ANALISIS JALUR FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA DI KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN EKA HERDIANA DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 ii ABSTRACT Eka Herdiana. Pathway Analysis Factors of Household Food Security in Lebak District, Province Banten. Under direction of Ikeu Tanziha. The objective of this research were to: 1) identificate household socio economic characteristics and food acses, 2) analyze household consumption level and household food security level, 3) analyze relation of socio economic factors and household food security, 4) analyze impact of direct factors and indirect factors to household food security. This research was conducted by using cross sectional design. The location was in Pasindangan and Banjarsari Village, Cileles and Warunggunung Subdistrict, Lebak Distric that chosen purposively with concideration that farmer's household. The sample were 101 househholds. The result of the research shows that almost all (62.4%) household were household food security, household food insecurity in heavy level (7%), household food insecurity in moderate level (5%), and household food insecure (26%). factors that significantly relation with household food security were size of household, own of land, and household expenditure per capita. Direct factor that influence household food security was household expenditure expenditure per capita. Indirect factors that influence household food security were size of household – household expenditure per capita – household food security. Keyword : Household food security, Pathway analysis. iii RINGKASAN EKA HERDIANA. Analisis Jalur Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga Di Kabupaten Lebak, Banten. Dibimbing oleh IKEU TANZIHA. Ketahanan pangan merupakan hak asasi manusia (HAM). Setiap orang berhak memperolah makanan yang layak dan sesuai dengan kebutuhannya. Berkembangnya teknologi akibat perkembangan zaman, tidak hanya memberikan dampak positif bagi dunia pangan, namun juga memiliki dampak negatif, yakni meningkatnya angka kemiskinan yang secara bersamaan menurunnya ketahanan pangan individu maupun keluarga. Menurut UU no. 7 tahun 1996 mengenai pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau. Jika kebutuhan konsumsi pangan tidak terpenuhi lagi maka akan menimbulkan kerawanan pangan (food insecurity). Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga. Tujuan khusus penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi faktor sosial ekonomi rumahtangga meliputi ukuran rumahtangga, pendidikan kepala rumahtangga, kepemilikan lahan, akses pangan rumahtangga (pengetahuan gizi ibu dan dukungan sosial), (2) menganalisis tingkat konsumsi rumahtangga dan tingkat ketahanan pangan rumahtangga, (3) menganalisis hubungan antara faktor sosial ekonomi rumahtangga dengan tingkat ketahanan pangan rumahtangga, (4) menganalisis pengaruh faktor langsung dan tidak langsung terhadap ketahanan pangan rumahtangga menggunakan analisis jalur. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study, berlokasi di Kabupaten Lebak Propinsi Banten, yang dilakukan pada bulan April sampai Mei 2009. Penarikan contoh dilakukan secara purposive, yaitu Contoh berjumlah 110 rumahtangga. Setelah dilakukan cleaning contoh yang terambil sebanyak 101 rumahtangga dengan kriteria (1) pekerjaan utama kepala rumahtangga sebagai petani, (2) contoh mewakili populasi berdasarkan proporsi kepemilikan lahan, yaitu petani tidak memiliki lahan, memiliki lahan kurang dari 5 000 m2, memiliki lahan 5 000-10 000 m2, dan memiliki lebih dari 10 000 m2. Data primer terdiri dari data karakteristik RT, sosial ekonomi RT, akses pangan RT, dan konsumsi RT, sedangkan data sekunder berupa profile Desa dan Kecamatan. Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel dan SPSS 13,0 for Windows. Analisis statistik yang dilakukan, yaitu analisis korelasi Pearson dan Spearman, serta metode analisis jalur. Umur kepala rumahtangga berkisar antara 25-85 tahun, sedangkan umur ibu berkisar antara 20-75 tahun. Rata-rata kepala rumahtangga (57.4%) berumur 40-59 tahun (dewasa madya), sedangkan rata-rata umur ibu 46.5 persen berumur 18 – 39 tahun (dewasa awal). Tingkat pendidikan kepala rumatangga (73.3%) adalah tamat SD, begitupun dengan tingkat pendidikan ibu (69.3%) adalah tamat SD. Pekerjaan tambahan kepala rumahtangga (26.7%) adalah sebagai pedagang dan buruh. Sebanyak 36.6% contoh tidak memiliki lahan, 32.7% contoh memiliki luas lahan kurang dari 5 000 m2, 20.8% contoh memiliki luas lahan 5 000-10 000 m2, dan terakhir hanya 9.9% contoh yang memiliki luas lahan lebih dari 10 000 m2. Sebagian besar (61.5%) rumahtangga yang yang rawan pangan berat adalah yang tidak memiliki lahan. iv Sebanyak 49.5 persen contoh merupakan rumahtangga kecil yang terdiri dari 4 orang anggota rumahtangga. Sebanyak 29.7 persen contoh merupakan rumahtangga sedang dan sisanya (20.8%) rumahtangga besar. Sebanyak 60.3 persen rumahtangga tahan pangan merupakan rumahtangga kecil, 57.1 persen rumahtangga rawan pangan ringan merupakan rumahtangga kecil, 80 persen rumahtangga rawan pangan sedang merupakan rumahtangga sedang, dan 38.5 persen rumahtangga rawan pangan berat merupakan rumahtangga sedang. Pengeluaran perkapita rumahtangga contoh rata-rata sebesar Rp 254 241. pengeluaran terkecil sebesar Rp 40 394 dan terbesar adalah sebesar Rp 1 140 028. Sebagian besar (87.1%) contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi rendah, 8.9 persen memiliki tingkat pengetahuan gizi sedang dan sisanya (4%) memiliki pengetahuan gizi tinggi. Lebih dari setengah contoh (56.4%) memiliki dukungan sosial yang baik, sebanyak 22.8% contoh memiliki dukungan sosial yang buruk, dan sisanya 20.8% contoh memiliki dukungan sosial sedang. TKE rumahtangga menunjukkan 25.7 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit berat (<70%) dan 47.5 persen termasuk kategori lebih. TKP rumahtangga yaitu sebanyak 35.6 persen rumahtangga berada dalam kategori kurang dan 33.7 persen termasuk kategori lebih. TKCa rumahtangga yaitu 97 persen rumahtangga termasuk kategori defisit. TKFe rumahtangga yaitu sebanyak 60.4 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit. TKVit A rumahtangga yaitu sebanyak 97 persen rumahtangga berada dalam kategori cukup. TKVit C rumahtangga yaitu sebanyak 71.3 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit. Ketahanan pangan kualitatif menunjukkan sebanyak 5.0% rumahtangga contoh mengalami kelaparan, 10.91% rumahtangga rawan pangan, dan sebanyak 84.2% rumahtangga tahan pangan. Ketahanan pangan kuantitaif menunjukkan lebih dari setengah (62.4%) contoh merupakan rumahtangga tahan pangan, 26 persen contoh merupakan rumahtangga rawan pangan berat, 7 persen contoh merupakan rumahtangga rawan pangan ringan dan 5 persen contoh merupakan rawan pangan sedang. Berdasarkan analisis korelasi Spearman tidak terdapat hubungan yang signifikan (r= -0.040, p>0.05) antara pendidikan KRT dengan ketahanan pangan rumahtangga. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (r= 0.027, p>0.05) antara pendidikan IRT dengan ketahanan pangan rumahtangga. Terdapat hubungan negatif (r= -0.261, p<0.01) antara ukuran rumahtangga dengan ketahanan pangan rumahtangga. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (r= 0.077 dan p>0.05) antara pengetahuan gizi ibu dengan ketahanan pangan rumahtangga. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (r = - 0.035, p>0.05) antara dukungan sosial dengan ketahanan pangan rumahtangga. Analisis korelasi Pearson menunjukkan hubungan (r= 0.255, p<0.05) antara pengeluaran rumahtangga dengan ketahanan pangan rumahtangga. Berdasarkan hasil analisis jalur, pengaruh langsung terbesar terhadap ketahanan pangan rumahtangga adalah pengeluaran rumahtangga (R-square = 0.065, p<0.05). Jalur yang paling berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumahtangga adalah jalur 9 yaitu dimulai dari ukuran rumahtangga-pengeluaran rumahtangga-ketahanan pangan rumahtangga. v ANALISIS JALUR FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA DI KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN EKA HERDIANA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 vi Judul Skripsi : Analisis Jalur Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten Nama : Eka Herdiana Nrp : I14053564 Disetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS. NIP. 1961 1210 198603 2 002 Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS NIP. 1962 1204 198903 2 002 Tanggal Lulus : vii RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara, puteri pasangan Bapak Hanafi Moh. Bakri dan Ibu Hartuti. Penulis dilahirkan di Kota Jakarta pada tanggal 28 Januari 1988. Pendidikan sekolah dasar penulis ditempuh pada tahun 1993 sampai 1999 di SD Negeri Selong 03 dan pada tahun 1999 sampai 2002 di SMP Negeri 13 Jakarta. Pada tahun 2002 sampai 2005 penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 46 Jakarta. Pada tahun 2005, melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor. Penulis diterima sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2006 melalui jalur mayor minor. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam komunitas Tari Saman BUNGONG PUTEH (2005-2009) dan tercatat sebagai staf divisi Klub Peduli Pangan dan Gizi (KPPG) HIMAGIZI periode 2007/2008. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Ekologi Pangan dan Gizi pada tahun ajaran 2009/2010. Pada tahun 2008 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kelurahan Pengasinan dan Sawangan Baru, Depok, Jawa Barat. Pada bulan Februari 2009 penulis juga melaksanakan Internship Dietetik di Rumah Sakit Kanker Dharmais. viii KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya dan melimpahkan kasih sayang serta kekuatan, sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulisan skripsi yang berjudul “Analis Jalur Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga di Kabupaten Lebak Banten” dilakukan sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departeman Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan arahan, masukan, kritikan, dan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. drh. M. Rizal Damanik M, Mrep.Sc, PhD selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji skripsi atas saran yang diberikan. 3. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis dalam pengisian Kartu Rencana Studi selama kuliah. 4. Retno Ambarwati, Mega Pramudita, Rizky Rizliana Mangkoeto dan Aci Debby Oktora selaku pembahas seminar. 5. Seluruh pihak di Desa Pasindangan dan Desa Banjarsari yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian dan telah bersedia diwawancarai serta telah membantu kelancaran penelitian. 6. Bapak, Mama, dan Kakak-kakakku tercinta terimakasih atas do’a, nasehat, semangat dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini. 7. Sahabat-sahabatku (Arha, Tyas, 9 Naga, Eno, Mega, Adhis, Laras, Ivah, Aini Aqsa, tim “badut”, Yoshinta dan tim basket FEMA) terima kasih atas kebersamaan, canda tawa dan dukungannya. Semoga kebersamaan ini tetap terjaga. 8. Oktora Trianggana atas doa, semangat dan kesetiaannya menemani selama penyusunan tulisan ini, terima kasih juga kepada “es teh manis” atas kehangatan, pencerahan dan motivasi yang tak terduga. 9. Teman-temanku Dietista 42 terima kasih atas kebersamaan dan cerita-cerita indah selama tiga tahun. Terimakasih juga kepada Poppy untuk kursus kilat SPSSnya. Risma Ariefiani yang bersedia diminta waktunya untuk keliling IPB. Love you all! ix 10. Angkatan 43, 44 dan 45, Pak Ugan serta Pak Karya serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu kelancaran penyelesaian penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya, khususnya dalam pengembangan program ketahanan pangan. Wasamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Bogor, September 2009 Penulis x DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ x DAFTAR TABEL............................................................................................. xi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiii PENDAHULUAN Latar Belakang ..................................................................................... 1 Tujuan .................................................................................................. 3 Hipotesis ............................................................................................... 3 Kegunaan ............................................................................................. 3 TINJAUAN PUSTAKA Petani.................................................................................................... 4 Rumahtangga Petani ............................................................................ 4 Ketahanan Pangan dan Pertanian ........................................................ 4 Ketahanan Pangan ............................................................................... 5 Ketahanan Pangan Rumahtangga .................................................. 7 Pengukuran Ketahanan Pangan ..................................................... 8 Pengukuran Kelaparan.................................................................... 9 Karakteristik Rumahtangga serta Hubungannya dengan Ketahanan Pangan .................................................................................................. 11 Ukuran Rumahtangga ..................................................................... 11 Pendidikan....................................................................................... 11 Pengeluaran Rumahtangga............................................................. 11 Pengambilan Keputusan Rumahtangga.......................................... 12 Akses Pangan ....................................................................................... 14 Akses Fisik ...................................................................................... 15 Akses Ekonomi ................................................................................ 15 Akses Sosial .................................................................................... 16 Dukungan Sosial .................................................................... 16 Pengetahuan Gizi ................................................................... 17 Konsumsi Pangan ................................................................................. 17 Penilaian Konsumsi Pangan.................................................................. 18 Analisis Jalur ......................................................................................... 20 KERANGKA PEMIKIRAN............................................................................... 21 xi METODOLOGI ............................................................................................... 24 Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian................................................. 24 Cara Penarikan Contoh ........................................................................ 24 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ...................................................... 24 Pengolahan dan Analisis Data .............................................................. 25 DEFINISI OPERASIONAL ............................................................................. 29 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 30 Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................... 30 Desa Pasindangan ....................................................................... 30 Desa Banjarsari ............................................................................ 33 Karakteristik Sosial Ekonomi Rumahtangga ......................................... 36 Umur ............................................................................................. 36 Pendidikan .................................................................................... 38 Pekerjaan ..................................................................................... 41 Komposisi Anggota Rumahtangga ............................................... 42 Kontrol Keuangan ......................................................................... 42 Ukuran Rumahtangga................................................................... 44 Kepemilikan Luas Lahan .............................................................. 45 Akses Pangan ....................................................................................... 47 Akses Fisik.................................................................................... 47 Akses Ekonomi ............................................................................. 47 Akses Sosial ................................................................................. 49 Dukungan Sosial.................................................................. 49 Pengetahuan Gizi ................................................................ 52 Konsumsi............................................................................................... 54 Ketahanan Pangan................................................................................ 57 Analisis Jalur ......................................................................................... 60 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ........................................................................................... 63 Saran .................................................................................................... 64 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 66 LAMPIRAN ..................................................................................................... 70 xii DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan dan Gizi (RAN PG 2006-2011)..... 6 2. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan ...................................................... 7 3. Kerangka Pemikiran Analisis Jalur Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga di Kabupaten Lebak Banten.............. 23 4. Model Analisis Jalur Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga ............................................................................. 28 5. Diagram Jalur Analisis Jalur Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga ........................................................... 60 xiii DAFTAR TABEL 1. Jenis dan Cara Pengumpulan Data ........................................................ 25 2. Pengkategorian Variabel Penelitian ......................................................... 27 3. Pemanfaatan Lahan Desa Pasindangan.................................................. 31 4. Tingkat Pendidikan Penduduk.................................................................. 32 5. Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Pasindangan ....................................... 32 6. Prasarana Pendidikan Desa Pasindangan............................................... 33 7. Prasarana Kesehatan Desa Pasindangan ............................................... 33 8. Pemanfaatan Lahan Desa Banjarsari ...................................................... 34 9. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Banjarsari ....................................... 35 10. Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Banjarsari ............................................ 35 11. Klasifikasi Umur KRT................................................................................ 36 12. Sebaran Rumahtangga berdasarkan Ketahanan Pangan dan Umur KRT .......................................................................................................... 37 13. Klasifikasi Umur IRT ................................................................................. 