1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usaha

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia
dan ikut berperan dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor
kegiatan ekonomi lainnya.1 Dalam masyarakat modern seperti sekarang ini,
perusahaan asuransi mempunyai peranan dan jangkauan yang sangat luas, karena
Perusahaan Asuransi tersebut
mempunyai
jangkauan yang
menyangkut
kepentingan-kepentingan ekonomi maupun kepentingan sosial.
Asuransi menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat untuk meminimalisir
risiko yang berkemungkinan dapat menimbulkan kerugian atas harta kekayaannya
atau jiwa seseorang dengan cara mengalihkan kerugian tersebut kepada
perusahaan asuransi. Dalam hal tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan
kerugian, maka pihak
penanggung yaitu perusahaan asuransi berkesempatan
mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa pihak tertanggung. 2
Perusahaan asuransi merupakan lembaga keuangan nonbank yang
mempunyai peranan yang tidak jauh berbeda dari bank, yaitu bergerak dalam
bidang layanan jasa yang diberikan kepada masyarakat dalam mengatasi resiko
yang akan terjadi di masa yang akan datang. Perusahaan asuransi mempunyai
perbedaan karaketeristik dengan perusahaan nonasuransi. Perusahaan asuransi
1
Abdul R Saliman, Hermansyah dan Ahmad Jalis, 2005, Hukum Bisnis Untuk
Perusahaan, Prenada Media, Jakarta, h. 185.
2
Abdulkadir Muhammad, 2006, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, Cet. IV, hlm 12-13.
2
pada dasarnya menawarkan jasa proteksi sebagai bentuk produknya kepada
masyarakat yang membutuhkan, dan selanjutnya diharapkan akan menjadi
pelanggannya.
Suatu badan usaha tidak dapat melakukan kegiatan usaha apabila belum
memiliki izin usaha. Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang
No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dalam pembinaan serta
pengawasan usaha asuransi merupakan kewenangan Menteri Keuangan. Setiap
pihak yang akan melakukan usaha perasuransian wajib mendapatkan izin usaha
dari Menteri Keuangan serta memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh
Undang-undang.
Perusahaan asuransi haruslah berbentuk badan hukum dimana yang
merupakan subjek hukumnya adalah perusahaan itu sendiri. Perusahaan asuransi
kebanyakan menggunakan badan hukum perseroan terbatas. Dalam penjelasan
Pasal 142 huruf (f) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas dijelaskan bahwa perusahaan yang telah dicabut izinnya tidak dapat lagi
menjalankan usaha di bidang yang lain. Namun, dalam proses kepailitan apabila
kepailitan telah berakhir terdapat proses rehabilitasi yaitu pemulihan perusahaan
menjadi seperti sebelum kepalitan dan perusahaan tersebut dapat menjalankan
kegiatan usahanya kembali.
Dalam ketentuan Undang-Undang Kepailitan, seorang debitur dapat
dinyatakan pailit apabila memiliki sekurang-kurangnya 2 kreditur dan debitur
tidak membayar sekurang-kurangnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih. Tidak ada aturan yang jelas mengatur mengenai status perusahaan yang
3
dapat dimohonkan maupun yang dapat dinyatakan pailit apakah perusahaan yang
masih memiliki izin usaha ataukah perusahaan yang izin usahanya telah dicabut.
Pasal 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan bahwa kepalitan adalah
sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan
pemberasannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan hakim pengawas.
Undang-Undang Kepailitan ini telah membatasi kewenangan pengajuan
permohonan pailit terhadap debitor sehingga tidak semua kreditor memiliki
kewenangan untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitor. Pembagian
mengenai kewenangan para pihak untuk mengajukan permohonan pailit terhadap
debitor merupakan suatu langkah pembeda yang diberlakukan oleh UndangUndang Kepailitan dikarenakan banyaknya pembagian jenis debitor.3
Ketentuan
mengenai
kewenangan
dalam
pengajuan
permohonan
pernyataan pailit. Undang-Undang Kepailitan menyebutkan bahwa dalam hal
debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau
Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka
menurut ketentuan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, permohonan
pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Namun, bunyi
Pasal tersebut tidak menjelaskan mengenai status perusahaan asuransi apakah
perusahaan asuransi yang dimaksud masih memiliki izin usaha atau perusahaan
asuransi tersebut telah dicabut izin usahanya.
