BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan praktik hubungan masyarakat (humas) dimulai pada abad ke20, berawal di sektor pemerintah dan privat yang kemudian diadopsi oleh sektor non-profit yang bergerak di berbagai macam bidang, seperti yang terdapat dalam Cutlip, Center dan Broom (2005). Perkembangan ini sejalan dengan meningkatnya jumlah organisasi di sektor pemerintah, privat, dan non-profit, serta perkembangan masyarakat yang semakin kompleks. Hal ini tentunya membuat organisasi harus mampu melakukan perencaanaan strategis dengan pendekatan komunikasi agar tujuan organisasi dapat tercapai. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai salah satu bentuk dari sektor non-profit juga telah mengadopsi peran humas dalam praktik kegiatan organisasi mereka. Humas memainkan peranan yang vital dalam LSM, karena LSM merupakan organisasi yang bekerja dari masyarakat, kepada masyarakat, untuk masyakarat. Oleh karena itu, LSM sebagai organisasi yang berkontribusi untuk masyarakat, berupaya untuk mengatasi permasalahan yang terdapat dalam dalam lingkungan politik, ekonomi, sosial dan budaya dengan menjalankan fungsi advokasi. Sehingga dalam menjalankan fungsi ini, LSM memiliki sebuah rintangan utama yaitu membangun kesadaran. Tugas ini sangat sulit bagi sebuah LSM karena kurangnya dukungan keuangan dan keterampilan komunikasi publik (Pope, dalam Martin, 2011). Sehingga LSM membutuhkan program humas yang efektif untuk menjalin relasi dengan berbagai macam publik serta menciptakan kemampuan masyarakat untuk bekerja sama demi keberlangsungan LSM tersebut. Pada dasarnya praktik humas yang dijalankan dalam lingkup LSM tidak jauh berbeda dengan humas yang dijalankan oleh organisasi yang berorientasi profit. Akan tetapi terdapat kekhususan dalam kerja humas pada LSM,mengingat 1 mereka memiliki sumber daya yang terbatas, sehingga kemampuan untuk cepat beradaptasi, memprioritas ulang, serta menghadapi tugas baru sangat penting dalam kerja humas (Cies, 2010). Heath (2001:294) menjelaskan, umumnya LSM menggunakan humas untuk mencapai dua tujuan secara keseluruhan. Pertama, dan yang paling mudah dikenali, tujuannya adalah untuk memperbaiki kondisi yang diidentifikasi oleh LSM. Kedua, adalah mempertahankan organisasi untuk mengejar tujuan dari LSM tersebut. Cara LSM agar dapat memenuhi dua tujuan yang telah disebutkan oleh Heath (2001), menuntut LSM untuk dapat menjalin relasi serta meningkatkan aktivitas komunikasi yang terjalin baik dalam tubuh organisasi sebagai publik internal maupun dengan lingkup eksternal organisasi. Publik internal merupakan kelompok orang yang berada dalam jajaran organisasi, seperti karyawan, relawan dan manajerial. Komunikasi dengan publik internal bertujuan untuk menyelaraskan pemahaman antara pihak top manajemen dengan karyawan. Sedangkan publik eksternal merupakan kelompok orang yang berada di luar organisasi tetapi memiliki kepentingan seperti masyarakat luas dan donatur. Komunikasi dengan publik eksternal berkaitan dengan fungsi informasi dan publikasi mengenaivisi, misi, dan tujuan organisasi. Jalannya kegiatan humas LSM pada publik internal tidak jauh berbeda dengan humas organisasi profit, yang menjadi perbedaan adalah kegiatan humas dengan publik eksternalnya. Pada LSM, aktivitas humas menekankan bahwa publik eksternal memiliki posisi diatas organisasi, dimana komunikasi mengambil peranan baru, yakni untuk berkontribusi pada masyarakat (Gomes dan Nunes, 2012). Kontribusi pada masyarakat yang dilakukan oleh LSM, diwujudkan dengan cara menyebarluaskan pengetahuan tentang permasalahan yang terdapat dalam masyarakat untuk menjadikan masyarakat yang lebih baik, salah satunya dengan cara mengadakan kampanye. Untuk itu praktisi humas dalam LSM harus mampu mengelola strategi komunikasi yang efektif. Pengelolaan kampanye yang baik menjadi salah satu alat penting yang digunakan LSM dalam berkontribusi pada masyarakat. Bates (dalam Gomes dan 2 Nunes, 2012) menjelaskan bahwa dalam menyampaikan informasi dan pesan, humas pada LSM menggunakan proses empat langkah, yakni penelitian, perencanaan, komunikasi, dan evaluasi. Proses empat langkah tersebut dalam bidang kehumasan dikenal dengan istilah manajemen humas. Langkah-langkah ini perlu dilakukan agar LSM dapat melihat bagaimana perubahan eksternal dapat mempengaruhi organisasi (Waters, 2007). Perubahan eksternal disini bisa mencakup perkembangan fenomena dalam masyarakat serta dinamika yang meliputinya. Oleh karena itu, pendekatan manajemen dilakukan oleh humas karena mereka harus mampu untuk beradaptasi dan merespon perubahanperubahan yang terjadi di lingkungannya, sehingga kampanye yang dijalankan sesuai dengan kebutuhan publiknya. Fungsi ini juga dilakukan oleh pihak humas, agar kampanye yang dilakukan memiliki dampak yang kuat pada kesadaran masyarakat. Demikian halnya dengan LSM Rifka Annisa Women’s Crisis Center (WCC), sebagai salah satu LSM yang bergerak dalam bidang pemberdayaan perempuan juga mengadopsi praktik humas dalam kegiatannya. Sebagai LSM yang berkecimpung dalam pemberdayaan perempuan ia memfokuskan diri untuk menghapus kekerasan yang terjadi pada perempuan, salah satunya adalah kekerasan dalam pacaran (dating violence). Masalah ini diangkat ke permukaan oleh Rifka Annisa WCC karena mereka mencatat bahwa kekerasan dalam pacaran merupakan jumlah kekerasan pada perempuan tertinggi kedua setelah kekerasan dalam rumah tangga.Rifka Annisa WCC sendiri mencatat terdapat 28 kasus kekerasan dalam pacaran dari total 294 kasus kekerasan yang ditangani selama 2012 (Rifka Annisa, 2013). Ketidaktahuan masyarakat terhadap fenomena ini kerap kali menyebabkan korban hanya berdiam diri dan tidak melakukan upaya perlawanan maupun perlindungan. Berlandaskan hal tersebut Rifka Annisa WCC mengadakan kampanye mengenai adanya tindak kekerasan dalam pacaran. Tujuan komunikasi dari kampanye ini adalah untuk menginformasikan fenomena kekerasan dalam pacaran. Kampanye ini memberikan informasi kepada para remaja mengenai 3 kekerasan dalam pacaran sebagai sebuah upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kepekaan mereka terhadap fenomena tersebut, sehingga dapat dipahami secara luas oleh masyarakat. Upaya yang dilakukan oleh Rifka Annisa WCC adalah mengadakan berbagai macam kegiatan kampanye berbasis aksi dan komunikasi yang dikelola oleh staff humas. Tujuan dari kegiatan tersebut yaitu untuk membuka wawasan perempuan akan adanya budaya patriarki dalam masyarakat yang menyebabkan munculnya tindak kekerasan berbasis gender. Kampanye anti kekerasan dalam pacaran yang menitikberatkan remaja sebagai publik eksternal, humas Rifka Annisa WCC berperan dalam mengorganisasi seluruh kegiatan yang ada dengan menggunakan pendekatan manajemen. Pada kampanye anti kekerasan dalam pacaran, proses manajemen yang dilakukan oleh humas Rifka Annisa WCC adalah dengan mengumpulkan data dan informasi tentang kekerasan dalam pacaran untuk mengetahui fakta-fakta yang terjadi di masyarakat. Berdasarkan data yang didapat, humas melakukan perencanaan dan pengorganisasian kampanye yang tertuang melalui program rifka goes to school, rifka goes to campus, rifka goes to community serta melalui media baru dan media massa tradisional. Kemudian sebagai salah satu upaya tindak lanjut, dilakukan evaluasi kegiatan kampanye. Guna menginformasikan fenomena kekerasan dalam pacaran, humas beperan untuk menyampaikan info berdasarkan fakta yang ada untuk membangun pemahaman yang sama dengan publiknya. Tujuan komunikasi dari kampanye tersebut dapat diwujudkan dan dijalankan dengan baik, apabila humas dapat melakukan perencanaan tindakan dan komunikasi yang terorganisir dan tepat sasaran. Karena itu humas harus mampu mempertimbangkan cara atau langkah apa saja yang dapat dilakukan untuk mengintegrasikan tindakan dan komunikasi. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, penelitian ini akan mengkaji aktivitas manajemen humas LSM Rifka Annisa WCC khususnya dalam aktivitas kampanye humas, dimana kampanye ini menyampaikan nilai-nilai mengenai anti kekerasan dalam pacaran. 4 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana aktivitas manajemen humas LSM Rifka Annisa WCC dalam menjalankan kampanye humasperihal anti kekerasan dalam pacaran? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui aktivitas manajemen humas LSM Rifka Annisa WCC dalam kampanye humasperihal anti kekerasan dalam pacaran. 2. Untuk memaparkan aktivitas manajemen humas LSM Rifka Annisa WCC dalam kampanye humasperihal anti kekerasan dalam pacaran. 3. Untuk mengetahui sejauh mana peran manajemen humas dalam menunjang aktifitas komunikasi yang dilakukan LSM Rifka Annisa WCC, terutama pada kampanye humasperihal anti kekerasan dalam pacaran. D. Manfaat Penelitian a. Bagi Akademisi Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan untuk menambah perbendaharaan kepustakaan bagi Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada. Dan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi dan informasi bagi peneliti lain yang tertarik untuk mendalami penelitian terhadap hal yang sama. b. Bagi Praktisi Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau bahan pertimbangan bagi Humas LSM Rifka Annisa WCC dalam memperbaiki ataupun mengembangkan strategi dalam mengkampanyekan berbagai macam isu dengan lebih baik. 5 E. Kerangka Pemikiran 1. Humas Berbicara mengenai definisi hubungan masyarakat (humas) tentu tidak akan ada habisnya. Berbagai macam definisi muncul dan terus berkembang, sejalan dengan praktik dari humas itu sendiri. Pada masa awal perkembangannya, definisi dari praktik humas lebih dititikberatkan pada masalah publisitas dan propaganda. Akan tetapi saat ini praktik humas lebih ditekankan pada membangun hubungan baik dengan publiknya, baik publik internal maupun eksternal dengan cara melakukan komunikasi dua arah secara berkelanjutan. Oleh karena itu humas juga kerap kali disebut sebagai “wajah” dari organisasi. Institute of Humas (IPR) (dalam Jefkins, 2004:9) menjelaskan bahwahumas adalah keseluruhan upaya yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka menciptakan dan memelihara niat baik (goodwill) dan saling pengertian antara suatu organisasi dengan segenap khalayaknya. Terdapat beberapa kata kunci yang dapat diperhatikan disini, yaitu “direncanakan” dan “berkesinambungan” yang menunjukkan bahwa hubungan yang dibangun tidaklah otomatis ataupun mudah. Kegiatan humas haruslah “mapan” dan “dipelihara” (Theaker, 2004:4). Definisi mengenai kerja humas tidak terbatas sampai disitu saja. Bahkan saat ini tiap ahli dibidang kehumasan memiliki definisi tersendiri mengenai humas. Akan tetapi dari seluruh definisi yang ada, tentunya terdapat fokus yang sama mengenai bagaimana humas bekerja. Hal ini kemudian disimpulkan oleh Wilcox, Ault & Agee (2006: 17) dengan memberikan beberapa kata kunci pengingat, yaitu: a. Sengaja. Kegiatan humas adalah sesuatu yang disengaja, dirancang untuk mempengaruhi, mendapatkan pengertian, memberikan informasi, dan memperoleh umpan balik. b. Terencana. Kegiatan humas merupakan sesuatu yang terorganisasi. Kegiatan dilakukan secara sistematis yang memerlukan riset dan analisis. 6 c. Kinerja. Kegiatan humas yang efektif didasarkan pada kebijakan dan penampilan yang nyata dari seseorang atau sebuah organisasi. d. Kepentingan Masyarakat. Dasar dari kegiatan humas adalah melayani kepentingan masyarakat, dan bukan sekedar memperoleh keuntungan bagi organisasi. Idealnya, kegiatan humas saling menguntungkan bagi organisasi dan masyarakat. e. Komunikasi Dua Arah. Kerap terjadi kekeliruan dalam memberikan definisi terhadap humas, dimana humas hanya terdiri dari penyebaran materi melalui informasi (satu arah). Padahal kegiatan humas mencakup umpan balik dari publik. Sehingga kemampuan mendengarkan adalah bagian dari keahlian komunikasi yang pokok. f. Fungsi Manajemen. Humas berfungsi paling efektif apabila menjadi bagian dari pengambilan keputusan oleh manajemen puncak. Humas melibatkan kegiatan konsultasi dan pengatasan masalah pada tingkat tinggi, tidak hanya mengeluarkan informasi setelah keputusan dibuat. Definisi diatas memberikan gambaran kepada kita, bahwa kegiatan humas dalam suatu organisasi telah dipandang sebagai suatu unsur yang penting dan diperlukan untuk mencapai keberhasilan dari setiap organisasi baik di sektor pemerintah, privat, maunpun non-profit. Dimana humas menjadi media yang menjembatani antara organisasi dengan publiknya untuk menghindari maupun meredam masalah dan menciptakan saling pengertian diantara keduanya. Tujuan tersebut dapat terlaksana dengan baik apabila dalam kegiatannya, humas menjalankan komunikasi secara dua arah. 2. Kampanye Humas Salah satu kegiatan yang dijalankan oleh praktisi humas dalam suatu organisasi adalah melakukan kampanye. Secara umum kampanye humas bertujuan untuk memasyarakatkan suatu program ataupun suatu isu yang sedang berkembang. Kampanye ini sendiri dapat mewakili tema ataupun kepentingan 7 yang bersifat sosial budaya, ekonomi, politik, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan penyebaran misi suatu organisasi. Definisi mengenai kampanye humas dikemukakan oleh Kendall (1992:3) dimana kampanye humas merupakan suatu usaha terencana dari sebuah organisasi untuk membangun tanggung jawab sosial dengan pencapaian tujuan yang berdasarkan hasil penelitian melalui aplikasi strategi komunikasi dan pengukuran hasil. Newsom, Scott, dan Turk (1993:475-477) lebih lanjut lagi menjelaskan bahwa kampanye di desain dan dikelola untuk menyampaikan isu, menyelesaikan masalah, atau untuk memperbaiki situasi. Kampanye merupakan suatu