38 14. Klasifikasi Pendidikan ART....................................................................... 39 15. Klasifikasi Pendidikan KRT....................................................................... 39 16. Klasifikasi Pendidikan IRT ........................................................................ 40 17. Klasifikasi Pekerjaan KRT ........................................................................ 41 18. Klasifikasi Komposisi ART........................................................................ 42 19. Sebaran Rumahtangga menurut Kontrol Keuangan Desa Pasindangan . 43 20. Sebaran Rumahtangga menurut Kontrol Keuangan Desa Banjarsari...... 43 21. Klasifikasi Ukuran Rumahtangga ............................................................. 44 22. Sebaran Rumahtangga berdasarkan Ketahanan Pangan dan Ukuran Rumahtangga........................................................................................... 44 23. Klasifikasi Kepemilikan Luas Lahan ......................................................... 45 24. Sebaran Rumahtangga berdasarkan Kepemilikan Luas Lahan dan Ketahanan Pangan................................................................................... 46 25. Klasifikasi Kemiskinan berdasarkan Pengeluaran Perkapita ................... 48 26. Klasifikasi Tingkat Dukungan Sosial......................................................... 50 27. Sebaran Dukungan Sosial........................................................................ 50 28. Klasifikasi Pengetahuan Gizi .................................................................... 53 29. Sebaran Rumahtangga berdasarkan Tingkat Pengetahuan Gizi dan Ketahanan Pangan................................................................................... 53 30. Tingkat Kecukupan Energi dan Protein .................................................... 54 xiv 31. Tingkat Kecukupan Mineral dan Vitamin .................................................. 55 32. Pola Pangan Harapan Kabupaten Lebak berdasarkan Data Konsumsi... 57 33. Status Ketahanan Pangan Rumahtangga berdasarkan Pengukuran Kualitatif.................................................................................................... 58 34. Status Ketahanan Pangan Rumahtangga berdasarkan Pengukuran Kuantitatif ................................................................................................. 58 35. Sebaran Rumahtangga menurut Validitas Kelaparan .............................. 59 xv DAFTAR LAMPIRAN 1. Hasil Analisis Korelasi Spearman Variabel Karakteristik Sosial-Ekonomi dan Akses Pangan dengan Tingkat Ketahanan Pangan.......................... 71 2. Hasil Analisis Korelasi Pearson Variabel Pengeluaran Perkapita dengan Ketahanan Pangan................................................................................... 71 3. Hasil Analisis Jalur Pendidikan KRT dan IRT terhadap Dukungan Sosial 72 4. Hasil Analisis Jalur Pendidikan IRT terhadap Pengetahuan Gizi IRT ...... 72 5. Hasil Analisis Jalur Pendidikan KRT dan IRT, Ukuran RT, Dukungan Sosial, dan Pengetahuan Gizi terhadap Pengeluaran Perkapita ............. 73 6. Hasil Analisis Jalur Pendidikan KRT, Ukuran RT, Dukungan Sosial, Pengetahuan Gizi, dan Pengeluaran Perkapita terhadap Ketahanan Pangan ..................................................................................................... 73 7. .................................................................................................................... H asil Analisis Jalur Pengaruh Langsung Variabel Sosial Ekonomi terhadap Ketahanan Pangan ................................................................... 74 PENDAHULUAN Latar Belakang Ketahanan pangan merupakan hak asasi manusia (HAM). Setiap orang berhak memperolah makanan yang layak dan sesuai dengan kebutuhannya. Berkembangnya tekhnologi akibat perkembangan zaman, tidak hanya memberikan dampak positif bagi dunia pangan, namun juga memiliki dampak negatif, yakni meningkatnya angka kemiskinan yang secara bersamaan menurunnya ketahanan pangan individu maupun keluarga. Kemiskinan yang dialami masyarakat akan memberikan dampak buruk salah satunya pada masalah pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan yang masih kurang. Menurut UU no. 7 tahun 1996 mengenai pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau. Jika kebutuhan konsumsi pangan tidak terpenuhi lagi maka akan menimbulkan kerawanan pangan (food insecurity). Keadaan ini pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi masyarakat. Berdasarkan hasil perhitungan FAO (2005), di Indonesia terdapat sekitar 6% penduduk yang menderita kelaparan yaitu sekitar 12 juta 600 ribu orang penduduk indonesia menderita kelaparan. Berdasarkan hasil penelitian Tanziha (2005) di empat kabupaten yaitu di Kabupaten Karawang, Garut, Pandeglang dan Kota Bogor menunjukkan bahwa ada 9.3% rumahtangga menderita kelaparan. Hardinsyah (2001) mengungkapkan bahwa tiga dari 10 anak balita Indonesia mengalami gizi kurang (KEP), tiga dari sepuluh wanita hamil mengalami kurang energi kronik (KEK), enam dari 10 keluarga berpotensi mengalami rawan pangan (food insecurity) karena tidak mampu memenuhi dua pertiga dari kebutuhan pangannya. Diperkirakan rumah tangga yang mangalami kelaparan akan meningkat dengan berbagai sebab yang diakibatkan oleh keadaan sosial ekonomi masyarakat, seperti krisis global yang berdampak pada berkurangnya lapangan pekerjaan akibat kurangnya modal atau bangkrutnya usaha kecil dan menengah sehingga menurunnya pendapatan dan meningkatnya angka pengangguran. Lebih lanjut keadaan ini akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat dan akhirnya dapat menyebabkan kerawanan pangan keluarga. Berdasarkan hasil penelitian Tanziha (2005), pada aras mikro hasil penelitian menunjukkan bahwa determinan utama kelaparan adalah kemiskinan, 2 dan determinan lingkungannya adalah rendahnya kepedulian dari masyarakat setempat, serta sangat kurangnya atau bahkan tidak ada kelembagaan ketahanan pangan ditingkat masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 43% keluarga yang tergolong kelaparan tidak mendapat bantuan dari masyarakat setempat saat kekurangan pangan. Keadaan ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih dari berbagai pihak untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hal tersebut. Selanjutnya dapat diketahui faktor apa yang paling berpengaruh terhadap ketahanan pangan. Dengan demikian dapat difokuskan usaha-usaha berupa kebijakan ataupun program pemerintah terkait dengan ketahanan pangan keluarga sebagai upaya perwujudan ketahanan pangan di Indonesia sehingga tercapai kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. 3 Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penellitian ini adalah untuk : 1. mengidentifikasi faktor sosial ekonomi rumahtangga meliputi ukuran rumahtangga, pendidikan kepala dan ibu rumahtangga, kepemilikan lahan dan akses pangan rumahtangga. 2. menganalisis tingkat konsumsi rumahtangga dan tingkat ketahanan pangan rumahtangga. 3. menganalisis hubungan antara faktor sosial ekonomi rumahtangga dengan tingkat ketahanan pangan rumahtangga. 4. Menganalisis pengaruh faktor langsung dan tidak langsung terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Hipotesis Faktor sosial ekonomi dan tingkat konsumsi rumahtangga tidak berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemerintah daerah khususnya pihak yang berwenang dalam upaya perwujudan ketahanan pangan. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam perencanaan kebijakan terkait dengan program pangan dan gizi sebagai upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat sehingga dapat mewujudkan ketahanan pangan rumahtangga khususnya di Kabupaten Lebak Propinsi Banten. 4 TINJAUAN PUSTAKA Petani Petani adalah seseorang yang bergerak di bidang bisnis pertanian utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi, bunga, buah dan lain lain), dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk di gunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain. Mereka juga dapat menyediakan bahan mentah bagi industri, seperti serealia untuk minuman beralkohol, buah untuk jus, dan wol atau flax untuk penenunan dan pembuatanpakaian (Anonim 2009). Kurtz dalam sajogyo (2002) dalam Kartika (2005) mendefinisikan petani sebagai pengolah tanah di pedesaan. Di Indonesia, kelompok masyarakat ini adalah salah satu kelompok masyarakat yang rata-rata berada dibawah garis kemiskinan. Dengan luasan lahan dan pendapatan rata-rata yang relatif kecil dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Penguasaan lahan pertanian didefinisikan oleh BPS (1996) sebagai lahan milik sendiri ditambah lahan yang berasal dari pihak lain, dikurangi lahan yang berada di pihak lain yang pernah dan sedang diusahakan untuk pertanian selama setahun terakhir. Rumahtangga Petani Rumahtangga petani adalah rumahtangga yang salah satu anggotanya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, beternak ikan, nelayan, melakukan perburuan, atau penagkapan satwa liar atau beternak atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual atau memperoleh pendapatan atau keuntungan atas resiko sendiri (BPS 1996 dalam Kartika 2005). Ketahanan Pangan dan Pertanian Menurut Soetrisno (2002), pada era globalisasi ini merupakan abad yang tidak akan memberikan banyak harapan bagi para petani di Negara-negara berkembang, termasuk petani-petani Indonesia yang kebanyakan adalah petani subsisten. Salah satu masalah yang sangat penting yang akan dihadapi oleh para petani di negara-negara berkembang adalah bagaimana mempertahankan kemampuan mereka untuk menjamin ketahanan pangan bagi mereka sendiri dan bangsa mereka. Jika para petani tidak mampu mempertahankan ketahanan pangan, berarti negara harus menggantungkan kebutuhan pangan pada 5 perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak dalam sektor produksi pangan. Berdasarkan data BPS mengenai sumber penghasilan utama dari rumah tangga menurut kategori miskin dan tidak miskin adalah yang memiliki matapencaharian di sektor pertanian. Sebagian besar rumah tangga miskin mempunyai pekerjaan utama sebagai petani atau buruh tani, sedangkan sumber penghasilan rumah tangga tidak miskin dari sektor jasa (Tambunan 2003). Dengan demikian ketahanan pangan petani masih belum dapat terwujud karena mereka masih berada pada lingkaran kemiskinan. Ketahanan Pangan Ketahanan pangan merupakan kondisi tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang setiap saat untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif. Makna yang terkandung dalam ketahanan pangan mencakup dimensi fisik (ketersediaan), ekonomi (daya beli), gizi (pemenuhan kebutuhan gizi individu), nilai budaya dan religius, keamanan pangan (kesehatan), dan waktu (tersedia secara berkesinambungan) (Martianto & Hardinsyah 2001). Maxwell 1990, diacu dalam Manesa 2009, menyatakan bahwa ketahanan pangan secara mendasar didefinisikan sebagai akses semua orang pada setiap waktu terhadap kebutuhan pangan agar dapat hidup sehat. Dari berbagai konsep ketahanan pangan tersebut dapat diartikan bahwa ketahanan pangan rumahtangga disamping faktor ketersediaan dan daya beli juga ditentukan oleh faktor akses pangan itu sendiri baik diperoleh secara langsung maupun melalui jaringan lainnya. Menurut Tim Penelitian-LIPI (2004), berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: 1) kecukupan ketersediaan pangan; 2) stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun; 3) aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta 4) kualitas/keamanan pangan. Keempat komponen tersebut dapat digunakan untuk mengukur ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Ketahanan pangan sendiri menurut UU no. 7 tahun 1996 mengenai pangan, merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau. 6 Sistem ketahanan pangan dan gizi secara komprehensif meliputi empat subsistem, yaitu: (1) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, (2) distribusi pangan yang lancar dan merata, (3) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang berdampak pada (4) status gizi masyarakat (Gambar 1). Dengan demikian, sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga miskin (RAN PG 2006-2010). Gambar 1 Kerangka Sistem Ketahanan Pangan dan Gizi (RAN PG 2006-2011) Suryana (2003) menyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu sistem ekonomi pangan yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergis dan interaksi dari ketiga subsistem tersebut. Ketiga subsistem tersebut merupakan satu kesatuan yang didukung oleh adanya berbagai input sumberdaya alam, kelembagaan, budaya dan teknologi. Proses pembangunan ketahanan pangan akan berjalan dengan efisien apabila ada partisipasi masyarakat dan fasilitasi 7 pemerintah (DBKP 2001). Ketahanan pangan sebagai suatu sistem dapat dilihat pada Gambar 2. Partisipasi Masyarakat: -Produsen pertanian -Industri pengolahan -Pedagang -Jasa pelayanan Ketersedia an: Input: SDA, kelembagaan , budaya dan teknologi Mencakup produksi, cadangan dan impor Distribusi: Konsumsi: Akses fisik dan ekonomi antar wilayah Mencakup kecukupan, keragaman, mutu gizi, keamanan Output: pemenuhan HAM, pengembang an SDM Partisipasi Pemerintah: -kebijakan ekonomi makro -kebijakan perdagangan dalam negeri dan internasional -pelayanan/fasilitas Gambar 2 Kerangka Sistem Ketahanan Pangan (Suryana 2003) Ketahanan pangan rumahtangga Menurut Internasional Congres of Nutrition (ICN) di Roma tahun 1992, ketahanan pangan rumahtangga adalah kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Definisi tersebut diperluas dengan menambahkan persyaratan “harus diterima oleh budaya setempat”, hal ini disampaikan dalam sidang Committee on World Food Security tahun 1995 (Adi 1998). Terdapat empat cara yang dapat dilakukan untuk mengukur ketahanan pangan rumahtangga yaitu berdasarkan asupan individual (melalui 8 recall 24 jam), household caloric acquisition, keragaman asupan harian, dan melalui food coping strategy (Hoddinott 1999). Terdapat dua tipe ketidaktahanan pangan dalam rumahtangga yaitu kronis dan transitory. Ketidaktahanan pangan kronis sifatnya menetap, merupakan ketidakcukupan pangan secara menetap akibat ketidakmampuan rumahtangga dalam memperoleh pangan biasanya kondisi ini diakibatkan oleh kemiskinan. Ketidaktahanan pangan transitory adalah penurunan akses terhadap pangan yang sifatnya sementara, biasanya disebabkan oleh bencana alam yang berakibat pada ketidakstabilan harga pangan, produksi, dan pendapatan (Setiawan 2004 dalam Kartika 2005). Selain konsumsi pangan, informasi mengenai status ekonomi, sosial dan demografi seperti pendapatan, pendidikan, struktur anggota keluarga, pengeluaran pangan dan sebagainya dapat digunakan sebagai indikator risiko terhadap ketidaktahanan pangan rumahtangga (Khomsan 2002b). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suandi (2007), ketahanan pangan rumahtangga sangat dipengaruhi oleh modal sosial yang ada di masyarakat yakni terkait dengan interaksi sosial yang dilakukan oleh anggota keluarga. Dengan kata lain dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat intensitas anggota rumahtangga dalam berinteraksi sosial maka ketahanann rumahtangga semakin kuat. Hal ini karena modal sosial terkait dengan akses sosial pangan. Pengukuran Ketahanan Pangan Pengukuran ketahanan pangan secara kuantitatif menurut FAO (2003) dalam Tanziha (2005) dapat diukur melalui tingkat ketidakcukupan energi yang menunjukkan keparahan defisit energi yang ditunjukkan oleh defisit jumlah kalori pada seseorang individu dibawah energi yang dianjurkan (<70%). Berdasarkan ukuran tersebut, akan dikatakan kelaparan apabila tingkat kecukupan energinya kurang dari 70% dan disertai dengan penurunan berat badan, dikatakan rawan pangan tingkat berat apabila tingkat kecukupan energinya kurang dari 70% dan tidak disertai penurunan berat badan, bila tingkat kecukupan energinya 70-80% maka dikatakan rawan pangan sedang, bils tingkat kecukupan energi 81 – 90% maka dikatakan rawan pangan ringan, dan bila tingkat kecukupan energi lebih dari 90% maka dikatakan tahan pangan. Kemiskinan identik dengan ketidaktahanan pangan. Sajogyo secara monumental merumuskan batas kemiskinan dengan pengeluaran setara beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan 480 kg diperkotaan. khomsan (1997) dalam 9 Khomsan (2002c) mengkaji indikator kemiskinan, ditemukan bahwa konsumsi daging sapi <4 kali sebulan dan konsumsi telur <4 kali seminggu dapat dimasukkan dalam kategori miskin. Dengan ikan asin sebagai indikator, seseorang dikatakan miskin bila konsumsinya >= 110gr/kapita/minggu. Semakin banyak mengkonsumsi ikan asin semakin besar peluangnya untuk masuk ke dalam kategori sebagai orang miskin. Rupanya secara sosial ikan asin dianggap oleh masyarakat sebagai komoditas inferior. Padahal dari segi gizi, ikan asin sebenarnya superior karena kandungan proteinnya sekitar 35-40%. Pengukuran kelaparan Kelaparan dapat diukur secara kuantitatif maupun kualitatif. Smith (2003) mengemukakan metode dan ukuran untuk menilai kekurangan pangan pada tingkat rumahtangga maupun individu, melalui 4 jenis keadaan, yang dapat diukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Keadaan tersebut adalah: 1) ketidakcukupan energi rumahtangga, 2) tingkat ketidakcukupan energi, 3) keanekaragaman makanan (dietary diversity), dan 4) persen pengeluaran untuk makanan (% food expenditure). FAO (2002) memakai 4 jenis kondisi yang hampir sama untuk menilai kelaparan baik pada tingkat rumahtangga maupun individu yaitu; 1) Ketersediaan pangan (Dietary Energy Supply), 2) Konsumsi Energi, 3) Status Gizi Secara anthropometri dan 4) Persen pengeluaran untuk makanan (% Food Expenditure). Di Indonesia, melalui lokakarya Perumusan Indikator Kelaparan pada bulan November 2002 dan telah disempurnakan melalui penelitian uji coba instrument kelaparan tersebut pada tahun 2004, maka disepakati ada 10 pertanyaan yang mencerminkan perubahan jumlah dan frekuensi makan serta perubahan berat badan yang diteliti selama 2 bulan terakhir. Adapun pertanyaannnya adalah: 1. Dalam setahun terakhir, berapa kali sehari biasanya saudara makan?..... kali 2. Dalam dua bulan terakhir berapa kali sehari biasanya saudara makan? ..... kali 3. Bila berkurangmenurun (Isian R.2 < R.1), mengapa? 1. Sakit/ Nafsu makan berkurang 2. Diet 3. Tidak sempat/sibuk 4. Puasa 5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang 6. Jatah berkurang 7. Lainnya 10 4. Dalam dua bulan terakhir, apakah jumlah/porsi makan semakin berkurang dibanding biasanya? 1. Ya 2. Tidak ( Bila R.4 =2, Langsung ke R.6 5. Bila “ya” mengapa? 1. Sakit/ Nafsu makan berkurang 2. Diet 3. Tidak sempat/sibuk 4. Puasa 5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang 6. Jatah berkurang 7. Lainnya 6. Dalam dua bulan terakhir, apakah berat badan saudara semakin berkurang/kurus (pakaian/celana semakin longgar)? 1. Ya 2. Tidak 7. Bila “ya” (R.6=1), mengapa? 1. Sakit/ Nafsu makan berkurang 2. Diet 3. Tidak sempat/sibuk 4. Puasa 5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang 6. Jatah berkurang 7. Lainnya 8. Menurut anda ukuran tubuh responden yang diamati tergolon 1. Gemuk 2. Normal (biasa) 3. Kurus/ kurang gizi 9. Jika tergolong kurus, tanyakan sejak berapa lama mempunyai ukuran tubuh sedemikian? ....... bulan 10. Jika tergolong kurus, tanyakan kepada responden kemungkinan penyebab utamanya. 1) Sakit kronis 2) Kurang makan/tidakmampu beli makanan 3) Lainnya (...................) Berdasarkan pertanyaan diatas, seorang individu dikatakan lapar apabila terjadi penurunan frekuensi atau penurunan porsi disertai penurunan berat badan. Dikatakan rawan pangan apabila hanya terjadi penurunan frekuensi atau porsi makan, serta dikatakan Tahan pangan apabila tidak terjadi penurunan baik frekuensi maupun porsi konsumsi, karena alasan ekonomi atau ketersediaan. 