BAB 1 PENDAHULUAN Anestesiologi ialah ilmu

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi
menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah
pembedahan.
Definisi
anestesiologi
berkembang
terus
sesuai
dengan
perkembangan ilmu kedokteran. Adapun definisi ilmu anestesi dan reanimasi saat
ini adalah cabang ilmu kedokteran yangmempelajari tatalaksana untuk mematikan
rasa, baik rasa nyeri, takut, dan rasa tidak nyaman serta ilmu yang mempelajari
tatalaksana untuk menjaga dan mempertahankan hidup dan kehidupan pasien
selama mengalami kematian akibat obat anestesi.1 Anestesi pada semua pasien
yang dilakukan operasi itu bertujuan untuk memudahkan operator dalam
melakukan operasi dan hasil akhirnya diharapkan tujuan operasi tercapai. Adapun
target anestesi itu sendiri yaitu yang lebih dikenal dengan trias anestesia yang
meliputi tiga target yaitu hipnotik, anelgesia, relaksasi. Tidak terkecuali pada
operasi fraktur, perlu dilakukan tindakan anestesi agar pelaksanaan operasi lebih
mudah. 4
Dewasa ini fraktur lebih sering terjadi dengan makin pesatnya kemajuan
lalu lintas di Indonesia maupun dunia baik dari segi jumlah pemakai jalan, jumlah
kendaraan, jumlah pemakai jasa angkutan, dan bertambahnya jaringan jalan serta
kecepatan kendaraan. Di samping itu fraktur juga bisa disebabkan oleh faktor lain,
diantaranya adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, dan cedera olah raga.
Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai
di pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Sebagian besar fraktur disebabkan
oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa benturan,
pemukulan, penghancuran, penekukan atau terjatuh dengan posisimiring,
pemuntiran, atau penarikan.4 Efek trauma pada tulang bergantung pada jenis
trauma, kekuatan, dan arahnya. Fraktur radius dan ulna dapat diakibatkan oleh
trauma langsung yang mengenai lengan bawah saat kecelakaan. Batang femur
juga dapat mengalami fraktur oleh trauma langsung pada bagian depan lutut yang
berada dalam posisi fleksi pada saat kecelakaan lalu lintas.
1
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Fraktur Femur dan Antebrachii
2.1.1
Definisi
Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan
yang disebabkan oleh kekerasan. Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa (Mansjoer, 2000).4 Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang
tulang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung. Sedangkan fraktur
antebrachii adalah terputusnya kontinuitas batang tulang radius dan ulna. Akibat
trauma pada tulang tergantung pada jenis trauma, kekuatan, dan arahnya. Trauma
tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan tulang
patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut fraktur terbuka. Patah
tulang dekat sendi atau yang mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang
disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.4,7
Gambar 1. Fraktur segmental pada shaft femur (kiri) dan fraktur
antebrachii (kanan)4,7
2.1.2
Etiologi
Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai
kekuatan dan daya pegas untuk menahan tekanan. Menurut Smeltzer &
Bare (2001), penyebab fraktur adalah dapat dibagi menjadi tiga yaitu:4,7
1. Fraktur Traumatik
2
a) Trauma langsung yaitu pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang
dan kerusakan pada kulit di atasnya.
b) Trauma tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan.
c) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang
kuat.
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur. Dapat terjadi pada tumor tulang jinak
maupun ganas, infeksi seperti osteomielitis, dan rakhitis yaitu suatu penyakit
tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang mempengaruhi semua
jaringan skeletal lain.7
3. Fraktur Spontan
Fraktur spontan biasanya disebakan oleh stress tulang yang terus menerus
misalnya pada penyakit polio.
2.1.3
Manifestasi Klinis
Adapun tanda dan gejala dari fraktur menurut Smeltzer & Bare (2001)
antara lain:4,7
1. Deformitas yang disebabkan oleh otot-otot ekstremitas yang menarik patahan
2.
3.
4.
5.
6.
tulang.
Krepitasi yaitu rasa gemeretak ketika ujung tulang bergeser
Bengkak
Ekimosis
Spasme otot dan spasme involunters dekat fraktur
Nyeri yang mungkin disebabkan oleh spame otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan
7. Kehilangan sensasi yang dapat terjadi akibat rusaknya saraf
8. Syok hipovolemik akibat dari kehilangan darah
9. Pergerakan abnormal dimana tempat fraktur menjadi sendi palsu
10. Gangguan fungsi dimana ekstremitas tidak dapat digerakkan
2.1.4
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis fraktur
dan komplikasinya antara lain:4,7
3
a. Foto polos, dimana menampakkan perubahan struktural atau fungsional tulang
dan sendi.
b. Artroskopi bila terjadi trauma pada lutut. Dengan pemeriksaan ini diagnosis
yang akurat dapat ditegakkan.
c. Myelografi untuk mengevaluasi kerusakan jaringan kordaspinalis dan ujung
saraf.
d. CT scan tulang untuk membantu mendeteksi adanya keganasan, trauma,
masalah degeneratif, dan osteomyelitis.
e. Laboratorium darah lengkap untuk melihat peningkatan hematokrit dan
leukosit.
2.1.5
Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan oleh adanya fraktur antara lain:4,7
a) Komplikasi dini
Fraktur dapat menyebabkan gangguan neurologis yaitu lesi pada saraf perifer
maupun medula spinalis, serta adanya efek sistemik yaitu emboli lemak. Selain
itu dapat juga menyebabkan gangguan vaskuler diantaranya
adalah
compartment syndrome dan trauma vaskuler yang menyebabkan perdarahan
banyak yang berujung pada anemia.
b) Komplikasi lanjut
Komplikasi yang dapat ditimbulkan setelah fraktur dalam waktu lama antara
lain kontraktur, disuse athropy, malunion, serta gangguan pertumbuhan.
2.1.6
Penatalaksanaan
Adapun prinsip penatalaksanaan fraktur adalah sebagai berikut:
1. Rekognisi
Prinsip utama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis,
pemeriksaan klinis, dan radiologi. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan
lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk
penatalaksanaan, serta komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah
pengobatan.
2. Reduksi
4
Reduksi fraktur adalah mengembalikan fungsi normal dan mencegah
komplikasi seperti kekakuan, deformitas, dan perubahan osteoartritis di
kemudian hari.
3. Retensi
Retensi adalah metode yang dilaksanakan untuk mempertahankan fragmenfragmen tulang selama masa penyembuhan dengan cara imobilisasi.
4. Rehabilitasi
Rehabilitasi
dilaksanakan
untuk
mengembalikan
aktifitas
fungsional
semaksimal mungkin.
Untuk mempertahankan imobilisasi dalam fraktur, setelah dilakukan
reduksi, fragmen tulang harus dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang
benar sampai terjadi penyatuan. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain:4,7
a) Open Reduction and External Fixation (OREF)
Tindakan ini merupakan pilihan bagi sebagian besar fraktur. Fiksasi eksternal
dapat menggunakan konselosa screw, metil metakrilat, atau dengan jenis lain
seperti gips.
b) Open Reduction and Internal Fixation (ORIF)
ORIF akan mempertahankan posisi tulang yang fraktur dengan melakukan
pembedahan untuk memasukkan paku, sekrup, atau pen ke dalam tempat
fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian tulang pada fraktur secara bersamaan. 7
Indikasi dilakukannya ORIF antara lain:
- Fraktur yang tidak bisa sembuh dan bahaya nekrosis avaskulernya tinggi
- Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup misalnya fraktur dislokasi
- Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan misalnya fraktur
antebrachii dan fraktur femur
- Fraktur yang memberikan hasil baik dengan operasi
5
Gambar 2. ORIF dengan pemasangan plate dan screw pada fraktur antebrachii
(kiri) dan fraktur femur (kanan)4,7
Pada pasien dengan fraktur femur dengan reposisi atau operasi fiksasi
eksternal atau internal dan reduksi terbuka dislokasi, patah tulang paha, lutut,
kruris dan tulang kaki ada beberapa masalah anestesi dan reanimasi yang harus
diperhatikan, antara lain:1,5
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Posisi miring pada tulang paha
Perdarahan luka operasi (pada patah tulang multiple
Operasi berlangsung lama (pada patah tulang multiple)
Kerusakan jaringan lunak
Nyeri yang hebat
Pada beberapa kasus operasinya bersifat darurat
Bahaya emboli lemak pada patah tulang panjang.
