FAKTOR DETERMINAN “STUNTING” PADA ANAK USIA 24 – 59 BULAN DI INDONESIA ADITIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Faktor Determinan Stunting pada Anak Usia 24 – 59 Bulan di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2010 Aditianti NRP I151080141 ABSTRACT ADITIANTI Determinants Factors of Stunting in Children 24-59 Month in Indonesia Supervised by ALI KHOMSAN and DADANG SUKANDAR Age under five year old is one of the most important periods for a child’s growth and development. This period is important for placing health and intelectual development for a child’s future. Based on that, nutrition problems in childhood are needed to be eliminated. There are many problems in childhood related to nutrition .According to Ministry of Health (2008), there are 36,8% of children were stunted. It is larger than the number of undernourished and wasted children. The objective of this study were : (1) study the family characteristics, infectious diseases, environmental sanitation, hygiene behaviour, access and healthcare utilization, parents’ height and nutritional status according to height-for-age in children; (2) to analyze the relationship between environmental sanitation and healthcare utilization, and between hygiene behaviour and infectious diseases; and (3) to analyze determinant factors of 24-59 months old stunted children. This study used secondary data taken from Basic Health Research 2007 with cross sectional design. Sample size of 42042 children were taken. Pearson’s correlation were used to test relationship among variables. Determinants factors were revealed using SAS program with stepwise method. The results showed that there was a significant relationship (p<0,05) between infectious diseases and sanitation; among infectious diseases and access and healthcare utilization and hygiene behaviour. Factors affecting stunting significantly (p<0,05) were father’s height, mother’s height, age, gender, neighborhood, social and economic status, mother’s education, infectious diseases, personal hygiene, and environmental sanitation. Keywords : stunting, children RINGKASAN ADITIANTI. Faktor Determinan Stunting pada Anak Usia 24 – 59 di Indonesia. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN dan DADANG SUKANDAR Masa balita merupakan salah satu masa penting untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Masa ini merupakan salah satu masa yang paling penting untuk meletakan dasar-dasar kesehatan dan intelektual anak untuk kehidupan yang akan datang. Berdasarkan hal tersebut, masalah gizi anak perlu mendapatkan perhatian. Namun pada kenyataannya, masih terdapat masalah yang berhubungan dengan keadaan gizi pada masa balita. Menurut Depkes (2008) di Indonesia terdapat 13% anak balita dengan status gizi kurang bahkan terdapat 5,4 % anak balita berstatus gizi buruk dan 4,3 % anak mempunyai status gizi lebih. Sebesar 7,4% anak mempunyai status gizi kurus bahkan 6,2% anak sangat kurus dan 12,2% anak gemuk. Keadaan gizi lain yang dapat ditemukan pada anak adalah pendek (stunting). Jumlah anak stunting sebesar 36,8% atau berjumlah 9,3 juta anak. Jumlah ini jauh lebih besar daripada jumlah anak yang berstatus gizi kurang dan berstatus gizi kurus. Pada keadaan stunting, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah balita pendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Karena masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang sifatnya kronis (Depkes 2009). Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor –faktor yang menyebabkan terjadinya stunting pada anak balita usia 24 – 59 bulan. Sementara itu, tujuan khusus penelitian ini adalah : (1) Mempelajari karakteristik anak usia 24 – 59 bulan dan keluarganya; (2) Mempelajari penyakit infeksi, sanitasi lingkungan, perilaku higienis, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dan tinggi badan orang tua; (3) Mempelajari status gizi menurut indikator tinggi badan menurut umur (TB/U); (4) Menganalisis hubungan antara sanitasi lingkungan, perilaku higienis dan akses dan pemanfaatan kesehatan dengan penyakit infeksi ; (5) Menganalisis faktor determinan stunting pada anak usia 24 – 59 bulan Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007). Riskesdas merupakan survei dengan desain cross sectional yang dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesahatan penduduk di Indonesia secara keseluruhan, akurat dan berorientasi pada kepentingan para pengambil keputusan di berbagai tingkat administratif. Populasi dalam analisis ini adalah seluruh anak balita di Indonesia yang telah terdata oleh BPS. Sampel yang digunakan adalah anak yang berusia 24-59 bulan menjadi responden Riskesdas 2007. Sample rumah tangga Riskesdas identik dengan two statge sampling yang digunakan dalam Susenas 2006. Pada setiap kabupaten atau kota diambil sejumlah blok sensus terhadap jumlah rumah tangga di kota atau kabupaten tersebut, kemudian dipilih 16 rumah tangga secara acak sederhana. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah usia anak 24-59 bulan dan memiliki hubungan kandung dengan orang tua. Jumlah keseluruhan sample dalam penelitian ini adalah 42.062 orang. Pengolahan dan analisa data dalam penelitian ini menggunakan software Microsoft Office Excell 2007, SPSS versi 16.0 dan SAS. Pengolahan data dilakukan terhadap karakteristik keluarga (tempat tinggal, besar keluarga, status ekonomi, pendidikan orang tua dan pekerjaan orang tua), sanitasi lingkungan, akses dan pelayanan kesehatan dan perilaku higienis, penyakit infeksi, tinggi badan orang tua dan status gizi menurut TB/U. Tempat tinggal adalah tempat responden tinggal pada saat dilakukan penelitian yang dikategorikan menjadi desa dan kota berdasarkan BPS. Jumlah anggota rumah tangga adalah banyaknya individu yang tinggal dalam satu rumah tangga. Status ekonomi adalah pengeluaran rumah tangga berdasarkan BPS yang dibagi menjadi 5 kuantil. Setiap kuantil menggambarkan tingkat kemiskinan berjenjang yang kemudian dikategorikan menjadi miskin (kuantil 1 dan 2) dan tidak miskin (kuantil 3, 4 dan 5). Pendidikan ayah dan ibu adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah diikuti dan ditamatkan oleh orang tua yang selanjutnya dikategorikan menjadi tidak sekolah, rendah, menengah dan tinggi. Pekerjaan ayah dan ibu adalah kegiatan atau pekerjaan orang tua selain pekerjaan rutin dalam rumah tangga dan memperoleh gaji/upah/uang untuk menambah penghasilan keluarga. Perilaku higienis adalah perilaku hidup bersih dan sehat yang dilakukan ibu, yang meliputi kebiasaan mencuci tangan Penyakit infeksi adalah penyakit yang diderita anak yang dinilai berdasarkan penyakit ISPA, pneumonia (radang paru), demam typhoid, campak, malaria, diare, tuberkulosis paru (TB paru) dan demam berdarah. Sanitasi lingkungan adalah keadaan lingkungan tempat tinggal yang diantaranya mencangkup air yang digunakan, tempat pembuangan limbah, dan lokasi sumber pencemaran. Akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah tingkat kemudahan dalam mengakses dan memanfaatan pelayanan kesehatan yang diukur berdasarkan jarak dan waktu yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan serta pemanfaatan pelayanan yang telah tersedia. Status gizi anak adalah keadaan gizi anak balita umur 24-59 bulan yang diukur dengan antropometri berdasarkan indeks TB/U yang dikategorikan menjadi stunting dan normal. Tinggi badan orang tua adalah tinggi badan dari ayah dan ibu, yang diukur menggunakan alat pengukur tinggi badan microtoice. Stunting adalah keadaan fisik anak usia 24-59 bulan yang memiliki z score TB/U kurang dari -2 SD berdasarkan referensi WHO 2005. Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi dan frekuensi dari berbagai variabel yang diteliti.. Untuk menguji hubungan antar variable digunakan uji korelasi spearman dan uji Chi Square. Untuk menentukan faktor determinan stunting dilakukan dengan analisis regresi linear berganda dengan metode stepwise Sebagian besar anak, baik yang berada dalam keadaan stunting maupun normal berada dalam rentang usia 24 - 35 bulan, yaitu masing-masing 19,7% dan 24,4 Berdasarkan tempat tinggalnya, anak yang tinggal di desa lebih banyak jumlahnya daripada yang tinggal di kota baik anak dengan kategori stunting maupun normal. Proporsi terbanyak pendidikan kepala keluarga dan pendidikan ibu adalah pendidikan dasar. Sebagian besar kepala keluarga memiliki pekerjaan, sebaliknya sebagian besar ibu tidak bekerja. Sebagian besar ayah dan ibu bekerja sebagai petani. Jumlah anak yang mengidap penyakit infeksi baik pada kelompok stunting dan normal jumlahnya tidak jauh berbeda yaitu masing-masing 50,5% yang mengidap penyakit infeksi dan 49,5% yang tidak mengidap penyakit. Jenis penyakit infeksi yang terbanyak diderita anak adalah ISPA dan diare. Sebagian besar ibu (71%), baik yang memiliki anak stunting maupun normal mempunyai perilaku higienis kurang. Sisanya (29%) ibu berperilaku higienis baik. Sebagian besar (75%) lingkungan anak baik paada kelompok stunting maupun normal berada dalam kategori sanitasi lingkungan sedang. Hanya sebagian kecil (7%) responden berada dalam kategori sanitasi lingkungan baik. Rumah tangga pada kedua kelompok dengan akses dan pemanfaatan baik dan sedang jumlahnya tidak jauh berbeda, yaitu masing-masing, yaitu sebesar 36.6 dan 37.7%. Sementara rumah tangga dengan akses dan pemanfaatan kesehatan kurang sebesar 26.7%. Anak dengan status gizi normal menurut TB/U berjumlah 53, 3% dan anak dengan z-score yang lebih rendah dengan -2 atau stunting berjumlah 46, 7%. Berdasarkan uji statistik, penyakit infeksi berhubungan dengan sanitasi lingkungan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan (p<0.05). Sementara dengan variabel perilaku higienis tidak terdapat hubungan yang nyata. Hasil regresi linier berganda menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap stunting adalah tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, umur, tempat tinggal, status sosial ekonomi, pendidikan ibu, penyakit infeksi, personal higiene dan sanitasi lingkungan. Secara keseluruhan ke-9 variabel tersebut memberikan kontribusi pada status gizi sebesar 4,58%. Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap stunting adalah tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, umur, tempat tinggal, status sosial ekonomi, pendidikan ibu, penyakit infeksi, personal higiene dan sanitasi lingkungan. Rekomendasi yang dapat diberikan diantaranya adalah : (1) Perbaikan ekonomi keluarga diantaranya dengan mendorong pengusaha atau pemerintah setempat untuk menggalakan potensi daerah setempat dengan menggunakan tenaga lokal seperti ibu rumah tangga, khususnya di desa; (2) Perbaikan kesehatan lingkungan diantaranya fasilitas air bersih tempat sampah, dan saluran pembuangan limbah rumah tangga; (3) Meningkatkan KIE khususnya pada ibu rumah tangga diantaranya tentang pentingnya menjaga kesehatan anak balita dan perilaku higienis dan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan; dan (4) Untuk bidang kesehatan, kegiatan yang dapat dilakukan adalah melakukan revitalisasi Posyandu dan meningkatkan akses dan pelayanan kesehatan di masyarakat. © Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. FAKTOR DETERMINAN “STUNTING” PADA ANAK USIA 24 – 59 BULAN DI INDONESIA ADITIANTI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mayor Gizi Masyarakat SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : DR. Ir. Hadi Riyadi, MS Judul Tesis Nama NRP Program Studi : Faktor Determinan Stunting pada Anak Usia 24 – 59 Bulan di Indonesia : Aditianti : I151080141 : Ilmu Gizi Masyarakat Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS MSc Ketua Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, Anggota Diketahui Koordinator Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Gizi Masyarakat drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal ujian : 22 Juli 2010 Tanggal lulus : PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada AllahSWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang bejudul Faktor Determinan Stunting pada Anak Usia 24-59 bulan di Indonesia. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master (S2) pada program study Ilmu Gizi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dari lubuk hati yang paling dalam penulis menghaturkan terimakasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi kepada kepada Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS dan Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc yang telah memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berharga dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS sebagai dosen penguji luar komisi dan kepada Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku moderator yang telah memandu jalannya sidang tesis. Terima kasih penulis sampaikan kepada Badan Litbangkes, Kementrian Kesehatan RI yang telah mengizinkan penulis untuk memanfaatkan data hasil Riskesdas 2007 sebagai bahan analisis penelitian ini dan telah memberi beasiswa sehingga dapat menempuh pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor Mayor Ilmu Gizi Masyarakat. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada seluruh staf pengajar program studi Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan ilmunya selama penulis menempuh studi, serta seluruh staf administrasi program studi Gizi Masyarakat dan Sekolah Pascasarjana IPB atas pelayanan yang telah diberikan. Kepada DR Abas Basuni Jahari, MSc selaku ketua Kelompok Kerja Penelitian Gizi Masyarakat (KPP-GM) penulis menyampaikan terimakasih atas izinnya untuk melanjutkan sekolah dan arahan dalam menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman- teman GM angkatan 2008 atas kebersamaan, bantuan dan dukungannya selama menempuh pendidikan di program studi Gizi Masyarakat IPB. Kita telah melewati masa-masa indah di bangku kuliah. Terima kasih pula kepada Pera atas diskusi statistiknya dan teman-teman di Puslitbang Gizi dan makanan, khususnya Kelompok Kerja Penelitian Komunikasi Informasi dan Edukasi (KPP KIE). Kepada suami tercinta, Reza Mulyawan dan anakku M. Alif Satria Adiza, terima kasih atas semua do’a, dukungan, pengertian dan kasih sayang selama penulis menempuh pendidikan. Terima kasih tak terhingga kepada kepada Ayahanda Bambang Mandoyoreno dan Ibunda Hj. Sriwiati dan adiku Danti Astrini serta kepada keluarga H. Oyok Sukardi yang tak putus-putusnya selalu memberikan dukungan dan mendoakan untuk kelancaran dan keberhasilan penulis. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah berpartisipasi dalam menyelesaikan studi ini, penulis ucapkan terimakasih, semoga Allah SWT memberikan balasan atas semua kebaikannya. Akhir kata, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan keilmuan, khususnya terkait dengan stunting pada anak. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat Bogor, Agustus 2010 Aditianti RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 10 Maret 1981 dari ayah H. Bambang Mandoyoreno dan Ibu Hj. Sriwiati. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 1996 penulis menamatkan pendidikan di SMP Negeri 4 Bogor dan melanjutkan sekolah di SMA Negeri 3 Bogor. Tahun 1999 penulis lulus dan pada tahun yang sama penulis diterima di Insitut Pertanian Bogor jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga melalui jalur PMDK dan berhasil lulus pada tahun 2003. Tahun 2008 penulis menempuh pendidikan Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2004 penulis diterima bekerja sebagai ahli gizi pada Rumah Sakit Bogor Medical Center (BMC) selanjutnya pada tahun 2005 penulis bekerja sebagai PNS di Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan hingga saat ini. DAFTAR ISI DAFTAR ISI ............................................................................................................... i DAFTAR TABEL ....................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... iv PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................................ Tujuan ..................................................................................................................... Kegunaan ................................................................................................................ 1 4 4 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................... 5 Gangguan Pertumbuhan Linier................................................. ................................. 5 Indeks Antropometri menurut TB/U.......................................................................... 5 Status Gizi.................................................................................. ................................ 7 Karaktristik Keluarga................................................................ ................................. 8 Besar Keluarga………………………………………….................................. 8 Pendidikan Orang Tu………………………………….................................... . 