11 Karakteristik Rumahtangga serta Hubungannnya dengan Ketahanan Pangan Ukuran rumahtangga Ukuran rumahtangga akan mempengaruhi pendapatan per kapita dan pengeluaran untuk konsumsi pangan. Rumahtangga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar anak yang sangat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah. Pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota rumahtangga tersebut tetapi hanya mencukupi sebagian dari anggota rumahtangga itu (Martianto & Ariani 2004). Dalam penelitian Prabawa (1998) diungkapkan bahwa setinggi apapun tingkat pendapatan yang diperoleh seorang kepala rumahtangga dalam rumahtangganya, pada akhirnya kesejahteraan mereka akan ditentukan oleh pendapatan per kapita. Besarnya pendapatan per kapita selain ditentukan oleh total pendapatan yang diterima, juga oleh seluruh anggota rumahtangga yang bersangkutan. Tidak semua anggota rumahtangga dalam rumahtangga bekerja produktif sehingga dapat memperbesar beban ketergantungan. Banyaknya jumlah anggota rumahtangga akan mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan per kapita dan besarnya konsumsi keluarga. Selain itu, Hartog, Staveren, dan Brouwer (1995) juga menyatakan bahwa besar rumahtangga akan mempengaruhi kebiasaan makan dan gizi, khususnya pada rumah tangga miskin yang bergantung pada pendapatan tunai untuk membeli bahan pangan. Oleh karena itu jumlah anggota rumahtangga atau ukuran rumahtangga akan memberi dorongan bagi rumahtangga bersangkutan untuk lebih banyak menggali sumber pendapatan lainnya. Pendidikan Hasil penelitian Megawangi (1994) membuktikan bahwa tingkat pendapatan dan pendidikan suami berhubungan nyata dan positif terhadap kebiasaan merencanakan anggaran biaya. Dengan demikian, rumahtangga yang dikepalai oleh seseorang dengan tingkat pendidikan rendah cenderung lebih miskin dibandingkan dengan rumahtangga yang dikepalai oleh mereka yang berpendidikan tinggi. Pengeluaran Rumahtangga Pengeluaran rumahtangga dibagi menjadi dua, yaitu pengeluaran pangan dan pengeluaran nonpangan. Kartika (2005) mendefinisikan pengeluaran pangan adalah jumlah uang yang akan dibelanjakan untuk konsumsi pangan, sedangkan 12 pengeluaran nonpangan adalah jumlah uang yang dibelanjakan untuk keperluan selain pangan seperti pendidikan, listrik, air, komunikasi, transportasi, tabungan, biaya produksi pertanian dan kebutuhan nonpangan lainnya. Menurut Tanziha (1992) dalam Kartika (2005) bahwa secara naluri individu, seseorang akan terlebih dahulu memanfaatkan setiap penghasilan bagi kebutuhan dasarnya berupa pangan. Jika kebutuhan dasarnya tersebut telah terpenuhi, maka tiap kelebihan penghasilannya dialokasikan untuk nonpangan. Menurut Azwar (2004) dalam Kartika (2005), proporsi pengeluaran pangan dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan. Semakin tinggi proporsi pengeluaran pangan berarti tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan rumahtangga semakin rendah. Berdasarkan hasil penelitian Hildawati (2008) pada kelompok nelayan, pengeluaran rumahtangga per kapita per bulan mempengaruhi tingkat konsumsi energi dan protein rumahtangga nelayan. Rumahtangga yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan lebih tinggi mempunyai peluang 6,1 kali lebih tinggi tingkat konsumsi energinya dan 8,3 kali lebih tinggi tingkat konsumsi proteinnya dibandingkan dengan rumahtangga yang tingkat pengeluaran per kapita per bulannya lebih rendah. Pengambilan Keputusan Rumahtangga Pengambilan keputusan adalah suatu proses menetapkan suatu keputusan yang terbaik, logis, rasional, dan ideal, berdasarkan fakta, data, dan informasi dari sejumlah alternatif untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dengan resiko terkecil, efektif, dan efisien, yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang (Guhardja, dkk 1992). Hasil penelitian Blood dan Wolfe (1960) diacu dalam Puspa (2007) menyatakan bahwa suami atau istri yang pendidikan formalnya lebih tinggi akan mendominasi pengambilan keputusan. Namun menurut Sajogyo (1983), pendidikan bukan merupakan satu-satunya sumberdaya pribadi yang paling berpengaruh pada kekuasaan. Dikatakan bahwa istri yang mengenyam pendidikan formal lebih rendah dari suami, tetapi mempunyai pengalaman yang dapat memperkaya pribadinya, mempunyai kekuasaan yang setara dengan suami, dan bila perlu istri tersebut mampu untuk mengambil keputusan tertentu. Melalui pengalaman (terutama yang diperoleh dari luar rumah) istri akan berinteraksi dengan nilai-nilai baru yang pada akhirnya akan menambah 13 pengetahuannya. Istri yang pendidikannya rendah dan tidak mempunyai sumberdaya pribadi lain (selain pendidikan) maka kekuasaan dalam rumahtangga biasanya akan didominasi oleh suaminya. Goode (1996) diacu dalam Puspa (2007) menyatakan bahwa keadaan atau kondisi di luar diri pribadilah yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam rumahtangga. Dikatakan faktor-faktor yang mempengaruhi peranan wanita dalam proses pengambilan keputusan di rumahtangga dan masyarakat adalah perkawinan dan pewarisan. Pada umumnya peranan wanita yang normal adalah sebagai “istri” dan lebih lanjut biasanya seorang istri lebih muda dan lebih rendah pendidikannya daripada suami. Dengan demikian karena suami dianggap lebih tua, secara tidak langsung mempengaruhi istri pada proses pengambilan keputusan. Menurut Sajogyo (1983) tingkat keputusan dihubungkan dengan pengeluaran dalam kebutuhan pokok yang terdiri dari: (1) makanan (biaya hidup, jenis atau menu makanan, distribusi), (2) perumahan (pembelian dan perbaikan), pakaian, pendidikan, kesehatan, dan perabot rumahtangga. Sedangkan untuk jenis keputusan rumahtangga, dikelompokkan dalam lima tingkatan yaitu: (1) keputusan dibuat oleh istri seorang diri tanpa melibatkan suami, (2) keputusan dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh yang lebih besar dari istri, (3) keputusan dibuat bersama dan senilai oleh suami-istri (dengan tidak ada tanda-tanda bahwa salah satu mempunyai pengaruh yang relatif lebih besar), (4) keputusan dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh yang lebih besar dari suami, (5) keputusan dibuat oleh suami seorang diri tanpa melibatkan istri. Pola pengambilan keputusan untuk urusan rumahtangga dan urusan luar rumahtangga lebih sering ditentukan dalam musyawarah bersama antar suamiistri. Peranan istri dalam menentukan keputusan urusan rumahtangga lebih besar dibandingkan dengan urusan untuk luar rumahtangga (Riyadi 1993). Analisis pengambilan keputusan berarti pengambilan keputusan wanita dalam hubungannya dengan pria bukan hanya sekedar berdasar biologis saja, tetapi juga secara budaya, sosial, atau politik, sesuai sistem sosial wanita berada. Pada aspek lain, wanita pada umumnya mendominasi pengambilan keputusan dalam bidang pengeluran untuk kebutuhan rumahtangga, dan pria dalam pengeluaran produksi, sedangkan untuk bidang pembentukan rumahtangga dan sosial pengambilan keputusan umumnya secara bersama-sama (Wasito 1999). 14 Akses Pangan Konsep mengenai akses didefinisikan sebagai bentuk pertanyaan apakah individu, rumah tangga, atau negara mampu memperoleh pangan yang cukup. Kemampuan rumah tangga ditentukan oleh daya dukung sumberdaya yang dimilikinya baik melalui produksi dan perdagangan pangan maupun komoditi yang dapat dipertukarkan dengan pangan. Apabila kemampuan ini tidak dimiliki maka akan mengalami kelaparan. Dalam sistem ekonomi pasar, hubungan kemampuan seseorang ditentukan oleh apa yang mereka miliki, apa yang dapat dijual, dan apa yang mereka warisi atau pemberian (Amartya sen 1981 dalam Maxwell & Frankenberg 1992). Akses pangan tingkat rumah tangga adalah kemampuan suatu rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup secara terus menerus melalui berbagai cara, seperti produksi pangan rumah tangga, persediaan pangan rumah tangga, jual-beli, tukar-menukar/barter, pinjammeminjam, dan pemberian atau bantuan pangan (World food Programme 2005 dalam Hildawati 2008). Akses pangan meliputi akses fisik dan akses ekonomi serta akses sosial. Keterjaminan akses sepanjang waktu terhadap pangan yang cukup merupakan inti dari definisi ketahanan pangan rumah tangga. Menurut Maxwell dan Frankenberger (1992) terdapat empat elemen ketahanan pangan berkelanjutan (sustainable food security) di tingkat rumah tangga, yaitu 1) kecukupan pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat; 2) akses pangan, yang didefinisikan sebagai hak untuk berproduksi, membeli atau menukarkan pangan ataupun menerima pemberian; 3) ketahanan, yang didefinisikan sebagai keseimbangan antara kerentanan, resiko, dan jaminan pengaman sosial; dan 4) fungsi waktu, kerawanan pangan dapat bersifat kronis, transisi dan atau siklus. Kerawanan pangan kronis terjadi dan berlangsung terus menerus yang biasanya disebabkan oleh rendahnya daya beli atau kemampuan memproduksi sendiri sehingga sering terjadi di daerah terisolir dan gersang. Kerawanan pangan transisi terjadi secara mendadak karena ketidakmantapan harga pangan dan produksi pangan atau pendapatan rumahtangga sehingga pada suatu saat tertentu sekelompok orang, rumahtangga atau masyarakat tidak mempunyai cukup pangan untuk dikonsumsi. Keterjaminan akses pangan harus dicapai sampai pada tingkat rumahtangga (household food security) sehingga kebutuhan 15 pangan untuk setiap anggota rumahtangga dapat terpenuhi setiap saat (Syarief 1992). Akses Fisik Akses fisik akan menentukan apakah sumber pangan yang dikonsumsi dapat ditemui dan mudah diperoleh. Kemudahan dalam memperoleh pangan di tunjang oleh tersedianya sarana fisik yang cukup dalam memperoleh pangan (Penny 1990). Pangan harus tersedia secara terus-menerus dalam suatu pasar/warung apabila rumah tangga tidak dapat memproduksi sendiri pangan yang dibutuhkan. Rimbawan dan Baliwati (2004) dalam Hidawati (2008), menyatakan bahwa salah satu kelompok masyarakat yang rawan terhadap pangan dan gizi adalah masyarakat yang tinggal di lokasi atau tempat yang terpencil. Akses pangan juga bergantung pada daya beli rumah tangga, yang artinya akses pangan terjamin seiring dengan terjaminnya pendapatan dalam jangka panjang. Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa keterjangkauan pangan bergantung pada kesinambungan sumber nafkah. Mereka yang tidak menikmati kesinambungan dan kecukupan pendapatan akan tetap miskin. Semakin banyak jumlah orang miskin, semakin rendah daya akses terhadap pangan, dan semakin tinggi derajat kerawanan pangan suatu wilayah (WFP 2003). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rahmah (2006), jarak tempat tinggal (akses fisik) yang jauh dari sumber pangan merupakan salah satu faktor yang akan menghambat kemudahan individu atau masyarakat untuk memperoleh pangan yang tentunya akan menghambat konsumsi pangannya. Menurutnya terdapat hubungan negatif signifikan antara jarak tempat tinggal dari warung makan dengan tingkat konsumsi energi dan protein, artinya bahwa konsumsi energi dan protein semakin menurun dengan meningkatnya jarak tempat tinggal ke warung makan. Akses Ekonomi Kegiatan ekonomi rumahtangga dalam pemenuhan pangan adalah mendapatkan, menghasilkan atau menerima uang, pangan dan yang lainnya; mengkonsumsi, membelanjakan, memberi atau mengumpulkan uang, pangan dan aset/harta lain; dan mengutang serta membayar kembali hutang tersebut. Matapencaharian berhubungan erat dengan akses pangan yang meliputi produksi rumah tangga dan alat untuk memperoleh pendapatan (WFP 2005 dalam Hildawati 2008). Rumah tangga dapat dikatakan tahan pangan apabila tercukupinya permintaan akan pangan. Pengukuran operasional atas permintaan 16 akan pangan tersebut dalam jangka waktu pendek dapat dipakai untuk memonitor akses ekonomi rumah tangga akan pangan, yaitu pendapatan/ pengeluaran dan harga (Sharma 1992 dalam Hildawati 2008) Akses Sosial Selain akses ekonomi dan akses fisik terhadap pangan terdapat akses sosial. Akses sosial merupakan suatu akses atau cara untuk mendapatkan pangan yang dibutuhkan dalam pemenuhan kebutuhan pangannya melalui berbagai dukungan sosial, seperti bantuan atau dukungan sosial dari keluarga/kerabat, tetangga, serta teman. Bantuan atau dukungan dari saudara/kerabat, tetangga, serta teman dapat berupa bantuan pinjaman uang/pangan, pemberian bantuan pangan, pertukaran pangan, dan lain sebagainya. Selain dukungan sosial, kerawanan pangan berdasarkan akses sosial dapat dilihat dari tingkat pendidikannya (Hildawati 2008). Dukungan Sosial. Menurut Sarafino (1996), manusia sebagai individu dalam kehidupannya dihadapkan dengan berbagai hal yang menyangkut kepentingan, terutama dalam pemenuhan kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap orang memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang lain atau sumber-sumber dukungan sosial. Dukungan sosial tidak selamanya tersedia pada diri sendiri melainkan harus diperoleh dari orang lain yakni rumahtangga (suami atau istri), saudara atau masyarakat (tetangga) dimana orang tersebut tinggal. Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan atau kelompok. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga mencakup adanya interaksi di antara anggota dan saling membantu, sehingga tetap terjalin hubungan dan menghasilkan kepuasan batin seseorang (Sarafino 1996). Sarafino mengemukakan dukungan sosial terdiri dari dukungan emosi, dukungan instrumental, dukungan penghargaan, dan dukungan informasi. Dukungan emosi melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap individu sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai, dan diperhatikan. Dukungan ini meliputi perilaku seperti memberikan perhatian dan afeksi serta bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain. Dukungan ini biasanya diperoleh dari orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan individu, seperti keluarga, tetangga, atau mungkin teman. Dukungan instrumental melibatkan 17 bantuan langsung, misalnya berupa bantuan finansial atau bantuan dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu. Dukungan penghargaan melibatkan pengakuan dari orang lain atas kemampuan dan kualitas individu. Dukungan ini dapat berupa pujian, hadiah, pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap ide-ide, perasaan atau penampilan orang lain, atau mau menerima atas segala kekurangan pada diri orang lain. Dukungan informasi memungkinkan individu sebagai penerima dukungan dapat memperoleh pengetahuan dari orang lain. Pengetahuan yang diperoleh dapat berupa bimbingan, arahan, diskusi masalah maupun pengajaran suatu keterampilan. Dengan adanya informasi ini, maka individu dapat menyelesaikan masalahnya atau menambah pengetahuan baru. Pengetahuan Gizi. Menurut Suhardjo (1989) pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah. Pengetahuan gizi dapat diperoleh dari pendidikan formal maupun informal. Selain itu, melalui media komunikasi seperti televisi, majalah, koran, radio, atau melalui penyuluhan kesehatan/gizi, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan tentang gizi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan cenderung memilih makanan yang murah dengan nilai gizi yang lebih tinggi sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil, sehingga kebutuhan zat gizinya terpenuhi. Khomsan (2002a) menyatakan bahwa walaupun rumahtangga memiliki daya beli cukup dan pangan juga tersedia, namun bila pengetahuan pangan dan gizinya masih rendah maka akan sangat sulit bagi rumahtangga yang bersangkutan untuk dapat memenuhi kecukupan pangannya baik secara kuantitas maupun kualitas. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah informasi pangan yang dimakan (dikonsumsi) oleh seseorang atau kelompok , baik berupa jenis maupun jumlahnya pada waktu tertentu, artinya konsumsi pangan dapat dilihat dari aspek jumlah maupun jenis pangan yang dikonsumsi. Konsumsi pangan berkaitan erat dengan gizi dan kesehatan, kesejahteraan, pengupahan, serta perencanaan ketersediaan dan produksi pangan (Hardinsyah & Suhardjo 1990). Tiga tujuan seseorang mengkonsumsi pangan yaitu tujuan fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah untuk memenuhi rasa lapar atau keinginan memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan untuk memenuhi 18 kepuasan emosional ataupun selera seseorang. Tujuan sosiologis adalah berhubungan dengan upaya pemeliharaan hubungan antar manusia dalam kelompok kecil maupun kelompok besar (Riyadi 1996). Tercukupinya konsumsi pangan merupakan syarat mutlak terwujudnya ketahanan pangan rumahtangga. Ketidaktahanan pangan dapat digambarkan dari perubahan konsumsi pangan yang mengarah kepada penurunan kuantitas dan kualitas, termasuk perubahan frekuensi konsumsi makanan pokok. Angka riil kuantitas konsumsi pangan harus dibandingkan dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk mengetahui cukup tidaknya asupan gizi (Khomsan 2002b). Makanan telah dijadikan indikator oleh ekonom untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat. Teori Engel misalnya, menyebutkan bahwa semakin tinggi pendapatan maka proporsi pengeluaran untuk makanan sangat kecil. Hukum Bennet menerangkan bahwa konsumsi pangan yang terdiversifikasi akan dicapai bersama dengan meningkatnya pendapatan. Hukum Bennet menerangkan bahwa konsumsi umbi-umbian akan semakin menurun bersamaan dengan meningkatnya pendapatan. Umbi-umbian adalah sumber kalori yang harganya lebih murah sehingga terjangkau oleh orang miskin dibandingkan serealia (Khomsan 2002b). Penilaian Konsumsi Pangan Hoddinott (1999) menjelaskan konsumsi pangan individu sebagai sejumlah kalori atau zat gizi yang dikonsumsi oleh individu pada periode tertentu atau umumnya dalam 24 jam. Terdapat dua cara yang umum digunakan untuk mengukur konsumsi individu yaitu dengan metode observasi dan recall. Metode observasi merupakan metode penilainan konsumsi pangan individu yang dilakukan oleh enumerator selama satu hari penuh, yaitu menilai jumlah makanan yang disajikan bagi setiap orang dan jumlah makanan yang disediakan tetapi tidak dikonsumsi (sisa makanan). Selain itu dalam metode observasi enumerator juga mencatat jenis dan jumlah makanan yang dimakan sebagai selingan (snack) diantara waktu makan ataupun makanan yang diperoleh dari luar rumah. Metode recall merupakan metode yang lebih mudah, karena enumerator hanya perlu mewawancarai anggota rumah tangga dan mengingat kembali makanan yang mereka konsumsi selama 24 jam, termasuk jenis makanan, jumlah dan makanan selingan (snack) atau makanan lain yang diperoleh dari luar rumah. 