Sedangkan pada kasus pasien dengan operasi eksternal atau internal dan
reduksi terbuka dislokasi atau patah tulang lengan dan klavikula, masalah anestesi
dan reanimasi adalah posisi miring.1
2.2 Manajemen Perioperatif pada Pasien Fraktur
2.2.1
Evaluasi Pra Anestesi
Evaluasi pra anestesi adalah langkah awal dari rangkaian tindakan anestesi
yang bertujuan untuk mengetahui status fisik pasien prabedah dan menganalisa
jenis operasi sehingga dapat memilih jenis atau teknik anestesi yang sesuai, juga
dapat meramalkan penyulit yang akan terjadi selama operasi dan atau pasca bedah
dan kemudian mempersiapkan obat atau alat untuk menanggulangi penyulit
tersebut.2 Tatalaksana evaluasi praanestesi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ
vital dan penentuan status fisik pasien praanestesi.5 Hal ini dilakukan untuk
menegakkan diagnosis sehingga persiapan pasien dapat dilakukan sesegera
mungkin. Yang harus diperhatikan pada anamnesis adalah identifikasi pasien,
riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita misalnya gangguan faal
hemostatis, penyakit saraf otot, infeksi di daerah lumbal, syok, anemia, dan
kelainan tulang belakang, riwayat obat-obatan yang sedang atau telah digunakan,
riwayat operasi dan anestesia yang pernah dialami diwaktu yang lalu, serta
kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi
6
seperti merokok. Pemeriksaaan fisik rutin meliputi pemeriksaan tinggi, berat, suhu
badan, keadaan umum, kesadaran umum, tanda-tanda anemia, tekanan darah, nadi
dan lain-lain. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada pasien fraktur
adalah pemeriksaan darah (Hb, leukosit, golongan darah, faal hemostasis), foto
polos AP/ lateral pada bagian yang dicurigai fraktur, foto polos toraks, dan EKG.
Gangguan elektrolit dan abnormalitas dari faktor koagulasi harus dikoreksi
terlebih dahulu.1,2,5
Berdasarkan hasil pemeriksaan praanestesia tersebut maka dapat
disimpulkan status fisik pasien praanestesia. American Society of Anesthesiologist
(ASA) membuat klasifikasi status fisik praanestesia menjadi 5 kelas, yaitu :1,5
ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik
ASA 2 : pasien penyakit bedah dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang
dan tidak ada gangguan aktivitas rutin.
ASA 3 : pasien penyakit bedah disertai penyakit sistemik berat sehingga aktivitas
rutin terbatas tetapi tidak mengancam nyawa
ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai penyakit sistemik berat dan pasien tidak
dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai penyakit sistemik berat yang sudah
tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi atau tidak dalam 24 jam pasien
akan meninggal.
Apabila tindakan pembedahannya dilakukan secara darurat maka dicantumkan
tanda E (emergency) di belakang angka.
2.2.2
Persiapan Pra Anestesi
Persiapan praanestesi adalah mempersiapkan pasien baik psikis maupun
fisik agar pasien siap dan optimal untuk menjalani prosedur anestesi dan
diagnostik atau pembedahan yang direncanakan sesuai hasil evaluasi praanestesi,
persiapan juga mencakup surat persetujuan tindakan medis. Sebagai seorang ahli
anestesi yang menjadi perhatian utama pada pasien dengan peritonitis adalah
memperbaiki keadaan umum pasien sebelum diambilnya tindakan operasi..
Tindakan mencakup airway, breathing dan circulation. Oksigenisasi, terapi cairan,
vasopresor/inotropik dan transfusi bila diperlukan. Pemasangan infus bertujuan
7
untuk mengganti defisit cairan selama puasa dan mengkoreksi defisit cairan
prabedah, sebagai fasilitas vena terbuka untuk memasukan obat-obatan selama
operasi dan sebagai fasilitas transfusi darah, memberikan cairan pemeliharaan,
serta mengkoreksi defisit atau kehilangan cairan selama operasi. Berikut adalah
tujuan dari terapi cairan, yaitu mengganti cairan dan kalori yang dialami pasien
prabedah akibat puasa, fasilitas vena terbuka bahkan untuk koreksi defisit akibat
hipovolemik atau dehidrasi.1,2,3,5 Cairan yang digunakan adalah:
- Untuk mengganti puasa diberikan cairan pemeliharaan
- Untuk koreksi defisit puasa atau dehidrasi berikan cairan kristaloid.
- Perdarahan akut berikan cairan kristaloid + koloid atau transfusi darah
Pedoman koreksinya sebagai berikut :
- Hitung kebutuhan cairan perhari (perjam)
- Hitung defisit puasa (lama puasa) atau dehidrasi (derajat dehidrasi)
- Jam pertama setelah infus terpasang berikan 50% defisit + cairan
pemeliharaan/jam
- Pada jam ke dua, diberikan 25% defisit + cairan pemeliharaan per jam.
- Pada jam ke tiga, diberikan 25% defisit + cairan pemeliharaan per jam.
Pasien
sebaiknya
menggunakan
kateter
foley
untuk
memonitor
pengeluaran urin. Untuk pasien yang sangat berat dapat digunakan monitor
hemodinamik untuk melihat kebutuhan resusitasi dan suport inotropik. Persiapkan
analgesia yang cukup dengan segera jika mampu dilakukan. Selain persiapan
fisik, psikologis pasien juga harus diperhatikan sebelum tindakan operatif.
Persiapan psikologis adalah persiapan farmakologis penting untuk anestesia dan
pembedahan.
Persiapan di kamar operasi meliputi persiapan meja operasi, mesin
anestesi, alat resusitasi, obat resusitasi, obat anestesi, tiang infus, alat pantau
kondisi pasien, kartu catatan medik anestesi, serta selimut penghangat khusus
untuk bayi dan orangtua.
Pada pasien fraktur multipel harus ada persiapan khusus misalnya koreksi
gangguan fungsi organ yang mengancam, penanggulangan nyeri, serta persiapan
transfusi darah.7
8
2.2.3 Premedikasi
Premedikasi adalah tindakan pemberian obat-obatan pendahuluan dalam
rangka pelaksanaan anestesi dengan tujuan : meredakan kecemasan dan ketakutan,
memperlancar induksi anestesi, mengurangi sekresi kelenjar, meminimalkan
jumlah obat anestetik, serta mengurangi mual-muntah pasca bedah. Premedikasi
dapat diberikan secara suntikan intramuskuler (diberikan 30-45 menit sebelum
induksi anestesia) atau secara suntikan intravena (diberikan 5-10 menit sebelum
induksi anestesi). Obat-obatan yang digunakan untuk premedikasi adalah obat
antikolinergik, obat sedatif, dan obat analgetik narkotik. Pemberian obat golongan
antikolinergik, contohnya sulfas atropin, bertujuan untuk mengurangi sekresi
kelenjar (saliva, saluran nafas, dan saluran cerna), mengurangi motilitas usus,
mencegah spasme laring dan bronkus, mencegah bradikardi, dan melawan efek
depresi narkotik terhadap pusat nafas. Pemberian obat golongan sedatif,
contohnya midazolam, bertujuan untuk memberikan rasa nyaman bagi pasien
prabedah, bebas dari rasa cemas dan takut.1,2,7
2.2.4
Manajemen intraoperatif
Pilihan anestesia-anelgesia yang akan diberikan kepada pasien yang akan
menjalani pembedahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya umur, jenis
kelamin, status fisik, jenis operasi, keterampilan dan fasilitas yang tersedia, serta
permintaan pasien. Dalam praktek anestesi, ada 3 jenis anestesia-analgesia yang
diberikan pada pasien yang akan menjalani pembedahan, yaitu anestesia umum,
analgesia regional dan analgesia lokal. Menentukan teknik anestesi harus didasari
oleh 4 hal, yaitu lokasi operasi, posisi pasien saat operasi, manipulasi yang
dilakukan, serta durasi. Anestesi umum paling sering digunakan untuk operasi
pada fraktur multipel.1,7
Induksi dicapai dengan agen intravena diikuti intubasi trakea difasilitasi
oleh perelaksasi otot. Induksi pada anestesia umum dapat dilakukan dengan obat
anestetik intravena kerja cepat (rapid acting). Pada pasien dengan hipotensi,
pemilihan induksi anestesia adalah bagian yang penting karena hampir sebagian
besar obat yang digunakan untuk induksi dapat menurunkan tekanan darah.
