ISPA

advertisement
KASUS-KASUS NON EMERGENCY
1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas
a. Infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) merupakan penyakit akut yang paling umum
ditemukan pada orang-orang. ISPA mencakup mulai dari yang ringan seperti common
cold sampai kepada yang berat seperti epiglotitis.
b. Gejala dan Tanda:
Pada infeksi yang disebabkan virus, umumnya ditemukan keadaan sebagai berikut
(contoh viral nasopharyngitis):
-
Eritema mukosa hidung dan edema
-
Nasal discharge: discharge yang banyak lebih khas pada infeksi virus, sekresi yang
pada awalnya jernih biasanya menjadi putih berawan, kuning, atau hijau selama
beberapa hari
-
Napas berbau busuk
-
Demam: jarang pada orang dewasa, tetapi mungkin ada pada anak-anak dengan
infeksi rhinoviral
Sedangkan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri, ciri-cirinya sebagai berikut
(contoh Group A streptococcal pharyngitis):
-
Eritema, pembengkakan, atau eksudat tonsil atau faring
-
Suhu 38,3 ° C (100,9 ° F) atau lebih tinggi
-
Pembesaran nodus cervicalis anterior (≥ 1 cm)
-
Tidak adanya konjungtivitis, batuk, dan rhinorrhea; yang merupakan gejala dari ISPA
yang disebabkan virus
c. Prinsip Penatalaksanaan Awal
Kebanyakan infeksi saluran pernapasan atas dapat didiagnosis dan diobati sendiri di
rumah oleh kebanyakan orang pada umumnya. Terapi simtomatis merupakan andalan
pengobatan ISPA pada orang dewasa dengan sistem imun yang baik, meskipun terapi
antimikroba atau antiviral yang tepat dibutuhkan pada pasien tertentu (Meneghetti, 2013)
2. Common Cold, umumnya sama dengan prinsip pada ISPA.
3. Cephalgia
a. Rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada daerah atas kepala memanjang dari orbital
sampai ke daerah belakang kepala (area oksipital dan sebagian daerah tengkuk).
Klasifikasi ini secara garis besar membagi nyeri kepala menjadi dua yaitu nyeri kepala
primer dan nyeri kepala sekunder.
1) Nyeri kepala primer kemudian dibagi menjadi empat kategori yaitu:
a) Migraine
b) Nyeri kepala tipe tegang
c) Nyeri kepala cluster – trigerminal
d) Nyeri kepala primer lainnya.
2) Nyeri kepala sekunder
a) Nyeri kepala pasca trauma
b) Nyeri kepala organik
c) Perdarahan subaracnoid, neuralgia trigeminus.
d) Penyakit Sistemik
e) Sesudah pungsi lumbal (Harsono, 2011).
b. Gejala dan Tanda
a. Migren
Migren adalah gejala kompleks yang mempunyai karakteristik pada waktu tertentu dan
serangan sakit kepala berat yang terjadi berulang-ulang. Penyebab migren tidak diketahui
jelas, tetapi ini dapat disebabkan oleh gangguan vaskuler primer yang biasanya banyak
terjadi pada wanita dan mempunyai kecenderungan kuat dalam keluarga.
Tanda dan gejala adanya migren pada serebral merupakan hasil dari derajat iskhemia
kortikal yang bervariasi. Serangan dimulai dengan vasokonstriksi arteri kulit kepala dam
pembuluh darah retina dan serebral. Pembuluh darah intra dan ekstrakranial mengalami
dilatasi, yang menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan.
b. Cluster Headache
Cluster Headache adalah bentuk sakit kepal vaskuler lainnya yang sering terjadi pada
pria. Serangan datang dalam bentuk yang menumpuk atau berkelompok, dengan nyeri
yang menyiksa didaerah mata dan menyebar kedaerah wajah dan temporal. Nyeri diikuti
mata berair dan sumbatan hidung. Serangan berakhir dari 15 menit sampai 2 jam yang
menguat dan menurun kekuatannya.