19 Penilaian konsumsi pangan juga dapat diukur dengan menggunakan FFQ (Food Frequency Question). FFQ merupakan kuesioner yang menggambarkan frekuensi responden dalam mengkonsumsi beberapa h=jenis makanan dan minuman. Frekuensi konsumsi makanan dilihat dalam satu hari atau minggu atau bulan atau tahun. Kuesiner terdiri dari susunan jenis makanan dan minuman (Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat UI 2007 dalam Hildawati 2008). Penggunaan FFQ sebagai instrumen penilaian konsumsi memiliki kelebihan yaitu relatof murah, dapat digunakan untuk melihat hubungan antara diet dan penyakit, dan lebih representatif. Keterbatan penggunaan FFQ adalah adanya kemungkinan tidak menggambarkan porsi yang dipilih oleh responden, tergantung pada kemampuan responden untuk mendeskripsikan dietnya. Terdapat tiga jenis FFQ yaitu : 1. Semi or non quantitatine FFQ, tidak memberikan pilihan tentang porsi yang biasa dikonsumsi, sehingga menggunakan standar porsi 2. Semi quantitative FFQ, memberikan porsi yang dikonsumsi, misalnya sepotong roti, secangkir kopi. 3. Quantitative FFQ, memberikan pilihan porsi yang biasa dikonsumsi responden, seperti kecil,sedang, atau besar. Pada prinsipnya penilaian jumlah konsumsi zat gizi berdasarkan pada konsumsi pangan dan data kandungan zat gizi bahan makanan atau Daftar Konsumsi Bahan Makanan (DKBM). DKBM menunjukkan kandungan berbagai kandungan berbagai zat gizi dari berbagai jenis pangan atau makanan dalam seratus gram bagian yang dapat dimakan (BDD) (Hardinsyah & Martianto 1992). Dengan menggunakan DKBM, jumlah dan komposisi zat gizi yang diperoleh seseorang atau kelompok orang dapat dihitung dengan atau dinilai. Secara umum, penilaian zat gizi tertentu yang dikonsumsi dapat dapat dihitung dengan rumus : Gij = BPj x Bddj x KGij 100 100 Keterangan : KGij = kandungan zat gizi tertentu (i) dari pangan (j) atau makanan yang dikonsumsi dengan satuannya. BPj = berat pangan atau makanan (j) yang dikonsumsi 20 Bddj = bagian yang dapat dimakan (dalam persen atau gram dari 100 gram pangan atau makanan (j) ) Gij = zat gizi yang dikonsumsi dari pangan atau makanan (j) Analisis Jalur Analisis jalur merupakan pengembangan dari analisis korelasi yang dibangun dari diagram jalur yang dihipotesiskan oleh peneliti dalam menjelaskan mekanisme hubungan kausal antar variabel dengan cara menguraikan koefisien korelasi menjadi pengaruh langsung dan tidak langsung (Yamin & Kurniawan 2009). Selain itu Yamin dan Kurniawan 2009 juga menyatakan bahwa analisis jalur dapat dikatakan sebagai analisis regresi linier dengan variabel-variabel yang dibakukan. Oleh karena itu, koefisien jalur pada dasarnya merupakan koefisien beta atau koefisien regresi baku. Diagram jalur umumnya dilukiskan dalam suatu gambar panah lingkaran dan panah tunggal (circle-and-row) dimana panah tunggal menandai sebagai penyebab dan dua arah panah yang melingkar menandakan hubungan korelasional antara dua variabel. Variabel Eksogen adalah variabel penyebab, yang memberikan efek kepada variabel lainnya. Dalam diagram jalur, variabel eksogen ini secara eksplisit diketahui sebagai variabel yang tidak ada panah tunggal yang menuju ke arahnya. Jika ada lebih dari satu variabel eksogen dalam sistem, maka ditandai oleh circle-path (tanda panah yang melingkar) yang menunjukkan hubungan korelasional variabel eksogen (Yamin & Kurniawan 2009). Variabel endogen adalah variabel yang dijelaskan oleh variabel eksogen atau merupakan efek dari variabel eksogen. Dalam diagram jalur secara ekdplisit variabel endogen ditandai oleh kepala panah yang menujunya. Baik tanda panah dari variabel eksogen maupun variabel eror (Yamin & Kurniawan 2009). Variabel eror didefinisikan sebagai kumpulan variabel-variabel eksogen lainnya yang tidak dimasukkan dalam sistem penelitian yang dimungkinkan masih mempengaruhi variabel endogen (Yamin & Kurniawan 2009). Koefisien jalur adalah suatu koefisian regresi terstandardisasi (beta) yang menunjukkan efek langsung dari suatu variabel eksogen terhadap variabel endogen dalam suatu model jalur (Yamin & Kurniawan 2009). 21 KERANGKA PEMIKIRAN Ketahanan pangan rumahtangga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah karakteristik rumahtangga (meliputi ukuran rumahtangga, pendidikan kepala dan ibu rumahtangga, dan akses pangan termasuk dukungan sosial dan pengetahuan gizi), food coping strategy, jaringan sosial masyarakat, dan konsumsi rumahtangga. Pada penelitian ini hanya akan memeriksa pengaruh beberapa variabel yaitu ukuran rumahtangga, pendidikan kepala rumahtangga dan ibu rumahtangga, pengeluaran rumahtangga, akses pangan dan tingkat konsumsi rumahtangga. Variabel-veriabel ini akan dianalisis seberapa besar pengaruhnya terhadap ketahanan pangan keluarga. Tingkat pendidikan kepala rumahtangga mempengaruhi ketahanan pangan secara tidak langsung, hal ini dapat dilihat jika kepala rumahtangga memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi maka kemungkinan kepala rumahtangga tersebut memperoleh pekerjaan yang layak cukup besar. Hal ini akan berdampak pada perolehan pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Besar rumahtangga mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga, karena semakin besar rumahtangga tersebut maka resiko terjadinya kerawanan pangan dalam suatu rumahtangga akan semakin besar. Hal ini dikarenakan semakin banyak kebutuhan yang harus dipenuhi oleh rumahtangga tersebut, baik kebutuhan pangan maupun kebutuhan non-pangan. Akses terhadap pangan penting dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan rumahtangga. Akses pangan terdiri dari akses fisik, akses ekonomi dan akses sosial. Akses sosial termasuk didalamnya pengetahuan gizi ibu dan dukungan sosial. Pengetahuan gizi terkait dengan keputusan ibu dalam memilih jenis dan jumlah pangan yang akan dikonsumsi untuk anggota rumahtangga, semakin baik pengetahuan gizi ibu maka ketahanan pangan rumahtangga dapat dicapai. Dukungan sosial yang baik akan dapat memperkecil peluang suatu rumahtangga mengalami kerawanan pangan, karena adanya bantuan dari tetangga dalam upaya pemenuhan kebutuhan, baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan emosional. Diantara variabel-variabel diatas, variabel sosial ekonomi rumahtangga akan mempengaruhi akses terhadap pangan. Bila akses terhadap pangan dapat tercapai dengan baik maka suatu rumahtangga dapat memenuhi kebutuhan pangan, sehingga tingkat konsumsi rumahtangga dapat terpenuhi. Tingkat 22 konsumsi merupakan salahsatu indikator pengukuran tingkat ketahanan pangan. Dengan demikian, bila tingkat konsumsi rumahtangga sudah terpenuhi maka dapat diketahui tingkat ketahahan pangan suatu rumahtangga adalah tahan pangan, begitupun sebaliknya. Bila tingkat konsumsi rumahtangga tidak terpenuhi maka rumahtangga tersebut berpeluang mengalami kerawanan pangan bahkan ketidaktahanan pangan. 23 Karakteristik Sosial Ekonomi : 1. Besar Rumahtangga 2. Pendidikan Kepala dan Ibu Rumahtangga 3. Kepemilikan Lahan Akses pangan : 1. akses ekonomi → 2. akses sosial → pengeluaran (pangan & pengetahuan gizi & nonpangan) dukungan sosial 3. Akses fisik → ketersediaan warung Ketersediaan pangan Rumahtangga Konsumsi rumahtangga Ketahanan Pangan Rumahtangga Status Gizi Keterangan gambar : variabel yang diteliti : hubungan yang diteliti : variabel yang tidak diteliti : hubungan yang tidak diteliti Gambar 3 Kerangka pemikiran analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Lebak Banten 24 METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan mengunakan desain cross Sectional study. Objek penelitian adalah Rumahtangga di wilayah Desa Pasindangan dan Desa Banjarsari Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive yaitu wilayah tipologi desa tipe 3 dan tipe 2 yaitu berturut-turut wilayah yang mempunyai tingkat kesejahteraan rendah yang memiliki potensi utama pertanian dan tingkat kesejahteraan tinggi yang memiliki potensi utama pertanian di wilayah Kabupaten Lebak Banten. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2009. Cara Penarikan Contoh Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian “Model Penguatan Modal Komunitas Pertanian Dalam Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan Kelaparan” yang dilaksanakan di Kabupaten Lebak, Banten. Penarikan contoh dilakukan secara purposive, yaitu Contoh berjumlah 110 rumahtangga. Setelah dilakukan cleaning contoh yang terambil sebanyak 101 rumahtangga dengan kriteria (1) pekerjaan utama kepala rumahtangga sebagai petani, (2) contoh mewakili populasi berdasarkan proporsi kepemilikan lahan, yaitu petani tidak memiliki lahan, memiliki lahan kurang dari 5 000 m2, memiliki lahan 5 000-10 000 m2, dan memiliki lebih dari 10 000 m2. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data sosial ekonomi rumahtangga meliputi umur KRT dan ibu, pendidikan KRT dan ibu, pekerjaan, ukuran rumahtangga, kepemilikan lahan, dan akses pangan. Data primer diperoleh dari hasil penggalian informasi dari contoh yang dilakukan melalui pengisian kuesioner yang relevan dengan variabel yang diteliti. Data sekunder yang dikumpulkan antara lain gambaran umum lokasi penelitian dan data demografi. Jenis dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1. 25 Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data No. Variabel 1 Data karakteristik keluarga 2 Data sosial ekonomi keluarga 3 Data akses pangan 4 Data konsumsi keluarga 5 Data monografi desa Cara Pengumpulan Wawancara dengan menggunakan kuesioner Wawancara dengan mengunakan kuesioner Wawancara dengan menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung Wawancara dengan menggunakan kuesioner Data sekunder dari instansi terkait Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel dan SPSS 13,0 for Windows untuk penarikkan kesimpulan. Proses pengolahan meliputi editing, coding, entry dan analisis. Untuk mengukur hubungan antara variabel-variabel dianalisis menggunakan analisis korelasi Pearson dan Rank Spearman, sedangkan untuk mengukur pengaruh antara variabel-variabel penelitian dianalis dengan menggunakan analisis jalur dengan uji regresi. Variabel-variabel penelitian dianalisis deskriptif untuk mengetahui gambaran umum contoh. Beberapa variabel di kategorikan terlebih dahulu sebelum dilakukan analisis lebih lanjut, pengkategorian dapat dilihat pada Tabel 2. Pengkategorian untuk beberapa variabel penelitian dilakukan berdasarkan rumus interval Slamet (1993) yang diacu dalam Puspa (2007), berikut perhitungan rumus interval : Interval Kelas = Nilai Maksimum (NT) – Nilai Minimum (NR) = interval 1 Jumlah Kategori Pendidikan yang diukur adalah lama pendidikan formal yang dilakukan oleh contoh, tidak dihitung tinggal kelas yang kemudian dikategorikan. Untuk kepemilikan lahan adalah luas lahan yang merupakan hak milik contoh secara pribadi tidak termasuk lahan garapan dari pihak lain. Pengeluaran adalah total pengeluaran rumahtangga pertahun yang terdiri dari pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan. Total pengeluaran pertahun kemudian dibagi 12 bulan dan dibagi jumlah anggota rumahtangga untuk memperoleh total pengeluaran rumahtangga perkapita per bulan. Setelah itu baru kemudian di bandingkan dengan Garis Kemiskinan (GK) provinsi Banten yaitu sebesar Rp 156 494, sehingga diperoleh klasifikasi rumahtangga miskin dan rumahtangga tidak miskin. 26 Penilaian konsumsi berdasarkan perhitungan konsumsi zat gizi, dijumlahkan total konsumsi setiap anggota rumahtangga dalam satu tahun untuk mendapatkan total konsumsi rumahtangga. Total konsumsi rumahtangga pertahun kemudian dibagi jumlah anggota rumahtangga dan dibagi jumlah hari dalam satu tahun yaitu 365 hari, sehingga diperoleh konsumsi rumahtangga per hari. Untuk memperoleh tingkat konsumsi zat gizi rumahtangga, maka konsumsi rumahtangga per hari dibandingkan dengan Angka Kecukupan Zat Gizi (AKG) rumahtangga. AKG rumahtangga diperoleh dari rata-rata AKG dari setiap anggota rumahtangga dalam suatu rumahtangga berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin. Tingkat ketahanan pangan kualitatif diukur berdasarkan pengukuran instrumen kelaparan yang ditanyakan dalam kusesioner. Untuk pengukuran ketahanan pangan kuantitatif, diukur berdasarkan tingkat kecukupan energi rumahtangga. Selanjutnya dikategorikan berdasarkan kategori FAO (2003) dalam Tanziha (2005) yang dapat dilihat pada Tabel 2. Variabel-variabel tersebut kemudian diuji pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung dengan metode analisis jalur. Analisis jalur adalah Sebuah metode untuk mempelajari pengaruh langsung dan tidak langsung dari variable-variabel. Dikembangkan pertama kali oleh Wright (1921). Analisis jalur dapat digunakan untuk menganalisis hubungan sebab akibat antara satu variabel dengan variabel lainnya. Prosedur ini dapat menduga koefisien-koefisien sejumlah persamaan struktural linear yang mewakili hubungan sebab akibat yang menjadi hipotesis (Kenny 1979 diacu dalam Hudjimartsu 2005). Adapun model analisis jalur yang akan diuji pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 4. 27 Tabel 2 Pengkategorian variabel penelitian No. 1 2 3 4 Variabel Umur KRT, ibu, dan ART Pendidikan KRT, ibu, dan ART Ukuran rumahtangga Kepemilikan lahan 5 Pengeluaran 6 Pengetahuan gizi 7 Dukungan Sosial 8 Tingkat konsumsi: Energi dan Protein Vitamin dan mineral 9 Ketahanan pangan Kategori Lansia : ≥ 60 th Dewasa madya : 40 – 59 th Dewasa awal : 20 – 39 th Remaja : 12 -19 th AUS : 6 – 11 th Balita : 25 – 60 bln Bayi : 0 -24 bln TS : 0 th SD : 6 th SMP : 9 th SMA : 12 th PT : 16 th Rumahtangga kecil : ≤ 4 orang Rumahtangga sedang : 5 – 6 orang Rumahtangga besar : ≥ 7 orang 0 m2 < 5 000 m2 5 000 – 10 000 m2 > 10 000 m2 Miskin : ≤ GK Tidak miskin : > GK Rendah : ≤ 5 Sedang : 6 – 7 Tinggi : ≥ 8 Buruk : < 15 Sedang : 15 – 20 Baik : > 20 Defisit berat : < 70% Defisit sedang : 70 -79% Defisit berat : 80 – 89% Normal : 90 – 119% Lebih : ≥ 120% Defisit : ≤ 50% Cukup : > 50% Rawan pangan berat : TKE < 70% Rawan pangan sedang : TKE 70 -80 % Rawan pangan ringan : TKE 81 – 90% Tahan pangan : TKE > 90% Sumber Hurlock (1980) - BKKBN (1998) BPS (2007) Rumus interval Slamet (1998) Rumus interval Slamet (1998) Depkes (1996) Depkes (2003) FAO (2003) 28 X1 PY4X1 PY1X1 PY3X1 Y1 PY1X2 X2 PY4Y1 PY3Y1 Y3 PY3X2 PY4Y3 Y4 PY3Y2 PY2X2 PY4Y2 Y2 PY4X3 PY3X3 X3 Gambar 4 Model Analisis Jalur Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga Keterangan X1 : Tingkat pendidikan KRT X2 : Tingkat pendidikan IRT X3 : Ukuran rumahtangga Y1 : Dukungan sosial Y2 : Pengetahuan gizi Y3 : Pengeluaran rumahtangga Y4 : Tingkat ketahanan pangan rumahtangga kuantitatif Yamin dan Kurniawan (2009) menyatakan bahwa analisis jalur dapat dikatakan sebagai analisis regresi linier dengan variabel-variabel yang dibakukan. Regresi bertujuan untuk menguji hubungan pengaruh antara satu variabel terhadap variabel lain. Variabel yang dipengaruhi disebut variabel tergantung atau dependen, sedang variabel yang mempengaruhi disebut variabel bebas atau variabel independen. Regresi yang mempunyai satu variabel dependen dan lebih dari satu variabel independen disebut regresi berganda. Model persamaan regresi berganda dapat digambarkan sebagai berikut (Nugroho 2005) : Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + e 29 DEFINISI OPERASIONAL Ketahanan Pangan adalah kondisi dimana setiap rumah tangga mampu memenuhi kebutuhan terhadap pangan yang baik dan cukup dari segi jumlah maupun mutu. Petani adalah seseorang yang menggarap lahan baik sawah, ladang, kebun, maupun ternak, atau berusaha dalam jasa pertanian yang hasilnya digunakan sendiri atau dijual untuk memperoleh pendapatan. Rumahtangga adalah kelompok individu atau beberapa rumahtangga yang tinggal bersama dalam satu atap serta menggunakan sumberdaya yang sama dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Ukuran rumahtangga adalah jumlah anggota rumahtangga yang tinggal di dalam satu rumahtangga. Pendidikan adalah lamanya seseorang menempuh sekolah formal yang dihitung dengan satuan waktu. Pengeluaran rumahtangga adalah jumlah yang dibelanjakan untuk kebutuhan pangan dan non pangan rumahtangga. Akses fisik adalah kemampuan/ kemudahan rumahtangga dalam memperoleh pangan yang ada di suatu wilayah yang diukur berdasarkan ketersediaan pangan di warung dan jarak tempat tinggal dengan pasar atau warung penjual kebutuhan pangan. Akses ekonomi adalah kemampuan atau kemudahan penduduk dalam memperoleh pangan, dilihat berdasarkan pengeluaran perkapita. Konsumsi pangan rumahtangga adalah jumlah pangan yang dikonsumsi oleh anggota rumahtangga dalam satu hari dibagi dengan jumlah anggota rumahtangga. Dukungan sosial adalah bentuk interaksi yang menghasilkan kenyamanan, bantuan dan perhatian yang diterima individu dari orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Pengetahuan gizi adalah pemahaman contoh yang berhubungan dengan gizi meliputi manfaat zat gizi, jenis pangan sumber zat gizi, gangguan gizi, serta menu seimbang yang diukur dari skor jawaban terhadap pertanyaan yang diberikan dalam kuesioner. 30 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Propinsi Banten terdiri dari tujuh Kabupaten/Kota yang diantaranya Pandeglang, Lebak, Tangerang, Serang, Kota Tangerang, Cilegon, dan Kota Serang. Dari ketujuh wilayah Kabupaten/Kota tersebut, Lebak merupakan Kabupaten dengan wilayah terluas yaitu 3 044.72 Km2. Kabupaten Lebak beribukota di Rangkasbitung. Kabupaten Lebak terdiri dari 28 Kecamatan dan 320 Desa/Kelurahan. Berdasarkan data Susenas (2007) kepadatan penduduk di Lebak berkisar antara 395 – 397.46 jiwa per Km2. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian di Provinsi Banten menurut Susenas (2007) paling banyak terpusat di wilayah Pandeglang dan Lebak. Bila dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lain di Provinsi Banten, jumlah industri yang ada di Kabupaten Lebak paling rendah yaitu hanya 13 unit, paling tinggi adalah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang yaitu mencapai 185 – 950 unit. Kecamatan Cileles dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan wilayah basis perkebunan. Luas wilayahnya 17 211.90 Ha, jarak ke ibukota Kabupaten mencapai Desa/Kelurahan, Parungkujang, 46.08 diantaranya Cikareo, Km. Kecamatan Mekarjaya, Cileles, Cileles terdiri Pasindangan, Margamulya, Cipadang, dari 12 Kujangsari, Daroyon, Prabugantungan, Gumuruh, dan Banjarsari. Desa Pasindangan dipilih sebagai lokasi penelitian karena mewakili potensi desa tipe 3, dimana desa tipe 3 memiliki potensi aktivitas non pertanian rendah dan kualitas kesejahteraan rendah. Kecamatan Warunggunung merupakan salah satu Kecamatan yang menjadi basis pertanian di Kabupaten Lebak. Luas wilayahnya 5 422.00 Ha, jarak ke Ibokota Kabupaten sebesar 11.67 Km. Kecamatan Warunggunung terdiri dari 12 Desa/Kelurahan, diantaranya Pasir Tangkil, Sukarendah, Selaraja, Warunggunung, Cibuah, Baros, Sindangsari, Banjarsari, Cempaka, Padasuka, Sukaraja, dan Jagabaya. Desa Banjarsari dipilih sebagai lokasi penelitian karena mewakili potensi desa tipe 2, dimana desa tipe 2 memiliki potensi aktivitas ekonomi non pertanian rendah dan kualitas kesejahteraan tinggi. Desa Pasindangan Desa Pasindangan merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Cileles Kabupaten Lebak Provinsi Banten dengan luas wilayah 3 297.2 Ha. Jarak 31 Desa Pasindangan dari ibu kota kecamatan adalah tujuh kilometer. Desa Pasindangan terbagi dalam tujuh kampung yang terdiri dari tujuh Rukun Warga (RW) dan 17 Rukun Tetangga (RT). Batas wilayah Desa Pasindangan diantaranya sebelah utara berbatasan dengan Desa Bendungan, Desa Kumpai, dan Desa Cipadang. Kemudian di sebelah timur desa berbatasan dengan Desa Kujangsari, dan Desa Cikareo, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cinginggang, dan sebelah barat dengan Desa Mekarjaya. Desa Pasindangan termasuk desa yang luas dibandingkan dengan desa-desa di wilayah Kecamatan Cileles lainnya, bahkan menjadi yang terluas diantara desa-desa disekitarnya yang berada dalam satu kecamatan, Desa Cipadang memiliki luas 1 388 Ha, Desa Kujangsari 1 891 Ha, dan Desa Cikareo 2 065 Ha. Luas lahan yang cukup luas di Desa Pasindangan masih belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sendiri, sebagian besar lahan dimanfaatkan sebagai wilayah perkebunan oleh pihak swasta dan pemerintah, sebagian lainnya untuk perkebunan rakyat, pertanian, pemukiman dan lain-lain. Pemanfaatan lahan di Desa Pasindangan ditunjukkan oleh tabel berikut : Tabel 3 Pemanfaatan lahan Desa Pasindangan No Pemanfaatan Lahan Luas (ha) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Pemukiman dan pekarangan Sawah irigasi setengah teknis Sawah tadah hujan Ladang/huma Perkebunan rakyat Perkebunan swasta Lapangan olah raga Kas desa Kantor pemerintahan Tanah fasilitas umum lainnya Hutan lindung Hutan produksi Hutan konversi Total 28.8 20.0 194.0 350.0 388.5 1 414.0 2.0 2.5 0.2 18.0 190.0 595.0 94.2 3 297.2 % Luas terhadap Luas Wilayah 0.87 0.61 5.88 10.62 11.78 42.88 0.06 0.08 0.01 0.55 5.76 18.05 2.86 100.00 Pemanfaatan lahan Pasindangan sebagian besar digunakan untuk perkebunan, yaitu sebesar 42.88 persen (1 414 Ha) untuk perkebunan swasta dan 11.78 persen (388.5 Ha) sebagai perkebunan rakyat. Jika dilihat dari pemanfaatan lahannya, Desa Pasindangan merupakan kawasan perkebunan. Jumlah penduduk Desa Pasindangan pada tahun 2006 tercatat sebanyak 3 589 jiwa yang terdiri dari 835 kepala keluarga (KK). Jumlah penduduk menurut 32 jenis kelamin yaitu, 1817 jiwa penduduk laki-laki dan 1772 jiwa penduduk perempuan. Berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia, pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan tinggi rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Tingkat pendidikan penduduk Desa Pasindangan adalah sebagai berikut. Tabel 4 Tingkat pendidikan penduduk Desa Pasindangan No 1 2 3 4 5 6 7 8 Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Tidak tamat SD/sederajat Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat Tamat D1 Tamat D2 Tamat D3 Tamat Perguruan Tinggi (S1) Total % 245 655 305 147 12 9 5 5 1 383 17.7 47.4 22.0 10.6 0.9 0.6 0.4 0.4 100.0 Secara umum, tingkat pendidikan penduduk di Desa Pasindangan masih tergolong rendah yang ditunjukkan oleh banyaknya penduduk yang hanya menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat Sekolah Dasar (SD) sebesar 47.4 persen. Sedangkan penduduk yang mampu menyelesaikan pendidikan sampai perguruan tinggi hanya sebagian kecil, yaitu hanya sebesar 0.4 persen saja. Kondisi ini akan memberikan dampak pada kemampuan ekonomi penduduk dan besarnya peluang memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Tabel 5 menunjukkan jenis pekerjaan penduduk Desa Pasindangan. Tabel 5 Jenis pekerjaan penduduk Desa Pasindangan No 1 2 3 4 5 6 7 Jenis Pekerjaan Petani Buruh tani Buruh/swasta PNS Pengrajin Pedagang Bengkel/montir Total Jumlah (orang) % 416 56 77 27 25 255 12 868 47.9 6.4 8.9 3.1 2.9 29.4 1.4 100.0 Sebagian besar jenis pekerjaan penduduk Desa Pasindangan sebagai Petani, yang terdiri dari petani (47.9%) dan buruh tani (6.4%). Pekerjaan yang terbanyak ditekuni oleh penduduk Desa Pasindangan setelah petani adalah pedagang, yaitu 29.4 persen. 