Pemberian ketamin hidroklorida (ketalar) dapat dipertimbangkan karena bersifat
9
simpatomimetik sehingga menyebabkan ketalar dapat meningkatkan darah dan
denyut jantung. Peningkatan tekanan darah disebabkan oleh karena efek inotropik
positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Perelaksasi otot memiliki
peranan penting dalam mengurangi pergerakan pada lapangan operasi.1
Anestesia dapat dipertahankan dengan dosis intermiten atau melalui infus
yang berlanjut, dengan agen intravena.seperti thiopental, propofol dan opioid.dan
dikombinasi dengan NO2. Anestesi halogen (halotan, enfluran, isofluran) adalah
obat yang paling sering dipakai. Obat-obatan tersebut dapat mengontrol refleks
hemodinamik. Akan tetapi, isofluran dan enfluran menjaga aliran darah hepar dan
intestinal
lebih
baik
dibandingkan
halotan.
Sevofluran
dapat
juga
dipertimbangkan karena memiliki efek yang mirip dengan isofluran, efek
kardiovaskular cukup stabil dan belum ada laporan toksik terhadap hepar.
Walaupun halonated agent dikombinasikan dengan perelaksasi otot dapat
membuat kondisi anestesi yang baik saat operasi abdomen, obat-obat ini sering
digunakan dengan kombinasi N2O dan opioid. N2O dapat digunakan pada
permulaan operasi untuk memastikan status anestesi ketika efek agen intravena
telah menghilang. Penggunaan N2O juga dapat menurunkan konsentrasi
halonated agent sekitar 50% dan mempercepat pulihnya kesadaran pasien,
sehingga digunakan untuk pemeliharaan.2,7
Untuk terapi nyeri pasien intraoperatif dapat digunakan golongan opioid.
Golongan opioid ini bermanfaat pada intraoperatif maupun post-operatif obat
yang paling populer saat ini adalah fentanyl. Fentanyl mempunyai efek analgesia
yang kuat, bersifat depresan terhadap susunan saraf pusat, tidak berefek pada
sistem kardiovaskular dan berefek menekan respon sistem hormonal dan
metabolik akibat stres anestesia dan pembedahan, sehingga kadar hormaon
katabolik dalam darah tetap stabil.1
Terapi cairan durante operasi juga perlu mendapat perhatian dengan
perhitungan yang tepat dan cermat. Tujuan terapi cairan durante operasi yaitu
untuk fasilitas vena terbuka, koreksi kehilangan cairan melalui luka operasi,
mengganti pedarahan dan mengganti cairan yang hilang melalui organ ekskresi.
Cairan yang digunakan adalah cairan pengganti, bisa kristaloid dan koloid atau
transfusi darah. Pedoman koreksinya adalah sebagai berikut:1,2,3
10

Mengikuti pedoman terapi cairan prabedah

Berikan tambahan cairan sesuai dengan jumlah perdarahan yang terjadi
ditambah dengan koreksi cairan sesuai dengan perhitungan cairan yang hilang
berdasarkan jenis operasi yang dilakukan, dengan asumsi :
- Operasi besar
: 6 – 8 ml/kgbb/jam
- Operasi sedang : 4 - 6 ml/kgbb/jam
- Operasi kecil

: 2 - 4 ml/kgbb/jam
Koreksi perdarahan selama operasi :

Dewasa :
- Perdarahan > 20% dari perkiraan volume darah = transfusi
- Perdarahan <20% dari perkiraan volume darah = berikan kristaloid
sebanyak 2 - 3 x jumlah perdarahan atau koloid yang jumlahnya sama
dengan perkiraan jumlah perdarahan atau campuran kristaloid + koloid.
 Bayi dan anak :
- Perdarahan > 10% dari perkiraan volume darah = transfusi
- Perdarahan <10% dari perkiraan volume darah = berikan kristaloid
sebanyak 2 - 3 x jumlah perdarahan atau koloid yang jumlahnya sama
dengan perkiraan jumlah perdarahan atau campuran kristaloid + koloid.

Jumlah perdarahan selama operasi dihitung berdasarkan :
- Jumlah darah yang tertampung di dalam botol penampung
- Tambahan berat kasa yang digunakan ( 1 gram = 1 ml darah)
- Ditambah dengan faktor koreksi sebesar 25% x jumlah yang terukur +
terhitung (jumlah darah yang tercecer
dan melekat pada kain penutup
lapangan operasi)
Operasi yang invasif dan melibatkan struktur yang kaya pembuluh darah
memiliki risiko yang lebih besar terhadap terjadinya perdarahan intraoperatif,
misalnya operasi laparotomi dan operasi patah tulang paha. Maka dari itu penting
untuk mempersiapkan transfusi darah pra operatif. Pasien dengan anemia yang
terjadi sebelum operasi harus lebih diwaspadai. Pasien dikatakan anemia jika
terdapat keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin yang beredar
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh.
Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar
11
hemoglobin, hitung eritrosit, dan hematokrit. 10 Cut off point yang umum dipakai
adalah kriteria WHO 1968 sebagai berikut: laki-laki dewasa Hb < 13 g/dl;
perempuan dewasa tak hamil < 12 g/dl; perempuan hamil < 11 g/dl; anak umur 614 tahun < 12 g/dl; anak 6 bulan-6 tahun < 11 g/dl. Derajat anemia adalah sebagai
berikut: ringan sekali Hb 10 g/dl – cut off point; ringan Hb 8 g/dl – 9,9 g/dl;
sedang 6 g/dl – 7,9 g/dl; dan berat Hb < 6 g/dl. Anemia salah satunya disebabkan
oleh perdarahan akut, termasuk perdarahan intraoperatif. Transfusi darah dapat
diberikan dengan tujuan mengganti volume darah yang hilang selama operasi dan
koreksi terhadap faktor pembekuan. Indikasi diberikannya transfusi intra operatif
antara lain jika volume darah yang tersisa tidak cukup mengisi intra vaskular,
yaitu perdarahan >20% pada orang dewasa dan >10% pada bayi dan anak, jika
oksigenasi tidak adekuat, atau terdapat defek faal hemostasis. Satu unit sel darah
merah sel akan meningkatkan hemoglobin 1 g/dL dan hematocrit 2-3% pada
orang dewasa. Darah untuk transfusi intraoperatif harus dihangatkan sampai 37°C
terutama jika lebih dari 2-3 unit yang akan ditransfusi untuk mencegah terjadinya
hipotermia.7,10
2.2.5
Tatalaksana Pasca Anestesia
Pasca anestesia dimulai setelah pembedahan dan anestesia diakhiri sampai
pasien pulih dari pengaruh anestesia.2,7
a) Risiko Pasca Anestesia
Berdasarkan masalah-masalah yang akan dijumpai pasca anestesia/bedah
maka pasien dibagi menjadi 3 kelompok:2,3
1. Kelompok I
Pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami gangguan pernafasan
dan kardiovaskular pasca anestesia/bedah sehingga pasien tersebut
langsung dirawat di Unit Terapi Intensif pasca anestesia/bedah tanpa
menunggu pemulihan di ruang pulih.
