persentase jawaban benar <
100%). Pengkategorian ini berdasarkan Permanasari, Luciasari & Purwanto
(2009). Penyakit infeksi dikategorikan mengindap penyakit infeksi, bila
mengindap salah satu atau lebih penyakit infeksi (ISPA, pneumonia, demam
thypoid, malaria, campak, diare, tuberculosis paru (TB paru) dan demam
berdarah.
Status gizi anak diukur berdasarkan indikator TB/U dan dibagi menjadi
stunting (nilai z score < -2 SD) dan normal (nilai z score ≥ -2 SD). Sementara
26
itu, untuk analisis faktor determinan, data status gizi yang digunakan adalah data
kontinyu. Adapun variabel penelitian dan pengkategoriannya disajikan dalam
Tabel 1.
Tabel 1 Pengkategorian Variabel Penelitian
Variabel
Kategori Pengukuran
Umur anak
24-35 bulan
36- 47 bulan
48-59 bulan
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tempat Tinggal
Desa
Kota
Jumlah anggota keluarga
Besar jika jumlahnya ≥ 7 orang
Sedang jika 5 – 6 orang
Kecil jika ≤ 4 orang
Pendidikan ayah
Tidak pernah sekolah
Dasar
Menengah
Tinggi
Pendidikan ibu
Tidak pernah sekolah
Dasar
Menengah
Tinggi
Pekerjaan ibu
Tidak bekerja
Bekerja
Pekerjaan ayah
Tidak bekerja
Bekerja
Status ekonomi
Miskin : pengeluaran keluarga berada pada kuantil 1
dan 2
Tidak miskin : pengeluaran keluarga berada pada
kuantil 3, 4 dan 5
Status Gizi anak
Stunting
Normal
:
:
Z-score <-2,0
Z-score ≥ -2,0
27
Tabel 1 Lanjutan
Variabel
Pengkategorian Pengukuran
Penyakit Infeksi
Ya
: jika menderita salah satu atau lebih penyakit
infeksi
Tidak :jika tidak menderita salah satu atau lebih
penyakit infeksi
Sanitasi lingkungan
Kurang : < 60%
Sedang : 60% < n < 80%
Baik : >80%
Akses dan Pemanfaatan Kurang : < 60%
Pelayanan Kesehatan
Sedang : 60% < n < 80%
Baik : >80%
Perilaku higienis
Baik
: 100%
Kurang : <100%
Tinggi Badan Orang Tua
< 141 cm
141-145 cm
146-150 cm
151-155 cm
156-160 cm
161-165 cm
166-170 cm
>170 cm
Analisis Data
Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran frekuensi dari
variabel yang diteliti. Variabel yang diuji adalah karakteristik keluarga (tempat
tinggal, besar keluarga, status ekonomi, pendidikan ayah dan ibu serta pekerjaan
ayah dan ibu), sanitasi lingkungan, akses dan pemanfaatan kesehatan, penyakit
infeksi, perilaku higienis, tinggi badan orang tua dan status gizi anak menurut
TB/U. Untuk menguji hubungan antar variabel digunakan uji korelasi Spearman
untuk menguji hubungan yang bersifat ordinal. Uji Chi Square digunakan untuk
menguji hubungan yang bersifat nominal dengan program SPSS 16.0. Untuk
menentukan faktor determinan stunting dilakukan analisis regresi linear
berganda dengan metode stepwise dengan program SAS versi 9.1. Model
persamaan regresi linear berganda adalah :
Y = β 0 + β 1 X 1 + β 2 X 2 + ………………+ β n X n + €
28
Keterangan :
Y
: Variabel dependen (status gizi menurut TB/U)
Β 1 ,β 2 ,…..β n
: Koefisien regresi
€
: Galat
β0
: Intercept
X 1 ,X 2 ,…X n
: Variabel independen yang diduga mempengaruhi stunting, dengan :
X1
: Umur anak
X2
: Jenis kelamin
X3
: Tempat tinggal
X4
: Jumlah anggota keluarga
X5
: Pendidikan ayah
X6
: Pendidikan ibu
X7
: Pekerjaan ayah
X8
: Pekerjaan ibu
X9
: Status ekonomi
X 10
: Penyakit infeksi
X 11
: Sanitasi lingkungan
X 12
: Perilaku higienis
X 13
: Tinggi badan orang tua
Definisi Operasional
Anak adalah responden Riskesdas 2007 yang berusia 24-59 bulan berjenis
kelamin laki-laki dan perempuan
Tempat tinggal adalah tempat responden tinggal pada saat dilakukan penelitian
yang dikategorikan menjadi desa dan kota berdasarkan BPS.
Jumlah anggota rumah tangga adalah banyaknya individu yang tinggal dalam
satu rumah tangga.
Status ekonomi adalah pengeluaran rumah tangga berdasarkan BPS yang dibagi
menjadi 5 kuantil. Setiap kuantil menggambarkan tingkat kemiskinan
berjenjang yang kemudian dikategorikan menjadi miskin (kuantil 1 dan
2) dan tidak miskin (kuantil 3, 4 dan 5).
29
Pendidikan ayah dan ibu adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah
diikuti dan ditamatkan oleh orang tua yang selanjutnya dikategorikan
menjadi tidak sekolah, rendah, menengah dan tinggi.
Pekerjaan ayah dan ibu adalah kegiatan atau pekerjaan orang tua selain
pekerjaan rutin dalam rumah tangga dan memperoleh gaji/upah/uang
untuk menambah penghasilan keluarga.
Perilaku higienis adalah perilaku hidup bersih dan sehat yang dilakukan ibu,
yang meliputi kebiasaan mencuci tangan
Penyakit infeksi adalah penyakit yang diderita anak yang dinilai berdasarkan
penyakit ISPA, pneumonia (radang paru), malaria, demam typhoid,
campak, diare, tuberkulosis paru (TB paru) dan demam berdarah.
Sanitasi lingkungan adalah keadaan lingkungan tempat tinggal yang diantaranya
mencangkup air yang digunakan, tempat pembuangan limbah, dan
lokasi sumber pencemaran
Akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah tingkat kemudahan dalam
mengakses dan memanfaatan pelayanan kesehatan yang diukur
berdasarkan jarak dan waktu yang diperlukan untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan serta pemanfaatan pelayanan yang telah tersedia
Status gizi anak adalah keadaan gizi anak balita umur 24-59 bulan yang diukur
dengan antropometri berdasarkan indeks TB/U yang dikategorikan
menjadi stunting dan normal
Tinggi badan orang tua adalah tinggi badan dari ayah dan ibu, yang diukur
menggunakan alat pengukur tinggi badan microtoice
Stunting adalah keadaan fisik anak usia 24-59 bulan yang memiliki z score TB/U
kurang dari -2 SD berdasarkan referensi WHO 2005
30
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Indonesia
Negara Indonesia terletak di Sebelah tenggara Asia, di Kepulauan
Melayu, diantara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Koordinat geografisnya
adalah
6°LU - 11°08'LS dan dari 95°'BT - 141°BT. Indonesia merupakan
negara kepulauan dan memiliki 5 buah pulau besar yaitu Jawa, Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Indonesia memiliki luas daratannya
mencapai 1.919.44 km², luas laut 3.257.357 km². Jumlah wilayah lautan dan
daratan adalah 5.176.800 km². Di Indonesia terdapat 33 propinsi yang meliputi 456
kabupaten /kota. Namun, dalam penelitian Riskesdas, jumlah kabupaten/kota
yang diikutsertakan dalam penelitian berjumlah 440 kabupaten/kota.
Karakteristik Anak
Usia anak yang diteliti dalam penelitian ini berada dalam rentang 24-59
bulan. Populasi anak dalam penelitian ini berjumlah 42062 orang. Sebagian
besar anak, baik yang berada dalam keadaan stunting maupun normal berada
dalam rentang usia 24 - 35 bulan, yaitu masing-masing 19,7% dan 24,4%.
Semakin besar usia anak, jumlahnya semakin kecil. Sebaran usia dan jenis
kelamin anak dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Sebaran anak berdasarkan jenis kelamin dan usia
Variabel
Usia
24-35 bulan
36-47 bulan
48-60 bulan
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Stunting
n
%
Normal
n
%
8285
7070
4281
19,7
16,8
10,2
10260
7669
4497
24,4
18,2
10,7
10334
9302
24,6
22,1
11230
11196
26,7
26,6
31
Jumlah anak yang berjenis kelamin laki-laki tidak jauh berbeda dengan
jumlah anak yang berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan uji korelasi Chi
Square, terdapat hubungan antara jenis kelamin anak dengan status gizi
(p<0.01). Anak laki-laki lebih banyak yang mengalami stunting dibandingkan
dengan anak perempuan. Penelitian ini menguatkan hasil penelitian Adeladza
(2009) yang menyatakan bahwa pada umumnya status gizi anak laki-laki lebih
rendah daripada anak perempuan pada usia yang sama. Jus’at (1991)
menambahkan anak laki-laki memiliki status gizi yang lebih rendah
dibandingkan dengan anak perempuan. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan
anak laki-laki cenderung lebih aktif dalam beraktivitas dibandingkan dengan
anak perempuan.
Karakteristik Keluarga
Karakteristik keluarga terdiri dari tempat tinggal, jumlah anggota
keluarga, status ekonomi, pendidikan ayah dan ibu serta pekerjaan ayah dan ibu.
Adapun, sebaran karakteristik keluarga dapat dilihat pada Tabel 3.
Berdasarkan tempat tinggalnya, anak yang tinggal di desa lebih banyak
jumlahnya daripada yang tinggal di kota baik anak dengan kategori stunting
maupun normal. Sebesar 59,6% anak dengan kategori status gizi menurut TB/U
normal tinggal di kota. Pengkategorian desa dan kota didasarkan pengkategorian
BPS melalui perhitungan skor terhadap tiga variabel potensi desa yaitu
kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian dan akses terhadap
fasilitas umum.