Tipe sakit kepala ini dikaitkan dengan dilatasi didaerah dan sekitar arteri ekstrakranualis,
yang ditimbulkan oleh alkohol, nitrit, vasodilator dan histamin. Sakit kepala ini berespon
terhadap klorpromazin.
c. Tension Headache
Stress fisik dan emosional dapat menyebabkan kontraksi pada otot-otot leher dan kulit
kepala, yang menyebabkan sakit kepala karena tegang. Karakteristik dari sakit kepala ini
perasaan ada tekanan pada dahi, pelipis, atau belakang leher. Hal ini sering tergambar
sebagai “beban berat yang menutupi kepala”. Sakit kepala ini cenderung kronik daripada
berat. Pasien membutuhkan ketenangan hati, dan biasanya keadaan ini merupakan
ketakutan yang tidak terucapkan. Bantuan simtomatik mungkin diberikan untuk
memanaskan pada lokasi, memijat, analgetik, antidepresan dan obat relaksan otot
(Harsono, 2009).
c. Prinsip Penatalaksanaan Awal
1. Analgetikum, misalnya :
a. Asam salisilat 500 mg tablet, dosis 150 mg/hari.
b. Metampiron 500 mg tablet, dosis 1500 mg/hari
c. Asam mefenamat 250 – 500 mg tablet, dosis 750 – 1500 mg/hari.
2. Penenang / ansiolitik, misalnya :
a. Klordiasepoksid 5 mg tablet, dosis 15-30 mg/hari.
b. Klobazepam 10 mg tablet, dosis 20 – 30 mg/hari
c. Lorazepam 1-2 mg tablet, dosis 3 – 6 mg/hari.
3. Antidepresan, misalnya :
a. Maprotiline 25, 50, 70 mg tablet, dosis 25 – 75 mg/hari.
b. Amineptine 100 mg tablet, dosis 200 mg/hari.
4. Anestesia / analgetik lokal misalnya injeksi prokain.
(Harsono, 2009).
4. Epigastric Pain Syndrome
Diagnostic criteria* Must include all of the following:
. Pain or burning localized to the epigastrium of at least moderate severity,
at least once per week
. The pain is intermittent
. Not generalized or localized to other abdominal or chest regions
. Not relieved by defecation or passage of flatus
. Not fulfilling criteria for gallbladder and sphincter of Oddi disorders
* Criteria fulfilled for the last
at least
months with symptom onset
months prior to diagnosis
Supportive criteria
. The pain may be of a burning quality, but without a retrosternal component
. The pain is commonly induced or relieved by ingestion of a meal, but may
occur while fasting
. Postprandial distress syndrome may coexist
5. Diare
a. Diare adalah peningkatan massa tinja, bertambahnya frekuensi buang air besar atau
fluiditas (tingkat keenceran) tinja yang lebih tinggi (Dorland, 2002). Diare dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu karena adanya infeksi enteral dan parenteral,
imuninodefisiensi, terapi, maupun karena tindakan tertentu lainnya. Infeksi enteral dapat
disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa, dan cacing. Sedangkan infeksi parenteral dapat
disebabkan oleh karena intoksisitas makanan, alergi dan malabsorbsi (PAPDI, 2006).
b. Gejala dan Tanda menurut Guandallini (2013):
-
Dehidrasi : lesu, kesadaran menurun, membran mukosa kering, mata cekung,
berkurangnya air mata, turgor kulit buruk, perlambatan pengisian kapiler
-
Gagal tumbuh dan kekurangan gizi : berkurangnya massa otot/lemak atau edema
perifer
-
Nyeri perut / kram
-
Borborygmi
-
eritema perianal
c. Prinsip Penatalaksaan Awal:
Untuk penatalaksanaan diare akut pada orang dewasa karena infeksi terdiri atas:
-
Rehidrasi, terdapat empat hal penting yang perlu diperhatikan yaitu: jenis, jumlah,
jalan masuk atau cara dan jadwal pemberian cairan
-
identifikasi penyebab diare akut karena infeksi, tentukan jenis diare koleriform atau
disentriform dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang yang terarah