langkah proaktif yang menuntut kreativitas dari humas dan dirancang sebagai salah bentuk komunikasi persuasif untuk menyabarkan misi organisasi. Kreativitas dalam kampanye diperlukan agar organisasi mendapatkan atensi dari masyarakat sekaligus dapat mempengaruhi pola pikir mereka akan suatu isu. Untuk itu strategi komunikasi yang biasanya digunakan dalam menyampaikan pesan adalah dengan menggunakan media mix, sehingga pesan memiliki kemungkinan yang besar untuk sampai kepada publik. Terdapat beberapa elemen yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan kampanye yang dikemukakan oleh Newsom, Scott, dan Turk (1993:475-477). Pertama, education, sebuah kampanye haruslah memberikan pencerahan kepada publiknya dengan cara memberi tahu hal yang tidak diketahui atau memberi mereka perspektif yang berbeda dalam melihat sesuatu yang telah mereka ketahui sebelumnya. Kedua, engineering—faktor kritis dalam perubahan sikap. Dimana dalam suatu kampanye haruslah memiliki sarana penunjang agar publik dapat merubah sikapnya sesuai dengan kehendak organisasi. Misalnya organisasi menjalankan kampanye buang sampah pada tempatnya, maka organisasi harus menyediakan tempat sampah di lokasi-lokasi yang strategis. Ketiga, enforcement, kampanye ini dilakukan dengan cara mendorong perilaku publik dengan paksaan. Misalnya, dalam penggunaan sabuk pengaman, hal ini dilakukan dengan adanya denda bagi mereka yang melanggar. Keempat, entitlement yang juga merupakan bentuk dari reinforcement. Dalam hal ini publik meyakini nilai-nilai yang 8 terkandung dalam kampanye, dan kemudian turut menyebarkan nilai-nilai tersebut kepada orang lain. Hal ini dilakukan agar publik tidak lupa dan dapat menjangkau anggota publik yang jumlahnya terus bertambah setiap hari. Kelima, evaluation, evaluasi yang dilakukan dalam periode waktu tertentu akan membantu organisasi untuk melihat apakah fokus dalam kampanye harus berubah atau tidak, sedangkan evaluasi akhir digunakan untuk menilai apakah terdapat perubahan atau hasil yang dicapai setelah kampanye dilaksanakan. Elemen-elemen yang terdapat dalam kampanye tersebut menunjukkan bahwa kampanye merupakan suatu kegiatan yang kompleks dan menuntut adanya strategi komunikasi agar terjalin kesepahaman antara organisasi dan publiknya. Dimana kampanye humas menekankan adanya penerimaan publik terhadap informasi mengenai suatu isu ataupun program yang dijalankan oleh organisasi. 3. Kampanye Humas Sebagai Bentuk Penerapan Manajemen Humas Pada dasarnya kerja dari humas adalah membangun hubungan yang yang saling menguntungkan dengan publiknya. Disini ditekankan bahwa dalam mengelola program komunikasi, praktisi humas bekerja tidak hanya menekankan pada peran teknisi mereka dalam menyebarkan kebijakan organisasi. Akan tetapi, mereka juga bekerja dengan menjalankan peran manajamen untuk turut andil dalam mengambil kebijakan perusahaan. Sehingga dalam praktiknya, seorang humas juga bekerja dalam lingkup manajemen. Fungsi manajemen yang ditekankan dalam humas, merujuk pada salah satu pengertian manajemen yang dikemukakan oleh McFarland (dalam Putra, 2008:1.9) dimana kata manajemen dapat dipahami sebagai proses pengorganisasian; yakni perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, penggiatan, dan pengevaluasian. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa manajemen humas merupakan suatu proses pengorganisasian dalam menjalankan kegiatan humas baik program, event, maupun kampanye untuk terciptanya komunikasi yang efektif. 9 Pelaksanaan, dari manajemen humas, pada praktiknya merupakan suatu hal yang tak terhindarkan. Hal ini dikemukakan oleh McEalreath (dalam Putra, 2008:1.11) “Managing humas means researching, planning, implementing and evaluating an array of communication activities sponsored by the organization from small group meetings to international satellite-linked press conference, from simple brochure to multimedia national campaigns, from open house to grassroots political campaigns, from public service announcement to crisis management”. Pernyataan dari McEalreath tersebut menekankan bahwa aktivitas manajemen humas pada dasarnya dapat diaplikasikan pada seluruh kegiatan humas, baik dalam lingkup internal maupun eksternal. Selain itu aktivitas manajemen humas ini juga diterapkan pada kegiatan humas yang sederhana hingga yang kompleks. Berdasarkan definisi tersebut dapat kita lihat, bahwa langkah-langkah dalam manajemen humas ini juga dapat diaplikasikan dalam menjalankan kampanye humas. Fungsi manajemen dalam humas, dinilai sebagai langkah strategis untuk menciptakan program-program yang mapan. Karena itu penetapan program perlu memperhatikan tahapan-tahapan yang terdapat dalam manajemen humas, guna menciptakan hubungan yang kondusif dengan publik, sebagai penunjang tercapainya tujuan organisasi. Tahapan dari manajemen humas dijelaskan oleh Cutlip, Center, dan Broom (2005:268) sebagai berikut: a. Mendefinisikan masalah (atau peluang). Dalam langkah ini humas melakukan penyelidikan dan pemantauan pengetahuan, opini, sikap, dan perilaku publik terhadap tindakan dan kebijakan organisasi. Langkah ini memberi landasan “Apa yang sedang terjadi saat ini?” b. Membuat rencana dan program. Berdasar informasi yang terkumpul pada tahap sebelumnya, kemudian humas memutuskan tentang publik, program, tujuan, tindakan, serta 10 strategi, taktik, dan tujuan komunikasi.“Berdasarkan situasi yang telah kita pelajari apa, apa yang sebaiknya kita ubah, lakukan, dan katakan?” c. Bertindak dan berkomunikasi. Langkah ini mencakup pelaksanaan program tindakan dan komunikasi yang telah dirancang untuk mencapai tujuan program. Pertanyaan dalam langkah ini adalah “Siapa yang harus melakukan dan mengatakanya, serta kapan, dimana, dan bagaimana?” d. Mengevaluasi program. Langkah terakhir adalah mencakup penilaian, persiapan, pelaksanaan, dan hasil program. Tahap ini digunakan untuk melihat umpan balik yang terjadi, apakah telah berjalan dengan baik atau tidak. Program diteruskan atau dihentikan setelah mempelajari “Bagaimana kita sekarang, atau dulu?” Bertolak dari pengertian manajemen humas, tahap-tahap yang terdapat dalam kampanye humas tidak bisa lepas dari proses manajemen humas itu sendiri. Dimana para praktisi humas di berbagai bidang menerapkan proses seperti penelitian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dalam berbagai kegiatan kehumasannya. Hal ini bisa dilihat dari model kampanye humas yang dikemukakan oleh Newsom, Scott, and Turk (1993:478). 