9 Pekerjaan Orang Tua……………………………………... ............................. 10 Pengeluaran.................................................................................................... 11 Penyakit Infeksi………………………………………………. ................................ 11 Sanitasi Lingkungan…………………………………………................................... 12 Pelayanan Kesehatan................................................................. ................................ 15 Puskesmas………………………………………………................................. 16 Polindes………………………………………………… ................................ 16 Posyandu………………………………………………................................... 17 Perilaku Higienis........................................................................................................ 17 KERANGKA PEMIKIRAN ………………………………………. ............................. 18 METODE PENELITIAN………………………………………….. ............................. 22 Data yang Digunakan................................................................ ..................................... 22 Desain dan Lokasi Penelitian ……………………………...… ..................................... 23 Cara Pengumpulan Data Penelitian.......................................... ...................................... 23 Populasi dan Sampel....................................................................................................... 24 Keterbatasan Penelitian ................................................................................................ 25 Pengolahan Data .......................................................................................................... 25 i Analisis Data............................................................................. ..................................... 28 Definisi Operasional ………………………………………… ...................................... . 29 HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………….. ............................ 31 Gambaran Umum Indonesia………………………………….. ................................ 31 Karakteristik Anak................................................................... .................................. 31 Karakteristik Keluarga.............................................................. ................................. 32 Status Gizi menurut TB/U....................................................... .................................. 36 Penyakit Infeksi……………………………………………… ................................. 38 Perilaku Higienis........................................................................................................ 40 Sanitasi Lingkungan............................................................... ................................... 42 Akses dan Pemanfaan Pelayanan Kesehatan............................ ................................. 45 Tinggi Badan Orang Tua....................................................... .................................... 48 Hubungan sanitasi lingkungan, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dan perilaku higienis dengan penyakit infeksi......................................................... .................................... 50 Faktor Determinan Stunting....................................................................................... 52 KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………,, ............................ 58 Simpulan……………………………………………………… ................................ 58 Saran………………………………………………………….. ................................ 59 DAFTAR PUSTAKA........................................................................ ............................. 60 ii DAFTAR TABEL Tabel 1 Pengkategorian variabel penelitian…………..…………..... ............................. 27 Tabel 2 Sebaran anak berdasarkan jenis kelamin dan usia……......... ........................... 31 Tabel 3 Sebaran anak berdasarkan karekteristik keluarga…………. ............................ 34 Tabel 4. Sebaran jenis pekerjaan ayah………………………….................................... 35 Tabel 5. Sebaran jenis pekerjaan ibu…………………………. ..................................... 36 Tabel 6 Sebaran prevalensi stunting ………................................................................. 37 Tabel 7 Sebaran anak berdasarkan jenis penyakit infeksi……….. ............................... 39 Tabel 8 Sebaran anak berdasarkan variabel sanitasi lingkungan….. .............................. 44 Tabel 9 Sebaran anak berdasarkan variabel akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan………………………………. ........................................ 47 Tabel 10 Sebaran tinggi badan ayah……………………………. .................................. 49 Tabel 11 Sebaran tinggi badan ibu……………………………. .................................... 49 Tabel 10 Sebaran penyakit infeksi berdasarkan personal higiene, sanitasi lingkungan dan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan …………………………………………........................ 50 Tabel 11 Hasil uji F bagi peubah bebas terhadap TB/U……………… ........................ 53 Tabel 12 Sebaran penyakit infeksi beerdasarkan sanitasi lingkungan, Personal higiene dan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ................ 50 Tabel 13 Hasil uji F bagi peubah bebas terhadap TB/U ................................................ 53 iii DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Kerangka pemikiran faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak menurut TB/U.…………..…………..... .............................. 21 Gambar 2 Sebaran anak berdasarkan status gizi menurut TB/U .................................... 38 Gambar 3 Sebaran anak berdasarkan jenis penyakit infeksi………… ........................... 39 Gambar 4 Sebaran anak berdasarkan perilaku higienis ibu…………. ........................... 41 Gambar 5 Sebaran anak berdasarkan jenis perilaku higienis ......................................... 41 Gambar 6 Sebaran anak berdasarkan sanitasi lingkungan……………. ......................... 42 Gambar 7 Sebaran anak berdasarkan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan .................................................................................. iv 46 v PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Sebagai generasi penerus bangsa, anak diharapkan menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas. Untuk mewujudkannya, di samping dibutuhkan pendidikan yang baik, faktor gizi pun penting untuk diperhatikan. Masa balita merupakan salah satu masa penting untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Masa ini merupakan salah satu masa yang paling penting untuk meletakan dasar-dasar kesehatan dan intelektual anak untuk kehidupan yang akan datang. Menurut Syarief (1997), tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak, merupakan periode yang sangat menentukan masa depannya. Kekurangan gizi pada periode ini dapat mengakibatkan terganggunya perkembangan mental dan kemampuan motorik anak. Gangguan tersebut sulit diperbaiki hingga periode berikutnya. Berdasarkan hal tersebut, masalah gizi anak perlu mendapatkan perhatian. Namun pada kenyataannya, masih terdapat masalah yang berhubungan dengan keadaan gizi pada masa balita. Menurut Depkes (2008) yang diperoleh melalui penelitian Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 di Indonesia terdapat 13% anak balita dengan status gizi kurang bahkan terdapat 5,4 % anak balita berstatus gizi buruk dan 4,3 % anak mempunyai status gizi lebih. Sebesar 7,4% anak mempunyai status gizi kurus bahkan 6,2% anak sangat kurus dan 12,2% anak gemuk. Keadaan gizi lain yang dapat ditemukan pada anak adalah pendek (stunting). Jumlah anak stunting sebesar 36,8% atau berjumlah 9,3 juta anak. Jumlah ini jauh lebih besar daripada jumlah anak yang berstatus gizi kurang dan berstatus gizi kurus. Di Indonesia, seperti negara berkembang lainnya masalah gizi pada balita adalah wasting, anemia, berat badan lahir rendah dan stunting. Prevalensi stunting tertinggi terjadi pada anak saat anak berusia 24 – 59 bulan (Ramli et al. 2009). Stunting mengindikasikan masalah kesehatan masyarakat karena 1 berhubungan dengan meningkatknya risiko morbiditas dan mortalitas, terhambatnya perkembangan dan fungsi motorik dan mental serta mengurangi kapasitas fisik. Anak dengan keadaan stunting tidak mengalami potensi pertumbuhan secara maksimal dan dapat menjadi remaja dan dewasa yang stunting (Ricci & Becker 1996). Dampaknya pada masa dewasa diantaranya adalah terbatasnya kapasitas kerja karena terjadi pengurangan aktivitas tubuh dan pada wanita dapat menyebabkan terjadinya risiko komplikasi kandungan karena memiliki ukuran panggul yang kecil serta berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (Shrimpton 2006). Sementara Nurmiati (2006) yang melakukan penelitian tentang pertumbuhan dan perkembangan pada anak balita yang mengalami stunting menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kelompok anak normal lebih baik daripada kelompok anak stunting Pada keadaan stunting, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah balita pendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Karena masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang sifatnya kronis (Depkes 2009). Penilaian status gizi pada anak dapat dilakukan dengan metode antropometri. Dengan menggunakan indeks antropometri, di samping mudah penggunaannya biaya operasionalnya pun lebih murah dibandingkan dengan cara lengkap yang menggunakan pemeriksaan laboratorium dan klinis (Jahari 1988). Menurut Faber & Benade (1998) antropometri mudah diterima, tidak mahal, cepat dan merupakan indikator kesehatan yang objektif. Terdapat beberapa indeks antropometri yang umum dikenal yaitu berat badan menurut umur (BB/U), panjang badan atau tinggi badan menurut umur (PB/U atau TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). 2 Status gizi balita tidak hanya dipengaruhi oleh konsumsi pangan dan penyakit infeksi saja yang disebut dengan determinan langsung. Faktor lainnya adalah lingkungan rumah atau disebut dengan determinan tidak langsung terdiri dari ketahanan pangan, pola pengasuhan, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Keempat hal tersebut berkaitan dengan pendidikan, keterampilan, dan pengasuhan (UNICEF 1990). Menurut Kilimbira et al. (2006), faktor yang menyebabkan terjadinya kekurangan gizi pada anak adalah kurangnya akses untuk mendapatkan pangan, pola asuh yang tidak tepat, sanitasi yang buruk dan kurangnya pelayanan kesehatan. Banyak anak yang berasal dari keluarga miskin di negara berkembang yang mengalami stunting sejak bayi dikarenakan penyakit infeksi dan kurangnya asupan makanan yang bergizi (Faber & Benade 1998). Penelitian di Sudan melaporkan melaporkan konsumsi zat gizi, jenis kelamin, status pemberian ASI dan status sosial ekonomi merupakan fakor yang berkorelasi positif dengan kejadian stunting pada anak usia 6-72 bulan (Sedgh et al. 2000). Menurut Ramli et al. (2009) yang melakukan penelitian tentang faktor risiko stunting di Maluku menyatakan bahwa faktor risiko stunting pada anak adalah usia anak, jenis kelamin dan rendahnya status sosial ekonomi. Sementara menurut Schmidt et al (2002) berat badan dan tinggi badan bayi lahir adalah faktor yang paling mempengaruhi tinggi badan bayi hingga berusia 15 bulan. Anak adalah generasi penerus bangsa. Untuk mewujudkan bangsa besar, keadaan gizi anak perlu diperhatikan. Sejak lahir hingga berusia lima tahun merupakan periode yang penting dalam pertumbuhan anak, karena masa tersebut adalah masa yang rentan dan akan menentukan masa depannya. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang status gizi menurut TB/U pada anak berusia 24-59 bulan dan faktor determinan yang mempengaruhinya dengan menggunakan data Riskesdas 2007. 3 Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor –faktor yang menyebabkan terjadinya stunting pada anak balita usia 24 – 59 bulan. Sementara itu, tujuan khusus penelitian ini adalah : 1. Mempelajari karakteristik anak usia 24 – 59 bulan dan keluarganya 2. Mempelajari penyakit infeksi, sanitasi lingkungan, perilaku higienis, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dan tinggi badan orang tua 3. Mempelajari status gizi menurut indikator tinggi badan menurut umur (TB/U) 4. Menganalisis hubungan antara sanitasi lingkungan, perilaku higienis dan akses dan pemanfaatan kesehatan dengan penyakit infeksi. 5. Menganalisis faktor determinan stunting pada anak usia 24 – 59 bulan Kegunaan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang faktor determinan stunting pada anak. Bagi pemerintah penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan informasi untuk perencanaan program tentang penanganan masalah stunting Bagi bidang pendidikan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan khususnya masalah stunting. Sementara bagi penulis, penelitian ini dapatt menambah pengetahuan dan pengalaman khususnya di bidang gizi masyarakat, sekaligus sebagai media untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh di bangku kuliah. 4 TINJAUAN PUSTAKA Gangguan Pertumbuhan Linier (Stunting) Gangguan pertumbuhan linier yang tidak sesuai dengan umur merefleksikan masalah gizi kurang. Gangguan pertumbuhan linier (stunting) mengakibatkan anak tidak mampu mencapai potensi genetik, mengindikasikan kejadian jangka panjang dan dampak kumulatif dari ketidakcukupan konsumsi zat gizi, kondisi kesehatan dan pengasuhan yang tidak memadai (Shrimpton 2006). Pada keadaan stunted, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah balita pendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Karena masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang sifatnya kronis (Depkes 2009). Menurut Nurmiati (2006) yang melakukan penelitian tentang pertumbuhan dan perkembangan pada anak balita yang mengalami stunting menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kelompok anak normal lebih baik daripada kelompok anak stunting. Menurut WHO 2005, indikator tinggi badan menurut umur kurang dari -2 SD median National Center for Health Statistic/ World Health Organization (NCHS/WHO) didefinisikan sebagai kejadian stunting. Indeks Antropometri Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Indeks antropometri lebih praktis, cukup teliti, dan mudah dilakukan oleh siapa saja dengan bekal latihan sederhana. Menurut Gibson (1990) antropometri berarti ukuran tubuh manusia, sehingga antropometri gizi berhubungan dengan 5 berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Menurut Jahari & Abunain (1986) indeks antropometri untuk memantau status gizi merupakan suatu pilihan alternatif cara yang termudah. Disamping mudah penggunaannya, biaya operasionalnya pun lebih mudah dibandingkan pemeriksaan laboratorium dan klinis. Untuk mengukur status gizi secara antropometri dianjurkan menggunakan tiga ukuran yaitu berat badan, tinggi badan dan umur. Selanjutnya, ketiga ukuran tersebut dikombinasikan membentuk tiga indikator status gizi yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indikator-indikator tersebut lalu dibandingkan dengan standar baku yang ditetapkan. Menurut Husaini (1988) masing-masing indikator mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan indikator TB/U adalah : 1. Merupakan indikator yang baik untuk mengetahui kurang gizi pada masa lampau 2. Pengukuran objektif dan memberikan hasil yang sama jika dilakukan berulang-ulang 3. Alat pengukuran mudah dibawa dan dapat dibuat secara lokal 4. Ibu yang keberatan jika anaknya diukur sangat jarang 5. Paling baik untuk anak yang berusia lebih dari 2 tahun Kekurangan indikator TB/U adalah : 1. Dalam menilai intervensi, harus disertai dengan indikator lain seperti BB/U 2. Membutuhkan beberapa tekhnik pengukuran seperti : alat ukur panjang badan untuk anak umur < 2 tahun dan alat ukur TB untuk anak umur > 2 tahun 3. Lebih sulit untuk dilakukan, bila kader/pertugas belum mempunyai pengalaman 4. Memerlukan dua orang untuk mengukur anak 5. Umur kadang-kadang sulit untuk didapatkan secara pasti Jahari (1988) menambahkan bahwa tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek. 6 Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak pada saat yang cukup lama. Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lalu. Indeks TB/U di samping dapat memberikan gambaran tentang status gizi masa lampau juga lebih erat kaitannya dalam masalah sosial ekonomi (Martorell 1985 dalam Jahari 1988). Oleh karena itu indeks TB/U, di samping digunakan sebagai indikator status gizi dapat pula digunakan sebagai indikator perkembangan keadaan sosial ekonomi masyarakat. Tinggi Badan tidak terpengaruh oleh keadaan yang terjadi dalam waktu singkat. Tinggi badan juga merupakan indikator yang baik bagi pertumbuhan kerangka tubuh. Gangguan pertumbuhan merupakan salah satu tanda yang ditemukan pada penderita KEP. Ketinggalan pertumbuhan akibat gangguan gizi yang terjadi pada masa anak-anak sulit dikejar dan akan terlihat akibatnya pada umur-umur selanjutnya bahkan pada waktu dewasa. Dengan demikian, tinggi badan merupakan indikator yang baik untuk status energi dan protein masa lalu (Abunain & Jahari 1987). Status Gizi Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi) dan penggunaan (utilisasi) zat gizi makanan (Riyadi 2001). Kekurangan konsumsi pangan dan gizi pada balita dapat menyebabkan berbagai macam penyakit yang disebabkan kurangnya asupan gizi. Kekurangan energi dan protein dalam jangka panjang dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan balita (Hardinsyah & Martianto 1992). Menurut UNICEF (1990) status gizi balita tidak hanya dipengaruhi oleh konsumsi pangan saja, melainkan secara garis besar disebabkan oleh dua determinan utama, yaitu determinan langsumg dan determinan tidak langsung. Determinan langsung merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi yang berasal dari individu itu sendiri. Hal ini meliputi intik makanan (energi, protein, lemak dan zat gizi mikro) dan adanya penyakit infeksi, sedangkan yang dimaksud determinan tidak langsung adalah faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi yang berasal dari lingkungan rumah. Determinan tidak langsung terdiri dari ketahanan pangan, pola pengasuhan, pelayanan kesehatan dan 7 kesehatan lingkungan. Keempat hal tersebut berkaitan dengan pendidikan, keterampilan, dan pengasuhan. Namun, faktor yang mendasarinya adalah kemiskinan. Karakteristik Keluarga Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi. Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan (Sanjur 1982). Menurut Suhardjo (1989) besarnya jumlah keluarga menentukan pemenuhan kebutuhan makanan. Apabila jumlah anggota keluarga semakin banyak maka kebutuhan pangan pun semakin banyak pula. Jumlah anggota keluarga juga akan mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang tersedia dalam keluarga. Keluarga yang memiliki anggota keluarga dalam jumlah banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keluarga. Besar keluarga turut mempengaruhi pola pengasuhan yang diberikan kepada anak. Makin besar keluarga diduga semakin sedikit waktu dan perhatian ibu terhadap anak karena harus berbagi dengan anggota keluarga lainnya. Sebaliknya, pada keluarga kecil memungkinkan bagi ibu untuk merawat dan mengurus anak-anaknya dengan lebih baik. Dengan semakin bertambahnya anggota keluarga, jika pangan yang tersedia terbatas akan menyebabkan berkurangnya pangan yang didapat anak, sehingga dapat menimbulkan gangguan status gizi pada anak balita. Selain itu, keluarga yang memiliki anggota keluarga yang jumlahnya banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keluarga. Anak-anak yang sedang tumbuh dari suatu keluarga miskin adalah kelompok yang paling rawan terhadap gizi 8 kurang diantara semua anggota keluarga, anak yang paling kecil biasanya yang paling terpengaruh oleh kekurangan pangan (Suhardjo 1989). Situasi semacam ini sering terjadi sebab seandainya besar keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan yang relatif lebih tinggi daripada golongan yang lebih tua. Jumlah anggota keluarga berperngaruh terhadap terjadinya stunting pada anak. Semakin bertambahnya jumlah anggota keluarga, terjadinya stunting semakin besar (Soehardjo 1989) Sediaoetama (1993) menambahkan bahwa dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga, maka pengaturan pengeluaran pangan sehari-hari semakin sulit. Hal ini mengakibatkan kualitas dan kuantitas pangan yang diperoleh semakin tidak mencukupi untuk anggota keluarga termasuk anak balita. Besar keluarga merupakan faktor risiko terjadinya kurang gizi pada anak di negara berkembang Menurut Adeladza (2009) besarnya keluarga dapat menjadi faktor risiko terjadinya malnutrisi pada anak di negara berkembang. Penelitian ini menemukan bahwa anak-anak dari rumah tangga yang besar lebih banyak yang mengalami kurang gizi. Sumberdaya yang tersedia jika anggota keluarga tersebut besar tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan anak seperti terbatasnya asupan makanan pada anak. Pendidikan Orang Tua Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi (Rahmawati 2006). Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas hidup seseorang. Tingkat pendidikan orang tua marupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi anak (Madanijah 2003). Dalam pengasuhan anak, pendidikan orang tua terutama pendidikan ibu penting diperhatikan karena turut menentukan dalam kualitas pengasuhan anak. Pendidikan formal yang lebih tinggi pada ibu 9 membuat pengetahuan gizi dan pola pengasuhan seorang ibu akan bertambah baik (Amelia 2001). Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 2006). Menurut Madanijah (2003), terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak, karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, higiene, dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga. Menurut Adeladza (2009), pendidikan ibu berhubungan dengan status gizi anak. Anak yang berasal dari ibu yang tidak berpendidikan lebih berisiko untuk mengalami underweight dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan. Tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan tingkat pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih baik. Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan seseorang sangat berhubungan dengan pendapatan yang didapatnya. Pekerjaan yang baik dan sesuai dengan bidangnya akan mendapatkan pendapatan yang sesuai. Menurut Patrick & Nicklas (2005), pendapatan sangat berhubungan dengan pola makan. Pendapatan yang tinggi berhubungan dengan konsumsi vitamin pada anak dan pola makan keluarga Anak yang berasal dari keluarga sosial ekonomi rendah di Inggris memiliki asupan energi dan zat gizi lainya banyak yang berasal dari makanan selingan Saat ini, kaum wanita yang memasuki dunia kerja semakin besar. Ibu yang bekerja di luar rumah cenderung memiliki waktu yang lebih terbatas untuk 10 melaksanakan tugas rumah tangga dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja. Bila ini terjadi pada keluarga yang berpenghasilan rendah maka pola asuh makan anak akan terpengaruh dan pada akhirnya pertumbuhan dan perkembangan anak akan terganggu terutama pada masa usia prasekolah (Lusiasari & Susanto 1990). Pengeluaran Salah satu cara untuk melihat tingkat kesejahteraan atau status ekonomi rumah tangga adalah dengan mengetahui rata-rata pengeluaran rumah tangga yang bersangkutan. Salah satu hukum ekonomi yang dinyatakan oleh Ernest Engel menyatakan bahwa bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk makanan menurun dengan meningkatnya pendapatan (BPS 2008). Sementara itu Suhardjo (1989) menjelaskan bahwa dari hasil analisis data sekunder SUSENAS ditemukan adanya kecenderungan bahwa samakin besar pengeluaran pangan rumah tangga maka akan semakin rendah proporsi energi dari pangan padi-padian, lemak/minyak, serta buah-buahan. Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumah tangga yang berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan (BPS 2008). Penyakit Infeksi Infeksi dapat berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu mempengaruhi nafsu makan, dapat juga menyebabkan kehilangan bahan makanan karena diare/muntah atau pengaruh metabolisme makanan dan banyak cara lain lagi. Secara umum definisi gizi sering merupakan awal dari gangguan defisiensi sistem kekebalan (Suhardjo 1989). Keadaan gizi kurang dan infeksi bermula dari kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi yang buruk. Selain itu juga diketahui bahwa infeksi manghambat reaksi imunologis yang normal dengan menghabiskan sumber-sumber energi dalam tubuh. 11 Antara infeksi dan status gizi kurang terdapat interaksi timbal balik. Orang yang mengalami gizi kurang, daya tahan tubuh terhadap penyakit lebih rendah dan lebih mudah terkena serangan penyakit infeksi. Demikian pula sebaliknya infeksi yang akut mengakibatkan kurangnya nafsu makan dan toleransi terhadap makanan, sehingga orang yang terkena penyakit infeksi dapat mengalami kurang gizi. Anak balita sebagai golongan yang rawan, dengan kondisi tubuh yang lemah, akan mudah terserang penyakit menular. Hal ini mengakibatkan semakin lemahnya kondisi tubuh dan kehilangan nafsu makan, sehingga lama kelamaan status gizinya akan memburuk (Suhardjo 1989). Adeladza (2009) menyatakan terdapat interaksi antara penyakit infeksi dengan status gizi. Infeksi penyakit dapat menjadi penyebab menurunnya intake makanan. Sedikitnya intake makanan, berkurangnya nutrient akibat muntah, diare, malabsorpsi dan demam yang berkepanjangan dapat menyebabkan defisiensi nutrisi sehingga konsekuensinya adalah pertumbuhan dan sistem imunitas bayi dan anak akan terganggu. Salah satu penyakit infeksi yang sering terjadi pada anak adalah diare. Menurut Faber & Benade (1998), selain asupan makanan, penyakit diare dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan anak. Penyakit diare yang dialami pada awal masa kanak-kanak dapat memberikan konsekuensi jangka panjang terhadap tinggi badan menurut umur. Sementara itu, menurut Bomela (2007), rendahnya kualitas air berhubungan dengan terjadinya water borne disease seperti diare, yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi dan kehilangan berat badan. Lokasi toilet juga berhubungan dengan higiene lingkungan di rumah. Sanitasi Lingkungan Lingkungan yang baik merupakan prakondisi untuk hidup sehat bagi masyarakat (Depkes 1991). Menurut Notoatmodjo (1997), kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum. Ruang lingkup sanitasi lingkungan antara lain meliputi perumahan, pembuangan tinja, penyediaan air bersih, pembuangan sampah dan sebagainya. Menurut Sukarni (1989) melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan 12 fisik atau daya tahannya terhadap penyakit kurang, akan mudah terserang penyakit. Sanitasi lingkungan erat kaitannya dengan status gizi seseorang. Syarief (1997) mengatakan status gizi selain ditentukan oleh jumlah dan mutu pangan yang dikonsumsi secara langsung juga dipengaruhi oleh faktor kesehatan dan sanitasi termasuk sanitasi lingkungan pemukiman. Pemukiman yang sanitasi lingkungannya tidak baik, seperti tidak tersedianya air bersih, jamban, tempat pembuangan sampah, tidak tersedia saluran pembuangan air kotor memungkinkan seseorang dapat menderita penyakit infeksi yang menyebabkan seseorang dapat menderita kurang gizi. Penyakit infeksi tersebut antara lain diare dan cacingan. Sediaoetama (1993) menambahkan bahwa penyakit infeksi dari infeksi cacing dapat memberikan hambatan absorpsi dan hambatan utilisasi zat gizi yang menjadi dasar timbulnya penyakit kurang energi protein. Menurut Bomela (2007) faktor lingkungan yang turut mempengaruhi status gizi adalah sumber air, tipe rumah dan lokasi toilet. Menurut Sukarni (1989) keadaan perumahan mempunyai hubungan yang erat dengan status kesehatan penghuninya. Air bersih merupakan faktor utama yang menentukan bagi proses kehidupan dan kesehatan. Air yang bersih berperan penting dalam menjaga kesehatan karena beberapa bibit penyakit tertentu dapat ditularkan oleh air yang terkontaminasi. Air bersih dapat diperolah melalui : (1) sumur pompa tangan, (2) penampungan air hujan jika sumber mata air yang lain tidak ada, (3) mata air yang dirawat, dan (4) sumur gali tertutup. Agar memenuhi syarat kesehatan sebagai sumber air utama rumah tangga, maka sumber air harus dilindung dari bahaya-bahaya pengotoran. Syarat air minum ditentukan oleh syarat fisik, kimia dan bakteriologis. Syarat fisik dikatakan baik, jika air tidak berwarna, berbau, tidak berasa, jernih dan suhu sebaiknya berada di bawah suhu udaha sehingga terasa nyaman. Syarat kimia dikatakan baik, jika tidak mengandung zat kimia atau mineral yang berbahaya bagi kesehatan misalnya CO 2 , H 2 S, NH 4 , dan lain-lain. Syarat bakteriologi dikatakan baik jika tidak mengandung bakteri E. coli yang melampaui batas yang ditentukan (Sukarni 1989). 13 Salah satu elemen penting untuk menunjang kesehatan manusia ialah air bersih dan sanitasi yang baik. Menurut situs resmi organisasi kesehatan dunia (WHO), dampak kesehatan dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar terhadap air bersih dan sanitasi diantarnya terlihat pada anak-anak sebagai kelompok usia rentan yang secara khusus berisiko terhadap penyakit bersumber air seperti diare, dan penyakit akibat parasit. Penyakit diare, secara spesifik, sebagian besar diakibatkan oleh air yang tidak bersih, sanitasi, dan higiene yang buruk (Anonymous 2007). Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik yang berasal dari rumah tangga atau hasil proses industri. Agar sampah tidak membahayakan manusia, maka perlu pengaturan yaitu dalam hal penyimpanan, pengumpulan dan pembuangan. Untuk penyimpanannya, diperlukan tempat sampah di setiap rumah. Sementara itu, yang dimaksud dengan air limbah terdiri dari kotoran manusia, dapur dan kamar mandi termasuk air kotor dari permukaan tanah. Pengaturan air limbah sangat diperlukan diantaranya agar : (1) mencegah pengotoran sumber air rumah tangga, (2) menjaga kebersihan makanan agar tidak terkontaminasi, (3) melindungi air minum dari ternak dan (4) mencegah berkembangbiaknya bibit penyakit (Sukarni 1989). Jamban ialah tempat pembuangan tinja yang memenuhi syarat kesehatan sehingga tinja tidak kontak langsung dengan lingkungan sekitar. Jamban merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Pembuatan jamban merupakan usaha manusia untuk memelihara kesehatan dengan membuat lingkungan tempat hidup yang sehat (Sukarni 1989). Berdasarkan data BPS tentang aksesibilitas terhadap fasilitas sanitasi hingga tahun 2006 tingkat rumah tangga di Indonesia yang menggunakan jamban pribadi baru mencapai 60% atau sekitar 31,8 juta. Dari angka tersebut, kualitas jamban yang baik yang klosetnya berbentuk leher angsa baru mencapai 62% saja. Rumah tangga yang mempunyai tangki pembuangan tinja juga baru mencapai 41% (Permanasari, Luciasari & Purwanto 2009) Perilaku pembuangan kotoran manusia masih merupakan suatu kebiasaan yang kurang menunjang upaya peningkatan kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Pembuangan yang tidak baik berperan dalam pencemaran tanah dan 14 sumber air bersih yang dibutuhkan manusia untuk minum, masak, mandi dan mencuci. Akibat langsung, yaitu meningkatnya insiden penyakit-penyakit tertentu seperti diare, kolera, serta tipus yang ditularkan melalui air yang terkontaminasi. Selain itu kotoran manusia di permukaan tanah lama-kelamaan menjadi kering. Setelah kering terbawa tiupan angin bersama-sama debu dan menyebar kemana-mana sambil membawa kuman penyakit seperti bakteri, telur cacing, kista amuba dan lain-lain. Di samping itu lalat dan insekta lainnya bisa hinggap di atas tinja dan selanjutnya hinggap di atas makanan sambil membawa kuman penyakit seperti tersebut di atas. Penurunan kondisi higiene lingkungan akan menyebabkan menurunnya kesejahteraan masyarakat (Kusnodiharjo 1997). Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat (Levey & Loomba dalam Brotojoyo 2006). Pelayanan kesehatan yang ideal mengandung arti bahwa pelayanan sesuai dengan kondisi penyakit yang diderita dan keberadaan pasien, tanpa mengenal deskriminatif dari segi apapun dan menjangkau semua lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia (BPS 2004). Pelayanan Kesehatan Dasar atau Primary Health Care di Indonesia dilakukan melalui Puskesmas, Posyandu, Dasawisma, yang kesemuanya mengkomunikasikan gagasan, nilai, dan perilaku yang menguntungkan kesehatan selain memberikan perawatan kuratif kepada penduduk yang umumnya lapisan bawah, maupun penduduk mayoritas pedesaan. Pelayanan kesehatan adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter, rumah sakit dan persediaan air bersih. Ketidakterjangkauan pelayanan kesehatan (karena jauh dan atau tidak mampu membayar), kurangnya pendidikan dan pengetahuan, merupakan 15 kendala masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini dapat berdampak juga pada status gizi anak. Kejadian infeksi penyakit (morbiditas) erat kaitannya dengan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Selain itu pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan juga berkaitan erat dengan morbiditas dan akhirnya berpengaruh terhadap status gizi. Upaya penurunan angka morbiditas dan meningkatkan status gizi bayi dan balita dapat diusahakan melalui memanfaatkan akses pelayanan kesehatan dan penatalaksanaan kasus penderita secara benar dan tepat waktu (Hidayat, Hermina & Fuada 2009). Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) Puskesmas adalah organisasi fungsional yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat, dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat. Upaya kesehatan tersebut diselenggarakan dengan menitikberatkan kepada pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan. Pengelolaan Puskesmas umumnya berada di bawah dinas kesehatan kabupaten/kota. Pondok Bersalin Desa (POLINDES) Pondok Bersalin Desa (Polindes) adalah salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang merupakan wujud nyata bentuk peran serta masyarakat didalam menyediakan tempat pertolongan persalinan dan pelayanan kesehatan ibu dan anak lainnya, termasuk KB di desa. Latar belakang sebagai bentuk peranserta masyarakat, polindes seperti halnya posyandu, dikelola oleh pamong setempat, dalam hal ini kepala desa melalui Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Namun berbeda dengan posyandu yang pelaksanaan pelayanan dilakukan oleh kader dan didukung oleh petugas puskesmas, polindes dalam pelaksanaan pelayanannya sangat tergantung pada keberadaan bidan. Hal ini karena pelayanan di Polindes merupakan pelayanan 16 profesi kebidanan Faktor penghambat tumbuh kembang Polindes antara lain kesulitan mendapatkan lokasi yang strategis, kesulitan menggali peran serta masyarakat, bidan tidak tinggal di desa, budaya masyarakat melahirkan di tolong oleh dukun dan melahirkan dirumahnya sendiri (Depkes 2006). Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU) Pengertian Posyandu adalah suatu wadah komunikasi alih teknologi dalam pelayanan kesehatan masyarakat dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat dengan dukungan pelayanan serta pembinaan teknis dari petugas kesehatan dan keluarga berencana yang mempunyai nilai strategis untuk pengembangan sumber daya manusia sejak dini. Sasaran Posyandu adalah bayi/Balita, ibu hamil/ibu menyusui dan wanita usia subur (WUS) dan pasangan usia subur (PUS) (Sembiring 2004). Tujuan penyelenggaraan Posyandu adalah : (1) Menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Ibu ( ibu Hamil, melahirkan dan nifas); (2) Membudayakan NKKBS; (3) Meningkatkan peran serta dan kemampuan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan kesehatan dan KB beserta kegiatan lainnya yang menunjang untuk tercapainya masyarakat sehat sejahtera dan (4) Berfungsi sebagai Wahana Gerakan Reproduksi Keluarga Sejahtera, Gerakan Ketahanan Keluarga dan Gerakan Ekonomi Keluarga Sejahtera. Kegiatan Pokok Posyandu adalah : (1) KIA; (2) KB; (3) lmunisasi; (4) Gizi dan (5) Penggulangan Diare. Pelaksanaan posyandu umumnya setiap sebulan sekali Dalam pelaksanaannya, dilakukan pelayanan masyarakat dengan sistem 5 (lima) meja yaitu : (1) Meja I : Pendaftaran; (2) Meja II : Penimbangan ; (3) Meja III : Pengisian KMS ; (4) Meja IV : Penyuluhan perorangan berdasarkan KMS dan (5) Meja V : Pelayanan Keluarga berencana dan imunisasi (Sembiring 2004). Perilaku Higienis Cuci tangan merupakan salah satu kebiasaan yang tercakup dalam perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Meski terkesan sepele, cuci tangan memiliki manfaat besar. Mencuci tangan adalah kegiatan membersihkan bagian 17 telapak, punggung tangan dan jari agar bersih dari kotoran dan membunuh kuman penyebab penyakit yang merugikan kesehatan manusia serta membuat tangan menjadi harum baunya. Banyak orang yang menyepelekan dan melupakan aktifitas mencuci tangan setelah melakukan suatu pekerjaan dan sebelum makan sehingga mereka berisiko terserang penyakit yang berasal dari kuman di tangan (Adytama 2009). Cuci tangan efektif mencegah penyakit dengan catatan dilakukan secara benar. Syaratnya menggunakan air dan sabun antiseptik yang bisa membunuh kuman, dilakukan pada seluruh bagian telapak dan jari-jari tangan, serta menggunakan air yang mengalir. Cuci tangan sebaiknya dilakukan pada saat sebelum makan, sesudah beraktivitas dari luar, sebelum menghidangkan makanan, sesudah dari toilet/kamar mandi, dan sesudah memegang hewan. Praktik cuci tangan pakai sabun pada waktu tertentu, yaitu sebelum makan, setelah buang air besar, sebelum memegang bayi, setelah menceboki pantat anak, dan sebelum menyiapkan makanan bisa mengurangi prevalensi diare sampai 40% (Adytama 2009). 18 KERANGKA PEMIKIRAN Masa balita merupakan masa emas dalam proses kehidupan manusia untuk meletakkan dasar-dasar kecerdasan, kepribadian, dan kemandirian dimana pertumbuhan mental dan intelektual berkembang dengan sangat cepat. Pada masa ini terbentuklah dasar-dasar kemampuan keindraan, berpikir dan berbicara serta pertumbuhan mental intelaktual yang intensif yang juga merupakan awal dari pertumbuhan moral (Mariani 2003). Salah satu faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang balita adalah terpenuhinya asupan gizi pada anak. Kekurangan gizi yang terjadi pada masa tersebut dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan spiritual. Bahkan pada bayi, gangguan tersebut dapat bersifat permanen dan sangat sulit untuk diperbaiki. Kekurangan gizi pada bayi dan balita, dengan demikian, akan mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia (Satoto 1990). Namun pada kenyataanya, masih terdapat adanya masalah gizi pada anak. Menurut Depkes (2008) jumlah balita berstatus gizi kurang adalah 13% bahkan terdapat 5,4% anak dengan status gizi buruk, 6,2% balita sangat kurus dan 7,4% balita berstatus gizi kurus. Jumlah balita pendek (stunting) adalah sebesar 36,8%. Jumlah balita pendek jauh lebih besar dibandingkan balita gizi kurang dan balita kurus. Berdasarkan batas masalah gizi masyarakat WHO, bila prevalensi stunting lebih dari 20%, hal tersebut menandakan adanya masalah gizi masyarakat (Depkes 2009). Anak dengan keadaan stunting tidak mengalami potensi pertumbuhan secara maksimal dan dapat menjadi remaja dan dewasa yang stunted (Ricci & Becker 1996). Stunting diakibatkan oleh kekurangan makanan atau sakit dalam jangka waktu yang lama (Depkes 2009). Menurut UNICEF (1990), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi status gizi pada anak. Faktor penyebab langsung pertama adalah penyakit infeksi dan makanan yang dikonsumsi harus memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang. Konsumsi pangan dipengaruhi oleh ketersediaan pangan, Ketersediaan pangan sepanjang waktu, dalam jumlah yang 19 cukup dan harga terjangkau sangat menentukan tingkat konsumsi pangan di tingkat rumah tangga. Kedua faktor penyebab langsung tersebut dapat ditimbulkan oleh tiga faktor penyebab tidak langsung, yaitu: (i) ketersediaan dan pola konsumsi pangan dalam rumah tangga, (ii) pola pengasuhan anak, dan (iii) jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan masyarakat. Ketiganya dapat berpengaruh pada kualitas konsumsi makanan anak dan frekuensi penyakit infeksi. Ketidakstabilan ekonomi, politik dan sosial, dapat berakibat pada rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat yang antara lain tercermin pada maraknya masalah gizi kurang dan gizi buruk di masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, disusunlah kerangka pikir faktor determinan status gizi menurut TB/U bagi anak balita dengan menyesuaikan data yang terdapat dalam Riskesdas 2007. Karakteristik keluarga yang meliputi tempat tinggal, besar keluarga, status ekonomi, pendidikan orang tua dan pekerjaan orang tua, akan mempengaruhi sanitasi lingkungan dan akses dan pemanfaatan kesehatan dan konsumsi gizi. Selanjutnya, sanitasi lingkungan serta akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan akan mempungaruhi penyakit infeksi. Penyakit infeksi dipengaruhi pula oleh perilaku higienis. Selanjutnya penyakit infeksi, konsumsi gizi dan tinggi badan orang tua akan mempengaruhi status gizi anak menurut TB/U. Namun, variabel konsumi gizi tidak diteliti dalam penelitian ini. Kerangka pemikiran faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi menurut TB/U dapat dilihat pada Gambar 1. 20 Karakteristik Keluarga Tempat Tinggal Besar keluarga Status ekonomi Pendidikan orang tua Pekerjaan orang tua Sanitasi lingkungan Perilaku Higienis Akses dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Penyakit infeksi Ketersediaan pangan Pengetahuan gizi Konsumsi gizi Status Gizi menurut TB/U Tinggi badan orang tua Gambar 1. Kerangka pemikiran faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak menurut TB/U Keterangan : : variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti : hubungan yang diteliti : hubungan yang tidak diteliti 21 METODE PENELITIAN Data yang Digunakan Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Riskesdas 2007 diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), sebagai salah satu unit utama di lingkungan Departemen Kesehatan yang berfungsi menyediakan informasi kesehatan berbasis bukti. Pelaksanaan Riskesdas 2007 adalah upaya mengisi salah satu dari 4 (empat) grand strategi Departemen Kesehatan, yaitu berfungsinya sistem informasi kesehatan yang evidence-based di seluruh Indonesia. Data dasar yang dihasilkan Riskesdas 2007 diantaranya terdiri dari status kesehatan (termasuk data biomedis), status gizi, kesehatan lingkungan, perilaku kesehatan, dan berbagai aspek pelayanan kesehatan. Data dasar ini, bukan saja berskala nasional, tetapi juga menggambarkan berbagai indikator kesehatan sampai ke tingkat kota/kabupaten (Depkes 2008) Riskesdas 2007 adalah riset berbasis komunitas dengan sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga yang dapat mewakili populasi di tingkat kabupaten/kota. Riskesdas 2007 menyediakan informasi kesehatan dasar termasuk biomedis, dengan menggunakan sampel Susenas Kor. Riskesdas 2007 mencakup sampel yang lebih besar dari survei-survei kesehatan sebelumnya, dan mencangkup aspek kesehatan yang lebih luas. Tujuan Riskesdas 2007 adalah sebagai berikut : a. Menyediakan informasi berbasis bukti untuk perumusan kebijakan pembangunan kesehatan di berbagai tingkat administratif b. Menyediakan informasi untuk perencanaan kesehatan termasuk alokasi sumberdaya di berbagai tingkat administratif c. Menyediakan peta status dan masalah kesehatan di tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota d. Membandingkan status kesehatan dan faktor-faktor yang melatarbelakangi antar propinsi dan antar kabupaten/kota Manfaat bagi Riskesdas perencanaan pembangunan adalah : (1) Tersedianya data dasar dari berbagai indikator kesehatan di berbagai tingkat 22 administratif; (2) Stratifikasi indikator kesehatan menurut status sosial ekonomi sesuai hasil Susenas 2007 ; dan (3) Tersedianya informasi untuk perencanaan pembangunan kesehatan yang berkelanjutan Desain dan Lokasi Penelitian Riskesdas Riskesdas merupakan sebuah survei yang dilakukan secara cross sectional yang bersifat deskriptif. Desain Riskesdas terutama dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di Indonesia secara keseluruhan, akurat dan berorientasi pada kepentingan para pengambil keputusan di berbagai tingkat administratif. Sampel Riskesdas 2007 terdapat di 17150 blok sensus yang terdapat kabupaten/kota yang berasal dari 440 kabupaten/kota (dari jumlah keseluruhan sebanyak 456 kabupaten/kota) yang tersebar di 33 propinsi di Indonesia. Kabupaten yang tidak termasuk dalam sampel Riskesdas dikarenakan kabupaten tersebut merupakan pengembangan dari kabupaten baru yang pada saat perencanaan Riskesdas belum diperhitungkan yaitu sebanyak 16 kabupaten. Waktu pelaksanaan Riskesdas dilakukan pada tahun 2007. Pengolahan dan analisis data dilakukan pada tahun 2008. Dalam penelitian ini, data yang digunakan terdiri atas data keluarga yang memiliki balita yang terdiri atas data keluarga, data anak dan data orang tua anak. Data yang digunakan terdiri atas 32 propinsi. Propinsi yang tidak diikutsertakan dalam pengolahan data penelitian ini adalah propinsi Sulawesi Utara. Hal ini disebabkan terdapatnya ketidaklengkapan data pada propinsi tersebut. Sementara untuk penelitian ini, pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan Maret-Mei 2010. Cara Pengumpulan Data Penelitian Riskesdas Pengumpulan data dalam Riskesdas 2007 dilakukan dengan teknik wawancara. Wawancara kuesioner rumah tangga dilakukan enumerator dengan kepala rumah tangga atau yang mewakilinya. Kuesioner rumah tangga terdiri atas pengenalan tempat, keterangan rumah tangga, keterangan anggota rumah 23 tangga, mortalitas, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan, dan konsumsi. Selain kuesioner rumah tangga, terdapat pula kuesioner individu. Kuesioner individu terdiri atas identifikasi responden, penyakit, ketanggapan pelayanan kesehatan, pengetahuan, sikap dan perilaku, disabilitas, kesehatan mental, dan pengukuran antropomeri. Riskesdas 2007 melakukan pula pengukuran biomedis dan pada blok sensus pada kabupaten/kota terpilih dilakukan pula penarikan sampel iodium. Populasi dan Sampel Populasi adalah seluruh balita di Indonesia yang terdata oleh Biro Pusat Statistik. Sampel yang digunakan adalah anak yang berusia 24-59 bulan menjadi responden Riskesdas 2007. Metodologi perhitungan dan cara penarikan sampel untuk Riskesdas 2007 identik pula dengan two stage sampling yang digunakan dalam Susenas 2007. Berikut ini adalah uraian cara perhitungan dan penarikan sampel dalam Riskesdas: a. Penarikan sampel blok sensus Seperti telah disebutkan sebelumnya, Riskesdas menggunakan sepenuhnya sampel yang yang terpilih dalam Susenas 2007. b. Penarikan sampel rumah tangga Dari setiap blok sensus terpilih kemudian dipilih 16 rumah tangga secara acak sederhana (simple random sampling) yang menjadi sampel rumah tangga dengan jumlah rumah tangga di blok sensus tersebut c. Penarikan sampel anggota rumah tangga Selanjutnya, seluruh anggota rumah tangga dari setiap rumah tangga yang terpilih dari kedua proses penarikkan sampel tersebut diatas diambil sebagai sampel individu. Selanjutnya, Riskesdas 2007 dapat mengumpulkan sampel sebanyak 258.284 rumah tangga, yang terdiri atas 972.989 individu. Namun, dalam penelitian ini ditetapkan kriteria inklusi yaitu sampel anak usia 24-59 bulan, memiliki hubungan ayah kandung/ibu kandung dengan kepala keluarga (ayah) dan ibu serta memiliki kelengkapan data. Sebanyak 567 sampel tidak memiliki 24 kelengkapan data, yaitu sampel yang terdapat di Propinsi Sulawesi Utara. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 42.062 anak. Berikut cara pemilihan data dalam penelitian ini : Jumlah balita : 74.503 diseleksi sampel yang berusia 24 - 59 bulan Jumlah balita : 47.732 diseleksi sampel yang memiliki hubungan kandung dengan orang tua Jumlah balita : 42.649 diseleksi sampel yang memiliki kelengkapan data Jumlah balita : 42.062 sampel untuk dianalisis Keterbatasan Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, sehingga hubungan atau perbedaan yang ditemukan antara variabel dependen dan independen bukan merupakan sebab akibat. Hal ini disebabkan kedua variabel tersebut diukur pada waktu yang bersamaan. Selain itu, data sekunder ini telah melalui proses editing dan cleaning sehingga bias penelitian kemungkinan dapat terjadi. Pengolahan Data Pada penelitian ini, pengolahan data dilakukan terhadap anak, orang tua (tinggi badan dan perilaku higienis ibu) dan keluarga yang meliputi sanitasi lingkungan, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dan karakteristik keluarga. Pengolahan dan analisa data dalam penelitian ini menggunakan software Microsoft Office Excell 2007, SPSS versi 16.0 dan SAS. 25 Pendidikan ayah dan ibu dikategorikan tidak pernah bersekolah, rendah (SD dan SMP), menengah (SMA) dan tinggi (perguruan tinggi). Pengkategorian ini berdasarkan Undang-undang No 20 tahun 2003. Pekerjaan orang tua dikategorikan menjadi tidak bekerja dan bekerja. Tempat tinggal dikategorikan menjadi desa dan kota. Pengkategorian ini berdasarkan BPS, yaitu dengan melakukan perhitungan skor terhadap tiga variabel potensi desa yaitu : kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian dan akses terhadap fasilitas umum seperti sekolah, pasar, pertokoan dan rumah sakit. Sanitasi lingkungan diukur dengan melakukan skoring jawaban yang didapatkan. Jawaban yang benar diberi nilai 1 dan jawaban yang salah diberi nilai 0. Cara yang sama dilakukan pula untuk mengukur variabel perilaku higienis dan variabel akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Cara perhitungan skor dilakukan dengan menggunakan rumus transformasi menggunakan program microsoft excell yaitu : Skor total = X - nilai minimum x 100% Nilai maksimal-nilai minimal Keterangan : X = jumlah jawaban yang benar Nilai minimal = jumlah nilai minimal dari 1 set pertanyaan Nilai maksimal = jumlah nilai maksimal dari 1 set pertanyaan Selanjutnya, untuk variabel sanitasi dan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dikelompokan menjadi 3 kategori yaitu rendah (persentase jawaban benar < 60%), sedang (persentase jawaban benar 60-80%) dan tinggi (persentase jawaban benar > 80%). Pengkategorian ini berdasarkan Khomsan (2000). Untuk variabel perilaku higienis, dikelompokan menjadi baik (persentase jawaban benar 100%) dan kurang (persentase jawaban benar < 100%). Pengkategorian ini berdasarkan Permanasari, Luciasari & Purwanto (2009). Penyakit infeksi dikategorikan mengindap penyakit infeksi, bila mengindap salah satu atau lebih penyakit infeksi (ISPA, pneumonia, demam thypoid, malaria, campak, diare, tuberculosis paru (TB paru) dan demam berdarah. Status gizi anak diukur berdasarkan indikator TB/U dan dibagi menjadi stunting (nilai z score < -2 SD) dan normal (nilai z score ≥ -2 SD). Sementara 26 itu, untuk analisis faktor determinan, data status gizi yang digunakan adalah data kontinyu. Adapun variabel penelitian dan pengkategoriannya disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Pengkategorian Variabel Penelitian Variabel Kategori Pengukuran Umur anak 24-35 bulan 36- 47 bulan 48-59 bulan Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tempat Tinggal Desa Kota Jumlah anggota keluarga Besar jika jumlahnya ≥ 7 orang Sedang jika 5 – 6 orang Kecil jika ≤ 4 orang Pendidikan ayah Tidak pernah sekolah Dasar Menengah Tinggi Pendidikan ibu Tidak pernah sekolah Dasar Menengah Tinggi Pekerjaan ibu Tidak bekerja Bekerja Pekerjaan ayah Tidak bekerja Bekerja Status ekonomi Miskin : pengeluaran keluarga berada pada kuantil 1 dan 2 Tidak miskin : pengeluaran keluarga berada pada kuantil 3, 4 dan 5 Status Gizi anak Stunting Normal : : Z-score <-2,0 Z-score ≥ -2,0 27 Tabel 1 Lanjutan Variabel Pengkategorian Pengukuran Penyakit Infeksi Ya : jika menderita salah satu atau lebih penyakit infeksi Tidak :jika tidak menderita salah satu atau lebih penyakit infeksi Sanitasi lingkungan Kurang : < 60% Sedang : 60% < n < 80% Baik : >80% Akses dan Pemanfaatan Kurang : < 60% Pelayanan Kesehatan Sedang : 60% < n < 80% Baik : >80% Perilaku higienis Baik : 100% Kurang : <100% Tinggi Badan Orang Tua < 141 cm 141-145 cm 146-150 cm 151-155 cm 156-160 cm 161-165 cm 166-170 cm >170 cm Analisis Data Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran frekuensi dari variabel yang diteliti. Variabel yang diuji adalah karakteristik keluarga (tempat tinggal, besar keluarga, status ekonomi, pendidikan ayah dan ibu serta pekerjaan ayah dan ibu), sanitasi lingkungan, akses dan pemanfaatan kesehatan, penyakit infeksi, perilaku higienis, tinggi badan orang tua dan status gizi anak menurut TB/U. Untuk menguji hubungan antar variabel digunakan uji korelasi Spearman untuk menguji hubungan yang bersifat ordinal. Uji Chi Square digunakan untuk menguji hubungan yang bersifat nominal dengan program SPSS 16.0. Untuk menentukan faktor determinan stunting dilakukan analisis regresi linear berganda dengan metode stepwise dengan program SAS versi 9.1. Model persamaan regresi linear berganda adalah : Y = β 0 + β 1 X 1 + β 2 X 2 + ………………+ β n X n + € 28 Keterangan : Y : Variabel dependen (status gizi menurut TB/U) Β 1 ,β 2 ,…..