-
terapi simtomatis, dengan pemberian obat antidiare diberikan sangat hati-hati atas
pertimbangan rasional
-
terapi definitif, edukasi yang jelas sangat penting sebagai langkah pencegahan;
higiene perorangan, sanitasi lingkungan dan imunisasi melalui vaksinasi sangat
berarti selain terapi farmakologi (Mansjoer, 2001).
Sedangkan pada diare kronis penatalaksanaan terdiri dari penatalaksanaan simtomatis dan
kausal. Sebenarnya sebagian besar sama dengan penatalaksanaan pada diare akut, namun
diperlukan bebrapa tambahan yang bersifat simtomatis. Penatalaksanaan simtomatis
terdiri dari rehidrasi, pemberian antispasmodik, antikolinergik, obat antidiare,
antiemetik, vitamin dan mineral, obat ekstrak enzim pankreas, alumunium hidroksida,
fenotiazin dan asam nikotinat. Sedangkan untuk pengobatan kausal diberikan pada
infeksi maupun noninfeksi. Pada diare yang disebabkan karena infeksi, obat diberikan
berdasarkan etiologinya (Mansjoer, 2001).
6. Disentri
a. Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit perut dan
buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang bercampur lendir dan darah.
Berdasarkan penyebabnya disentri dapat dibedakan menjadi dua yaitu disentri amuba dan
disentri basiler. Penyebab yang paling umum yaitu adanya infeksi parasit Entamoeba
histolytica yang menyebabkan disentri amuba dan infeksi bakteri golongan Shigella yang
menjadi penyebab disentri basiler (Ramaiah, 2007).
b. Gejala dan Tanda
1) Parasit Entamoeba hystolytica hidup dalam usus besar, parasit tersebut mempunyai
dua bentuk, yaitu bentuk yang bergerak dan bentuk yang tidak bergerak. Parasit yang
berbentuk tidak bergerak tidak menimbulkan gejala, sedangkan bentuk yang bergerak
bila menyerang dinding usus penderita dapat menyebabkan mulas, perut kembung,
suhu tubuh meningkat, serta diare yang mengandung darah dan bercampur lendir,
namun diarenya tidak terlalu sering (Suryadi, 2006).
2) Disentri basiler biasanya menyerang secara tiba – tiba sekitar dua hari setelah
kemasukan kuman/bakteri Shigella. Gejalanya yaitu demam, mual dan muntahmuntah, diare dan tidak napsu makan. Bila tidak segera diatasi, dua atau tiga hari
kemudian keluar darah, lendir atau nanah dalam feses penderita. Pada disentri basiler,
penderita mengalami diare yang hebat yaitu mengeluarkan feses yang encer hingga
20-30 kali sehari sehingga menjadi lemas, kurus dan mata cekung karena kekurangan
cairan tubuh (dehidrasi). Hal tersebut tidak bisa dianggap remeh, karena bila tidak
segera diatasi dehidrasi dapat mengakibatkan kematian. Gejala lainnya yaitu perut
terasa nyeri dan mengejang (Suryadi, 2006).
c. Prinsip Penatalaksanaan Awal
-
Rehidrasi
Dalam keadaan darurat, dehidrasi yang ringan dapat diatasi dengan pemberian cairan
elektrolit (oralit) untuk mengganti cairan yang hilang akibat diare dan muntahmuntah. Apabila dehidrasi cukup berat, setelah diberi oralit atau larutan campuran
gula dan garam sebagai pertolongan pertama, sebaiknya penderita di bawa ke rumah
sakit untuk diberikan perawatan (Widjaja, 2007).
-
Obat yang dapat digunakan untuk membantu mengatasi disentri dan diare diantaranya
mempunyai efek sebagai adstringent (pengelat) yaitu dapat mengerutkan selaput
lendir usus sehingga mengurangi pengeluaran cairan diare dan disentri, selain itu juga
mempunyai efek sebagai antiradang, dan antibakteri (Widjaja, 2007).
7. Konjungtivitis