33 Tersedianya fasilitas pendidikan dan kesehatan sangat menunjang dalam terciptanya kesejahteraan dalam masyarakat. Prasarana pendidikan yang ada pada Desa Pasindangan dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 6 Prasarana pendidikan Desa Pasindangan No 1 2 3 4 5 Lembaga Pendidikan TK SD SMP SMA Lembaga Pendidikan Agama Total Jumlah 1 5 1 1 3 11 Jumlah tenaga pengajar untuk TK di desa ini hanya dua orang, di SD terdapat 27 orang, SMP memiliki sembilan tenaga pengajar, dan di SMA terdapat tiga orang pengajar serta enam orang pengajar pada lembaga pendidikan agama yang ada di Desa Pasindangan, sedangkan untuk prasarana kesehatan di Desa Pasindangan adalah sebagai berikut : Tabel 7 Prasarana kesehatan Desa Pasindangan No 1 2 3 4 Lembaga Pendidikan Puskesmas Pembantu Poliklinik/balai pengobatan Posyandu Tempat penyimpanan obat Total Jumlah 1 1 3 1 6 Prasarana kesehatan yang ada di Desa Pasindangan ini ditunjang oleh satu tenaga paramedis dan lima orang dukun terlatih. Desa Banjarsari Desa Banjarsari merupakan salah satu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Warunggunung Kabupaten Lebak Provinsi Banten yang berbatasan dengan Desa Sukaraja di sebelah utara, Desa Cibuah di sebelah selatan, Desa Sindangsari di sebelah barat, dan Desa Padasuka di sebelah timur. Desa Banjarsari terletak di tengah wilayah Kecamatan Warunggunung dan mempunyai luas wilayah 519.69 Ha. Bila dibandingkan dengan desa lain di wilayah Kecamatan Warunggunung, Desa Banjarsari memiliki luas wilayah yang cukup luas, akan tetapi dengan desa sebelahnya seperti Cibuah, Sindangsari, Sukaraja ,dan Padasuka, Desa Banjarsari berada di urutan ketiga setelah Sukaraja (864 Ha) dan Padasuka (607 Ha). Dengan luas wilayah tersebut antara lain dimanfaatkan untuk pertanian, pemukiman, kas desa, sarana dan prasarana, dan 34 lain sebagainya. Adapun pemanfaatan lahan di Desa Banjarsari secara rinci ditunjukkan pada tabel berikut : Tabel 8 Pemanfaatan lahan Desa Banjarsari No 1 2 3 4 5 6 7 Pemanfaatan Lahan Pemukiman Sawah : Sawah irigasi setengah teknis Sawah tadah hujan Tanah rawa Perkebunan rakyat Perkebunan swasta Lapangan olah raga Kas desa Total Luas (ha) 71.0 164.0 97.0 0.5 185.0 0 0 2.19 519.69 Persentase (%) 13.7 31.6 18.7 0.1 35.6 0 0 0.4 100.0 Pemanfaatan lahan di Desa Banjarsari sebagian besar digunakan untuk pertanian. Jika dilihat dari pemanfaatan lahan, Desa Banjarsari merupakan kawasan pertanian. Hal ini ditunjukkan oleh pemanfaatan lahan untuk pertanian maupun perkebunan yang cukup besar dibandingkan dengan pemanfaatan lahan lainnya, yaitu 164 Ha untuk sawah irigasi setengah teknis, 97 Ha untuk sawah tadah hujan, dan 185 Ha untuk perkebunan rakyat. Wilayah Desa Banjarsari terbagi menjadi 6 RW dan 26 RT. Tahun 2008, jumlah penduduk sebanyak 4 702 jiwa yang terdiri dari 1 095 kepala keluarga (KK). Jumlah penduduk menurut jenis kelamin yaitu 2 407 jiwa penduduk laki-laki dan 2 295 jiwa penduduk perempuan. Kualitas Sumberdaya manusia di Desa Banjarsari dapat diketahui dengan melihat tingkat pendidikan penduduk di desa ini. Tingkat pendidikan penduduk Desa Banjarsari ditunjukkan pada Tabel 9. Secara umum, tingkat pendidikan penduduk di Desa Banjarsari tergolong rendah yang ditunjukkan oleh banyaknya penduduk yang hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar (SD) sedangkan penduduk yang mampu menyelesaikan pendidikan sampai tingkat yang lebih tinggi hanya sebagian kecil bahkan yang mampu menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi sangat sedikit. Keadaan ini memberikan dampak pada kemampuan ekonomi penduduk dan besarnya peluang penduduk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Hal ini dibuktikan oleh jenis pekerjaan penduduk di Desa Banjarsari. Tabel berikut ini menunjukkan jenis pekerjaan penduduk Desa Banjarsari. 35 Tabel 9 Tingkat pendidikan penduduk Desa Banjarsari No Tingkat Pendidikan 1 2 3 4 5 6 7 8 Tidak tamat SD/sederajat Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat Tamat D1 Tamat D2 Tamat D3 Tamat Perguruan Tinggi (S1) Jumlah (orang) 0 1 704 401 261 3 3 17 9 Persentase (%) 0 71.1 16.7 10.9 0.1 0.1 0.7 0.4 Jenis pekerjaan penduduk Desa Banjarsari tidak beragam. Pada Tabel 10 ditunjukkan beberapa jenis pekerjaan penduduk di Desa Banjarsari. Tabel 10 Jenis pekerjaan penduduk Desa Banjarsari No Jenis Pekerjaan 1 2 3 4 5 6 7 Petani Buruh tani Buruh/swasta PNS Pengrajin Pedagang Bengkel/montir Total Jumlah (orang) 1 638 472 403 19 5 125 3 2 665 Persentase (%) 61.5 17.7 15.1 0.7 0.2 4.7 0.1 100 Dari 4 702 jiwa penduduk, hanya 2 665 jiwa penduduk yang memiliki pekerjaan tetap, sisanya 2 037 jiwa penduduk tidak teridentifikasi jenis pekerjaannya. Keberagaman jenis pekerjaan di Desa Banjarsari tidak beragam. Jenis pekerjaan penduduk Desa Banjarsari sebagian besar sebagai petani (61.5%) dan buruh tani (17.7%), sisanya terbanyak memiliki jenis pekerjaan sebagai buruh/swasta (15.1%) dan pedagang (4.7%). Berdasarkan data tahun 2008, potensi ekonomi yang paling menonjol dan sudah dikembang di Desa Banjasari adalah bidang industri pengolahan, perikanan, dan pertanian. Berdasarkan data potensi desa 2008, jumlah prasarana kesehatan yang tersedia di Desa Banjarsari adalah 9 unit posyandu, 1 unit Poskesdes yang dikelola oleh 1 bidan. Selain itu tersedia 10 tenaga kesehatan tradisional yang terdiri dari 6 orang paraji, 2 orang pengobatan tradisional, dan 2 orang paraji terlatih. Jika dibandingkan dengan desa sekitarnya, sembilan unit Posyandu yang tersedia di Desa Banjarsari belum mampu memberikan pelayanan secara efektif, terlihat dari masih ada sekitar 4 balita di desa ini yang mengalami gizi 36 kurang dan gizi buruk, bahkan masih ada sejumlah balita gizi kurang lainnya yang tidak teridentifikasi oleh posyandu. Desa Banjarsari memiliki keterbatasan dalam pelayanan kesehatan, karena di desa sekitar terdapat paling tidak satu Dokter dan lebih dari satu Bidan yang memberikan pelayanan di Desa tersebut. Keterbatasan jumlah petugas maupun sarana kesehatan di desa ini menyebabkan masyarakat desa harus keluar desa untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih menunjang baik ke Puskesmas maupun praktek Dokter. Akan tetapi bagi mereka yang tidak memiliki cukup uang untuk menjangkau pelayanan tersebut maka mereka memilih meminta pelayanan kesehatan dari tenaga kesehatan tradisional yang ada di desanya. Untuk sarana dan prasarana pendidikan di wilayah Desa Banjarsari terdapat 3 unit SD negeri dan 3 unit TPA. Keterbatasan sarana pendidikan ini menyebabkan banyak penduduk yang tidak dapat melanjutkan sekolah anaknya ke tingkat yang lebih tinggi, karena untuk melanjutkan sekolah mereka harus keluar desa dan jarak tempuh yang cukup jauh sehingga membutuhkan biaya yang lebih besar apabila dibandingkan jika di desa tersebut tersedia sekolah lanjutan. Karakteristik Sosial Ekonomi Rumahtangga Umur Klasifikasi umur kepala rumahtangga (KRT) dibagi menjadi tiga kelompok umur berdasarkan Hurlock (1980), yaitu dewasa awal (18 – 39 tahun), dewasa madya (40 – 59 tahun), dan lansia (≥ 60 tahun). Klasifikasi umur kepala rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Klasifikasi umur KRT Kelompok Umur 18 – 39 tahun 40 - 59 tahun ≥ 60 Jumlah Min-max Rataan Pasindangan n % 8 16.0 37 74.0 5 10.0 50 100.0 26-80 46 ± 13.503 Banjarsari n % 19 37.3 21 41.2 11 21.6 51 100.0 25-885 46.88 ± 10.056 Total n % 27 26.7 58 57.4 16 15.8 101 100.0 26-85 46.44 ± 11.87 Dari kedua desa terlihat bahwa sebaran umur kepala rumahtangga berkisar antara 26 sampai 85 tahun, dan rataan 46.44 ± 11.87. Sebaran umur KRT terbesar (57.4%) berada pada kelompok umur dewasa madya (40-59 tahun), selanjutnya sebanyak 26.7 persen merupakan KRT dengan kelompok umur dewasa awal, dan terakhir 15.8 persen KRT tergolong kelompok umur 37 lansia (≥ 60 tahun). Apabila dilihat berdasarkan sebaran umur perdesa maka dapat terlihat sebaran umur kepala rumahtangga di Desa Pasindangan berkisar antara 26 tahun hingga 80 tahun, dan rataan 46 ± 13.503, 74 persen KRT berada pada kelompok umur dewasa madya (40 – 59 tahun), 16 persen KRT lainnya berada pada kelompok umur dewasa awal (18 – 39 tahun), dan sisanya 10 persen KRT termasuk kelompok umur lansia (≥ 60 tahun), sehingga di Desa Pasindangan sebaran umur kepala keluarga terbesar adalah pada sebaran umur dewasa madya. Berbeda dengan Desa Pasindangan, sebaran umur kepala rumahtangga di Desa Banjarsari berkisar antara 25-85 tahun, dan rataan 46.88 ± 10.056. Kondisi yang sama terjadi pada Desa Banjarsari dimana sebaran umur terbanyak berada pada kelompok umur dewasa madya (40 – 59 tahun) sebanyak 41.2 persen, selanjutnya KRT pada kelompok umur dewasa awal (18 – 39 tahun) sebanyak 26.7 persen, terakhir sebanyak 15.8 persen KRT berada pada kelompok umur lansia (≥ 60 tahun). Tabel 12 Sebaran rumahtangga berdasarkan ketahanan pangan dan umur KRT Kelompok Umur 18 - 39 tahun 40 - 59 tahun ≥ 60 tahun Jumlah Rawan Pangan Berat n % 9 34.6 14 53.8 3 11.5 26 100.0 Tingkat Ketahanan Pangan Rawan Rawan Pangan Pangan Sedang Ringan n % n % 2 40.0 0 0 3 60.0 4 57.1 0 0 3 42.9 5 100.0 7 100.0 Tahan Pangan n 16 3 10 63 % 25.4 58.7 15.9 100.0 Total n 27 58 16 101 % 26.7 57.4 15.8 100.0 Sebaran ketahanan pangan rumahtangga berdasarkan umur KRT dapat dilihat pada Tabel 12. Sebaran rumahtangga tahan pangan berdasarkan kelompok umur KRT menunjukkan bahwa umur KRT pada rumahtangga tahan pangan sebagian besar (58.7%) termasuk kelompok umur dewasa madya (40-59 tahun), sisanya masing-masing sebanyak 25.4 persen dan 15.9 persen termasuk kelompok umur dewasa awal dan lansia. Pada rumahtangga rawan pangan ringan, sebagian besar (57.1%) KRT termasuk kelompok umur dewasa madya, sisanya sebanyak 42.9 persen termasuk ke dalam kelompok umur lansia (≥ 60 tahun). Pada rumahtangga rawan pangan sedang, sebagian besar (60%) KRT termasuk ke dalam kelompok umur dewasa madya, sisanya (40%) termasuk kelompok umur dewasa muda. Pada rumahtangga rawan pangan berat, sebanyak 53.8 persen rumahtangga tersebut memiliki KRT yang termasuk 38 ke dalam kelompok umur dewasa madya, sisanya (34.6% dan 11.5%) termasuk kelompok umur dewasa muda dan lansia. Klasifikasi umur ibu rumahtangga (IRT) dibagi menjadi tiga kelompok umur, yaitu dewasa awal (18 – 39 tahun), dewasa madya (40 – 59 tahun), dan lansia (≥ 60 tahun). Klasifikasi umur IRT dapat dilihat pada tabel 13. Tabel 13 Klasifikasi umur IRT Kelompok umur 18–39 tahun 40-59 tahun ≥ 60 Jumlah Min-max Rataan Pasindangan n % 23 46.0 23 46.0 4 8.0 50 100.0 25-65 41.62 ± 8.739 Banjarsari n % 24 47.1 25 49.0 2 3.9 51 100.0 20-75 39.96 ± 12.260 Total n % 46.5 47.5 5.9 100.0 47 48 6 101 20-75 40.78 ± 10.643 Dilihat berdasarkan tabel klasifikasi umur IRT di atas, terlihat bahwa kisaran umur ibu di kedua desa antara 20-75 tahun, dan rataan 40.78 ± 10.643, rata-rata umur ibu lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata umur kepala rumahtangga. Distribusi umur ibu terbanyak (47.5%) berada pada kelompok umur dewasa madya (40 – 59 tahun), sebaran berikutnya (46.5%) berada pada kelompok umur dewasa awal (18 – 39 tahun), dan terakhir (5.9%) berada pada kelompok umur lansia (≥ 60 tahun). Apabila dilihat berdasarkan sebaran umur ibu di tiap desa maka untuk Desa Pasindangan sebaran umur ibu berkisar antara 25 hingga 65 tahun dengan rataan 41.62 ± 8.739. Sebaran umur ibu di Desa Pasindangan berkisar pada kelompok umur dewasa awal (18 – 39 tahun) dan dewasa madya (40 – 59 tahun) dengan proporsi persentase yang sama (46%) dan sisanya berada pada kelompok umur lansia (≥ 60 tahun). Sebaran umur ibu di Desa Banjarsari berkisar antara 20 sampai 75 tahun dan rataan 39.96 ± 12.260. Sebaran terbanyak (49%) berada pada kelompok umur dewasa madya (40 – 59 tahun), sedangkan sebanyak 47.1 persen ibu berada pada kelompok umur dewasa awal (18 – 39 tahun) dan sebanyak 3.9 persen ibu berada pada kelompok umur lansia (≥ 60 tahun). Pendidikan Klasifikasi pendidikan didasarkan pada lama sekolah yang dilakukan oleh contoh tetapi tidak terhitung tinggal kelas, sehingga dibedakan menjadi 5 kelompok yaitu TS (tidak sekolah), SD (6 tahun), SMP (9 tahun), SMA (12 tahun), dan PT/perguruan tinggi (16 tahun). Klasifikasi pendidikan anggota rumahtangga (ART) disajikan pada Tabel 14. 39 Berdasarkan Tabel 14, lama sekolah anggota rumah tangga berkisar antara 0-16 tahun, dengan rataan 4.44 ± 3.461. Sebaran pendidikan terbesar (55.4%) di kedua desa adalah SD, TS (23.5%), SMP (15.7%), SMA (5.0%), dan sebagian kecil (0.4%) adalah PT. Tabel 14 Klasifikasi pendidikan ART Pendidikan TS SD SMP SMA PT Jumlah Min-max Rataan Pasindangan n % 58 23.0 139 55.2 36 14.3 18 7.1 1 0.4 252 100 0-13 4.53 ± 3.526 Banjarsari n % 65 24 151 55.7 46 17.0 8 3.0 1 0.4 271 100 0-16 4.37± 3.404 Total n % 123 23.5 290 55.4 82 15.7 26 5.0 2 0.4 523 100 0-16 4.44 ± 3.461 Apabila dilihat berdasarkan tiap desa maka sebaran pendidikan anggota rumahtangga di Desa Pasindangan berkisar antara 0 hingga 13 tahun dan rataan 4.53 ± 3.526, terdiri dari contoh terbanyak (55.2%) tersebar pada SD, kemudian TS (23%), SMP (14.3%), SMA (7.1%), dan terakhir PT (0.14%), sedangkan di desa Banjarsari sebaran pendidikan anggota rumah tangga berkisar antara 0 (TS) hingga 16 tahun (PT) dan rataan 4.37± 3.404. sebaran terbanyak (55.7%) adalah SD, TS (24%), SMP (17%), SMA (3%), dan terakhir PT (0.4%). Tingkat pendidikan anggota rumahtangga di kedua desa sudah cukup baik, terdapat 2 contoh yang telah mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Hal ini dapat dikatakan baik melihat kondisi wilayah kedua desa yang cukup terbatas sarana pendidikannya, khususnya Desa Pasindangan yang letaknya jauh dari pusat kota kabupaten. Akan tetapi masih banyak pula anggota rumahtangga yang tidak sekolah, diduga contoh yang tidak sekolah adalah contoh dalam kelompok umur dewasa madya dan lansia. Tabel 15 Klasifikasi pendidikan KRT Pendidikan TS SD SMP SMA PT Jumlah Min-max Rataan Pasindangan n % 7 14.0 37 74.0 2 4.0 4 8.0 0 0 50 100 0-12 4.68 ± 3.113 Banjarsari n % 4 7.8 37 72.5 7 13.7 3 5.9 0 0 51 100 0-12 5.41 ± 2.872 Total n % 11 10.9 74 73.3 9 8.9 7 6.9 0 0 101 100.0 0-12 5.05 ± 3.001 40 Berdasarkan Tabel 15 lama sekolah kepala rumahtangga berkisar antara 0-12 tahun atau TS hingga ada yang SMA, dengan rataan 5.05 ± 3.001. Sebaran pendidikan terbesar (73.3%) di kedua desa adalah SD, TS (10.9%), SMP (8.9%), SMA (6.9%), dan tidak ada yang lulus PT (0%). Tingkat pendidikan kepala rumahtangga masih rendah karena hampir setengah dari jumlah contoh hanya bersekolah hingga bangku SD. Bila dilihat lebih rinci berdasarkan tiap desa maka sebaran pendidikan kepala rumahtangga di Desa Pasindangan berkisar antara 0 hingga 12 tahun dan rataan 4.68 ± 3.113, terdiri dari contoh terbanyak (74%) tersebar pada SD, kemudian TS (14%), SMP (4%), SMA (8%), dan terakhir PT (0%). Di Desa Banjarsari sebaran pendidikan kepala rumahtangga berkisar antara 0 (TS) hingga 12 tahun (SMA) dan rataan 5.41 ± 2.872. Sebaran terbanyak (72.5%) adalah SD, TS (7.8%), SMP (13.7%), SMA (5.9%), dan terakhir PT (0%). Berdasarkan analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (r= -0.040, p>0.05) antara pendidikan KRT dengan ketahanan pangan rumahtangga. Tabel 16 Klasifikasi pendidikan IRT Pendidikan TS SD SMP SMA PT Jumlah Min-max Rataan Pasindangan n % 14 28.0 33 66.0 1 2.0 2 4.0 0 0 50 100 0-12 3.62 ± 2.989 Banjarsari n % 6 11.8 37 72.5 6 11.8 1 2.0 1 2.0 51 100 0-16 5.06 ± 3.107 Total n % 20 19.8 70 69.3 7 6.9 3 3 1 1 101 100 0-16 4.35 ± 3.119 Berdasarkan Tabel 16 lama sekolah ibu rumahtangga berkisar antara 016 tahun atau TS hingga PT, dengan rataan 4.35 ± 3.119. Rata-rata lama sekolah ibu lebih tinggi dari lama sekolah ayah yaitu 16 tahun. Sebaran pendidikan terbesar (69.3%) di kedua desa adalah SD, TS (19.8%), SMP (6.9%), SMA (3%), dan PT (1%). Tingkat pendidikan ibu masih dikatakan rendah, karena sebagian besar contoh hanya sekolah sampai tingkat SD sama seperti kepala rumahtangga. Bila dilihat lebih rinci berdasarkan tiap desa maka sebaran pendidikan ibu rumahtangga di Desa Pasindangan berkisar antara 0 hingga 12 tahun dan rataan 3.62 ± 2.989, terdiri dari contoh terbanyak (66.0%) tersebar pada SD, kemudian 41 TS (28.0%), SMP (2.0%), SMA (4.0%), dan terakhir PT (0%). Sedangkan di Desa Banjarsari sebaran pendidikan kepala rumahtangga berkisar antara 0 (TS) hingga 16 tahun (SMA) dan rataan 5.06 ± 3.107. Sebaran terbanyak (72.5%) adalah SD, TS (11.8%), SMP (11.8%), SMA (2.0%), dan terakhir PT (2.0%). Berdasarkan analisis korelasi Spearman tidak terdapat hubungan yang signifikan (r= 0.027, p>0.05) antara pendidikan IRT dengan ketahanan pangan rumahtangga. Pekerjaan Klasifikasi pekerjaan kepala rumahtangga di Desa Pasindangan dan Desa Banjarsari disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Klasifikasi pekerjaan KRT Jenis Pekerjaan Pekerjaan utama Petani Pekerjaan tambahan Tidak ada Pedagang Buruh Wiraswasta Guru Security Tukang urut Pensiunan Penghulu Supir Jumlah Pasindangan n % 50 19 21 7 0 0 1 1 1 0 0 50 Banjarsari n % 100 38 42 14 0 0 2 2 2 0 0 100 Total n % 51 100 101 100 21 6 20 1 1 0 0 0 1 1 51 41.2 11.8 39.2 2 2 0 0 0 2 2 100 40 27 27 1 1 1 1 1 1 1 101 39.6 26.7 26.7 1 1 1 1 1 1 1 100 Dari Tabel 17 dapat dilihat bahwa pekerjaan utama kepala rumahtangga di kedua desa adalah petani. Untuk pekerjaan tambahan, di Desa Pasindangan pekerjaan tambahan kepala rumahtangga yang paling besar sebarannya adalah sebagai pedagang (42%) kemudian sebagai buruh (14 %), dan sisanya masingmasing (2%) sebagai security, tukang urut, dan pensiunan. Di Desa Banjarsari, pekerjaan tambahan yang paling banyak dilakukan oleh contoh adalah sebagai buruh (39.2%), kemudian pedagang (11.8%), sisanya masing-masing sebanyak 2% bekerja sebagai wiraswasta, guru, penghulu, dan supir. Namun masih cukup banyak contoh dari keseluruhan contoh yang tidak memiliki pekerjaan tambahan dan hanya tergantung pada pekerjaan utama sebagai petani. 