Jumlah anggota keluarga merupakan banyaknya anggota keluarga yang
tinggal dalam satu rumah. Jumlah anggota keluarga disebut besar, bila berjumlah
≥ 7 orang, disebut sedang, bila berjumlah 5-6 orang dan kecil bila berjumlah≤ 4
orang. Sebanyak 49,9% kelompok anak stunting memiliki keluarga dengan
anggota keluarga besar. Pada kelompok anak dengan status gizi menurut TB/U
normal sebagian besar memiliki keluarga dengan jumlah anggota keluarga kecil,
yaitu sebesar 54,4%. Rata – rata jumlah anggota keluarga pada kelompok
stunting adalah 4,8 ± 1,5 dengan nilai minimum 3 dan nilai maksimum 18.
32
Sementara itu, rata -rata jumlah anggota keluarga pada kelompok anak normal
berjumlah 4,7± 1,4 dengan nilai minumun 3 dan nilai maksimum 16.
Keluarga dengan status ekonomi miskin jumlahnya lebih banyak baik
pada kelomok anak stunting maupun normal. Keadaan sosial ekonomi rumah
tangga menentukan status gizi anggota rumah tangga tersebut terutama anak
balita (Riyadi et al. 2006). Berdasarkan uji korelasi Spearman, terdapat
hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan status ekonomi (p<0.01,
r=0.23). Keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarga besar lebih banyak
yang mempunyai status ekonomi miskin. Hal tersebut dikarenakan keluarga
dengan status ekonomi miskin mempunyai pengeluaran keluarga yang lebih
besar dibandingkan dengan keluarga dengan status ekonomi tidak miskin.
Menurut Sanjur (1982) besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran
keluarga. Semakin besar jumlah anggota keluarga, pengeluaran keluarga pun
akan semakin besar.
Dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki
peranan penting dan bersifat
timbal balik, artinya kemiskinan akan
menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan melahirkan
kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan
mendorong proses kemiskinan melalui tiga cara, yaitu menyebabkan hilangnya
produktivitas, menurunkan kemampuan kognitif dan berakibat pada rendahnya
tingkat pendidikan dan dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena
dapat meningkatkan pengeluaran untuk berobat (RANPG 2007).
Proporsi terbanyak pendidikan kepala keluarga atau ayah adalah
pendidikan dasar baik pada kelompok stunting maupun normal yaitu masingmasing 49,6% dan 50,4%. Pendidikan dasar meliputi pendidikan hingga tingkat
SLTP. Namun, masih terdapat kepala keluarga yang tidak pernah bersekolah.
Hanya sebagian kecil kepala keluarga yang menempuh pendidikan tinggi.
Pendidikan kepala rumah tangga berhubungan pula dengan tempat tinggal
(p<0.01, r=0.31). Artinya, kepala rumah tangga yang berpendidikan rendah
sebagian besar bertempat tinggal di desa. Selain itu, pendidikan kepala keluarga
pun berhubungan dengan status ekonomi (p<0.01, r=0.26). Keluarga dengan
kepala keluarga berpendidikan rendah lebih banyak yang memiliki status
33
ekonomi miskin. Seperti halnya dengan pendidikan kepala rumah tangga,
proporsi tingkat pendidikan ibu pun sebagian besar adalah pendidikan dasar.
Terdapat pula sebagian kecil ibu yang menempuh hingga jenjang pendidikan
tinggi, walaupun masih terdapat sebagian kecil ibu yang tidak pernah bersekolah
pada kedua kelompok. Sebaran anak berdasarkan karakteristik keluarga dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Sebaran anak berdasarkan karakteristik keluarga
Variabel
Tempat Tinggal
Desa
Kota
Jumlah anggota rumah Tangga
Besar
Sedang
Kecil
Status Ekonomi
Miskin
Tidak miskin
Pendidikan Ibu
Tidak sekolah
Dasar
Menengah
Tinggi
Pendidikan kepala keluarga
Tidak sekolah
Dasar
Menengah
Tinggi
Pekerjaan Kepala Rumah Tangga
Tidak bekerja
Bekerja
Pekerjaan ibu
Tidak bekerja
Bekerja
Status Gizi menurut TB/U
Stunting
Normal
Total
n
%
n
%
n
%
13776
5860
50,0
40,4
13786
8640
50,0
59,6
27562 100
14500 100
2642
7421
9573
49,9
47,0
45,6
2654
8352
11420
50,1
53,0
54,4
5296 100
15773 100
20993 100
11192
8444
49,9
43,0
11238
11188
50,1
57,0
22430 100
19632 100
827
13963
4016
830
50,9
49,6
40,9
34,2
799
14213
5815
1599
49,1
50,4
59,1
65,8
1626
28176
9831
2429
100
100
100
100
762
12923
4810
1141
49,8
49,6
42,3
36,9
769
13136
6569
1952
50,2
50,4
57,7
63,1
1531
26059
11379
3093
100
100
100
100
443
19193
47,8
46,7
484
21942
52,2
53,3
927 100
41135 100
12502
7134
46,5
47,1
14408
8018
53,5
52,9
26910 100
15152 100
Baik pada kelompok stunting maupun normal, sebagian besar kepala
keluarga mempunyai pekerjaan. Namun, masih terdapat kepala keluarga yang
tidak mempunyai pekerjaan yaitu sebesar 47,8% pada kelompok stunting dan
34
52,2% pada kelompok normal.. Ibu yang tidak bekerja berjumlah 46,5% pada
kelompok stunting pada kelompok normal berjumlah 53,5%. Salah satu faktor
yang mendorong wanita turut bekerja adalah keadaan ekonomi. Hal ini dapat
terjadi akibat jumlah tanggungan keluarga yang semakin besar (Aritonang &
Priharsiwi, 2005).
Sebagian besar orang tua, baik yang memiliki anak dengan status gizi
stunting maupun tidak bekerja sebagai petani. Rumah tangga petani merupakan
rumah tangga dengan pekerjaan utama anggotanya sebagai petani dan umumnya
hidup dan tinggal di pedesaan (Suhanda et al 2009). Sebaran jenis pekerjaan
kepala keluarga dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Jenis pekerjaan ayah
Jenis Pekerjaan
Tidak bekerja
Tni/polri
Pns
Pegawai BUMN
Pegawai swasta
Wiraswasta
Pelayanan jasa
Petani
Nelayan
Buruh
Lainnya
stunting
n
%
443 47,8
138 32,9
932 39,1
155 42,7
1379 37,0
3359 42,7
747 45,4
8382 51,7
854 50,3
2526 47,7
721 46,8
normal
Total
n
%
n
%
484 52,2
927 100
282 67,1
420 100
1453 60,9 2385 100
208 57,3
363 100
2346 63,0 3725 100
4502 57,3 7861 100
900 54,6 1647 100
7817 48,3 16199 100
845 49,7 1699 100
2770 52,3 5296 100
819 53,2 1540 100
Menurut Zakiah (1998) status pekerjaan orang tua dapat mempengaruhi
pola pengasuhan. Pada orang tua yang bekerja, khususnya ibu, dapat
menyebabkan
berkurangnya
alokasi
waktu
untuk
anak
lebih
sedikit
dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Bila dihubungkan dengan status gizi
anak menurut TB/U, antara pekerjaan ibu dengan status gizi tidak terdapat
hubungan yang nyata (P>0.05). Hal ini kemungkinan dikarenakan ibu yang
bekerja kemungkinan menitipkan anak pada pengasuhnya, seperti adik/kakak
orang tua, nenek, atau anggota keluarga lainnya. Selain itu, berdasarkan uji
korelasi Spearman pendidikan ibu berhubungan dengan pekerjaan ibu namun
arahnya negatif (p<0.05, r= -0.4). Ibu yang tidak bekerja memiliki pendidikan
35
yang rendah. Rendahnya pendidikan ibu dapat menyebabkan pengetahuan ibu
akan gizi terbatas. Seperti halnya dengan jenis pekerjaan ayah, jenis pekerjaan
ibu pada ibu yang bekerja adalah petani. Sebaran jenis pekerjaan ibu dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Sebaran jenis pekerjaan ibu
Jenis Pekerjaan
Tidak bekerja
Tni/polri
Pns
Pegawai BUMN
Pegawai swasta
Wiraswasta
Pelayanan jasa
Petani
Nelayan
Buruh
Lainnya
stunting
n
%
12502 46,5
25 43,1
517 35,8
23 32,4
311 34,1
1248 42,2
121 43,8
4140 52,5
38 52,1
501 46,5
210 52,6
normal
Total
n
%
n
%
14408 53,5 26910 100
33 56,9
58 100
926 64,2 1443 100
48 67,6
71 100
602 65,9
913 100
1711 57,8 2959 100
155 56,2
276 100
3742 47,5 7882 100
35 47,9
73 100
577 53,5 1078 100
189 47,4
399 100
Status Gizi menurut TB/U
Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui bahwa di Inonesia propinsi dengan
prevalensi stunting tertinggi adalah Maluku (59.2%), Nusa Tenggara Timur
(56.9%) dan Nusa Tenggara Barat (54.4%). Sedangkan propinsi dengan
prevalensi stunting terendah adalah Daerah Istimewa Yogjakarta (29.2%), DKI
Jakarta (30.3%) dan Jawa Barat (34.1%).
Prevalensi nasional stunting adalah 36.8%. Namun, dalam penelitian ini,
prevalensi stunting lebih besar, yaitu sebesar 46.7%. Hal ini disebabkan usia
anak yang digunakan adalah 24 - 59 bulan. Menurut Ramli (2009) prevalensi
stunting tertinggi berada dalam rentang usia 24 - 59 bulan. Selain itu, terdapat
pula adanya kriteria inklusi dalam penelitian ini, yaitu usia 24-59 bulan,
memiliki hubungan kandung dengan orang tua dan kelengkapan data. Setiap
propinsi mempunyai jumlah sampel anak yang berbeda-beda.