3
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan; Memahami Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h. 103.
4
Pada kasus pengajuan permohonan pailit PT Asuransi Prisma Indonesia.
PT Asuransi Prisma Indonesia merupakan sebuah PT Asuransi yang berusaha
untuk mempailitkan dirinya sendiri. Dimana suatu hal yang menyebabkan PT
Asuransi tersebut ingin mempailitkan dirinya sendiri dikarenakan jumlah utang
perusahaan diperkirakan lebih besar dibandingkan aset PT Asuransi Prisma itu
sendiri. Ketidakcukupan modal tersebut, pada akhirnya menyebabkan Menteri
Keuangan mangajukan somasi sebanyak tiga kali. Dimana setelah itu Menkeu
memerintahkan PT Asuransi Prisma mencari investor baru untuk menambah
modal. Kemudian PT Asuransi Prisma gagal dalam memenuhi hal tersebut yang
menyebabkan Menteri Keuangan memberi hukuman berupa sanksi pembatasan
kegiatan usaha dan larangan melakukan penutupan pertanggungan baru.
Setelah diberi waktu tiga bulan oleh Menteri keuangan untuk memenuhi
kecukupan modal, namun itu tetap juga belum bisa dipenuhi oleh PT Asuransi
Prisma maka pada akhirnya Menteri Keuangan mencabut izin usaha PT Asuransi
Prisma. Gegabahnya pascapencabutan izin usaha ditanggapi PT Asuransi Prisma
dengan secara sukarela melakukan pembubaran diri (likuidasi) yang telah
diputuskan dalam Rapat Umum Pemegang Saham. PT Prisma mengangap bahwa
dengan dicabutnya izin usaha perasuransiannya itu berarti PT Asuransi Prisma
Indonesia bukan lagi perusahaan asuransi melainkan perseroan terbatas biasa
sehingga, dapat mengajukan permohonan pailit sendiri dengan dasar hukum
adanya lebih dari satu utang yang tidak dapat dilunasi.
Upaya mempailitkan dirinya itu ditolak putusan majelis hakim Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat dengan pertimbangan bahwa yang dapat mengajukan
5
permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi adalah Menteri Keuangan sesuai
ketentuan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang .Kemudian kuasa
hukum PT Asuransi tersebut langsung mengajukan memori kasasi ke Mahkamah
Agung, dimana upaya tersebut kembali ditolak. Hal yang sama juga terjadi pada
PT Jiwa Buana Putra yang dimana permohonan pailitnya diajukan oleh Tuti
Supriati seorang pemegang polis asuransi pada PT Jiwa Buana Putra namun hasil
putusan No.6/Pdt.Sus/Pailit/2013/PN.Niaga Jkt.Pst Majelis Hakim menolak
gugatan tersebut dengan pertimbangan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
PT Jiwa Buana Putra tidak menerima putusan Pengadilan Negeri Jakarta
kemudian, mengajukan memori kasasi ke Mahkamah Agung di mana hasil
putusannya pun sama Majelis Hakim kembali menolak gugatan Tuti Supriati.
Tidak adanya aturan atau ketentuan yang jelas mengenai kedudukan atau
status Perusahaan Asuransi yang telah dicabut izin usahanya oleh Menteri
Keuangan sehingga tidak adanya kepastian dan membuat pihak perusahaan
melakukan penafsiran yang berbeda serta aturan atau ketentuan mengenai
kepailitan suatu perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya.
Berdasarkan latar belakang diatas mendorong penulis untuk melakukan
penelitian hukum yang dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul:
KEPAILITAN PT ASURANSI JIWA BUANA PUTRA YANG IZIN
USAHANYA
TELAH
DICABUT
:
STUDI
KASUS
PUTUSAN
6
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO.229/K/PDT.SUSPAILIT/2013.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka permasalahan yang akan
dibahas adalah sebagai berikut :
1.
