PENGARUH PEMBERIAN BAHAN ORGANIK TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI JAGUNG DI ALLUVIAL NAIBONAT 1 2 M. Akil dan E. Y. Hosang 1 Balitsereal Maros 2 BPTP Nusa Tenggara Timur ABSTRAK Pertanaman jagung yang intensif mengakibatkan kadar bahan organik tanah yang mengendalikan kesuburan, utamanya kesuburan biologi dan fisik tanah menurun drastis. Pengembalian kesuburan tanah dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik berbentuk kompos, pupuk kandang atau pupuk hijau. Takaran pupuk organik yang dianjurkan yaitu 5 t/ha atau lebih sulit diimplementasikan oleh petani karena terkait dengan ketersediaan, harga pupuk, maupun pengangkutannya. Untuk itu diperlukan teknologi pemberian pupuk organik yang efisien. Pemberian pupuk organik melalui lubang tanam sebagai penutup biji jagung saat tanam dan pemberian dalam barisan tanaman dapat mengurangi jumlah takaran pupuk anorganik yang dibutuhkan. Pemberian pupuk organik sebagai penutup biji jagung pada lubang tanam atau dalam barisan tanaman sebanyak 1 t/ha memberikan keuntungan tertinggi karena hasil biji pipilan kering tertinggi (4,2 t/ha), biomas relatif tinggi (113,1 t/ha) dan R/C tertinggi (6,1 – 6,5). Kata Kunci : Jagung, bahan organik, biji, biomas segar, Tamah Alluvial PENDAHULUAN Upaya peningkaan produksi jagung nasional selain untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri yang tinggi (Deptan, 2002), juga berpeluang untuk mengisi pasaran dunia karena permintaan jagung secara global sangat besar dan juga terus meningkat (Pingali, 2001). Peluang peningkatan produksi jagung dalam negeri masih terbuka lebar, baik melalui peningkatan produktivitas karena masih adanya perbedaan produktivitas jagung rata-rata tingkat nasional yaitu 3,4 t/ha (BPS dan Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2003) dengan tingkat penelitian (4,5 – 8,0 t/ha) dan perluasan areal tanaman utamanya pada lahan kering di luar Jawa (Zubachtirodin et al., 2004). Rendahnya hasil jagung di Indonesia antara lain disebabkan sebahagian besar pertanaman jagung diusahakan di lahan kering dengan tingkat kesuburan yang relatif rendah, lahan bereaksi masam serta pengelolaan tanaman serta lingkungan yang belum sesuai dengan konsep yang menjamin keberlanjutan sistem usahatani (Subandi et al., 1988). Kesuburan tanah berkontribusi sebesar 55 % terhadap keberhasilan produksi tanaman (Gunarto, 2007). Pertanaman yang intensif mengakibatkan kadar bahan organik tanah yang mengendalikan kesuburan, utamanya kesuburan biologi dan fisik tanah menurun drastis. Pengembalian kesuburan tanah dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik berbentuk kompos, pupuk kandang atau pupuk hijau. Takaran pupuk organik yang dianjurkan yaitu 5 t/ha atau lebih sulit diimplementasikan oleh petani karena terkait dengan ketersediaan, harga pupuk, maupun pengangkutannya. Cara-cara pengelolaan lahan yang intensif yang telah digalakkan selama 30 tahun terakhir ini telah mengurangi kuantitas dan kualitas sumberdaya lahan dengan nyata, kerusakan lingkungan dan bertambahnya resiko kesehatan (Price dan Balasubramanian, 1996). Nagaya et al., (1998) menambahkan bahwa akhir-akhir ini, pemberian bahan kimia yang tinggi dan praktek lainnya sebagai penyebab polusi lingkungan telah menjadi masalah global. Untuk mengantisipasi hal-hal seperti disebut diatas, konsep pertanian yang berwawasan lingkungan seperti pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), bertani selaras alam dan pertanian organik (organic farming) perlu diterapkan. Untuk melestarikan