42 Komposisi Anggota Rumahtangga Komposisi anggota rumahtangga (ART) dikelompokkan dalam 7 kelompok berdasarkan Hurlock (1980) yaitu lansia (≥ 60 tahun), dewasa madya (40-59 tahun), dewasa awal (20-39 tahun), remaja (12-19 tahun), anak usia sekolah/AUS (6-11 tahun), balita (25-60 bulan), dan bayi (0-24 bulan). Klasifikasi komposisi rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 18. Komposisi rumahtangga dilihat dari kedua desa, proporsi rumahtangga terbesar (26.2%) berada pada kelompok dewasa awal, 20.3 persen proporsi pada kelompok dewasa madya, 18 persen proporsi pada kelompok remaja, 16.3 persen proporsi pada kelompok AUS, 8.6 persen proporsi pada balita, 5.9 persen proporsi pada kelompok lansia, dan proporsi sisanya (4.8%) pada kelompok bayi. Tabel 18 Klasifikasi komposisi ART Komposisi Rumahtangga Lansia Dewasa madya Dewasa awal Remaja AUS Balita Bayi Jumlah Pasindangan n % 13 5.2 58 23.0 62 24.6 52 20.6 43 17.1 16 6.3 8 3.2 252 100 Banjarsari n % 18 18 48 48 75 17.7 42 27.7 42 15.5 29 10.7 17 6.3 271 100 Total n 31 106 137 94 85 45 25 523 % 5.9 20.3 26.2 18.0 16.3 8.6 4.8 100 Jika dilihat berdasarkan masing-masing desa, Desa Pasindangan proporsi anggota rumahtangga terbesar (24.6%) pada kelompok dewasa awal, kemudian proporsi anggota rumahtangga lainnya berturut-turut dewasa madya, remaja, AUS, balita, lansia, dan bayi (23%, 20.6%, 17.1%, 6.3%, 5.2%, dan 3.2%). Pada Desa Banjarsari proporsi anggota rumahtangga terbesar (48%) pada kelompok dewasa madya, kemudian selanjutnya berturut-turut proporsi anggota rumahtangga lainnya pada kelompok remaja, lansia, dewasa awal, AUS, balita, dan bayi (27.7%, 18%, 17.7%, 15.5%, 10.7%, 6.3%). Kontrol Keuangan Menurut Sajogyo (1983) tingkat keputusan dihubungkan dengan pengeluaran dalam kebutuhan pokok yang terdiri dari: (1) makanan (biaya hidup, jenis atau menu makanan, distribusi), (2) perumahan (pembelian dan perbaikan), pakaian, pendidikan, kesehatan, dan perabot rumahtangga. Sedangkan untuk jenis keputusan rumahtangga, dikelompokkan dalam lima tingkatan yaitu: (1) keputusan dibuat oleh istri seorang diri tanpa melibatkan suami, (2) keputusan 43 dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh yang lebih besar dari istri, (3) keputusan dibuat bersama dan senilai oleh suami-istri (dengan tidak ada tanda-tanda bahwa salah satu mempunyai pengaruh yang relatif lebih besar), (4) keputusan dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh yang lebih besar dari suami, (5) keputusan dibuat oleh suami seorang diri tanpa melibatkan istri. Tabel 19 Sebaran rumahtangga menurut kontrol keuangan di Desa Pasindangan Jenis Keputusan Makanan Pendidikan Kesehatan Perumahan Pakaian Peralatan RT Rekreasi Tabungan Keseluruhan Suami Sendiri (%) 2 8 12 16 10 12 16 18 16 Suami Dominan (%) 4 10 8 10 6 4 8 6 6 Istri Sendiri (%) 60 36 38 34 38 54 36 40 36 Istri Dominan (%) 28 22 20 28 34 22 22 18 20 Bersama Setara (%) 6 24 22 12 12 8 18 18 22 Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 Sebaran kontrol keuangan di desa Pasindangan dapat dilihat pada Tabel 19. Secara keseluruhan pengeluaran kontrol keuangan di putuskan istri sendiri (36%). Untuk makanan, keputusan terhadap makanan dan peralatan RT lebih besar di pegang oleh istri sendiri yaitu masing-masing sebesar 60 persen dan 54 persen, untuk keputusan pendidikan, kesehatan, perumahan, pakaian, rekreasi dan tabungan juga lebih banyak dipegang oleh istri sendiri. Tabel 20 Sebaran rumahtangga menurut kontrol keuangan di desa banjarsari Jenis keputusan Makanan Pendidikan Kesehatan Perumahan Pakaian Peralatan RT Rekreasi Tabungan Keseluruhan Suami sendiri (%) 0 0 0 2 0 0 0 0 0 Suami Dominan (%) 2 7.8 9.8 13.7 5.9 2 9.8 7.8 9.8 Istri Sendiri (%) 52.9 17.6 19.6 17.6 27.5 25.5 17.6 17.6 17.6 Istri Dominan (%) 43.1 39.2 58.8 49 58.8 66.7 60.8 60.8 60.8 Bersama Setara (%) 2 35.3 11.8 17.6 7.8 5.9 11.8 13.7 11.8 Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 Di desa banjarsari, keputusan terhadap kontrol keuangan rumahtangga secara keseluruhan lebih dominan istri (60.8%). Keputusan terhadap makanan lebih dari setengah (52.9%) contoh dipegang oleh istri sendiri. Untuk jenis 44 keputusan lainnya seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, pakaian, peralatan RT, rekreasi, dan tabungan dominan ditentukan oleh istri. Ukuran rumahtangga Ukuran rumahtangga dikelompokkan ke dalam tiga kelompok (BKKBN 1998), yaitu rumahtangga kecil bila jumlah anggota rumahtangga ≤ 4 orang, rumahtangga sedang bila jumlah anggota rumahtangga antara 5-6 orang, dan rumahtangga besar bila anggotanya ≥ 7 orang. Klasifikasi ukuran rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Klasifikasi ukuran rumahtangga Ukuran Rumahtangga Kecil : ≤ 4 orang Sedang : 5 – 6 orang Besar : ≥ 7 orang Jumlah Pasindangan n % 26 52.0 16 32.0 8 16.0 50 100.0 Banjarsari n % 24 47.1 14 27.5 13 25.5 51 100.0 Total n 50 30 21 101 % 49.5 29.7 20.8 100.0 Berdasarkan pengelompokkan tersebut dari kedua desa hampir setengah (49.5%) contoh merupakan rumahtangga kecil, 29.7 persen contoh merupakan rumahtangga sedang, dan sisanya (20.8%) merupakan rumahtangga besar. Bila dibedakan berdasarkan masing-masing desa, maka sebaran jumlah anggota rumahtangga di Desa Pasindangan sebagian (52%) contoh merupakan rumahtangga kecil, 32 persen contoh merupakan rumahtangga sedang, dan sisanya 16 persen contoh merupakan rumahtangga besar. Sedangkan sebaran ukuran rumahtangga di Desa Banjarsari 47.1 persen merupakan rumahtangga kecil, 27.5 persen contoh merupakan rumahtangga sedang, dan 25.5 persen contoh merupakan rumahtangga besar. Tabel 22 Sebaran rumahtangga berdasarkan ketahanan pangan dan ukuran rumahtangga Ukuran Rumahtangga Kecil : ≤ 4 Sedang : 5 – 6 Besar : ≥ 7 Jumlah Rawan Pangan Berat n % 7 26.9 10 38.5 9 34.6 26 100.0 Tingkat Ketahanan Pangan Rawan Rawan Pangan Pangan Sedang Ringan n % n % 1 20.0 4 57.1 4 80.0 3 42.9 0 0 0 0 5 100.0 7 100.0 Karakteristik lain untuk mengidentifikasi Tahan Pangan n 38 13 12 63 % 60.3 20.6 19.0 100.0 Total n 50 30 21 101 % 49.5 29.7 20.8 100.0 rumahtangga yang tahan pangan dapat dilihat berdasarkan ukuran rumahtangga. Berdasarkan Tabel 22 maka dapat dilihat bahwa, rumahtangga tahan pangan adalah rumahtangga kecil 45 (60.3%) yang terdiri dari 4 orang anggota rumahtangga, sedangkan rumahtangga rawan pangan ringan sebanyak 57.1 persen merupakan rumahtangga kecil dan sisanya 42.9 persen adalah rumahtangga sedang. Pada rumahtangga rawan pangan sedang adalah rumahtangga kecil dan sedang yaitu masing-masing sebesar 20 persen dan 80 persen. Pada rumahtangga rawan pangan berat, sebanyak 38.5 persen adalah rumahtangga sedang yang terdiri dari antara 5-6 orang anggota rumahtangga. Berdasarkan analisis korelasi Spearman terdapat hubungan negatif (r= 0.261, p<0.01) antara ukuran rumahtangga dengan ketahanan pangan rumahtangga. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin besar ukuran rumahtangga maka semakin kecil peluang tercapainya ketahanan pangan rumahtangga. Hal ini seiring dengan pernyataan Hartog, Staveren, dan Brouwer (1995) yang menyatakan bahwa besar keluarga akan mempengaruhi kebiasaan makan dan gizi, khususnya pada rumah tangga miskin yang bergantung pada pendapatan tunai untuk membeli bahan pangan. Martianto dan Ariani (2004) juga menyatakan bahwa pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga tersebut tetapi hanya mencukupi sebagian dari anggota keluarga itu. Kepemilikan Luas Lahan Rumahtangga contoh diklasifikasikan menjadi empat golongan berdasarkan kepemilikan lahan, yaitu yang tidak memiliki lahan, memiliki lahan dibawah 5 000 m2, memiliki lahan 5 000-10 000 m2, dan memiliki lahan lebih dari 10 000 m2. Tabel 23 Klasifikasi Kepemilikan Luas Lahan Luas Lahan yg Dimiliki 0 < 5 000 5 000-10 000 >10 000 Jumlah Min-max Rataan Pasindangan n % 12 24.0 14 28.0 17 34.0 7 14.0 50 100 0-20 000 4592 ± 4755.956 Banjarsari n % 25 49.0 19 37.3 4 7.8 3 5.9 51 100.0 0-20 000 2372.94 ± 4724.47 Total n % 37 36.6 33 32.7 21 20.8 10 9.9 101 100.0 0-20 000 3471.49 ± 4846.331 Berdasarkan pengolongan tersebut dapat dilihat sebaran rumahtangga dari kedua desa memiliki lahan seluas 0 – 20 000 m2 dengan rataan 3 471.49 ± 4846.331. Sebanyak 36.6 persen contoh tidak memiliki lahan, 32.7 persen contoh memiliki luas lahan kurang dari 5000 m2, 20.8 persen contoh memiliki 46 luas lahan 5 000-10 000 m2, dan sisanya hanya 9.9 persen contoh yang memiliki luas lahan lebih dari 10 000 m2. Apabila dilihat dari sebaran masing-masing desa, di Desa Pasindangan rataan kepemilikan lahan sebesar 4 592 ± 4 755.956, dari 50 contoh hanya 14 persen contoh yang memiliki luas lahan lebih dari 10000 m2, umumnya contoh memiliki luas lahan 5 000-10 000 m2 (34%), kurang dari 5 000 m2 (28%), dan sisanya (24%) contoh tidak memiliki lahan. Di Desa Banjarsari rataan luas lahan yang dimiliki sebesar 2 372.94 ± 4 724.47, hampir setengah contoh (49%) tidak memiliki lahan, 37.3 persen contoh memiliki luas lahan kurang dari 5 000 m2, 7.8 persen contoh memiliki luas lahan sebesar 5 000-10 000 m2, dan hanya 5.9 persen contoh yang memiliki luas lahan lebih dari 10 000 m2. Berdasarkan luas lahan yang dimiliki dari seluruh contoh, maka dapat dilihat bahwa rumahtangga rawan pangan berat adalah rumah tangga yang tidak memiliki lahan (61.5%) sedangkan rumahtangga yang rawan pangan sedang adalah rumahtangga yang memiliki luas lahan kurang dari 5 000 m2 dan tidak memiliki lahan (40% dan 40%). Pada rumahtangga rawan pangan ringan hampir setengahnya (42.9%) adalah rumahtangga yang memiliki lahan kurang dari 5 000 m2. Untuk rumahtangga tahan pangan persentase terbesar contoh adalah yang memiliki luas lahan kurang dari 5000 m2 (36.5%), berikutnya 23.8 persen adalah rumahtangga yang memiliki luas lahan 5 000-10 000 m2, dan 12.7 persen contoh yang memiliki luas lahan lebih dari 10 000 m2. Akan tetapi cukup banyak pula rumahtangga tahan pangan yang tidak memiliki lahan (27.0%). Tabel 24 Sebaran rumahtangga berdasarkan kepemilikan luas lahan dan ketahanan pangan Luas Lahan yang Dimiliki 0 < 5000 5000-10000 >10000 Jumlah Rawan Pangan Berat n % 16 61.5 5 19.2 4 15.4 1 3.8 26 100.0 Tingkat Ketahanan Pangan Rawan Rawan Pangan Pangan Sedang Ringan n % n % 2 40.0 2 28.6 2 40.0 3 42.9 1 20.0 1 14.3 0 0 1 14.3 5 100.0 7 100.0 Tahan Pangan n 17 23 15 8 63 % 27.0 36.5 23.8 12.7 100.0 Total n 37 33 21 10 101 % 36.6 32.7 20.8 9.9 100.0 Dari gambaran tersebut dapat dilihat bahwa rumahtangga yang tahan pangan sebagian besar adalah rumahtangga yang memiliki lahan garapan, sedangkan rumahtangga rawan pangan berat sebagian besar adalah 47 rumahtangga yang tidak memiliki lahan. Berdasarkan analisis korelasi Spearman diperoleh r= 0.273 dan p<0.01 antara kepemilikan luas lahan dengan ketahanan pangan rumahtangga. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kepemilikan luas lahan dengan ketahanan pangan rumahtangga. Semakin luas lahan yang dimiliki maka semakin besar peluang tercapainya ketahanan pangan rumahtangga. Akses Pangan Akses Fisik Akses fisik menentukan apakah sumber pangan yang dikonsumsi dapat ditemui dan mudah diperoleh. Menurut Penny (1990), kemudahan dalam memperoleh pangan ditunjang oleh tersedianya sarana fisik yang cukup dalam memperoleh pangan. Jika dilihat berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, Desa Pasindangan memiliki akses pangan yang lebih rendah dibandingkan dengan Desa Banjarsari. Desa Pasindangan terletak jauh dari kota kabupaten, kondisi jalan kurang memadai, kendaraan umum yang beroperasi hanya satu jenis, dengan jumlah dan waktu operasi terbatas. Jarak antara wilayah Desa Pasindangan dengan pasar terdekat kurang lebih 7 kilometer dengan hari pasar pada hari tertentu. Ketersediaan warung di wilayah ini terbatas, jumlah warung yang lengkap menjual kebutuhan pokok baik kebutuhan pangan maupun non pangan hanya dua buah, sisanya merupakan warung kecil yang menjual kebutuhan terbatas. Untuk kebutuhan pangan segar, selain membeli ke pasar juga tersedia tiga penjual sayur keliling untuk luas seluruh wilayah Desa. Pada Desa Banjarsari, wilayah desa ini dekat dengan ibukota kabupaten sehingga akses terhadap pangan cukup baik. Jarak pasar hanya 5 kilometer, di desa tersebut banyak (lebih dari 10) warung yang menjual kebutuhan pangan dan non pangan. Kebutuhan pangan segar dapat diperoleh dengan mudah di warung-warung penjual bahan pangan segar. Kondisi jalan sudah baik, banyak tersedia kendaraan umum yang dapat digunakan untuk mengakses pangan. Akses Ekonomi Akses ekonomi dapat diukur dengan menggunakan pengeluaran rumahtangga. Pengeluaran rumahtangga adalah total pengeluaran rumahtangga untuk kebutuhan pangan dan kebutuhan non pangan. Pengeluaran perkapita rumahtangga merupakan penjumlahan total pengeluaran pangan per tahun dan total pengeluaran pangan non-pangan per tahun rumahtangga, dibagi dengan 48 jumlah hari dalam satu tahun yaitu 365 hari, kemudian dibagi dengan jumlah anggota rumahtangga. Pengeluaran perkapita rumahtangga contoh rata-rata sebesar Rp 254 241. pengeluaran terkecil sebesar Rp 40 394 dan terbesar adalah sebesar Rp 1 140 028. Pengeluaran perkapita terkecil dimiliki oleh rumahtangga contoh di Desa Banjarsari, sedangkan pengeluaran perkapita terbesar terdapat pada rumahtangga contoh di Desa Pasindangan. Teori Engels menyebutkan bahwa persentase pengeluaran rumahtangga yang dibelanjakan untuk kebutuhan pangan meningkat pada saat terjadinya penurunan pendapatan dan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan (Khomsan 2002b). Proporsi ratarata pengeluaran pangan rumahtangga adalah sebesar 39.55 persen, proporsi pengeluaran terkecil adalah 8.10 persen pada contoh di Desa Pasindangan dan terbesar adalah 84.26 persen pada contoh di Desa Banjarsari. Tanziha (1992) dalam Kartika (2005) bahwa secara naluri individu, seseorang akan terlebih dahulu memanfaatkan setiap penghasilan bagi kebutuhan dasarnya berupa pangan. Jika kebutuhan dasarnya tersebut telah terpenuhi, maka tiap kelebihan penghasilannya dialokasikan untuk nonpangan. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa rata-rata pendapatan rumahtangga contoh di Desa Pasindangan lebih tinggi dibandingkan di Desa Banjarsari. Untuk mengetahui lebih jelas kondisi ekonomi rumahtangga contoh, maka dapat dilihat pada Tabel 25. Klasifikasi rumahtangga miskin dan tidak miskin didasarkan pada perbandingan pengeluaran perkapita dengan garis kemiskinan. Garis kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan tingkat provinsi Banten tahun 2008 yaitu Rp 156 494. Dikatakan miskin bila pengeluaran perkapita rumahtangga dibawah garis kemiskinan, dan dikatakan tidak miskin bila pengeluaran perkapita rumahtangga diatas garis kemiskinan. Tabel 25 Klasifikasi kemiskinan berdasarkan pengeluaran perkapita Kemiskinan Berdasarkan Pasindangan Banjarsari Total n % n % N % Miskin 14 28.0 18 35.3 32 31.7 Tdk miskin 36 72.0 33 64.7 69 68.3 Jumlah 50 100.0 51 100.0 101 100.0 Pengeluaran Berdasarkan klasifikasi diatas maka sebagian besar (68.3%) contoh di kedua desa merupakan rumahtangga tidak miskin dan sisanya (31.7%) contoh 49 merupakan rumahtangga miskin. Untuk Desa Pasindangan, sebagian besar (72%) contoh merupakan rumahtangga tidak miskin dan sisanya (28%) contoh merupakan rumahtangga miskin, sedangkan di Desa Banjarsari jumlah rumahtangga yang miskin sedikit lebih banyak (35.3%) dibandingkan dengan Pasindangan, sebagian besar (64.7%) contoh lainnya tergolong rumahtangga tidak miskin. Walaupun Desa Banjarsari dekat dengan ibukota kabupaten, namun rumahtangga miskin di desa tersebut lebih banyak dibandingkan di Desa Pasindangan. Kondisi ini diduga karena perekonomian masyarakat di Desa Pasindangan adalah pertanian berbasis tanaman kehutanan, sehingga banyak dari mereka yang memiliki tambahan pendapatan dari penjualan kayu atau menjual getah karet. Seiring dengan peningkatan pendapatan maka pengeluaran juga akan bertambah. Hasil analisis korelasi Pearson antara pengeluaran rumahtangga dan ketahanan pangan rumahtangga r= 0.251 dan p<0.05, ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengeluaran rumahtangga dengan ketahanan pangan rumahtangga. Semakin rendah pengeluaran rumahtangga maka semakin kecil peluang rumahtangga tersebut tahan pangan. Akses Sosial Dukungan Sosial Dukungan sosial merupakan segala bentuk interaksi berupa bantuan, perhatian, ataupun penghargaan untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang. Dukungan sosial dikategorikan ke dalam tiga kelompok yaitu buruk, sedang, dan baik. Berdasarkan pengelompokkan tersebut maka dari total keseluruhan contoh di kedua desa dapat diketahui bahwa lebih dari setengah contoh (56.4%) memiliki dukungan sosial yang baik, sebanyak 22.8 persen contoh memiliki dukungan sosial yang buruk, dan sisanya 20.8 persen contoh memiliki dukungan sosial sedang. Bila dibandingkan antar dua desa maka jumlah rumahtangga yang memiliki dukungan sosial baik di Desa Pasindangan lebih banyak (72%) dibandingkan rumahtangga di Desa Banjarsari (57%). Sisanya berturut-turut di Desa Pasindangan 18 persen dan 10 persen sedangkan di Desa Banjarsari 27.5 persen dan 31.4 persen memiliki dukungan sosial buruk dan sedang. 