Apakah perusahaan asuransi yang izin usahanya telah dicabut dapat
dipailitkan ?
2.
Siapakah yang dapat mengajukan permohonan kepailitan terhadap
perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya ?
1.3
Ruang Lingkup Masalah
Mengingat begitu luasnya permasalahan yang dapat diangkat, maka
dipandang perlu adanya pembatasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan
dibahas nanti. Adapun permasalahan pertama dibatasi hanya mengenai kepalitan
perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya. Permasalahan kedua
dibatasi hanya mengenai kewenangan pengajuan permohonan kepalitan terhadap
perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya.
1.4
Orisinalitas Penelitian
Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia
pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan
orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan, beberapa
7
judul penelitian tesis atau disertasi terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam
penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan 2 (dua) Skripsi terdahulu yang
pembahasannya berkaitan dengan Kepailitan Perusahaan Asuransi yang Izin
Usahanya Telah Dicabut :
Tabel 1.1. Daftar Penelitian Sejenis
No
Judul Skripsi
Penulis
Rumusan Masalah
1.
Kepailitan Perusahaan
Asuransi
Menurut
Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan
Gemellia Megawati 1. Bagaimanakah
(Fakultas Hukum
kedudukan tertanggung
Universitas
dalam
kepailitan
Undayana
perusahaan asuransi ?
Denpasar), Tahun
2012.
2. Bagaimanakah
cara
penyelesaian
harta
kekayaan
(boedel)
perusahaan asuransi yang
dipalitkan ?
2.
Kajian
Yuridis
Kedudukan
Dan
Perlindungan Hukum
Tertanggung
Akibat
Klaim Yang Tidak
Dibayar
Jika
Perusahaan
Asuransi
Mengalami Kepailitan
Indah Tri Ranta 1. Bagaimana
kedudukan
Setyaningrum
tertanggung
sebagai
(Fakultas Hukum
pemegang
polis
jika
Universitas Sebelas
perusahaan asuransi yang
Maret, Surakarta),
dimaksud
mengalami
Tahun 2012.
kepailitan ?
2. Bagaimana bentuk-bentuk
perlindungan
hukum
pihak tertanggung sebagai
pemegang polis dalam
perjanjian asuransi yang
mengajukan permohonan
klaim yang tidak bisa
dibayar oleh perusahaan
asuransi yang mengalami
kepailitan ?
8
Tabel 1.2. Daftar Penelitian Penulis
No
Judul Skripsi
1.
Kepailitan PT Asuransi
Jiwa Buana Putra Yang
Izin Usahanya Telah
Dicabut : (Studi Kasus
Putusan
Mahkamah
Agung
Republik
Indonesia
No.229
K/Pdt.Sus-Pailit/2013)
1.5
Tujuan Penelitian
Penulis
Rumusan Masalah
Anak
Agung 1. Apakah perusahaan asuransi
Intan Permata
yang izin usahanya telah
Sari,Fakultas
dicabut dapat dipailitkan?
Hukum
2. Siapakah
yang
dapat
Universitas
mengajukan
permohonan
Udayana, Tahun
kepailitan
terhadap
2014.
perusahaan asuransi yang
telah dicabut izin usahanya?
1.5.1 Tujuan Umum
1.
Untuk mengetahui mengenai kepailitan perusahaan asuransi
2.
Untuk mengetahui kewenangan pengajuan permohonan pailit terhadap
perusahaan asuransi
1.5.2 Tujuan Khusus
1.
Untuk memahami kepailitan terhadap perusahaan asuransi yang telah
dicabut izin usahanya.
2.
Untuk memahami kewenangan pengajuan permohonan pailit terhadap
perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya.
9
1.6
Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat menambah informasi atau wawasan yang
lebih konkrit bagi aparat penegak hukum dan pemerintah, khususnya dalam
menangani kepailitan Perusahaan Asuransi yang terjadi di Indonesia dan hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah bagi
pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan pengkajian hukum
khususnya yang berkaitan dengan kepailitan perusahaan asuransi.