kesuburan tanah maka pemupukan yang cukup dan berimbang perlu diperhitungkan pemberian bahan organik. Penggunaan pupuk organik mulai berkembang yang tujuannya untuk mendaur hasil sampingan pertanian (kotoran sapi) dalam bentuk kompos. Selain harga pupuk anorganik semakin mahal juga ada pertimbangan konservasi lingkungan. Pupuk kandang fungsinya selain menambah hara, juga memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Malherbe, 1994). Hasil penelitian Lund dan Doss (1980) menunjukkan bahwa penggunaan bahan organik yang tinggi dapat meningkatkan pH tanah, kandungan N, P dan K serta kapasitas tukar kation. Materechera dan Mehuys (1991) penambahan pupuk kandang meningkatkan kandungan organik karbon, meningkatkan kapasitas menahan air dan meningkatkan hasil termasuk biomas dan biji. Disamping itu bahan organik berfungsi sebagai bahan pengompleks unsur hara, logam-logam dan residu pestisida (Kumada, 1987). Karena itu komponen bahan organik dalam budidaya jagung dapat bersinergi dengan komponen lainnya dalam memacu pertumbuhan tanaman dan dapat mengurangi biaya produksi. Dengan sistem pengelolaan tanaman terpadu telah diterima sebagai sistem produksi, khususnya pangan masa depan yang diharapkan bisa menjadi sistem produksi yang berkelanjutan. Masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih banyak yang menjadikan jagung sebagai bahan makanan pokok. Disamping itu, sebahagian masyarakatnya memelihara ternak sapi, baik yang dikandangkan atau dilepas di hutan dan padang penggembalaan. Selain untuk menjamin kecukupan bahan pangan dari jagung, maka perlu juga diusahakan pemenuhan kebutuhan ternak yang dikandangkan dari biomas jagung yang ditanam oleh petani peternak baik untuk produksi biji maupun produksi biomas untuk pakan pada lahan kering di musim kemarau dengan memanfaatkan air tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi biomas dan biji melalui cara pemberian dan takaran pupuk organik pada lahan kering di Provinsi Nusa Tenggara Timur BAHAN DAN METODA Penelitian dilaksanakan pada tahun 2003 pada tanah Alluvial di Naibonat, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Takaran bahan organik yang digunakan adalah 1 – 5 t/ha. Pemberian bahan organik (kotoran sapi) ada dua cara yaitu sebagai penutup biji pada lubang tanam dan di larik di dalam barisan tanaman. Semua perlakuan bahan organik diberikan saat tanam. Takaran pupuk anorganik yang digunakan adalah 150 kg urea, 100 kg SP36 dan 50 kg KCl/ha. Setengah takaran pupuk urea dan seluruh takaran pupuk SP36 dan KCl diberikan pada umur 7 hari setelah tanam (hst). Sisa takaran pupuk urea diberikan pada umur 37 hst. Jagung yang ditanam adalah varietas Lamuru dengan jarak tanam 75 cm x 20 cm dengan 3 biji/lubang tanam. Masing-masing satu tanaman/rumpun dipanen biomasnya pada umur 30 dan 45 hst dan sisanya dipanen pada umur 85 hst dipanen biomas segar di atas tongkol. di panen biomas segarnya pada umur 70 hst. Panen biji dilakukan pada saat masak fisiologis. Pengamatan yang dilakukan adalah: 1. Analisis tanah sebelum penelitian 2. Analisis bahan organik yang digunakan 3. Total bobot biomas segar yang dipanen pada 30 hst + 45 hst + 85 hst 4. Hasil biji (t/ha) 5. Analisis usahatani. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Tanah Hasil analisis tanah tempat percobaan di lahan kering Naibonat menunjukkan tanah agak basa dengan kadar N sangat rendah, P sangat tinggi dan kandungan bahan organik dikategorikan sedang (Tabel 1). Tabel 1. Hasil analisis tanah sebelum penelitian di Naibonat, Nusa Tenggara Timur, 2003 Macam Penetapan Nilai Tekstur : Liat (%) Debu (%) Pasir (%) pH H2O (1 : 2.5) pH KCl (1 : 2,5) Bahan Organik (%) Kriteria Lempung 17 55 28 8.05 Agak basa 4.95 Sedang N-Total (%) C/N P2O5-Olsen (ppm) Kdd (me/100 g) Cadd (me/100g) Mgdd (me/100g) Nadd (me/100g) Al dd (me/100 g) + H (me/100 g) Nilai Tukar Kation (me/100 g) Kejenuhan Basa (%) 0.10 27 2,65 0.53 2.48 1.24 0,15 0.88 0,44 14.52 30 Sangat rendah Sedang Sangat tinggi Sedang Rendah Sedang Rendah Tidak terukur Rendah Rendah Hasil analisis tanah ini memberikan petunjuk bahwa untuk tanaman jagung di lokasi Naibonat mutlak diperlukan pemberian pupuk nitrogen dengan takaran yang tinggi untuk menghasilkan biomas dan biji. Pupuk fosfor dan kalium hanya dibutuhkan dalam takaran rendah untuk menjaga keseimbangan hara dalam tanah. Lahan tempat percobaan mempunyai kandungan bahan organik sebesar 4,95%, sehingga tergolong tanah yang ideal karena bahan organik tergolong sedang. Analisis pupuk kandang Hasil analisis pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi yang digunakan di Alluvial Naibonat menunjukkan kadar N-total sebesar 2,30%, kadar P dan K masing-masing sebesar 1,96% dan 2,53%, sedang kadar C-total sebesar 32,9%. Menurut Stevenson (1982), bahan organik mempunyai fungsi nutrisi, karena mengandung unsur hara makro seperti N, P, K, S dan unsur hara mikro seperti Fe, Cu, Zn sebagai cadangan pasif unsur hara, Selain itu bahan organik juga mempunyai fungsi biologi melalui pengaruhnya pada aktivitas mikroflora dan mikrofauna dalam tanah yaitu sebagai sumber energi kepada mikroba. Bahan organik mempunyai peran ganda dalam menunjang produktivitas tanah yaitu memperbaiki sifat fisik, sifat kimia dan biologi tanah. Mengingat bahwa bahan organik adalah bahan yanag mudah dirombak, maka sifatnya sangat dinamis, mudah berubah dari waktu ke waktu tergantung perubahan substansi yang terkandung di dalamnya. Bahan organik dapat dijadikan sebagai pembenah (amelioran) tanah pertanian. Fungsi dan peranan bahan organik dalam tanah selain sebagai bahan pembentuk tanah, juga sebagai bahan pengompleks unsur hara, logam-logam dan residu pestisida (Kumada, 1987). Bahan organik selaku pembenah sifat fisik tanah berperan sebagai pemantap tanah. Demikian pula sifat fisik lain seperti aerasi, kapasitas tanah memegang air dan permeabilitas tanah akan lebih baik. Bahan organik dapat pula mempertahankan stabilitas agregat tanah melalui mekanisme perekatan atau lem yang menyemen bersama-sama bahan mineral atau biomas mikroba termasuk miselia cendawan (Tate III, 1987). Hasil Biomas Hasil analisis statistik terhadap produksi biomas menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara cara pemberian dan takaran bahan organik. Bobot biomas tertinggi yang dihasilkan diperoleh pada perlakuan 1 t/ha pupuk organik. Takaran yang lebih tinggi cenderung menurunkan hasil biomas. Karena lokasi tempat percobaan mempunyai kandungan bahan organik yang tergolong sedang, sehingga tidak perlu diberikan pupuk organik terlalu banyak. Dengan cara pemberian dalam lubang tanaman akan menyebabkan kontak yang lebih besar antara pupuk organik dengan tanaman lebih besar. Berbeda halnya dengan pemberian pupuk organik dengan cara dicampur merata ke seluruh lahan 2 minggu sebelum tanam membutuhkan jumlah pupuk yang lebih besar. Hasil penelitian di Bajeng dan Bontobili Sulawesi Selatan pada tahun 2002 menunjukkan bahwa pemberian 10 – 20 t/ha pupuk organik baik yang berasal dari pupuk kandang maupun pupuk hijau dengan cara disebarkan dan kemudian dicampur kedalam