β n : Koefisien regresi € : Galat β0 : Intercept X 1 ,X 2 ,…X n : Variabel independen yang diduga mempengaruhi stunting, dengan : X1 : Umur anak X2 : Jenis kelamin X3 : Tempat tinggal X4 : Jumlah anggota keluarga X5 : Pendidikan ayah X6 : Pendidikan ibu X7 : Pekerjaan ayah X8 : Pekerjaan ibu X9 : Status ekonomi X 10 : Penyakit infeksi X 11 : Sanitasi lingkungan X 12 : Perilaku higienis X 13 : Tinggi badan orang tua Definisi Operasional Anak adalah responden Riskesdas 2007 yang berusia 24-59 bulan berjenis kelamin laki-laki dan perempuan Tempat tinggal adalah tempat responden tinggal pada saat dilakukan penelitian yang dikategorikan menjadi desa dan kota berdasarkan BPS. Jumlah anggota rumah tangga adalah banyaknya individu yang tinggal dalam satu rumah tangga. Status ekonomi adalah pengeluaran rumah tangga berdasarkan BPS yang dibagi menjadi 5 kuantil. Setiap kuantil menggambarkan tingkat kemiskinan berjenjang yang kemudian dikategorikan menjadi miskin (kuantil 1 dan 2) dan tidak miskin (kuantil 3, 4 dan 5). 29 Pendidikan ayah dan ibu adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah diikuti dan ditamatkan oleh orang tua yang selanjutnya dikategorikan menjadi tidak sekolah, rendah, menengah dan tinggi. Pekerjaan ayah dan ibu adalah kegiatan atau pekerjaan orang tua selain pekerjaan rutin dalam rumah tangga dan memperoleh gaji/upah/uang untuk menambah penghasilan keluarga. Perilaku higienis adalah perilaku hidup bersih dan sehat yang dilakukan ibu, yang meliputi kebiasaan mencuci tangan Penyakit infeksi adalah penyakit yang diderita anak yang dinilai berdasarkan penyakit ISPA, pneumonia (radang paru), malaria, demam typhoid, campak, diare, tuberkulosis paru (TB paru) dan demam berdarah. Sanitasi lingkungan adalah keadaan lingkungan tempat tinggal yang diantaranya mencangkup air yang digunakan, tempat pembuangan limbah, dan lokasi sumber pencemaran Akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah tingkat kemudahan dalam mengakses dan memanfaatan pelayanan kesehatan yang diukur berdasarkan jarak dan waktu yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan serta pemanfaatan pelayanan yang telah tersedia Status gizi anak adalah keadaan gizi anak balita umur 24-59 bulan yang diukur dengan antropometri berdasarkan indeks TB/U yang dikategorikan menjadi stunting dan normal Tinggi badan orang tua adalah tinggi badan dari ayah dan ibu, yang diukur menggunakan alat pengukur tinggi badan microtoice Stunting adalah keadaan fisik anak usia 24-59 bulan yang memiliki z score TB/U kurang dari -2 SD berdasarkan referensi WHO 2005 30 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Indonesia Negara Indonesia terletak di Sebelah tenggara Asia, di Kepulauan Melayu, diantara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Koordinat geografisnya adalah 6°LU - 11°08'LS dan dari 95°'BT - 141°BT. Indonesia merupakan negara kepulauan dan memiliki 5 buah pulau besar yaitu Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Indonesia memiliki luas daratannya mencapai 1.919.44 km², luas laut 3.257.357 km². Jumlah wilayah lautan dan daratan adalah 5.176.800 km². Di Indonesia terdapat 33 propinsi yang meliputi 456 kabupaten /kota. Namun, dalam penelitian Riskesdas, jumlah kabupaten/kota yang diikutsertakan dalam penelitian berjumlah 440 kabupaten/kota. Karakteristik Anak Usia anak yang diteliti dalam penelitian ini berada dalam rentang 24-59 bulan. Populasi anak dalam penelitian ini berjumlah 42062 orang. Sebagian besar anak, baik yang berada dalam keadaan stunting maupun normal berada dalam rentang usia 24 - 35 bulan, yaitu masing-masing 19,7% dan 24,4%. Semakin besar usia anak, jumlahnya semakin kecil. Sebaran usia dan jenis kelamin anak dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Sebaran anak berdasarkan jenis kelamin dan usia Variabel Usia 24-35 bulan 36-47 bulan 48-60 bulan Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Stunting n % Normal n % 8285 7070 4281 19,7 16,8 10,2 10260 7669 4497 24,4 18,2 10,7 10334 9302 24,6 22,1 11230 11196 26,7 26,6 31 Jumlah anak yang berjenis kelamin laki-laki tidak jauh berbeda dengan jumlah anak yang berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan uji korelasi Chi Square, terdapat hubungan antara jenis kelamin anak dengan status gizi (p<0.01). Anak laki-laki lebih banyak yang mengalami stunting dibandingkan dengan anak perempuan. Penelitian ini menguatkan hasil penelitian Adeladza (2009) yang menyatakan bahwa pada umumnya status gizi anak laki-laki lebih rendah daripada anak perempuan pada usia yang sama. Jus’at (1991) menambahkan anak laki-laki memiliki status gizi yang lebih rendah dibandingkan dengan anak perempuan. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan anak laki-laki cenderung lebih aktif dalam beraktivitas dibandingkan dengan anak perempuan. Karakteristik Keluarga Karakteristik keluarga terdiri dari tempat tinggal, jumlah anggota keluarga, status ekonomi, pendidikan ayah dan ibu serta pekerjaan ayah dan ibu. Adapun, sebaran karakteristik keluarga dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan tempat tinggalnya, anak yang tinggal di desa lebih banyak jumlahnya daripada yang tinggal di kota baik anak dengan kategori stunting maupun normal. Sebesar 59,6% anak dengan kategori status gizi menurut TB/U normal tinggal di kota. Pengkategorian desa dan kota didasarkan pengkategorian BPS melalui perhitungan skor terhadap tiga variabel potensi desa yaitu kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian dan akses terhadap fasilitas umum. Jumlah anggota keluarga merupakan banyaknya anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Jumlah anggota keluarga disebut besar, bila berjumlah ≥ 7 orang, disebut sedang, bila berjumlah 5-6 orang dan kecil bila berjumlah≤ 4 orang. Sebanyak 49,9% kelompok anak stunting memiliki keluarga dengan anggota keluarga besar. Pada kelompok anak dengan status gizi menurut TB/U normal sebagian besar memiliki keluarga dengan jumlah anggota keluarga kecil, yaitu sebesar 54,4%. Rata – rata jumlah anggota keluarga pada kelompok stunting adalah 4,8 ± 1,5 dengan nilai minimum 3 dan nilai maksimum 18. 32 Sementara itu, rata -rata jumlah anggota keluarga pada kelompok anak normal berjumlah 4,7± 1,4 dengan nilai minumun 3 dan nilai maksimum 16. Keluarga dengan status ekonomi miskin jumlahnya lebih banyak baik pada kelomok anak stunting maupun normal. Keadaan sosial ekonomi rumah tangga menentukan status gizi anggota rumah tangga tersebut terutama anak balita (Riyadi et al. 2006). Berdasarkan uji korelasi Spearman, terdapat hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan status ekonomi (p<0.01, r=0.23). Keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarga besar lebih banyak yang mempunyai status ekonomi miskin. Hal tersebut dikarenakan keluarga dengan status ekonomi miskin mempunyai pengeluaran keluarga yang lebih besar dibandingkan dengan keluarga dengan status ekonomi tidak miskin. Menurut Sanjur (1982) besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran keluarga. Semakin besar jumlah anggota keluarga, pengeluaran keluarga pun akan semakin besar. Dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses kemiskinan melalui tiga cara, yaitu menyebabkan hilangnya produktivitas, menurunkan kemampuan kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan dan dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena dapat meningkatkan pengeluaran untuk berobat (RANPG 2007). Proporsi terbanyak pendidikan kepala keluarga atau ayah adalah pendidikan dasar baik pada kelompok stunting maupun normal yaitu masingmasing 49,6% dan 50,4%. Pendidikan dasar meliputi pendidikan hingga tingkat SLTP. Namun, masih terdapat kepala keluarga yang tidak pernah bersekolah. Hanya sebagian kecil kepala keluarga yang menempuh pendidikan tinggi. Pendidikan kepala rumah tangga berhubungan pula dengan tempat tinggal (p<0.01, r=0.31). Artinya, kepala rumah tangga yang berpendidikan rendah sebagian besar bertempat tinggal di desa. Selain itu, pendidikan kepala keluarga pun berhubungan dengan status ekonomi (p<0.01, r=0.26). Keluarga dengan kepala keluarga berpendidikan rendah lebih banyak yang memiliki status 33 ekonomi miskin. Seperti halnya dengan pendidikan kepala rumah tangga, proporsi tingkat pendidikan ibu pun sebagian besar adalah pendidikan dasar. Terdapat pula sebagian kecil ibu yang menempuh hingga jenjang pendidikan tinggi, walaupun masih terdapat sebagian kecil ibu yang tidak pernah bersekolah pada kedua kelompok. Sebaran anak berdasarkan karakteristik keluarga dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Sebaran anak berdasarkan karakteristik keluarga Variabel Tempat Tinggal Desa Kota Jumlah anggota rumah Tangga Besar Sedang Kecil Status Ekonomi Miskin Tidak miskin Pendidikan Ibu Tidak sekolah Dasar Menengah Tinggi Pendidikan kepala keluarga Tidak sekolah Dasar Menengah Tinggi Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Tidak bekerja Bekerja Pekerjaan ibu Tidak bekerja Bekerja Status Gizi menurut TB/U Stunting Normal Total n % n % n % 13776 5860 50,0 40,4 13786 8640 50,0 59,6 27562 100 14500 100 2642 7421 9573 49,9 47,0 45,6 2654 8352 11420 50,1 53,0 54,4 5296 100 15773 100 20993 100 11192 8444 49,9 43,0 11238 11188 50,1 57,0 22430 100 19632 100 827 13963 4016 830 50,9 49,6 40,9 34,2 799 14213 5815 1599 49,1 50,4 59,1 65,8 1626 28176 9831 2429 100 100 100 100 762 12923 4810 1141 49,8 49,6 42,3 36,9 769 13136 6569 1952 50,2 50,4 57,7 63,1 1531 26059 11379 3093 100 100 100 100 443 19193 47,8 46,7 484 21942 52,2 53,3 927 100 41135 100 12502 7134 46,5 47,1 14408 8018 53,5 52,9 26910 100 15152 100 Baik pada kelompok stunting maupun normal, sebagian besar kepala keluarga mempunyai pekerjaan. Namun, masih terdapat kepala keluarga yang tidak mempunyai pekerjaan yaitu sebesar 47,8% pada kelompok stunting dan 34 52,2% pada kelompok normal.. Ibu yang tidak bekerja berjumlah 46,5% pada kelompok stunting pada kelompok normal berjumlah 53,5%. Salah satu faktor yang mendorong wanita turut bekerja adalah keadaan ekonomi. Hal ini dapat terjadi akibat jumlah tanggungan keluarga yang semakin besar (Aritonang & Priharsiwi, 2005). Sebagian besar orang tua, baik yang memiliki anak dengan status gizi stunting maupun tidak bekerja sebagai petani. Rumah tangga petani merupakan rumah tangga dengan pekerjaan utama anggotanya sebagai petani dan umumnya hidup dan tinggal di pedesaan (Suhanda et al 2009). Sebaran jenis pekerjaan kepala keluarga dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis pekerjaan ayah Jenis Pekerjaan Tidak bekerja Tni/polri Pns Pegawai BUMN Pegawai swasta Wiraswasta Pelayanan jasa Petani Nelayan Buruh Lainnya stunting n % 443 47,8 138 32,9 932 39,1 155 42,7 1379 37,0 3359 42,7 747 45,4 8382 51,7 854 50,3 2526 47,7 721 46,8 normal Total n % n % 484 52,2 927 100 282 67,1 420 100 1453 60,9 2385 100 208 57,3 363 100 2346 63,0 3725 100 4502 57,3 7861 100 900 54,6 1647 100 7817 48,3 16199 100 845 49,7 1699 100 2770 52,3 5296 100 819 53,2 1540 100 Menurut Zakiah (1998) status pekerjaan orang tua dapat mempengaruhi pola pengasuhan. Pada orang tua yang bekerja, khususnya ibu, dapat menyebabkan berkurangnya alokasi waktu untuk anak lebih sedikit dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Bila dihubungkan dengan status gizi anak menurut TB/U, antara pekerjaan ibu dengan status gizi tidak terdapat hubungan yang nyata (P>0.05). Hal ini kemungkinan dikarenakan ibu yang bekerja kemungkinan menitipkan anak pada pengasuhnya, seperti adik/kakak orang tua, nenek, atau anggota keluarga lainnya. Selain itu, berdasarkan uji korelasi Spearman pendidikan ibu berhubungan dengan pekerjaan ibu namun arahnya negatif (p<0.05, r= -0.4). Ibu yang tidak bekerja memiliki pendidikan 35 yang rendah. Rendahnya pendidikan ibu dapat menyebabkan pengetahuan ibu akan gizi terbatas. Seperti halnya dengan jenis pekerjaan ayah, jenis pekerjaan ibu pada ibu yang bekerja adalah petani. Sebaran jenis pekerjaan ibu dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran jenis pekerjaan ibu Jenis Pekerjaan Tidak bekerja Tni/polri Pns Pegawai BUMN Pegawai swasta Wiraswasta Pelayanan jasa Petani Nelayan Buruh Lainnya stunting n % 12502 46,5 25 43,1 517 35,8 23 32,4 311 34,1 1248 42,2 121 43,8 4140 52,5 38 52,1 501 46,5 210 52,6 normal Total n % n % 14408 53,5 26910 100 33 56,9 58 100 926 64,2 1443 100 48 67,6 71 100 602 65,9 913 100 1711 57,8 2959 100 155 56,2 276 100 3742 47,5 7882 100 35 47,9 73 100 577 53,5 1078 100 189 47,4 399 100 Status Gizi menurut TB/U Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui bahwa di Inonesia propinsi dengan prevalensi stunting tertinggi adalah Maluku (59.2%), Nusa Tenggara Timur (56.9%) dan Nusa Tenggara Barat (54.4%). Sedangkan propinsi dengan prevalensi stunting terendah adalah Daerah Istimewa Yogjakarta (29.2%), DKI Jakarta (30.3%) dan Jawa Barat (34.1%). Prevalensi nasional stunting adalah 36.8%. Namun, dalam penelitian ini, prevalensi stunting lebih besar, yaitu sebesar 46.7%. Hal ini disebabkan usia anak yang digunakan adalah 24 - 59 bulan. Menurut Ramli (2009) prevalensi stunting tertinggi berada dalam rentang usia 24 - 59 bulan. Selain itu, terdapat pula adanya kriteria inklusi dalam penelitian ini, yaitu usia 24-59 bulan, memiliki hubungan kandung dengan orang tua dan kelengkapan data. Setiap propinsi mempunyai jumlah sampel anak yang berbeda-beda. 36 Tabel 6 Sebaran prevalensi stunting Propinsi Persentase status gizi TB/U berdasarkan Riskesdas 2007* stunting normal NAD 44,6 55,4 Sumatra Utara 43,1 56,9 Sumatra Barat 36,5 63,5 Riau 33,0 67,0 Jambi 36,4 63,6 Sumatra Selatan 44,7 55,3 Bengkulu 36,0 64,0 Lampung 38,7 61,3 Bangka Belitung 35,5 64,5 Kepulauan Riau 26,2 73,8 DKI Jakarta 26,7 73,3 Jawa Barat 35,5 64,5 Jawa Tengah 36,5 63,5 DI Yogjakarta 27,6 72,4 Jawa Timur 34,8 65,2 Banten 39,0 61,0 Bali 31,0 69,0 Nusa Tenggara Barat 43,7 56,3 Nusa Tenggara Timur 46,8 53,2 Kalimantan Barat 39,3 60,7 Kalimantan Tengah 42,7 57,3 Kalimantan Selatan 41,8 58,2 Kalimantan Timur 35,2 64,8 Sulawesi Utara*** 31,2 68,8 Sulawesi Tengah 40,4 59,6 Sulawesi Selatan 29,1 70,9 Sulawesi Tenggara 40,5 59,5 Gorontalo 39,9 60,1 Sulawesi Barat 44,5 55,5 Maluku 45,8 54,2 Maluku Utara 40,2 59,8 Papua Barat 39,4 60,6 Papua 37,7 62,3 Total 36,8 63,2 *)Data prevalensi stunting Riskesdas berusia 0 - 59 bulan Persentase status gizi TB/U dalam penelitian ini ** stunting normal 56,2 43,8 52,0 48,0 45,4 54,6 35,4 64,6 45,1 54,9 50,1 49,9 46,3 53,7 47,6 52,4 41,6 58,4 41,5 58,5 30,3 69,7 43,1 56,9 44,8 55,2 29,2 70,8 41,4 58,6 45,2 54,8 37,5 62,5 54,4 45,6 56,9 43,1 46,7 53,3 49,7 50,3 48,9 51,1 41,4 58,6 39,0 60,5 45,2 54,8 47,3 52,7 47,1 52,9 44,9 55,1 48,9 51,1 59,2 40,8 41,5 58,5 48,1 51,9 47,4 52,6 46,7 53,4 **) Data prevalensi stunting dalam penelitian ini berusia 24-59 bulan ***) Data Propinsi Sulawesi Utara tidak diikutsertakan dalam pengolahan selanjutnya. Dengan demikian, jumlah keseluruhan sampel adalah 42062. 