11 Tabel 1. Model kampanye humas (Sumber: Newsom, Scott, and Turk, 1993:478) Misi organisasi merupakan fondasi dasar yang mempengaruhi seluruh kegiatan kampanye. Kemudian terdapat empat pilar yang harus dimiliki dalam suatu kampanye. Penelitiandiperlukan untuk memberikan gambaran mengenai kebutuhan dan tujuan organisasi yang berhubungan dengan publiknya. Hal ini nantinya akan menyediakan sebuah konsep dasar, dimana perencanaan strategis dapat dikembangkan. Kemudian melakukan implemantasi dari taktik yang telah direncanakan. Evaluasi merupakan proses monitoring secara berkelanjutan, dari tahap perencanaan hingga selesainya kampanye. Tidak lupa dalam kampanye, adalah memperhitungkan anggaran belanja, dimana anggaran ini bervariasi sesuai kebutuhan dan tujuan dari organisasi tersebut. Dari model manajemen humas dan kampanye humas yang telah disebutkan sebelumnya, disini kita dapat melihat bahwa secara umum proses dalam kampanye pr memiliki proses yang sejalan. Persamaan ini menggambarkan 12 bahwa kegiatan kampanye humas merujuk pada aktivitas manajemen humas. Dimana unsur-unsur penelitian, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi merupakan hal dasar yang perlu dilakukan oleh humas dalam menyusun suatu kegiatan kampanye. Gambaran tersebut juga menjelaskan bahwa seorang humas melakukan kerja yang sistematis dan terencana. Proses ini sendiri dilakukan agar tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif dan efisien. Melakukan penelitian terhadap permasalahan yang ada kemudian mempertimbangkan kebijakan atau program apa saja yang akan dilaksanakan, tentunya akan membantu organisasi untuk mencapai tujuannya. Karena melalui proses ini, humas dapat menilai dan menyasar secara spesifik publik mana saja yang perlu ditangani dan program apa yang akan diberikan kepada mereka. Dengan begitu kebijakan atau program humas akan dapat dijalankan dengan baik dan tepat sasaran. Proses ini dilakukan tentunya akan membantu organisasi untuk menjalin hubungan dengan publiknya secara berkesinambungan. 3.1 Penelitian Aktivitas penelitian pada dasarnya merupakan cara yang dilakukan untuk memperoleh informasi untuk mengetahui permasalahan yang ada. Informasi ini bisa didapatkan baik dari publik internal maupun eksternal. Wilcox, Ault & Agee (2006:185) menjelaskan terdapat lima alasan mengapa penelitian menjadi suatu hal yang perlu dilaksanakan oleh humas. Pertama, hal ini terkait dengan adanya fragmentasi publik yang memisahkan publik menjadi kelompok dengan kepentingan yang berbeda. Kedua, kerja manajemen puncak jarang melakukan kontak dengan publik, sehingga mereka tidak mengetahui kondisi yang ada. Ketiga, penelitian mencegah organisasi untuk membuang waktu, usaha, dan dana untuk menanggulangi permasalahan yang sebenarnya tidak ada. Keempat, untuk memberikan fakta sebagai dasar dari program humas. Terakhir, penelitian dengan basis data survei, dapat digunakan sebagai publisitas. Penelitian merupakan hal dasar yang perlu dilakukan humas dalam pelaksanaan programnya, mengingat suatu organisasi memiliki berbagai macam 13 publik. Publik internal dan eksternal tentunya memiliki kebutuhan berbeda, bahkan kedua publik tersebut masih dapat dikelompokkan sesuai dengan kepentingan dan sikap mereka terhadap organisasi. Oleh karena itu, penting bagi humas untuk dapat mengkaji sikap publik melalui penelitian. Agar program yang dilaksanakan tepat guna. Secara umum terdapat dua metode yang dapat digunakan humas dalam melakukan penelitian, yaitu metode informal dan formal. Penelitian dengan menggunakan metode informal biasanya berupa kontak pribadi, informan utama, kelompok fokus atau forum komunitas, komite dan dewan penasihat, ombudsman, jalur telepon masuk, analisa surat, sumber online, serta laporan lapangan. Sedangkan penelitian dengan metode formal biasanya berupa analisis sekunder dan database online, analisa isi, dan survei (Cultip, Center, dan Broom, 2005). Dalam praktiknya, Kasali (2003:89) menjelaskan bahwa metode informal lebih sering digunakan oleh praktisi humas, mengingat metode ini mempertimbangkan dua hal, yaitu anggaran humas yang belum memadai, dan mencegah timbulnya keresahan bila organisasi melakukan pemeriksaan secara formal, karena biasanya penelitian secara formal menimbulkan persepsi bahwa perusahaan telah berjanji melakukan perubahan yang dianggap sebagian orang sebagai ancaman. Metode formal sendiri pada akhirnya, digunakan oleh organisasi untuk melengkapi data-data yang telah mereka himpun secara informal. Data formal yang berbasis kuantitatif ini nantinya digunakan untuk mendukung identifikasi masalah dan digunakan untuk menguatkan bukti berdasarkan angka tentang permasalahan yang ada. Pada akhirnya, data-data yang didapat melalui penelitian akan menjadi dasar dalam melakukan perumusan masalah. Tanpa adanya penelitian, tentunya humas tidak dapat mengindentifikasi permasalah dengan jeli, hal ini tentunya akan berpengaruh pada tahap-tahap selanjutnya dalam proses manajemen humas. Adanya kesalahan dalam melakukan identifikasi, tentunya akan membuat program humas menjadi percuma dan tidak memberi kontribusi secara maksimal pada organisasi. Untuk itulah perlu adanya bagi praktisi humas untuk 14 mengumpulkan data sebanyak-banyaknya, agar dapat mendefinisikan masalah secara tepat serta dapat mengusulkan kebijakan atau program untuk mengatasi permasalahan tersebut. 3.2 Perencanaan Program humas yang baik hendaknya bukan suatu program yang dilakukan secara asal. Agar program humas tepat sasaran, maka perlu adanya humas melakukan perencanaan program. Setelah melakukan penelitian dan menemukan fakta serta permasalahan yang ada dari publiknya, kemudian humas dapat melakukan perumusan masalah yang kemudian dijadikan dasar dalam perencanaan program. Dalam melakukan perencanaan, humas perlu memperhatikan apa yang menjadi objective dari organisasi tersebut. Hal ini dimaksudkan agar perencanaan yang dilakukan tidak keluar dari jalurnya dan menjawab permasalahan yang ada. Untuk itulah, berdasarkan data yang didapat melalui penelitian humas harus mampu untuk menganalisa dan mempertimbangkan perencanaan apa yang akan dilakukan. Pertimbangan-pertimbangan ini melibatkan publik yang menjadi sasaran, media yang digunakan, pesan yang diberikan, tidak lupa permasalahan waktu dan biaya. Putra (2008:4.2-4.15) mengungkapkan terdapat beberapa hal yang yang perlu dilakukan dalam melakukan perencanaan. Pertama, melakukan identifikasi masalah. Tahapan ini dilakukan humas untuk memutuskan permasalahan apa yang dihadapi oleh organisasi. Hal ini biasanya terjadi apabila kondisi atau sikap publik tidak sejalan dengan tujuan organisasi. Karena itu, tahap penelitian penting dilakukan oleh humas untuk melihat situasi yang sedang terjadi dan program apa yang tepat untuk dilaksanakan. Kedua, membuat pernyataan masalah (problem statement). Setelah mengetahui permasalahan yang sedang dihadapi oleh organisasi, kemudian humas merumuskannya dalam pernyataan masalah. Pernyataan masalah haruslah dituliskan secara jelas, spesifik, dan dapat diukur. Hal yang perlu diperhatikan 15 oleh humas dalam merumuskan pernyataan