36
Tabel 6 Sebaran prevalensi stunting
Propinsi
Persentase status gizi TB/U
berdasarkan Riskesdas 2007*
stunting
normal
NAD
44,6
55,4
Sumatra Utara
43,1
56,9
Sumatra Barat
36,5
63,5
Riau
33,0
67,0
Jambi
36,4
63,6
Sumatra Selatan
44,7
55,3
Bengkulu
36,0
64,0
Lampung
38,7
61,3
Bangka Belitung
35,5
64,5
Kepulauan Riau
26,2
73,8
DKI Jakarta
26,7
73,3
Jawa Barat
35,5
64,5
Jawa Tengah
36,5
63,5
DI Yogjakarta
27,6
72,4
Jawa Timur
34,8
65,2
Banten
39,0
61,0
Bali
31,0
69,0
Nusa Tenggara Barat
43,7
56,3
Nusa Tenggara Timur
46,8
53,2
Kalimantan Barat
39,3
60,7
Kalimantan Tengah
42,7
57,3
Kalimantan Selatan
41,8
58,2
Kalimantan Timur
35,2
64,8
Sulawesi Utara***
31,2
68,8
Sulawesi Tengah
40,4
59,6
Sulawesi Selatan
29,1
70,9
Sulawesi Tenggara
40,5
59,5
Gorontalo
39,9
60,1
Sulawesi Barat
44,5
55,5
Maluku
45,8
54,2
Maluku Utara
40,2
59,8
Papua Barat
39,4
60,6
Papua
37,7
62,3
Total
36,8
63,2
*)Data prevalensi stunting Riskesdas berusia 0 - 59 bulan
Persentase status gizi TB/U
dalam penelitian ini **
stunting
normal
56,2
43,8
52,0
48,0
45,4
54,6
35,4
64,6
45,1
54,9
50,1
49,9
46,3
53,7
47,6
52,4
41,6
58,4
41,5
58,5
30,3
69,7
43,1
56,9
44,8
55,2
29,2
70,8
41,4
58,6
45,2
54,8
37,5
62,5
54,4
45,6
56,9
43,1
46,7
53,3
49,7
50,3
48,9
51,1
41,4
58,6
39,0
60,5
45,2
54,8
47,3
52,7
47,1
52,9
44,9
55,1
48,9
51,1
59,2
40,8
41,5
58,5
48,1
51,9
47,4
52,6
46,7
53,4
**) Data prevalensi stunting dalam penelitian ini berusia 24-59 bulan
***) Data Propinsi Sulawesi Utara tidak diikutsertakan dalam pengolahan selanjutnya.
Dengan demikian, jumlah keseluruhan sampel adalah 42062.
37
Masalah stunting perlu
mendapatkan perhatian serius. Stunting
menunjukkan pertumbuhan linear yang buruk sebagai akibat buruknya gizi dan
kesehatan dalam waktu yang cukup lama, baik masa prenatal maupun postnatal.
Stunting pada masa balita berhubungan dengan penurunan tingkat kecerdasan,
perkembangan psikomotor, keterampilan, motorik halus dan integrasi sensori.
(Adair & Guilkey 1997)
Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa anak dengan status gizi
normal menurut TB/U berjumlah 53.3% atau berjumlah 22426 anak. Sementara
anak dengan dengan z-score yang lebih rendah dengan -2 atau stunting
berjumlah 46.7% atau berjumlah 19636 anak. Sebaran status gizi menurut TB/U
dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Sebaran anak berdasarkan status gizi menurut TB/U
Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi merupakan faktor langsung terjadinya masalah gizi.
Seorang anak dinyatakan mengidap penyakit infeksi jika mengalami 1 atau lebih
penyakit infeksi, baik didiagnosis oleh tenaga kesehatan atau bila responden
pernah atau sedang menderita gejala klinis spesifik penyakit tersebut.
Berdasarkan Gambar 3, dapat diketahui bahwa jumlah anak yang
mengidap penyakit infeksi baik pada kelompok stunting dan normal jumlahnya
tidak jauh berbeda yaitu masing-masing 50,5% yang mengidap penyakit infeksi
dan 49,5% yang tidak mengidap penyakit. Menurut Satoto (1990) Masalah
penyakit infeksi berkaitan dengan perilaku hidup tidak sehat, kesehatan
38
lingkungan yang tidak baik, pendidikan rendah dan kemiskinan. Usaha
pencegahan infeksi sangat utama dan penting untuk kesehatan dan status gizi
terutama balita
Gambar 3 Sebaran anak berdasarkan penyakit infeksi
Jenis penyakit infeksi yang dilihat dalam penelitian ini adalah ISPA
(infeksi saluran pernafasan atas), pneumonia, thypoid, malaria, diare, campak,
TBC dan deman berdarah. Penyakit deman berdarah dan malaria ditularkan
melalui vektor. Penyakit ISPA, pneumonia dan campak ditularkan melalui udara
atau percikan air liur. Penyakit tifoid dan diare ditularkan melalui makanan atau
air. Sebaran jenis penyakit infeksi dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Sebaran anak berdasarkan jenis penyakit infeksi
Jenis Penyakit
Tidak sakit
ISPA
Pneumonia
Thypoid
Malaria
Diare
Campak
TB paru
Demam berdarah
Status Gizi
stunting
normal
n
%
n
9522
11310
45,7
8318
9250
47,3
666
582
53,4
345
386
47,2
634
615
50,8
3242
3194
50,4
719
664
52,0
136
147
48,1
84
124
40,4
Total
%
54,3
52,7
46,6
52,8
49,2
49,6
48,0
51,9
59,6
n
20832
17568
1248
731
1249
6436
1383
283
208
%
100
100
100
100
100
100
100
100
100
39
Jenis penyakit infeksi yang terbanyak di alami responden adalah ISPA,
yaitu sebesar 47,3% pada kelompok stunting dan 52,7% pada kelompok normal
Seorang anak dapat mengidap lebih dari satu jenis penyakit infeksi. Penyakit
infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang utama. Hal ini disebabkan masih tingginya angka
kejadian penyakit ISPA terutama pada balita (Yusup dan Sulistyorini 2005).
Selain ISPA, jenis penyakit yang jumlahnya cukup tinggi pada anak
adalah diare. Diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan
bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan
bertambahnya frekuensi lebih dari biasanya, 3 kali atau lebih dalam 1 hari. Diare
juga didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang buang air besarnya
ditandai dengan tinja berbentuk cairan lebih dari tiga kali dalam satu hari dan
biasanya berlangsung selama dua hari atau lebih. Orang yang mengalami diare
akan kehilangan cairan tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi tubuh. Hal ini
membuat tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik dan dapat membahayakan
jiwa, khususnya pada anak dan orang tua (Anonymous 2007). Pada penelitian di
Brazil (2005), diare merupakan salah satu penyebab utama rendahnya
pertumbuhan pada anak dibawah usia 5 tahun (Assis et al 2005)
Perilaku Higienis
Perilaku higienis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perilaku
higienis ibu. Hubungan ibu dan anak merupakan interaksi sosial yang pertama
kali dialami oleh anak. Anak balita belum mampu merawat dirinya sendiri.
Mereka sangat membutuhkan bantuan orang disekitarnya, terutama ibu. Perilaku
higienis ibu berupa kebiasaan mencuci tangan yang baik sangat dibutuhkan oleh
anak. Perilaku higienis mencuci tangan pada ibu balita dibagi menjadi dua
kategori yaitu mencuci tangan yang baik dan kurang. Mencuci tangan dikatakan
baik
jika seseorang mencuci tangan dengan sabun setiap akan melakukan
kegiatan sebelum makan, sebelum menyiapkan makanan, setelah buang air
besar/setelah menceboki bayi, dan setelah memegang binatang (Depkes 2008).
Mencuci tangan adalah kegiatan membersihkan bagian telapak,
punggung tangan dan jari agar bersih dari kotoran dan membunuh kuman
40
penyebab penyakit yang merugikan kesehatan manusia serta membuat tangan
menjadi harum baunya (Adytama 2009). Sebagian besar ibu (71%), baik yang
memiliki anak stunting maupun normal mempunyai perilaku higienis kurang.
Sisanya (29%) ibu berperilaku higienis baik.
Gambar 4 Sebaran Anak berdasarkan perilaku higienis ibu
Sebaran jenis perilaku higienis ibu dapat dilihat pada Gambar 4. Secara
keseluruhan dapat dilihat, bahwa ibu yang melakukan kebiasaan mencuci tangan
sebelum makan, sebelum menyiapkan makanan, setelah buang air besar dan
setelah pegang binatang pada anak dengan status gizi normal jumlahnya lebih
banyak dari ibu pada kelompok anak stunting.
Gambar 4 Sebaran anak berdasarkan jenis perilaku higienis
41
Sanitasi Lingkungan
Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui bahwa sebagian besar (75%)
lingkungan anak baik paada kelompok stunting maupun normal berada dalam
kategori sanitasi lingkungan sedang. Hanya sebagian kecil (7%) responden
berada dalam kategori sanitasi lingkungan baik.
Gambar 6 Sebaran anak berdasarkan sanitasi lingkungan
Rincian praktik sanitasi lingkungan responden dapat dilihat pada Tabel 8.
Menurut Satoto (1990) sanitasi lingkungan mempengarui tumbuh kembang anak
melalui penurunan kerawanan anak terhadap penyakit infeksi. Sanitasi yang baik
cenderung meningkatkan rasa aman ibu atau pengasuh anak dalam menyediakan
kesempatan bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungan
Penilaian sanitasi lingkungan pada penelitian ini diantaranya dilihat dari
akses ke sumber air, kualitas fisik air yang diminum, pengolahan air sebelum
diminum, penanganan limbah rumah tangga dan kepemilikan tempat sampah.
Persediaan air bersih (PAB), jamban, tempat sampah dan pengelolaan air limbah
(PAL) dikategorikan sebagai sarana sanitasi dasar yang sebaiknya dimiliki oleh
keluarga (Yusup & Sulistyorini 2005).
Jumlah pemakaian air bersih rumah tangga per kapita sangat terkait
dengan risiko kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan higiene. Menurut
WHO (2010) batasan minimal akses untuk konsumsi air bersih adalah 20
liter/orang/hari dan sarana sumber air berada dalam radius 1 kilometer dari
42
rumah. Sebesar 50,3% anak dengan kondisi stunting menggunakan air kurang
dari 20 liter dalam sehari. Sebesar 53,5% responden memperoleh air dalam jarak
kurang dari 1 km dan memperoleh air dalam waktu kurang dari 30 menit.
Menurut Permanasari, Luciasari dan Purwanto (2010) air bersih merupakan
salah satu kebutuhan manusia untuk memenuhi standar kehidupan manusia
secara sehat. Ketersediaan air yang terjangkau dan berkelanjutan menjadi bagian
terpenting bagi setiap individu baik yang tinggal di perkotaan maupun di
perdesaan. Oleh karena itu, ketersediaan air dapat menurunkan water borne
disease.