2. Kelompok II
Mayoritas pasien pasca anestesia/bedah termasuk dalam kelompok ini.
Tujuan perawatan pasca anestesia/bedah adalah menjamin agar pasien
secepatnya mampu mempertahankan respirasinya.
12
3. Kelompok III
Kelompok pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat jalan.
Pasien pada kelompok ini harus mempunyai respirasi yang adekuat dan
bebas dari rasa mengantuk, ataksia, nyeri serta kelemahan otot sehingga
pasien dapat pulang.
b)
Ruang Pulih
Ruang pulih adalah ruangan khusus pasca anestesia/bedah yang berada di
kompleks
kamar
operasi.
Perawatan
di
ruang
pulih
bertujuan
untuk
mempertahankan kestabilan sistem respirasi dan sirkulasi serta melakukan
pemantauan dan penanggulangan kedaruratan medik yang terjadi. Secara garis
besar pemantauan dan penanggulangan kedaruratan medik meliputi kesadaran,
respirasi, sirkulasi, fungsi ginjal dan saluran kencing, fungsi saluran cerna,
aktivitas motorik, suhu tubuh, nyeri, dan posisi pasien.
Kriteria pengeluaran pasien dari ruang pulih mempergunakan Skor Aldrete
seperti yang terlihat pada tabel 1. Nilai minimal untuk pengiriman pasien adalah
7-8 dengan catatan nilai kesadaran boleh 1 dan aktivitas bisa 1 atau 0, sedangkan
yang lainnya harus 2.2,3,7
Tabel 1. Skor Aldrete Pasca Anestesia7
Objek
Aktivitas
Kriteria
 Mampu menggerakkan empat ekstremitas
Nilai
2
 Mampu mengerakkan dua ekstremitas
1
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas
 Mampu nafas dan batuk
0
 Sesak atau pernafasan terbatas
1
0
Tekanan
 Henti nafas
 Berubah sampai 20% dari pra bedah
Darah
 Berubah 20%-50% dari pra bedah
1
0
Kesadaran
 Berubah >50% dari pra bedah
 Sadar baik dan orientasi baik
 Sadar setelah dipanggil
1
 Tak ada tanggapan terhadap rangsang
0
Respirasi
2
2
2
13
Warna Kulit
c)
 Kemerahan
2
 Pucat agak suram
1
 Sianosis
0
Pengelolaan Nyeri Post Operasi
Suatu luka operasi dapat menimbulkan nyeri pada pasien, maka
penanganan nyeri pasca operasi perlu diperhatikan. Penanganan nyeri tidak hanya
faktor kemanusiaan, tetapi dengan mengatasi nyeri pasca operasi dapat
meningkatkan fisiologi tubuh untuk proses penyembuhan, mempercepat
perawatan pasca operasi dan mencegah terjadinya sindrom nyeri kronis.
Penanganan nyeri pasca operasi bersifat individu. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi respon nyeri, yaitu lokasi operasi, jenis kelamin, umur pasien,
kepribadian, pengalaman pembedahan sebelumnya, dan motivasi pasien untuk
sembuh. Manajemen nyeri pasca operasi sebagai berikut:7,9
a.
Analgesik narkotik :
- Keuntungan : efek analgesia, sedasi, peningkatan mood, menekan batuk
- Efek samping: gatal, mual, muntah, disforia, sedasi, retensi urine, depresi
napas
- Dapat digunakan dalam metode PCA (patient–controlled analgesia) dimana
pasien dapat menggunakan sendiri opioid IV atau kadang-kadang epidural
untuk memperoleh analgesia maksimal dan efek samping minimal. Teknik
ini membantu pasien mempertahankan minimal efective analgesic
concentration (MEAC), dibawah tingkat nyeri yang dirasakan. Pasien akan
lebih tenang karena merasa pengobatannya akan terus terpenuhi
- Dapat pula digunakan dalam metode terapi narkotik perispinal yang
menempatkan opioid di dekat lokasi kerja medula spinalis. Opioid akan
menghambat neuron pre dan post sinaptik di kornu dorsalis diperoleh efek
analgesia yang lebih lama dan kuat. Pemberian secara epidural kini lebih
sering dibanding subarakhnoid karena kateternya dapat digunakan untuk
anestesia, dapat menjangkau tiap segmen medula spinalis, dan efek samping
yang lebih rendah. Narkotik perispinal digunakan bersama dengan obat
14
anestetik lokal supaya dapat memakai dosis lebih kecil dan dapat
menanggulangi nyeri lewat mekanisme kerja yang berbeda
b.
Teknik analgesia regional
- Kelebihan : pasien lebih tenang ketika sadar, respon stress, dan windup lebih
rendah, kebutuhan akan opioid lebih sedikit, mobilisasi lebih cepat
- Kerugian : efek samping blok sensoris atau motoris, harus selalu diulang dan
dipantau, jarang orang yang dapat melakukannya, membutuhkan peralatan
tambahan seperti kateter epidural.
c.
Analgesia non narkotik
-
Agonis-antagonis narkotik : memiliki potensi serupa opioid namun kurang
mendepresi napas
-
Obat anti inflamasi non steroid (NSAID) : digunakan untuk pasien dengan
inflamasi sebagai penyebab nyerinya. Dapat menyebabkan gangguan ginjal,
fungsi platelet, dan perdarahan saluran cerna.
-
Obat adjuvan : untuk mengurangi dosis opiat yaitu anti ansietas (mengurangi
agitasi), anti histamin (efek sedasi), dan fenotiazin (meningkatkan potensiasi
opioid)
Gambar 3. Algoritma penanganan nyeri post operasi9
Tabel 2. Jenis analgetik untuk nyeri post operasi9
15
Non-opioid
Parasetamol
analgetik
NSAID
Opioid lemah
Gabapentin, pregabalin
Kodein
Tramadol
Opioid kuat
Parasetamol dikombinasi dengan kodein atau tramadol
Morfin
Fentanyl
Adjuvant
Pethidine
Ketamin
Klonidin
Modulasi sensoris, didasarkan bahwa hiperstimulasi sistem saraf akan
d.
menarik pesan nyeri yang ke SSP sehingga mencegah jalur fisiologis
selanjutnya dengan berbagai cara antara lain:
-
Pijat : dapat menenangkan pasien, mengurangi nyeri dan spasme otot
-
TENS : noninvasif, tidak mempengaruhi terapi lainnya, dan pasien
terkontrol
-
Akupunktur
-
Pemberian hawa panas dan dingin bergantian
e.
Teknik psikologis atau pengaturan diri sendiri
-
Penjelasan dan informasi kepada pasien dan keluarga sehingga pasien
mengerti apa yang dihadapi dan kemungkinan yang dapat terjadi
-
Hipnosis : memfokuskan perhatian yang dapat dilakukan oleh berbagai
orang dalam situasi berbeda. Meskipun butuh waktu, dapat memberikan efek
analgesik dan anxiolitik.9
16
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Evaluasi Pra Anestesia
3.1.1 Identitas
Nama
: PAR
Umur
: 41 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Suku
: Bali
Agama
: Hindu
Bangsa
: Indonesia
Alamat
: Dusun Lebu Desa Lokasari Sidemen Karangasem
Status
: Menikah
Pekerjaan
: Buruh
No CM
: 01.57.85.87
Diagnosis Bedah
: CF Antebrachii Dekstra 1/3 Tengah Post LAC + CF Shaft
Femur Sinistra 1/3 Tengah Segmental
Tindakan
: ORIF P-S
Tanggal Operasi
: 9 Agustus 2012
3.1.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri pada lengan kanan dan paha kiri setelah mengalami
kecelakaan lalu lintas.