tanah dua minggu sebelum tanam akan dapat mengganti kebutuhan 100 – 200 kg urea/ha (Balitsereal, 2004). Pemberian pada lubang tanaman sebagai penutup benih saat tanam cenderung memberikan total biomas segar yang lebih baik dibanding pemberian dalam barisan tanaman (Tabel 2). Tabel 2. Pengaruh cara pemberian dan takaran bahan organik terhadap total biomas segar, Naibonat, Kabupatan Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur, 2003 Takaran bahan Total biomas (t/ha) Rata-rata organik Lubang tanaman Dalam barisan tanaman (t/ha) 1 123,0 tn 103,3 tn 113,1 tn 2 112,4 106,3 109,2 3 109,8 97,4 103,6 4 110,2 100,7 105,5 5 120,2 110,5 115,4 Rata-rata 115,1 103,6 109,4 Keterangan : KK (b) =15,5 % tn = tidak nyata Hasil Biji Hasil analisis statistik terhadap produksi biji menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara cara pemberian dan takaran bahan organik. Hasil biji tertinggi yang dihasilkan diperoleh pada perlakuan 1 t/ha bahan organik yang diberikan dalam barisan tanaman. Tidak adanya perbedaan secara statistik menunjukkan bahwa perlakuan 1 t/ha pupuk kandang sudah cukup untuk menunjang pertumbuhan tanaman untuk menghasilkan biji. Karena lokasi tempat percobaan mempunyai kandungan bahan organik yang tergolong sedang, sehingga tidak perlu diberikan pupuk organik terlalu banyak. Pemberian pada lubang tanaman sebagai penutup biji cenderung memberikan hasil biji yang lebih baik dibanding pemberian pada barisan tanaman, karena adanya perbaikan kondisi tanah sekitar tanaman jagung (Tabel 3). Tabel 3. Cara pemberian dan takaran bahan organik terhadap hasil biji, Naibonat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, 2003 Takaran bahan Hasil biji (t/ha) Rata-rata organik (t/ha) Lubang tanaman Dalam barisan tanaman 1 3,9 tn 4,5 tn 4,20 tn 2 4,0 4,1 4,05 3 3,9 4,4 4,15 4 4,3 3,3 3,80 5 3,5 3,9 3,70 Rata-rata 3,92 4,04 3,98 Keterangan : KK (b) = 18, 9 % tn = tidak nyata Analisis Ekonomis Usahatani Analisis ekonomi usahatani jagung di Alluvial Naibonat (Tabel 4) menunjukkan bahwa pemberian 1 t/ha pupuk organik dengan cara diberikan pada lubang tanaman sebagai penutup biji saat tanam memberikan keuntungan sebesar Rp. 9,044,200,- dengan R/C rasio tertinggi sebesar 6,5 kemudian diikuti oleh pemberian 1 t/ha dalam barisan tanaman memberikan keuntungan sebesar Rp 8,372,800,- dengan R/C rasio sebesar 6,1. Hal ini berarti bahwa setiap biaya yang dikeluarkan untuk perlakuan pemberian 1 t/ha pupuk yang diberikan dalam lubang tanaman sebagai penutup biji akan memberikan keuntungan sebesai 650 %. Pemberian pupuk organik pada takaran yang lebih tinggi, akan menurunkan jumlah keuntungan yang diperoleh atau dengan kata lain R/C rasio akan semakin menurun. Tabel 4. Analisis ekonomi usahatani total produksi biomas dan biji pada berbagai takaran dan cara pemberian pupuk organik, Naibonat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. 2003. Bahan Produksi (t/ha) Nilai Biaya Keuntungan R/C Organik 1 t/ha: L tanaman B tanaman 2 t/ha: L tanaman B tanaman 3 t/ha: L tanaman B tanaman 4 t/ha: L tanaman Btanaman 5 t/ha: L tanaman B tanaman Biomas Biji Produksi (Rp/ha) Produksi (Rp/ha) (Rp/ha) rasio 123,02 103,33 3,9 4,5 10.696.200 10.024.800 1.652.000 1.652.000 9.044.200 8.372.800 6,5 6,1 112,40 106,30 4,0 4,1 10.144.000 9.846.800 1.732.000 1.732.000 8.412.000 8.114.800 5,9 5,7 109,76 97,43 3,9 4,4 9.900.600 9.585.800 1.812.000 1.812.000 8.088.600 7.773.800 5,5 5,3 110,23 100,74 4,3 3,3 10.268.800 8.849.400 1.892.000 1.892.000 8.376.800 6.957.400 5,4 4,7 120,23 110,49 3,3 3,9 