a. Konjunctivitis (konjungtivitis, pink eye) merupakan peradangan pada konjungtiva
(lapisan luar mata dan lapisan dalam kelopak mata) yang disebabkan oleh mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, chlamidia), alergi, iritasi bahan-bahan kimia (RiordanEva, 2009).
Klasifikasi dan Etiologi
1) Konjungtivitis Bakteri
2) Konjungtivitis Bakteri Hiperakut
3) Konjungtivitis Viral
4) Konjungtivitis Alergi
5) Konjungtivitis blenore, konjungtivitis purulen (bernanah pada bayi dan konjungtivitis
gonore)
b. Gejala dan Tanda
1) Konjungtivitis Bakteri
Gejalanya, dilatasi pembuluh darah, edema konjungtiva ringan, epifora dan rabas
pada awalnya encer akibat epifora tetapi secara bertahap menjadi lebih tebal atau
mukus dan berkembang menjadi purulen yang menyebabkan kelopak mata menyatu
dalam posisi tertutup terutama saat bangun tidur pagi hari. Eksudasi lebih berlimpah
pada konjungtivitis jenis ini. Dapat ditemukan kerusakan kecil pada epitel kornea.
2) Konjungtivitis Bakteri Hiperakut
Sering disertai urethritis. Infeksi mata menunjukkan sekret purulen yang masif.
Gejala lain meliputi mata merah, iritasi, dan nyeri palpasi. Biasanya terdapat
kemosis, kelopak mata bengkak, dan adenopati preaurikuler yang nyeri. Diplokokus
gram negatif dapat diidentifikasi dengan pewarnaan Gram pada sekret. Pasien
biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit untuk terapi topikal dan sistemik.
3) Konjungtivitis Alergi
Mata gatal, panas, mata berair, mata merah, kelopak mata bengkak, pada anak
biasanya disertai riwayat atopi lainnya seperti rhinitis alergi, eksema, atau asma.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan sel eosinofil, sel plasma, limfosit dan
basofil.
4) Konjungtivitis Viral
Gejalanya : Pembesaran kelenjar limfe preaurikular, fotofobia dan sensasi adanya
benda asing pada mata. Epifora merupakan gejala terbanyak. Konjungtiva dapat
menjadi kemerahan dan bisa terjadi nyeri periorbital. Konjungtivitis dapat disertai
adenopati, demam, faringitis, dan infeksi saluran napas atas.
5) Konjungtivitis blenore
Tanda – tanda blenore adalah sebagai berikut:
-
Ditularkan dari ibu yang menderita penyakit GO
-
Merupakan penyebab utama oftalmia neonatorum
-
Memberikan sekret purulen padat sekret yang kental
-
Terlihat setelah lahir atau masa inkubasi antara 12 jam hingga 5 hari
-
Perdarahan subkonjungtiva dan kemotik
(Riordan-Eva, 2009)
c. Prinsip Penatalaksanaan Awal
1) Konjungtivitis Bakteri
Sebelum terdapat hasil pemeriksaan mikrobiologi, dapat diberikan antibiotik tunggal,
seperti gentamisin, kloramfenikol, folimiksin, dll. selama 3-5 hari. Kemudian bila
tidak memberikan hasil yang baik, dihentikan dan menunggu hasil pemeriksaan. Bila
tidak ditemukan kuman dalam sediaan langsung, diberikan tetes mata disertai
antibiotik spektrum obat salep luas tiap jam mata untuk tidur atau salep mata 4–5 kali
sehari.
2) Konjungtivitis Bakteri Hiperakut
Pasien biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit untuk terapi topikal dan
sistemik. Sekret dibersihkan dengan kapas yang dibasahi air bersih atau dengan
garam fisiologik setiap ¼ jam. Kemudian diberi salep penisilin setiap ¼ jam.
Penisilin tetes mata dapat diberikan dalam bentuk larutan penisilin G 10.000 –
20.000 unit /ml setiap 1 menit sampai 30 menit. Kemudian salep diberikan setiap 5
menit selama 30 menit. Disusul pemberian salep penisilin setiap 1 jam selama 3 hari.
Antibiotika sistemik diberikan sesuai dengan pengobatan gonokokus. Pengobatan