Perjalanan Penyakit :
Pasien rawat inap di Ruang Angsoka I kamar 103.5 RSUP Sanglah. Pasien masuk
rumah sakit pada tanggal 1 Agustus 2012. Pasien datang dalam keadaan sadar
dengan keluhan utama nyeri pada lengan kanan dan paha kiri setelah mengalami
kecelakaan lalu lintas. MOI: Pasien diserempet mobil (taksi) dari sebelah kanan
pasien saat mengendarai sepeda motor sehingga pasien jatuh ke arah kiri. Pasien
menyangkal adanya pusing, muntah, dan pandangan kabur, serta mengatakan
tidak pernah mengalami penurunan kesadaran atau pingsan. Saat ini, tanggal 8
17
Agustus 2012, pasien mengatakan bahwa nyeri pada lengan kanan dan paha kiri
sudah berkurang. Makan dan minum baik.
Riwayat penyakit sistemik
: tidak ada
Riwayat operasi/anestesi sebelumnya: tidak ada
Riwayat alergi obat/makanan
: tidak ada
Riwayat merokok/minum alkohol
: tidak ada
Riwayat pemakaian obat di ruangan:
Ciprofloxacin 2 x 500 mg (1/8/2012-7/8/2012)
Asam mefenamat 3 x 500 mg (1/8/2012-8/8/2012)
3.1.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present:
Kesadaran
: Compos mentis (E4 V5 M6)
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 88 x/menit
Respirasi
: 18 x/menit
Suhu aksilla
: 36,8 º C
Berat badan
: 56 kg
Tinggi badan
: 162 cm
BMI
: 21,33 kg/m2
VAS
: 20-30 mm
Pemeriksaan Fisik Umum:
Sistem saraf pusat : Kesadaran: Compos Mentis, GCS E4V5M6.
RP +/+ 3/3 mm, isokor
Respirasi
: RR 22x/menit
Suara nafas Vesikuler +/+ Rhonki -/-, Wheezing -/Mallampati II, jarak tiromental 4 jari, buka mulut 4 jari
Kardiovaskular
: Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88x/menit
S1S2 tunggal reguler murmur (-)
Gastrointestinal
: Distensi (-), bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)
Urogenital
: BAK normal
18
Hematologi
: anemis (-)
Muskuloskeletal
: Fleksi/defleksi
leher
dalam
batas
normal,
jarak
interspinosum vertebra tidak dapat dievaluasi, gigi ompong
(+) molar I atas kanan dan kiri, gigi goyang (+) seri depan
atas, gigi palsu (-)
Status Lokalis:
Regio antebrachii dekstra
Look: LAC (+), edema distal (-)
Feel:
AVN distal (+) normal, CRT < 2 detik
Move: ROM shoulder dan finger (+) normal
Regio femur sinistra
Look: Skin traksi (+) beban 5 kg
Feel:
Nyeri tekan (+), AVN distal (+) normal, arteri dorsalis pedis (+)
CRT < 2 detik
Move: ROM ankle dan toes (+) normal
3.1.4 Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap (1 Agustus 2012 jam 19:44)
- WBC
: 10,59 x 103/uL
- RBC
: 4,31 x 106/uL (rendah)
- HGB
: 12,10 g/dL (rendah)
- HCT
: 35,30 % (rendah)
- MCV
: 81,90 fL
- PLT
: 184,40 x 103/uL
Hasil Pemeriksaam Kimia Darah (1 Agustus 2012 jam 19:44)
- SGOT
: 132,40 U/L (tinggi)
- SGPT
: 49,76 U/L
- Albumin : 3,879 g/dl
- BUN
: 10,78 mg/dL
- SC
: 0,692 mg/dL
- GDS
: 140,40 mg/dL
- Natrium
: 132,20 mmol/L (rendah)
19
- Kalium
: 3,663 mmol/L
Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap (8 Agustus 2012 jam 17:49)
- WBC
: 8,73 x 103/uL
- RBC
: 3,54 x 106/uL (rendah)
- HGB
: 10,00 g/dL (rendah)
- HCT
: 29,30 % (rendah)
- MCV
: 82,80 fL
- PLT
: 295,10 x 103/uL
Hasil Pemeriksaam Kimia Darah (8 Agustus 2012 jam 17:49)
- SGOT
: 74,77 U/L (tinggi)
- SGPT
: 44,25 U/L
- Albumin : 3,563 g/dl
- BUN
: 12,94 mg/dL
- SC
: 0,67 mg/dL
- GDS
: 130,30 mg/dL (70-140)
- Natrium
: 131,30 mmol/L (rendah)
- Kalium
: 4,331 mmol/L
Foto polos ekstremitas: Fraktur radius dan ulna 1/3 tengah dan fraktur shaft femur
1/3 tengah segmental.
Foto polos thorax: Cor dan pulmo dalam batas normal, CTR 48%
EKG: Normal Sinus Rhytm, HR : 92 x/menit, Axis normal, ST-T change (-).
Kesan normal EKG
3.1.5 Diagnosis
CF Antebrachii Dekstra 1/3 Tengah Post LAC + CF Shaft Femur Sinistra 1/3
Tengah Segmental
Kesimpulan : Status fisik ASA 2 dengan penyulit anemia
3.2. Persiapan Pra Anestesia
3.2.1 Persiapan Rutin Sebelum Operasi
1. Persiapan psikis: memberi penjelasan kepada pasien dan keluarganya mengenai
tindakan anestesia dan pembedahan yang akan dilakukan.
20
2. Persiapan fisik: puasa 8 jam sebelum operasi, minum air putih non partikel
diperbolehkan sampai 3 jam sebelum operasi, dan melepaskan segala macam
perhiasan dan aksesoris
3. Membuat surat persetujuan tindakan medis.
3.2.2 Persiapan di Ruang Persiapan Instalasi Bedah Sentral
1. Memeriksa kembali identitas pasien dan surat persetujuan tindakan medis.
2. Pemasangan IV line tambahan di kaki kanan
3. Evaluasi ulang status present pasien :
- Tekanan darah: 110/80 mmHg
- Nadi: 96 x/menit
- Respirasi: 20 x/menit
4. Pemberian premedikasi IV
- Ketorolac 30 mg
- Ondansetron 4 mg
- Midazolam 1,5 mg
- Ketamin 10 mg
3.2.3 Persiapan di Kamar Operasi
1. Persiapan mesin anestesi dan sistem aliran gas dan cadangan volatile agent
2. Persiapan obat dan alat anestesi yang digunakan
3. Persiapan alat-alat, obat resusitasi, PRC
5. Menyiapkan penderita di meja operasi, memasang alat pantau tekanan darah,
EKG, tiang infus, pulse oxymetri
6. Evaluasi ulang status present pasien :
- Tekanan darah: 110/80 mmHg
- Nadi: 92 x/menit
- Respirasi: 20 x/menit
3.3 Pengelolaan Anestesia
1. Jenis anestesia: General Anestesi – Oro Tracheal Tube
2. Teknik anestesi:
21
- Pasien posisi supinasi, pasang monitor
- Preoksigenasi dengan O2 100 % 8 lpm selama 3-5 menit
- Induksi dengan propofol 120 mg, koinduksi dengan fentanyl 100 mcg,
fasilitas intubasi dengan atracurium 30 mg dan lidocain intratrakeal 80 mg
- Laringoskopi, intubasi dengan PET no 7,5 Cuff (+) kinking, level di bibir
19.
- Maintenance dengan O2 2 lpm, gas N2O 2 lpm, dan gas isoflurane 1,2 %.