masalah adalah publik dan outcome. Dimana masing-masing publik memiliki posisi yang berbeda terhadap organisasi, dan outcome berkaitan dengan sikap yang diberikan publik pada organisasi. Ketiga, membuat analisis situasi. Analisis situasi perlu dilakukan oleh humas untuk melihat faktor apa saja yang menjadi penyebab timbulnya permasalahan tersebut baik dari segi internal maupun eksternal. Disini humas harus mampu mengkaji apakah permasalahan timbul karena kebijakan atau tindakan yang diterapkan oleh organisasi atau karena kondisi sosial masyarakat yang terpengaruh keberadaan organisasi. Hasil informasi yang didapat pada analisis situasi, kemudian dapat digunakan untuk mengklasifikasikan kekuatankekuatan (strengths), kelemahan-kelemahan (weaknesses), peluang-peluang (opportunity), dan ancaman-ancaman (threats) atau lebih dikenal dengan akronim SWOT. Keempat, menentukan sasaran dan tujuan kegiatan kehumasan. Pelaksanaan dari langkah ini berfungsi untuk memberi fokus dan arahan dalam penetapan perencanaan strategis, serta menjadi patokan hasil akhir yang akan digunakan untuk memantau dan mengevaluasi program. Hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan sasaran dan tujuan kegiatan kehumasan adalah adanya perbedaan antara tujuan dan cara. Dimana tujuan menekankan hasil akhir yang ingin didapatkan berdasarkan program yang dijalankan, dan cara menekankan strategi apa yang digunakan untuk mencapai tujuan program. Hal ini kerap kali dilupakan oleh humas, dimana praktisi sering mencampuradukan hal tersebut. Dalam membuat kerangka perencanaan kegiatan, humas perlu mempertimbangkan beberapa hal untuk menciptakan program yang efektif dan efisien berdasarkan analisis situasi yang sebelumnya telah dibuat. Wilson dan Odgen (2008:72-73) terdapat empat pertimbangan yang perlu dilakukan dalam membuat kerangka perencanaan, yaitu: a. Apa yang secara khusus perlu dilakukan oleh organisasi (tujuandan sasaran) untuk menjawab tantangan. 16 b. Siapa (publik kunci) yang perlu dicapai atau dipengaruhi untuk mencapai tujuandan sasaran yang telah ditetapkan. c. Apa yang perlu organisasi sampaikan (pesan) kepada publik tersebut untuk menggiatkan publik dan membantu organisasi mencapai tujuan. d. Bagaimana (strategi dan taktik) untuk menyampaikan pesan pada publik tersebut agar mereka menerima dan bertindak sesuai dengan pesan tersebut. Sebagai salah satu unsur yang terdapat dalam manajemen humas, perencanaan merupakan hal penting yang perlu dilakukan. Perencanaan memberikan gambaran yang pasti bagi humas untuk mencapai tujuan suatu program. Nantinya, perencanaan ini akan menjadi suatu panduan bagi humas dalam menjalankan fungsinya, serta secara tidak langsung mengkoordinir humas dan pihak pelaksana agar bekerja dalam satu arah. Adanya perencanaan, juga akan memudahkan humas dalam melakukan pengawasan saat melakukan tindakan dan komunikasi. Terkait dengan masalah perencanaan, humas juga harus dapat memilah siapa-siapa saja yang menjadi publik kunci mereka. Pemahaman akan publik ini sangat penting dimiliki oleh humas, karena setiap publik tentunya memiliki kesadaran dan cara menyikapi yang berbeda dalam setiap masalah. Kemampuan humas dalam memilah-milah publik berdasarkan kategori tertentu ini sangat diperlukan untuk memperkirakan strategi apa yang cocok ditujukan pada mereka. Segmentasi publik ini dapat dilihat melalu pendekatan yang diberikan oleh Broom dan Dozier (dalam Putra, 2008:5.27-5.29), yaitu (a) Geografis, publik dilihat berdasarkan tempat tinggalnya, (b) Demografis, publik dilihat melalui aspek jenis kelamin, umur, pendapatan, pendidikan, status perkawinan, agama, dan sebagainya, (c) Psikografis, publik dilihat dari sudut pandang psikologi maupun gaya hidup, penilaian berdasar psikografis ini lebih dikenal dengan model VALS (values and lifestyle), (d) Covert power, publik dilihat dari pengaruh yang dimiliki terhadap kelompok lain, (e) Posisi, publik dilihat berdasarkan aspek profesi atau 17 pengetahuan yang mereka miliki, (f) Reputasi, publik dinilai berdasarkan siapa yang paling tahu akan suatu persoalan, (g) Keanggotaan, publik dilihat dari keanggotaannya dalam berbagai organisasi, karena perilakunya dapat menggambarkan perilaku dari keseluruhan objek, (h) Publik, dilihat melalui peranannya dalam proses pengambilan keputusan, (i) Perilaku komunikasi publik, disini humas melihat tingkat keaktifan publik, saluran komunikasi, serta aspekaspek lain dalam berkomunikasi. Segmentasi publik ini penting untuk dilakukan karena humas harus dapat melihat, publik di kelompok mana saja yang dapat membantu organisasi dalam mencapai tujuan mereka. Selain itu pemilihan publik ini nantinya, akan berpengaruh pula pada bagaimana cara organisasi dalam menyampaikan pesan. Karena setiap kelompok dalam segmentasi tersebut memiliki frame of reference dan field of experience yang berbeda, yang sangat berpengaruh pada resepsi komunikasi yang disampaikan oleh organisasi. Apabila humas dapat menentukan publik kuncinya, komunikasi yang dilakukan tentunya tidak akan bias. Pada akhirnya, hal ini akan memudahkan humas dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. 3.3 Bertindak dan Berkomunikasi Bertindak dan berkomunikasi merupakan implementasi yang dilakukan dari perencanaan program yang sebelumnya telah diputuskan. Implementasi ini merupakan langkah nyata yang diwujudkan oleh humas untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dengan menggunakan perencanaan sebagai pedoman pelaksanaan. Iriantara (2005:62) menjelaskan meskipun implementasi dilakukan dengan rencana sebagai pedomannya, tetapi rencana bukanlah pedoman pasti dan apa yang direncanakan pasti bisa diwujudkan, sehingga masih memungkinkan adanya perubahan. Akan tetapi perubahan yang dilakukan tidak bisa secara asal dan merombak kesuluruhan perencanaan yang telah dilakukan. Perubahan yang dilakukan biasanya menyesuaikan antara rencana dan kondisi yang terjadi di 18 lapangan, sehingga tindakan dan komunikasi yang dapat dilaksanakan secara efektif. Pada dasarnya bertindak dalam kegiatan kehumasan merupakan langkah proaktif yang dilakukan oleh organisasi, mengingat tidak semua permasalahan yang muncul dapat diselesaikan hanya melalui komunikasi saja, seperti pepatah mengatakan action speak louder than words. Tanpa adanya tindakan atau aksi, maka komunikasi yang diberikan juga tidak akan maksimal, begitu juga sebaliknya. Kegiatan bertindak dan berkomunikasi merupakan suatu kegiatan komplementer dalam penyelesaian masalah. Strategi tindakan, diberikan oleh organisasi dalam wujud yang nyata dan bisa dilihat. Strategi tindakan tidak dapat dilakukan begitu saja, humas harus mempertimbangkah tindakan mana yang sekiranya perlu dilakukan sebagai langkah pencapaian tujuan. Smith (dalam Putra, 2008:6.4-6.9) menyebutkan terdapat beberapa tindakan sebagai langkah proaktif yang dapat dilakukan humas: a. Kinerja organisasi. Pada dasarnya aktivitas komunikasi yang dijalankan oleh organisasi, bergantung pada kinerja mereka. Oleh karena itu, aktivitas komunikasi hanya akan berjalan dengan baik, apabila didukung dengan kinerja organisasi yang baik pula. b. Partisipasi khalayak. Salah satu cara yang dapat dilakukan humas, adalah dengan memberikan kesempatan berkomunikasi secara langsung antara khalayak dengan organisasi. c. Special event. Strategi ini dilakukan dengan cara mengadakan ajang khusus yang melibatkan publik sekaligus dan memiliki potensi untuk mendapatkan perhatian media. d. Aliansi dan koalisi. Strategi ini dilakukan untuk mencapai tujuan bersama. Dibentuknya kerja sama antar organisasi akan meningkatkan daya mereka dalam memberikan pengaruh, maka hal ini akan meningkatkan efektivitas komunikasi. 