diberhentikan bila pada pemeriksaan mikroskopik yang dibuat setiap hari
menghasilkan 3 kali berturut – turut negatif.
3) Konjungtivitis alergi
Penatalaksanaan berupa kompres dingin dan menghindarkan penyebab pencetus
penyakit. Biasanya diberikan obat Antihistamin atau bahan vasokonstriktor dan
pemberian Astringen, sodium kromolin, steroid topikal dosis rendah. Rasa sakit
dapat dikurangi dengan membuang kerak-kerak dikelopak mata dengan mengusap
pelan-pelan dengan salin (garam fisiologis). Pemakaian pelindung seluloid pada mata
yang sakit tidak dianjurkan karena akan memberikan lingkungan yang baik bagi
mikroorganisme.
4) Konjungtivitis viral
Pemberian antihistamin / dekongestan topikal. Kompres hangat atau dingin dapat
membantu memperbaiki gejala.
5) Konjungtivitis blenore
Penatalaksanaan pada konjungtivitis blenore berupa pemberian penisilin topikal mata
dibersihkan dari sekret. Pencegahan merupakan cara yang lebih aman yaitu dengan
membersihkan mata bayi segera setelah lahir dengan memberikan salep
kloramfenikol.
(Ilyas, 2012).
8. Malaria (Perez-Jorge, 2013)
a. Malaria adalah penyakit yang berpotensi mengancam nyawa yang disebabkan oleh
infeksi protozoa Plasmodium yang ditransmisikan oleh nyamuk Anopheles betina
infektif. Infeksi Plasmodium falciparum membawa prognosis yang buruk dengan angka
kematian yang tinggi jika tidak diobati, tetapi memiliki prognosis yang sangat baik jika
didiagnosis dini dan diobati dengan tepat.
b. Gejala dan Tanda:
Pasien dengan malaria biasanya menunjukkan gejala beberapa minggu setelah infeksi,
meskipun simtomatologi dan masa inkubasinya dapat bervariasi, tergantung pada faktorfaktor host dan spesies penyebab. Gejala klinis meliputi:
-
Sakit kepala (tercantum dalam hampir semua pasien dengan malaria)
-
Batuk
-
Kelelahan
-
Rasa tidak enak
-
Menggigil
-
Arthralgia
-
Mialgia
-
Paroxysm fever, menggigil, dan berkeringat (setiap 48 atau 72 jam, tergantung pada
spesies)
Gejala yang kurang umum adalah sebagai berikut:
-
Anorexia dan lesu
-
Mual dan muntah
-
Diare
-
Penyakit kuning
Kebanyakan pasien dengan malaria tidak memiliki temuan fisik spesifik, tetapi
splenomegali dapat terjadi.
c. Prinsip Penatalaksanaan Awal:
Terapi bergantung dari spesies penyebab infeksi seperti berikut: Plasmodium falciparum,
P vivax, P ovale, P malariae, P knowlesi.
Rekomendasi umum untuk pengobatan farmakologis malaria adalah sebagai berikut :
-
Malaria P falciparum: terapi Kinin berbasis adalah dengan kinin sulfat ditambah
doxycycline atau klindamisin atau pirimetamin - sulfadoksin, terapi alternatif adalah
artemeter - lumefantrine, atovakuon - proguanil, atau mefloquine.
-
Malaria P vivax, P ovale: Chloroquine ditambah primaquine
-
Malaria P malariae: Chloroquine
-
Malaria P knowlesi: sama seperti malaria P falciparum
9. Demam Berdarah Dengue (Vyas, 2012)
a. Demam berdarah dengue adalah infeksi yang berat dan berpotensi mematikan, yang
disebarkan melalui nyamuk, terutama spesies Aedes aegypti.
b. Gejala dan Tanda:
Gejala awal dari DBD mirip dengan demam dengue. Namun setelah beberapa hari, pasien
menjadi lebih lemas, berkeringat, dan dapat diikuti dengan keadaan seperti shock.
Perdarahan tampak seperti titik kecil darah di kulit (petechiae).
Gejala awal meliputi:
-
Penurunan nafsu makan
-
Demam
-
Sakit kepala
-
Nyeri sendi atau otot
-
Malaise
-
Muntah
Gejala fase akut meliputi:
-