3. Respirasi: kendali
4. Posisi operasi: supinasi
5. Infus: kristaloid (ringer laktat) pada dorsum manus sinistra dan dorsum pedis
dekstra G-18
6. Kronologis Anestesia
- Pukul 07.40 : pasien datang di ruang persiapan
- Pukul 08.00 : premedikasi
- Pukul 08.15 : pasien masuk ke ruang operasi
- Pukul 8.25
: induksi
- Pukul 8.30
: intubasi
- Pukul 09.25 : operasi mulai
- Pukul 13.00 : operasi selesai
- Pukul 13.15 : ekstubasi
- Pukul 13.25 : pasien keluar kamar operasi
7. Komplikasi selama anesthesia: tidak ada
8. Lama Operasi: 3 jam 35 menit
9. Lama Anestesia: 3 jam 55 menit
10. Pemeriksaan darah lengkap durante operasi (9 Agustus 2012 jam 11:05)
- WBC
: 8,56 x 103/uL
- RBC
: 1,95 x 106/uL (rendah)
- HGB
: 5,40 g/dL (rendah)
- HCT
: 16,00 % (rendah)
- PLT
: 215,70 x 103/uL
11. Keadaan akhir pembedahan
:
- Tekanan darah: 116/75 mmHg
22
- Nadi: 94 x/menit
- RR: 18 x/menit
12. Rekapitulasi cairan (puasa 8 jam, berat badan 56 Kg)
- Kebutuhan cairan basal : (4x10)+(2x10)+36 = 96 mL/jam
- Defisit cairan puasa
: 96 ml/jam x 8 jam = 768 ml
- Sekuester
: 6 x 56 kg = 336 ml
- EBV
: 75 x 56 kg = 4200 ml
- ABL
: 20 % x 4200 ml = 840 ml
- Kebutuhan cairan jam I
: (50% x 768) + 96 + 336 = 816 ml
- Kebutuhan cairan jam ke II
: (25% x 768)+96+336+400 =1024 ml
- Kebutuhan cairan jam ke III
: (25% x 768)+96+336+1000 = 1624 ml
- Jumlah cairan masuk
: kristaloid 3600 ml, koloid 500 ml
- Transfusi PRC 2 kolf durante operasi
13. Jumlah medikasi
- Ketorolac 30 mg
- Ondansetron 4 mg
- Midazolam 1,5 mg
- Ketamin 10 mg
- Fentanyl 200 mcg
- Propofol 120 mg
- Atracurium 50 mg
- Furosemid 10 mg
3.4 Pengelolaan Pasca Bedah
1. Pasien dikeluarkan dari ruang operasi :
Bedah Orthopedi:
S:
Keluhan nyeri (+)
O: Keadaan umum baik, anemis -/Status lokalis femur sinistra:
Look: Dressing baik, tidak basah, drain (+)
Feel: AVN distal normal
Move: ROM distal normal
23
A: Post ORIF P-S Femur Sinistra, Radius Ulna Dekstra
P:
Instruksi post operasi:
Observasi tanda vital dan tanda perdarahan
Elevasi tungkai kiri dan lengan kanan
Mobilisasi duduk, ROM exercise, diet bebas TKTP
Ceftriaxon 2 x 1 gram, analgesi sesuai TS Anestesi
Rontgen dan darah lengkap post operasi, transfusi PRC bila Hb < 10
Rawat luka 2 hari lagi
Anestesi:
S:
Mual (-), muntah (-)
O: Kesadaran compos mentis, tekanan darah 134/86 mmHg, nadi 86 x/menit,
VAS 0-10 mm, SaO2 99%
A: Post ORIF P-S Antebrachii Dekstra + Post ORIF P-S Femur Sinistra
P:
Analgetika post operasi: Fentanyl 400 mcg/24 jam via syringe pump,
Farmadol 3x1 gram IV
Cek Hb pasca transfusi 2 kolf di OK IBS, jika Hb < 10 g/dL, lakukan
transfusi PRC hingga Hb  10 g/dL
2. Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan tanggal 9/8/2012 pukul 13.25 wita
- Tekanan darah
: 112/80 mmHg
- Nadi
: 88 x/menit
- RR
: 18 x/menit
- Suhu
: 36,80C
SKOR ALDRETE
Keluar dari kamar operasi (Pkl 13.25)
TANDA
NILAI
Aktivitas
1
Respirasi
2
Sirkulasi
2
Kesadaran
2
Warna Kulit
2
JUMLAH
9
Dari IBS ke ruangan (13.45)
TANDA
NILAI
Aktivitas
2
Respirasi
2
Sirkulasi
2
Kesadaran
2
Warna Kulit
2
JUMLAH
10
3. Di ruang pemulihan, pasien diobservasi :
- Hemodinamik stabil
24
- Mual dan muntah tidak ada
- Nyeri tidak ada
4. Instruksi di ruangan
a. Analgesia post-operasi : Fentanyl 400 mcg/24 jam via syringe pump,
Farmadol 3 x 1 gram IV
b. Bila mual muntah : Ondancentron 3 x 4 mg IV
c. Antibiotika : Ceftriaxon 1 x 1 gram IV
d. Infus: RL balance
e. Minum : bila sadar dan terbebas dari pengaruh pembiusan
f. Kontrol kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi: setiap saat selama masih
dalam pengaruh pembiusan
3.5 Follow Up Pasien
Tanggal 10 Agustus 2012 jam 07.00 wita
S : keluhan nyeri post operasi (+)
O : Status Present:
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
RR : 18 x/menit
Tax : 36,50C
VAS: 0-10 mm
Status Lokalis:
Regio antebrachii dekstra:
Look: dressing kering, luka terawat, edema distal (-)
Feel: nyeri tekan (+), CRT < 2 detik
Move: ROM finger (+)
Regio femur sinistra:
Look: dressing kering, luka terawat, drain 200 cc
Feel: nyeri tekan (+), arteri dorsalis pedis (+) CRT < 2 detik
Move: ROM ankle dan toes (+)
Pemeriksaan darah lengkap:
WBC : 13,90 x 103/uL (tinggi)
25
RBC
: 2,85 x 106/uL (rendah)
HGB : 8,40 g/dL (rendah)
HCT
: 24,90 % (rendah)
PLT
: 322,00 x 103/uL
A : Post ORIF P-S ec CF Antebrachii Dekstra 1/3 Tengah, CF Femur Sinistra 1/3
Tengah Segmental
P : Dx: Rontgen femur dan antebrachii
Tx: Ceftriaxon 2 x 1 gram IV
Fentanyl 400 mcg/24 jam via syringe pump
Farmadol 3 x 1 gram IV
Elevasi tungkai, ROM exercise, Mobilisasi duduk
Transfusi PRC hingga Hb  10 gr/dL
Mx: Observasi vital sign, keluhan, produksi drain
26
BAB 4
PEMBAHASAN
Pada evaluasi praanestesi didapatkan identitas pasien laki-laki, 41 tahun,
Bali, Hindu, telah dirawat inap di Ruang Angsoka I kamar 103.5 RSUP Sanglah
sejak tanggal 1 Agustus 2012. Pasien datang ke RSUP Sanglah dalam keadaan
sadar dengan keluhan utama nyeri pada lengan kanan dan paha kiri setelah
mengalami kecelakaan lalu lintas pada 1 Agustus 2012. Pasien menyangkal
adanya pusing, muntah, dan pandangan kabur, serta mengatakan tidak pernah
mengalami penurunan kesadaran atau pingsan. Saat ini, tanggal 8 Agustus 2012,
pasien mengatakan bahwa nyeri pada lengan kanan dan paha kiri sudah
berkurang. Makan dan minum baik. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan
darah 120/80 mmHg, nadi 88x/menit reguler, respirasi 18 x/menit, suhu aksila
36,8º C, BMI 21,33 kg/m2. Pasien merasakan nyeri pada lengan kanan dan paha
kiri dengan VAS 20-30 mm. Keadaan umum pasien baik, tidak didapatkan mata
yang anemis, dan akral dirasakan hangat. Status lokalis regio antebrachii dekstra
terpasang LAC, tidak terdapat edema distal, AVN distal normal, CRT < 2 detik,
ROM bahu dan jari tangan normal, serta pada regio femur sinistra terpasang skin
traksi dengan beban 5 kg, adanya nyeri tekan, AVN distal normal, arteri dorsalis
pedis CRT < 2 detik, ROM pergelangan kaki dan jari kaki normal. Dari
pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 9,80 g/dL yang mengarah ke anemia.