Kualitas fisik air dinyatakan baik bila air tersebut tidak keruh, tidak
berwarna, tidak berasa, tidak berbau dan tidak berbusa (Depkes 2008). Fasilitas
air bersih diperlukan manusia untuk minum, memasak, mandi, mencuci,
membersihkan peralatan dan lain-lain. Menurut Marchant et al (2003) anak yang
berasal dari keluarga dengan sanitasi dan kualitas air yang lebih buruk
mempunyai risiko yang lebih besar untuk mengalami stunting dibandingkan
dengan yang mempunyai sanitasi yang baik.
Jika dilihat dari tempat penampungan air limbah rumah tangga, sebagian
besar tanpa penampungan baik yang berasal dari kelompok stunting maupun
normal. Sebanyak 60,9% rumah tangga pada kelompok anak normal memiliki
saluran tertutup sebagai saluran pembuangan limbah. Air limbah terdiri dari
kotoran manusia, kotoran dari dapur dan kamar mandi termasuk air kotor dari
permukaan tanah. Menurut Dainur (1992) dalam Mariani (2003) air limbah
rumah tangga banyak mengandung bahan-bahan organik sehingga merupakan
media bagi agen penyakit dan bila mencemari air bersih akan merupakan sumber
penyakit yang disebarkan melalui air (water borne disease). Air buangan dari
kamar mandi, tempat cuci dan lain sebagainya harus dibuang sebelum masuk ke
saluran pembuangan di pemukiman, sehingga air buangan tersebut tidak
mengotori permukaan tanah disekitar rumah.
Sebagian besar keluarga, baik yang memiliki anak dengan kondisi
stunting maupun normal telah menggunakan jamban sebagai tempat buang air
besar. Tujuan dari penyediaan sarana pembuangan kotoran manusia (jamban)
adalah untuk mencegah adanya kontaminasi kotoran manusia dengan sumber air,
43
makanan, perabot rumah tangga, sarana rekreasi dan lain sebagainya. (Marchant
2003). Menurut WHO 1987 dalam Astari 2006 orang yang terkena diare, kolera
dan infeksi cacing biasanya disebabkan oleh kuman yang berasal dari tinja.
Sebagian besar responden tidak memiliki tempat sampah baik di dalam
rumah maupun diluar rumah. Tempat sampah harus terbuat dari bahan yang
mudah dibersihkan dan tidak rusak dan tertutup rapat. Untuk penyimpanan
sampah diperlukan tempat sampah di tiap rumah (Sukarni 1989).
Tabel 8 Sebaran anak berdasarkan variabel sanitasi lingkungan
Variabel
Status Gizi menurut TB/U
Stunting
Normal
Total
n
%
n
%
n
%
Jumlah pemakaian air untuk keperluan
1 rumah
tangga/orang/hari
a. < 20 liter
4551 50.3
b. > 20 liter
15085 45.7
2 Jarak yang dibutuhkan untuk memperoleh air
a. > 1 km
761 50.3
b. < 1 km
18875 46.5
3 Waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh air
a. > 30 menit
459 54.8
b. < 30 menit
19177 46.5
4 Pencemaran dalam radius < 10 meter
(air limbah/cubluk/tangki septic/sampah)
a. Terdapat
15177 46.5
b. Tidak terdapat
4459 47.4
5 Kemudahan untuk memperoleh air sepanjang tahun
a. Sulit sepanjang tahun
322 49.2
b. Sulit pada musim kemarau
5526 48.1
c. Mudah sepanjang tahun
13788 46.1
6 Kualitas fisik air minum
a. Keruh
2043 48.8
b. Tidak Keruh
17593 46.4
a. Berwarna
1507 48.8
b. Tidak berwarna
18129 46.5
a. Berasa
1041 46.8
b. Tidak berasa
18595 46.7
a. Berbusa
241 46.3
b. Tidak berbusa
19395 46.7
4489
17937
49.7
54.3
9040 100
33022 100
753
21673
49.7
53.5
1514 100
40548 100
378
22048
45.2
53.5
837 100
41225 100
17471 53.5
4955 52.6
32648
9414
100
100
332 50.8
5961 51.9
16133 53.9
654
11487
29921
100
100
100
2141
20285
1582
20844
1182
21244
279
22147
4184
37878
3089
38973
2223
39839
520
41542
100
100
100
100
100
100
100
100
51.2
53.6
51.2
53.5
53.2
53.3
53.7
53.3
44
Tabel 8 Lanjutan
No
7
8
9
10
11
12
Variabel
Status Gizi menurut TB/U
Stunting
Normal
Total
n
%
n
%
n
%
660 45.2
799 54.8
1459
100
18976 46.7 21627 53.3 40603
100
a. Berbau
b. Tidak berbau
Pengolahan air minum sebelum digunakan
1618
a. Dimasak
18018
b. Tidak dimasak
Tempat buang air besar
a. Jamban
12126
b. Bukan jamban
7469
Tempat penampungan air limbah dari kamar mandi/
dapur/ tempat cuci
13500
a. Tanpa penampungan
4500
b. Penampungan terbuka
1546
c. Penampungan tertutup
Saluran pembuangan air limbah dari kamar
mandi/ dapur/ tempat cuci
7690
a. Tanpa saluran
8377
b. Saluran terbuka
3569
c. Saluran tertutup
Tempat sampah di luar rumah
12204
a. Tidak memiliki tempat sampah
6270
b. Tempat sampah terbuka
1162
c. Tempat sampah tertutup
Tempat sampah di dalam rumah
15270
a. Tidak memiliki tempat sampah
3083
b. Tempat sampah terbuka
1283
c. Tempat sampah tertutup
45.4 1948 54.6
46.8 20478 53.2
3566
38496
100
100
43,5 15764 56,5
52,8 6680 47,2
27872
14149
100
100
47.7 14800 52.3
46.2 5240 53.8
39.3 2386 60.7
28300
9740
3932
100
100
100
51.8
46.3
39.1
7153 48.2
9722 53.7
5551 60.9
14843
18099
9120
100
100
100
49.1 12634 50.9
44.0 7966 56.0
38.9 1826 61.1
24838
14236
2988
100
100
100
48.2 16387 51.8
43.2 4060 56.8
39.3 1979 60.7
31657
7143
3262
100
100
100
Akses dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Dalam analisis ini, sarana pelayanan kesehatan dikelompokkan menjadi
dua, yaitu sarana pelayanan kesehatan rumah sakit, puskesmas, puskesmas
pembantu, dokter praktek dan bidan praktek dan upaya kesehatan berbasis
masyarakat (UKBM) yaitu pelayanan posyandu, poskesdes dan polindes atau
bidan desa.
Untuk masing-masing kelompok pelayanan kesehatan tersebut dikaji
akses rumah tangga ke sarana pelayanan kesehatan tersebut. Selanjutnya untuk
UKBM dikaji tentang pemanfaatan dan jenis pelayanan yang diterima oleh
45
rumah tangga. Setelah itu, dilakukan skoring terhadap akses dan pemanfaatan
pelayanan kesehatan dari setiap keluarga dan dikelompokkan menjadi keluarga
dengan akses dan pemanfaatan kesehatan baik, sedang dan kurang. Rumah
tangga pada kedua kelompok dengan akses dan pemanfaatan baik dan sedang
jumlahnya tidak jauh berbeda, yaitu masing-masing, yaitu sebesar 36.6% dan
37.7%.
Sementara rumah tangga dengan akses dan pemanfaatan kesehatan
kurang sebesar 26.7%.
Gambar 7 Sebaran anak berdasarkan akses dan pemanfaatan
pelayanan kesehatan
Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa sebanyak 55,1% keluarga
dengan status gizi menurut TB/U normal menempuh jarak kurang dari 1 km
untuk menuju sarana pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, puskesmas
pembantu, dokter praktek, bidan praktek), dan 55,7% responden membutuhkan
waktu ≤ 15 menit untuk mencapai sarana pelayanan kesehatan terse but.
Sementara itu sebagian besar responden menempuh jarak < 1 km untuk menuju
ke posyandu/ poskesdes/ polindes dan membutuhkan waktu ≤ 15 menit untuk
menuju sarana pelayanan kesehatan berbasis masyarakat tersebut. Sebanyak
62,5% keluarga dengan status gizi menurut TB/U normal memanfaatkan
Posyandu/ Poskesdes.
46
Tabel 9 Sebaran anak berdasarkan variabel akses dan pemanfaatan kesehatan
No
1
2
3
4
5
6
7
Variabel
Status Gizi menurut TB/U
Stunting
Normal
Total
n
%
n
%
n
%
Jarak yang ditempuh ke sarana pelayanan
kesehatan terdekat
(rumah sakit, puskesmas, puskesmas
pembantu, dokter praktek, bidan praktek)
a.
> 5 km
1559
b.
1-5 km
9240
c. < 1 km
8837
Waktu tempuh ke sarana pelayanan
kesehatan terdekat (rumah sakit, pustu,
bidan praktek, dokter praktek,)
a.
≥ 31 menit
2601
b.
16-30 menit
8235
c. ≤ 15 menit
8800
Jarak yang ditempuh ke sarana pelayanan
kesehatan terdekat (posyandu, poskesdes, polindes)
a.
> 5 km
413
b.
1-5 km
4197
a.
< 1 km
15026
Waktu tempuh ke sarana pelayanan
kesehatan terdekat (posyandu,
poskesdes, polindes)
a.
≥ 31 menit
1235
b.
16-30 menit
4695
a.
≤ 15 menit
13706
Ketersediaan angkutan umum ke tempat
pelayanan kesehatan
a.
Tersedia
10775
b.
Tidak tersedia
8861
Pemanfaatan Posyandu/Poskesdes dalam
3 bulan terakhir
a.
Memanfaatkan
7843
b.