Lemas yang diikuti dengan ekimosis, petechiae, ruam, memburuknya gejala awal
-
Keadaan seperti shock: berkeringat, akral-akral dingin
c. Prinsip Penatalaksanaan Awal:
Karena DBD disebabkan oleh virus yang belum diketahui pasti vaksin ataupun obatnya,
maka penatalaksanaannya berdasarkan gejala, seperti sebagai berikut:
-
Transfusi darah segar atau platelet bisa mengatasi masalah perdarahan
-
Pemberian cairan dan elektrolit secara intravena dapat mengatasi ketidakseimbangan
elektrolit dalam tubuh
-
Terapi rehidrasi secara intravena juga untuk mengatasi dehidrasi
-
Terapi oksigen mungkin dibutuhkan untuk mengatasi rendahnya oksigen darah
-
Perawatan suportif di sarana kesehatan yang menunjang
10. Demam Thypoid
a. Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut usus halus yang disebabkan infeksi
Salmonella typhi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah
terkontaminasi oleh feses dan urin dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. Tifoid
disebut juga paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis
(Mansjoer, 2001).
b. Gejala dan Tanda
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi, atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk,
dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat (38.840.50C). Sifat demam adalah meningkat perlahan-perlahan dan terutama sore hingga
malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardia relatif, lidah yang berselaput (lidah kotor), hepatomegali, splenomegali,
meterioismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.
Gejala-gejala lain berupa tubuh menggigil, batuk, sakit tenggorokan. Roseolae jarang
ditemukan pada orang Indonesia (Widodo, 2006).
c. Prinsip Pengobatan Awal
Pengobatan penderita Demam tifoid di terdiri dari pengobatan suportif meliputi istirahat,
diet, dan medikamentosa. Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari
bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai
dengan pulihnya kekuatan pasien. Antibiotika, seperti ampicillin, kloramfenikol,
trimethoprim-sulfamethoxazole, dan ciprofloxacin sering digunakan untuk merawat
demam tifoid di negara-negara barat. Bila tak terawat, demam tifoid dapat berlangsung
selama tiga minggu sampai sebulan. Kematian terjadi antara 10% dan 30% dari kasus
yang tidak terawat. Vaksin untuk demam tifoid tersedia dan dianjurkan untuk orang yang
melakukan perjalanan ke daerah endemik (terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin)
(Manjsoer, 2001).
11. Dermatitis
a. Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap
pengaruh faktor eksogen (bahan kimia, fisik (sinar matahari dan suhu), mikroorganisme
(bakteri dan jamur) dan atau faktor endogen yang menimbulkan kelainan klinis berupa
efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel,skuama,likenifikasi) dan keluhan
gatal (Djuanda, 2011).
Klasifikasi dari dermatitis :
1) Dermatitis Kontak iritan
2) Dermatitis kontak Alergik
3) Dermatitis Atopik
4) Dermatitis stasis
5) Neurodermatitis sirkumskripta
6) Dermatitis Numularis
7) Dermatitis Autosensitisasi
b. Gejala dan Tanda
1) Dermatitis Kontak iritan
Dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang menempel pada kulit reaksi
peradangan kulit non imunologik, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului
proses sensitisasi.
Gejala klinis
Kelainan kulit yang terjadi beragam tergantung pada sifat iritan. Predileksi yang terjadi
pada kedua tangan, kaki dan daerah yang terpajan.
DKI Akut