19 e. Aktivisme. Merupakan strategi yang menggunakan pendekatan advokasi dalam humas, dimana organisasi terlibat dalam memperjuangkan hak dan kepentingan masyarakat seperti dibidang sosial, budaya, dan lingkungan. f. Tindakan-tindakan perbaikan. Tindakan perbaikan dilakukan untuk menghilangkan sumber masalah yang ada. Humas dapat melakukannya dengan memberi masukan dalam melakukan perbaikan terhadap kebijakan dan tindakan yang perlu dilakukan organisasi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa strategi tindakan dan komunikasi merupakan komplementer, maka humas juga perlu memperhatikan komunikasi yang ingin mereka bangun. Dalam menerapkan strategi komunikasi ini, humas perlu melakukan pertimbangan terkait dengan kemampuan resepsi publik yang berbeda-beda. Cutlip, Center, dan Broom (2005:336) menyebutkan terdapat delapan hal yang perlu dipertimbangkan dalam menerapkan strategi komunikasi, yaitu: a. Kredibilitas. Komunikator, haruslah seseorang yang memiliki nilai lebih, sehingga komunikan memiliki kepercayaan pada komunikator b. Konteks. Pesan yang diberikan harus memberikan informasi sesuai dengan fakta yang ada. Komunikasi dalam tataran ini dapat dicapai apabila terdapat lingkungan sosial yang mendukung, yang sebagian besar dipengaruhi oleh media massa. c. Isi. Pesan yang disampaikan oleh komunikator haruslah sesuai dan berhubungan dengan situasi penerima. d. Kejelasan. Komunikasi dapat berjalan efektif apabila komunikator dan komunikan memiliki maksud yang sama. Oleh karena itu, pesan yang diberikan haruslah menggunakan bahasa atau lambang yang sederhana. e. Kesinambungan dan kekonsistenan. Komunikasi merupakan proses tanpa akhir dan diperlukan repetisi agar dapat dipahami. Dalam repetisi itu, pesan yang disampaikan harus konsisten. 20 f. Saluran. Pesan sebaiknya disampaikan melalui saluran yang biasa digunakan oleh komunikan. Menciptakan saluran baru belum tentu berhasil, serta memakan waktu dan biaya. Penggunaan saluran yang berbeda akan memberikan efektivitas yang berbeda. g. Kesanggupan khalayak. Komunikasi harus memperhitungkan kesanggupan khalayak. Komunikasi yang paling efektif adalah ketika penerima mengeluarkan usaha minimal dalam menangkap pesan yang diberikan. Pada akhirnya, implementasi dari tindakan dan komunikasi, merupakan cara yang ditempuh oleh humas dalam menjaga hubungan dengan publiknya dengan menggunakan perencanaan sebagai pedomannya. Implementasi dari tindakan dan strategi merupakan salah satu unsur dalam manajemen humas yang dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh publik. Karena itu, dalam pelaksanaannya humas harus mampu mempertimbangkan cara apa yang paling cocok dalam implementasi, demi tercapainya tujuan dari program kehumasan sebagai upaya pencapaian visi dan misi organisasi. 3.4 Evaluasi Langkah terakhir dalam proses manajemen humas adalah evaluasi. Evaluasi dilakukan oleh humas untuk mengetahui sejauh mana pencapaian dari suatu program. Akan tetapi, tahap ini justru sering dilupakan oleh praktisi humas. Padahal evaluasi merupakan tahap penting, dimana humas dapat menilai umpan balik yang diberikan oleh publik, yang nantinya akan berguna sebagai rujukan program selanjutnya. Pada dasarnya praktik evaluasi melibatkan pengumpulan informasi tentang kegiatan, karakteristik, dan hasil program, personil, dan produk untuk digunakan oleh publik tertentu untuk mengurangi ketidakpastian, meningkatkan efektivitas, dan membuat keputusan yang berkaitan dengan program, personil, atau produk mereka lakukan dan apa pengaruhnya (Patton dalam Watson dan Noble, 2005:22). 21 Evaluasi pelaksanaan suatu program, tidak semata-mata hanya dilihat melalui hasil akhirnya, akan tetapi evaluasi juga dapat dilihat dari segi pelaksanaannya. Hal ini dikemukakan oleh Grunig dan Hunt (1984:183) bahwa secara garis besar, evaluasi program humas dibedakan menjadi dua jenis yaitu process evaluation (evaluasi proses) dan outcomes evaluation (evaluasi hasil). Evaluasi proses dilakukan untuk mengetahui apakah program humas telah dikelola dengan efektif. Evaluasi ini akan melihat apakah program telah dilaksanakan sesuai dengan panduan yang direncanakan atau tidak. Sedangkan evaluasi hasil menilai efek apa yang didapat dari pelaksanaan program humas, apakah sudah memenuhi tujuan atau belum. Di lain sisi, Cutlip, Center, dan Broom (2005:344-357) memberikan pendekatan lain dalam melakukan evaluasi. Mereka memandang bahwa evaluasi merupakan suatu tahapan yang terstruktur dalam tiga tingkatan yang memberikan hasil pengukuran berbeda. Pertama, evaluasi persiapan. Pada tingkat ini, evaluasi dilakukan untuk melihat apakah informasi yang dikumpulkan sudah cukup sebagai latar belakang masalah dalam perencanaan program. Evaluasi ini juga menilai apakah strategi yang digunakan untuk suatu program sudah tepat, yang termasuk didalamnya adalah penilaian terhadap kualitas pesan untuk melihat apakah materi program humas mudah dipahami atau tidak. Kedua, evaluasi pelaksanaan program. Evaluasi ini menilai seberapa efektif program diimplementasikan dan bagaimana pesan dan materi komunikasi disebarluaskan ke publik sasaran. Tahap ini adalah mencatat jumlah pesan yang telah didistribusikan. Setelah itu humas menghitung jumlah pesan yang ditempatkan di media. Penghitungan ini, akan memperlihatkan potensi yang dimiliki publik sasaran dalam menerima pesan. Selanjutnya menentukan jumlah orang yang menerima pesan program. Langkah terakhir, adalah menghitung jumlah orang yang memerhatikan pesan. Ketiga, evaluasi dampak. Evaluasi ini dilakukan untuk melihat hasil yang diberikan dari program humas—apakah sasaran dan tujuan program humas telah tercapai ? Hal ini dilakukan dengan menghitung jumlah orang yang mengetahui 22 isi pesan untuk mengukur berapa banyak yang memperhatikan isi pesan. Langkah berikutnya adalah menghitung jumlah orang yang mengubah sikapnya sesuai dengan yang diinginkan organisasi. Selain