37 Masalah stunting perlu mendapatkan perhatian serius. Stunting menunjukkan pertumbuhan linear yang buruk sebagai akibat buruknya gizi dan kesehatan dalam waktu yang cukup lama, baik masa prenatal maupun postnatal. Stunting pada masa balita berhubungan dengan penurunan tingkat kecerdasan, perkembangan psikomotor, keterampilan, motorik halus dan integrasi sensori. (Adair & Guilkey 1997) Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa anak dengan status gizi normal menurut TB/U berjumlah 53.3% atau berjumlah 22426 anak. Sementara anak dengan dengan z-score yang lebih rendah dengan -2 atau stunting berjumlah 46.7% atau berjumlah 19636 anak. Sebaran status gizi menurut TB/U dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Sebaran anak berdasarkan status gizi menurut TB/U Penyakit Infeksi Penyakit infeksi merupakan faktor langsung terjadinya masalah gizi. Seorang anak dinyatakan mengidap penyakit infeksi jika mengalami 1 atau lebih penyakit infeksi, baik didiagnosis oleh tenaga kesehatan atau bila responden pernah atau sedang menderita gejala klinis spesifik penyakit tersebut. Berdasarkan Gambar 3, dapat diketahui bahwa jumlah anak yang mengidap penyakit infeksi baik pada kelompok stunting dan normal jumlahnya tidak jauh berbeda yaitu masing-masing 50,5% yang mengidap penyakit infeksi dan 49,5% yang tidak mengidap penyakit. Menurut Satoto (1990) Masalah penyakit infeksi berkaitan dengan perilaku hidup tidak sehat, kesehatan 38 lingkungan yang tidak baik, pendidikan rendah dan kemiskinan. Usaha pencegahan infeksi sangat utama dan penting untuk kesehatan dan status gizi terutama balita Gambar 3 Sebaran anak berdasarkan penyakit infeksi Jenis penyakit infeksi yang dilihat dalam penelitian ini adalah ISPA (infeksi saluran pernafasan atas), pneumonia, thypoid, malaria, diare, campak, TBC dan deman berdarah. Penyakit deman berdarah dan malaria ditularkan melalui vektor. Penyakit ISPA, pneumonia dan campak ditularkan melalui udara atau percikan air liur. Penyakit tifoid dan diare ditularkan melalui makanan atau air. Sebaran jenis penyakit infeksi dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran anak berdasarkan jenis penyakit infeksi Jenis Penyakit Tidak sakit ISPA Pneumonia Thypoid Malaria Diare Campak TB paru Demam berdarah Status Gizi stunting normal n % n 9522 11310 45,7 8318 9250 47,3 666 582 53,4 345 386 47,2 634 615 50,8 3242 3194 50,4 719 664 52,0 136 147 48,1 84 124 40,4 Total % 54,3 52,7 46,6 52,8 49,2 49,6 48,0 51,9 59,6 n 20832 17568 1248 731 1249 6436 1383 283 208 % 100 100 100 100 100 100 100 100 100 39 Jenis penyakit infeksi yang terbanyak di alami responden adalah ISPA, yaitu sebesar 47,3% pada kelompok stunting dan 52,7% pada kelompok normal Seorang anak dapat mengidap lebih dari satu jenis penyakit infeksi. Penyakit infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kejadian penyakit ISPA terutama pada balita (Yusup dan Sulistyorini 2005). Selain ISPA, jenis penyakit yang jumlahnya cukup tinggi pada anak adalah diare. Diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi lebih dari biasanya, 3 kali atau lebih dalam 1 hari. Diare juga didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang buang air besarnya ditandai dengan tinja berbentuk cairan lebih dari tiga kali dalam satu hari dan biasanya berlangsung selama dua hari atau lebih. Orang yang mengalami diare akan kehilangan cairan tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi tubuh. Hal ini membuat tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik dan dapat membahayakan jiwa, khususnya pada anak dan orang tua (Anonymous 2007). Pada penelitian di Brazil (2005), diare merupakan salah satu penyebab utama rendahnya pertumbuhan pada anak dibawah usia 5 tahun (Assis et al 2005) Perilaku Higienis Perilaku higienis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perilaku higienis ibu. Hubungan ibu dan anak merupakan interaksi sosial yang pertama kali dialami oleh anak. Anak balita belum mampu merawat dirinya sendiri. Mereka sangat membutuhkan bantuan orang disekitarnya, terutama ibu. Perilaku higienis ibu berupa kebiasaan mencuci tangan yang baik sangat dibutuhkan oleh anak. Perilaku higienis mencuci tangan pada ibu balita dibagi menjadi dua kategori yaitu mencuci tangan yang baik dan kurang. Mencuci tangan dikatakan baik jika seseorang mencuci tangan dengan sabun setiap akan melakukan kegiatan sebelum makan, sebelum menyiapkan makanan, setelah buang air besar/setelah menceboki bayi, dan setelah memegang binatang (Depkes 2008). Mencuci tangan adalah kegiatan membersihkan bagian telapak, punggung tangan dan jari agar bersih dari kotoran dan membunuh kuman 40 penyebab penyakit yang merugikan kesehatan manusia serta membuat tangan menjadi harum baunya (Adytama 2009). Sebagian besar ibu (71%), baik yang memiliki anak stunting maupun normal mempunyai perilaku higienis kurang. Sisanya (29%) ibu berperilaku higienis baik. Gambar 4 Sebaran Anak berdasarkan perilaku higienis ibu Sebaran jenis perilaku higienis ibu dapat dilihat pada Gambar 4. Secara keseluruhan dapat dilihat, bahwa ibu yang melakukan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, sebelum menyiapkan makanan, setelah buang air besar dan setelah pegang binatang pada anak dengan status gizi normal jumlahnya lebih banyak dari ibu pada kelompok anak stunting. Gambar 4 Sebaran anak berdasarkan jenis perilaku higienis 41 Sanitasi Lingkungan Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui bahwa sebagian besar (75%) lingkungan anak baik paada kelompok stunting maupun normal berada dalam kategori sanitasi lingkungan sedang. Hanya sebagian kecil (7%) responden berada dalam kategori sanitasi lingkungan baik. Gambar 6 Sebaran anak berdasarkan sanitasi lingkungan Rincian praktik sanitasi lingkungan responden dapat dilihat pada Tabel 8. Menurut Satoto (1990) sanitasi lingkungan mempengarui tumbuh kembang anak melalui penurunan kerawanan anak terhadap penyakit infeksi. Sanitasi yang baik cenderung meningkatkan rasa aman ibu atau pengasuh anak dalam menyediakan kesempatan bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungan Penilaian sanitasi lingkungan pada penelitian ini diantaranya dilihat dari akses ke sumber air, kualitas fisik air yang diminum, pengolahan air sebelum diminum, penanganan limbah rumah tangga dan kepemilikan tempat sampah. Persediaan air bersih (PAB), jamban, tempat sampah dan pengelolaan air limbah (PAL) dikategorikan sebagai sarana sanitasi dasar yang sebaiknya dimiliki oleh keluarga (Yusup & Sulistyorini 2005). Jumlah pemakaian air bersih rumah tangga per kapita sangat terkait dengan risiko kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan higiene. Menurut WHO (2010) batasan minimal akses untuk konsumsi air bersih adalah 20 liter/orang/hari dan sarana sumber air berada dalam radius 1 kilometer dari 42 rumah. Sebesar 50,3% anak dengan kondisi stunting menggunakan air kurang dari 20 liter dalam sehari. Sebesar 53,5% responden memperoleh air dalam jarak kurang dari 1 km dan memperoleh air dalam waktu kurang dari 30 menit. Menurut Permanasari, Luciasari dan Purwanto (2010) air bersih merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk memenuhi standar kehidupan manusia secara sehat. Ketersediaan air yang terjangkau dan berkelanjutan menjadi bagian terpenting bagi setiap individu baik yang tinggal di perkotaan maupun di perdesaan. Oleh karena itu, ketersediaan air dapat menurunkan water borne disease. Kualitas fisik air dinyatakan baik bila air tersebut tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau dan tidak berbusa (Depkes 2008). Fasilitas air bersih diperlukan manusia untuk minum, memasak, mandi, mencuci, membersihkan peralatan dan lain-lain. Menurut Marchant et al (2003) anak yang berasal dari keluarga dengan sanitasi dan kualitas air yang lebih buruk mempunyai risiko yang lebih besar untuk mengalami stunting dibandingkan dengan yang mempunyai sanitasi yang baik. Jika dilihat dari tempat penampungan air limbah rumah tangga, sebagian besar tanpa penampungan baik yang berasal dari kelompok stunting maupun normal. Sebanyak 60,9% rumah tangga pada kelompok anak normal memiliki saluran tertutup sebagai saluran pembuangan limbah. Air limbah terdiri dari kotoran manusia, kotoran dari dapur dan kamar mandi termasuk air kotor dari permukaan tanah. Menurut Dainur (1992) dalam Mariani (2003) air limbah rumah tangga banyak mengandung bahan-bahan organik sehingga merupakan media bagi agen penyakit dan bila mencemari air bersih akan merupakan sumber penyakit yang disebarkan melalui air (water borne disease). Air buangan dari kamar mandi, tempat cuci dan lain sebagainya harus dibuang sebelum masuk ke saluran pembuangan di pemukiman, sehingga air buangan tersebut tidak mengotori permukaan tanah disekitar rumah. Sebagian besar keluarga, baik yang memiliki anak dengan kondisi stunting maupun normal telah menggunakan jamban sebagai tempat buang air besar. Tujuan dari penyediaan sarana pembuangan kotoran manusia (jamban) adalah untuk mencegah adanya kontaminasi kotoran manusia dengan sumber air, 43 makanan, perabot rumah tangga, sarana rekreasi dan lain sebagainya. (Marchant 2003). Menurut WHO 1987 dalam Astari 2006 orang yang terkena diare, kolera dan infeksi cacing biasanya disebabkan oleh kuman yang berasal dari tinja. Sebagian besar responden tidak memiliki tempat sampah baik di dalam rumah maupun diluar rumah. Tempat sampah harus terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan tidak rusak dan tertutup rapat. Untuk penyimpanan sampah diperlukan tempat sampah di tiap rumah (Sukarni 1989). Tabel 8 Sebaran anak berdasarkan variabel sanitasi lingkungan Variabel Status Gizi menurut TB/U Stunting Normal Total n % n % n % Jumlah pemakaian air untuk keperluan 1 rumah tangga/orang/hari a. < 20 liter 4551 50.3 b. > 20 liter 15085 45.7 2 Jarak yang dibutuhkan untuk memperoleh air a. > 1 km 761 50.3 b. < 1 km 18875 46.5 3 Waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh air a. > 30 menit 459 54.8 b. < 30 menit 19177 46.5 4 Pencemaran dalam radius < 10 meter (air limbah/cubluk/tangki septic/sampah) a. Terdapat 15177 46.5 b. Tidak terdapat 4459 47.4 5 Kemudahan untuk memperoleh air sepanjang tahun a. Sulit sepanjang tahun 322 49.2 b. Sulit pada musim kemarau 5526 48.1 c. Mudah sepanjang tahun 13788 46.1 6 Kualitas fisik air minum a. Keruh 2043 48.8 b. Tidak Keruh 17593 46.4 a. Berwarna 1507 48.8 b. Tidak berwarna 18129 46.5 a. Berasa 1041 46.8 b. Tidak berasa 18595 46.7 a. Berbusa 241 46.3 b. Tidak berbusa 19395 46.7 4489 17937 49.7 54.3 9040 100 33022 100 753 21673 49.7 53.5 1514 100 40548 100 378 22048 45.2 53.5 837 100 41225 100 17471 53.5 4955 52.6 32648 9414 100 100 332 50.8 5961 51.9 16133 53.9 654 11487 29921 100 100 100 2141 20285 1582 20844 1182 21244 279 22147 4184 37878 3089 38973 2223 39839 520 41542 100 100 100 100 100 100 100 100 51.2 53.6 51.2 53.5 53.2 53.3 53.7 53.3 44 Tabel 8 Lanjutan No 7 8 9 10 11 12 Variabel Status Gizi menurut TB/U Stunting Normal Total n % n % n % 660 45.2 799 54.8 1459 100 18976 46.7 21627 53.3 40603 100 a. Berbau b. Tidak berbau Pengolahan air minum sebelum digunakan 1618 a. Dimasak 18018 b. Tidak dimasak Tempat buang air besar a. Jamban 12126 b. Bukan jamban 7469 Tempat penampungan air limbah dari kamar mandi/ dapur/ tempat cuci 13500 a. Tanpa penampungan 4500 b. Penampungan terbuka 1546 c. Penampungan tertutup Saluran pembuangan air limbah dari kamar mandi/ dapur/ tempat cuci 7690 a. Tanpa saluran 8377 b. Saluran terbuka 3569 c. Saluran tertutup Tempat sampah di luar rumah 12204 a. Tidak memiliki tempat sampah 6270 b. Tempat sampah terbuka 1162 c. Tempat sampah tertutup Tempat sampah di dalam rumah 15270 a. Tidak memiliki tempat sampah 3083 b. Tempat sampah terbuka 1283 c. Tempat sampah tertutup 45.4 1948 54.6 46.8 20478 53.2 3566 38496 100 100 43,5 15764 56,5 52,8 6680 47,2 27872 14149 100 100 47.7 14800 52.3 46.2 5240 53.8 39.3 2386 60.7 28300 9740 3932 100 100 100 51.8 46.3 39.1 7153 48.2 9722 53.7 5551 60.9 14843 18099 9120 100 100 100 49.1 12634 50.9 44.0 7966 56.0 38.9 1826 61.1 24838 14236 2988 100 100 100 48.2 16387 51.8 43.2 4060 56.8 39.3 1979 60.7 31657 7143 3262 100 100 100 Akses dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Dalam analisis ini, sarana pelayanan kesehatan dikelompokkan menjadi dua, yaitu sarana pelayanan kesehatan rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu, dokter praktek dan bidan praktek dan upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) yaitu pelayanan posyandu, poskesdes dan polindes atau bidan desa. Untuk masing-masing kelompok pelayanan kesehatan tersebut dikaji akses rumah tangga ke sarana pelayanan kesehatan tersebut. Selanjutnya untuk UKBM dikaji tentang pemanfaatan dan jenis pelayanan yang diterima oleh 45 rumah tangga. Setelah itu, dilakukan skoring terhadap akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dari setiap keluarga dan dikelompokkan menjadi keluarga dengan akses dan pemanfaatan kesehatan baik, sedang dan kurang. Rumah tangga pada kedua kelompok dengan akses dan pemanfaatan baik dan sedang jumlahnya tidak jauh berbeda, yaitu masing-masing, yaitu sebesar 36.6% dan 37.7%. Sementara rumah tangga dengan akses dan pemanfaatan kesehatan kurang sebesar 26.7%. Gambar 7 Sebaran anak berdasarkan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa sebanyak 55,1% keluarga dengan status gizi menurut TB/U normal menempuh jarak kurang dari 1 km untuk menuju sarana pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu, dokter praktek, bidan praktek), dan 55,7% responden membutuhkan waktu ≤ 15 menit untuk mencapai sarana pelayanan kesehatan terse but. Sementara itu sebagian besar responden menempuh jarak < 1 km untuk menuju ke posyandu/ poskesdes/ polindes dan membutuhkan waktu ≤ 15 menit untuk menuju sarana pelayanan kesehatan berbasis masyarakat tersebut. Sebanyak 62,5% keluarga dengan status gizi menurut TB/U normal memanfaatkan Posyandu/ Poskesdes. 46 Tabel 9 Sebaran anak berdasarkan variabel akses dan pemanfaatan kesehatan No 1 2 3 4 5 6 7 Variabel Status Gizi menurut TB/U Stunting Normal Total n % n % n % Jarak yang ditempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat (rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu, dokter praktek, bidan praktek) a. > 5 km 1559 b. 1-5 km 9240 c. < 1 km 8837 Waktu tempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat (rumah sakit, pustu, bidan praktek, dokter praktek,) a. ≥ 31 menit 2601 b. 16-30 menit 8235 c. ≤ 15 menit 8800 Jarak yang ditempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat (posyandu, poskesdes, polindes) a. > 5 km 413 b. 1-5 km 4197 a. < 1 km 15026 Waktu tempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat (posyandu, poskesdes, polindes) a. ≥ 31 menit 1235 b. 16-30 menit 4695 a. ≤ 15 menit 13706 Ketersediaan angkutan umum ke tempat pelayanan kesehatan a. Tersedia 10775 b. Tidak tersedia 8861 Pemanfaatan Posyandu/Poskesdes dalam 3 bulan terakhir a. Memanfaatkan 7843 b. Tidak memanfaatkan 11793 Pemanfaatan Polindes/bidan desa dalam 3 bulan terakhir a. Memanfaatkan 13143 b. Tidak memanfaatkan 6493 51.8 1449 47.7 10146 44.9 10831 48.2 52.3 55.1 3008 19386 19668 100 100 100 53.2 2287 47.5 9096 44.3 11043 46.8 4888 52.5 17331 55.7 19843 100 100 100 51.4 390 49.0 4375 46.0 17661 48.6 803 51.0 8572 54.0 32687 100 100 100 51.9 1145 48.9 4911 45.6 16370 48.1 2380 51.1 9606 54.4 30076 100 100 100 47.5 11927 45.8 10499 52.5 22702 54.2 19360 100 100 37.5 13092 55.8 9334 62.5 20935 44.2 21127 100 100 65.9 6797 29.4 15629 34.1 19940 70.6 22122 100 100 47 Dari keseluruhan responden, umumnya kunjungan ke posyandu atau poskesdes digunakan untuk menimbang (53.4%), mendapatkan penyuluhan (23.3%), imunisasi (34.9%), pelayanan keluarga berencana KB (16.7%), kesehatan ibu dan anak (KIA) (18.0%), pengobatan (33.8%), pemberian makanan tambahan (29.0%), pengobatan (20.2%), pemberian suplemen gizi (32.2%) dan konsultasi risiko penyakit (7.0%). Sementara itu, responden yang tidak memanfaatkan posyandu/poskesdes baik pada kelompok stunting maupun normal diantaranya dikarenakan letaknya yang jauh, tidak ada posyandu di sekitar tempat tinggal dan layanan yang tidak lengkap. Menurut Hidayat et al (2010) rumah tangga balita yang memanfaatkan pelayanan kesehatan di posyandu lebih banyak balita yang status gizi baik berdasarkan TB/U berbeda nyata dengan rumah tangga balita yang tidak pernah ke pos pelayanan terpadu. Responden pada kelompok stunting maupun normal memanfaatkan polindes atau bidan desa biasanya melakukan pemeriksaan kehamilan (5.1%), bersalin (2.6%), pemeriksaan ibu nifas (2.4%), pemeriksaan neonatus (2.1%), pemeriksaan bayi dan balita (11.8%) dan pengobatan (26%). Adapun, alasan responden tidak memanfaatkan polindes atau bidan diantaranya dikarenakan letak yang jauh, pelayanan tidak lengkap, tidak terdapat polindes/bidan desa dan tidak membutuhkannya. Tinggi Badan Orang Tua Tinggi badan orang tua (ayah dan ibu) menjadi salah satu faktor yang diperhatikan dalam melihat tinggi badan pada anak. Sebaran tinggi badan orang tua dapat dilihat pada Tabel 10. Rata-rata tinggi badan ayah yang memiliki anak dengan tinggi badan normal adalah 162,8 cm ± 6,2 cm dengan nilai maksimum adalah 185.0 cm dan nilai minimunnya adalah 128 cm. Sementara itu, rata-rata tinggi badan ayah yang memiliki anak dengan kondisi stunting adalah 161,35 cm ± 6.3 cm dengan maksimumnya adalah 185.4 cm dan nilai minimumnya adalah 128 cm. Sebagian besar ayah baik pada kelompok stunting maupun normal memiliki tinggi badan 161 cm - 165 cm. Sebaran tinggi badan ayah dapat dilihat pada Tabel 10. 