1.6.2 Manfaat Praktis
1.
Dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi lembaga legislatif
dalam merumuskan Peraturan Perundang-undang;
2.
Dapat mengetahui kepailitan perusahaan asuransi yang telah dicabut izin
usahanya.
3.
Dapat mengetahui kewenangan pengajuan permohonan pailit terhadap
perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya.
4.
Dapat menambah pengalaman dan kemampuan peneliti dalam melakukan
penelitian hukum.
1.7
Landasan Teoritis
Pada prinsipnya suatu teori adalah hubungan antara dua fakta atau lebih,
atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu fakta tersebut merupakan suatu
yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu
10
dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara
dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya. 4 Sehingga dalam menjawab
permasalahan yang terkait dengan kepailitan perusahaan asuransi yang izin
usahanya telah dicabut.
Pengertian dari bangkrut atau pailit menurut Ensiklopedia Ekonomi
Keuangan Perdagangan antara lain, keadaan dimana seseorang yang oleh suatu
pengadilan dinyatakan bankrupt dan yang aktivanya atau warisannya telah
diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya.
Dalam Black’s Law Dictionary pailit diarti sebagai keadaan seorang debitor
yang tidak mampu membayar atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.
Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk
mengajukan permohonan pailit, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur
sendiri,maupun atas permintaan pihak ketiga (selain debitor) ke pengadilan.
Sebagaimana dikutip oleh Jordan dari buku The Early History Of
Bankcruptcy Law, yang ditulis oleh Louis E. Levithal, tujuan utama dari hukum
kepailitan yaitu sebagai berikut:
1. Menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur
diantara para kreditornya.
2. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang
dapat merugikan kepentingan para kreditor.
4
h.30.
Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Gravindo Persada, Jakarta,
11
3. Memberikan perlindungan kepada debitur yang beritikad baik dari para
kreditornya, dengan cara memperoleh pembebesan utang. 5
Menurut Profesor Radin, dalam bukunya The Nature of Bankruptcy,
sebagaimana dikutip oleh Jordan, tujuan semua Undang-Undang Kepailitan
(Bankruptcy Laws) adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk
memilah-milah hak-hak dari berbagai penagih terhadap aset seorang debitur yang
tidak cukup nilanya (debt collection system). Berdasarkan pendapat tersebut
diatas, dapat disimpulkan tujuan-tujuan dari hukum kepailitan adalah :
1. Melindungi para kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka
sehubungan dengan berlakuknya asas jaminan. Semua harta kekayaan
debitur, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah
ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi
perikatan debitur, yaitu dengan cara memberikan fasilitas dan prosedur
untuk mereka dapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap debitur.
Menurut hukum Indoensia, asas jaminan tersebut dijamin oleh pasal 1131
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hukum kepailitan menghindarkan
terjadinya saling rebut diantara para kreditor terhadap harta kekayaan
debitur. Tanpa adanya undang- undang kepailitan, maka akan terjadi
kreditor yang lebih kuat mendapatkan bagian yang lebih banyak dari pada
kreditor yang lemah.
2. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitur di antara para kreditur
sesuai dengan asas pari passu (membagi secara proposional harta
5
Adrian Sutedi, 2009, Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia, Bogor, h.92.
12
kekayaan debitur kepada kreditur konkuren berdasarkan perimbangan
besarnya tagihan masing-masing). Di dalam hukum Indonesia asas pari
passu dijamin oleh Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
merugikan kepentingan para kreditur. Dengan dinyatakan pailit, maka
debitur tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan memindah
tangankan harta kekayaan.
Pada penjelasan umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepalitian dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa
kepailitan didasarkan pada beberapa asas, antara lain adalah:
a. Asas Keseimbangan
Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan
perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat
ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan
lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak terdapat
ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan
lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.
b. Asas Kelangsungan Usaha
Dalam
Undang-Undang
ini,
terdapat
ketentuan
yang
memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.
c. Asas Keadilan
Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa
ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para
13
pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran
atas tagihan masing-masing terhadap debitor, dengan tidak mempedulikan
kreditor lainnya.
d. Asas Integrasi
Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian
bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu
kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata
nasional.
Ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang
Kepalitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini menyimpulkan
bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap seorang debitor hanya dapat
diajukan apabila memenuhi syarat-syarat berikut :
1. Debitor terhadap siapa permohonan itu diajukan harus paling sedikit
mempunyai dua kreditor atau dengan kata lain harus memiliki lebih dari
satu kreditor;
2. Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang kepada salah satu
kreditornya;
3. Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat
ditagih.
Ketentuan Pasal 2 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 Tentang Kepalitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberi
14
batas terhadap pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan
Niaga yaitu :
1. Permohonan pailit yang menyangkut kepentingan umum dapat
diajukan oleh Kejaksaan
2. Dalam hal debitur merupakan Bank, maka yang dapat mengajukan
permohonan pailit adalah Bank Indonesia.
3. Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga
Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan
Pengawas Pasar Modal.
4. Dalam
hal
Debitor
adalah Perusahaan
Asuransi,
Perusahaan
Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang
bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit
hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
Yang dapat dinyatakan pailit adalah :6
a. Orang-perorangan;
b. Peserikatan-perserikatan dan perkumpulan-perkumpulan yang tidak
berbadan hukum lainnya,
c. Perseroan-perseroan, perkumpulan-perkumpulan, dan yayasan berbadan
hukum,
d. Harta Peninggalan.
6
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 2004,Seri Hukum Bisnis Kepailitan, PT RajaGrafindo
Pustaka, Jakarta, h. 6.
15
Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan bahwa segala barang-barang
bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan
ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu dan Pasal
1132 KUHPerdata menyatakan bahwa barang-barang itu menjadi jaminan
bersama bagi semua kreditur terhadapnya hasil penjualan barang-barang itu dibagi
menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila diantara para kreditur
itu alasan-alasan sah untuk didahulukan. Lembaga kepailitan merupakan lembaga
hukum yang mempuyai fungsi penting, sebagai realisasi dari dua Pasal penting
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang merupakan dasar hukum
kepailitan yaitu Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata mengenai tanggung jawab
debitor terhadap hutang-hutangnya.
Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya
mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu :7
1. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada Kreditornya bahwa
debitor tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab atas
semua Kreditor-Kreditornya.
2. Juga memberi perlindungan kepada debitor terhadap kemungkinan
eksekusi massal oleh Kreditor-Kreditornya.
Perusahaan asuransi adalah suatu lembaga yang sengaja dirancang dan
dibentuk sebagai lembaga pengambil alih dan penerima risiko. Dengan demikian
perusahaan asuransi pada dasarnya menawarkan jasa proteksi sebagai produknya
kepada masyarakat yang membutuhkan, yang selanjutnya diharapkan akan
7
Sri Rejeki Hartono, 1992, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 10.
16
menjadi pelanggannya. Menurut J. Tinggi Sianipar dalam kaitan dengan faedah
8
asuransi bagi masyarakat adalah asuransi memegang peranan yang penting,
karena disamping memberikan perlindungan terhadap kemungkinan kerugiankerugian, asuransi memberikan dorongan yang besar kearah perkembangan
kegiatan ekonomi lainnya.
Pada hakikatnya, usaha asuransi juga mempunyai jangkuan kerja, yang
sangat khas dan luas yang dalam kedudukan tertentu sangat rapat dengan
kepentingan umum, baik secara langsung atau tidak. Secara langsung perusahaan
asuransi menampung setiap resiko dari banyak pihak sehingga memberikan rasa
aman. Secara umum hal yang demikian dapat mendorong ke arah pemenuhan
kebutuhan masyarakat akan proteksi hingga suatu batas maksimal. Tetapi pada
sisi lain, usaha memenuhi kebutuhan masyarakat itu menimbulkan beban yang
cukup berat bagi perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi yang mempunyai
jangkauan usaha yang luas dengan sistem kerja yang kompleks, mendorong
perusahaan dapat mengikat hubungan dengan berbagai pihak berikut sebagai
kepentingan untuk bergabung dengannya guna mengatasi resiko. Kegiatan
semacam itu tidak berarti tidak mengandung hal-hal negatif tertentu.