Tidak memanfaatkan
11793
Pemanfaatan Polindes/bidan desa dalam
3 bulan terakhir
a. Memanfaatkan
13143
b. Tidak memanfaatkan
6493
51.8 1449
47.7 10146
44.9 10831
48.2
52.3
55.1
3008
19386
19668
100
100
100
53.2 2287
47.5 9096
44.3 11043
46.8 4888
52.5 17331
55.7 19843
100
100
100
51.4
390
49.0 4375
46.0 17661
48.6
803
51.0 8572
54.0 32687
100
100
100
51.9 1145
48.9 4911
45.6 16370
48.1 2380
51.1 9606
54.4 30076
100
100
100
47.5 11927
45.8 10499
52.5 22702
54.2 19360
100
100
37.5 13092
55.8 9334
62.5 20935
44.2 21127
100
100
65.9 6797
29.4 15629
34.1 19940
70.6 22122
100
100
47
Dari keseluruhan responden, umumnya kunjungan ke posyandu atau
poskesdes digunakan untuk menimbang (53.4%), mendapatkan penyuluhan
(23.3%), imunisasi (34.9%), pelayanan keluarga berencana KB (16.7%),
kesehatan ibu dan anak (KIA) (18.0%), pengobatan (33.8%), pemberian
makanan tambahan (29.0%), pengobatan (20.2%), pemberian suplemen gizi
(32.2%) dan konsultasi risiko penyakit (7.0%). Sementara itu, responden yang
tidak memanfaatkan posyandu/poskesdes baik pada kelompok stunting maupun
normal diantaranya dikarenakan letaknya yang jauh, tidak ada posyandu di
sekitar tempat tinggal dan layanan yang tidak lengkap. Menurut Hidayat et al
(2010) rumah tangga balita yang memanfaatkan pelayanan kesehatan di
posyandu lebih banyak balita yang status gizi baik berdasarkan TB/U berbeda
nyata dengan rumah tangga balita yang tidak pernah ke pos pelayanan terpadu.
Responden pada kelompok stunting maupun normal memanfaatkan
polindes atau bidan desa biasanya melakukan pemeriksaan kehamilan (5.1%),
bersalin (2.6%), pemeriksaan ibu nifas (2.4%), pemeriksaan neonatus (2.1%),
pemeriksaan bayi dan balita (11.8%) dan pengobatan (26%). Adapun, alasan
responden tidak memanfaatkan polindes atau bidan diantaranya dikarenakan
letak yang jauh, pelayanan tidak lengkap, tidak terdapat polindes/bidan desa dan
tidak membutuhkannya.
Tinggi Badan Orang Tua
Tinggi badan orang tua (ayah dan ibu) menjadi salah satu faktor yang
diperhatikan dalam melihat tinggi badan pada anak. Sebaran tinggi badan orang
tua dapat dilihat pada Tabel 10.
Rata-rata tinggi badan ayah yang memiliki anak dengan tinggi badan
normal adalah 162,8 cm ± 6,2 cm dengan nilai maksimum adalah 185.0 cm dan
nilai minimunnya adalah 128 cm. Sementara itu, rata-rata tinggi badan ayah
yang memiliki anak dengan kondisi stunting adalah 161,35 cm ± 6.3 cm dengan
maksimumnya adalah 185.4 cm dan nilai minimumnya adalah 128 cm.
Sebagian besar ayah baik pada kelompok stunting maupun normal memiliki
tinggi badan 161 cm - 165 cm. Sebaran tinggi badan ayah dapat dilihat pada
Tabel 10.
48
Tabel 10 Sebaran tinggi badan ayah
Tinggi Badan
<141 cm
141-145
146-150
151-155
156-160
161-165
166-170
>170
Status Gizi
stunting
normal
n
%
n
%
295 49.3 303 50.7
398 53.0 353 47.0
936 54.1 793 45.9
2206 53.7 1904 46.3
5308 50.0 5317 50.0
5801 46.0 6820 54.0
3440 41.8 4787 58.2
1252 36.8 2149 63.2
Total
n
598
751
1729
4110
10625
12621
8227
3401
%
100
100
100
100
100
100
100
100
Sebaran tinggi badan ayah dapat dilihat pada Tabel 11. Rata-rata tinggi
badan ibu yang memiliki anak dengan tinggi badan normal adalah 153.08 cm ±
5,7 cm dengan nilai maksimum adalah 185.0 cm dan nilai minimunnya adalah
117 cm. Sementara itu, rata-rata tinggi badan ibu yang memiliki anak dengan
kondisi stunting adalah 151,6 cm ± 5,9 cm dengan maksimumnya adalah 184,1
cm dan nilai minimumnya adalah 128 cm.
Sebagian besar ibu baik pada
kelompok stunting maupun normal memiliki tinggi badan 151 cm - 155 cm.
Tabel 11 Sebaran tinggi badan ibu
Status Gizi
<141 cm
141-145
146-150
151-155
156-160
161-165
166-170
>170
Status Gizi
Total
stunting
normal
n
%
n
%
n
%
879 58.6 620 41.4 1499 100
2301 57.9 1671 42.1 3972 100
5442 50.9 5250 49.1 10692 100
5714 43.9 7291 56.1 13005 100
3793 41.8 5290 58.2 9083 100
919 38.1 1492 61.9 2411 100
355 41.3 505 58.7
860 100
233 43.1 307 56.9
540 100
49
Hubungan sanitasi lingkungan, akses dan pemanfaatan kesehatan,
dan perilaku higienis dengan penyakit infeksi
Kejadian infeksi penyakit (morbiditas) erat kaitannya dengan akses dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan. Selain itu pelayanan kesehatan dan sanitasi
lingkungan juga berkaitan erat dengan morbiditas dan akhirnya berpengaruh
terhadap status gizi (Hidayat, Hermina & Fuada 2009). Sementara itu, dengan
personal higiene, dalam hal ini kebiasaan mencuci tangan dapat menurunkan
terjadinya penyakit infeksi terutama diare.
Penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab langsung terjadinya
status gizi kurang pada balita (UNICEF 1990). Terjadinya penyakit infeksi pada
seorang anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya dikarenakan
sanitasi lingkungan, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dan perilaku
higienis ibu, yaitu kebiasaan ibu dalam mencuci tangan.
Tabel 12 Sebaran Penyakit Infeksi berdasarkan Sanitasi Lingkungan
Personal higiene dan Akses dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Variabel
Penyakit Infeksi
p
Sakit Infeksi
Tidak Sakit Infeksi
n
%
n
%
Personal higiene
15322
14695
Kurang
36.4
34.9
5908
6137
Baik
14.0
14.6
>0.05
21230
20832
Total
50.5
49.5
Akses dan Pemanfaatan Kesehatan
5476
5748
Kurang
13.0
13.7
7685
7750
Sedang
18.3
18.4
<0.05
8069
7334
Baik
19.2
17.4
Sanitasi lingkungan
4187
3430
Kurang
10.0
8.2
15709
15729
Sedang
37.3
37.4
<0.05
1334
1673
Baik
3.2
4.0
Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa personal higiene ibu
sebagian besar adalah kurang dan pada anak yang menderita penyakit infeksi
dan tidak menderita penyakit infeksi jumlahnya tidak jauh berbeda, yaitu
masing-masing 72.3% dan 71.2%. Sebanyak 26.5 % anak yang menderita
penyakit infeksi memiliki akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan yang
50
kurang baik. Keluarga yang memiliki sanitasi lingkungan baik sebesar 7.4%
yang tidak sakit infeksi dan yang menderita sakit infeksi sebanyak 5.4%.
Berdasarkan uji korelasi Spearman, sanitasi lingkungan berhubungan
dengan penyakit infeksi (p<0.01, r=0.46). Hal ini berarti anak dengan sanitasi
lingkungan kurang cenderung mengidap penyakit infeksi sebaliknya, anak
dengan sanitasi lingkungan baik cenderung tidak mengidap penyakit infeksi.
Menurut Sukarni (1989) melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan
fisik atau daya tahannya terhadap penyakit kurang, akan mudah terserang
penyakit. Biasanya pada suatu tempat tinggal yang mempunyai sumber air yang
buruk, akan mempunyai pula pembuangan kotoran, ventilasi dan kepadatan
penghuni yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Menurut Anugra (2004) lingkungan yang sehat dan bersih akan
mengurangi kejadian infeksi yang selanjutnya mengurangi kejadian penyakit
yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan status gizi anak. Sementara
itu, menurut Azwar (1988) penyakit yang diderita oleh seseorang disebabkan
oleh daya tahan tubuh yang rendah, lingkungan yang kurang bersih dan perilaku
hidup yang kurang sehat. Hal ini dapat mempengaruhi status gizi dan kualitas
sumberdaya manusia.
Antara akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan penyakit
infeksi terdapat hubungan yang signifikan berdasarkan uji korelasi Spearman
(p>0.05). Hal ini berarti anak yang memiliki akses dan memanfaatkan pelayanan
kesehatan dengan baik cenderung tidak mengidap sakit infeksi dibandingkan
dengan anak yang akses terhadap pelayanan kesehatan dan pemanfaatannya
kurang.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara penyakit infeksi dan personal higiene ibu
(p>0.05). Hal ini kemungkinan dikarenakan dari jenis penyakit yang diteliti,
tidak semua penyakit disebabkan oleh perilaku higienis. Misalnya penyakit
deman berdarah dan malaria yang ditularkan melalui vektor. Alasan lainnya
adalah masih terdapat penyakit infeksi lain yaitu penyakit cacingan yang tidak
diteliti dalam penelitian ini. Penyakit cacingan merupakan salah satu penyakit
infeksi yang berhubungan dengan perilaku higienis. Namun, bila dilakukan uji
51
korelasi Chi Square terhadap masing-masing penyakit dengan perilaku higienis,
jenis penyakit yang berhubungan dengan perilaku higienis adalah penyakit ISPA
dan diare dengan masing-masing p<0.05. Sementara itu, jenis penyakit lainnya
tidak berhubungan dengan perilaku higienis.
Menurut Permanasari, Luciasari dan Purwanto (2010), ibu yang
mempunyai kebiasaan cuci tangan dengan sabun yang kurang baik mempunyai
persentase lebih besar
untuk anaknya terkena diare dibandingkan ibu yang
mempunyai kebiasaan cuci tangan dengan sabun yang baik. Ada perbedaan
yang signifikan terhadap kejadian diare pada anak antara ibu yang mempunyai
kebiasaan yang baik dalam mencuci tangan dengan sabun dibandingkan ibu
yang mempunyai kebiasaan yang kurang baik dalam mencuci tangan dengan
sabun.