Penyebab luka bakar oleh bahan kimia, iritan kuat : asam dan basa kuat (NaOH,
KOH).

Ketika terjadi menyebabkan reaksi segera timbul.

Kulit terasa pedih, panas, dan rasa terbakar, kelainan yang terjadi eritema,edema dan
bila mungkin juga nekrosis sedangkan pinggiran kulit berbatas tegas dan asimetris.
DKI Subakut

Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI Akut tetapi baru muncul 8 sampai 24
jam atau lebih setelah kontak. Contoh bahan iritan: podofilin, antralin,asam
hidrofluorat,etilen.

Jadi setelah kontak terjadi tidak langsung menyebabkan reaksi karena semua itu
tergantung faktor yang mempengaruhi, apakah konsentrasinya lebih rendah atau
tergantung faktor indivindu itu sendiri seperti ketebalan kulit.
Contohnya : penderita kontak dengan bahan iritan dan merasa pedih esok harinya,
awalnya eritema setelah itu sorenya menjadi vesikel dan nekrosis.
DKI Kronis

Dermatitis yang paling sering terjadi.

Penyebabnya adalah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah tetapi DKI Kronis
dapat terjadi karena bekerja sama dengan berbagai faktor. Misalnya faktor kekerapan
yang mempengaruhi.

Kulit kering,eritema,skuama,lambat laun hiperkeratosis, dan likenifikasi, dan difus.

Bila kontak berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fisur). Contoh :
tukang cuci , keluhan penderita umumnya gatal dan nyeri karena fisur tetapi ada juga
yang hanya merasa kulit kering tanpa eritema.
Penatalaksanaan
Memakai alat pelindung ditempat kerja dan menghindari pajanan bahan iritan. Bila DKI
sembuh tanpa pengobatan topikal berikan pelembab.
Sistemik  antihistamin, antibiotik, kortikosteroid (luas), roborantia
Topikal  jika basah kompres terbuka dengan sol KmnO4, jika kering dengan salep
kortikosteroid.
2) Dermatitis kontak Alergik
Gejala Klinis
Gatal. Pada keadaan akut, dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas, lalu
diikuti dengan edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah dan
menimbulkan erosi dan eksudasi. Pada keadaan kronis terlihat kulit kering, berskuama,
papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas.
Penatalaksanaan
Non farmakologi:

Upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan allergen penyebab.

Menekan kelainan kulit yang timbul.
Farmakologi:

Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan
pada DKA akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel atau bula, serta
eksudatif. Misalnya dengan prednisone 30mg/hari. Umumnya kelainan kulit akan
mereda setelah beberapa hari

Kelainan kulit cukup dikompres dengan larutan garam faal atau larutan air salisil
1:1000.