50 Tabel 26 Klasifikasi tingkat dukungan sosial Dukungan Sosial Buruk Sedang Baik Jumlah Pasindangan n % 9 18.0 5 10.0 36 72.0 50 100.0 Banjarsari n % 14 27.5 16 31.4 21 41.2 51 100.0 Total n 23 21 57 101 % 22.8 20.8 56.4 100.0 Sarafino (1996) mengemukakan dukungan sosial terdiri dari dukungan emosi, instrumental, penghargaan, dan dukungan informasi. Dukungan emosi melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap individu sehingga menimbulkan rasa nyaman, dicintai dan diperhatikan. Dukungan ini biasanya diperoleh dari orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan individu. Dukungan instrumental melibatkan bantuan langsung, misalnya berupa bantuan finansial atau bantuan dalam mengerjakan tugas. Dukungan penghargaan dapat berupa pujian, hadiah, pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap ide-ide, perasaan atau penampilan orang lain. Dukungan informasi terkait dengan perolehan pengetahuan dari orang lain. Semua dukungan tercakup dalam pertanyaan yang tersedia pada Tabel 27. Tabel 27 Sebaran dukungan sosial Pasindangan Dukungan Sosial Bantuan makanan Petugas kesehatan selalu mengunjungi Ketua RT selalu memberi semangat Anak-anak bisa sekolah tanpa membayar SPP dan biaya lainnya Sanak famili mau mendengar masalah-masalah Banjarsari Total Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak (%) (%) (%) (%) (%) (%) 56 44 31.4 62.7 43.6 53.5 2 92 5.9 90.2 4 91.1 12 74 11.8 64.7 11.9 69.3 58 34 23.5 37.3 40.6 35.6 86 2 70.6 15.7 78.2 8.9 80 2 60.8 9.8 70.3 5.9 34 48 15.7 49 24.8 48.5 86 0 78.4 0 82.2 0 Sanak famili berupaya memperlihatkan perasaan cinta dan kepeduliannya Diluar rumahtanggamempunyai beberapa teman karib yang sangat peduli dan mencintai Kehidupan dalam masyarakat 51 Pasindangan Dukungan Sosial Banjarsari Total Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak (%) (%) (%) (%) (%) (%) 84 2 80.4 5.9 82.2 4 68 18 27.5 45.1 47.5 31.7 48 36 64.7 13.7 56.4 24.8 34 50 23.5 49 28.7 49.5 66 10 60.8 7.8 63.4 8.9 70 10 47.1 19.6 58.4 14.9 44 36 2 54.9 22.8 45.5 memberi perasaan aman Mencoba untuk berhubungan dengan sanak famili seakrab mungkin Jika menghadapi masalah tetangga selalu memberi pertolongan Selalu mendapat bantuan keuangan dari orang tua atau sanak famili ketika mendapat kesulitan Tetangga mau membantu meminjamkan uang atau barang ketika menghadapi kesulitan Merasa tenang dalam lingkungan tempat tinggal yang sesuai sebagai tempat menumbuhkembangkan anak-anak Jika dalam kesulitan selalu mendapatkan pertolongan dari masyarakat dimana saya tinggal Saran yang diberikan tetangga sangat membantu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi Dukungan sosial berupa bantuan makanan, dijawab “ya” oleh 56 persen contoh di Desa Pasindangan dan 31.4 persen contoh menjawab “ya” di Desa Banjarsari. Sebagian besar contoh di Desa Pasindangan (92% dan 74%) dan Desa Banjarsari (90.2% dan 64.7%) menjawab tidak pernah mendapat kunjungan dari petugas kesehatan dan tidak pernah diberikan semangat oleh ketua RT. Untuk pernyataan berikutnya, Desa Pasindangan (58%) dan Desa Banjarsari (23.5%) yang menjawab bisa menyekolahkan anak-anak tanpa membayar SPP dan biaya lainnya. Untuk dua pernyataan berikutnya, contoh di Desa Pasindangan (86%dan 80%) dan Desa Banjarsari (70.6% dan 60.8%) menyatakan bahwa sanak famili mereka mau mendengarkan masalah-masalah dan berupaya memperlihatkan perasaan cinta dan kepeduliannya. Contoh dari 52 kedua desa sebagian besar (48% dan 49%) menyatakan bahwa tidak memiliki teman karib yang sangat peduli dan mencintai. Contoh di kedua desa menjawab merasa aman dalam kehidupan bermasyarakat dan mencoba untuk berhubungan seakrab mungkin dengan sanak famili yaitu sebesar 86 persen dan 84 persen untuk Pasindangan sedangkan Banjarsari sebesar 84% dan 80.4%. Akan tetapi contoh di kedua desa ini, memberikan jawaban yang berbeda untuk pernyataan berikutnya, contoh di Desa Pasindangan menyatakan selalu diberi pertolongan oleh tetangga jika menghadapi masalah (68%), sedangkan contoh di Desa Banjarsari (45.1%) menyatakan tidak mendapatkan pertolongan dari tetangga jika menghadapi masalah. Kedua contoh menjawab selalu mendapatkan bantuan keuangan dari keluarga atau sanak famili dan tidak mendapatkan bantuan keuangan dari tetangga ketika mengahadapi kesulitan, ini ditunjukkan dengan persentase sebesar 48 perse dan 50 persen untuk Desa Pasindangan, sedangkan Desa Banjarsari 64.7 persen dan 49 persen. Contoh menjawab merasa tenang dalam lingkungan tempat tingal yang sesuai sebagai tempat menumbuhkembangkan anak-anak dan mendapat pertolongan dari masyarakat dimana tinggal, ini ditunjukkan dengan persentase sebesar 66 persen dan 70 persen untuk Desa Pasindangan dan 60.8 persen dan 47.1 persen untuk Desa Banjarsari. Untuk pernyataan berikutnya, contoh di Desa Pasindangan (44%) menyatakan bahwa saran yang diberikan tetangga sangat membantu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi, sedangkan contoh di Desa Banjarsari tidak demikian (54.9%). Berdasarkan analisis korelasi Spearman antara dukungan sosial dengan ketahanan pangan maka diperoleh hasil r = - 0.035 dan p>0.05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dan ketahanan pangan rumahtangga. Kondisi ini diduga karena dukungan sosial yang diterima oleh contoh dominan berupa dukungan emosi, sehingga secara langsung tidak berhubungan dengan konsumsi rumahtangga sehingga tidak berhubungan signifikan dengan ketahanan pangan. Pengetahuan Gizi Tingkat pengetahuan gizi ibu diklasifikasikan ke dalam tiga klasifikasi, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Klasifikasi pengetahuan gizi ibu disajikan pada Tabel 28. 53 Tabel 28 Klasifikasi pengetahuan gizi Pengetahuan Gizi Rendah Sedang Tinggi Jumlah Pasindangan n % 43 86.0 6 12.0 1 2.0 50 100.0 Banjarsari n % 45 88.2 3 5.9 3 5.9 51 100.0 Total n 88 9 4 101 % 87.1 8.9 4.0 100.0 Berdasarkan klasifikasi tersebut dari total contoh sebagian besar (87.1%) memiliki tingkat pengetahuan gizi rendah, 8.9 persen ibu contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi sedang dan sisanya (4%) ibu contoh memiliki pengetahuan gizi tinggi. Di Desa Pasindangan, jumlah ibu contoh yang memiliki pengetahuan gizi baik lebih sedikit daripada jumlah ibu contoh di Desa Banjarsari yaitu 2 persen dan 5.9 persen. Ibu yang memiliki pengetahuan gizi sedang dan rendah di desa Pasindangan berturut-turut sebesar 12 persen dan 86 persen, sedangkan di Desa Banjarsari ibu contoh yang memiliki pengetahuan gizi sedang dan rendah berturut-turut sebesar 5.9 persen dan 88.2 persen. Sebanyak 24 rumahtangga rawan pangan berat (92.3%) adalah rumahtangga yang tingkat pengetahuan gizi ibunya rendah. Sebanyak 4 rumahtangga rawan pangan sedang (80%) adalah rumahtangga yang tingkat pengetahuan gizi ibunya rendah. Pada rumahtangga rawan pangan ringan sebanyak 85.7 persen contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi yang rendah, sedangkan pada rumahtangga tahan pangan, sebagian besar contoh (84.2%) merupakan rumahtangga yang memiliki tingkat pengetahuan gizi yang rendah. Tabel 29 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat pengetahuan gizi dan ketahanan pangan Pengetahuan Gizi Rendah Sedang Tinggi Total Rawan Pangan Berat n % 24 92.3 2 7.7 0 0 26 100 Tingkat Ketahanan Pangan Rawan Rawan Pangan Pangan Sedang Ringan n % n % 4 80 6 85.7 1 20 1 14.3 0 0 0 0 5 100 7 100 Tahan Pangan n 54 5 4 63 % 85.7 7.9 6.3 100 Total n 88 9 4 101 % 87.1 8.9 4 100 Berdasarkan analisis korelasi Spearman diperoleh r= 0.077 dan p>0.05 antara pengetahuan gizi ibu dengan ketahanan pangan rumahtangga. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi ibu dengan ketahanan pangan rumahtangga. Keadaan ini diduga terjadi karena sebagian besar contoh memilih jenis pangan yang 54 dikonsumsi hanya berdasarkan ketersediaan pangan yang terdapat di wilayahnya dan berdasarkan kebiasaan makan. Konsumsi Konsumsi rumahtangga dapat dinilai berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi rumahtangga. Nilai total konsumsi zat gizi rumahtangga per hari kemudian di bagi dengan jumlah anggota rumahtangga dan dibandingkan dengan angka kecukupan zat gizi rumahtangga. Angka kecukupan zat gizi rumahtangga diperoleh dengan cara menghitung angka kecukupan zat gizi bagi masingmasing anggota rumahtangga berdasarkan WNPG 2004, kemudian dihitung ratarata angka kecukupan zat gizi setiap rumahtangga. Pada Tabel 30 berikut ini adalah sebaran tingkat kecukupan zat gizi yaitu energi (E) dan protein (P), sedangkan untuk kalsium (Ca), besi (Fe), vitamin A, dan vitamin C disajikan pada Tabel 31. Tabel 30 Tingkat kecukupan energi dan protein Zat Gizi Tingkat Kecukupan Defisit berat : < 70% Defisit sedang : 70-79% Defisit ringan : 80-89% Normal : 90-119% Lebih : ≥ 120% Min – Max Rataan Energi n 26 5 6 16 48 % 25.7 5 5.9 15.8 47.5 10 - 600 141.08 ± 99.163 Protein n 36 8 4 19 34 % 35.6 7.9 4 18.8 33.7 8 – 335 104.42 ± 65.859 Tingkat kecukupan energi dan proteiin dikategorikan menjadi lima kelompok berdasarkan Depkes (1996) yaitu <70% (defisit berat), 70-79% (defisit sedang), 80-89% (defisit ringan), 90-119% (normal), dan ≥ 120% (lebih). Tingkat kecukupan energi rumahtangga berkisar antara 10 sampai 600 persen dengan rataan 141.08 ± 99.163. Dari 101 contoh, 25.7 persen rumahtangga berada dalam defisit berat (<70%), 5 persen rumahtangga berada pada kategori defisit sedang (70-79%), 5.9 persen berada pada kategori defisit ringan (80-89%), 15.8 persen berada pada kategori normal dan 47.5 persen rumahtangga berada pada kategori lebih (≥ 120%). Kondisi ini terjadi karena seluruh rumahtangga contoh merupakan rumahtangga petani baik petani dengan lahan milik sendiri, buruh tani, ataupun sistem maro. Mereka mampu mengakses makanan pokok dari hasil produksi maupun dari hasil alam sehingga kondisi tingat kecukupan energi ada yang 55 termasuk kategori lebih. Walaupun demikian, masih ada rumahtangga yang belum tercukupi kebutuhannya dari hasil produksinya sehingga harus membeli kebutuhannya dari warung. Tingkat kecukupan protein rumahtangga berkisar antara 8 sampai 335 dengan rataan 104.42 ± 65.859. Dari sejumlah contoh, dapat dilihat tingkat kecukupan protein rumahtangga yaitu sebanyak 35.6 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit berat (<70%), 7.9 persen berada pada kategori defisit sedang (70-79%), 4 persen berada pada kategori defisit ringan (80-89%), 18.8 persen rumahtangga berada pada kaegori normal (90-119%) dan sisanya sebanyak 33.7 persen rumahtangga berada pada kategori lebih (≥ 120%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kecukupan protein rumahtangga contoh sudah cukup baik. Tingkat kecukupan protein yang cukup ini diduga karena seluruh rumahtangga contoh hampir setiap hari mengkonsumsi ikan asin. Khomsan (2002c) mengutarakan bahwa secara sosial ikan asin dianggap oleh masyarakat sebagai komoditas inferior. Padahal dari segi gizi, ikan asin sebenarnya superior karena kandungan proteinnya sekitar 35-40%. Tingkat kecukupan vitamin dan mineral dikategorikan manjadi dua kelompok berdasarkan Depkes (2003) yaitu defisit (≤50%) dan cukup (>50%). Tingkat kecukupan kalsium rumahtangga berkisar antara 2 sampai 169 dengan rataan 21.21 ± 18.702. Dapat dilihat tingkat kecukupan kalsium rumahtangga yaitu sebanyak 97 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit (≤50%), sisanya sebanyak 3 persen rumahtangga berada pada kategori cukup (>50%). Kondisi ini diduga karena rumahtangga contoh tidak mampu mengakses pangan sumber kalsium untuk dikonsumsi, mereka hanya mengkonsumsi apa yang tersedia di ladang dan alam sekitar, ditambah lagi letak geograsfis daerah yang menyebabkan sulitnya distribusi pangan ke daerah tersebut. Tabel 31 Tingkat kecukupan mineral dan vitamin Zat Gizi Mineral Kalsium (Ca) Besi (Fe) Vitamin Vitamin A Vitamin C Tingkat Kecukupan Gizi Defisit : ≤ 50% Cukup : > 50% n % n % Min-max Rataan 98 61 97 60.4 3 40 3 39.6 2 – 169 4 - 179 21.21 ± 18.702 50.94 ± 34.296 3 72 3 71.3 98 29 97 28.7 15 - 7418 0 - 432 611.49 ± 1159.32 60.35 ± 85.006 56 Tingkat kecukupan zat besi rumahtangga berkisar antara 4 sampai 179 dengan rataan 50.94 ± 34.296. Dapat dilihat tingkat kecukupan zat besi rumahtangga yaitu sebanyak 60.4 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit (≤50%) dan sisanya sebanyak 39.6% rumahtangga berada pada kategori cukup (>50%). Rendahnya tingkat kecukupan zat besi rumahtangga contoh diduga disebabkan oleh kurangnya konsumsi bahan pangan sumber zat besi, seperti daging, hati dan sayuran hijau. Sebagai contoh bayam, di daerah ini hampir tidak ada petani yang menanam bayam, sehingga bayam hanya diperoleh dari luar. Dengan demikian rumahtangga contoh harus membeli, padahal daya beli sangat rendah walaupun ada beberapa petani yang memiliki daya beli cukup tinggi. Tingkat kecukupan vitamin A rumahtangga berkisar antara 15 sampai 7418 dengan rataan 611.49 ± 1159.32. Dapat dilihat tingkat kecukupan vitamin A rumahtangga yaitu sebanyak 3 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit (≤50%) dan sisanya sebanyak 97 persen rumahtangga berada pada kategori cukup (>50%). Tingkat kecukupan vitamin C rumahtangga berkisar antara 0 sampai 432 dengan rataan 60.35 ± 85.006. Dapat dilihat tingkat kecukupan vitamin C rumahtangga yaitu sebanyak 71.3 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit (≤50%) dan sebanyak 28.7 persen rumahtangga berada pada kategori cukup (>50%). Angka kecukupan vitamin C di wilayah ini tergolong cukup baik karena rumahtangga contoh hampir setiap hari mengkonsumsi buah-buahan baik dari hasil ladangnya maupun dari membeli. Buah yang banyak dikonsumsi antara lain pepaya, pisang, dan jeruk. Pola Pangan Harapan (PPH) merupakan suatu instrumen untuk menilai ketersediaan dan konsumsi pangan berupa jumlah dan komposisi pangan menurut jenis pangan dan skor PPH dapat digunakan sebagai indikator mutu gizi pangan dan keragaman konsumsi pangan yang baik pada tingkat ketersediaan maupun tingkat konsumsi. Selain itu PPH juga dimanfaatkan untuk perencanaan konsumsi dan ketersediaan pangan suatu wilayah. Pada tabel 32 disajikan PPH Kabupaten Lebak berdasarkan hasil pengolahan data konsumsi rumahtangga contoh. 57 Tabel 32 Pola Pangan Harapan Kabupaten Lebak berdasarkan data konsumsi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kelompok Pangan Gram/ Kap/Hari Kalori Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan (PPH) % % Skor Skor Skor Bobot aktual AKE*) Aktual AKE Maks 61.3 64.5 0.5 30.6 32.3 25.0 0.8 0.8 0.5 0.4 0.4 2.5 0.7 0.7 2.0 1.4 1.4 24.0 Padi-padian 394 1419 Umbi-umbian 14 19 Pangan Hewani 11 16 Minyak dan 37 334 14.4 15.2 0.5 Lemak Buah/Biji 201 382 16.5 17.4 0.5 Berminyak Kacang-kacangan 22 38 1.6 1.7 2.0 Gula 19 70 3.0 3.2 0.5 Sayur dan Buah 36 14 0.6 0.6 5.0 Lain-lain 10 24 1.0 1.1 0.0 Total 2315 100.0 105.2 Keterangan : *) Angka Kecukupan Energi = 2200 Kkal/Kap/Hr 7.2 7.6 5.0 5.0 8.3 3.3 1.5 2.9 0.0 55.6 8.7 3.4 1.6 3.1 0.0 58.5 1.0 10.0 2.5 30.0 0.0 100.0 1.0 3.4 1.6 3.1 0.0 41.0 Berdasarkan data hasil perhitungan PPH, maka dapat diketahui keragaman pola konsumsi pangan wilayah. Pola konsumsi dikatakan beragam bila persentase energi terhadap total energi sebesar < 55% dan dikatakan tidak beragam bila persentase energi terhadap total energi >55%. Berdasarkan perhitungan PPH, maka diketahui pola konsumsi untuk kelompok pangan padipadian tidak beragam, yaitu ditunjukkan dengan angka persentase energi sebesar 61.3%, ini artinya pola konsumsi padi-padian didominasi oleh jenis pangan tertentu saja. Untuk kelompok pangan lainnya seperti umbi-umbian (0.8%), pangan hewani (0.7%), minyak dan lemak (14.4%), buah/biji berminyak (16.5%), kacang-kacangan (1.6%), gula (3.0%), sayur dan buah (0.6%), dan lainlain (1.0%) memiliki persentase energi < 55%, yang artinya pola konsumsi kelompok pangan tersebut beragam. Ketahanan pangan Ketahanan pangan dapat diukur secara kuantitatif maupun kualitatif. Smith (2003) mengemukakan metode dan ukuran untuk menilai kekurangan pangan pada tingkat rumahtangga maupun individu, melalui 4 jenis keadaan, yang dapat diukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Keadaan tersebut adalah: 1) ketidakcukupan energi rumahtangga, 2) tingkat ketidakcukupan energi, 3) keanekaragaman makanan (dietary diversity), dan 4) persen pengeluaran untuk makanan (% food expenditure). Skor PPH 25.0 0.4 1.4 58 Tabel 33 Status ketahanan rumahtangga berdasarkan pengukuran kualitatif Status Tahan pangan Rawan pangan Kelaparan Jumlah Pasindangan n % 43 86.0 6 12.0 1 2.0 50 100.0 Banjarsari n % 42 82.4 5 9.8 4 7.8 51 100.0 Total n 85 11 5 101 % 84.2 10.91 5.0 100.0 Ketahanan pangan kualitatif dihitung berdasarkan persepsi kelaparan, dikatakan kelaparan atau tidak tahan pangan apabila terjadi penurunan frekuensi dan porsi makan yang diikuti dengan penurunan berat badan, rawan pangan apabila terjadi penurunan frekuensi dan porsi makan tetapi tidak diikuti dengan penurunan berat badan, dan tahan pangan apabila tidak terjadi penurunan frekuensi dan porsi makan. Berdasarkan klasifikasi ketahanan pangan kualitatif, dari kedua desa sebanyak 5.0 persen rumahtangga contoh mengalami kelaparan, 10.91 persen rumahtangga rawan pangan, dan sebanyak 84.2 persen rumahtangga tahan pangan. Pengukuran ketahanan pangan secara kuantitatif menurut FAO (2003) dapat diukur melalui tingkat ketidakcukupan energi yang menunjukkan keparahan defisit energi yang ditunjukkan oleh defisit jumlah kalori pada seseorang individu dibawah energi yang dianjurkan (<70%). Tabel 34 Status ketahanan pangan RT berdasarkan pengukuran kuantitatif Status Rawan pangan berat Rawan pangan sedang Rawan pangan ringan Tahan pangan Jumlah Ketahanan Pasindangan n % 11 22 1 2 4 8 34 68 50 100.0 pangan kuantitatif Banjarsari n % 15 29.4 4 7.8 3 5.9 29 56.9 51 100.0 diklasifikasikan Total n 26 5 7 63 101 berdasarkan % 25.7 5 6.9 62.4 100.0 tingkat konsumsi energi. Dikatakan rawan pangan berat bila tingkat konsumsi energi rumahtangga < 70%, rawan pangan sedang bila tingkat konsumsi rumahtangga antara 70-80%, rawan pangan ringan bila tingkat konsumsi rumahtangga antara 80-90% dan tahan pangan bila tingkat kecukupan energi rumahtangga > 90%. Berdasarkan pengklasifikasian tersebut dari total keseluruhan contoh diketahui bahwa lebih dari setengah (62.4%) contoh merupakan rumahtangga tahan pangan. Sejumlah 25.7 persen contoh merupakan rumahtangga rawan pangan berat, 5 persen merupakan rumahtangga rawan pangan sedang, dan sisanya 6.9 persen contoh merupakan rawan pangan ringan. Jumlah rumahtangga tahan 59 pangan di Desa Pasindangan lebih banyak dibandingkan di Desa Banjarsari yaitu berturut-turut (68% dan 56.9%). Tabel 35 Sebaran rumah tangga menurut validitas kelaparan Validitas Kelaparan Khawatir makanan habis sebelum punya uang untuk membeli kembali Makanan yang dibeli tidak cukup dan tidak punya uang untuk membeli lagi Tidak mampu untuk makan makanan seimbang Bergantung pada beberapa jenis makanan murah untuk anak-anak karena tidak punya uang Tidak dapat memberi makanan seimbanga untuk anak-anak karena tidak mampu membeli Anak-anak tidak memperolah makanan yang cukup karena tidak mampu membeli 12 bulan terakhir pernah mengurangi makan 12 bulan terakhir pernah makan lebih sedikit dari biasanya 12 bulan terakhir merasa lapar tetapi tidak makan karena tidak punya uang 12 bulan terakhir turun berat badan 12 bulan terakhir pernah tidak makan sepanjang hari 12 bulan terakhir pernah mengurangi makanan anak-anak 12 bulan terakhir anak tidak makan karena tidak punya uang untuk membeli makanan Anak pernah merasa lapar tetapi tidak mampu membeli cukup makanan 12 bulan terakhir anak tidak makan sepanjang hari Pasindangan Ya Tidak (%) (%) Banjarsari Ya Tidak (%) (%) Ya (%) Total Tidak (%) 84 14 90.2 9.8 87.1 11.9 80 20 68.8 31.4 74.3 5.7 44 54 54.9 45.1 49.5 49.5 60 40 70.6 29.4 65.3 34.7 56 44 54.9 45.1 55.4 44.6 36 64 25.5 74.5 30.7 69.3 22 78 31 68 26.7 73.3 28 72 39.2 60.8 33.7 66.3 14 86 35.3 64.7 24.8 75.2 0 100 23.5 76.5 11.9 88.1 0 100 5.9 94.1 3 97 2 90 23.5 68.6 12.9 79.2 2 90 9.8 82.4 5.9 86.1 14 78 41.2 51 27.7 64.4 0 92 9.8 82.4 5 87.1 Responden pada Desa pasindangan lebih banyak menjawab “ya” pada pertanyaan pertama dan kedua mengenai kekhawatiran dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan, yaitu 84 persen dan 80 persen. Selain itu menyatakan “ya” 60 sebanyak 60 persen pada pernyataan bergantung pada makanan murah dan 56 persen pada pernyataan tidak mampu memberikan makanan yang seimbang pada anak-anak. Pada Desa Banjarsari pada lima pernyataan awal lebih banyak menyatakan “ya” yaitu pada pernyataan khawatir makanan habis sebelum mampu membeli sebanyak 90.2 persen, pernyataan khawatir makanan yang dibeli tidak cukup dan tidak memiliki uang untuk membelinya sebesar 68.8 persen, pada pernyataan tidak mampu memberikan makanan seimbang bagi anak-anak sebesar 54.9 persen, bergantung pada pangan murah sebesar 70.6 persen dan tidak mampu makan makanan seimbang sebesar 54.9 persen. Pada pernyataan lain yang menjawab “ya” tidak ada yang mencapai 50 persen. Analisis Jalur Analisis jalur adalah sebuah metode untuk mempelajari pengaruh langsung dan tidak langsung dari variabel-variabel. Dikembangkan pertama kali oleh Wright (1921). Analisis jalur dapat digunakan untuk menganalisis hubungan sebab akibat antara satu variabel dengan variabel lainnya. Diagram jalur yang digunakan dalam analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga dapat dilihat pada Gambar 5. X1 -0.078 0.160 -0.200 Y1 -0.152 X2 -0.169 0.191 -0.034 -0.022 Y2 Y4 Y3 -0.059 0.265 0.011 -0.135 -0.316 X3 Gambar 5 Diagram jalur analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga 61 Keterangan : X1 : Tingkat pendidikan KRT X2 : Tingkat pendidikan IRT X3 : Besar rumahtangga Y1 : Dukungan sosial Y2 : Pegetahuan gizi Y3 : Pengeluaran rumahtangga Y4 : Tingkat ketahanan pangan rumahtangga kuantitatif Yamin dan Kurniawan (2005) menyatakan bahwa analisis jalur dapat dikatakan sebagai analisis regresi linier dengan variabel-variabel yang dibakukan. Oleh karena itu, koefisien jalur pada dasarnya merupakan koefisien beta atau koefisien regresi baku. Dalam analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga, koefisien regresi (beta-β) yang diperoleh adalah seperti yang ditulis pada gambar 5. Untuk melihat hubungan langsung antara variabel dapat dilihat berdasarkan persamaan struktural yang dibentuk oleh pengaruh atau efek yang diberikan oleh masing-masing variabel eksogen terhadap variabel endogen. Adapun pengaruh langsung antara tingkat pendidikan KRT dan tingkat pendidikan IRT terhadap dukungan sosial dapat digambarkan melalui persamaan berikut ini : Y = -0.078X1 – 0.152X2 . Pengaruh langsung tingkat pendidikan ibu terhadap tingkat pengetahuan gizi ibu digambarkan melalui persamaan berikut : Y = 1.175 – 0.022X2. Pengaruh langsung tingkat pendidikan KRT, tingkat pendidikan ibu, besar keluarga, tingkat dukungan sosial dan tingkat pengetahuan gizi ibu terhadap pengeluaran rumahtangga digambarkan melalui persamaan berikut : Y = 0.160X1 – 0.059X2 – 0.316X3 + 0.191Y1 - 0.034Y2. Pengaruh langsung pendidikan KRT, ukuran rumahtangga, dukungan sosial, pengetahuan gizi ibu, dan pengeluaran terhadap ketahanan pangan rumahtangga digambarkan melalui persamaan berikut : Y = -200X1 – 0.135X3 - 0.169Y1 + 0.011Y2 + 0.256Y3. Berdasarkan diagram jalur pada Gambar 5, faktor yang berhubungan langsung dengan ketahanan pangan rumahtangga adalah pendidikan KRT, ukuran rumahtangga, dukungan sosial, pengetahuan gizi ibu, dan pengeluaran. Analisis jalur menunjukkan bahwa pendidikan KRT tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ketahanan pangan rumahtangga (R-square = 0.030, p>0.05). Ukuran rumahtangga berpengaruh lansung terhadap ketahanan pangan 62 rumahtangga (R-square = 0.060, p<0.05), terdapat 6 persen variabel ketahanan pangan dipengaruhi oleh variabel ukuran rumahtangga. Dukungan sosial tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ketahanan pangan (R-square = 0.014, p>0.05), pengetahuan gizi juga tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ketahanan pangan (R-square = 0.001, p>0.05). Pengeluaran berpengaruh langsung terhadap ketahanan pangan rumahtangga (R-square = 0.065, p<0.05), terdapat 6.5 persen variabel ketahanan pangan dipengaruhi oleh variabel pengeluaran. Dalam analisis jalur terdapat pengaruh tidak langsung. Besarnya pengaruh tidak langsung suatu variabel terhadap variabel tertentu dapat dihitung dengan cara mengalikan koefisien-koefisien regresi (beta-β) dari variabel pemberi efek. Dibawah ini akan ditunjukkan pengaruh tidak langsung yang diperoleh dari analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga : 1. besarnya pengaruh tidak langsung oleh X1, Y1, dan Y3 terhadap Y4 adalah 0.078 x 0.191 x 0.265 = 0.004. 