Prinsip – prinsip yang berlaku pada perjanjian asurasi antara lain : 9
1. Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest)
2. Prinsip keseimbangan (indemnity)
3. Prinsip sebab akibat (proximate cause)
8
Ibid, h.8.
Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso, 2006, Bank dan Lembaga Keuangan Lain,
Salemba Empat, Jakarta, h. 180.
9
17
4. Prinsip kontribusi (contribution)
6. Prinsip subrogasi (subrogation)
5. Prinsip itikad baik (utmost good faith)
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan dasar bahwa
telah terbukti kewajiban tersebut jatuh tempo dan dapat ditagih. Dalam kaitan
dengan kenyataan-kenyataan seperti tersebut diatas, menarik untuk diteliti apakah
putusan Mahkamah Agung yang berpendapat bahwa perusahaan asuransi hanya
dapat dipailitkan oleh Menteri Keuangan, konsep tersebut apakah sebatas pada
penjanjian asuransi yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 2
tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, atau juga meliputi kewajiban hukum
lain dari perusahaan asuransi sebagai suatu badan hukum. Tanpa memberi batasan
mengenai hal tersebut justru akan memberikan kekebalan kepada perusahaan
asuransi tanpa dapat dikontrol oleh hukum, yang justru akan menimbulkan
ketidakpastian hukum. Selain itu, akan dapat memunculkan ide-ide bagi
perusahaan asuransi secara akal-akalan untuk melakukan tindakan yang
merugikan pihak lain yang terjangkau oleh hukum kepailitan. 10
10
Bagus Irawan, 2007, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan, Perusahaan dan Asuransi, Alumni,
Bandung, h. 13.
18
1.8
Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan
konsisten.11Penelitian yang dilakukan dalam kaitannya dengan penulisan skripsi
ini termasuk dalam kategori atau jenis penelitian normatif. Penelitian Normatif
adalah penelitian hukum dengan melihat norma-norma hukum yang berlaku yang
terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, putusan, perjanjian, dan
pendapat para ahli.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Penelitian ini mempergunakan Pendekatan Perundang-undangan (The
Statute Approach), dan Pendekatan kasus (The Case Approach). Pendekatan
Perundang-undangannya (The Statute Approach) dipergunakan untuk mengkaji
beberapa aturan hukum yang ada, untuk mengetahui kepailitan perusahaan
asuransi yang telah dicabut izin usahanya.Pendekatan Kasus (The Case Approach)
untuk mengetahui kewenangan pengajuan permohonan pailit perusahaan asuransi
yang telah dicabut izin usahanya.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Adapun bahan-bahan hukum sebagaimana
11
Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h.
42.(selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I)
19
dimaksud adalah sebagai berikut :
1.
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif atau
mempunyai otoritas atau memiliki kekuatan mengikat seperti peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan
hukum tetap.12
2.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer, yaitu meliputi buku-buku, jurnal-jurnal
hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang dimuat dimedia
masa, kamus dan ensiklopedi hukum dan bahan-bahan hukum tertulis
lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 13
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumentasi. Bahan
hukum yang diperolehnya, diinventarisasi dan diidentifikasi serta kemudian
dilakukan pengklasifikasian bahan-bahan sejenis, mencatat dan mengolahnya
secara sistematis sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian. Tujuan dari
tehnik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori,
pendapat-pendapat,
penemuan-
penemuan
yang
berhubungan
dengan
permasalahan penelitian.
12
Soerjono Soekanto & Sri Mahmmudji, 1988, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press,
Jakarta, h. 34.
13
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan ke-IV, Kencana, Jakarta,
h.141.
20
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif (Penggambaran).
Penelitian ini bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu,
keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu
gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan
gejala lain dalam masyarakat. Penelitian ini menggambarkan kepailitan
perusahaan asuransi yang izin usahanya telah dicabut.
21
Download