Pemeriksaan foto polos menunjukkan adanya fraktur radius dan ulna 1/3 tengah
dan fraktur shaft femur 1/3 tengah segmental. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan laboratorium dan penunjang, pasien didiagnosa dengan CF
Antebrachii Dekstra 1/3 Tengah Post LAC + CF Shaft Femur Sinistra 1/3 Tengah
Segmental dengan penyulit berupa anemia, status fisik pasien tersebut adalah ASA
2 yaitu pasien penyakit bedah dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang.
Manajemen perioperatif yang dilakukan pada pasien ini antara lain
tatalaksana preoperatif yang meliputi evaluasi pra anestesia, persiapan pra
anesthesia, pemilihan anesthesia-anelgesia, tatalaksana intraoperatif, serta
tatalaksana postoperatif.
4.1 Tatalaksana Preoperatif
27
- Evaluasi preanestesi yang dikerjakan pada pasien ini mencakup anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pasien dengan kesadaran
compos mentis, keadaan umum baik, dengan keadaan hemodinamik yang
stabil yaitu tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 88x/menit reguler, serta
respirasi 18 x/menit. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 9,80 g/dL
yang mengarah ke anemia, walaupun pada pemeriksaan fisik tidak
ditemukan tanda anemia. Pasien ini akan menjalani prosedur ORIF P-S yang
merupakan operasi pembedahan invasif serta memakan waktu yang lama
sehingga risiko terjadinya perdarahan masif sangat besar sementara pasien
sudah mengalami kondisi kekurangan darah. Maka dari itu pada kasus ini
dilakukan persiapan Packed Red Cells (PRC) sebanyak 4 kolf.
- Persiapan fisik yang dilakukan adalah pemasangan kateter Foley dan infus.
Pemasangan kateter Foley dilakukan untuk memonitor produksi urin pasien
terkait status hemodinamiknya. Terapi cairan bertujuan untuk mengganti
cairan dan kalori yang dialami pasien prabedah akibat puasa, fasilitas vena
terbuka bahkan untuk koreksi defisit akibat dehidrasi. Cairan yang
digunakan untuk koreksi defisit puasa atau dehidrasi diberikan cairan
kristaloid. Pada pasien ini dipasang IV line tangan kanan kiri dan kaki
kanan, dengan kateter vena ukuran 18 Gauge. Ini sudah sesuai dengan teori
yang mengatakan untuk resusitasi cairan pada perdarahan, dalam kasus ini
adalah operasi yang berisiko perdarahan yang banyak, dapat dipasang 2 IVline dengan kateter vena berukuran besar untuk mempercepat penggantian
volume plasma.
- Premedikasi yang diberikan adalah ondansetron 4 mg, ketorolac 30 mg,
midazolam 1,5 mg, dan ketamin 10 mg. Secara teori ondansetron adalah
obat yang berfungsi sebagai antiemetik dan mencegah aspirasi lambung.
Ondansetron sendiri bekerja dengan memblokade hormon serotonin
sehingga dapat mengurangi mual dan muntah. Ketorolac merupakan NSAID
yang utamanya digunakan untuk analgesik. Obat ini merupakan analgesik
yang efektif dalam menanggulangi nyeri luka operasi. Ketorolac memiliki
waktu paruh 4-10 jam. Saat digunakan dengan opioid, ketorolac dapat
menurunkan kebutuhan dosis opioid sampai 25-50%. Ketamin merupakan
agen anestesi yang juga memiliki efek analgesik yang bekerja pada reseptor
28
NMDA dengan memblok neurotransmiter glutamat. Ketamin merupakan
obat lipofilik yang terdistribusi dengan cepat dengan onset kerja dan
pemulihan yang cepat. Pada pasien ini dosis yang digunakan yaitu 10 mg
yang sesuai dengan teori yaitu digunakan dosis rendah 0,1-0,25 mg/kgBB,
sehingga dosis yang dianjurkan adalah 5,6-14 mg. Penggunaan ketamin
dosis rendah (0,1-0,25 mg/kgBB) yang dikombinasi dengan anestesi
intravena dan inhalasi merupakan alternatif analgesik opioid untuk
menurunkan depresi pernafasan. Ketamin dapat menyebabkan efek samping
post operasi yaitu disorientasi, ilusi sensoris dan persepsi, serta mimpi
buruk. Midazolam dengan dosis 0.025–0.05 mg/kg yang diberikan sebelum
administrasi ketamin dapat menurunkan insiden efek samping tersebut. Pada
pasien ini diberikan midazolam 1,5 mg yang sesuai dengan teori yaitu
digunakan dosis 0.025–0.05 mg/kg, sehingga dosis yang dianjurkan adalah
1,4-2,8 mg. Midazolam juga merupakan obat yang paling sering digunakan
sebagai sedatif preoperatif. Penggunaan obat ini sebagai pengganti diazepam
karena tidak menimbulkan sakit saat diinjeksikan. Pasien akan mengantuk,
lebih tenang, dan mengalami anterograde amnesia yang berlangsung secara
singkat. Sesuai dalam literatur disebutkan bahwa premedikasi sangat penting
dalam tatalaksana perioperatif untuk mengurangi kecemasan.
4.2 Tatalaksana Intraoperatif
- Teknik anestesi yang digunakan adalah anestesia umum dengan pipa
endotrakeal. Hal ini didasarkan oleh prinsip ”4 Si”, antara lain lokasi
dilakukan pembedahan pada pasien ini adalah di regio lengan bawah dan
paha, posisi pasien saat operasi adalah posisi supinasi atau terlentang,
manipulasi yang dilakukan banyak dan membutuhkan relaksasi otot pasien,
dan operasi pembedahan kasus fraktur dengan pemasangan ORIF P-S lengan
bawah dan paha memakan waktu lama sekitar 3-4 jam. Dari prinsip tersebut
dapat disimpulkan bahwa teknik anestesi yang paling cocok dipergunakan
dalam operasi ini adalah anestesi umum dengan pemasangan pipa
endotrakeal dengan nafas kendali.
- Induksi yang digunakan pada operasi ini adalah propofol 120 mg. Sesuai
literatur, kecepatan onset sama dengan barbiturat intravena, masa pemulihan
29
lebih cepat, dan pasien dapat pulang berobat jalan lebih cepat setelah
pemberian propofol dengan efek residual yang minimal. Kelebihan lainnya
pasien merasa lebih nyaman pada periode paska bedah dibanding anestesi
intravena lainnya. Mual dan muntah paska bedah lebih jarang
karena
propofol mempunyai efek anti emetik. Propofol dapat digunakan untuk
induksi maupun pemeliharaan anestesi pada teknik anestesia intravena total
maupun anestesia imbang. Propofol memiliki efek depresi pada pengaturan
pernafasan sentral, penurunan tekanan darah selama induksi melalui proses
penurunan resistensi arteri perifer, serta memiliki efek inotropik negatif.
Propofol dapat dipilih pada pasien ini, karena pada pasien ini tidak ada
gangguan pada jantung, respirasi, serta tekanan darah juga normal. Rasa
sakit karena injeksi terjadi pada sebagian besar pasien ketika propofol
diinjeksikan ke dalam vena tangan yang kecil. Ketidaknyamanan ini dapat
dikurangi dengan memilih vena yang lebih besar atau dengan pemberian
lidokain 20-50 mg menggunakan lokasi injeksi yang sama seperti propofol
atau opioid kerja jangka pendek. Pada kasus ini pasien diberikan Fentanyl
100 mcg, sesuai dosis 1-2 mcg/kgBB yaitu 56-102 mg intravena. Fentanyl
merupakan golongan opioid yang onset kerjanya cepat dan masa kerjanya
pendek dengan efek analgetik dan sedatif. Fentanyl dosis rendah digunakan
sebagai pendukung anestesi sebagai agen analgetik perioperatif. Pada kasus
ini diberikan fentanyl 50 mg durante operasi sebanyak 2 kali.