Menurut Yusup dan Sulistyorini (2005) yang melakukan penelitian
tentang hubungan sanitasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara sanitasi rumah dengan kejadian ISPA pada
balita. Faktor yang mempengaruhinya adalah kepadatan penghuni rumah,
ventilasi dan penerangan alami. Kejadian risiko terjadinya ISPA pada rumah
yang sanitasinya kurang adalah hampir 12 kali lebih banyak dibandingkan yang
tidak ISPA. Penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. Hal ini disebabkan masih
tingginya angka kejadian penyakit ISPA terutama pada balita. Menurut Sukarni
(1989) rumah tinggal yang mempunyai sumber air yang buruk, akan mempunyai
pula pembuangan kotoran, ventilasi dan kepadatan penduduk yang tidak
memenuhi syarat kesehatan
Faktor Determinan Stunting
Hasil regresi linier berganda menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
berpengaruh signifikan terhadap stunting adalah tinggi badan ayah, tinggi badan
ibu, umur, tempat tinggal, status ekonomi, pendidikan ibu, penyakit infeksi,
personal higiene dan sanitasi lingkungan. Adapun, model persamaan yang
diperoleh adalah :
52
Y= -11,10162-0.38639X 3 +0.03919X 2 +0.02049X 1 +0.16860X 10 +0.16811X 5 +
0.13890X 6 +0.09808X 7 +0.08888X 9 -0.10490X 8
Hasil uji F bagi peubah bebas terhadap TB/U dapat dilihat pada Tabel 13.
Secara keseluruhan ke-9 variabel tersebut memberikan kontribusi pada status
gizi sebesar 4,58%. Hal tersebut menandakan masih terdapat faktor yang dapat
memberikan kontribusi lebih besar terhadap kejadian stunting. Jika dilihat dari
faktor yang mempengaruhi status gizi berdasarkan UNICEF (1990), variabel
yang tidak diteliti dalam penelitian ini diantaranya adalah konsumsi zat gizi,
pola asuh dan pengetahuan gizi, yang kemungkinan lebih mempengaruhi
terjadinya stunting pada anak. Kemungkinan lain dari rendahnya nilai R2 adalah
kesalahan model yang disebut specification error.
Tabel 13 Hasil uji F bagi peubah bebas terhadap TB/U
Peubah
Intercept
B
-11.10162
T
925.60
R2 Parsial
X3
umur
-0.38639
768.14
0.0173
0.0001
X2
TB ibu
0.03919
416.72
0.0156
0.0001
X1
TB ayah
0.02049
131.25
0.0050
0.0001
X 10
sanitasi
0.16860
52.19
0.0034
0.0001
X5
tempat tinggal
0.16811
47.28
0.0020
0.0001
X6
status ekonomi
0.13890
37.97
0.0013
0.0001
X7
pendidikan ibu
0.09808
27.28
0.0007
0.0001
X9
personal higiene
0.08888
13.61
0.0003
0.0002
X8
penyakit infeksi
-0.10490
9.43
0.0002
0.0021
R2
0.0485
Kode
n= 42062
Menurut Bloom (1974)
Sig
faktor yang mempengaruhi status kesehatan
adalah keturunan, lingkungan fisik, kimia, biologis, pelayanan kesehatan dan
perilaku sosial budaya. Dalam penelitian ini, variabel tinggi badan orang tua
mewakili keturunan, variabel akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan
mewakili pelayanan kesehatan, variabel perilaku higienis mewakili perilaku
53
sosial budaya dan variabel karakteristik keluarga dan sanitasi lingkungan
mewakili lingkungan.
Menurut UNICEF 1990, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
status gizi pada anak. Faktor penyebab langsung adalah makanan dan penyakit
infeksi. Selanjutnya, faktor yang mempengaruhi penyebab langsung adalah
ketersediaan pangan, pola pengasuhan dan jangkauan dan mutu pelayanan
kesehatan masyrakat. Pola asuh, pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan
diantaranya dipengaruhi oleh pendidikan, pelayanan kesehatan, dan informasi.
Namun, akar maslah dari hal tersebut adalah kemiskinan.
Usia anak yang semakin besar dapat memperburuk stunting. Semakin
bertambahnya usia, risiko terjadinya stunting akan semakin besar. Menurut
Ramli et al (2009) prevalensi stunting tertinggi stunting terjadi saat anak berusia
24 - 59 bulan.
Adanya penyakit infeksi dapat memperburuk terjadinya stunting. Anak
yang menderita penyakit infeksi dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan
sehingga kekurangan asupan zat gizi. Padahal, anak yang berada dalam keadaan
sakit membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk mempercepat proses
pemulihan. Bila hal ini terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama, dapat
mengakibatkan pertumbuhan tinggi badan anak pun terganggu. Menurut
Widiyawati (2004) salah satu cara untuk mencapai tumbuh kembang balita
secara maksimal adalah keadaan tubuh yang terbebas dari penyakit infeksi.
Riyadi (2001) menyatakan bahwa penyakit infeksi dapat berdampak buruk
terhadap pertumbuhan melalui berbagai cara, yaitu mengurangi nafsu makan,
menurunkan penyerapan zat gizi, meningkatkan kebutuhan metabolik, atau
secara langsung menyebabkan kehilangan zat-zat gizi.
Sementara itu, menurut Suhardjo (1989) antara infeksi dan status gizi
kurang terdapat interaksi timbal balik. Orang yang mengalami gizi kurang, daya
tahan tubuh terhadap penyakit lebih rendah dan lebih mudah terkena serangan
penyakit infeksi. Demikian pula sebaliknya infeksi yang akut mengakibatkan
kurangnya nafsu makan dan toleransi terhadap makanan, sehingga orang yang
terkena penyakit infeksi dapat mengalami kurang gizi. Anak balita sebagai
golongan yang rawan, dengan kondisi tubuh yang lemah, akan mudah terserang
54
penyakit menular. Hal ini mengakibatkan semakin lemahnya kondisi tubuh dan
kehilangan nafsu
makan, sehingga lama kelamaan status gizinya akan
memburuk.
Salah satu penyakit infeksi yang sering terjadi pada anak adalah diare.
Menurut Mulyati, Sandjaja & Tjandrarini (2008) balita yang pernah mengalami
diare lebih dari 3 kali/hari memiliki risiko untuk underweight 1,7 kali lebih
besar dibandingkan dengan yang tidak pernah mengalami diare. Sementara
menurut Faber & Benade (1998), selain asupan makanan, penyakit diare dapat
berkontribusi terhadap pertumbuhan anak. Penyakit diare yang dialami pada
awal masa kanak-kanak dapat memberikan konsekuensi jangka panjang terhadap
tinggi badan menurut umur.
Tempat tinggal mempengaruhi terjadinya stunting. Keluarga dengan
anak balita yang tinggal di desa cenderung mengalami stunting dibandingkan
dengan yang tinggal di kota. Menurut Mulyati & Budiman (2006) subjek yang
tinggal di pedesaan mempunyai peluang 1,5 kali lebih besar untuk mengalami
hambatan dalam pencapaian pertumbuhan dibandingkan dengan anak yang
bertempat tinggal di kota
Status
ekonomi mempengaruhi
terjadinya stunting.
Anak
yang
mengalami stunting lebih banyak yang berasal dari keluarga dengan status
ekonomi miskin dibandingkan dengan yang bukan berasal dari keluarga tidak
miskin. Menurut Depkes 2008, masalah balita pendek merupakan cerminan dari
keadaan sosial ekonomi masyarakat. Sementara itu, menurut Riyadi et al. (2006)
ciri rumah tangga anak stunted adalah pendapatan yang lebih rendah,
pengeluaran pangan yang lebih rendah, dan status gizi berdasarkan z-score TB/U
yang rendah (negatif). Berdasarkan ciri tersebut dapat dikatakan bahwa anak
stunted sangat erat kaitannya dengan keadaan ekonomi.
Pendidikan ibu turut mempengaruhi terjadinya stunting. Menurut
Madanijah (2003) pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu
mortalitas bayi dan anak, karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap
tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, higiene dan kesadarannya
terhadap kesehatan anak dan keluarga. Sementara itu, menurut Adeladza (2009),
55
anak dengan ibu yang berpendidikan mempunyai status gizi yang lebih baik
dibandingkan dengan ibu yang tidak
Antara variabel sanitasi, status ekonomi, tempat tinggal, pendidikan ibu
dan perilaku higienis saling berhubungan. Berdasarkan uji korelasi Spearman,
tempat tinggal berhubungan dengan status ekonomi (p<0.01, r=0.12). Hal ini
menunjukkan status ekonomi keluarga yang tinggal di desa lebih banyak yang
berstatus miskin dibandingkan dengan di kota. Sebaliknya, tempat tinggal di
kota cenderung mempunyai status ekonomi yang tidak miskin
Sanitasi lingkungan pun mempunyai hubungan dengan tempat tinggal
(p<0.01, r=0.27). Keluarga yang tinggal di kota cenderung mempunyai sanitasi
yang lebih baik dibandingkan dengan di desa. Selain itu, sanitasi lingkungan
berhubungan pula dengan status ekonomi (p<0.01, r=0.146). Keluarga dengan
sanitasi kurang cenderung mempunyai status ekonomi miskin. Sebaliknya,
keluarga dengan sanitasi lingkungan baik cenderung tidak miskin.
Pendidikan ibu mempunyai hubungan dengan sanitasi (p<0.01, r=0.26),
personal higiene (p<0.01, r=0.11), dan tempat tinggal (p<0.01, r=0.34). Ibu yang
mempunyai pendidikan rendah pada umumnya mempunyai sanitasi lingkungan
rumah dan personal higiene kurang. Hal tersebut pada umumnya terjadi pada ibu
yang bertempat tinggal di desa. Menurut Depkes 2008 penduduk perkotaan
berperilaku higienis lebih tinggi dari penduduk pedesaan dan semakin tinggi
pengeluaran rumah tangga semakin tinggi pula persentase perilaku higienis yang
baik
Anak yang tinggal di desa dengan kondisi ekonomi yang miskin, sanitasi
lingkungan yang lebih rendah, pendidikan ibu dan personal higiene yang rendah
memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami stunting pada anak yang
berusia 24-59 bulan dibandingkan dengan anak yang bertempat tinggal di kota.
Tinggi badan orang tua mempengaruhi terjadinya stunting pada anak.