2. besarnya pengaruh tidak langsung X1 dan Y1 terhadap Y4 adalah 0.078 x 0.169 = 0.013. 3. besarnya pengaruh tidak langsung X1 dan Y3 terhadap Y4 adalah 0.078 x 0.169 = 0.013. 4. besarnya pengaruh tidak langsung X2, Y1, dan Y3 terhadap Y4 adalah 0.152 x 0.191 x 0.265 = 0.008. 5. besarnya pengaruh tidak langsung X2 dan Y1 terhadap Y4 adalah 0.152 x 0.169 = 0.026. 6. besarnya pengaruh tidak langsung X2 dan Y3 terhadap Y4 adalah 0.059 x 0.265 = 0.016. 7. besarnya pengaruh tidak langsung X2, Y2 dan Y3 terhadap Y4 adalah 0.022 x 0.034 x 0.265 = 0.198 x 10-3. 8. besarnya pengaruh tidak langsung X2 dan Y2 terhadap Y4 adalah 0.022 x 0.011 = 0.242 x 10-3. 9. besarnya pengaruh tidak langsung X3 dan Y3 terhadap Y4 adalah 0.316 x 0.265 = 0.084. dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa jalur yang paling berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumahtangga adalah jalur 9 yaitu dimulai dari ukuran rumahtangga-pengeluaran rumahtangga-ketahanan pangan rumahtangga. 63 KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Lebak, dapat disimpulkan bahwa : 1. Umur Kepala rumahtangga lebih dari setengahnya (57.4%) termasuk kelompok umur dewasa madya begitu pula dengan umur ibu (47.5%). Lama sekolah kepala rumahtangga berkisar antara 0-12 tahun dengan rataan 5.05 ± 3.001, lama sekolah ibu berkisar antara 0-16 tahun dengan rataan 4.35 ± 3.119. Sebaran pendidikan KRT dan ibu terbesar (73.3% dan 69.3%) adalah SD. Pekerjaan tambahan terbanyak yang dilakukan contoh adalah sebagai pedagang dan buruh (26.7% dan 26.7%), kontrol keuangan rumahtangga umumnya di putuskan oleh istri sendiri. Hampir setengah (49.5%) rumahtangga berukuran kecil, kepemilikan lahan terbesar (36.6%) adalah tidak memiliki lahan, tingkat pengetahuan gizi ibu rendah (87.1%), dan dukungan sosial tergolong baik (56.4%). Pengeluaran perkapita rumahtangga contoh rata-rata sebesar Rp 254 241, pengeluaran terkecil sebesar Rp 40 394 dan terbesar adalah sebesar Rp 1 140 028, terdapat 68.3 persen rumatangga tergolong tidak miskin dan 31.7 persen tergolong rumahtangga miskin. Akses fisik terhadap pangan tergolong kurang memadai, terkait jarak pasar dan ketersediaan pangan di warung. 2. Tingkat konsumsi rumahtangga berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi adalah sebagai berikut : a) Tingkat kecukupan energi rumahtangga berkisar antara 10-600 dengan rataan 141.08 ± 99.163, sebanyak 47.5 persen rumahtangga berada dalam kategori lebih; b) Tingkat kecukupan protein rumahtangga berkisar antara 8-335 dengan rataan 104.42 ± 65.859, sebanyak 35.6 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit berat; c) Tingkat kecukupan kalsium rumahtangga berkisar antara 2-169 dengan rataan 21.21 ± 18.702, sebanyak 97 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit; d) Tingkat kecukupan zat besi rumahtangga berkisar antara 4-179 dengan rataan 50.94 ± 34.296, sebanyak 60.4 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit; e) Tingkat kecukupan vitamin A rumahtangga berkisar antara 15-7 418 64 dengan rataan 611.49 ± 1 159.32, sebanyak 97 persen rumahtangga berada dalam kategori cukup; f) Tingkat kecukupan vitamin C rumahtangga berkisar antara 0-432 dengan rataan 60.35 ± 85.006, sebanyak 71.3 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit. Berdasarkan klasifikasi ketahanan pangan kualitatif, sebanyak 84.2 persen rumahtangga tahan pangan, sedangkan pada ketahanan pangan kuantitatif sebanyak 62.4 persen tergolong rumahtangga tahan pangan, 25.7 persen rumahtangga rawan pangan berat, 6.9 persen rumahtangga rawan pangan ringan dan 5 persen rumahtangga rawan pangan sedang. 3. Berdasarkan analisis korelasi Spearman tidak terdapat hubungan yang signifikan (r= -0.040, p>0.05) antara pendidikan KRT dengan ketahanan pangan rumahtangga. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (r= 0.027, p>0.05) antara pendidikan IRT dengan ketahanan pangan rumahtangga. Terdapat hubungan negatif (r= -0.261, p<0.01) antara ukuran rumahtangga dengan ketahanan pangan rumahtangga. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (r= 0.077 dan p>0.05) antara pengetahuan gizi ibu dengan ketahanan pangan rumahtangga. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (r = - 0.035, p>0.05) antara dukungan sosial dengan ketahanan pangan rumahtangga. Analisis korelasi Pearson menunjukkan hubungan (r= 0.255, p<0.05) antara pengeluaran rumahtangga dengan ketahanan pangan rumahtangga. 4. Pengaruh langsung terbesar terhadap ketahanan pangan rumahtangga adalah pengeluaran rumahtangga (R-square = 0.065, p<0.05). Jalur yang paling berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumahtangga adalah jalur 9 yaitu dimulai dari ukuran rumahtangga-pengeluaran rumahtanggaketahanan pangan rumahtangga. SARAN Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Lebak beberapa saran yang diberikan diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Menggalakkan kembali program Keluarga Berencana (KB) 2. Meningkatkan kualitas kader posyandu terkait gizi keluarga melalui pelatihan kader 65 3. Mengaktifkan kembali fungsi PKK khususnya pemberian penyuluhan mengenai manajemen keuangan rumahtangga 4. Revitalisasi kelembagaan bagi petani seperti kelompok tani sebagai wadah aspirasi dan pusat memperoleh informasi 5. Pemberian bantuan kredit dan teknologi meningkatkan produktivitas dan pendapatan pada petani untuk 66 DAFTAR PUSTAKA Adi AC. 1998. Komunikasi dan ketahanan pangan rumah tangga menurut tipe arkeologi di wilayah kabupaten Pasuruhan, Jawa Timur. [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. [Anonim]. 2009. Petani. http//:www.wikipedia.com. [7 April 2009]. Den Hartog AP, van Staveren WA, Brouwer (1995). Manual for Social Surveys on Food Habits and Consumption in Developing Countries. Germany: Margraf Verlag. Dewan Bimas Ketahanan Pangan (DBKP). 2001. Ketahanan Pangan Nasional. DBKP, Jakarta. Kebijakan Pemantapan Guhardja S, Puspitawati H, Hartoyo, Hastuti D. 1992. Manajemen Sumberdaya Keluarga. Diktat Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah dan Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Bogor. Hardinsyah, Fadjar, Ikeu Tanziha, Drajat Martianto, Dodik Briawan, Fatimah, Munawar, Basuki, Farid dan bernadus. 2003. Uji Coba Instrumen Kelaparan. Kerjasama Deptan, PSKPG, BPS, Depkes dan BKKBN. Jakarta. Hardinsyah dan Suhardjo. 1990. Prinsip-Prinsip Analisis Ekonomi Gizi. Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Hildawati I. 2008. Analisis akses pangan serta pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi energi dan protein pada rumahtangganelayan. [skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hoddinott J. 1999. Choosing outcome indicators of household food security. International Food Polisy Research Institute. Washington D.C. Hudjimartsu S. 2005. Pemodelan menggunakan regresi, analisis jalur, dan persamaan structural [skripsi]. Departemen Matermatika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Hurlock EB. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga. Kartika TWW. 2005. Analisis coping strategy dan ketahanan pangan rumah tangga petani di desa Majasih kecamatan Sliyeg kabupaten Indramayu. [skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kenny DA. 1979. Correlation an Causality. Newyork: Wiley 67 Khomsan A. 2002a. Kecukupan Pangan Sebagai HAM. Di dalam: Fenomena Kemiskinan dalam Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. ________. 2002b. Fenomena Keniskinan. Di dalam: Fenomena Kemiskinan dalam Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. ________. 2002c. Pangan sebagai Indikator Kemiskinan. Di dalam: Fenomena Kemiskinan dalam Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Manesa J. 2009. Ketahanan pangan rumah tangga di desa penghasil damar kabupaten Lampung Barat. [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Martianto D, M Ariani. 2004. Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Jakarta. Maxwell S, Frankenberg TR. 1992. Household Food Security: Concepts, Indicators, Measurements. New York: UNICEF Programme Publications. Megawangi R. 1994. Gender Perspectives in Early Childhood Care and Development in Indonesia. Indonesia: The Consultative Group on Early Childhood Care and Development. Nugroho BA. 2007. Strategi Jitu Memilih Metode Statistika Penelitian dengan SPSS. Yogyakarta: ANDI. Nurliawati L. 2003. Kebiasaan Jajan dan Preferensi Anak Sekolah Dasar terhadap Makanan Jajanan dengan Pewarna Sintetik. [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. PPK-LIPI. 2004. Ketahanan pangan rumah tangga di pedesaan: konsep dan ukuran. www.bappeda-jabar. [17 Januari 2009] Prabawa S. 1998. Sumberdaya Rumahtangga dan Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani. Studi Desa Water Jaya Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor. Jawa Barat. [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Pranadji DK. 1995. Adab/Kebiasaan Makan. Makalah Disajikan dalam Pelatihan dan Penyuluhan Pangan dan Gizi di Kalangan Pendidik Sekolah Dasar dan Menengah, Bandar Lampung . 24-28 Oktober. Puspa AR. 2007. Kajian Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani: Pengambilan Keputusan Istri dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga. [skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rahmah I. 2006. Analisis hubungan akses fisik, akses ekonomi, dan pengetahuan gizi terhadap konsumsi pangan mahasiswa IPB. [skripsi]. 68 Departemen gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Riyadi S. 1993. Peranan wanita dalam meningkatkan taraf hidup rumahtangga petani PIR (Kasus PIR Kelapa Sawit di Kecamatan Ngabang.Kabupaten Pntianak. Kalimantan Barat) [Tesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Riyadi H. 1996. Pola Konsumsi Pangan. Di dalam: Gizi dan Kesehatan dalam Pembangunan Pertanian (hlm. 174-183). Khomsan A & Sulaeman A, edit. Bogor: IPB Press. Sajogyo P. 1983. Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa. Jakarta: CV. Rajawali. Sarafino EP. 1996. Health Psycologhy: Biopsychosocial Interactions. New York: Allyn and Bacon. Smith LC. 2003. The Use of Household Expenditure Surveys for The Assessment of Food Insecurity. Proceedings Measurement and Assessment of Food Deprivation and Undernutrition. International Scientific Symposium, Rome 26-28 June 2002. Soetrisno L. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Pertanian Sebuah Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Kanisius. Syarief H. 1992. Metode Ststistika untuk Pangan dan Gizi Masyarakat. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Suandi. 2007. Hubungan modal sosial dengan ketahanan pangan rumahtangga di daerah pedesaan provinsi Jambi berdasarkan agroekologi wilayah. Di dalam: Widyakarya Nasional Pangan Dan Gizi 2008. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Suryana. 2003. Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan. BPFE, Yogyakarta. Tambunan. 2003. Perkembangan Sektor Pertanian Di Indonesia : Beberapa Isu Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia. Tanziha I. 2005. Analisis Peubah Konsumsi Pangan dan Sosial Ekonomi Rumahtangga untuk Menentukan Determinan dan Indikator Kelaparan. [disertasi]. Bogor: Program Doktor, Institut Pertanian Bogor [WFP] World Food Programme. 2003. Peta Kerawanan Pangan. WFP. Jakarta. Wasito. 1999. Perspektif Jender dalam Jaringan Komunikasi Difusi Sistem Usahatani Berbasis Padi Berwawasan Agribisnis (SUTPA). [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. 69 Yamin S dan Kurniawan H. 2009. SPSS Complete : Teknik Analisis Statistik Terlengkap dengan Software SPSS. Jakarta: Salemba Infotek. 70 LAMPIRAN 71 Lampiran 1 Hasil analisis korelasi Spearman variabel karakteristik sosial ekonomi dan akses pangan dengan tingkat ketahanan pangan Pddk KRT Variabel Pendidikan KRT Pendidikan IRT Kepemilikan Luas Lahan Ukuran Rumahtangga Dukungan Sosial Pengetahuan Gizi Tk. Ketahanan Pangan Pddk IRT LuLhn UkRT DS PG 1.000 Tk.KP -0.040 1.000 0.027 1.000 0.273** 1.000 -0.263** 1.000 -0.035 1.000 0.077 1.000 Keterangan : * ) signifikansi pada level 0.05 **) signifikansi pada level 0.01 Lampiran 2 Hasil analisis korelasi Pearson variabel pengeluaran perkapita dengan ketahanan pangan Correlations ketahanan pangan pengeluaran RT Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N ketahanan pangan 1 101 .251* .011 101 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). pengeluaran RT .251* .011 101 1 101 72 Lampiran 3 Hasil analisis jalur pendidikan KRT dan IRT terhadap dukungan sosial Model Summary(b) Model 1 R .172(a) Adjusted R Square .010 R Square .030 Std. Error of the Estimate 6.512 a Predictors: (Constant), pendidikan IRT, pendidikan KRT b Dependent Variable: dukungan sosial Coefficientsa Model 1 (Constant) pendidikan KRT pendidikan IRT Unstandardized Coefficients B Std. Error 21.433 1.549 -.169 .217 -.318 .209 Standardized Coefficients Beta -.078 -.152 t 13.837 -.779 -1.523 Sig. .000 .438 .131 a. Dependent Variable: dukungan sosial Lampiran 4 Hasil analisis jalur pendidikan IRT terhadap pengetahuan gizi IRT Model Summaryb Model 1 R R Square .022a .000 Adjusted R Square -.010 Std. Error of the Estimate 2.325 a. Predictors: (Constant), pendidikan IRT b. Dependent Variable: pengetahuan gizi Coefficientsa Model 1 (Constant) pendidikan IRT Unstandardized Coefficients B Std. Error 2.414 .398 .016 .075 a. Dependent Variable: pengetahuan gizi Standardized Coefficients Beta .022 t 6.064 .221 Sig. .000 .826 73 Lampiran 5 Hasil analisis jalur pendidikan KRT dan IRT, ukuran RT, dukungan sosial, dan pengetahuan gizi terhadap pengeluaran perkapita Model Summaryb Model 1 R R Square .375a .140 Adjusted R Square .095 Std. Error of the Estimate 170415.824 a. Predictors: (Constant), pengetahuan gizi, pendidikan IRT, ukuran RT, dukungan sosial, pendidikan KRT b. Dependent Variable: Pengeluaran perkapita Coefficientsa Model 1 (Constant) pendidikan IRT pendidikan KRT ukuran RT dukungan sosial pengetahuan gizi Unstandardized Coefficients B Std. Error 243139.4 76319.452 -3380.852 5533.311 9545.285 5894.920 -22477.2 6846.370 5232.379 2652.902 -2600.099 7571.627 Standardized Coefficients Beta -.059 .160 -.316 .191 -.034 t 3.186 -.611 1.619 -3.283 1.972 -.343 a. Dependent Variable: Pengeluaran perkapita Lampiran 6 Hasil analisis jalur pendidikan KRT, ukuran RT, dukungan sosial, pengetahuan gizi, dan pengeluaran perkapita terhadap ketahanan pangan Model Summaryb Model 1 R R Square .394a .155 Adjusted R Square .111 Std. Error of the Estimate 93.516 a. Predictors: (Constant), pengetahuan gizi, Pengeluaran perkapita, dukungan sosial, pendidikan KRT, ukuran RT b. Dependent Variable: ketahanan pangan Sig. .002 .543 .109 .001 .051 .732 74 Coefficientsa Model 1 (Constant) pendidikan KRT ukuran RT Pengeluaran perkapita dukungan sosial pengetahuan gizi Unstandardized Coefficients B Std. Error 212.833 40.027 -6.616 3.279 -5.318 3.960 .000 .000 -2.567 1.472 .479 4.157 Standardized Coefficients Beta t 5.317 -2.018 -1.343 2.610 -1.745 .115 -.200 -.135 .265 -.169 .011 Sig. .000 .046 .182 .011 .084 .909 a. Dependent Variable: ketahanan pangan Lampiran 7 Hasil analisis jalur pengaruh langsung variabel sosial ekonomi terhadap ketahahan pangan Model Summaryb Model 1 R R Square .174a .030 Adjusted R Square .020 Std. Error of the Estimate 98.144 a. Predictors: (Constant), pendidikan KRT b. Dependent Variable: ketahanan pangan Coefficientsa Model 1 (Constant) pendidikan KRT Unstandardized Coefficients B Std. Error 170.092 19.184 -5.746 3.270 Standardized Coefficients Beta a. Dependent Variable: ketahanan pangan Model Summaryb Model 1 R R Square .244a .060 Adjusted R Square .050 a. Predictors: (Constant), ukuran RT b. Dependent Variable: ketahanan pangan Std. Error of the Estimate 96.638 -.174 t 8.866 -1.757 Sig. .000 .082 75 Coefficientsa Model 1 (Constant) ukuran RT Unstandardized Coefficients B Std. Error 190.908 22.067 -9.623 3.836 Standardized Coefficients Beta t 8.651 -2.509 -.244 Sig. .000 .014 a. Dependent Variable: ketahanan pangan Model Summaryb Model 1 R R Square .117a .014 Adjusted R Square .004 Std. Error of the Estimate 98.973 a. Predictors: (Constant), dukungan sosial b. Dependent Variable: ketahanan pangan Coefficientsa Model 1 (Constant) dukungan sosial Unstandardized Coefficients B Std. Error 175.241 30.661 -1.779 1.512 Standardized Coefficients Beta -.117 t 5.715 -1.176 Sig. .000 .242 t 9.877 -.281 Sig. .000 .780 a. Dependent Variable: ketahanan pangan Model Summaryb Model 1 R R Square .028a .001 Adjusted R Square -.009 Std. Error of the Estimate 99.623 a. Predictors: (Constant), pengetahuan gizi b. Dependent Variable: ketahanan pangan Coefficientsa Model 1 (Constant) pengetahuan gizi Unstandardized Coefficients B Std. Error 144.083 14.587 -1.209 4.306 a. Dependent Variable: ketahanan pangan Standardized Coefficients Beta -.028 76 Model Summaryb Model 1 R .255a R Square .065 Adjusted R Square .056 Std. Error of the Estimate 96.359 a. Predictors: (Constant), Pengeluaran perkapita b. Dependent Variable: ketahanan pangan Coefficientsa Model 1 (Constant) Pengeluaran perkapita Unstandardized Coefficients B Std. Error 105.148 16.701 .000 .000 a. Dependent Variable: ketahanan pangan Standardized Coefficients Beta .255 t 6.296 2.628 Sig. .000 .010