Untuk DKA ringan atau akut yang telah mereda (setelah diberikan kortikosteroid
sistemik) cukup diberikan kortikosteroid atau makrolaktam (pimecrolimus atau
tacrolimus) secara topical.
3) Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang
umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan
peningkatan kadar igE dalam seru dan riwayat atopi pada keluarga.
Gejala klinis
Kulit kering, pucat/redup, kadar lipid kurang, evaporasi meningkat, jari tangan terasa
dingin, cemas, egois, frustasi
Gejala utama
Pruritus biasanya hilang timbul dan biasanya pruritus hebat pada malam hari. Jika
penderita menggaruk biasanya menjadi papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi,
eksudasi, dan krusta.
Penatalaksanaan :
a) (umum)
Menyingkirkan faktor yang memperberat atau memicu pasien untuk menggaruk.
Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembab.
b) Pengobatan topikal
Umumnya kulit penderita dermatitis atopik ini relative kering, sehingga menyebabkan
mikroorganisme lebih mudah masuk kedalam tubuh melalui kulit tersebut.
Penanganannya dengan cara memberikan pelembab krim hidrofilik urea 10% dan
kortison 1% atau setelah mandi, kulit dilap hingga kering dan kemudian memakai
emolien.
Pemakaian dosis pada bayi untuk pengobatan topikal yaitu salep steroid potensi
rendah (hidrokortison 1-2,5%), untuk remaja dan dewasa digunakan salep steroid
potensi tengah. Bila penyakit sudah terkontrol, gunakan pemakaian intermitten 2 kali
seminggu agar tidak cepat kambuh, dan gunakan salep potensi paling rendah.
c) Sistemik
Bisa menggunakan kortikosteroid untuk mengendalikan eksaserbasi akut, dan
gunakan secara berselang atau bertahap agar tidak menimbulkan efek samping
berlebih.
Antihistamin juga digunakan untuk mengurangi rasa gatal.
d) Terapi sinar
Bisa menggunakan terapi sinar UVA dan UVB, biasanya digunakan untuk dermatitis
atopik yang berat dan luas.
4) Dermatitis stasis
Dermatitis statis adalah dermatitis sekunder akibat insufisiensi kronik vena (hipertensi
vena) tungkai bawah.
Gambaran klinis
Tekanan vena meningkat pada tunkai bawah menyebabkan pelebaran vena, varises,
edema. Kemudian lama-kelamaan kulit akan berwarna merah kehitaman dan timbul
purpura (karena ekstravasasi sel darah merah kedalam dermis). Kelainan dimulai
dipermukaan tungkai bawah bagian medial lateral. Meluas hingga kebawah lutut. Terjadi
eritema, skuama, kadang eksudasi, dan gatal. Jika lama kelamaan, kulit menjadi tebal dan
fibrotik 1/3 tungkai bawah
(Bourke, 2009)
Pengobatan :
a) Untuk edema : tungkai dinaikan pada saat tidur atau duduk. Diangkat keatas
permukan jantung selama 30 menit.
b) Memakai kaos kaki penyangga varises atau pembalut elastis
c) Eksudat dikompres dan setelah kering diberi krim kortikosteroid
d) Antibiotik sistemik untuk infeksi sekunder (Djuanda, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Bourke, et al. 2009. Guidelines For The Management of Contact Dermatitis: an update. Tersedia
dalam
:
http://www.bad.org.uk/portals/_bad/guidelines/clinical%20guidelines/contact%20dermati
tis%20bjd%20guidelines%20may%202009.pdf. Diakses pada tanggal 10 Februari 2014
Djuanda, Adhi. 2011. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Dorland, W. 2002. Kamus Kedokteran DORLAND. Edisi 29. Jakarta: EGC.
Guandallini, S. 2013. Diarrhea. http://emedicine.medscape.com/article/928598-overview.
(diakses pada 8 Februari 2014)
Harsono, 2009. Kapita Selekta Neurologi. Edisi II. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Harsono, 2011. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi V. Yogyakarta: Gadjahmada University
Press.
Ilyas, S, Yulianti, SR. 2012. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Keempat. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Mansjoer, et al. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.
Meneghetti,
A.
2013.
Upper
Respiratory
Tract
Infection.
http://emedicine.medscape.com/article/302460-overview. (diakses pada 31 Januari 2014)
PAPDI. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
Perez-Jorge,
E.
2013.
Malaria.
http://emedicine.medscape.com/article/221134-overview.
(diakses pada 8 Februari 2014)
Ramaiah, S. 2007. All You Wanted To Know About Diare. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Popular
Riordan-Eva, P., Whitcher, J.P., 2009. Oftalmologi Umum Vaughan & Asbury. Edisi 17. Jakarta:
EGC.
Suryadi, et al. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: Percetakan Penebar Swadaya
Vyas,
J.
2012.
Dengue
Hemorrhagic
Fever.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001373.htm. (diakses pada 8 Februari
2014)
Widjaja. 2007. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan Dan Pemberantasannya.
Jakarta: Erlangga
Widodo, djoko. 2006. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 4. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Download