Menurut Jahari (1988) anak-anak di negara maju badannya lebih tinggi dan
besar dari anak di negara berkembang. Anak dari kelompok di negara miskin
lebih kecil dan pendek daripada anak-anak kelompok keluarga mampu dari suku
atau ras yang sama. Faktor-faktor yang berperan dalam tinggi badan seorang
anak adalah genetik dan lingkungan. Untuk daerah-daerah di negara berkembang
56
faktor lingkungan dianggap lebih berperan terhadap pertumbuhan tinggi badan
dibandingkan dengan faktor genetik. Hal yang sama diungkapkan Supariasa,
Fajar dan Bakri (2001) yang menyatakan di negara yang sedang berkembang,
pertumbuhan anak selain diakibatkan oleh faktor genetik, juga dipengaruhi oleh
faktor lingkungan.
Tinggi badan orang tua pun berhubungan dengan status ekonomi. Baik
tinggi badan ayah (p<0.01, r=0.102) maupun tinggi badan ibu (p<0.01, r= 0.076)
berhubungan dengan status ekonomi. Ibu maupun ayah yang memiliki tinggi
badan tinggi cenderung tidak miskin, sebaliknya, tinggi badan ayah atau ibu
yang memiliki tinggi badan rendah cenderung miskin. Hal ini kemungkinan
terjadi dikarenakan kondisi lingkungan yang tidak baik sejak lama dalam suatu
keluarga. Hal ini menyebabkan asupan zat gizi baik dalam mutu maupun
jumlahnya tidak mencukupi.
Alasan lainnya adalah anak -anak terawat dengan baik pada ibu yang
memiliki tinggi badan tinggi (Pryer, Rogers & Rahman 2003). Demikian pula
menurut Sandjaja (2001) faktor ibu yang berperan nyata terhadap risiko kurang
gizi adalah berat badan yang lebih rendah, tinggi badan rendah dan IMT yang
kurang.
57
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Sebagian besar keluarga baik pada kelompok stunting maupun normal tinggal
di desa. Jenjang pendidikan ayah dan ibu yang paling besar adalah pendidikan
dasar. Sebagian besar ayah bekerja dan sebagian besar ibu tidak bekerja.
2. Sebanyak 71.4% ibu mempunyai perilaku higienis kurang. Sebesar 74.7%
keluarga mempunyai sanitasi lingkungan kurang dan sebanyak 36.7%
keluarga mempunyai kategori sedang dalam mengakses dan memanfaatkan
pelayanan kesehatan.
3. Jumlah anak dengan status gizi stunting berjumlah 46.7%. Propinsi dengan
prevalensi stunting tertinggi adalah Maluku dengan 59.2% dan propinsi
dengan prevalensi stunting terendah adalah DI Yogjakarta dengan 29%.
4. Berdasarkan uji statistik, penyakit infeksi berhubungan dengan adalah sanitasi
lingkungan dan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Sementara itu,
dengan variabel perilaku higienis tidak terdapat hubungan yang nyata.
5. Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap stunting adalah tinggi
badan ayah, tinggi badan ibu, umur, tempat tinggal, status ekonomi,
pendidikan ibu, penyakit infeksi, personal higiene dan sanitasi lingkungan.
Saran
Penyebab masalah stunting bukan hanya dikarenakan faktor kesehatan.
Oleh karena itu, usaha perbaikan masalah stunting bukan hanya menjadi
tanggung jawab sektor kesehatan saja. Diperlukan kerjasama lintas sektor untuk
menangani masalah stunting. Usaha yang dapat dilakukan diantaranya adalah :
1. Perbaikan ekonomi keluarga diantaranya dengan mendorong pengusaha atau
pemerintah setempat untuk menggalakan potensi daerah setempat dengan
menggunakan tenaga lokal seperti ibu rumah tangga.
2. Perbaikan kesehatan lingkungan diantaranya adalah perbaikan fasilitas air
bersih tempat sampah, dan saluran pembuangan limbah rumah tangga
58
3. Meningkatkan KIE khususnya pada ibu rumah tangga diantaranya tentang
pentingnya menjaga kesehatan anak balita dan perilaku higienis terutama
kebiasaan mencuci tangan.
4. Untuk bidang kesehatan, kegiatan yang dapat dilakukan adalah melakukan
revitalisasi posyandu diantaranya berupa pelatihan kader, perbaikan sarana
dan fasilitas posyandu dan menggiatkan kembali kegiatan posyandu.
59
DAFTAR PUSTAKA
Abunain D, Jahari AB. 1987. Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah Dasar
Sebagai Indikator Sosial Ekonomi. Penelitian Gizi dan Makanan. 10;07-21
Adair LS, Guilkey DK. 1997. Age-Specific Determinants of Stunting in Filipino
Children. 127:314–320 The Journal of Nutrition. http;// www.
nutrition.org. [22 Jan 2010]
Adeladza TA. 2009. The Influence of Socio-Economic and Nutritional
Characteristics on Child Growth in Kwale District of kenya. African
Journal of Agriculture and Development. 9;7. http://www.ajfand.net. [12
Des 2009]
Adytama TY. 2009. Cuci Tangan Turunkan
www.Mediaindonesia.com [20 Maret 2010]
40%
Kejadian
Diare.
Amelia E. 2001. Pengetahuan Gizi dan Persepsi Ibu Rumah Tangga Kader dan
Bukan Kader POSYANDU tentang Kurang Kalori Protein (KEP) Balita
serta Partisipasi Penanggulangannya [Skripsi] Bogor: Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Anonymous. 2007. Kekurangan akses terhadap air minum dan sanitasi dasar.
www. depkes.go.id [10 Maret 2010]
Anonymous 2007. ORALIT dan ZINC untuk penyembuhan DIARE. 2007. www.
infeksi. com [10 Maret 2010]
Anugra PA. 2004. Keragaan Status Gizi Anak Balita di Kecamatan Bogor
Timur, Kota Bogor [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institit Pertanian Bogor
Arimond M, Ruel MT. 2004. Dietary Diversity Is Associated with Child
Nutritional Status: Evidence from 11 Demographic and Health Surveys. J.
Nutr. 134: 2579–2585. http://www.nutrition.org [22 Jan 2010]
Aritonang IE, Priharsiwi. 2005. Status Bekerja Ibu Kaitannya dengan Pola
Pemberian Makanan, Pola Asuh Makan, Tingkat Kecukupan Energi dan
Protein dan Status Gizi Anak Usia 0-59 Bulan di Perum Nogotirto,
Jogjakarta. Prosiding Temu Ilmiah, Kongres XIII Persagi. Hlm. 284-288.
Astari LD. 2006. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Stunting
Anak Usia 6-12 Bulan di Kabupaten Bogor [Tesis]. Sekolah Pascasarjana.
Institit Pertanian Bogor
Assis et al. 2005. Growth faltering in childhood related to diarrhea: a
longitudinal community based study. European Journal of Clinical
Nutrition 59: 1317–1323. www.nature.com [22 Jan 2010]
60
Azwar A. 1988. Pengantar Epidemiologi. Jakarta; Bina Aksara Rupa
Bomela N. 2007. Child Nutritional Status and Household Patterns in South
Africa. African Journal of Agriculture and Development Agriculture and
Development. 7; 5.http://www.ajfand.net [27 des 2009]
Brotojoyo U. 2006. Manajemen Pelayanan Kesehatan Sebagai Upaya
Peningkatan Ekonomi [Skripsi] Bogor; Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
BPS 2004. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta. BPS.
BPS 2008. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia.BPS
Departeman Kesehatan. 1991. Informasi Ringkas Kesehatan. Pusat Data
Kesehatan, Jakarta.
__________________. 2006. Pengembangan dan Penyelenggaraan Pos
Kesehatan Desa, Jakarta
.
2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskasdas) Tahun 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
. 2009. Buku Saku Gizi. Kapankan masalah ini berakhir?
Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Faber M, Benade AJS. 1998. Nutritional status and dietary practices of 4–24month-old children from a rural South African community. Public Health
Nutrition: 2(2), 179–185 [27 Des 2009]
Gibson RS 1990. Principles of Nutritional Assessment. New York. Oxford
University Press
Hardinsyah, Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Departemen Pendidikan
danKebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.
Hidayat TS, Hermina, Fuada N 2009. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Kaitannya dengan Status Gizi dan Morbiditas Anak. Laporan Analisis
Lanjut Data Riskesdas. Badan Litbangkes, Jakarta
Husaini MA. 1988. Antropometri dan Pertumbuhan Anak. Buletin Gizi No 1
Vol 12.
Jahari AB, Abunain D. 1986. Perbandingan Validitas Beberapa Indeks
Antropometri untuk Pemantauan Status Gizi Anak Balita. Gizi Indonesia
Volume 11 No 2, 1986 – Volume 12 No 1, 1987: hlm 15 – 21
61
Jahari AB. 1988. Antropometri sebagai Indikator Status Gizi. Gizi Indonesia
Volume 13 No 2
Jus’at I. 1991. Determinants of Nutritional Status of Preschool Children in
Indonesia; Analysis of The National Sosio Economic Survey (SUSENAS)
1987 [Thesis]. New York
Khomsan A. 2000. Tekhnik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Departemen Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Kilimbira A et al. 2006. Disparities in the Prevalence of Child Undernutrition in
Malawi – a Crosssectional Perspective. South Africa Journal Clinical
Nutrition volume 19 no 4. http://www.ajfand.net.[27 Des 2009]
Kusnodihardjo. 1997. Gambaran Perilaku Penduduk mengenai Kesehatan
Lingkungan di Daerah Pedesaan Subang Jawa Barat. Cermin Dunia
Kedokteran No.119
Luciasari E, Susanto D. 1990. Status Gizi Anak Prasekolah pada Keluarga
Berpendapatan Rendah dengan Ibu Bekerja: Studi Kasus di Kelurahan
Kebon Kelapa, Kecamatan Bogor Barat, Kotamadya Bogor, Propinsi Jawa
Barat. Penelitian Gizi dan Makanan, jilid 18 : hlm 99 - 104
Madanijah S. 2003. Model Pendidikan “GI-PSI-SEHAT” Bagi Ibu serta
Dampaknya terhadap Perilaku Ibu, Lingkungan Pembelajaran, Konsumsi
Pangan dan Status Gizi Anak Usia Dini. [Disertasi]. Bogor. Fakultas Pasca
Sarjana; Institut Pertanian Bogor.