- Pelumpuh otot yang digunakan pada operasi ini adalah atracurium.
Atracurium merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang digunakan
untuk relaksasi otot dan lapangan operasi selama pembedahan. Dosis yang
digunakan pada pasien ini sebanyak 30 mg dimana sesuai dengan dosis 0,50,6 mg/kgBB yaitu 28-33,6 mg. Durasi kerja atracurium adalah selama 2045 menit. Pada kasus ini atracurium diberikan sebanyak 2x durante operasi
untuk pemeliharaan dengan dosis masing-masing 10 mg, dimana sesuai
dengan dosis pemeliharaan 0,1-0,2 mg/kgBB yaitu 5,6-12 mg.
- Untuk pemeliharaan diberikan anestesi inhalasi O2:N2O 2:2 dengan Isofluran
1,2%. N2O diberikan karena mempunyai efek analgesia, akan tetapi tidak
mempunyai efek hipnotik. N2O mampu berdifusi ke dalam rongga-rongga
30
dalam tubuh sehingga bisa menimbulkan hipoksia-difusi apabila diberikan
tanpa kombinasi dengan oksigen. Oleh sebab itu, pemberian N2O selalu
dikombinasikan dengan O2 dengan perbandingan 70:30, 60:40, atau 50:50.
Akan tetapi kombinasi ini menyebabkan efek analgesik N2O cenderung
lemah sehingga dalam penggunaannya selalu dikombinasikan dengan obat
lain yang berkhasiat sesuai dengan target trias anestesia yang ingin dicapai.
Anestesi inhalasi juga meningkatkan efek blok neuromuskuler oleh
pelumpuh otot nondepolarisasi, dalam kasus ini adalah atracurium. Isofluran
merupakan anestesi inhalasi yang paling poten dalam meningkatkan efek
pelumpuh otot, antara lain dengan cara peningkatan aliran darah ke otot
akibat vasodilatasi yang mengakibatkan peningkatan fraksi pelumpuh otot
yang mencapai hubungan neuromuskuler, serta menurunkan sensitivitas
membran post sinaps terhadap depolarisasi.
- Terapi cairan yang digunakan selama operasi adalah terapi kombinasi antara
cairan kristaloid dan koloid. Jumlah yang diberikan dihitung berdasarkan
kebutuhan cairan basal, defisit puasa, cairan sequester, dan perdarahan yang
muncul saat durante operasi. Pemberian cairan durante operasi selama dua
jam ini adalah sebesar 3600 ml sesuai dengan perhitungan cairan yang harus
diberikan selama tiga jam yaitu 3464 ml.
- Allowable blood loss pada pasien ini adalah sebesar 840 ml. Saat operasi
berlangsung, perdarahan yang terjadi pada pasien telah melebihi 840 ml
(>20% dari jumlah perkiraan darah pasien). Selain itu pada pemeriksaan
darah lengkap durante operasi didapatkan Hb 5,4 g/dL, sehingga diberikan
transfusi Packed Red Cells (PRC) sebanyak 2 kolf. Pasien diberikan obat
furosemide 10 mg, dimana pustaka menyebutkan bahwa dosis rendah
furosemid (diuretik) yaitu 10-40 mg pada orang dewasa dapat diberikan
selama transfusi untuk mencegah overload sirkulasi dan meringankan kerja
jantung.
4.3 Tatalaksana Pasca Operatif
Beberapa saat setelah pasien dikeluarkan dari ruang operasi, didapatkan pada
pemeriksaan fisik tekanan darah 112/80 mmHg, nadi 88 x/menit, dan laju
31
respirasi 18 x/menit. Maintenance pasien dengan RL 20 tetes per menit dan
oksigen 7 liter per menit. Menurut pustaka, pasien dapat digolongkan menjadi
kelompok II yaitu, pasien yang tidak mempunyai resiko tinggi mengalami
gangguan pernafasan dan kardiovaskular pasca anestesia/bedah sehingga
pasien tersebut dapat langsung dirawat di ruangan pasca anestesia/bedah
dengan menunggu pemulihan di ruang pulih sebelumnya. Pasien dipindahkan
ke ruangan dengan skor Aldrete 10 dimana sesuai dengan kriteria pemindahan
pasien yaitu jika skor Aldrete  7-8, dengan catatan nilai kesadaran boleh 1
dan aktivitas boleh 1 atau 0, sedangkan yang lainnya harus 2. Pasca operasi,
pasien dimonitor di ruangan. Pasien diberikan antibiotik Ceftriaxon 2x1 gram
IV untuk mencegah infeksi post-operatif. Untuk mengatasi nyeri pasca operasi
pada pasien ini diberikan analgesik intravena Fentanyl 400 mcg per 24 jam via
syringe pump dan Farmadol 3 x 1 gram. Hal ini sudah sesuai pada pustaka,
dimana penggunaan analgesik pada operasi ini yang memiliki intensitas nyeri
berat adalah dengan penggunaan parasetamol, NSAID, analgesi epidural lokal
atau blok pleksus atau saraf perifer mayor, atau dengan injeksi opioid
intravena. Pada pasien ini digunakan parasetamol (farmadol) dan opioid
intravena fentanyl. Parasetamol merupakan agen analgesik yang bekerja
menghambat
enzim
cyclooxygenase
(COX)
dan
penelitian
terakhir
menyebutkan bahwa paracetamol lebih selektif menghambat COX-2.
Fungsinya adalah sebagai analgesik dan antipiretik, tetapi bukan anti
inflamasi. Apabila obat dikombinasikan dengan NSAID atau opioid dapat
digunakan untuk mengobati nyeri yang lebih parah.
32
BAB 5
SIMPULAN
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Usaha yang dapat
dilakukan dalam penyembuhan fraktur adalah mempertahankan fragmen tulang
dengan cara imobilisasi. Tindakan yang dapat dilakukan salah satunya adalah
operatif Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) dengan pemasangan platescrew yang akan mempertahankan posisi tulang yang fraktur dan memfiksasi
bagian-bagian tulang pada fraktur secara bersamaan. Manajemen perioperatif
yang dilakukan pada antara lain tatalaksana preoperatif yang meliputi evaluasi pra
anestesia, persiapan pra anesthesia, pemilihan anesthesia-anelgesia, tatalaksana
intraoperatif, serta tatalaksana postoperatif. Prinsip anestesi yang harus dipenuhi
pada operasi fraktur adalah terpenuhinya trias anestesi yaitu analgesi, hipnotik,
dan relaksasi otot dengan tujuan tersedianya lapangan operasi yang nyaman dan
kelancaran jalannya operasi tanpa menyakiti pasien.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku G. dan T. G. A. Senapathi. 2009. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta: Indeks
2. Massachusetts General Hospital. 2005. Clinical Anesthesia Procedures of
the Massachusetts General Hospital. Massachusetts
3. Braden, H. 2002. Anesthesia and Resuscitation. MCCQE 2002: hal 6-18
4. Suryantara, M.H. 2009. Penatalaksanaan Fraktur.
5. Latief, S.A., K.A. Suryadi, M.R. Dachlan. 2010. Petunjuk Praktis
Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
6. Katzung, B.G., S.B. Masters, dan A.J. Trevor. 2009. Basic & Clinical
Pharmacology 11th edition. San Fransisco: McGraw-Hill Companies
7. Rusmono. 2011. Referat Penatalaksanaan Anestesi dan Reanimasi pada
Fraktur Femur. Yogyakarta: RS Muhammadiyah
8. Schug, S.A. dan P. Dodd. 2004.Perioperative Analgesia. Australia
Prescribe 2004;27:hal152–4
9. Ivandri. 2011. Penanganan Nyeri Pasca Bedah. Jakarta. Tersedia di
http://ivan-atjeh.blogspot.com/p/contact.html (Diakses tanggal 5 Agustus
2012)
10. Bakta, I.M. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
34
Download