itu, evaluasi juga dilakukan untuk menghitung jumlah orang orang yang mengulangi atau mempertahankan perilaku yang diharapkan. Pelaksanaannya tidak semua organisasi melakukan seluruh evaluasi tersebut. Sering kali kita menemukan organisasi yang hanya melakukan satu jenis evaluasi saja. Hal ini bisa dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, seperti terbatasnya staff, waktu, serta biaya. Pelaksanaan dari proses evaluasi juga tidak harus menunggu suatu program selesai dilaksanakan, akan tetapi dapat dimulai sejak dilakukannya perencanaan serta implementasi kegiatan. Layaknya tahap penelitian, hasil akhir dalam evaluasi sendiri bisa berupa data yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitif, menyajikan hasil yang evaluasi yang objektif disertai ukuran yang pasti, akan tetapi pelaksanaannya cukup memakan waktu dan biaya. Sehingga pelaksanaan evaluasi dengan data kuantitatif cenderung dilakukan oleh organisasi besar. Sedangkan hasil data kualitatif, memberikan hasil data yang detail dan dapat memberikan gambaran secara mendalam tentang perasaan publik mengenai program humas yang dijalankan. Pada akhirnya, hasil evaluasi ini akan digunakan untuk menilai sukses atau tidaknya suatu program, sehingga ia dapat memberikan rekomendasi lebih lanjut untuk mengganti atau memperbaiki program. 4. Humas pada LSM Sebagai salah satu bentuk dari organisasi non-profit, LSM merupakan lembaga yang bertujuan untuk mendukung kepentingan umum maupun meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dimana dalam pelaksanaannya LSM tidak mencari keuntungan secara material. Keberadaan LSM sendiri, saat ini kian berkembang sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan keberadaan isu-isu serta permasalahan di sekitar mereka. Hal ini menyebabkan munculnya 23 LSM-LSM berbasis aktivis HAM, lingkungan, organisasi amal, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Sebagai organisasi yang bekerja dengan cara tidak mencari keuntungan, maka LSM memilik tantangannya tersendiri, yaitu minimnya sumber daya yang mereka miliki. Boyer (dalam Park dan Rhee, 2010) menyebutkan bahwa humas menjadi fungsi yang sangat diperlukan di organisasi non-profit karena mereka bersaing dengan sumber daya yang terbatas. Untuk itu, humas memainkan peran yang sangat penting dalam LSM, karena pada dasarnya humas berfungsi sebagai jembatan antara organisasi dengan publik. Humas berperan penting dalam LSM, karena LSM memerlukan publik untuk mengetahui tujuan serta memberikan dukungan kepada mereka. Oleh karena itu, penting bagi humas dalam membangun komunikasi dua arah dengan publiknya untuk memperkuat dan mengkomunikasikan tujuan serta program yang mereka tetapkan. Dalam praktiknya sendiri, cara kerja humas pada LSM tidak jauh berbeda dengan humas pada organisasi yang berbasis profit. Hal ini dikemukakan oleh Bates (dalam Gomes dan Nunes, 2012) “Practicing Humas in a not-for-profit organization closely resembles practicing Humas in a profit-making endeavor. In both instances, you want to gain the support of important publics or constituencies for what you do and how you do it. (...) You also use the same basic tools and techniques to deliver your information and messages (...). Then, you manage with the same four-step process in mind: research, plan, communicate, evaluate. You follow a logical pattern to assure the effectiveness of your efforts.” Penjelasan dari tersebut menggambarkan bahwa secara dasar, praktik humas pada LSM tidak jauh berbeda baik dari proses pelaksanaannya, maupun alat atau media yang digunakan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa LSM merupakan organisasi yang memiliki tujuan untuk memperbaiki kondisi yang ada, sehingga humas pada LSM memiliki peranan khusus yang tidak dimiliki oleh humas pada organisasi profit. Hal ini dijelaskan oleh Strauss (2010) bahwa 24 praktisi humas pada LSM harus mampu menciptakan kemampuan masyarakat untuk bekerja sama yaitu berupa penjaringan sukarelawan serta penggalangan dana. Peranan khusus yang dimainkan oleh humas pada LSM tidak sebatas itu. Berkenaan dengan penyampaian misi mereka kepada masyarakat, maka humas pada LSM juga bekerja atas dasar kepentingan publik. Penyebaran misi ini dapat dilakukan melalui aktivitas sosialisasi, edukasi publik, kampanye, pembuatan petisi, dan lain lain. Oleh karena itu, tindakan nyata yang dilakukan oleh humas tidak hanya melakukan penyebaran misi dan tujuan organisasi, akan tetapi memberikan kontribusi untuk mengubah kondisi masyarakat (Gomes dan Nunes, 2010). Menjadi tantangan tersendiri bagi humas pada LSM, karena pelaksanaanya mereka berhadapan dengan keterbatasan yang mereka miliki baik dari segi sumber daya manusia maupun finansial. Agar dapat memaksimalkan fungsinya dalam melaksanakan program mereka dengan sumber daya yang terbatas, maka humas perlu menjalankannya dengan menggunakan pendekatan manajemen yaitu melakukan penelitian, perencanaan, tindakan dan komunikasi, serta evaluasi. Manajemen humas hanya akan berlangsung dengan baik apabila humas memiliki kepekaan dalam melihat kondisi sosial dan kemampuan untuk mempertimbangkan langkah strategis demi tercapainya tujuan dari LSM. F. Kerangka Konsep Dalam aktivitas kerjanya, praktisi humas di LSM tidak bekerja sematamata hanya melakukan tindakan dan berkomunikasi pada publiknya, akan tetapi mereka perlu menerapkan konsep-konsep manajamen humas dalam setiap kegiatannya termasuk kampanye. Kampanye yang dilaksanakan oleh LSM bertujuan untuk memberikan informasi, menciptakan kesadaran, serta pada tahapan yang lebih tinggi merubah perilaku publik.Untuk itu proses manajemen humas sebagai acuan dari kampanye humas dilakukan untuk membantu pelaksanaan tugas-tugasnya dalam usaha pencapaian tujuan dari organisasi Selain itu penerapan manajemen humas juga dilakukan untuk menunjang kinerja humas 25 dalam membangun hubungan yang seimbang dan saling menguntungkan, baik dengan publik internal maupun publik eksternal yang memiliki pengaruh terhadap organisasi. Pada dasarnya konsep-konsep dalam manajemen humas ini diterapkan untuk menentukan siapa saja publik yang menjadi target sasaran kampanye anti kekerasan dalam pacaran yang dilakukan oleh Rifka Annisa WCC dan bagaimana cara berkomunikasi dengan mereka. Untuk itulah proses manajemen perlu diterapkan guna menyusun strategi dan taktik agar publik dapat menerima pentransferan ide dan nilai sosial melalui kampanye yang dilakukan oleh Rifka Annisa WCC. Penyusunan strategi dan taktik juga dimaksudkan agar publik memberikan umpan balik sesuai dengan apa yang diharapkan oleh organisasi. Untuk itu, dalam melaksanakan aktivitasnya, humas perlu memperhatikan empat tahapan yang terdapat dalam manajemen humas, yaitu: a. Penelitian. Merupakan aktivitas humas yang dilakukan untuk melihat kondisi publik