Mariani. 2003. Hubungan Pola Asuh Makan, Konsumsi Pangan dan Status
Kesehatan dengan Status Gizi Anak Balita (Studi di Desa Benda Baru
Kecamatan Pamulang Tanggerang Propinsi Banten) [Tesis] Bogor :
Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
Merchant et al. 2003. Water and Sanitation Associated with Improved Child
Growth. European Journal of Clinical Nutrition (2003) 57; 1562–1568.
www. Nature.com [2 Mei 2010]
Mulyati S, Budiman B. 2006. Pencapaian Pertumbuhan pada Balita di Pedesaan
dan Perkotaan di Indonesia. Penelitian Gizi dan Makanan volume 29 no 2.
Hlm. 68-77.
Mulyati S, Sandjaja, Tjandrarini DH. 2008. Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Underweight pada Anak Usia 24-59 Bulan di Nangroe
Aceh Darussalam (Analisa Data Surkesda 2006). Penelitian Gizi dan
Makanan volume 31 No 1. Hlm 21-35.
62
Notoatmodjo S. 1997. Ilmu kesehatan Masyarakat. Prinsip-Prinsip Dasar,
Rineka Cipta, Jakarta.
Nurmiati. 2006. Pertumbuhan dan Perkembangan Balita Stunted dan Normal
[Skripsi] Bogor : Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Patrick H, Nicklas T. 2005. A Review of Family and Social Determinants of
Children’s Eating Patterns and Diet Quality. Journal of the American
College of Nutrition, 24; 2, 83–92. http:// www. JACN. org [10 Jan 2010]
Permanasari Y, Luciasari E, Purwanto B. 2009. Hubungan PHBS dengan
Kejadian Diare dan Kaitannya dengan Status Gizi Balita di Indonesia.
Penelitian Gizi dan Makanan, volume 32 : hlm 97 - 108
Pryer J, Rogers S, Rahman A. 2003. The Epidemiologi of Good Nutrition Status
Among Children From a Population with High Prevalence of Malnutrition.
Dhaka 1216, Bangladesh. Public Health Nutrition: 7(2);311-317
RANPG 2007. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional.
Rahmawati. 2006. Status Gizi dan Perkembangan Anak Usia Dini di Taman
Pendidikan Karakter dan Sutera Alam, Desa Sukamantri, Bogor [Skripsi]
Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Ramli et al. 2009. Prevalence and Risk Factors for Stunting and Severe Stunting
Among Under-Fives in North Maluku Province of Indonesia. Research
Article BMC Pediatric. http://www.biomedcentral.com/1471-2431/9/64.
[22 Jan 2010].
Riyadi H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi secara Antropometri. Jurusan Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Riyadi et al. 2006. Studi Tentang Status Gizi pada Rumah Tangga Miskin dan
Tidak miskin. Gizi Indenesia volume 29 no 1 hlm. 33-46
Ricci JA, Becker S. 1996. Risk Faktor for Wasting and Stunting Among
Children in Cebu Philipins. The American Journals of Clinical Nutrition.
63;966-75. www.ajnc. org. [22 Jan 2010].
Sandjaja. 2001. Penyimpangan Positif (Positif Deviance) Status Gizi Anak
Balita dan Faktor-Faktor yang Berpengaruh. Badan Litbangkes, Jakarta
Sanjur. D. 1982. Social and Cultural Perspective in Nutrition, New Jersey:
Prentice Hall Inc.
63
Satoto. 1990. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak, Pengamatan Anak Umur
0 – 18 Bulan di Kecamatan Mlongo Kabupaten Jepara Jawa Tengah
[Disertasi] Semarang: Universeitas Diponegoro
Schmidt MK et al. 2002. Nutritional Status and Linear Growth of Indonesian
Infants in West Java Are Determined More by Prenatal Environment than
by Postnatal Factors. J. Nutr. 132: 2202–2207, [22 Jan 2010].
Sedgh G et al. 2000. Dietary Vitamin A Intake and Nondietary Faktors Are
Associated with Reversal of Stunting in Children, J Nutr 130: 2520-2526.
[22 Jan 2010].
Sediaoetama AD. 1993. Ilmu Gizi. Jakarta; Dian Rakyat
Sembiring N. 2004. Posyandu Sebagai Peran Serta Masyarakat Dalam Usaha
Peningkatan Peran Serta Masyarakat. www.solex-un.net/repository/id/
hlth/CR7-Res1-ind.pdf [ 20 Mei 1020]
Shrimpton R. 2006. Life Cycle and Gender Perspective on The Double Burden
of Malnitrition and The Preventive of Diet Related Chronic Diseases.
Standing Committee on Nutrition. Number 33. Levenham Press United
Kingdom.
Suhanda et al. 2009. Gold Standard dan Indikator Garis Kemiskinan Rumah
Tangga Petani di Subang. Pusat Pelatihan manajemen dan Kepemimpinan
Departemen Pertanian dan Neys-Van Hoogstraten Foundation
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Dirjen Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.
Institut Pertanian Bogor.
Sukarni M. 1989. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi.Pusat Antar Universitar,IPB,
Bogor.
Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Di dalam : Ester
M, editor.Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC
Syarief H. 1997. Membangun Sumberdaya Manusia berkualitas. Suatu Telaahan
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya keluarga. Orasi ilmiah Guru Besar Ilmu
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya keluarga, Fakultas Pertanian, IPB,
Bogor.
UNICEF. 1990. The Care Initiative Assessment. Analysis and Action to Improve
Care for Nutrition. New York
64
Widiyawati R. 2004. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Gizi Ibu dengan Pola
Pengasuhan Anak Balita di Kecamatan Bogor Timur Kota Bogor [Skripsi]
Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
WHO. 2010. WHO / UNICEF Joint Monitoring Programme (JMP) for Water
Supply and Sanitation. http://www.wssinfo.org/ [2 Mei 2010]
Yusup NA, Sulistyorini L. 2005. Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik
dengan Kejadian ISPA pada Balita . Jurnal Kesehatan Lingkungan . Vol 1,
No 2 [10 Maret 2010].
Zakiah R. 1998. Pemberian Makanan Tambahan pada Bayi Umur 4-12 Bulan
dari Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja (Studi Kasus di Kelurahan Bantar Jati,
Kecamatan Bogor Utara, Kotamadya Bogor). [Skripsi] Bogor: Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor
65
Lampiran 1
DAFTAR PERTANYAAN DAN SKORING
Tabel 1 Akses dan Pemanfaatan Kesehatan
No
1
Macam dan Indikator
Jarak terdekat yang harus ditempuh ke sarana pelayanan kesehatan
terdekat (RS,Puskesmas, Pustu, Dokter Praktek, Bidan Praktek)
- < 1 km
- 1-5 km
- > 5 km
2
Waktu tempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat
(RS,Puskesmas, Pustu, Dokter Praktek, Bidan Praktek)
- < 15 menit
- 16-30 menit
- >30 menit
3
Jarak terdekat yang harus ditempuh ke sarana pelayanan kesehatan
terdekat (Posyandu, Poskesdes, Polindes)
- < 1 km
- 1-5 km
- > 5 km
4
Waktu tempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat (Posyandu,
Poskesdes, Polindes)
- < 15 menit
- 16-30 menit
- >30 menit
5
Apakah tersedia angkutan umum ke fasilitas kesehatan terdekat ?
- Ya
- Tidak
6
Apakah rumah tangga ini pernah mamanfaatkan pelayanan
Posyandu/ Poskesdes dalam 3 bulan terakhir?
- Ya
- Tidak
7
Apakah rumah tangga in pernah memanfaattkan pelayanan Polindes
/ Bidan desa dalam 3 bulan terakhir?
- Ya
- Tidak
Skor tertinggi : 15
Skor terendah :0
Skor
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
1
0
1
0
1
0
Tabel 2. Sanitasi Lingkungan
No
Indikator
Skor
Akses ke sumber air
1
Berapa jumlah pemakaian air untuk keperluan rumah tangga?
- < 20 liter
- > 20 liter
2
Berapa jarak waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh air?
- < 1 km
- > 1 km
3
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh air?
- < 30 km
- > 30 km
4
Apakah di sekitar sumber air dalam radius < 10 meter tdp sumber
pencemaran (air limbah/cubluk/tngki septic/sampah)?
- Tidak
- Ya
5
Kemudahan memperolah air sepanjang tahun
- Mudah sepanjang tahun
- Sulit pada musim kemarau
- Sulit sepanjang tahun
Kualitas fisik air minum
Keruh
- Tidak
- Ya
7
Berwarna
- Tidak
- Ya
8
Berasa
- Tidak
- Ya
9
Berbusa
- Tidak
- Ya
10
Berbau
- Tidak
- Ya
Pengolahan air minum sebelum diminum
1
0
1
0
1
0
1
0
2
1
0
6
11
Dimasak
- Ya
- Tidak
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
Tabel 2. Lanjutan
No
Indikator
Skor
Penanganan air limbah rumah tangga
12
Tempat penampungan air limbah dari kamar mandi/tempat
cuci/dapur?
- Penampungan tertutup
- Penampungan terbuka
- Tanpa penampungan
13
Saluran pembuangan air limbah dari kamar mandi/dapur/ tempat
cuci?
- Saluran tertutup
- Saluran terbuka
- Tanpa saluran
Tempat buang air besar
Tempat buang air besar
- Jamban
- Bukan jamban
Kepemilikan tempat sampah
2
1
0
2
1
0
14
15
16
Tempat sampah diluar rumah
- Tempat sampah tertutup
- Tempat sampah terbuka
- Tidak memiliki tempat sampah
Tempat sampah didalam rumah
- Tempat sampah tertutup
- Tempat sampah terbuka
- Tidak memiliki tempat sampah
Skor tertinggi : 26
Skor terendah : 0
1
0
2
1
0
2
1
0
Tabel 3. Perilaku Higienis
No
Indikator
1
2
3
4
Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan
- Ya
- Tidak
Kebiasaan mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan
- Ya
- Tidak
Kebiasaan mencuci tangan setelah buang air besar
- Ya
- Tidak
Kebiasaan mencuci tangan setelah memegang binatang
- Ya
- Tidak
Skor tertinggi = 4
Skor terendah =0
Skor
1
0
1
0
1
0
1
0
Download