48 Tabel 10 Sebaran tinggi badan ayah Tinggi Badan <141 cm 141-145 146-150 151-155 156-160 161-165 166-170 >170 Status Gizi stunting normal n % n % 295 49.3 303 50.7 398 53.0 353 47.0 936 54.1 793 45.9 2206 53.7 1904 46.3 5308 50.0 5317 50.0 5801 46.0 6820 54.0 3440 41.8 4787 58.2 1252 36.8 2149 63.2 Total n 598 751 1729 4110 10625 12621 8227 3401 % 100 100 100 100 100 100 100 100 Sebaran tinggi badan ayah dapat dilihat pada Tabel 11. Rata-rata tinggi badan ibu yang memiliki anak dengan tinggi badan normal adalah 153.08 cm ± 5,7 cm dengan nilai maksimum adalah 185.0 cm dan nilai minimunnya adalah 117 cm. Sementara itu, rata-rata tinggi badan ibu yang memiliki anak dengan kondisi stunting adalah 151,6 cm ± 5,9 cm dengan maksimumnya adalah 184,1 cm dan nilai minimumnya adalah 128 cm. Sebagian besar ibu baik pada kelompok stunting maupun normal memiliki tinggi badan 151 cm - 155 cm. Tabel 11 Sebaran tinggi badan ibu Status Gizi <141 cm 141-145 146-150 151-155 156-160 161-165 166-170 >170 Status Gizi Total stunting normal n % n % n % 879 58.6 620 41.4 1499 100 2301 57.9 1671 42.1 3972 100 5442 50.9 5250 49.1 10692 100 5714 43.9 7291 56.1 13005 100 3793 41.8 5290 58.2 9083 100 919 38.1 1492 61.9 2411 100 355 41.3 505 58.7 860 100 233 43.1 307 56.9 540 100 49 Hubungan sanitasi lingkungan, akses dan pemanfaatan kesehatan, dan perilaku higienis dengan penyakit infeksi Kejadian infeksi penyakit (morbiditas) erat kaitannya dengan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Selain itu pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan juga berkaitan erat dengan morbiditas dan akhirnya berpengaruh terhadap status gizi (Hidayat, Hermina & Fuada 2009). Sementara itu, dengan personal higiene, dalam hal ini kebiasaan mencuci tangan dapat menurunkan terjadinya penyakit infeksi terutama diare. Penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab langsung terjadinya status gizi kurang pada balita (UNICEF 1990). Terjadinya penyakit infeksi pada seorang anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya dikarenakan sanitasi lingkungan, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dan perilaku higienis ibu, yaitu kebiasaan ibu dalam mencuci tangan. Tabel 12 Sebaran Penyakit Infeksi berdasarkan Sanitasi Lingkungan Personal higiene dan Akses dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Variabel Penyakit Infeksi p Sakit Infeksi Tidak Sakit Infeksi n % n % Personal higiene 15322 14695 Kurang 36.4 34.9 5908 6137 Baik 14.0 14.6 >0.05 21230 20832 Total 50.5 49.5 Akses dan Pemanfaatan Kesehatan 5476 5748 Kurang 13.0 13.7 7685 7750 Sedang 18.3 18.4 <0.05 8069 7334 Baik 19.2 17.4 Sanitasi lingkungan 4187 3430 Kurang 10.0 8.2 15709 15729 Sedang 37.3 37.4 <0.05 1334 1673 Baik 3.2 4.0 Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa personal higiene ibu sebagian besar adalah kurang dan pada anak yang menderita penyakit infeksi dan tidak menderita penyakit infeksi jumlahnya tidak jauh berbeda, yaitu masing-masing 72.3% dan 71.2%. Sebanyak 26.5 % anak yang menderita penyakit infeksi memiliki akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan yang 50 kurang baik. Keluarga yang memiliki sanitasi lingkungan baik sebesar 7.4% yang tidak sakit infeksi dan yang menderita sakit infeksi sebanyak 5.4%. Berdasarkan uji korelasi Spearman, sanitasi lingkungan berhubungan dengan penyakit infeksi (p<0.01, r=0.46). Hal ini berarti anak dengan sanitasi lingkungan kurang cenderung mengidap penyakit infeksi sebaliknya, anak dengan sanitasi lingkungan baik cenderung tidak mengidap penyakit infeksi. Menurut Sukarni (1989) melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan fisik atau daya tahannya terhadap penyakit kurang, akan mudah terserang penyakit. Biasanya pada suatu tempat tinggal yang mempunyai sumber air yang buruk, akan mempunyai pula pembuangan kotoran, ventilasi dan kepadatan penghuni yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Menurut Anugra (2004) lingkungan yang sehat dan bersih akan mengurangi kejadian infeksi yang selanjutnya mengurangi kejadian penyakit yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan status gizi anak. Sementara itu, menurut Azwar (1988) penyakit yang diderita oleh seseorang disebabkan oleh daya tahan tubuh yang rendah, lingkungan yang kurang bersih dan perilaku hidup yang kurang sehat. Hal ini dapat mempengaruhi status gizi dan kualitas sumberdaya manusia. Antara akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan penyakit infeksi terdapat hubungan yang signifikan berdasarkan uji korelasi Spearman (p>0.05). Hal ini berarti anak yang memiliki akses dan memanfaatkan pelayanan kesehatan dengan baik cenderung tidak mengidap sakit infeksi dibandingkan dengan anak yang akses terhadap pelayanan kesehatan dan pemanfaatannya kurang. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara penyakit infeksi dan personal higiene ibu (p>0.05). Hal ini kemungkinan dikarenakan dari jenis penyakit yang diteliti, tidak semua penyakit disebabkan oleh perilaku higienis. Misalnya penyakit deman berdarah dan malaria yang ditularkan melalui vektor. Alasan lainnya adalah masih terdapat penyakit infeksi lain yaitu penyakit cacingan yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Penyakit cacingan merupakan salah satu penyakit infeksi yang berhubungan dengan perilaku higienis. Namun, bila dilakukan uji 51 korelasi Chi Square terhadap masing-masing penyakit dengan perilaku higienis, jenis penyakit yang berhubungan dengan perilaku higienis adalah penyakit ISPA dan diare dengan masing-masing p<0.05. Sementara itu, jenis penyakit lainnya tidak berhubungan dengan perilaku higienis. Menurut Permanasari, Luciasari dan Purwanto (2010), ibu yang mempunyai kebiasaan cuci tangan dengan sabun yang kurang baik mempunyai persentase lebih besar untuk anaknya terkena diare dibandingkan ibu yang mempunyai kebiasaan cuci tangan dengan sabun yang baik. Ada perbedaan yang signifikan terhadap kejadian diare pada anak antara ibu yang mempunyai kebiasaan yang baik dalam mencuci tangan dengan sabun dibandingkan ibu yang mempunyai kebiasaan yang kurang baik dalam mencuci tangan dengan sabun. Menurut Yusup dan Sulistyorini (2005) yang melakukan penelitian tentang hubungan sanitasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita menyatakan bahwa terdapat hubungan antara sanitasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Faktor yang mempengaruhinya adalah kepadatan penghuni rumah, ventilasi dan penerangan alami. Kejadian risiko terjadinya ISPA pada rumah yang sanitasinya kurang adalah hampir 12 kali lebih banyak dibandingkan yang tidak ISPA. Penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kejadian penyakit ISPA terutama pada balita. Menurut Sukarni (1989) rumah tinggal yang mempunyai sumber air yang buruk, akan mempunyai pula pembuangan kotoran, ventilasi dan kepadatan penduduk yang tidak memenuhi syarat kesehatan Faktor Determinan Stunting Hasil regresi linier berganda menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap stunting adalah tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, umur, tempat tinggal, status ekonomi, pendidikan ibu, penyakit infeksi, personal higiene dan sanitasi lingkungan. Adapun, model persamaan yang diperoleh adalah : 52 Y= -11,10162-0.38639X 3 +0.03919X 2 +0.02049X 1 +0.16860X 10 +0.16811X 5 + 0.13890X 6 +0.09808X 7 +0.08888X 9 -0.10490X 8 Hasil uji F bagi peubah bebas terhadap TB/U dapat dilihat pada Tabel 13. Secara keseluruhan ke-9 variabel tersebut memberikan kontribusi pada status gizi sebesar 4,58%. Hal tersebut menandakan masih terdapat faktor yang dapat memberikan kontribusi lebih besar terhadap kejadian stunting. Jika dilihat dari faktor yang mempengaruhi status gizi berdasarkan UNICEF (1990), variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini diantaranya adalah konsumsi zat gizi, pola asuh dan pengetahuan gizi, yang kemungkinan lebih mempengaruhi terjadinya stunting pada anak. Kemungkinan lain dari rendahnya nilai R2 adalah kesalahan model yang disebut specification error. Tabel 13 Hasil uji F bagi peubah bebas terhadap TB/U Peubah Intercept B -11.10162 T 925.60 R2 Parsial X3 umur -0.38639 768.14 0.0173 0.0001 X2 TB ibu 0.03919 416.72 0.0156 0.0001 X1 TB ayah 0.02049 131.25 0.0050 0.0001 X 10 sanitasi 0.16860 52.19 0.0034 0.0001 X5 tempat tinggal 0.16811 47.28 0.0020 0.0001 X6 status ekonomi 0.13890 37.97 0.0013 0.0001 X7 pendidikan ibu 0.09808 27.28 0.0007 0.0001 X9 personal higiene 0.08888 13.61 0.0003 0.0002 X8 penyakit infeksi -0.10490 9.43 0.0002 0.0021 R2 0.0485 Kode n= 42062 Menurut Bloom (1974) Sig faktor yang mempengaruhi status kesehatan adalah keturunan, lingkungan fisik, kimia, biologis, pelayanan kesehatan dan perilaku sosial budaya. Dalam penelitian ini, variabel tinggi badan orang tua mewakili keturunan, variabel akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan mewakili pelayanan kesehatan, variabel perilaku higienis mewakili perilaku 53 sosial budaya dan variabel karakteristik keluarga dan sanitasi lingkungan mewakili lingkungan. Menurut UNICEF 1990, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi status gizi pada anak. Faktor penyebab langsung adalah makanan dan penyakit infeksi. Selanjutnya, faktor yang mempengaruhi penyebab langsung adalah ketersediaan pangan, pola pengasuhan dan jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan masyrakat. Pola asuh, pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan diantaranya dipengaruhi oleh pendidikan, pelayanan kesehatan, dan informasi. Namun, akar maslah dari hal tersebut adalah kemiskinan. Usia anak yang semakin besar dapat memperburuk stunting. Semakin bertambahnya usia, risiko terjadinya stunting akan semakin besar. Menurut Ramli et al (2009) prevalensi stunting tertinggi stunting terjadi saat anak berusia 24 - 59 bulan. Adanya penyakit infeksi dapat memperburuk terjadinya stunting. Anak yang menderita penyakit infeksi dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan sehingga kekurangan asupan zat gizi. Padahal, anak yang berada dalam keadaan sakit membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk mempercepat proses pemulihan. Bila hal ini terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama, dapat mengakibatkan pertumbuhan tinggi badan anak pun terganggu. Menurut Widiyawati (2004) salah satu cara untuk mencapai tumbuh kembang balita secara maksimal adalah keadaan tubuh yang terbebas dari penyakit infeksi. Riyadi (2001) menyatakan bahwa penyakit infeksi dapat berdampak buruk terhadap pertumbuhan melalui berbagai cara, yaitu mengurangi nafsu makan, menurunkan penyerapan zat gizi, meningkatkan kebutuhan metabolik, atau secara langsung menyebabkan kehilangan zat-zat gizi. Sementara itu, menurut Suhardjo (1989) antara infeksi dan status gizi kurang terdapat interaksi timbal balik. Orang yang mengalami gizi kurang, daya tahan tubuh terhadap penyakit lebih rendah dan lebih mudah terkena serangan penyakit infeksi. Demikian pula sebaliknya infeksi yang akut mengakibatkan kurangnya nafsu makan dan toleransi terhadap makanan, sehingga orang yang terkena penyakit infeksi dapat mengalami kurang gizi. Anak balita sebagai golongan yang rawan, dengan kondisi tubuh yang lemah, akan mudah terserang 54 penyakit menular. Hal ini mengakibatkan semakin lemahnya kondisi tubuh dan kehilangan nafsu makan, sehingga lama kelamaan status gizinya akan memburuk. Salah satu penyakit infeksi yang sering terjadi pada anak adalah diare. Menurut Mulyati, Sandjaja & Tjandrarini (2008) balita yang pernah mengalami diare lebih dari 3 kali/hari memiliki risiko untuk underweight 1,7 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak pernah mengalami diare. Sementara menurut Faber & Benade (1998), selain asupan makanan, penyakit diare dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan anak. Penyakit diare yang dialami pada awal masa kanak-kanak dapat memberikan konsekuensi jangka panjang terhadap tinggi badan menurut umur. Tempat tinggal mempengaruhi terjadinya stunting. Keluarga dengan anak balita yang tinggal di desa cenderung mengalami stunting dibandingkan dengan yang tinggal di kota. Menurut Mulyati & Budiman (2006) subjek yang tinggal di pedesaan mempunyai peluang 1,5 kali lebih besar untuk mengalami hambatan dalam pencapaian pertumbuhan dibandingkan dengan anak yang bertempat tinggal di kota Status ekonomi mempengaruhi terjadinya stunting. Anak yang mengalami stunting lebih banyak yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi miskin dibandingkan dengan yang bukan berasal dari keluarga tidak miskin. Menurut Depkes 2008, masalah balita pendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Sementara itu, menurut Riyadi et al. (2006) ciri rumah tangga anak stunted adalah pendapatan yang lebih rendah, pengeluaran pangan yang lebih rendah, dan status gizi berdasarkan z-score TB/U yang rendah (negatif). Berdasarkan ciri tersebut dapat dikatakan bahwa anak stunted sangat erat kaitannya dengan keadaan ekonomi. Pendidikan ibu turut mempengaruhi terjadinya stunting. Menurut Madanijah (2003) pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak, karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, higiene dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga. Sementara itu, menurut Adeladza (2009), 55 anak dengan ibu yang berpendidikan mempunyai status gizi yang lebih baik dibandingkan dengan ibu yang tidak Antara variabel sanitasi, status ekonomi, tempat tinggal, pendidikan ibu dan perilaku higienis saling berhubungan. Berdasarkan uji korelasi Spearman, tempat tinggal berhubungan dengan status ekonomi (p<0.01, r=0.12). Hal ini menunjukkan status ekonomi keluarga yang tinggal di desa lebih banyak yang berstatus miskin dibandingkan dengan di kota. Sebaliknya, tempat tinggal di kota cenderung mempunyai status ekonomi yang tidak miskin Sanitasi lingkungan pun mempunyai hubungan dengan tempat tinggal (p<0.01, r=0.27). Keluarga yang tinggal di kota cenderung mempunyai sanitasi yang lebih baik dibandingkan dengan di desa. Selain itu, sanitasi lingkungan berhubungan pula dengan status ekonomi (p<0.01, r=0.146). Keluarga dengan sanitasi kurang cenderung mempunyai status ekonomi miskin. Sebaliknya, keluarga dengan sanitasi lingkungan baik cenderung tidak miskin. Pendidikan ibu mempunyai hubungan dengan sanitasi (p<0.01, r=0.26), personal higiene (p<0.01, r=0.11), dan tempat tinggal (p<0.01, r=0.34). Ibu yang mempunyai pendidikan rendah pada umumnya mempunyai sanitasi lingkungan rumah dan personal higiene kurang. Hal tersebut pada umumnya terjadi pada ibu yang bertempat tinggal di desa. Menurut Depkes 2008 penduduk perkotaan berperilaku higienis lebih tinggi dari penduduk pedesaan dan semakin tinggi pengeluaran rumah tangga semakin tinggi pula persentase perilaku higienis yang baik Anak yang tinggal di desa dengan kondisi ekonomi yang miskin, sanitasi lingkungan yang lebih rendah, pendidikan ibu dan personal higiene yang rendah memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami stunting pada anak yang berusia 24-59 bulan dibandingkan dengan anak yang bertempat tinggal di kota. Tinggi badan orang tua mempengaruhi terjadinya stunting pada anak. Menurut Jahari (1988) anak-anak di negara maju badannya lebih tinggi dan besar dari anak di negara berkembang. Anak dari kelompok di negara miskin lebih kecil dan pendek daripada anak-anak kelompok keluarga mampu dari suku atau ras yang sama. Faktor-faktor yang berperan dalam tinggi badan seorang anak adalah genetik dan lingkungan. Untuk daerah-daerah di negara berkembang 56 faktor lingkungan dianggap lebih berperan terhadap pertumbuhan tinggi badan dibandingkan dengan faktor genetik. Hal yang sama diungkapkan Supariasa, Fajar dan Bakri (2001) yang menyatakan di negara yang sedang berkembang, pertumbuhan anak selain diakibatkan oleh faktor genetik, juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Tinggi badan orang tua pun berhubungan dengan status ekonomi. Baik tinggi badan ayah (p<0.01, r=0.102) maupun tinggi badan ibu (p<0.01, r= 0.076) berhubungan dengan status ekonomi. Ibu maupun ayah yang memiliki tinggi badan tinggi cenderung tidak miskin, sebaliknya, tinggi badan ayah atau ibu yang memiliki tinggi badan rendah cenderung miskin. Hal ini kemungkinan terjadi dikarenakan kondisi lingkungan yang tidak baik sejak lama dalam suatu keluarga. Hal ini menyebabkan asupan zat gizi baik dalam mutu maupun jumlahnya tidak mencukupi. Alasan lainnya adalah anak -anak terawat dengan baik pada ibu yang memiliki tinggi badan tinggi (Pryer, Rogers & Rahman 2003). Demikian pula menurut Sandjaja (2001) faktor ibu yang berperan nyata terhadap risiko kurang gizi adalah berat badan yang lebih rendah, tinggi badan rendah dan IMT yang kurang. 57 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Sebagian besar keluarga baik pada kelompok stunting maupun normal tinggal di desa. Jenjang pendidikan ayah dan ibu yang paling besar adalah pendidikan dasar. Sebagian besar ayah bekerja dan sebagian besar ibu tidak bekerja. 2. Sebanyak 71.4% ibu mempunyai perilaku higienis kurang. Sebesar 74.7% keluarga mempunyai sanitasi lingkungan kurang dan sebanyak 36.7% keluarga mempunyai kategori sedang dalam mengakses dan memanfaatkan pelayanan kesehatan. 3. Jumlah anak dengan status gizi stunting berjumlah 46.7%. Propinsi dengan prevalensi stunting tertinggi adalah Maluku dengan 59.2% dan propinsi dengan prevalensi stunting terendah adalah DI Yogjakarta dengan 29%. 4. Berdasarkan uji statistik, penyakit infeksi berhubungan dengan adalah sanitasi lingkungan dan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Sementara itu, dengan variabel perilaku higienis tidak terdapat hubungan yang nyata. 5. Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap stunting adalah tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, umur, tempat tinggal, status ekonomi, pendidikan ibu, penyakit infeksi, personal higiene dan sanitasi lingkungan. Saran Penyebab masalah stunting bukan hanya dikarenakan faktor kesehatan. Oleh karena itu, usaha perbaikan masalah stunting bukan hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan saja. Diperlukan kerjasama lintas sektor untuk menangani masalah stunting. Usaha yang dapat dilakukan diantaranya adalah : 1. Perbaikan ekonomi keluarga diantaranya dengan mendorong pengusaha atau pemerintah setempat untuk menggalakan potensi daerah setempat dengan menggunakan tenaga lokal seperti ibu rumah tangga. 2. Perbaikan kesehatan lingkungan diantaranya adalah perbaikan fasilitas air bersih tempat sampah, dan saluran pembuangan limbah rumah tangga 58 3. Meningkatkan KIE khususnya pada ibu rumah tangga diantaranya tentang pentingnya menjaga kesehatan anak balita dan perilaku higienis terutama kebiasaan mencuci tangan. 4. Untuk bidang kesehatan, kegiatan yang dapat dilakukan adalah melakukan revitalisasi posyandu diantaranya berupa pelatihan kader, perbaikan sarana dan fasilitas posyandu dan menggiatkan kembali kegiatan posyandu. 59 DAFTAR PUSTAKA Abunain D, Jahari AB. 1987. Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah Dasar Sebagai Indikator Sosial Ekonomi. Penelitian Gizi dan Makanan. 10;07-21 Adair LS, Guilkey DK. 1997. Age-Specific Determinants of Stunting in Filipino Children. 127:314–320 The Journal of Nutrition. http;// www. nutrition.org. [22 Jan 2010] Adeladza TA. 2009. The Influence of Socio-Economic and Nutritional Characteristics on Child Growth in Kwale District of kenya. African Journal of Agriculture and Development. 9;7. http://www.ajfand.net. [12 Des 2009] Adytama TY. 2009. Cuci Tangan Turunkan www.Mediaindonesia.com [20 Maret 2010] 40% Kejadian Diare. Amelia E. 2001. Pengetahuan Gizi dan Persepsi Ibu Rumah Tangga Kader dan Bukan Kader POSYANDU tentang Kurang Kalori Protein (KEP) Balita serta Partisipasi Penanggulangannya [Skripsi] Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Anonymous. 2007. Kekurangan akses terhadap air minum dan sanitasi dasar. www. depkes.go.id [10 Maret 2010] Anonymous 2007. ORALIT dan ZINC untuk penyembuhan DIARE. 2007. www. infeksi. com [10 Maret 2010] Anugra PA. 2004. Keragaan Status Gizi Anak Balita di Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institit Pertanian Bogor Arimond M, Ruel MT. 2004. Dietary Diversity Is Associated with Child Nutritional Status: Evidence from 11 Demographic and Health Surveys. J. Nutr. 134: 2579–2585. http://www.nutrition.org [22 Jan 2010] Aritonang IE, Priharsiwi. 2005. Status Bekerja Ibu Kaitannya dengan Pola Pemberian Makanan, Pola Asuh Makan, Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dan Status Gizi Anak Usia 0-59 Bulan di Perum Nogotirto, Jogjakarta. Prosiding Temu Ilmiah, Kongres XIII Persagi. Hlm. 284-288. Astari LD. 2006. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Stunting Anak Usia 6-12 Bulan di Kabupaten Bogor [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institit Pertanian Bogor Assis et al. 2005. Growth faltering in childhood related to diarrhea: a longitudinal community based study. European Journal of Clinical Nutrition 59: 1317–1323. www.nature.com [22 Jan 2010] 60 Azwar A. 1988. Pengantar Epidemiologi. Jakarta; Bina Aksara Rupa Bomela N. 2007. Child Nutritional Status and Household Patterns in South Africa. African Journal of Agriculture and Development Agriculture and Development. 7; 5.http://www.ajfand.net [27 des 2009] Brotojoyo U. 2006. Manajemen Pelayanan Kesehatan Sebagai Upaya Peningkatan Ekonomi [Skripsi] Bogor; Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. BPS 2004. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta. BPS. BPS 2008. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia.BPS Departeman Kesehatan. 1991. Informasi Ringkas Kesehatan. Pusat Data Kesehatan, Jakarta. __________________. 2006. Pengembangan dan Penyelenggaraan Pos Kesehatan Desa, Jakarta . 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskasdas) Tahun 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Jakarta. . 2009. Buku Saku Gizi. Kapankan masalah ini berakhir? Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Faber M, Benade AJS. 1998. Nutritional status and dietary practices of 4–24month-old children from a rural South African community. Public Health Nutrition: 2(2), 179–185 [27 Des 2009] Gibson RS 1990. Principles of Nutritional Assessment. New York. Oxford University Press Hardinsyah, Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Departemen Pendidikan danKebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Hidayat TS, Hermina, Fuada N 2009. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Kaitannya dengan Status Gizi dan Morbiditas Anak. Laporan Analisis Lanjut Data Riskesdas. Badan Litbangkes, Jakarta Husaini MA. 1988. Antropometri dan Pertumbuhan Anak. Buletin Gizi No 1 Vol 12. Jahari AB, Abunain D. 1986. Perbandingan Validitas Beberapa Indeks Antropometri untuk Pemantauan Status Gizi Anak Balita. Gizi Indonesia Volume 11 No 2, 1986 – Volume 12 No 1, 1987: hlm 15 – 21 61 Jahari AB. 1988. Antropometri sebagai Indikator Status Gizi. Gizi Indonesia Volume 13 No 2 Jus’at I. 1991. Determinants of Nutritional Status of Preschool Children in Indonesia; Analysis of The National Sosio Economic Survey (SUSENAS) 1987 [Thesis]. New York Khomsan A. 2000. Tekhnik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kilimbira A et al. 2006. Disparities in the Prevalence of Child Undernutrition in Malawi – a Crosssectional Perspective. South Africa Journal Clinical Nutrition volume 19 no 4. http://www.ajfand.net.[27 Des 2009] Kusnodihardjo. 1997. Gambaran Perilaku Penduduk mengenai Kesehatan Lingkungan di Daerah Pedesaan Subang Jawa Barat. Cermin Dunia Kedokteran No.119 Luciasari E, Susanto D. 1990. Status Gizi Anak Prasekolah pada Keluarga Berpendapatan Rendah dengan Ibu Bekerja: Studi Kasus di Kelurahan Kebon Kelapa, Kecamatan Bogor Barat, Kotamadya Bogor, Propinsi Jawa Barat. Penelitian Gizi dan Makanan, jilid 18 : hlm 99 - 104 Madanijah S. 2003. Model Pendidikan “GI-PSI-SEHAT” Bagi Ibu serta Dampaknya terhadap Perilaku Ibu, Lingkungan Pembelajaran, Konsumsi Pangan dan Status Gizi Anak Usia Dini. [Disertasi]. Bogor. Fakultas Pasca Sarjana; Institut Pertanian Bogor. Mariani. 2003. Hubungan Pola Asuh Makan, Konsumsi Pangan dan Status Kesehatan dengan Status Gizi Anak Balita (Studi di Desa Benda Baru Kecamatan Pamulang Tanggerang Propinsi Banten) [Tesis] Bogor : Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Merchant et al. 2003. Water and Sanitation Associated with Improved Child Growth. European Journal of Clinical Nutrition (2003) 57; 1562–1568. www. Nature.com [2 Mei 2010] Mulyati S, Budiman B. 2006. Pencapaian Pertumbuhan pada Balita di Pedesaan dan Perkotaan di Indonesia. Penelitian Gizi dan Makanan volume 29 no 2. Hlm. 68-77. Mulyati S, Sandjaja, Tjandrarini DH. 2008. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Underweight pada Anak Usia 24-59 Bulan di Nangroe Aceh Darussalam (Analisa Data Surkesda 2006). Penelitian Gizi dan Makanan volume 31 No 1. Hlm 21-35. 62 Notoatmodjo S. 1997. Ilmu kesehatan Masyarakat. Prinsip-Prinsip Dasar, Rineka Cipta, Jakarta. Nurmiati. 2006. Pertumbuhan dan Perkembangan Balita Stunted dan Normal [Skripsi] Bogor : Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Patrick H, Nicklas T. 2005. A Review of Family and Social Determinants of Children’s Eating Patterns and Diet Quality. Journal of the American College of Nutrition, 24; 2, 83–92. http:// www. JACN. org [10 Jan 2010] Permanasari Y, Luciasari E, Purwanto B. 2009. Hubungan PHBS dengan Kejadian Diare dan Kaitannya dengan Status Gizi Balita di Indonesia. Penelitian Gizi dan Makanan, volume 32 : hlm 97 - 108 Pryer J, Rogers S, Rahman A. 2003. The Epidemiologi of Good Nutrition Status Among Children From a Population with High Prevalence of Malnutrition. Dhaka 1216, Bangladesh. Public Health Nutrition: 7(2);311-317 RANPG 2007. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Rahmawati. 2006. Status Gizi dan Perkembangan Anak Usia Dini di Taman Pendidikan Karakter dan Sutera Alam, Desa Sukamantri, Bogor [Skripsi] Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Ramli et al. 2009. Prevalence and Risk Factors for Stunting and Severe Stunting Among Under-Fives in North Maluku Province of Indonesia. Research Article BMC Pediatric. http://www.biomedcentral.com/1471-2431/9/64. [22 Jan 2010]. Riyadi H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi secara Antropometri. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Riyadi et al. 2006. Studi Tentang Status Gizi pada Rumah Tangga Miskin dan Tidak miskin. Gizi Indenesia volume 29 no 1 hlm. 33-46 Ricci JA, Becker S. 1996. Risk Faktor for Wasting and Stunting Among Children in Cebu Philipins. The American Journals of Clinical Nutrition. 63;966-75. www.ajnc. org. [22 Jan 2010]. Sandjaja. 2001. Penyimpangan Positif (Positif Deviance) Status Gizi Anak Balita dan Faktor-Faktor yang Berpengaruh. Badan Litbangkes, Jakarta Sanjur. D. 1982. Social and Cultural Perspective in Nutrition, New Jersey: Prentice Hall Inc. 63 Satoto. 1990. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak, Pengamatan Anak Umur 0 – 18 Bulan di Kecamatan Mlongo Kabupaten Jepara Jawa Tengah [Disertasi] Semarang: Universeitas Diponegoro Schmidt MK et al. 2002. Nutritional Status and Linear Growth of Indonesian Infants in West Java Are Determined More by Prenatal Environment than by Postnatal Factors. J. Nutr. 132: 2202–2207, [22 Jan 2010]. Sedgh G et al. 2000. Dietary Vitamin A Intake and Nondietary Faktors Are Associated with Reversal of Stunting in Children, J Nutr 130: 2520-2526. [22 Jan 2010]. Sediaoetama AD. 1993. Ilmu Gizi. Jakarta; Dian Rakyat Sembiring N. 2004. Posyandu Sebagai Peran Serta Masyarakat Dalam Usaha Peningkatan Peran Serta Masyarakat. www.solex-un.net/repository/id/ hlth/CR7-Res1-ind.pdf [ 20 Mei 1020] Shrimpton R. 2006. Life Cycle and Gender Perspective on The Double Burden of Malnitrition and The Preventive of Diet Related Chronic Diseases. Standing Committee on Nutrition. Number 33. Levenham Press United Kingdom. Suhanda et al. 2009. Gold Standard dan Indikator Garis Kemiskinan Rumah Tangga Petani di Subang. Pusat Pelatihan manajemen dan Kepemimpinan Departemen Pertanian dan Neys-Van Hoogstraten Foundation Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Sukarni M. 1989. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi.Pusat Antar Universitar,IPB, Bogor. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Di dalam : Ester M, editor.Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC Syarief H. 1997. Membangun Sumberdaya Manusia berkualitas. Suatu Telaahan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya keluarga. Orasi ilmiah Guru Besar Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya keluarga, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. UNICEF. 1990. The Care Initiative Assessment. Analysis and Action to Improve Care for Nutrition. New York 64 Widiyawati R. 2004. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Gizi Ibu dengan Pola Pengasuhan Anak Balita di Kecamatan Bogor Timur Kota Bogor [Skripsi] Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor WHO. 2010. WHO / UNICEF Joint Monitoring Programme (JMP) for Water Supply and Sanitation. http://www.wssinfo.org/ [2 Mei 2010] Yusup NA, Sulistyorini L. 2005. Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik dengan Kejadian ISPA pada Balita . Jurnal Kesehatan Lingkungan . Vol 1, No 2 [10 Maret 2010]. Zakiah R. 1998. Pemberian Makanan Tambahan pada Bayi Umur 4-12 Bulan dari Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja (Studi Kasus di Kelurahan Bantar Jati, Kecamatan Bogor Utara, Kotamadya Bogor). [Skripsi] Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor 65 Lampiran 1 DAFTAR PERTANYAAN DAN SKORING Tabel 1 Akses dan Pemanfaatan Kesehatan No 1 Macam dan Indikator Jarak terdekat yang harus ditempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat (RS,Puskesmas, Pustu, Dokter Praktek, Bidan Praktek) - < 1 km - 1-5 km - > 5 km 2 Waktu tempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat (RS,Puskesmas, Pustu, Dokter Praktek, Bidan Praktek) - < 15 menit - 16-30 menit - >30 menit 3 Jarak terdekat yang harus ditempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat (Posyandu, Poskesdes, Polindes) - < 1 km - 1-5 km - > 5 km 4 Waktu tempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat (Posyandu, Poskesdes, Polindes) - < 15 menit - 16-30 menit - >30 menit 5 Apakah tersedia angkutan umum ke fasilitas kesehatan terdekat ? - Ya - Tidak 6 Apakah rumah tangga ini pernah mamanfaatkan pelayanan Posyandu/ Poskesdes dalam 3 bulan terakhir? - Ya - Tidak 7 Apakah rumah tangga in pernah memanfaattkan pelayanan Polindes / Bidan desa dalam 3 bulan terakhir? - Ya - Tidak Skor tertinggi : 15 Skor terendah :0 Skor 2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0 1 0 1 0 1 0 Tabel 2. Sanitasi Lingkungan No Indikator Skor Akses ke sumber air 1 Berapa jumlah pemakaian air untuk keperluan rumah tangga? - < 20 liter - > 20 liter 2 Berapa jarak waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh air? - < 1 km - > 1 km 3 Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh air? - < 30 km - > 30 km 4 Apakah di sekitar sumber air dalam radius < 10 meter tdp sumber pencemaran (air limbah/cubluk/tngki septic/sampah)? - Tidak - Ya 5 Kemudahan memperolah air sepanjang tahun - Mudah sepanjang tahun - Sulit pada musim kemarau - Sulit sepanjang tahun Kualitas fisik air minum Keruh - Tidak - Ya 7 Berwarna - Tidak - Ya 8 Berasa - Tidak - Ya 9 Berbusa - Tidak - Ya 10 Berbau - Tidak - Ya Pengolahan air minum sebelum diminum 1 0 1 0 1 0 1 0 2 1 0 6 11 Dimasak - Ya - Tidak 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 Tabel 2. Lanjutan No Indikator Skor Penanganan air limbah rumah tangga 12 Tempat penampungan air limbah dari kamar mandi/tempat cuci/dapur? - Penampungan tertutup - Penampungan terbuka - Tanpa penampungan 13 Saluran pembuangan air limbah dari kamar mandi/dapur/ tempat cuci? - Saluran tertutup - Saluran terbuka - Tanpa saluran Tempat buang air besar Tempat buang air besar - Jamban - Bukan jamban Kepemilikan tempat sampah 2 1 0 2 1 0 14 15 16 Tempat sampah diluar rumah - Tempat sampah tertutup - Tempat sampah terbuka - Tidak memiliki tempat sampah Tempat sampah didalam rumah - Tempat sampah tertutup - Tempat sampah terbuka - Tidak memiliki tempat sampah Skor tertinggi : 26 Skor terendah : 0 1 0 2 1 0 2 1 0 Tabel 3. Perilaku Higienis No Indikator 1 2 3 4 Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan - Ya - Tidak Kebiasaan mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan - Ya - Tidak Kebiasaan mencuci tangan setelah buang air besar - Ya - Tidak Kebiasaan mencuci tangan setelah memegang binatang - Ya - Tidak Skor tertinggi = 4 Skor terendah =0 Skor 1 0 1 0 1 0 1 0