mengenai kekerasan dalam pacaran—bagaimana publik melihat dan menanggapi fenomena tersebut. Upaya ini dilakukan untuk melihat permasahan apa yang muncul dan perlu ditangani. b. Perencanaan. Merupakan aktivitas humas dalam merumuskan permasalahan yang ada berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Setelah itu humas, menuangkannya dalam bentuk perencanaan strategi yang telah ditujukan kepada publik yang menjadi target, guna menanggapi fenomena kekerasan dalam pacaran. c. Tindakan dan komunikasi. Merupakan aktivitas humas dalam mengimplementasikan perencanaan strategis yang telah dilakukan sebelumnya. Implementasi ini terkait dengan bagaimana humas melakukan tindakan dan komunikasi pada publik yang telah dirumuskan sebelumnya dalam tahap perencanaan, guna menciptakan komunikasi yang efektif dan efisien antara organisasi dan publiknya. d. Evaluasi. Merupakan aktivitas humas dalam menilai apakah kampanye yang dijalankan telah efektif dan mencapai tujuan dari Rifka Annisa 26 WCC. Hasil dari penilaian ini nantinya digunakan untuk mempertimbangka program humas mana yang masih perlu dilanjutkan, baik dengan perubahan maupun tidak, atau untuk menghentikan program humas yang dinilai gagal dan tidak memberikan sumbangan kepada organisasi. Tahapan dalam manajemen humas ini perlu diperhatikan dan dijalankan secara sinergis, karena saling berkaitan satu dengan yang lain. Penelitian yang mapan tentunya akan membantu humas dalam melakukan perencanaan kampanye yang baik. Perencanaan yang baik tentunya akan memudahkan humas dalam mengimplementasikannya dalam tindakan dan komunikasi agar sesuai dan tepat sasaran. Setelah semuanya selesai, humas perlu mengadakan evaluasi untuk menilai tingkat keberhasilan dari kampanye. Hasil dari evaluasi tersebut nantinya dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk kegiatan kampanye selanjutnya. Sehingga proses dalam manajemen humas merupakan proses kerja yang berkesinambungan. G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan tipe deskriptif.Metode ini digunakan karena cocok bila pokok pertanyaan berkenaan dengan how atau why, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata (Yin 2012:1). Sehingga penelitian ini cocok digunakan untuk mengalinisis fenomena-fenomena sosial yang terdapat memiliki karakter-karakter khusus. Sedangkan tipe deskriptif, nantinya akan digunakan peneliti untuk menyajikan data secara sistematis. Yin (2012:18) juga mengemukakan bahwa studi kasus merupakan inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana 27 batas-batas antara fenomena dan konteks tak nampak dengan tegas, dan dimana multisumber digunakan. Sehingga pada penelitian ini, peneliti berupaya menemukan berbagai macam sumber, untuk keabsahan data serta menguatkan analisis. Metode studi kasus juga dipilih karena LSM Rifka Annisa WCC memiliki karaketer khusus tersendiri. Dalam ranah LSM yang memfokuskan diri pada upaya penghapusan kekerasan pada perempuan, Rifka Annisa merupakan satusatunya LSM di jogja yang secara aktif melakukan kampanye terhadap adanya tindak kekerasan pada perempuan (termasuk kekerasan dalam pacaran) yang dilaksanakan oleh humas sebagai penanggung jawab. Dalam ranah yang sama pula, hanya Rifka Annisa yang memiliki humas dalam struktur organisasinya. 2. Obyek Penelitian Objek penelitian ini adalah Humas LSM Rifka Annisa WCC seputar bagaimana proses aktivitas manajamen humas dalam melakukan penanaman nilai dan ide sosial mengenai budaya patriarki yang menyebabkan tindak kekerasan pada perempuan, khususnya mengenai kekerasan dalam pacaran. 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di LSM Rifka Annisa Women’s Crisis Center (WCC) Yogyakarta khususnya di divisi humas dan media yang membawahi staff humas. 4. Teknik Pengumpulan data Teknik-teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Wawancara. Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan melakukan wawancara kepada responden berdasarkan interview guide dan pertanyaan spontan untuk melengkapi data. Wawancara dapat dilakukan secara langsung maupun via telepon atau email. Pertanyaan-pertanyaan 28 yang muncul dalam wawancara bersifat open ended question, sehingga peneliti dapat menggali data secara mendalam. Informan yang akan diwawancarai dalam penelitian ini adalah Any Sundari selaku manajer divisi humas-media Rifka Annisa WCC, Defirentia One selaku humas Rifka Annisa WCC. Niken Anggrek Wulan selaku volunteer divisi Humas-media Rifka Annisa WCC.Fitri Indri Harjanti selaku divisi Research and Training Center. Serta Uyan Pawolung selaku peserta kampanye anti kekekerasan dalam pacaran yang diadakan oleh Rifka Annisa WCC. b. Dokumentasi dan data sekunder. Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini berupa hasil penelitian, laporan kegiatan, notulensi rapat, serta newsletter maupun website atau blog Rifka Annisa WCC. Selain itu penelitian ini, juga akan menggunakan data sekunder berupa data maupun hasil penelitian relevan dapat yang digunakan untuk mendukung dan menambah bukti. 5. Teknik Analisis Data Proses analisis dalam metode studi kasus dapat dilakukan sejak melakukan pengumpulan data. Setelah melakukan pengumpulan data, maka data kemudian dianalisis dengan mengelompokkannya ke dalam kategori-kategori atau domaindomain tertentu. Hasil dari pengkategorian tersebut kemudian dianalisis dan dibandingkan dengan pola yang sudah dibuat berdasarkan teori yang telah disusun yang biasa disebut dengan logika penjodohan pola. Yin (2012:140) menjelaskan bahwa logika penjodohan pola membandingkan pola yang didasarkan atas empiris dengan pola yang diprediksikan (atau dengan beberapa prediksi alternatif). Untuk memeriksa keabsahan data dalam metode studi kasus, maka penelitian ini memanfaatkan teknik triangulasi yaitu dengan menggunakan beberapa sudut pandang atau multisumber. Denzin (dalam Patton 2006:99) 29 menjelaskan bahwa terdapat empat cara dalam melakukan triangulasi yaitu data, investigator, teori, dan metodologis. Penelitian kali ini sendiri nmenggunakan triangulasi data dimana penggalian data dilakukan dengan menggunakan beragam sumber data dalam suatu kajian, yakni dengan mewawancarai orang dengan posisi dan status yang berbeda serta penggunaan data yang bersifat dokumentasi maupun data-data pendukung lainnya. Dalam penelitian ini, hasil penelitian yang diperoleh melalui wawancara, dokumentasi, serta observasi terhadap pihak terkait akan disampaikan secara sistematis dan dihubungkan dengan teori-teori yang relevan. Alur analisis dalam penelitian ini akan mengacu pada kerangka konsep yang telah dijabarkan sebelumnya, yaitu aktivitas manajemen humas pada kampanyeanti kekerasan dalam pacaran yang dilakukan LSM Rifka Annisa WCC. Teknik analisis data ini digunakan karena disesuaikan dengan jenis penelitian yang bersifat deskriptif. 30