10.018.800 9.944.400 1.972.000 1.972.000 8.046.800 7.972.400 5,1 5,0 Keterangan : Harga biomas = Rp 60/kg Harga biji jagung = Rp 850/kg L tanaman = diberikan pada lubang tanaman B tanaman = diberikan pada barisan tanaman Biaya produksi termasuk biaya pengolahan tanah, biaya tenaga kerja, harga benih, harga pupuk anorganik dan harga pupuk kandang KESIMPULAN Pemberian bahan organik (pupuk kandang), takaran 1 t/ha dengan cara diberikan pada lubang tanam sebagai penutup biji di Alluvial Naibonat, Nusa Tenggara Timur memberikan keuntungan tertinggi bagi petani jagung karena hasil biji pipilan kering tertinggi (4,2 t/ha), biomas relatif tinggi (113,1 t/ha) dan R/C tertinggi (6,1 – 6,5). DAFTAR PUSTAKA Akil, M. 2006. Takaran dan cara pemberian pupuk kandang terhadap produksi biji serta biomas di lahan kering Gorontalo. P. 166 – 174. Dalam Prosisding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Balitsereal, 2004. Rencana Strategis (Renstra) balai Penelitian Tanaman Serealia 2005 – 2009. Pusat Penelitian dan Pengembangan tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. BPS dan Ditjen Produksi Tanaman Pangan. 2003. www.deptan.go.id. Deptan. 2002. Agribisnis Jagung. Informasi dan Peluang. Festival Jagung Pangan Pokok Alternatif. Istana Bogor 26-27 April 2002. Deptan Gunarto, L. 2007. Dengan teknologi AGPI produksi padi ditingkatkan secara efisien dan berkelanjutan. Lembaga Pengembangan Pertanian Organik Indonesia (LP2OI). 4 p. Kumada, K. 1987. Chemistry of soil organic matter, Japan Scientific Societies Press. Tokyo. Lund, F. Z. and B.D. Doss. 1980. Residual effect of dairy cattle manure on plant growth and soil properties. Agr. J. 72: 123 – 130. Malherbe, I, 1994. Soil Fertility.5th edition Oxford University Press. New York. 295 p. Materechera, S.A., G. R. Mehuys. 1991. Organic manure additions and the leaf water potential and yield of barley. Plant and Soil Journal. 138 :239-246 Nagaya, Y., T. Matsuoka, T. Kobayashi, and T. Taniyama. 1998. Development of automatic for culture system for year-round rice production in green house. JARQ 32 (4): 249-256. Pingali, P (ed). 2001. CIMMYT 1999/2000. World maize facts and trends. Meeting World Maize Needs. Technological Opportunities and Priorities for the Public Sector. Mexico. Price, L.M.L. and V. Balasubramanian. 1996. Securing the future of intensive rice system: a knowledge-intensive resource management and technology approach. P. 193-203 In Sustainability of rice in the global foods systems (N.G. Dowling, S.M. Greenfield, and K.S. Fisher Eds). Davis Calif. (USA): Pasific Basin-Study Center, and Manila (Philippines): International Rice Research Institute. 404 p. Stevenson, F.J. 1982. Humus Chemistry, Genesis, Composition, Reactions. Interscience Publication. John Wiley & Sons, New York. A Wiley- Subandi, Marsum M. Dahlan, Muhadji D. Moentono, Iskandar S., Sudaryono dan Sudjadi 1988. Status Penelitian Jagung dan Sorghum. Risalah Simposium II Penelitian Tanaman Pangan. Buku I. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian. P. 189 – 223. Tate III,R.L. 1987 Soil organic matter. Biological and ecological effects. A Wiley Interscience Publication. John Wiley and Sons., 291 p. Zubachtirodin, S. Saenong, Subandi dan A. Hipi. 2004. Budidaya jagung pada lahan kering beriklim kering melalui pendekatan pengelolaan sumberdaya dan tanaman terpadu (PTT). P. 111 – 118. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal Melalui Inovasi Teknologi Tepat Guna. Pusat Penelitian Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian..