analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan

advertisement
ANALISIS JALUR FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA
DI KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN
EKA HERDIANA
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
ii
ABSTRACT
Eka Herdiana. Pathway Analysis Factors of Household Food Security in Lebak
District, Province Banten. Under direction of Ikeu Tanziha.
The objective of this research were to: 1) identificate household socio
economic characteristics and food acses, 2) analyze household consumption
level and household food security level, 3) analyze relation of socio economic
factors and household food security, 4) analyze impact of direct factors and
indirect factors to household food security. This research was conducted by using
cross sectional design. The location was in Pasindangan and Banjarsari Village,
Cileles and Warunggunung Subdistrict, Lebak Distric that chosen purposively
with concideration that farmer's household. The sample were 101 househholds.
The result of the research shows that almost all (62.4%) household were
household food security, household food insecurity in heavy level (7%),
household food insecurity in moderate level (5%), and household food insecure
(26%). factors that significantly relation with household food security were size of
household, own of land, and household expenditure per capita. Direct factor that
influence household food security was household expenditure expenditure per
capita. Indirect factors that influence household food security were size of
household – household expenditure per capita – household food security.
Keyword : Household food security, Pathway analysis.
iii
RINGKASAN
EKA HERDIANA. Analisis Jalur Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan
Pangan Rumahtangga Di Kabupaten Lebak, Banten. Dibimbing oleh IKEU
TANZIHA.
Ketahanan pangan merupakan hak asasi manusia (HAM). Setiap orang
berhak memperolah makanan yang layak dan sesuai dengan kebutuhannya.
Berkembangnya teknologi akibat perkembangan zaman, tidak hanya
memberikan dampak positif bagi dunia pangan, namun juga memiliki dampak
negatif, yakni meningkatnya angka kemiskinan yang secara bersamaan
menurunnya ketahanan pangan individu maupun keluarga. Menurut UU no. 7
tahun 1996 mengenai pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi
terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Jika kebutuhan konsumsi pangan tidak terpenuhi lagi maka akan menimbulkan
kerawanan pangan (food insecurity).
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga. Tujuan khusus penelitian ini
adalah: (1) mengidentifikasi faktor sosial ekonomi rumahtangga meliputi ukuran
rumahtangga, pendidikan kepala rumahtangga, kepemilikan lahan, akses pangan
rumahtangga (pengetahuan gizi ibu dan dukungan sosial), (2) menganalisis
tingkat konsumsi rumahtangga dan tingkat ketahanan pangan rumahtangga, (3)
menganalisis hubungan antara faktor sosial ekonomi rumahtangga dengan
tingkat ketahanan pangan rumahtangga, (4) menganalisis pengaruh faktor
langsung dan tidak langsung terhadap ketahanan pangan rumahtangga
menggunakan analisis jalur.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study, berlokasi di
Kabupaten Lebak Propinsi Banten, yang dilakukan pada bulan April sampai Mei
2009. Penarikan contoh dilakukan secara purposive, yaitu Contoh berjumlah 110
rumahtangga. Setelah dilakukan cleaning contoh yang terambil sebanyak 101
rumahtangga dengan kriteria (1) pekerjaan utama kepala rumahtangga sebagai
petani, (2) contoh mewakili populasi berdasarkan proporsi kepemilikan lahan,
yaitu petani tidak memiliki lahan, memiliki lahan kurang dari 5 000 m2, memiliki
lahan 5 000-10 000 m2, dan memiliki lebih dari 10 000 m2.
Data primer terdiri dari data karakteristik RT, sosial ekonomi RT, akses
pangan RT, dan konsumsi RT, sedangkan data sekunder berupa profile Desa
dan Kecamatan. Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis dengan
menggunakan program komputer Microsoft Excel dan SPSS 13,0 for Windows.
Analisis statistik yang dilakukan, yaitu analisis korelasi Pearson dan Spearman,
serta metode analisis jalur.
Umur kepala rumahtangga berkisar antara 25-85 tahun, sedangkan umur
ibu berkisar antara 20-75 tahun. Rata-rata kepala rumahtangga (57.4%) berumur
40-59 tahun (dewasa madya), sedangkan rata-rata umur ibu 46.5 persen
berumur 18 – 39 tahun (dewasa awal). Tingkat pendidikan kepala rumatangga
(73.3%) adalah tamat SD, begitupun dengan tingkat pendidikan ibu (69.3%)
adalah tamat SD. Pekerjaan tambahan kepala rumahtangga (26.7%) adalah
sebagai pedagang dan buruh. Sebanyak 36.6% contoh tidak memiliki lahan,
32.7% contoh memiliki luas lahan kurang dari 5 000 m2, 20.8% contoh memiliki
luas lahan 5 000-10 000 m2, dan terakhir hanya 9.9% contoh yang memiliki luas
lahan lebih dari 10 000 m2. Sebagian besar (61.5%) rumahtangga yang yang
rawan pangan berat adalah yang tidak memiliki lahan.
iv
Sebanyak 49.5 persen contoh merupakan rumahtangga kecil yang terdiri
dari 4 orang anggota rumahtangga. Sebanyak 29.7 persen contoh merupakan
rumahtangga sedang dan sisanya (20.8%) rumahtangga besar. Sebanyak 60.3
persen rumahtangga tahan pangan merupakan rumahtangga kecil, 57.1 persen
rumahtangga rawan pangan ringan merupakan rumahtangga kecil, 80 persen
rumahtangga rawan pangan sedang merupakan rumahtangga sedang, dan 38.5
persen rumahtangga rawan pangan berat merupakan rumahtangga sedang.
Pengeluaran perkapita rumahtangga contoh rata-rata sebesar Rp 254 241.
pengeluaran terkecil sebesar Rp 40 394 dan terbesar adalah sebesar Rp 1 140
028.
Sebagian besar (87.1%) contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi rendah,
8.9 persen memiliki tingkat pengetahuan gizi sedang dan sisanya (4%) memiliki
pengetahuan gizi tinggi. Lebih dari setengah contoh (56.4%) memiliki dukungan
sosial yang baik, sebanyak 22.8% contoh memiliki dukungan sosial yang buruk,
dan sisanya 20.8% contoh memiliki dukungan sosial sedang.
TKE rumahtangga menunjukkan 25.7 persen rumahtangga berada dalam
kategori defisit berat (<70%) dan 47.5 persen termasuk kategori lebih. TKP
rumahtangga yaitu sebanyak 35.6 persen rumahtangga berada dalam kategori
kurang dan 33.7 persen termasuk kategori lebih. TKCa rumahtangga yaitu 97
persen rumahtangga termasuk kategori defisit. TKFe rumahtangga yaitu
sebanyak 60.4 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit. TKVit A
rumahtangga yaitu sebanyak 97 persen rumahtangga berada dalam kategori
cukup. TKVit C rumahtangga yaitu sebanyak 71.3 persen rumahtangga berada
dalam kategori defisit.
Ketahanan pangan kualitatif menunjukkan sebanyak 5.0% rumahtangga
contoh mengalami kelaparan, 10.91% rumahtangga rawan pangan, dan
sebanyak 84.2% rumahtangga tahan pangan. Ketahanan pangan kuantitaif
menunjukkan lebih dari setengah (62.4%) contoh merupakan rumahtangga tahan
pangan, 26 persen contoh merupakan rumahtangga rawan pangan berat, 7
persen contoh merupakan rumahtangga rawan pangan ringan dan 5 persen
contoh merupakan rawan pangan sedang.
Berdasarkan analisis korelasi Spearman tidak terdapat hubungan yang
signifikan (r= -0.040, p>0.05) antara pendidikan KRT dengan ketahanan pangan
rumahtangga. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (r= 0.027, p>0.05) antara
pendidikan IRT dengan ketahanan pangan rumahtangga. Terdapat hubungan
negatif (r= -0.261, p<0.01) antara ukuran rumahtangga dengan ketahanan
pangan rumahtangga. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (r= 0.077 dan
p>0.05) antara pengetahuan gizi ibu dengan ketahanan pangan rumahtangga.
Tidak terdapat hubungan yang signifikan (r = - 0.035, p>0.05) antara dukungan
sosial dengan ketahanan pangan rumahtangga. Analisis korelasi Pearson
menunjukkan hubungan (r= 0.255, p<0.05) antara pengeluaran rumahtangga
dengan ketahanan pangan rumahtangga.
Berdasarkan hasil analisis jalur, pengaruh langsung terbesar terhadap
ketahanan pangan rumahtangga adalah pengeluaran rumahtangga (R-square =
0.065, p<0.05). Jalur yang paling berpengaruh terhadap ketahanan pangan
rumahtangga adalah jalur 9 yaitu dimulai dari ukuran rumahtangga-pengeluaran
rumahtangga-ketahanan pangan rumahtangga.
v
ANALISIS JALUR FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA
DI KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN
EKA HERDIANA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
vi
Judul Skripsi : Analisis Jalur Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan
Pangan Rumahtangga di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Nama
: Eka Herdiana
Nrp
: I14053564
Disetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS.
NIP. 1961 1210 198603 2 002
Diketahui,
Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS
NIP. 1962 1204 198903 2 002
Tanggal Lulus :
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara, puteri
pasangan Bapak Hanafi Moh. Bakri dan Ibu Hartuti. Penulis dilahirkan di Kota
Jakarta pada tanggal 28 Januari 1988. Pendidikan sekolah dasar penulis
ditempuh pada tahun 1993 sampai 1999 di SD Negeri Selong 03 dan pada tahun
1999 sampai 2002 di SMP Negeri 13 Jakarta. Pada tahun 2002 sampai 2005
penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 46 Jakarta.
Pada tahun 2005, melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru
(SPMB) penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor. Penulis
diterima sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2006 melalui jalur mayor minor. Selama
menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam komunitas Tari Saman BUNGONG
PUTEH (2005-2009) dan tercatat sebagai staf divisi Klub Peduli Pangan dan Gizi
(KPPG) HIMAGIZI periode 2007/2008.
Penulis pernah menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Ekologi Pangan
dan Gizi pada tahun ajaran 2009/2010. Pada tahun 2008 penulis melaksanakan
Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kelurahan Pengasinan dan Sawangan Baru,
Depok, Jawa Barat. Pada bulan Februari 2009 penulis juga melaksanakan
Internship Dietetik di Rumah Sakit Kanker Dharmais.
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya
dan melimpahkan kasih sayang serta kekuatan, sehingga penyusunan skripsi ini
dapat terselesaikan dengan baik. Penulisan skripsi yang berjudul “Analis Jalur
Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi
Ketahanan
Pangan
Rumahtangga
di
Kabupaten Lebak Banten” dilakukan sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Gizi pada Departeman Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan
penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan
arahan, masukan, kritikan, dan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. drh. M. Rizal Damanik M, Mrep.Sc, PhD selaku dosen pemandu seminar dan
dosen penguji skripsi atas saran yang diberikan.
3. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah
membimbing penulis dalam pengisian Kartu Rencana Studi selama kuliah.
4. Retno Ambarwati, Mega Pramudita, Rizky Rizliana Mangkoeto dan Aci Debby
Oktora selaku pembahas seminar.
5. Seluruh pihak di Desa Pasindangan dan Desa Banjarsari yang telah
memberikan ijin untuk melakukan penelitian dan telah bersedia diwawancarai
serta telah membantu kelancaran penelitian.
6. Bapak, Mama, dan Kakak-kakakku tercinta terimakasih atas do’a, nasehat,
semangat dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini.
7. Sahabat-sahabatku (Arha, Tyas, 9 Naga, Eno, Mega, Adhis, Laras, Ivah, Aini
Aqsa, tim “badut”, Yoshinta dan tim basket FEMA) terima kasih atas
kebersamaan, canda tawa dan dukungannya. Semoga kebersamaan ini tetap
terjaga.
8. Oktora Trianggana atas doa, semangat dan kesetiaannya menemani selama
penyusunan tulisan ini, terima kasih juga kepada “es teh manis” atas
kehangatan, pencerahan dan motivasi yang tak terduga.
9. Teman-temanku Dietista 42 terima kasih atas kebersamaan dan cerita-cerita
indah selama tiga tahun. Terimakasih juga kepada Poppy untuk kursus kilat
SPSSnya. Risma Ariefiani yang bersedia diminta waktunya untuk keliling IPB.
Love you all!
ix
10. Angkatan 43, 44 dan 45, Pak Ugan serta Pak Karya serta semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu kelancaran
penyelesaian penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya,
khususnya dalam pengembangan program ketahanan pangan. Wasamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.
Bogor, September 2009
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ...................................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
x
DAFTAR TABEL.............................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
xiii
PENDAHULUAN
Latar Belakang .....................................................................................
1
Tujuan ..................................................................................................
3
Hipotesis ...............................................................................................
3
Kegunaan .............................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA
Petani....................................................................................................
4
Rumahtangga Petani ............................................................................
4
Ketahanan Pangan dan Pertanian ........................................................
4
Ketahanan Pangan ...............................................................................
5
Ketahanan Pangan Rumahtangga ..................................................
7
Pengukuran Ketahanan Pangan .....................................................
8
Pengukuran Kelaparan....................................................................
9
Karakteristik Rumahtangga serta Hubungannya dengan Ketahanan
Pangan ..................................................................................................
11
Ukuran Rumahtangga .....................................................................
11
Pendidikan.......................................................................................
11
Pengeluaran Rumahtangga.............................................................
11
Pengambilan Keputusan Rumahtangga..........................................
12
Akses Pangan .......................................................................................
14
Akses Fisik ......................................................................................
15
Akses Ekonomi ................................................................................
15
Akses Sosial ....................................................................................
16
Dukungan Sosial ....................................................................
16
Pengetahuan Gizi ...................................................................
17
Konsumsi Pangan .................................................................................
17
Penilaian Konsumsi Pangan..................................................................
18
Analisis Jalur .........................................................................................
20
KERANGKA PEMIKIRAN...............................................................................
21
xi
METODOLOGI ...............................................................................................
24
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian.................................................
24
Cara Penarikan Contoh ........................................................................
24
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ......................................................
24
Pengolahan dan Analisis Data ..............................................................
25
DEFINISI OPERASIONAL .............................................................................
29
HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................................................
30
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ....................................................
30
Desa Pasindangan .......................................................................
30
Desa Banjarsari ............................................................................
33
Karakteristik Sosial Ekonomi Rumahtangga .........................................
36
Umur .............................................................................................
36
Pendidikan ....................................................................................
38
Pekerjaan .....................................................................................
41
Komposisi Anggota Rumahtangga ...............................................
42
Kontrol Keuangan .........................................................................
42
Ukuran Rumahtangga...................................................................
44
Kepemilikan Luas Lahan ..............................................................
45
Akses Pangan .......................................................................................
47
Akses Fisik....................................................................................
47
Akses Ekonomi .............................................................................
47
Akses Sosial .................................................................................
49
Dukungan Sosial..................................................................
49
Pengetahuan Gizi ................................................................
52
Konsumsi...............................................................................................
54
Ketahanan Pangan................................................................................
57
Analisis Jalur .........................................................................................
60
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ...........................................................................................
63
Saran ....................................................................................................
64
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
66
LAMPIRAN .....................................................................................................
70
xii
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan dan Gizi (RAN PG 2006-2011).....
6
2. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan ......................................................
7
3. Kerangka Pemikiran Analisis Jalur Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Ketahanan Pangan Rumahtangga di Kabupaten Lebak Banten..............
23
4. Model Analisis Jalur Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan
Pangan Rumahtangga .............................................................................
28
5. Diagram Jalur Analisis Jalur Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Ketahanan Pangan Rumahtangga ...........................................................
60
xiii
DAFTAR TABEL
1. Jenis dan Cara Pengumpulan Data ........................................................
25
2. Pengkategorian Variabel Penelitian .........................................................
27
3. Pemanfaatan Lahan Desa Pasindangan..................................................
31
4. Tingkat Pendidikan Penduduk..................................................................
32
5. Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Pasindangan .......................................
32
6. Prasarana Pendidikan Desa Pasindangan...............................................
33
7. Prasarana Kesehatan Desa Pasindangan ...............................................
33
8. Pemanfaatan Lahan Desa Banjarsari ......................................................
34
9. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Banjarsari .......................................
35
10. Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Banjarsari ............................................
35
11. Klasifikasi Umur KRT................................................................................
36
12. Sebaran Rumahtangga berdasarkan Ketahanan Pangan dan Umur
KRT ..........................................................................................................
37
13. Klasifikasi Umur IRT .................................................................................
38
14. Klasifikasi Pendidikan ART.......................................................................
39
15. Klasifikasi Pendidikan KRT.......................................................................
39
16. Klasifikasi Pendidikan IRT ........................................................................
40
17. Klasifikasi Pekerjaan KRT ........................................................................
41
18. Klasifikasi Komposisi ART........................................................................
42
19. Sebaran Rumahtangga menurut Kontrol Keuangan Desa Pasindangan .
43
20. Sebaran Rumahtangga menurut Kontrol Keuangan Desa Banjarsari......
43
21. Klasifikasi Ukuran Rumahtangga .............................................................
44
22. Sebaran Rumahtangga berdasarkan Ketahanan Pangan dan Ukuran
Rumahtangga...........................................................................................
44
23. Klasifikasi Kepemilikan Luas Lahan .........................................................
45
24. Sebaran Rumahtangga berdasarkan Kepemilikan Luas Lahan dan
Ketahanan Pangan...................................................................................
46
25. Klasifikasi Kemiskinan berdasarkan Pengeluaran Perkapita ...................
48
26. Klasifikasi Tingkat Dukungan Sosial.........................................................
50
27. Sebaran Dukungan Sosial........................................................................
50
28. Klasifikasi Pengetahuan Gizi ....................................................................
53
29. Sebaran Rumahtangga berdasarkan Tingkat Pengetahuan Gizi dan
Ketahanan Pangan...................................................................................
53
30. Tingkat Kecukupan Energi dan Protein ....................................................
54
xiv
31. Tingkat Kecukupan Mineral dan Vitamin ..................................................
55
32. Pola Pangan Harapan Kabupaten Lebak berdasarkan Data Konsumsi...
57
33. Status Ketahanan Pangan Rumahtangga berdasarkan Pengukuran
Kualitatif....................................................................................................
58
34. Status Ketahanan Pangan Rumahtangga berdasarkan Pengukuran
Kuantitatif .................................................................................................
58
35. Sebaran Rumahtangga menurut Validitas Kelaparan ..............................
59
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil Analisis Korelasi Spearman Variabel Karakteristik Sosial-Ekonomi
dan Akses Pangan dengan Tingkat Ketahanan Pangan..........................
71
2. Hasil Analisis Korelasi Pearson Variabel Pengeluaran Perkapita dengan
Ketahanan Pangan...................................................................................
71
3. Hasil Analisis Jalur Pendidikan KRT dan IRT terhadap Dukungan Sosial
72
4. Hasil Analisis Jalur Pendidikan IRT terhadap Pengetahuan Gizi IRT ......
72
5. Hasil Analisis Jalur Pendidikan KRT dan IRT, Ukuran RT, Dukungan
Sosial, dan Pengetahuan Gizi terhadap Pengeluaran Perkapita .............
73
6. Hasil Analisis Jalur Pendidikan KRT, Ukuran RT, Dukungan Sosial,
Pengetahuan Gizi, dan Pengeluaran Perkapita terhadap Ketahanan
Pangan .....................................................................................................
73
7. .................................................................................................................... H
asil Analisis Jalur Pengaruh Langsung Variabel Sosial Ekonomi
terhadap Ketahanan Pangan ...................................................................
74
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketahanan pangan merupakan hak asasi manusia (HAM). Setiap orang
berhak memperolah makanan yang layak dan sesuai dengan kebutuhannya.
Berkembangnya
tekhnologi
akibat
perkembangan
zaman,
tidak
hanya
memberikan dampak positif bagi dunia pangan, namun juga memiliki dampak
negatif, yakni meningkatnya angka kemiskinan yang secara bersamaan
menurunnya ketahanan pangan individu maupun keluarga.
Kemiskinan yang dialami masyarakat akan memberikan dampak buruk
salah satunya pada masalah pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan yang
masih kurang. Menurut UU no. 7 tahun 1996 mengenai pangan, ketahanan
pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman,
merata dan terjangkau. Jika kebutuhan konsumsi pangan tidak terpenuhi lagi
maka akan menimbulkan kerawanan pangan (food insecurity). Keadaan ini pada
akhirnya akan mempengaruhi status gizi masyarakat.
Berdasarkan hasil perhitungan FAO (2005), di Indonesia terdapat sekitar
6% penduduk yang menderita kelaparan yaitu sekitar 12 juta 600 ribu orang
penduduk indonesia menderita kelaparan. Berdasarkan hasil penelitian Tanziha
(2005) di empat kabupaten yaitu di Kabupaten Karawang, Garut, Pandeglang
dan Kota Bogor menunjukkan bahwa ada 9.3% rumahtangga menderita
kelaparan. Hardinsyah (2001) mengungkapkan bahwa tiga dari 10 anak balita
Indonesia mengalami gizi kurang (KEP), tiga dari sepuluh wanita hamil
mengalami kurang energi kronik (KEK), enam dari 10 keluarga berpotensi
mengalami rawan pangan (food insecurity) karena tidak mampu memenuhi dua
pertiga dari kebutuhan pangannya.
Diperkirakan rumah tangga yang mangalami kelaparan akan meningkat
dengan berbagai sebab yang diakibatkan oleh keadaan sosial ekonomi
masyarakat, seperti krisis global yang berdampak pada berkurangnya lapangan
pekerjaan akibat kurangnya modal atau bangkrutnya usaha kecil dan menengah
sehingga menurunnya pendapatan dan meningkatnya angka pengangguran.
Lebih lanjut keadaan ini akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan pangan
masyarakat dan akhirnya dapat menyebabkan kerawanan pangan keluarga.
Berdasarkan hasil penelitian Tanziha (2005), pada aras mikro hasil
penelitian menunjukkan bahwa determinan utama kelaparan adalah kemiskinan,
2
dan determinan lingkungannya adalah rendahnya kepedulian dari masyarakat
setempat, serta sangat kurangnya atau bahkan tidak ada kelembagaan
ketahanan pangan ditingkat masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ada 43% keluarga yang tergolong kelaparan tidak mendapat bantuan dari
masyarakat setempat saat kekurangan pangan. Keadaan ini perlu mendapatkan
perhatian yang lebih dari berbagai pihak untuk mengetahui dan memahami
faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga. Oleh karena
itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hal tersebut.
Selanjutnya dapat diketahui faktor apa yang paling berpengaruh terhadap
ketahanan pangan. Dengan demikian dapat difokuskan usaha-usaha berupa
kebijakan ataupun program pemerintah terkait dengan ketahanan pangan
keluarga sebagai upaya perwujudan ketahanan pangan di Indonesia sehingga
tercapai kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
3
Tujuan
Tujuan Umum
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penellitian ini adalah untuk :
1. mengidentifikasi
faktor
sosial
ekonomi
rumahtangga
meliputi
ukuran
rumahtangga, pendidikan kepala dan ibu rumahtangga, kepemilikan lahan
dan akses pangan rumahtangga.
2. menganalisis tingkat konsumsi rumahtangga dan tingkat ketahanan pangan
rumahtangga.
3. menganalisis hubungan antara faktor sosial ekonomi rumahtangga dengan
tingkat ketahanan pangan rumahtangga.
4. Menganalisis pengaruh faktor langsung dan tidak langsung terhadap
ketahanan pangan rumahtangga.
Hipotesis
Faktor sosial ekonomi dan tingkat konsumsi rumahtangga tidak
berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumahtangga.
Kegunaan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemerintah
daerah khususnya pihak yang berwenang dalam upaya perwujudan ketahanan
pangan. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam
perencanaan kebijakan terkait dengan program pangan dan gizi sebagai upaya
pencapaian kesejahteraan masyarakat sehingga dapat mewujudkan ketahanan
pangan rumahtangga khususnya di Kabupaten Lebak Propinsi Banten.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Petani
Petani adalah seseorang yang bergerak di bidang bisnis pertanian
utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk
menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi, bunga, buah dan lain
lain), dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk di
gunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain. Mereka juga dapat
menyediakan bahan mentah bagi industri, seperti serealia untuk minuman
beralkohol, buah untuk jus, dan wol atau flax untuk penenunan dan pembuatanpakaian (Anonim 2009).
Kurtz dalam sajogyo (2002) dalam Kartika (2005) mendefinisikan petani
sebagai pengolah tanah di pedesaan. Di Indonesia, kelompok masyarakat ini
adalah salah satu kelompok masyarakat yang rata-rata berada dibawah garis
kemiskinan. Dengan luasan lahan dan pendapatan rata-rata yang relatif kecil
dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Penguasaan lahan pertanian
didefinisikan oleh BPS (1996) sebagai lahan milik sendiri ditambah lahan yang
berasal dari pihak lain, dikurangi lahan yang berada di pihak lain yang pernah
dan sedang diusahakan untuk pertanian selama setahun terakhir.
Rumahtangga Petani
Rumahtangga petani adalah rumahtangga yang salah satu anggotanya
melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan,
beternak ikan, nelayan, melakukan perburuan, atau penagkapan satwa liar atau
beternak atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau
seluruh hasilnya untuk dijual atau memperoleh pendapatan atau keuntungan
atas resiko sendiri (BPS 1996 dalam Kartika 2005).
Ketahanan Pangan dan Pertanian
Menurut Soetrisno (2002), pada era globalisasi ini merupakan abad yang
tidak akan memberikan banyak harapan bagi para petani di Negara-negara
berkembang, termasuk petani-petani Indonesia yang kebanyakan adalah petani
subsisten. Salah satu masalah yang sangat penting yang akan dihadapi oleh
para petani di negara-negara berkembang adalah bagaimana mempertahankan
kemampuan mereka untuk menjamin ketahanan pangan bagi mereka sendiri dan
bangsa mereka. Jika para petani tidak mampu mempertahankan ketahanan
pangan, berarti negara harus menggantungkan kebutuhan pangan pada
5
perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak dalam sektor produksi
pangan.
Berdasarkan data BPS mengenai sumber penghasilan utama dari rumah
tangga menurut kategori miskin dan tidak miskin adalah yang memiliki
matapencaharian di sektor pertanian. Sebagian besar rumah tangga miskin
mempunyai pekerjaan utama sebagai petani atau buruh tani, sedangkan sumber
penghasilan rumah tangga tidak miskin dari sektor jasa (Tambunan
2003).
Dengan demikian ketahanan pangan petani masih belum dapat terwujud karena
mereka masih berada pada lingkaran kemiskinan.
Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan merupakan kondisi tersedianya pangan yang
memenuhi kebutuhan setiap orang setiap saat untuk dapat hidup sehat, aktif dan
produktif. Makna yang terkandung dalam ketahanan pangan mencakup dimensi
fisik (ketersediaan), ekonomi (daya beli), gizi (pemenuhan kebutuhan gizi
individu), nilai budaya dan religius, keamanan pangan (kesehatan), dan waktu
(tersedia secara berkesinambungan) (Martianto & Hardinsyah 2001). Maxwell
1990, diacu dalam Manesa 2009, menyatakan bahwa ketahanan pangan secara
mendasar didefinisikan sebagai akses semua orang pada setiap waktu terhadap
kebutuhan pangan agar dapat hidup sehat. Dari berbagai konsep ketahanan
pangan tersebut dapat diartikan bahwa ketahanan pangan rumahtangga
disamping faktor ketersediaan dan daya beli juga ditentukan oleh faktor akses
pangan itu sendiri baik diperoleh secara langsung maupun melalui jaringan
lainnya.
Menurut Tim Penelitian-LIPI (2004), berdasarkan definisi ketahanan
pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi
dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi
ketahanan pangan yaitu: 1) kecukupan ketersediaan pangan; 2) stabilitas
ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke
tahun;
3)
aksesibilitas/keterjangkauan
terhadap
pangan
serta
4)
kualitas/keamanan pangan. Keempat komponen tersebut dapat digunakan untuk
mengukur ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Ketahanan pangan sendiri
menurut UU no. 7 tahun 1996 mengenai pangan, merupakan kondisi
terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau.
6
Sistem ketahanan pangan dan gizi secara komprehensif meliputi empat
subsistem, yaitu: (1) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup
untuk seluruh penduduk, (2) distribusi pangan yang lancar dan merata, (3)
konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang,
yang berdampak pada (4) status gizi masyarakat (Gambar 1). Dengan demikian,
sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal produksi,
distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi
juga menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan
individu serta status gizi anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil
dari rumah tangga miskin (RAN PG 2006-2010).
Gambar 1 Kerangka Sistem Ketahanan Pangan dan Gizi (RAN PG 2006-2011)
Suryana (2003) menyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu
sistem ekonomi pangan yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem.
Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan
konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergis dan
interaksi dari ketiga subsistem tersebut. Ketiga subsistem tersebut merupakan
satu kesatuan yang didukung oleh adanya berbagai input sumberdaya alam,
kelembagaan, budaya dan teknologi. Proses pembangunan ketahanan pangan
akan berjalan dengan efisien apabila ada partisipasi masyarakat dan fasilitasi
7
pemerintah (DBKP 2001). Ketahanan pangan sebagai suatu sistem dapat dilihat
pada Gambar 2.
Partisipasi Masyarakat:
-Produsen pertanian
-Industri pengolahan
-Pedagang
-Jasa pelayanan
Ketersedia
an:
Input:
SDA,
kelembagaan
, budaya dan
teknologi
Mencakup
produksi,
cadangan
dan impor
Distribusi:
Konsumsi:
Akses fisik
dan
ekonomi
antar
wilayah
Mencakup
kecukupan,
keragaman,
mutu gizi,
keamanan
Output:
pemenuhan
HAM,
pengembang
an SDM
Partisipasi Pemerintah:
-kebijakan ekonomi makro
-kebijakan perdagangan dalam negeri dan
internasional
-pelayanan/fasilitas
Gambar 2 Kerangka Sistem Ketahanan Pangan (Suryana 2003)
Ketahanan pangan rumahtangga
Menurut Internasional Congres of Nutrition (ICN) di Roma tahun 1992,
ketahanan pangan rumahtangga adalah kemampuan rumahtangga untuk
memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup
sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Definisi tersebut diperluas
dengan menambahkan persyaratan “harus diterima oleh budaya setempat”, hal
ini disampaikan dalam sidang Committee on World Food Security tahun 1995
(Adi 1998). Terdapat empat cara yang dapat dilakukan untuk mengukur
ketahanan pangan rumahtangga yaitu berdasarkan asupan individual (melalui
8
recall 24 jam), household caloric acquisition, keragaman asupan harian, dan
melalui food coping strategy (Hoddinott 1999).
Terdapat dua tipe ketidaktahanan pangan dalam rumahtangga yaitu
kronis dan transitory. Ketidaktahanan pangan kronis sifatnya menetap,
merupakan ketidakcukupan pangan secara menetap akibat ketidakmampuan
rumahtangga dalam memperoleh pangan biasanya kondisi ini diakibatkan oleh
kemiskinan. Ketidaktahanan pangan transitory adalah penurunan akses terhadap
pangan yang sifatnya sementara, biasanya disebabkan oleh bencana alam yang
berakibat pada ketidakstabilan harga pangan, produksi, dan pendapatan
(Setiawan 2004 dalam Kartika 2005).
Selain konsumsi pangan, informasi mengenai status ekonomi, sosial dan
demografi
seperti
pendapatan,
pendidikan,
struktur
anggota
keluarga,
pengeluaran pangan dan sebagainya dapat digunakan sebagai indikator risiko
terhadap ketidaktahanan pangan rumahtangga (Khomsan 2002b).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suandi (2007), ketahanan pangan
rumahtangga sangat dipengaruhi oleh modal sosial yang ada di masyarakat
yakni terkait dengan interaksi sosial yang dilakukan oleh anggota keluarga.
Dengan kata lain dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat intensitas anggota
rumahtangga dalam berinteraksi sosial maka ketahanann rumahtangga semakin
kuat. Hal ini karena modal sosial terkait dengan akses sosial pangan.
Pengukuran Ketahanan Pangan
Pengukuran ketahanan pangan secara kuantitatif menurut FAO (2003)
dalam Tanziha (2005) dapat diukur melalui tingkat ketidakcukupan energi yang
menunjukkan keparahan defisit energi yang ditunjukkan oleh defisit jumlah kalori
pada seseorang individu dibawah energi yang dianjurkan (<70%). Berdasarkan
ukuran tersebut, akan dikatakan kelaparan apabila tingkat kecukupan energinya
kurang dari 70% dan disertai dengan penurunan berat badan, dikatakan rawan
pangan tingkat berat apabila tingkat kecukupan energinya kurang dari 70% dan
tidak disertai penurunan berat badan, bila tingkat kecukupan energinya 70-80%
maka dikatakan rawan pangan sedang, bils tingkat kecukupan energi 81 – 90%
maka dikatakan rawan pangan ringan, dan bila tingkat kecukupan energi lebih
dari 90% maka dikatakan tahan pangan.
Kemiskinan identik dengan ketidaktahanan pangan. Sajogyo secara
monumental merumuskan batas kemiskinan dengan pengeluaran setara beras
320 kg/kapita/tahun di pedesaan 480 kg diperkotaan. khomsan (1997) dalam
9
Khomsan (2002c) mengkaji indikator kemiskinan, ditemukan bahwa konsumsi
daging sapi <4 kali sebulan dan konsumsi telur <4 kali seminggu dapat
dimasukkan dalam kategori miskin. Dengan ikan asin sebagai indikator,
seseorang dikatakan miskin bila konsumsinya >= 110gr/kapita/minggu. Semakin
banyak mengkonsumsi ikan asin semakin besar peluangnya untuk masuk ke
dalam kategori sebagai orang miskin. Rupanya secara sosial ikan asin dianggap
oleh masyarakat sebagai komoditas inferior. Padahal dari segi gizi, ikan asin
sebenarnya superior karena kandungan proteinnya sekitar 35-40%.
Pengukuran kelaparan
Kelaparan dapat diukur secara kuantitatif maupun kualitatif. Smith (2003)
mengemukakan metode dan ukuran untuk menilai kekurangan pangan pada
tingkat rumahtangga maupun individu, melalui 4 jenis keadaan, yang dapat
diukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Keadaan tersebut adalah: 1)
ketidakcukupan energi rumahtangga, 2) tingkat ketidakcukupan energi, 3)
keanekaragaman makanan (dietary diversity), dan 4) persen pengeluaran untuk
makanan (% food expenditure). FAO (2002) memakai 4 jenis kondisi yang
hampir sama untuk menilai kelaparan baik pada tingkat rumahtangga maupun
individu yaitu; 1) Ketersediaan pangan (Dietary Energy Supply), 2) Konsumsi
Energi, 3) Status Gizi Secara anthropometri dan 4) Persen pengeluaran untuk
makanan (% Food Expenditure).
Di Indonesia, melalui lokakarya Perumusan Indikator Kelaparan pada
bulan November 2002 dan telah disempurnakan melalui penelitian uji coba
instrument kelaparan tersebut pada tahun 2004, maka disepakati ada 10
pertanyaan yang mencerminkan perubahan jumlah dan frekuensi makan serta
perubahan berat badan yang diteliti selama 2 bulan terakhir. Adapun
pertanyaannnya adalah:
1. Dalam setahun terakhir, berapa kali sehari biasanya saudara makan?.....
kali
2. Dalam dua bulan terakhir berapa kali sehari biasanya saudara makan? .....
kali
3. Bila berkurangmenurun (Isian R.2 < R.1), mengapa?
1. Sakit/ Nafsu makan berkurang
2. Diet
3. Tidak sempat/sibuk
4. Puasa
5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang
6. Jatah berkurang
7. Lainnya
10
4. Dalam dua bulan terakhir, apakah jumlah/porsi makan semakin berkurang
dibanding biasanya?
1. Ya
2. Tidak ( Bila R.4 =2, Langsung ke R.6
5. Bila “ya” mengapa?
1. Sakit/ Nafsu makan berkurang
2. Diet
3. Tidak sempat/sibuk
4. Puasa
5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang
6. Jatah berkurang
7. Lainnya
6. Dalam dua bulan terakhir, apakah berat badan saudara semakin
berkurang/kurus (pakaian/celana semakin longgar)?
1. Ya
2. Tidak
7. Bila “ya” (R.6=1), mengapa?
1. Sakit/ Nafsu makan berkurang
2. Diet
3. Tidak sempat/sibuk
4. Puasa
5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang
6. Jatah berkurang
7. Lainnya
8. Menurut anda ukuran tubuh responden yang diamati tergolon
1. Gemuk 2. Normal (biasa)
3. Kurus/ kurang gizi
9. Jika tergolong kurus, tanyakan sejak berapa lama mempunyai ukuran
tubuh sedemikian? ....... bulan
10. Jika tergolong kurus, tanyakan kepada responden kemungkinan penyebab
utamanya.
1) Sakit kronis
2) Kurang makan/tidakmampu beli makanan
3) Lainnya (...................)
Berdasarkan pertanyaan diatas, seorang individu dikatakan lapar apabila
terjadi penurunan frekuensi atau penurunan porsi disertai penurunan berat
badan. Dikatakan rawan pangan apabila hanya terjadi penurunan frekuensi atau
porsi makan, serta dikatakan Tahan pangan apabila tidak terjadi penurunan baik
frekuensi maupun porsi konsumsi, karena alasan ekonomi atau ketersediaan.
11
Karakteristik Rumahtangga serta Hubungannnya dengan Ketahanan
Pangan
Ukuran rumahtangga
Ukuran rumahtangga akan mempengaruhi pendapatan per kapita dan
pengeluaran untuk konsumsi pangan. Rumahtangga dengan banyak anak dan
jarak kelahiran antar anak yang sangat dekat akan menimbulkan lebih banyak
masalah. Pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak akan cukup
untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota rumahtangga tersebut tetapi hanya
mencukupi sebagian dari anggota rumahtangga itu (Martianto & Ariani 2004).
Dalam penelitian Prabawa (1998) diungkapkan bahwa setinggi apapun
tingkat pendapatan yang diperoleh seorang kepala rumahtangga dalam
rumahtangganya, pada akhirnya kesejahteraan mereka akan ditentukan oleh
pendapatan per kapita. Besarnya pendapatan per kapita selain ditentukan oleh
total pendapatan yang diterima, juga oleh seluruh anggota rumahtangga yang
bersangkutan. Tidak semua anggota rumahtangga dalam rumahtangga bekerja
produktif sehingga dapat memperbesar beban ketergantungan. Banyaknya
jumlah anggota rumahtangga akan mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan
per kapita dan besarnya konsumsi keluarga. Selain itu, Hartog, Staveren, dan
Brouwer
(1995)
juga
menyatakan
bahwa
besar
rumahtangga
akan
mempengaruhi kebiasaan makan dan gizi, khususnya pada rumah tangga miskin
yang bergantung pada pendapatan tunai untuk membeli bahan pangan. Oleh
karena itu jumlah anggota rumahtangga atau ukuran rumahtangga akan memberi
dorongan bagi rumahtangga bersangkutan untuk lebih banyak menggali sumber
pendapatan lainnya.
Pendidikan
Hasil
penelitian
Megawangi
(1994)
membuktikan
bahwa
tingkat
pendapatan dan pendidikan suami berhubungan nyata dan positif terhadap
kebiasaan merencanakan anggaran biaya. Dengan demikian, rumahtangga yang
dikepalai oleh seseorang dengan tingkat pendidikan rendah cenderung lebih
miskin dibandingkan dengan rumahtangga yang dikepalai oleh mereka yang
berpendidikan tinggi.
Pengeluaran Rumahtangga
Pengeluaran rumahtangga dibagi menjadi dua, yaitu pengeluaran pangan
dan pengeluaran nonpangan. Kartika (2005) mendefinisikan pengeluaran pangan
adalah jumlah uang yang akan dibelanjakan untuk konsumsi pangan, sedangkan
12
pengeluaran nonpangan adalah jumlah uang yang dibelanjakan untuk keperluan
selain pangan seperti pendidikan, listrik, air, komunikasi, transportasi, tabungan,
biaya produksi pertanian dan kebutuhan nonpangan lainnya.
Menurut Tanziha (1992) dalam Kartika (2005) bahwa secara naluri
individu, seseorang akan terlebih dahulu memanfaatkan setiap penghasilan bagi
kebutuhan dasarnya berupa pangan. Jika kebutuhan dasarnya tersebut telah
terpenuhi, maka tiap kelebihan penghasilannya dialokasikan untuk nonpangan.
Menurut Azwar (2004) dalam Kartika (2005), proporsi pengeluaran
pangan
dapat
digunakan
sebagai
indikator
untuk
menentukan
tingkat
pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan. Semakin tinggi proporsi pengeluaran
pangan berarti tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan rumahtangga
semakin rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Hildawati (2008) pada kelompok nelayan,
pengeluaran rumahtangga per kapita per bulan mempengaruhi tingkat konsumsi
energi dan protein rumahtangga nelayan. Rumahtangga yang memiliki
pengeluaran per kapita per bulan lebih tinggi mempunyai peluang 6,1 kali lebih
tinggi tingkat konsumsi energinya dan 8,3 kali lebih tinggi tingkat konsumsi
proteinnya dibandingkan dengan rumahtangga yang tingkat pengeluaran per
kapita per bulannya lebih rendah.
Pengambilan Keputusan Rumahtangga
Pengambilan keputusan adalah suatu proses menetapkan suatu
keputusan yang terbaik, logis, rasional, dan ideal, berdasarkan fakta, data, dan
informasi dari sejumlah alternatif untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan dengan resiko terkecil, efektif, dan efisien, yang akan dilaksanakan
pada masa yang akan datang (Guhardja, dkk 1992).
Hasil penelitian Blood dan Wolfe (1960) diacu dalam Puspa (2007)
menyatakan bahwa suami atau istri yang pendidikan formalnya lebih tinggi akan
mendominasi pengambilan keputusan. Namun menurut Sajogyo (1983),
pendidikan bukan merupakan satu-satunya sumberdaya pribadi yang paling
berpengaruh pada kekuasaan. Dikatakan bahwa istri yang mengenyam
pendidikan formal lebih rendah dari suami, tetapi mempunyai pengalaman yang
dapat memperkaya pribadinya, mempunyai kekuasaan yang setara dengan
suami, dan bila perlu istri tersebut mampu untuk mengambil keputusan tertentu.
Melalui pengalaman (terutama yang diperoleh dari luar rumah) istri akan
berinteraksi dengan nilai-nilai baru yang pada akhirnya akan menambah
13
pengetahuannya. Istri yang pendidikannya rendah dan tidak mempunyai
sumberdaya
pribadi
lain
(selain
pendidikan)
maka
kekuasaan
dalam
rumahtangga biasanya akan didominasi oleh suaminya.
Goode (1996) diacu dalam Puspa (2007) menyatakan bahwa keadaan
atau kondisi di luar diri pribadilah yang mempengaruhi pengambilan keputusan
dalam rumahtangga. Dikatakan faktor-faktor yang mempengaruhi peranan wanita
dalam proses pengambilan keputusan di rumahtangga dan masyarakat adalah
perkawinan dan pewarisan. Pada umumnya peranan wanita yang normal adalah
sebagai “istri” dan lebih lanjut biasanya seorang istri lebih muda dan lebih rendah
pendidikannya daripada suami. Dengan demikian karena suami dianggap lebih
tua, secara tidak langsung mempengaruhi istri pada proses pengambilan
keputusan.
Menurut
Sajogyo
(1983)
tingkat keputusan
dihubungkan
dengan
pengeluaran dalam kebutuhan pokok yang terdiri dari: (1) makanan (biaya hidup,
jenis atau menu makanan, distribusi), (2) perumahan (pembelian dan perbaikan),
pakaian, pendidikan, kesehatan, dan perabot rumahtangga. Sedangkan untuk
jenis keputusan rumahtangga, dikelompokkan dalam lima tingkatan yaitu: (1)
keputusan dibuat oleh istri seorang diri tanpa melibatkan suami, (2) keputusan
dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh yang lebih besar dari
istri, (3) keputusan dibuat bersama dan senilai oleh suami-istri (dengan tidak ada
tanda-tanda bahwa salah satu mempunyai pengaruh yang relatif lebih besar), (4)
keputusan dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh yang lebih
besar dari suami, (5) keputusan dibuat oleh suami seorang diri tanpa melibatkan
istri.
Pola pengambilan keputusan untuk urusan rumahtangga dan urusan luar
rumahtangga lebih sering ditentukan dalam musyawarah bersama antar suamiistri. Peranan istri dalam menentukan keputusan urusan rumahtangga lebih
besar dibandingkan dengan urusan untuk luar rumahtangga (Riyadi
1993).
Analisis pengambilan keputusan berarti pengambilan keputusan wanita dalam
hubungannya dengan pria bukan hanya sekedar berdasar biologis saja, tetapi
juga secara budaya, sosial, atau politik, sesuai sistem sosial wanita berada.
Pada aspek lain, wanita pada umumnya mendominasi pengambilan keputusan
dalam bidang pengeluran untuk kebutuhan rumahtangga, dan pria dalam
pengeluaran produksi, sedangkan untuk bidang pembentukan rumahtangga dan
sosial pengambilan keputusan umumnya secara bersama-sama (Wasito 1999).
14
Akses Pangan
Konsep mengenai akses didefinisikan sebagai bentuk pertanyaan apakah
individu, rumah tangga, atau negara mampu memperoleh pangan yang cukup.
Kemampuan rumah tangga ditentukan oleh daya dukung sumberdaya yang
dimilikinya baik melalui produksi dan perdagangan pangan maupun komoditi
yang dapat dipertukarkan dengan pangan. Apabila kemampuan ini tidak dimiliki
maka akan mengalami kelaparan. Dalam sistem ekonomi pasar, hubungan
kemampuan seseorang ditentukan oleh apa yang mereka miliki, apa yang dapat
dijual, dan apa yang mereka warisi atau pemberian (Amartya sen 1981 dalam
Maxwell & Frankenberg
1992). Akses pangan tingkat rumah tangga adalah
kemampuan suatu rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup secara
terus menerus melalui berbagai cara, seperti produksi pangan rumah tangga,
persediaan pangan rumah tangga, jual-beli, tukar-menukar/barter, pinjammeminjam, dan pemberian atau bantuan pangan (World food Programme 2005
dalam Hildawati 2008). Akses pangan meliputi akses fisik dan akses ekonomi
serta akses sosial.
Keterjaminan akses sepanjang waktu terhadap pangan yang cukup
merupakan inti dari definisi ketahanan pangan rumah tangga. Menurut Maxwell
dan
Frankenberger
(1992)
terdapat
empat
elemen
ketahanan
pangan
berkelanjutan (sustainable food security) di tingkat rumah tangga, yaitu 1)
kecukupan pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan
untuk kehidupan yang aktif dan sehat; 2) akses pangan, yang didefinisikan
sebagai hak untuk berproduksi, membeli atau menukarkan pangan ataupun
menerima pemberian; 3) ketahanan, yang didefinisikan sebagai keseimbangan
antara kerentanan, resiko, dan jaminan pengaman sosial; dan 4) fungsi waktu,
kerawanan pangan dapat bersifat kronis, transisi dan atau siklus.
Kerawanan pangan kronis terjadi dan berlangsung terus menerus yang
biasanya disebabkan oleh rendahnya daya beli atau kemampuan memproduksi
sendiri sehingga sering terjadi di daerah terisolir dan gersang. Kerawanan
pangan transisi terjadi secara mendadak karena ketidakmantapan harga pangan
dan produksi pangan atau pendapatan rumahtangga sehingga pada suatu saat
tertentu sekelompok orang, rumahtangga atau masyarakat tidak mempunyai
cukup pangan untuk dikonsumsi. Keterjaminan akses pangan harus dicapai
sampai pada tingkat rumahtangga (household food security) sehingga kebutuhan
15
pangan untuk setiap anggota rumahtangga dapat terpenuhi setiap saat (Syarief
1992).
Akses Fisik
Akses fisik akan menentukan apakah sumber pangan yang dikonsumsi
dapat ditemui dan mudah diperoleh. Kemudahan dalam memperoleh pangan di
tunjang oleh tersedianya sarana fisik yang cukup dalam memperoleh pangan
(Penny
1990). Pangan harus tersedia secara terus-menerus dalam suatu
pasar/warung apabila rumah tangga tidak dapat memproduksi sendiri pangan
yang dibutuhkan.
Rimbawan dan Baliwati (2004) dalam Hidawati (2008),
menyatakan bahwa salah satu kelompok masyarakat yang rawan terhadap
pangan dan gizi adalah masyarakat yang tinggal di lokasi atau tempat yang
terpencil. Akses pangan juga bergantung pada daya beli rumah tangga, yang
artinya akses pangan terjamin seiring dengan terjaminnya pendapatan dalam
jangka panjang. Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa keterjangkauan
pangan bergantung pada kesinambungan sumber nafkah. Mereka yang tidak
menikmati kesinambungan dan kecukupan pendapatan akan tetap miskin.
Semakin banyak jumlah orang miskin, semakin rendah daya akses terhadap
pangan, dan semakin tinggi derajat kerawanan pangan suatu wilayah (WFP
2003). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rahmah (2006), jarak tempat
tinggal (akses fisik) yang jauh dari sumber pangan merupakan salah satu faktor
yang
akan
menghambat
kemudahan
individu
atau
masyarakat
untuk
memperoleh pangan yang tentunya akan menghambat konsumsi pangannya.
Menurutnya terdapat hubungan negatif signifikan antara jarak tempat tinggal dari
warung makan dengan tingkat konsumsi energi dan protein, artinya bahwa
konsumsi energi dan protein semakin menurun dengan meningkatnya jarak
tempat tinggal ke warung makan.
Akses Ekonomi
Kegiatan ekonomi rumahtangga dalam pemenuhan pangan adalah
mendapatkan, menghasilkan atau menerima uang, pangan dan yang lainnya;
mengkonsumsi, membelanjakan, memberi atau mengumpulkan uang, pangan
dan aset/harta lain; dan mengutang serta membayar kembali hutang tersebut.
Matapencaharian berhubungan erat dengan akses pangan yang meliputi
produksi rumah tangga dan alat untuk memperoleh pendapatan (WFP 2005
dalam Hildawati 2008). Rumah tangga dapat dikatakan tahan pangan apabila
tercukupinya permintaan akan pangan. Pengukuran operasional atas permintaan
16
akan pangan tersebut dalam jangka waktu pendek dapat dipakai untuk
memonitor akses ekonomi rumah tangga akan pangan, yaitu pendapatan/
pengeluaran dan harga (Sharma 1992 dalam Hildawati 2008)
Akses Sosial
Selain akses ekonomi dan akses fisik terhadap pangan terdapat akses
sosial. Akses sosial merupakan suatu akses atau cara untuk mendapatkan
pangan yang dibutuhkan dalam pemenuhan kebutuhan pangannya melalui
berbagai dukungan sosial, seperti bantuan atau dukungan sosial dari
keluarga/kerabat,
tetangga,
serta
teman.
Bantuan
atau
dukungan
dari
saudara/kerabat, tetangga, serta teman dapat berupa bantuan pinjaman
uang/pangan, pemberian bantuan pangan, pertukaran pangan, dan lain
sebagainya. Selain dukungan sosial, kerawanan pangan berdasarkan akses
sosial dapat dilihat dari tingkat pendidikannya (Hildawati 2008).
Dukungan Sosial. Menurut Sarafino (1996), manusia sebagai individu
dalam kehidupannya dihadapkan dengan berbagai hal yang menyangkut
kepentingan,
terutama
dalam
pemenuhan
kebutuhan.
Untuk
memenuhi
kebutuhan hidup setiap orang memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang
lain atau sumber-sumber dukungan sosial. Dukungan sosial tidak selamanya
tersedia pada diri sendiri melainkan harus diperoleh dari orang lain yakni
rumahtangga (suami atau istri), saudara atau masyarakat (tetangga) dimana
orang tersebut tinggal.
Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau
bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan
atau kelompok. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dukungan
sosial keluarga mencakup adanya interaksi di antara anggota dan saling
membantu, sehingga tetap terjalin hubungan dan menghasilkan kepuasan batin
seseorang (Sarafino 1996).
Sarafino mengemukakan dukungan sosial terdiri dari dukungan emosi,
dukungan instrumental, dukungan penghargaan, dan dukungan informasi.
Dukungan emosi melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap
individu sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai, dan diperhatikan.
Dukungan ini meliputi perilaku seperti memberikan perhatian dan afeksi serta
bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain. Dukungan ini biasanya
diperoleh dari orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan individu, seperti
keluarga, tetangga, atau mungkin teman. Dukungan instrumental melibatkan
17
bantuan langsung, misalnya berupa bantuan finansial atau bantuan dalam
mengerjakan
tugas-tugas
tertentu.
Dukungan
penghargaan
melibatkan
pengakuan dari orang lain atas kemampuan dan kualitas individu. Dukungan ini
dapat berupa pujian, hadiah, pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap
ide-ide, perasaan atau penampilan orang lain, atau mau menerima atas segala
kekurangan pada diri orang lain. Dukungan informasi memungkinkan individu
sebagai penerima dukungan dapat memperoleh pengetahuan dari orang lain.
Pengetahuan yang diperoleh dapat berupa bimbingan, arahan, diskusi masalah
maupun pengajaran suatu keterampilan. Dengan adanya informasi ini, maka
individu dapat menyelesaikan masalahnya atau menambah pengetahuan baru.
Pengetahuan Gizi. Menurut Suhardjo (1989) pengetahuan gizi yang baik
dapat
menghindarkan
seseorang
dari
konsumsi
pangan
yang
salah.
Pengetahuan gizi dapat diperoleh dari pendidikan formal maupun informal.
Selain itu, melalui media komunikasi seperti televisi, majalah, koran, radio, atau
melalui penyuluhan kesehatan/gizi, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan
tentang gizi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan cenderung
memilih makanan yang murah dengan nilai gizi yang lebih tinggi sesuai dengan
jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil, sehingga
kebutuhan zat gizinya terpenuhi.
Khomsan (2002a) menyatakan bahwa walaupun rumahtangga memiliki
daya beli cukup dan pangan juga tersedia, namun bila pengetahuan pangan dan
gizinya masih rendah maka akan sangat sulit bagi rumahtangga yang
bersangkutan untuk dapat memenuhi kecukupan pangannya baik secara
kuantitas maupun kualitas.
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan adalah informasi pangan yang dimakan (dikonsumsi)
oleh seseorang atau kelompok , baik berupa jenis maupun jumlahnya pada
waktu tertentu, artinya konsumsi pangan dapat dilihat dari aspek jumlah maupun
jenis pangan yang dikonsumsi. Konsumsi pangan berkaitan erat dengan gizi dan
kesehatan, kesejahteraan, pengupahan, serta perencanaan ketersediaan dan
produksi pangan (Hardinsyah & Suhardjo 1990).
Tiga tujuan seseorang mengkonsumsi pangan yaitu tujuan fisiologis,
psikologis, dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah untuk memenuhi rasa lapar
atau keinginan memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis
merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan untuk memenuhi
18
kepuasan emosional ataupun selera seseorang. Tujuan sosiologis adalah
berhubungan dengan upaya pemeliharaan hubungan antar manusia dalam
kelompok kecil maupun kelompok besar (Riyadi 1996).
Tercukupinya konsumsi pangan merupakan syarat mutlak terwujudnya
ketahanan pangan rumahtangga. Ketidaktahanan pangan dapat digambarkan
dari perubahan konsumsi pangan yang mengarah kepada penurunan kuantitas
dan kualitas, termasuk perubahan frekuensi konsumsi makanan pokok. Angka riil
kuantitas konsumsi pangan harus dibandingkan dengan angka kecukupan gizi
yang dianjurkan untuk mengetahui cukup tidaknya asupan gizi (Khomsan
2002b).
Makanan telah dijadikan indikator oleh ekonom untuk melihat tingkat
kesejahteraan masyarakat. Teori Engel misalnya, menyebutkan bahwa semakin
tinggi pendapatan maka proporsi pengeluaran untuk makanan sangat kecil.
Hukum Bennet menerangkan bahwa konsumsi pangan yang terdiversifikasi akan
dicapai
bersama
dengan
meningkatnya
pendapatan.
Hukum
Bennet
menerangkan bahwa konsumsi umbi-umbian akan semakin menurun bersamaan
dengan meningkatnya pendapatan. Umbi-umbian adalah sumber kalori yang
harganya lebih murah sehingga terjangkau oleh orang miskin dibandingkan
serealia (Khomsan 2002b).
Penilaian Konsumsi Pangan
Hoddinott (1999) menjelaskan konsumsi pangan individu sebagai
sejumlah kalori atau zat gizi yang dikonsumsi oleh individu pada periode tertentu
atau umumnya dalam 24 jam. Terdapat dua cara yang umum digunakan untuk
mengukur konsumsi individu yaitu dengan metode observasi dan recall. Metode
observasi merupakan metode penilainan konsumsi pangan individu yang
dilakukan oleh enumerator selama satu hari penuh, yaitu menilai jumlah
makanan yang disajikan bagi setiap orang dan jumlah makanan yang disediakan
tetapi tidak dikonsumsi (sisa makanan). Selain itu dalam metode observasi
enumerator juga mencatat jenis dan jumlah makanan yang dimakan sebagai
selingan (snack) diantara waktu makan ataupun makanan yang diperoleh dari
luar rumah. Metode recall merupakan metode yang lebih mudah, karena
enumerator hanya perlu mewawancarai anggota rumah tangga dan mengingat
kembali makanan yang mereka konsumsi selama 24 jam, termasuk jenis
makanan, jumlah dan makanan selingan (snack) atau makanan lain yang
diperoleh dari luar rumah.
19
Penilaian konsumsi pangan juga dapat diukur dengan menggunakan FFQ
(Food Frequency Question). FFQ merupakan kuesioner yang menggambarkan
frekuensi responden dalam mengkonsumsi beberapa h=jenis makanan dan
minuman. Frekuensi konsumsi makanan dilihat dalam satu hari atau minggu atau
bulan atau tahun. Kuesiner terdiri dari susunan jenis makanan dan minuman
(Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat UI 2007 dalam
Hildawati 2008).
Penggunaan FFQ sebagai instrumen penilaian konsumsi memiliki
kelebihan yaitu relatof murah, dapat digunakan untuk melihat hubungan antara
diet dan penyakit, dan lebih representatif. Keterbatan penggunaan FFQ adalah
adanya kemungkinan tidak menggambarkan porsi yang dipilih oleh responden,
tergantung pada kemampuan responden untuk mendeskripsikan dietnya.
Terdapat tiga jenis FFQ yaitu :
1. Semi or non quantitatine FFQ, tidak memberikan pilihan tentang porsi
yang biasa dikonsumsi, sehingga menggunakan standar porsi
2. Semi quantitative FFQ, memberikan porsi yang dikonsumsi, misalnya
sepotong roti, secangkir kopi.
3. Quantitative FFQ, memberikan pilihan porsi yang biasa dikonsumsi
responden, seperti kecil,sedang, atau besar.
Pada prinsipnya penilaian jumlah konsumsi zat gizi berdasarkan pada
konsumsi pangan dan data kandungan zat gizi bahan makanan atau Daftar
Konsumsi Bahan Makanan (DKBM). DKBM menunjukkan kandungan berbagai
kandungan berbagai zat gizi dari berbagai jenis pangan atau makanan dalam
seratus gram bagian yang dapat dimakan (BDD) (Hardinsyah & Martianto 1992).
Dengan menggunakan DKBM, jumlah dan komposisi zat gizi yang diperoleh
seseorang atau kelompok orang dapat dihitung dengan atau dinilai. Secara
umum, penilaian zat gizi tertentu yang dikonsumsi dapat dapat dihitung dengan
rumus :
Gij
= BPj x Bddj x KGij
100
100
Keterangan :
KGij
= kandungan zat gizi tertentu (i) dari pangan (j) atau makanan yang
dikonsumsi dengan satuannya.
BPj
= berat pangan atau makanan (j) yang dikonsumsi
20
Bddj
= bagian yang dapat dimakan (dalam persen atau gram dari 100 gram
pangan atau makanan (j) )
Gij
= zat gizi yang dikonsumsi dari pangan atau makanan (j)
Analisis Jalur
Analisis jalur merupakan pengembangan dari analisis korelasi yang
dibangun dari diagram jalur yang dihipotesiskan oleh peneliti dalam menjelaskan
mekanisme hubungan kausal antar variabel dengan cara menguraikan koefisien
korelasi menjadi pengaruh langsung dan tidak langsung (Yamin & Kurniawan
2009).
Selain itu Yamin dan Kurniawan 2009 juga menyatakan bahwa analisis
jalur dapat dikatakan sebagai analisis regresi linier dengan variabel-variabel yang
dibakukan. Oleh karena itu, koefisien jalur pada dasarnya merupakan koefisien
beta atau koefisien regresi baku. Diagram jalur umumnya dilukiskan dalam suatu
gambar panah lingkaran dan panah tunggal (circle-and-row) dimana panah
tunggal menandai sebagai penyebab dan dua arah panah yang melingkar
menandakan hubungan korelasional antara dua variabel.
Variabel Eksogen adalah variabel penyebab, yang memberikan efek
kepada variabel lainnya. Dalam diagram jalur, variabel eksogen ini secara
eksplisit diketahui sebagai variabel yang tidak ada panah tunggal yang menuju
ke arahnya. Jika ada lebih dari satu variabel eksogen dalam sistem, maka
ditandai oleh circle-path (tanda panah yang melingkar) yang menunjukkan
hubungan korelasional variabel eksogen (Yamin & Kurniawan 2009).
Variabel endogen adalah variabel yang dijelaskan oleh variabel eksogen
atau merupakan efek dari variabel eksogen. Dalam diagram jalur secara ekdplisit
variabel endogen ditandai oleh kepala panah yang menujunya. Baik tanda panah
dari variabel eksogen maupun variabel eror (Yamin & Kurniawan 2009).
Variabel eror didefinisikan sebagai kumpulan variabel-variabel eksogen
lainnya yang tidak dimasukkan dalam sistem penelitian yang dimungkinkan
masih mempengaruhi variabel endogen (Yamin & Kurniawan 2009).
Koefisien jalur adalah suatu koefisian regresi terstandardisasi (beta)
yang menunjukkan efek langsung dari suatu variabel eksogen terhadap variabel
endogen dalam suatu model jalur (Yamin & Kurniawan 2009).
21
KERANGKA PEMIKIRAN
Ketahanan pangan rumahtangga dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya adalah karakteristik rumahtangga (meliputi ukuran rumahtangga,
pendidikan kepala dan ibu rumahtangga, dan akses pangan termasuk dukungan
sosial dan pengetahuan gizi), food coping strategy, jaringan sosial masyarakat,
dan konsumsi rumahtangga. Pada penelitian ini hanya akan memeriksa
pengaruh beberapa variabel yaitu ukuran rumahtangga, pendidikan kepala
rumahtangga dan ibu rumahtangga, pengeluaran rumahtangga, akses pangan
dan tingkat konsumsi rumahtangga. Variabel-veriabel ini akan dianalisis
seberapa besar pengaruhnya terhadap ketahanan pangan keluarga.
Tingkat pendidikan kepala rumahtangga mempengaruhi ketahanan
pangan secara tidak langsung, hal ini dapat dilihat jika kepala rumahtangga
memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi maka kemungkinan kepala
rumahtangga tersebut memperoleh pekerjaan yang layak cukup besar. Hal ini
akan berdampak pada perolehan pendapatan yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya.
Besar rumahtangga mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga,
karena semakin besar rumahtangga tersebut maka resiko terjadinya kerawanan
pangan dalam suatu rumahtangga akan semakin besar. Hal ini dikarenakan
semakin banyak kebutuhan yang harus dipenuhi oleh rumahtangga tersebut,
baik kebutuhan pangan maupun kebutuhan non-pangan.
Akses terhadap pangan penting dalam upaya pemenuhan kebutuhan
pangan rumahtangga. Akses pangan terdiri dari akses fisik, akses ekonomi dan
akses sosial. Akses sosial termasuk didalamnya pengetahuan gizi ibu dan
dukungan sosial. Pengetahuan gizi terkait dengan keputusan ibu dalam memilih
jenis dan jumlah pangan yang akan dikonsumsi untuk anggota rumahtangga,
semakin baik pengetahuan gizi ibu maka ketahanan pangan rumahtangga dapat
dicapai. Dukungan sosial yang baik akan dapat memperkecil peluang suatu
rumahtangga mengalami kerawanan pangan, karena adanya bantuan dari
tetangga dalam upaya pemenuhan kebutuhan, baik kebutuhan fisik maupun
kebutuhan emosional.
Diantara variabel-variabel diatas, variabel sosial ekonomi rumahtangga
akan mempengaruhi akses terhadap pangan. Bila akses terhadap pangan dapat
tercapai dengan baik maka suatu rumahtangga dapat memenuhi kebutuhan
pangan, sehingga tingkat konsumsi rumahtangga dapat terpenuhi. Tingkat
22
konsumsi merupakan salahsatu indikator pengukuran tingkat ketahanan pangan.
Dengan demikian, bila tingkat konsumsi rumahtangga sudah terpenuhi maka
dapat diketahui tingkat ketahahan pangan suatu rumahtangga adalah tahan
pangan, begitupun sebaliknya. Bila tingkat konsumsi rumahtangga tidak
terpenuhi maka rumahtangga tersebut berpeluang mengalami kerawanan
pangan bahkan ketidaktahanan pangan.
23
Karakteristik Sosial Ekonomi :
1. Besar Rumahtangga
2. Pendidikan Kepala dan Ibu Rumahtangga
3. Kepemilikan Lahan
Akses pangan :
1. akses ekonomi →
2. akses sosial →
pengeluaran (pangan &
pengetahuan gizi &
nonpangan)
dukungan sosial
3. Akses fisik →
ketersediaan warung
Ketersediaan pangan
Rumahtangga
Konsumsi rumahtangga
Ketahanan Pangan
Rumahtangga
Status Gizi
Keterangan gambar
: variabel yang diteliti
: hubungan yang diteliti
: variabel yang tidak diteliti
: hubungan yang tidak diteliti
Gambar 3 Kerangka pemikiran analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan
pangan rumahtangga di Kabupaten Lebak Banten
24
METODOLOGI
Desain, Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan mengunakan desain cross Sectional study.
Objek penelitian adalah Rumahtangga di wilayah Desa Pasindangan dan Desa
Banjarsari Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Penentuan lokasi penelitian
dilakukan secara purposive yaitu wilayah tipologi desa tipe 3 dan tipe 2 yaitu
berturut-turut wilayah yang mempunyai tingkat kesejahteraan rendah yang
memiliki potensi utama pertanian dan tingkat kesejahteraan tinggi yang memiliki
potensi utama pertanian di wilayah Kabupaten Lebak Banten. Pengumpulan data
dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2009.
Cara Penarikan Contoh
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian “Model Penguatan Modal
Komunitas
Pertanian
Dalam
Upaya
Pencegahan
Dan
Penanggulangan
Kelaparan” yang dilaksanakan di Kabupaten Lebak, Banten. Penarikan contoh
dilakukan secara purposive, yaitu Contoh berjumlah 110 rumahtangga. Setelah
dilakukan cleaning contoh yang terambil sebanyak 101 rumahtangga dengan
kriteria (1) pekerjaan utama kepala rumahtangga sebagai petani, (2) contoh
mewakili populasi berdasarkan proporsi kepemilikan lahan, yaitu petani tidak
memiliki lahan, memiliki lahan kurang dari 5 000 m2, memiliki lahan 5 000-10 000
m2, dan memiliki lebih dari 10 000 m2.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder.
Data primer merupakan data sosial ekonomi rumahtangga meliputi umur KRT
dan ibu, pendidikan KRT dan ibu, pekerjaan, ukuran rumahtangga, kepemilikan
lahan, dan akses pangan. Data primer diperoleh dari hasil penggalian informasi
dari contoh yang dilakukan melalui pengisian kuesioner yang relevan dengan
variabel yang diteliti. Data sekunder yang dikumpulkan antara lain gambaran
umum lokasi penelitian dan data demografi. Jenis dan cara pengumpulan data
dapat dilihat pada Tabel 1.
25
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
No.
Variabel
1
Data karakteristik keluarga
2
Data sosial ekonomi keluarga
3
Data akses pangan
4
Data konsumsi keluarga
5
Data monografi desa
Cara Pengumpulan
Wawancara dengan menggunakan
kuesioner
Wawancara dengan mengunakan
kuesioner
Wawancara dengan menggunakan
kuesioner dan pengamatan langsung
Wawancara dengan menggunakan
kuesioner
Data sekunder dari instansi terkait
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan program
komputer Microsoft Excel dan SPSS 13,0 for Windows untuk penarikkan
kesimpulan. Proses pengolahan meliputi editing, coding, entry dan analisis.
Untuk mengukur hubungan antara variabel-variabel dianalisis menggunakan
analisis korelasi Pearson dan Rank Spearman, sedangkan untuk mengukur
pengaruh antara variabel-variabel penelitian dianalis dengan menggunakan
analisis jalur dengan uji regresi.
Variabel-variabel
penelitian
dianalisis
deskriptif
untuk
mengetahui
gambaran umum contoh. Beberapa variabel di kategorikan terlebih dahulu
sebelum dilakukan analisis lebih lanjut, pengkategorian dapat dilihat pada Tabel
2. Pengkategorian untuk beberapa variabel penelitian dilakukan berdasarkan
rumus interval Slamet (1993) yang diacu dalam Puspa (2007), berikut
perhitungan rumus interval :
Interval Kelas = Nilai Maksimum (NT) – Nilai Minimum (NR) = interval 1
Jumlah Kategori
Pendidikan yang diukur adalah lama pendidikan formal yang dilakukan
oleh contoh, tidak dihitung tinggal kelas yang kemudian dikategorikan. Untuk
kepemilikan lahan adalah luas lahan yang merupakan hak milik contoh secara
pribadi tidak termasuk lahan garapan dari pihak lain. Pengeluaran adalah total
pengeluaran rumahtangga pertahun yang terdiri dari pengeluaran pangan dan
pengeluaran non pangan. Total pengeluaran pertahun kemudian dibagi 12 bulan
dan dibagi jumlah anggota rumahtangga untuk memperoleh total pengeluaran
rumahtangga perkapita per bulan. Setelah itu baru kemudian di bandingkan
dengan Garis Kemiskinan (GK) provinsi Banten yaitu sebesar Rp 156 494,
sehingga diperoleh klasifikasi rumahtangga miskin dan rumahtangga tidak
miskin.
26
Penilaian
konsumsi
berdasarkan
perhitungan
konsumsi
zat
gizi,
dijumlahkan total konsumsi setiap anggota rumahtangga dalam satu tahun untuk
mendapatkan total konsumsi rumahtangga. Total konsumsi rumahtangga
pertahun kemudian dibagi jumlah anggota rumahtangga dan dibagi jumlah hari
dalam satu tahun yaitu 365 hari, sehingga diperoleh konsumsi rumahtangga per
hari. Untuk memperoleh tingkat konsumsi zat gizi rumahtangga, maka konsumsi
rumahtangga per hari dibandingkan dengan Angka Kecukupan Zat Gizi (AKG)
rumahtangga. AKG rumahtangga diperoleh dari rata-rata AKG dari setiap
anggota rumahtangga dalam suatu rumahtangga berdasarkan kelompok umur
dan jenis kelamin.
Tingkat ketahanan pangan kualitatif diukur berdasarkan pengukuran
instrumen kelaparan yang ditanyakan dalam kusesioner. Untuk pengukuran
ketahanan pangan kuantitatif, diukur berdasarkan tingkat kecukupan energi
rumahtangga. Selanjutnya dikategorikan berdasarkan kategori FAO (2003)
dalam Tanziha (2005) yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Variabel-variabel tersebut kemudian diuji pengaruh langsung dan
pengaruh tidak langsung dengan metode analisis jalur. Analisis jalur adalah
Sebuah metode untuk mempelajari pengaruh langsung dan tidak langsung dari
variable-variabel. Dikembangkan pertama kali oleh Wright (1921). Analisis jalur
dapat digunakan untuk menganalisis hubungan sebab akibat antara satu variabel
dengan variabel lainnya. Prosedur ini dapat menduga koefisien-koefisien
sejumlah persamaan struktural linear yang mewakili hubungan sebab akibat
yang menjadi hipotesis (Kenny 1979 diacu dalam Hudjimartsu 2005). Adapun
model analisis jalur yang akan diuji pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar
4.
27
Tabel 2 Pengkategorian variabel penelitian
No.
1
2
3
4
Variabel
Umur KRT, ibu, dan
ART
Pendidikan KRT,
ibu, dan ART
Ukuran
rumahtangga
Kepemilikan lahan
5
Pengeluaran
6
Pengetahuan gizi
7
Dukungan Sosial
8
Tingkat konsumsi:
Energi dan Protein
Vitamin dan mineral
9
Ketahanan pangan
Kategori
Lansia : ≥ 60 th
Dewasa madya : 40 – 59 th
Dewasa awal : 20 – 39 th
Remaja : 12 -19 th
AUS : 6 – 11 th
Balita : 25 – 60 bln
Bayi : 0 -24 bln
TS : 0 th
SD : 6 th
SMP : 9 th
SMA : 12 th
PT : 16 th
Rumahtangga kecil : ≤ 4 orang
Rumahtangga sedang : 5 – 6 orang
Rumahtangga besar : ≥ 7 orang
0 m2
< 5 000 m2
5 000 – 10 000 m2
> 10 000 m2
Miskin : ≤ GK
Tidak miskin : > GK
Rendah : ≤ 5
Sedang : 6 – 7
Tinggi : ≥ 8
Buruk : < 15
Sedang : 15 – 20
Baik : > 20
Defisit berat : < 70%
Defisit sedang : 70 -79%
Defisit berat : 80 – 89%
Normal : 90 – 119%
Lebih : ≥ 120%
Defisit : ≤ 50%
Cukup : > 50%
Rawan pangan berat : TKE < 70%
Rawan pangan sedang : TKE 70 -80 %
Rawan pangan ringan : TKE 81 – 90%
Tahan pangan : TKE > 90%
Sumber
Hurlock (1980)
-
BKKBN (1998)
BPS (2007)
Rumus interval
Slamet (1998)
Rumus interval
Slamet (1998)
Depkes (1996)
Depkes (2003)
FAO (2003)
28
X1
PY4X1
PY1X1
PY3X1
Y1
PY1X2
X2
PY4Y1
PY3Y1
Y3
PY3X2
PY4Y3
Y4
PY3Y2
PY2X2
PY4Y2
Y2
PY4X3
PY3X3
X3
Gambar 4 Model Analisis Jalur Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan
Rumahtangga
Keterangan
X1 : Tingkat pendidikan KRT
X2 : Tingkat pendidikan IRT
X3 : Ukuran rumahtangga
Y1 : Dukungan sosial
Y2 : Pengetahuan gizi
Y3 : Pengeluaran rumahtangga
Y4 : Tingkat ketahanan pangan rumahtangga kuantitatif
Yamin dan Kurniawan (2009) menyatakan bahwa analisis jalur dapat
dikatakan sebagai analisis regresi linier dengan variabel-variabel yang
dibakukan. Regresi bertujuan untuk menguji hubungan pengaruh antara satu
variabel terhadap variabel lain. Variabel yang dipengaruhi disebut variabel
tergantung atau dependen, sedang variabel yang mempengaruhi disebut variabel
bebas atau variabel independen. Regresi yang mempunyai satu variabel
dependen dan lebih dari satu variabel independen disebut regresi berganda.
Model persamaan regresi berganda dapat digambarkan sebagai berikut
(Nugroho 2005) :
Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + e
29
DEFINISI OPERASIONAL
Ketahanan Pangan adalah kondisi dimana setiap rumah tangga mampu
memenuhi kebutuhan terhadap pangan yang baik dan cukup dari
segi jumlah maupun mutu.
Petani adalah seseorang yang menggarap lahan baik sawah, ladang, kebun,
maupun ternak, atau berusaha dalam jasa pertanian yang hasilnya
digunakan sendiri atau dijual untuk memperoleh pendapatan.
Rumahtangga adalah kelompok individu atau beberapa rumahtangga yang
tinggal bersama dalam satu atap serta menggunakan sumberdaya
yang sama dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Ukuran rumahtangga adalah jumlah anggota rumahtangga yang tinggal di
dalam satu rumahtangga.
Pendidikan adalah lamanya seseorang menempuh sekolah formal yang dihitung
dengan satuan waktu.
Pengeluaran rumahtangga adalah jumlah yang dibelanjakan untuk kebutuhan
pangan dan non pangan rumahtangga.
Akses fisik adalah kemampuan/ kemudahan rumahtangga dalam memperoleh
pangan yang ada di suatu wilayah yang diukur berdasarkan
ketersediaan pangan di warung dan jarak tempat tinggal dengan
pasar atau warung penjual kebutuhan pangan.
Akses ekonomi adalah kemampuan atau kemudahan penduduk dalam
memperoleh pangan, dilihat berdasarkan pengeluaran perkapita.
Konsumsi pangan rumahtangga adalah jumlah pangan yang dikonsumsi oleh
anggota rumahtangga dalam satu hari dibagi dengan jumlah
anggota rumahtangga.
Dukungan sosial adalah bentuk interaksi yang menghasilkan kenyamanan,
bantuan dan perhatian yang diterima individu dari orang lain untuk
memenuhi kebutuhannya.
Pengetahuan gizi adalah pemahaman contoh yang berhubungan dengan gizi
meliputi manfaat zat gizi, jenis pangan sumber zat gizi, gangguan
gizi, serta menu seimbang yang diukur dari skor jawaban terhadap
pertanyaan yang diberikan dalam kuesioner.
30
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Propinsi Banten terdiri dari tujuh Kabupaten/Kota yang diantaranya
Pandeglang, Lebak, Tangerang, Serang, Kota Tangerang, Cilegon, dan Kota
Serang. Dari ketujuh wilayah Kabupaten/Kota tersebut, Lebak merupakan
Kabupaten dengan wilayah terluas yaitu 3 044.72 Km2. Kabupaten Lebak
beribukota di Rangkasbitung. Kabupaten Lebak terdiri dari 28 Kecamatan dan
320 Desa/Kelurahan. Berdasarkan data Susenas (2007) kepadatan penduduk di
Lebak berkisar antara 395 – 397.46 jiwa per Km2.
Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian di Provinsi Banten
menurut Susenas (2007) paling banyak terpusat di wilayah Pandeglang dan
Lebak. Bila dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lain di Provinsi Banten, jumlah
industri yang ada di Kabupaten Lebak paling rendah yaitu hanya 13 unit, paling
tinggi adalah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang yaitu mencapai 185 –
950 unit.
Kecamatan Cileles dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan
wilayah basis perkebunan. Luas wilayahnya 17 211.90 Ha, jarak ke ibukota
Kabupaten
mencapai
Desa/Kelurahan,
Parungkujang,
46.08
diantaranya
Cikareo,
Km.
Kecamatan
Mekarjaya,
Cileles,
Cileles
terdiri
Pasindangan,
Margamulya,
Cipadang,
dari
12
Kujangsari,
Daroyon,
Prabugantungan, Gumuruh, dan Banjarsari. Desa Pasindangan dipilih sebagai
lokasi penelitian karena mewakili potensi desa tipe 3, dimana desa tipe 3
memiliki potensi aktivitas non pertanian rendah dan kualitas kesejahteraan
rendah.
Kecamatan Warunggunung merupakan salah satu Kecamatan yang
menjadi basis pertanian di Kabupaten Lebak. Luas wilayahnya 5 422.00 Ha,
jarak ke Ibokota Kabupaten sebesar 11.67 Km. Kecamatan Warunggunung
terdiri dari 12 Desa/Kelurahan, diantaranya Pasir Tangkil, Sukarendah, Selaraja,
Warunggunung, Cibuah, Baros, Sindangsari, Banjarsari, Cempaka, Padasuka,
Sukaraja, dan Jagabaya. Desa Banjarsari dipilih sebagai lokasi penelitian karena
mewakili potensi desa tipe 2, dimana desa tipe 2 memiliki potensi aktivitas
ekonomi non pertanian rendah dan kualitas kesejahteraan tinggi.
Desa Pasindangan
Desa Pasindangan merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan
Cileles Kabupaten Lebak Provinsi Banten dengan luas wilayah 3 297.2 Ha. Jarak
31
Desa Pasindangan dari ibu kota kecamatan adalah tujuh kilometer. Desa
Pasindangan terbagi dalam tujuh kampung yang terdiri dari tujuh Rukun Warga
(RW) dan 17 Rukun Tetangga (RT). Batas wilayah Desa Pasindangan
diantaranya sebelah utara berbatasan dengan Desa Bendungan, Desa Kumpai,
dan Desa Cipadang. Kemudian di sebelah timur desa berbatasan dengan Desa
Kujangsari, dan Desa Cikareo, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa
Cinginggang, dan sebelah barat dengan Desa Mekarjaya. Desa Pasindangan
termasuk desa yang luas dibandingkan dengan desa-desa di wilayah Kecamatan
Cileles lainnya, bahkan menjadi yang terluas diantara desa-desa disekitarnya
yang berada dalam satu kecamatan, Desa Cipadang memiliki luas 1 388 Ha,
Desa Kujangsari 1 891 Ha, dan Desa Cikareo 2 065 Ha. Luas lahan yang cukup
luas di Desa Pasindangan masih belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat
sendiri, sebagian besar lahan dimanfaatkan sebagai wilayah perkebunan oleh
pihak swasta dan pemerintah, sebagian lainnya untuk perkebunan rakyat,
pertanian, pemukiman dan lain-lain. Pemanfaatan lahan di Desa Pasindangan
ditunjukkan oleh tabel berikut :
Tabel 3 Pemanfaatan lahan Desa Pasindangan
No
Pemanfaatan Lahan
Luas (ha)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Pemukiman dan pekarangan
Sawah irigasi setengah teknis
Sawah tadah hujan
Ladang/huma
Perkebunan rakyat
Perkebunan swasta
Lapangan olah raga
Kas desa
Kantor pemerintahan
Tanah fasilitas umum lainnya
Hutan lindung
Hutan produksi
Hutan konversi
Total
28.8
20.0
194.0
350.0
388.5
1 414.0
2.0
2.5
0.2
18.0
190.0
595.0
94.2
3 297.2
% Luas terhadap
Luas Wilayah
0.87
0.61
5.88
10.62
11.78
42.88
0.06
0.08
0.01
0.55
5.76
18.05
2.86
100.00
Pemanfaatan lahan Pasindangan sebagian besar digunakan untuk
perkebunan, yaitu sebesar 42.88 persen (1 414 Ha) untuk perkebunan swasta
dan 11.78 persen (388.5 Ha) sebagai perkebunan rakyat. Jika dilihat dari
pemanfaatan lahannya, Desa Pasindangan merupakan kawasan perkebunan.
Jumlah penduduk Desa Pasindangan pada tahun 2006 tercatat sebanyak
3 589 jiwa yang terdiri dari 835 kepala keluarga (KK). Jumlah penduduk menurut
32
jenis kelamin yaitu, 1817 jiwa penduduk laki-laki dan 1772 jiwa penduduk
perempuan.
Berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia, pendidikan merupakan
salah satu faktor penting dalam menentukan tinggi rendahnya kualitas
sumberdaya manusia. Tingkat pendidikan penduduk Desa Pasindangan adalah
sebagai berikut.
Tabel 4 Tingkat pendidikan penduduk Desa Pasindangan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Tingkat Pendidikan
Jumlah (orang)
Tidak tamat SD/sederajat
Tamat SD/sederajat
Tamat SLTP/sederajat
Tamat SLTA/sederajat
Tamat D1
Tamat D2
Tamat D3
Tamat Perguruan Tinggi (S1)
Total
%
245
655
305
147
12
9
5
5
1 383
17.7
47.4
22.0
10.6
0.9
0.6
0.4
0.4
100.0
Secara umum, tingkat pendidikan penduduk di Desa Pasindangan masih
tergolong rendah yang ditunjukkan oleh banyaknya penduduk yang hanya
menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat Sekolah Dasar (SD) sebesar 47.4
persen. Sedangkan penduduk yang mampu menyelesaikan pendidikan sampai
perguruan tinggi hanya sebagian kecil, yaitu hanya sebesar 0.4 persen saja.
Kondisi ini akan memberikan dampak pada kemampuan ekonomi penduduk dan
besarnya peluang memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Tabel 5 menunjukkan
jenis pekerjaan penduduk Desa Pasindangan.
Tabel 5 Jenis pekerjaan penduduk Desa Pasindangan
No
1
2
3
4
5
6
7
Jenis Pekerjaan
Petani
Buruh tani
Buruh/swasta
PNS
Pengrajin
Pedagang
Bengkel/montir
Total
Jumlah (orang)
%
416
56
77
27
25
255
12
868
47.9
6.4
8.9
3.1
2.9
29.4
1.4
100.0
Sebagian besar jenis pekerjaan penduduk Desa Pasindangan sebagai
Petani, yang terdiri dari petani (47.9%) dan buruh tani (6.4%). Pekerjaan yang
terbanyak ditekuni oleh penduduk Desa Pasindangan setelah petani adalah
pedagang, yaitu 29.4 persen.
33
Tersedianya fasilitas pendidikan dan kesehatan sangat menunjang dalam
terciptanya kesejahteraan dalam masyarakat. Prasarana pendidikan yang ada
pada Desa Pasindangan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 6 Prasarana pendidikan Desa Pasindangan
No
1
2
3
4
5
Lembaga Pendidikan
TK
SD
SMP
SMA
Lembaga Pendidikan Agama
Total
Jumlah
1
5
1
1
3
11
Jumlah tenaga pengajar untuk TK di desa ini hanya dua orang, di SD terdapat 27
orang, SMP memiliki sembilan tenaga pengajar, dan di SMA terdapat tiga orang
pengajar serta enam orang pengajar pada lembaga pendidikan agama yang ada
di Desa Pasindangan, sedangkan untuk prasarana kesehatan di Desa
Pasindangan adalah sebagai berikut :
Tabel 7 Prasarana kesehatan Desa Pasindangan
No
1
2
3
4
Lembaga Pendidikan
Puskesmas Pembantu
Poliklinik/balai pengobatan
Posyandu
Tempat penyimpanan obat
Total
Jumlah
1
1
3
1
6
Prasarana kesehatan yang ada di Desa Pasindangan ini ditunjang oleh satu
tenaga paramedis dan lima orang dukun terlatih.
Desa Banjarsari
Desa Banjarsari merupakan salah satu desa yang terletak di wilayah
Kecamatan Warunggunung Kabupaten Lebak Provinsi Banten yang berbatasan
dengan Desa Sukaraja di sebelah utara, Desa Cibuah di sebelah selatan, Desa
Sindangsari di sebelah barat, dan Desa Padasuka di sebelah timur. Desa
Banjarsari terletak di tengah wilayah Kecamatan Warunggunung dan mempunyai
luas wilayah 519.69 Ha. Bila dibandingkan dengan desa lain di wilayah
Kecamatan Warunggunung, Desa Banjarsari memiliki luas wilayah yang cukup
luas, akan tetapi dengan desa sebelahnya seperti Cibuah, Sindangsari, Sukaraja
,dan Padasuka, Desa Banjarsari berada di urutan ketiga setelah Sukaraja (864
Ha) dan Padasuka (607 Ha). Dengan luas wilayah tersebut antara lain
dimanfaatkan untuk pertanian, pemukiman, kas desa, sarana dan prasarana, dan
34
lain sebagainya. Adapun pemanfaatan lahan di Desa Banjarsari secara rinci
ditunjukkan pada tabel berikut :
Tabel 8 Pemanfaatan lahan Desa Banjarsari
No
1
2
3
4
5
6
7
Pemanfaatan Lahan
Pemukiman
Sawah :
Sawah irigasi setengah teknis
Sawah tadah hujan
Tanah rawa
Perkebunan rakyat
Perkebunan swasta
Lapangan olah raga
Kas desa
Total
Luas (ha)
71.0
164.0
97.0
0.5
185.0
0
0
2.19
519.69
Persentase
(%)
13.7
31.6
18.7
0.1
35.6
0
0
0.4
100.0
Pemanfaatan lahan di Desa Banjarsari sebagian besar digunakan untuk
pertanian. Jika dilihat dari pemanfaatan lahan, Desa Banjarsari merupakan
kawasan pertanian. Hal ini ditunjukkan oleh pemanfaatan lahan untuk pertanian
maupun perkebunan yang cukup besar dibandingkan dengan pemanfaatan lahan
lainnya, yaitu 164 Ha untuk sawah irigasi setengah teknis, 97 Ha untuk sawah
tadah hujan, dan 185 Ha untuk perkebunan rakyat.
Wilayah Desa Banjarsari terbagi menjadi 6 RW dan 26 RT. Tahun 2008,
jumlah penduduk sebanyak 4 702 jiwa yang terdiri dari 1 095 kepala keluarga
(KK). Jumlah penduduk menurut jenis kelamin yaitu 2 407 jiwa penduduk laki-laki
dan 2 295 jiwa penduduk perempuan.
Kualitas Sumberdaya manusia di Desa Banjarsari dapat diketahui dengan
melihat tingkat pendidikan penduduk di desa ini. Tingkat pendidikan penduduk
Desa Banjarsari ditunjukkan pada Tabel 9.
Secara umum, tingkat pendidikan penduduk di Desa Banjarsari tergolong
rendah yang ditunjukkan oleh banyaknya penduduk yang hanya menyelesaikan
pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar (SD) sedangkan penduduk yang
mampu menyelesaikan pendidikan sampai tingkat yang lebih tinggi hanya
sebagian kecil bahkan yang mampu menyelesaikan pendidikan hingga
perguruan tinggi sangat sedikit. Keadaan ini memberikan dampak pada
kemampuan ekonomi penduduk dan besarnya peluang penduduk memperoleh
pekerjaan yang lebih baik. Hal ini dibuktikan oleh jenis pekerjaan penduduk di
Desa Banjarsari. Tabel berikut ini menunjukkan jenis pekerjaan penduduk Desa
Banjarsari.
35
Tabel 9 Tingkat pendidikan penduduk Desa Banjarsari
No
Tingkat Pendidikan
1
2
3
4
5
6
7
8
Tidak tamat SD/sederajat
Tamat SD/sederajat
Tamat SLTP/sederajat
Tamat SLTA/sederajat
Tamat D1
Tamat D2
Tamat D3
Tamat Perguruan Tinggi (S1)
Jumlah (orang)
0
1 704
401
261
3
3
17
9
Persentase
(%)
0
71.1
16.7
10.9
0.1
0.1
0.7
0.4
Jenis pekerjaan penduduk Desa Banjarsari tidak beragam. Pada Tabel 10
ditunjukkan beberapa jenis pekerjaan penduduk di Desa Banjarsari.
Tabel 10 Jenis pekerjaan penduduk Desa Banjarsari
No
Jenis Pekerjaan
1
2
3
4
5
6
7
Petani
Buruh tani
Buruh/swasta
PNS
Pengrajin
Pedagang
Bengkel/montir
Total
Jumlah (orang)
1 638
472
403
19
5
125
3
2 665
Persentase
(%)
61.5
17.7
15.1
0.7
0.2
4.7
0.1
100
Dari 4 702 jiwa penduduk, hanya 2 665 jiwa penduduk yang memiliki
pekerjaan tetap, sisanya 2 037 jiwa penduduk tidak teridentifikasi jenis
pekerjaannya. Keberagaman jenis pekerjaan di Desa Banjarsari tidak beragam.
Jenis pekerjaan penduduk Desa Banjarsari sebagian besar sebagai petani
(61.5%) dan buruh tani (17.7%), sisanya terbanyak memiliki jenis pekerjaan
sebagai buruh/swasta (15.1%) dan pedagang (4.7%). Berdasarkan data tahun
2008, potensi ekonomi yang paling menonjol dan sudah dikembang di Desa
Banjasari adalah bidang industri pengolahan, perikanan, dan pertanian.
Berdasarkan data potensi desa 2008, jumlah prasarana kesehatan yang
tersedia di Desa Banjarsari adalah 9 unit posyandu, 1 unit Poskesdes yang
dikelola oleh 1 bidan. Selain itu tersedia 10 tenaga kesehatan tradisional yang
terdiri dari 6 orang paraji, 2 orang pengobatan tradisional, dan 2 orang paraji
terlatih.
Jika dibandingkan dengan desa sekitarnya, sembilan unit Posyandu
yang tersedia di Desa Banjarsari belum mampu memberikan pelayanan secara
efektif, terlihat dari masih ada sekitar 4 balita di desa ini yang mengalami gizi
36
kurang dan gizi buruk, bahkan masih ada sejumlah balita gizi kurang lainnya
yang tidak teridentifikasi oleh posyandu. Desa Banjarsari memiliki keterbatasan
dalam pelayanan kesehatan, karena di desa sekitar terdapat paling tidak satu
Dokter dan lebih dari satu Bidan yang memberikan pelayanan di Desa tersebut.
Keterbatasan
jumlah
petugas
maupun
sarana
kesehatan
di
desa
ini
menyebabkan masyarakat desa harus keluar desa untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang lebih menunjang baik ke Puskesmas maupun praktek
Dokter. Akan tetapi bagi mereka yang tidak memiliki cukup uang untuk
menjangkau pelayanan tersebut maka mereka memilih meminta pelayanan
kesehatan dari tenaga kesehatan tradisional yang ada di desanya.
Untuk sarana dan prasarana pendidikan di wilayah Desa Banjarsari
terdapat 3 unit SD negeri dan 3 unit TPA. Keterbatasan sarana pendidikan ini
menyebabkan banyak penduduk yang tidak dapat melanjutkan sekolah anaknya
ke tingkat yang lebih tinggi, karena untuk melanjutkan sekolah mereka harus
keluar desa dan jarak tempuh yang cukup jauh sehingga membutuhkan biaya
yang lebih besar apabila dibandingkan jika di desa tersebut tersedia sekolah
lanjutan.
Karakteristik Sosial Ekonomi Rumahtangga
Umur
Klasifikasi umur kepala rumahtangga (KRT) dibagi menjadi tiga kelompok
umur berdasarkan Hurlock (1980), yaitu dewasa awal (18 – 39 tahun), dewasa
madya (40 – 59 tahun), dan lansia (≥ 60 tahun). Klasifikasi umur kepala
rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Klasifikasi umur KRT
Kelompok Umur
18 – 39 tahun
40 - 59 tahun
≥ 60
Jumlah
Min-max
Rataan
Pasindangan
n
%
8
16.0
37
74.0
5
10.0
50
100.0
26-80
46 ± 13.503
Banjarsari
n
%
19
37.3
21
41.2
11
21.6
51
100.0
25-885
46.88 ± 10.056
Total
n
%
27
26.7
58
57.4
16
15.8
101
100.0
26-85
46.44 ± 11.87
Dari kedua desa terlihat bahwa sebaran umur kepala rumahtangga
berkisar antara 26 sampai 85 tahun, dan rataan 46.44 ± 11.87. Sebaran umur
KRT terbesar (57.4%) berada pada kelompok umur dewasa madya (40-59
tahun), selanjutnya sebanyak 26.7 persen merupakan KRT dengan kelompok
umur dewasa awal, dan terakhir 15.8 persen KRT tergolong kelompok umur
37
lansia (≥ 60 tahun). Apabila dilihat berdasarkan sebaran umur perdesa maka
dapat terlihat sebaran umur kepala rumahtangga di Desa Pasindangan berkisar
antara 26 tahun hingga 80 tahun, dan rataan 46 ± 13.503, 74 persen KRT berada
pada kelompok umur dewasa madya (40 – 59 tahun), 16 persen KRT lainnya
berada pada kelompok umur dewasa awal (18 – 39 tahun), dan sisanya 10
persen KRT termasuk kelompok umur lansia (≥ 60 tahun), sehingga di Desa
Pasindangan sebaran umur kepala keluarga terbesar adalah pada sebaran umur
dewasa madya. Berbeda dengan Desa Pasindangan, sebaran umur kepala
rumahtangga di Desa Banjarsari berkisar antara 25-85 tahun, dan rataan 46.88 ±
10.056. Kondisi yang sama terjadi pada Desa Banjarsari dimana sebaran umur
terbanyak berada pada kelompok umur dewasa madya (40 – 59 tahun) sebanyak
41.2 persen, selanjutnya KRT pada kelompok umur dewasa awal (18 – 39 tahun)
sebanyak 26.7 persen, terakhir sebanyak 15.8 persen KRT berada pada
kelompok umur lansia (≥ 60 tahun).
Tabel 12 Sebaran rumahtangga berdasarkan ketahanan pangan dan umur KRT
Kelompok
Umur
18 - 39 tahun
40 - 59 tahun
≥ 60 tahun
Jumlah
Rawan
Pangan
Berat
n
%
9
34.6
14
53.8
3
11.5
26 100.0
Tingkat Ketahanan Pangan
Rawan
Rawan
Pangan
Pangan
Sedang
Ringan
n
%
n
%
2
40.0
0
0
3
60.0
4
57.1
0
0
3
42.9
5 100.0
7 100.0
Tahan
Pangan
n
16
3
10
63
%
25.4
58.7
15.9
100.0
Total
n
27
58
16
101
%
26.7
57.4
15.8
100.0
Sebaran ketahanan pangan rumahtangga berdasarkan umur KRT dapat
dilihat pada Tabel 12. Sebaran rumahtangga tahan pangan berdasarkan
kelompok umur KRT menunjukkan bahwa umur KRT pada rumahtangga tahan
pangan sebagian besar (58.7%) termasuk kelompok umur dewasa madya (40-59
tahun), sisanya masing-masing sebanyak 25.4 persen dan 15.9 persen
termasuk kelompok umur dewasa awal dan lansia. Pada rumahtangga rawan
pangan ringan, sebagian besar (57.1%) KRT termasuk kelompok umur dewasa
madya, sisanya sebanyak 42.9 persen termasuk ke dalam kelompok umur lansia
(≥ 60 tahun). Pada rumahtangga rawan pangan sedang, sebagian besar (60%)
KRT termasuk ke dalam kelompok umur dewasa madya, sisanya (40%)
termasuk kelompok umur dewasa muda. Pada rumahtangga rawan pangan
berat, sebanyak 53.8 persen rumahtangga tersebut memiliki KRT yang termasuk
38
ke dalam kelompok umur dewasa madya, sisanya (34.6% dan 11.5%) termasuk
kelompok umur dewasa muda dan lansia.
Klasifikasi umur ibu rumahtangga (IRT) dibagi menjadi tiga kelompok
umur, yaitu dewasa awal (18 – 39 tahun), dewasa madya (40 – 59 tahun), dan
lansia (≥ 60 tahun). Klasifikasi umur IRT dapat dilihat pada tabel 13.
Tabel 13 Klasifikasi umur IRT
Kelompok umur
18–39 tahun
40-59 tahun
≥ 60
Jumlah
Min-max
Rataan
Pasindangan
n
%
23
46.0
23
46.0
4
8.0
50
100.0
25-65
41.62 ± 8.739
Banjarsari
n
%
24
47.1
25
49.0
2
3.9
51
100.0
20-75
39.96 ± 12.260
Total
n
%
46.5
47.5
5.9
100.0
47
48
6
101
20-75
40.78 ± 10.643
Dilihat berdasarkan tabel klasifikasi umur IRT di atas, terlihat bahwa
kisaran umur ibu di kedua desa antara 20-75 tahun, dan rataan 40.78 ± 10.643,
rata-rata umur ibu lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata umur kepala
rumahtangga. Distribusi umur ibu terbanyak (47.5%) berada pada kelompok
umur dewasa madya (40 – 59 tahun), sebaran berikutnya (46.5%) berada pada
kelompok umur dewasa awal (18 – 39 tahun), dan terakhir (5.9%) berada pada
kelompok umur lansia (≥ 60 tahun). Apabila dilihat berdasarkan sebaran umur
ibu di tiap desa maka untuk Desa Pasindangan sebaran umur ibu berkisar antara
25 hingga 65 tahun dengan rataan 41.62 ± 8.739. Sebaran umur ibu di Desa
Pasindangan berkisar pada kelompok umur dewasa awal (18 – 39 tahun) dan
dewasa madya (40 – 59 tahun) dengan proporsi persentase yang sama (46%)
dan sisanya berada pada kelompok umur lansia (≥ 60 tahun). Sebaran umur ibu
di Desa Banjarsari berkisar antara 20 sampai 75 tahun dan rataan 39.96 ±
12.260. Sebaran terbanyak (49%) berada pada kelompok umur dewasa madya
(40 – 59 tahun), sedangkan sebanyak 47.1 persen ibu berada pada kelompok
umur dewasa awal (18 – 39 tahun) dan sebanyak 3.9 persen ibu berada pada
kelompok umur lansia (≥ 60 tahun).
Pendidikan
Klasifikasi pendidikan didasarkan pada lama sekolah yang dilakukan oleh
contoh tetapi tidak terhitung tinggal kelas, sehingga dibedakan menjadi 5
kelompok yaitu TS (tidak sekolah), SD (6 tahun), SMP (9 tahun), SMA (12
tahun), dan PT/perguruan tinggi (16 tahun). Klasifikasi pendidikan anggota
rumahtangga (ART) disajikan pada Tabel 14.
39
Berdasarkan Tabel 14, lama sekolah anggota rumah tangga berkisar
antara 0-16 tahun, dengan rataan 4.44 ± 3.461. Sebaran pendidikan terbesar
(55.4%) di kedua desa adalah SD, TS (23.5%), SMP (15.7%), SMA (5.0%), dan
sebagian kecil (0.4%) adalah PT.
Tabel 14 Klasifikasi pendidikan ART
Pendidikan
TS
SD
SMP
SMA
PT
Jumlah
Min-max
Rataan
Pasindangan
n
%
58
23.0
139
55.2
36
14.3
18
7.1
1
0.4
252
100
0-13
4.53 ± 3.526
Banjarsari
n
%
65
24
151
55.7
46
17.0
8
3.0
1
0.4
271
100
0-16
4.37± 3.404
Total
n
%
123
23.5
290
55.4
82
15.7
26
5.0
2
0.4
523
100
0-16
4.44 ± 3.461
Apabila dilihat berdasarkan tiap desa maka sebaran pendidikan anggota
rumahtangga di Desa Pasindangan berkisar antara 0 hingga 13 tahun dan rataan
4.53 ± 3.526, terdiri dari contoh terbanyak (55.2%) tersebar pada SD, kemudian
TS (23%), SMP (14.3%), SMA (7.1%), dan terakhir PT (0.14%), sedangkan di
desa Banjarsari sebaran pendidikan anggota rumah tangga berkisar antara 0
(TS) hingga 16 tahun (PT) dan rataan 4.37± 3.404. sebaran terbanyak (55.7%)
adalah SD, TS (24%), SMP (17%), SMA (3%), dan terakhir PT (0.4%). Tingkat
pendidikan anggota rumahtangga di kedua desa sudah cukup baik, terdapat 2
contoh yang telah mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Hal ini dapat
dikatakan baik melihat kondisi wilayah kedua desa yang cukup terbatas sarana
pendidikannya, khususnya Desa Pasindangan yang letaknya jauh dari pusat kota
kabupaten. Akan tetapi masih banyak pula anggota rumahtangga yang tidak
sekolah, diduga contoh yang tidak sekolah adalah contoh dalam kelompok umur
dewasa madya dan lansia.
Tabel 15 Klasifikasi pendidikan KRT
Pendidikan
TS
SD
SMP
SMA
PT
Jumlah
Min-max
Rataan
Pasindangan
n
%
7
14.0
37
74.0
2
4.0
4
8.0
0
0
50
100
0-12
4.68 ± 3.113
Banjarsari
n
%
4
7.8
37
72.5
7
13.7
3
5.9
0
0
51
100
0-12
5.41 ± 2.872
Total
n
%
11
10.9
74
73.3
9
8.9
7
6.9
0
0
101
100.0
0-12
5.05 ± 3.001
40
Berdasarkan Tabel 15 lama sekolah kepala rumahtangga berkisar antara
0-12 tahun atau TS hingga ada yang SMA,
dengan rataan 5.05 ± 3.001.
Sebaran pendidikan terbesar (73.3%) di kedua desa adalah SD, TS (10.9%),
SMP (8.9%), SMA (6.9%), dan tidak ada yang lulus PT (0%). Tingkat pendidikan
kepala rumahtangga masih rendah karena hampir setengah dari jumlah contoh
hanya bersekolah hingga bangku SD.
Bila dilihat lebih rinci berdasarkan tiap desa maka sebaran pendidikan
kepala rumahtangga di Desa Pasindangan berkisar antara 0 hingga 12 tahun
dan rataan 4.68 ± 3.113, terdiri dari contoh terbanyak (74%) tersebar pada SD,
kemudian TS (14%), SMP (4%), SMA (8%), dan terakhir PT (0%). Di Desa
Banjarsari sebaran pendidikan kepala rumahtangga berkisar antara 0 (TS)
hingga 12 tahun (SMA) dan rataan 5.41 ± 2.872. Sebaran terbanyak (72.5%)
adalah SD, TS (7.8%), SMP (13.7%), SMA (5.9%), dan terakhir PT (0%).
Berdasarkan analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan (r= -0.040, p>0.05) antara pendidikan KRT dengan
ketahanan pangan rumahtangga.
Tabel 16 Klasifikasi pendidikan IRT
Pendidikan
TS
SD
SMP
SMA
PT
Jumlah
Min-max
Rataan
Pasindangan
n
%
14
28.0
33
66.0
1
2.0
2
4.0
0
0
50
100
0-12
3.62 ± 2.989
Banjarsari
n
%
6
11.8
37
72.5
6
11.8
1
2.0
1
2.0
51
100
0-16
5.06 ± 3.107
Total
n
%
20
19.8
70
69.3
7
6.9
3
3
1
1
101
100
0-16
4.35 ± 3.119
Berdasarkan Tabel 16 lama sekolah ibu rumahtangga berkisar antara 016 tahun atau TS hingga PT, dengan rataan 4.35 ± 3.119. Rata-rata lama
sekolah ibu lebih tinggi dari lama sekolah ayah yaitu 16 tahun. Sebaran
pendidikan terbesar (69.3%) di kedua desa adalah SD, TS (19.8%), SMP (6.9%),
SMA (3%), dan PT (1%). Tingkat pendidikan ibu masih dikatakan rendah, karena
sebagian besar contoh hanya sekolah sampai tingkat SD sama seperti kepala
rumahtangga.
Bila dilihat lebih rinci berdasarkan tiap desa maka sebaran pendidikan ibu
rumahtangga di Desa Pasindangan berkisar antara 0 hingga 12 tahun dan rataan
3.62 ± 2.989, terdiri dari contoh terbanyak (66.0%) tersebar pada SD, kemudian
41
TS (28.0%), SMP (2.0%), SMA (4.0%), dan terakhir PT (0%). Sedangkan di Desa
Banjarsari sebaran pendidikan kepala rumahtangga berkisar antara 0 (TS)
hingga 16 tahun (SMA) dan rataan 5.06 ± 3.107. Sebaran terbanyak (72.5%)
adalah SD, TS (11.8%), SMP (11.8%), SMA (2.0%), dan terakhir PT (2.0%).
Berdasarkan analisis korelasi Spearman tidak terdapat hubungan yang signifikan
(r=
0.027,
p>0.05)
antara
pendidikan
IRT
dengan
ketahanan
pangan
rumahtangga.
Pekerjaan
Klasifikasi pekerjaan kepala rumahtangga di Desa Pasindangan dan
Desa Banjarsari disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17 Klasifikasi pekerjaan KRT
Jenis Pekerjaan
Pekerjaan utama
Petani
Pekerjaan tambahan
Tidak ada
Pedagang
Buruh
Wiraswasta
Guru
Security
Tukang urut
Pensiunan
Penghulu
Supir
Jumlah
Pasindangan
n
%
50
19
21
7
0
0
1
1
1
0
0
50
Banjarsari
n
%
100
38
42
14
0
0
2
2
2
0
0
100
Total
n
%
51
100
101
100
21
6
20
1
1
0
0
0
1
1
51
41.2
11.8
39.2
2
2
0
0
0
2
2
100
40
27
27
1
1
1
1
1
1
1
101
39.6
26.7
26.7
1
1
1
1
1
1
1
100
Dari Tabel 17 dapat dilihat bahwa pekerjaan utama kepala rumahtangga
di kedua desa adalah petani. Untuk pekerjaan tambahan, di Desa Pasindangan
pekerjaan tambahan kepala rumahtangga yang paling besar sebarannya adalah
sebagai pedagang (42%) kemudian sebagai buruh (14 %), dan sisanya masingmasing (2%) sebagai security, tukang urut, dan pensiunan. Di Desa Banjarsari,
pekerjaan tambahan yang paling banyak dilakukan oleh contoh adalah sebagai
buruh (39.2%), kemudian pedagang (11.8%), sisanya masing-masing sebanyak
2% bekerja sebagai wiraswasta, guru, penghulu, dan supir. Namun masih cukup
banyak contoh dari keseluruhan contoh yang tidak memiliki pekerjaan tambahan
dan hanya tergantung pada pekerjaan utama sebagai petani.
42
Komposisi Anggota Rumahtangga
Komposisi
anggota
rumahtangga
(ART)
dikelompokkan
dalam
7
kelompok berdasarkan Hurlock (1980) yaitu lansia (≥ 60 tahun), dewasa madya
(40-59 tahun), dewasa awal (20-39 tahun), remaja (12-19 tahun), anak usia
sekolah/AUS (6-11 tahun), balita (25-60 bulan), dan bayi (0-24 bulan). Klasifikasi
komposisi rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 18.
Komposisi rumahtangga dilihat dari kedua desa, proporsi rumahtangga
terbesar (26.2%) berada pada kelompok dewasa awal, 20.3 persen proporsi
pada kelompok dewasa madya, 18 persen proporsi pada kelompok remaja, 16.3
persen proporsi pada kelompok AUS, 8.6 persen proporsi pada balita, 5.9 persen
proporsi pada kelompok lansia, dan proporsi sisanya (4.8%) pada kelompok bayi.
Tabel 18 Klasifikasi komposisi ART
Komposisi
Rumahtangga
Lansia
Dewasa madya
Dewasa awal
Remaja
AUS
Balita
Bayi
Jumlah
Pasindangan
n
%
13
5.2
58
23.0
62
24.6
52
20.6
43
17.1
16
6.3
8
3.2
252
100
Banjarsari
n
%
18
18
48
48
75
17.7
42
27.7
42
15.5
29
10.7
17
6.3
271
100
Total
n
31
106
137
94
85
45
25
523
%
5.9
20.3
26.2
18.0
16.3
8.6
4.8
100
Jika dilihat berdasarkan masing-masing desa, Desa Pasindangan
proporsi anggota rumahtangga terbesar (24.6%) pada kelompok dewasa awal,
kemudian proporsi anggota rumahtangga lainnya berturut-turut dewasa madya,
remaja, AUS, balita, lansia, dan bayi (23%, 20.6%, 17.1%, 6.3%, 5.2%, dan
3.2%). Pada Desa Banjarsari proporsi anggota rumahtangga terbesar (48%)
pada kelompok dewasa madya, kemudian selanjutnya berturut-turut proporsi
anggota rumahtangga lainnya pada kelompok remaja, lansia, dewasa awal, AUS,
balita, dan bayi (27.7%, 18%, 17.7%, 15.5%, 10.7%, 6.3%).
Kontrol Keuangan
Menurut
Sajogyo
(1983)
tingkat keputusan
dihubungkan
dengan
pengeluaran dalam kebutuhan pokok yang terdiri dari: (1) makanan (biaya hidup,
jenis atau menu makanan, distribusi), (2) perumahan (pembelian dan perbaikan),
pakaian, pendidikan, kesehatan, dan perabot rumahtangga. Sedangkan untuk
jenis keputusan rumahtangga, dikelompokkan dalam lima tingkatan yaitu: (1)
keputusan dibuat oleh istri seorang diri tanpa melibatkan suami, (2) keputusan
43
dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh yang lebih besar dari
istri, (3) keputusan dibuat bersama dan senilai oleh suami-istri (dengan tidak ada
tanda-tanda bahwa salah satu mempunyai pengaruh yang relatif lebih besar), (4)
keputusan dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh yang lebih
besar dari suami, (5) keputusan dibuat oleh suami seorang diri tanpa melibatkan
istri.
Tabel 19 Sebaran rumahtangga menurut kontrol keuangan di Desa Pasindangan
Jenis Keputusan
Makanan
Pendidikan
Kesehatan
Perumahan
Pakaian
Peralatan RT
Rekreasi
Tabungan
Keseluruhan
Suami
Sendiri
(%)
2
8
12
16
10
12
16
18
16
Suami
Dominan
(%)
4
10
8
10
6
4
8
6
6
Istri
Sendiri
(%)
60
36
38
34
38
54
36
40
36
Istri
Dominan
(%)
28
22
20
28
34
22
22
18
20
Bersama
Setara
(%)
6
24
22
12
12
8
18
18
22
Total
100
100
100
100
100
100
100
100
100
Sebaran kontrol keuangan di desa Pasindangan dapat dilihat pada Tabel
19. Secara keseluruhan pengeluaran kontrol keuangan di putuskan istri sendiri
(36%). Untuk makanan, keputusan terhadap makanan dan peralatan RT lebih
besar di pegang oleh istri sendiri yaitu masing-masing sebesar 60 persen dan 54
persen, untuk keputusan pendidikan, kesehatan, perumahan, pakaian, rekreasi
dan tabungan juga lebih banyak dipegang oleh istri sendiri.
Tabel 20 Sebaran rumahtangga menurut kontrol keuangan di desa banjarsari
Jenis keputusan
Makanan
Pendidikan
Kesehatan
Perumahan
Pakaian
Peralatan RT
Rekreasi
Tabungan
Keseluruhan
Suami
sendiri
(%)
0
0
0
2
0
0
0
0
0
Suami
Dominan
(%)
2
7.8
9.8
13.7
5.9
2
9.8
7.8
9.8
Istri
Sendiri
(%)
52.9
17.6
19.6
17.6
27.5
25.5
17.6
17.6
17.6
Istri
Dominan
(%)
43.1
39.2
58.8
49
58.8
66.7
60.8
60.8
60.8
Bersama
Setara
(%)
2
35.3
11.8
17.6
7.8
5.9
11.8
13.7
11.8
Total
100
100
100
100
100
100
100
100
100
Di desa banjarsari, keputusan terhadap kontrol keuangan rumahtangga
secara keseluruhan lebih dominan istri (60.8%). Keputusan terhadap makanan
lebih dari setengah (52.9%) contoh dipegang oleh istri sendiri. Untuk jenis
44
keputusan lainnya seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, pakaian, peralatan
RT, rekreasi, dan tabungan dominan ditentukan oleh istri.
Ukuran rumahtangga
Ukuran rumahtangga dikelompokkan ke dalam tiga kelompok (BKKBN
1998), yaitu rumahtangga kecil bila jumlah anggota rumahtangga ≤ 4 orang,
rumahtangga sedang bila jumlah anggota rumahtangga antara 5-6 orang, dan
rumahtangga besar bila anggotanya ≥ 7 orang. Klasifikasi ukuran rumahtangga
dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21 Klasifikasi ukuran rumahtangga
Ukuran Rumahtangga
Kecil : ≤ 4 orang
Sedang : 5 – 6 orang
Besar : ≥ 7 orang
Jumlah
Pasindangan
n
%
26
52.0
16
32.0
8
16.0
50
100.0
Banjarsari
n
%
24
47.1
14
27.5
13
25.5
51
100.0
Total
n
50
30
21
101
%
49.5
29.7
20.8
100.0
Berdasarkan pengelompokkan tersebut dari kedua desa hampir setengah
(49.5%) contoh merupakan rumahtangga kecil, 29.7 persen contoh merupakan
rumahtangga sedang, dan sisanya (20.8%) merupakan rumahtangga besar. Bila
dibedakan berdasarkan masing-masing desa, maka sebaran jumlah anggota
rumahtangga di Desa Pasindangan sebagian (52%) contoh merupakan
rumahtangga kecil, 32 persen contoh merupakan rumahtangga sedang, dan
sisanya 16 persen contoh merupakan rumahtangga besar. Sedangkan sebaran
ukuran rumahtangga di Desa Banjarsari 47.1 persen merupakan rumahtangga
kecil, 27.5 persen contoh merupakan rumahtangga sedang, dan 25.5 persen
contoh merupakan rumahtangga besar.
Tabel 22 Sebaran rumahtangga berdasarkan ketahanan pangan dan ukuran
rumahtangga
Ukuran
Rumahtangga
Kecil : ≤ 4
Sedang : 5 – 6
Besar : ≥ 7
Jumlah
Rawan
Pangan
Berat
n
%
7
26.9
10
38.5
9
34.6
26 100.0
Tingkat Ketahanan Pangan
Rawan
Rawan
Pangan
Pangan
Sedang
Ringan
n
%
n
%
1
20.0
4
57.1
4
80.0
3
42.9
0
0
0
0
5 100.0
7 100.0
Karakteristik lain untuk mengidentifikasi
Tahan
Pangan
n
38
13
12
63
%
60.3
20.6
19.0
100.0
Total
n
50
30
21
101
%
49.5
29.7
20.8
100.0
rumahtangga yang tahan
pangan dapat dilihat berdasarkan ukuran rumahtangga. Berdasarkan Tabel 22
maka dapat dilihat bahwa, rumahtangga tahan pangan adalah rumahtangga kecil
45
(60.3%) yang terdiri dari 4 orang anggota rumahtangga, sedangkan rumahtangga
rawan pangan ringan sebanyak 57.1 persen merupakan rumahtangga kecil dan
sisanya 42.9 persen adalah rumahtangga sedang. Pada rumahtangga rawan
pangan sedang adalah rumahtangga kecil dan sedang yaitu masing-masing
sebesar 20 persen dan 80 persen. Pada rumahtangga rawan pangan berat,
sebanyak 38.5 persen adalah rumahtangga sedang yang terdiri dari antara 5-6
orang anggota rumahtangga.
Berdasarkan analisis korelasi Spearman terdapat hubungan negatif (r= 0.261, p<0.01) antara ukuran rumahtangga dengan ketahanan pangan
rumahtangga. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin besar ukuran
rumahtangga maka semakin kecil peluang tercapainya ketahanan pangan
rumahtangga. Hal ini seiring dengan pernyataan Hartog, Staveren, dan Brouwer
(1995) yang menyatakan bahwa besar keluarga akan mempengaruhi kebiasaan
makan dan gizi, khususnya pada rumah tangga miskin yang bergantung pada
pendapatan tunai untuk membeli bahan pangan. Martianto dan Ariani (2004) juga
menyatakan bahwa pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak
akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga tersebut tetapi
hanya mencukupi sebagian dari anggota keluarga itu.
Kepemilikan Luas Lahan
Rumahtangga
contoh
diklasifikasikan
menjadi
empat
golongan
berdasarkan kepemilikan lahan, yaitu yang tidak memiliki lahan, memiliki lahan
dibawah 5 000 m2, memiliki lahan 5 000-10 000 m2, dan memiliki lahan lebih dari
10 000 m2.
Tabel 23 Klasifikasi Kepemilikan Luas Lahan
Luas Lahan
yg Dimiliki
0
< 5 000
5 000-10 000
>10 000
Jumlah
Min-max
Rataan
Pasindangan
n
%
12
24.0
14
28.0
17
34.0
7
14.0
50
100
0-20 000
4592 ± 4755.956
Banjarsari
n
%
25
49.0
19
37.3
4
7.8
3
5.9
51
100.0
0-20 000
2372.94 ± 4724.47
Total
n
%
37
36.6
33
32.7
21
20.8
10
9.9
101
100.0
0-20 000
3471.49 ± 4846.331
Berdasarkan pengolongan tersebut dapat dilihat sebaran rumahtangga
dari kedua desa memiliki lahan seluas 0 – 20 000 m2 dengan rataan 3 471.49 ±
4846.331. Sebanyak 36.6 persen contoh tidak memiliki lahan, 32.7 persen
contoh memiliki luas lahan kurang dari 5000 m2, 20.8 persen contoh memiliki
46
luas lahan 5 000-10 000 m2, dan sisanya hanya 9.9 persen contoh yang memiliki
luas lahan lebih dari 10 000 m2. Apabila dilihat dari sebaran masing-masing
desa, di Desa Pasindangan rataan kepemilikan lahan sebesar 4 592 ± 4
755.956, dari 50 contoh hanya 14 persen contoh yang memiliki luas lahan lebih
dari 10000 m2, umumnya contoh memiliki luas lahan 5 000-10 000 m2 (34%),
kurang dari 5 000 m2 (28%), dan sisanya (24%) contoh tidak memiliki lahan. Di
Desa Banjarsari rataan luas lahan yang dimiliki sebesar 2 372.94 ± 4 724.47,
hampir setengah contoh (49%) tidak memiliki lahan, 37.3 persen contoh memiliki
luas lahan kurang dari 5 000 m2, 7.8 persen contoh memiliki luas lahan sebesar
5 000-10 000 m2, dan hanya 5.9 persen contoh yang memiliki luas lahan lebih
dari 10 000 m2.
Berdasarkan luas lahan yang dimiliki dari seluruh contoh, maka dapat
dilihat bahwa rumahtangga rawan pangan berat adalah rumah tangga yang tidak
memiliki lahan (61.5%) sedangkan rumahtangga yang rawan pangan sedang
adalah rumahtangga yang memiliki luas lahan kurang dari 5 000 m2 dan tidak
memiliki lahan (40% dan 40%). Pada rumahtangga rawan pangan ringan hampir
setengahnya (42.9%) adalah rumahtangga yang memiliki lahan kurang dari 5
000 m2. Untuk rumahtangga tahan pangan persentase terbesar contoh adalah
yang memiliki luas lahan kurang dari 5000 m2 (36.5%), berikutnya 23.8 persen
adalah rumahtangga yang memiliki luas lahan 5 000-10 000 m2, dan 12.7 persen
contoh yang memiliki luas lahan lebih dari 10 000 m2. Akan tetapi cukup banyak
pula rumahtangga tahan pangan yang tidak memiliki lahan (27.0%).
Tabel 24 Sebaran rumahtangga berdasarkan kepemilikan luas lahan dan
ketahanan pangan
Luas Lahan
yang Dimiliki
0
< 5000
5000-10000
>10000
Jumlah
Rawan
Pangan
Berat
n
%
16
61.5
5
19.2
4
15.4
1
3.8
26 100.0
Tingkat Ketahanan Pangan
Rawan
Rawan
Pangan
Pangan
Sedang
Ringan
n
%
n
%
2
40.0
2
28.6
2
40.0
3
42.9
1
20.0
1
14.3
0
0
1
14.3
5 100.0
7 100.0
Tahan
Pangan
n
17
23
15
8
63
%
27.0
36.5
23.8
12.7
100.0
Total
n
37
33
21
10
101
%
36.6
32.7
20.8
9.9
100.0
Dari gambaran tersebut dapat dilihat bahwa rumahtangga yang tahan
pangan sebagian besar adalah rumahtangga yang memiliki lahan garapan,
sedangkan
rumahtangga
rawan
pangan
berat
sebagian
besar
adalah
47
rumahtangga yang tidak memiliki lahan. Berdasarkan analisis korelasi Spearman
diperoleh r= 0.273 dan p<0.01 antara kepemilikan luas lahan dengan ketahanan
pangan rumahtangga. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif yang signifikan antara kepemilikan luas lahan dengan ketahanan pangan
rumahtangga. Semakin luas lahan yang dimiliki maka semakin besar peluang
tercapainya ketahanan pangan rumahtangga.
Akses Pangan
Akses Fisik
Akses fisik menentukan apakah sumber pangan yang dikonsumsi dapat
ditemui dan mudah diperoleh. Menurut Penny (1990), kemudahan dalam
memperoleh pangan ditunjang oleh tersedianya sarana fisik yang cukup dalam
memperoleh pangan. Jika dilihat berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan
oleh peneliti, Desa Pasindangan memiliki akses pangan yang lebih rendah
dibandingkan dengan Desa Banjarsari.
Desa Pasindangan terletak jauh dari kota kabupaten, kondisi jalan kurang
memadai, kendaraan umum yang beroperasi hanya satu jenis, dengan jumlah
dan waktu operasi terbatas. Jarak antara wilayah Desa Pasindangan dengan
pasar terdekat kurang lebih 7 kilometer dengan hari pasar pada hari tertentu.
Ketersediaan warung di wilayah ini terbatas, jumlah warung yang lengkap
menjual kebutuhan pokok baik kebutuhan pangan maupun non pangan hanya
dua buah, sisanya merupakan warung kecil yang menjual kebutuhan terbatas.
Untuk kebutuhan pangan segar, selain membeli ke pasar juga tersedia tiga
penjual sayur keliling untuk luas seluruh wilayah Desa.
Pada Desa Banjarsari, wilayah desa ini dekat dengan ibukota kabupaten
sehingga akses terhadap pangan cukup baik. Jarak pasar hanya 5 kilometer, di
desa tersebut banyak (lebih dari 10) warung yang menjual kebutuhan pangan
dan non pangan. Kebutuhan pangan segar dapat diperoleh dengan mudah di
warung-warung penjual bahan pangan segar. Kondisi jalan sudah baik, banyak
tersedia kendaraan umum yang dapat digunakan untuk mengakses pangan.
Akses Ekonomi
Akses ekonomi dapat diukur dengan menggunakan pengeluaran
rumahtangga. Pengeluaran rumahtangga adalah total pengeluaran rumahtangga
untuk kebutuhan pangan dan kebutuhan non pangan. Pengeluaran perkapita
rumahtangga merupakan penjumlahan total pengeluaran pangan per tahun dan
total pengeluaran pangan non-pangan per tahun rumahtangga, dibagi dengan
48
jumlah hari dalam satu tahun yaitu 365 hari, kemudian dibagi dengan jumlah
anggota rumahtangga.
Pengeluaran perkapita rumahtangga contoh rata-rata sebesar Rp 254
241. pengeluaran terkecil sebesar Rp 40 394 dan terbesar adalah sebesar Rp 1
140 028. Pengeluaran perkapita terkecil dimiliki oleh rumahtangga contoh di
Desa Banjarsari, sedangkan pengeluaran perkapita terbesar terdapat pada
rumahtangga contoh di Desa Pasindangan. Teori Engels menyebutkan bahwa
persentase pengeluaran rumahtangga yang dibelanjakan untuk kebutuhan
pangan meningkat pada saat terjadinya penurunan pendapatan dan akan
menurun dengan meningkatnya pendapatan (Khomsan 2002b). Proporsi ratarata pengeluaran pangan rumahtangga adalah sebesar 39.55 persen, proporsi
pengeluaran terkecil adalah 8.10 persen pada contoh di Desa Pasindangan dan
terbesar adalah 84.26 persen pada contoh di Desa Banjarsari. Tanziha (1992)
dalam Kartika (2005) bahwa secara naluri individu, seseorang akan terlebih
dahulu memanfaatkan setiap penghasilan bagi kebutuhan dasarnya berupa
pangan. Jika kebutuhan dasarnya tersebut telah terpenuhi, maka tiap kelebihan
penghasilannya
dialokasikan
untuk
nonpangan.
Keadaan
tersebut
menggambarkan bahwa rata-rata pendapatan rumahtangga contoh di Desa
Pasindangan lebih tinggi dibandingkan di Desa Banjarsari.
Untuk mengetahui lebih jelas kondisi ekonomi rumahtangga contoh, maka
dapat dilihat pada Tabel 25. Klasifikasi rumahtangga miskin dan tidak miskin
didasarkan pada perbandingan pengeluaran perkapita dengan garis kemiskinan.
Garis kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan tingkat provinsi
Banten tahun 2008 yaitu Rp 156 494. Dikatakan miskin bila pengeluaran
perkapita rumahtangga dibawah garis kemiskinan, dan dikatakan tidak miskin
bila pengeluaran perkapita rumahtangga diatas garis kemiskinan.
Tabel 25 Klasifikasi kemiskinan berdasarkan pengeluaran perkapita
Kemiskinan
Berdasarkan
Pasindangan
Banjarsari
Total
n
%
n
%
N
%
Miskin
14
28.0
18
35.3
32
31.7
Tdk miskin
36
72.0
33
64.7
69
68.3
Jumlah
50
100.0
51
100.0
101
100.0
Pengeluaran
Berdasarkan klasifikasi diatas maka sebagian besar (68.3%) contoh di
kedua desa merupakan rumahtangga tidak miskin dan sisanya (31.7%) contoh
49
merupakan rumahtangga miskin. Untuk Desa Pasindangan, sebagian besar
(72%) contoh merupakan rumahtangga tidak miskin dan sisanya (28%) contoh
merupakan rumahtangga miskin, sedangkan di Desa Banjarsari jumlah
rumahtangga yang miskin sedikit lebih banyak (35.3%) dibandingkan dengan
Pasindangan, sebagian besar (64.7%) contoh lainnya tergolong rumahtangga
tidak miskin.
Walaupun Desa Banjarsari dekat dengan ibukota kabupaten, namun
rumahtangga miskin di desa tersebut lebih banyak dibandingkan di Desa
Pasindangan. Kondisi ini diduga karena perekonomian masyarakat di Desa
Pasindangan adalah pertanian berbasis tanaman kehutanan, sehingga banyak
dari mereka yang memiliki tambahan pendapatan dari penjualan kayu atau
menjual getah karet. Seiring dengan peningkatan pendapatan maka pengeluaran
juga akan bertambah.
Hasil analisis korelasi Pearson antara pengeluaran rumahtangga dan
ketahanan pangan rumahtangga r= 0.251 dan p<0.05, ini menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara pengeluaran rumahtangga dengan
ketahanan pangan rumahtangga. Semakin rendah pengeluaran rumahtangga
maka semakin kecil peluang rumahtangga tersebut tahan pangan.
Akses Sosial
Dukungan Sosial
Dukungan sosial merupakan segala bentuk interaksi berupa bantuan,
perhatian, ataupun penghargaan untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang.
Dukungan sosial dikategorikan ke dalam tiga kelompok yaitu buruk, sedang, dan
baik. Berdasarkan pengelompokkan tersebut maka dari total keseluruhan contoh
di kedua desa dapat diketahui bahwa lebih dari setengah contoh (56.4%)
memiliki dukungan sosial yang baik, sebanyak 22.8 persen contoh memiliki
dukungan sosial yang buruk, dan sisanya 20.8 persen contoh memiliki dukungan
sosial sedang. Bila dibandingkan antar dua desa maka jumlah rumahtangga
yang memiliki dukungan sosial baik di Desa Pasindangan lebih banyak (72%)
dibandingkan rumahtangga di Desa Banjarsari (57%). Sisanya berturut-turut di
Desa Pasindangan 18 persen dan 10 persen sedangkan di Desa Banjarsari 27.5
persen dan 31.4 persen memiliki dukungan sosial buruk dan sedang.
50
Tabel 26 Klasifikasi tingkat dukungan sosial
Dukungan Sosial
Buruk
Sedang
Baik
Jumlah
Pasindangan
n
%
9
18.0
5
10.0
36
72.0
50
100.0
Banjarsari
n
%
14
27.5
16
31.4
21
41.2
51
100.0
Total
n
23
21
57
101
%
22.8
20.8
56.4
100.0
Sarafino (1996) mengemukakan dukungan sosial terdiri dari dukungan
emosi, instrumental, penghargaan, dan dukungan informasi. Dukungan emosi
melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap individu sehingga
menimbulkan rasa nyaman, dicintai dan diperhatikan. Dukungan ini biasanya
diperoleh dari orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan individu.
Dukungan instrumental melibatkan bantuan langsung, misalnya berupa bantuan
finansial atau bantuan dalam mengerjakan tugas. Dukungan penghargaan dapat
berupa pujian, hadiah, pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap ide-ide,
perasaan atau penampilan orang lain. Dukungan informasi terkait dengan
perolehan pengetahuan dari orang lain. Semua dukungan tercakup dalam
pertanyaan yang tersedia pada Tabel 27.
Tabel 27 Sebaran dukungan sosial
Pasindangan
Dukungan Sosial
Bantuan makanan
Petugas kesehatan selalu
mengunjungi
Ketua RT selalu memberi semangat
Anak-anak bisa sekolah tanpa
membayar SPP dan biaya lainnya
Sanak famili mau mendengar
masalah-masalah
Banjarsari
Total
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
56
44
31.4
62.7
43.6
53.5
2
92
5.9
90.2
4
91.1
12
74
11.8
64.7
11.9
69.3
58
34
23.5
37.3
40.6
35.6
86
2
70.6
15.7
78.2
8.9
80
2
60.8
9.8
70.3
5.9
34
48
15.7
49
24.8
48.5
86
0
78.4
0
82.2
0
Sanak famili berupaya
memperlihatkan perasaan cinta dan
kepeduliannya
Diluar rumahtanggamempunyai
beberapa teman karib yang sangat
peduli dan mencintai
Kehidupan dalam masyarakat
51
Pasindangan
Dukungan Sosial
Banjarsari
Total
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
84
2
80.4
5.9
82.2
4
68
18
27.5
45.1
47.5
31.7
48
36
64.7
13.7
56.4
24.8
34
50
23.5
49
28.7
49.5
66
10
60.8
7.8
63.4
8.9
70
10
47.1
19.6
58.4
14.9
44
36
2
54.9
22.8
45.5
memberi perasaan aman
Mencoba untuk berhubungan
dengan sanak famili seakrab
mungkin
Jika menghadapi masalah tetangga
selalu memberi pertolongan
Selalu mendapat bantuan keuangan
dari orang tua atau sanak famili
ketika mendapat kesulitan
Tetangga mau membantu
meminjamkan uang atau barang
ketika menghadapi kesulitan
Merasa tenang dalam lingkungan
tempat tinggal yang sesuai sebagai
tempat menumbuhkembangkan
anak-anak
Jika dalam kesulitan selalu
mendapatkan pertolongan dari
masyarakat dimana saya tinggal
Saran yang diberikan tetangga
sangat membantu dalam
menyelesaikan masalah yang
dihadapi
Dukungan sosial berupa bantuan makanan, dijawab “ya” oleh 56 persen
contoh di Desa Pasindangan dan 31.4 persen contoh menjawab “ya” di Desa
Banjarsari. Sebagian besar contoh di Desa Pasindangan (92% dan 74%) dan
Desa Banjarsari (90.2% dan 64.7%) menjawab tidak pernah mendapat
kunjungan dari petugas kesehatan dan tidak pernah diberikan semangat oleh
ketua RT. Untuk pernyataan berikutnya, Desa Pasindangan (58%) dan Desa
Banjarsari (23.5%) yang menjawab bisa menyekolahkan anak-anak tanpa
membayar SPP dan biaya lainnya. Untuk dua pernyataan berikutnya, contoh di
Desa Pasindangan (86%dan 80%) dan Desa Banjarsari (70.6% dan 60.8%)
menyatakan bahwa sanak famili mereka mau mendengarkan masalah-masalah
dan berupaya memperlihatkan perasaan cinta dan kepeduliannya. Contoh dari
52
kedua desa sebagian besar (48% dan 49%) menyatakan bahwa tidak memiliki
teman karib yang sangat peduli dan mencintai.
Contoh di kedua desa menjawab merasa aman dalam kehidupan
bermasyarakat dan mencoba untuk berhubungan seakrab mungkin dengan
sanak famili yaitu sebesar 86 persen dan 84 persen untuk Pasindangan
sedangkan Banjarsari sebesar 84% dan 80.4%. Akan tetapi contoh di kedua
desa ini, memberikan jawaban yang berbeda untuk pernyataan berikutnya,
contoh di Desa Pasindangan menyatakan selalu diberi pertolongan oleh tetangga
jika menghadapi masalah (68%), sedangkan contoh di Desa Banjarsari (45.1%)
menyatakan tidak mendapatkan pertolongan dari tetangga jika menghadapi
masalah.
Kedua contoh menjawab selalu mendapatkan bantuan keuangan dari
keluarga atau sanak famili dan tidak mendapatkan bantuan keuangan dari
tetangga ketika mengahadapi kesulitan, ini ditunjukkan dengan persentase
sebesar 48 perse dan 50 persen untuk Desa Pasindangan, sedangkan Desa
Banjarsari 64.7 persen dan 49 persen. Contoh menjawab merasa tenang dalam
lingkungan tempat tingal yang sesuai sebagai tempat menumbuhkembangkan
anak-anak dan mendapat pertolongan dari masyarakat dimana tinggal, ini
ditunjukkan dengan persentase sebesar 66 persen dan 70 persen untuk Desa
Pasindangan dan 60.8 persen dan 47.1 persen untuk Desa Banjarsari. Untuk
pernyataan berikutnya, contoh di Desa Pasindangan (44%) menyatakan bahwa
saran yang diberikan tetangga sangat membantu dalam menyelesaikan masalah
yang dihadapi, sedangkan contoh di Desa Banjarsari tidak demikian (54.9%).
Berdasarkan analisis korelasi Spearman antara dukungan sosial dengan
ketahanan pangan maka diperoleh hasil r = - 0.035 dan p>0.05. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan
sosial dan ketahanan pangan rumahtangga. Kondisi ini diduga karena dukungan
sosial yang diterima oleh contoh dominan berupa dukungan emosi, sehingga
secara langsung tidak berhubungan dengan konsumsi rumahtangga sehingga
tidak berhubungan signifikan dengan ketahanan pangan.
Pengetahuan Gizi
Tingkat pengetahuan gizi ibu diklasifikasikan ke dalam tiga klasifikasi,
yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Klasifikasi pengetahuan gizi ibu disajikan pada
Tabel 28.
53
Tabel 28 Klasifikasi pengetahuan gizi
Pengetahuan Gizi
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
Pasindangan
n
%
43
86.0
6
12.0
1
2.0
50
100.0
Banjarsari
n
%
45
88.2
3
5.9
3
5.9
51
100.0
Total
n
88
9
4
101
%
87.1
8.9
4.0
100.0
Berdasarkan klasifikasi tersebut dari total contoh sebagian besar (87.1%)
memiliki tingkat pengetahuan gizi rendah, 8.9 persen ibu contoh memiliki tingkat
pengetahuan gizi sedang dan sisanya (4%) ibu contoh memiliki pengetahuan gizi
tinggi. Di Desa Pasindangan, jumlah ibu contoh yang memiliki pengetahuan gizi
baik lebih sedikit daripada jumlah ibu contoh di Desa Banjarsari yaitu 2 persen
dan 5.9 persen. Ibu yang memiliki pengetahuan gizi sedang dan rendah di desa
Pasindangan berturut-turut sebesar 12 persen dan 86 persen, sedangkan di
Desa Banjarsari ibu contoh yang memiliki pengetahuan gizi sedang dan rendah
berturut-turut sebesar 5.9 persen dan 88.2 persen.
Sebanyak 24 rumahtangga rawan pangan berat (92.3%) adalah
rumahtangga yang tingkat pengetahuan gizi ibunya rendah. Sebanyak 4
rumahtangga rawan pangan sedang (80%) adalah rumahtangga yang tingkat
pengetahuan gizi ibunya rendah. Pada rumahtangga rawan pangan ringan
sebanyak 85.7 persen contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi yang rendah,
sedangkan pada rumahtangga tahan pangan, sebagian besar contoh (84.2%)
merupakan rumahtangga yang memiliki tingkat pengetahuan gizi yang rendah.
Tabel 29 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat pengetahuan gizi dan
ketahanan pangan
Pengetahuan
Gizi
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
Rawan
Pangan
Berat
n
%
24
92.3
2
7.7
0
0
26
100
Tingkat Ketahanan Pangan
Rawan
Rawan
Pangan
Pangan
Sedang
Ringan
n
%
n
%
4
80
6
85.7
1
20
1
14.3
0
0
0
0
5
100
7
100
Tahan
Pangan
n
54
5
4
63
%
85.7
7.9
6.3
100
Total
n
88
9
4
101
%
87.1
8.9
4
100
Berdasarkan analisis korelasi Spearman diperoleh r= 0.077 dan p>0.05
antara pengetahuan gizi ibu dengan ketahanan pangan rumahtangga. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
pengetahuan gizi ibu dengan ketahanan pangan rumahtangga. Keadaan ini
diduga terjadi karena sebagian besar contoh memilih jenis pangan yang
54
dikonsumsi
hanya
berdasarkan
ketersediaan
pangan
yang
terdapat
di
wilayahnya dan berdasarkan kebiasaan makan.
Konsumsi
Konsumsi rumahtangga dapat dinilai berdasarkan tingkat kecukupan zat
gizi rumahtangga. Nilai total konsumsi zat gizi rumahtangga per hari kemudian di
bagi dengan jumlah anggota rumahtangga dan dibandingkan dengan angka
kecukupan zat gizi rumahtangga. Angka kecukupan zat gizi rumahtangga
diperoleh dengan cara menghitung angka kecukupan zat gizi bagi masingmasing anggota rumahtangga berdasarkan WNPG 2004, kemudian dihitung ratarata angka kecukupan zat gizi setiap rumahtangga. Pada Tabel 30 berikut ini
adalah sebaran tingkat kecukupan zat gizi yaitu energi (E) dan protein (P),
sedangkan untuk kalsium (Ca), besi (Fe), vitamin A, dan vitamin C disajikan pada
Tabel 31.
Tabel 30 Tingkat kecukupan energi dan protein
Zat Gizi
Tingkat Kecukupan
Defisit berat : < 70%
Defisit sedang : 70-79%
Defisit ringan : 80-89%
Normal : 90-119%
Lebih : ≥ 120%
Min – Max
Rataan
Energi
n
26
5
6
16
48
%
25.7
5
5.9
15.8
47.5
10 - 600
141.08 ± 99.163
Protein
n
36
8
4
19
34
%
35.6
7.9
4
18.8
33.7
8 – 335
104.42 ± 65.859
Tingkat kecukupan energi dan proteiin dikategorikan menjadi lima
kelompok berdasarkan Depkes (1996) yaitu <70% (defisit berat), 70-79% (defisit
sedang), 80-89% (defisit ringan), 90-119% (normal), dan ≥ 120% (lebih). Tingkat
kecukupan energi rumahtangga berkisar antara 10 sampai 600 persen dengan
rataan 141.08 ± 99.163. Dari 101 contoh, 25.7 persen rumahtangga berada
dalam defisit berat (<70%), 5 persen rumahtangga berada pada kategori defisit
sedang (70-79%), 5.9 persen berada pada kategori defisit ringan (80-89%), 15.8
persen berada pada kategori normal dan 47.5 persen rumahtangga berada pada
kategori lebih (≥ 120%).
Kondisi ini terjadi karena seluruh rumahtangga contoh merupakan
rumahtangga petani baik petani dengan lahan milik sendiri, buruh tani, ataupun
sistem maro. Mereka mampu mengakses makanan pokok dari hasil produksi
maupun dari hasil alam sehingga kondisi tingat kecukupan energi ada yang
55
termasuk kategori lebih. Walaupun demikian, masih ada rumahtangga yang
belum tercukupi kebutuhannya dari hasil produksinya sehingga harus membeli
kebutuhannya dari warung.
Tingkat kecukupan protein rumahtangga berkisar antara 8 sampai 335
dengan rataan 104.42 ± 65.859. Dari sejumlah contoh, dapat dilihat tingkat
kecukupan protein rumahtangga yaitu sebanyak 35.6 persen rumahtangga
berada dalam kategori defisit berat (<70%), 7.9 persen berada pada kategori
defisit sedang (70-79%), 4 persen berada pada kategori defisit ringan (80-89%),
18.8 persen rumahtangga berada pada kaegori normal (90-119%) dan sisanya
sebanyak 33.7 persen rumahtangga berada pada kategori lebih (≥ 120%). Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat kecukupan protein rumahtangga contoh sudah
cukup baik. Tingkat kecukupan protein yang cukup ini diduga karena seluruh
rumahtangga contoh hampir setiap hari mengkonsumsi ikan asin. Khomsan
(2002c) mengutarakan bahwa secara sosial ikan asin dianggap oleh masyarakat
sebagai komoditas inferior. Padahal dari segi gizi, ikan asin sebenarnya superior
karena kandungan proteinnya sekitar 35-40%.
Tingkat kecukupan vitamin dan mineral dikategorikan manjadi dua
kelompok berdasarkan Depkes (2003) yaitu defisit (≤50%) dan cukup (>50%).
Tingkat kecukupan kalsium rumahtangga berkisar antara 2 sampai 169 dengan
rataan 21.21 ± 18.702. Dapat dilihat tingkat kecukupan kalsium rumahtangga
yaitu sebanyak 97 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit (≤50%),
sisanya sebanyak 3 persen rumahtangga berada pada kategori cukup (>50%).
Kondisi ini diduga karena rumahtangga contoh tidak mampu mengakses pangan
sumber kalsium untuk dikonsumsi, mereka hanya mengkonsumsi apa yang
tersedia di ladang dan alam sekitar, ditambah lagi letak geograsfis daerah yang
menyebabkan sulitnya distribusi pangan ke daerah tersebut.
Tabel 31 Tingkat kecukupan mineral dan vitamin
Zat Gizi
Mineral
Kalsium (Ca)
Besi (Fe)
Vitamin
Vitamin A
Vitamin C
Tingkat Kecukupan Gizi
Defisit : ≤ 50%
Cukup : > 50%
n
%
n
%
Min-max
Rataan
98
61
97
60.4
3
40
3
39.6
2 – 169
4 - 179
21.21 ± 18.702
50.94 ± 34.296
3
72
3
71.3
98
29
97
28.7
15 - 7418
0 - 432
611.49 ± 1159.32
60.35 ± 85.006
56
Tingkat kecukupan zat besi rumahtangga berkisar antara 4 sampai 179
dengan rataan 50.94 ± 34.296. Dapat dilihat tingkat kecukupan zat besi
rumahtangga yaitu sebanyak 60.4 persen rumahtangga berada dalam kategori
defisit (≤50%) dan sisanya sebanyak 39.6% rumahtangga berada pada kategori
cukup (>50%). Rendahnya tingkat kecukupan zat besi rumahtangga contoh
diduga disebabkan oleh kurangnya konsumsi bahan pangan sumber zat besi,
seperti daging, hati dan sayuran hijau. Sebagai contoh bayam, di daerah ini
hampir tidak ada petani yang menanam bayam, sehingga bayam hanya
diperoleh dari luar. Dengan demikian rumahtangga contoh harus membeli,
padahal daya beli sangat rendah walaupun ada beberapa petani yang memiliki
daya beli cukup tinggi.
Tingkat kecukupan vitamin A rumahtangga berkisar antara 15 sampai
7418 dengan rataan 611.49 ± 1159.32. Dapat dilihat tingkat kecukupan vitamin A
rumahtangga yaitu sebanyak 3 persen rumahtangga berada dalam kategori
defisit (≤50%) dan sisanya sebanyak 97 persen rumahtangga berada pada
kategori cukup (>50%).
Tingkat kecukupan vitamin C rumahtangga berkisar antara 0 sampai 432
dengan rataan 60.35 ± 85.006. Dapat dilihat tingkat kecukupan vitamin C
rumahtangga yaitu sebanyak 71.3 persen rumahtangga berada dalam kategori
defisit (≤50%) dan sebanyak 28.7 persen rumahtangga berada pada kategori
cukup (>50%). Angka kecukupan vitamin C di wilayah ini tergolong cukup baik
karena rumahtangga contoh hampir setiap hari mengkonsumsi buah-buahan baik
dari hasil ladangnya maupun dari membeli. Buah yang banyak dikonsumsi antara
lain pepaya, pisang, dan jeruk.
Pola Pangan Harapan (PPH) merupakan suatu instrumen untuk menilai
ketersediaan dan konsumsi pangan berupa jumlah dan komposisi pangan
menurut jenis pangan dan skor PPH dapat digunakan sebagai indikator mutu gizi
pangan dan keragaman konsumsi pangan yang baik pada tingkat ketersediaan
maupun tingkat konsumsi. Selain itu PPH juga dimanfaatkan untuk perencanaan
konsumsi dan ketersediaan pangan suatu wilayah. Pada tabel 32 disajikan PPH
Kabupaten Lebak berdasarkan hasil pengolahan data konsumsi rumahtangga
contoh.
57
Tabel 32 Pola Pangan Harapan Kabupaten Lebak berdasarkan data konsumsi
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kelompok
Pangan
Gram/
Kap/Hari
Kalori
Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan (PPH)
%
%
Skor
Skor Skor
Bobot
aktual AKE*)
Aktual AKE Maks
61.3
64.5
0.5
30.6
32.3
25.0
0.8
0.8
0.5
0.4
0.4
2.5
0.7
0.7
2.0
1.4
1.4
24.0
Padi-padian
394
1419
Umbi-umbian
14
19
Pangan Hewani
11
16
Minyak dan
37
334
14.4
15.2
0.5
Lemak
Buah/Biji
201
382
16.5
17.4
0.5
Berminyak
Kacang-kacangan
22
38
1.6
1.7
2.0
Gula
19
70
3.0
3.2
0.5
Sayur dan Buah
36
14
0.6
0.6
5.0
Lain-lain
10
24
1.0
1.1
0.0
Total
2315 100.0 105.2
Keterangan : *) Angka Kecukupan Energi = 2200 Kkal/Kap/Hr
7.2
7.6
5.0
5.0
8.3
3.3
1.5
2.9
0.0
55.6
8.7
3.4
1.6
3.1
0.0
58.5
1.0
10.0
2.5
30.0
0.0
100.0
1.0
3.4
1.6
3.1
0.0
41.0
Berdasarkan data hasil perhitungan PPH, maka dapat diketahui
keragaman pola konsumsi pangan wilayah. Pola konsumsi dikatakan beragam
bila persentase energi terhadap total energi sebesar < 55% dan dikatakan tidak
beragam bila persentase energi terhadap total energi >55%. Berdasarkan
perhitungan PPH, maka diketahui pola konsumsi untuk kelompok pangan padipadian tidak beragam, yaitu ditunjukkan dengan angka persentase energi
sebesar 61.3%, ini artinya pola konsumsi padi-padian didominasi oleh jenis
pangan tertentu saja. Untuk kelompok pangan lainnya seperti umbi-umbian
(0.8%), pangan hewani (0.7%), minyak dan lemak (14.4%), buah/biji berminyak
(16.5%), kacang-kacangan (1.6%), gula (3.0%), sayur dan buah (0.6%), dan lainlain (1.0%) memiliki persentase energi < 55%, yang artinya pola konsumsi
kelompok pangan tersebut beragam.
Ketahanan pangan
Ketahanan pangan dapat diukur secara kuantitatif maupun kualitatif.
Smith (2003) mengemukakan metode dan ukuran untuk menilai kekurangan
pangan pada tingkat rumahtangga maupun individu, melalui 4 jenis keadaan,
yang dapat diukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Keadaan tersebut
adalah: 1) ketidakcukupan energi rumahtangga, 2) tingkat ketidakcukupan
energi, 3) keanekaragaman makanan (dietary diversity), dan 4) persen
pengeluaran untuk makanan (% food expenditure).
Skor
PPH
25.0
0.4
1.4
58
Tabel 33 Status ketahanan rumahtangga berdasarkan pengukuran kualitatif
Status
Tahan pangan
Rawan pangan
Kelaparan
Jumlah
Pasindangan
n
%
43
86.0
6
12.0
1
2.0
50
100.0
Banjarsari
n
%
42
82.4
5
9.8
4
7.8
51
100.0
Total
n
85
11
5
101
%
84.2
10.91
5.0
100.0
Ketahanan pangan kualitatif dihitung berdasarkan persepsi kelaparan,
dikatakan kelaparan atau tidak tahan pangan apabila terjadi penurunan frekuensi
dan porsi makan yang diikuti dengan penurunan berat badan, rawan pangan
apabila terjadi penurunan frekuensi dan porsi makan tetapi tidak diikuti dengan
penurunan berat badan, dan tahan pangan apabila tidak terjadi penurunan
frekuensi dan porsi makan. Berdasarkan klasifikasi ketahanan pangan kualitatif,
dari kedua desa sebanyak 5.0 persen rumahtangga contoh mengalami
kelaparan, 10.91 persen rumahtangga rawan pangan, dan sebanyak 84.2 persen
rumahtangga tahan pangan.
Pengukuran ketahanan pangan secara kuantitatif menurut FAO (2003)
dapat diukur melalui tingkat ketidakcukupan energi yang menunjukkan
keparahan defisit energi yang ditunjukkan oleh defisit jumlah kalori pada
seseorang individu dibawah energi yang dianjurkan (<70%).
Tabel 34 Status ketahanan pangan RT berdasarkan pengukuran kuantitatif
Status
Rawan pangan berat
Rawan pangan sedang
Rawan pangan ringan
Tahan pangan
Jumlah
Ketahanan
Pasindangan
n
%
11
22
1
2
4
8
34
68
50
100.0
pangan
kuantitatif
Banjarsari
n
%
15
29.4
4
7.8
3
5.9
29
56.9
51
100.0
diklasifikasikan
Total
n
26
5
7
63
101
berdasarkan
%
25.7
5
6.9
62.4
100.0
tingkat
konsumsi energi. Dikatakan rawan pangan berat bila tingkat konsumsi energi
rumahtangga < 70%, rawan pangan sedang bila tingkat konsumsi rumahtangga
antara 70-80%, rawan pangan ringan bila tingkat konsumsi rumahtangga antara
80-90% dan tahan pangan bila tingkat kecukupan energi rumahtangga > 90%.
Berdasarkan pengklasifikasian tersebut dari total keseluruhan contoh diketahui
bahwa lebih dari setengah (62.4%) contoh merupakan rumahtangga tahan
pangan. Sejumlah 25.7 persen contoh merupakan rumahtangga rawan pangan
berat, 5 persen merupakan rumahtangga rawan pangan sedang, dan sisanya
6.9 persen contoh merupakan rawan pangan ringan. Jumlah rumahtangga tahan
59
pangan di Desa Pasindangan lebih banyak dibandingkan di Desa Banjarsari
yaitu berturut-turut (68% dan 56.9%).
Tabel 35 Sebaran rumah tangga menurut validitas kelaparan
Validitas Kelaparan
Khawatir makanan habis sebelum
punya uang untuk membeli
kembali
Makanan yang dibeli tidak cukup
dan tidak punya uang untuk
membeli lagi
Tidak mampu untuk makan
makanan seimbang
Bergantung pada beberapa jenis
makanan murah untuk anak-anak
karena tidak punya uang
Tidak dapat memberi makanan
seimbanga untuk anak-anak
karena tidak mampu membeli
Anak-anak tidak memperolah
makanan yang cukup karena tidak
mampu membeli
12 bulan terakhir pernah
mengurangi makan
12 bulan terakhir pernah makan
lebih sedikit dari biasanya
12 bulan terakhir merasa lapar
tetapi tidak makan karena tidak
punya uang
12 bulan terakhir turun berat badan
12 bulan terakhir pernah tidak
makan sepanjang hari
12 bulan terakhir pernah
mengurangi makanan anak-anak
12 bulan terakhir anak tidak makan
karena tidak punya uang untuk
membeli makanan
Anak pernah merasa lapar tetapi
tidak mampu membeli cukup
makanan
12 bulan terakhir anak tidak makan
sepanjang hari
Pasindangan
Ya
Tidak
(%)
(%)
Banjarsari
Ya
Tidak
(%)
(%)
Ya
(%)
Total
Tidak
(%)
84
14
90.2
9.8
87.1
11.9
80
20
68.8
31.4
74.3
5.7
44
54
54.9
45.1
49.5
49.5
60
40
70.6
29.4
65.3
34.7
56
44
54.9
45.1
55.4
44.6
36
64
25.5
74.5
30.7
69.3
22
78
31
68
26.7
73.3
28
72
39.2
60.8
33.7
66.3
14
86
35.3
64.7
24.8
75.2
0
100
23.5
76.5
11.9
88.1
0
100
5.9
94.1
3
97
2
90
23.5
68.6
12.9
79.2
2
90
9.8
82.4
5.9
86.1
14
78
41.2
51
27.7
64.4
0
92
9.8
82.4
5
87.1
Responden pada Desa pasindangan lebih banyak menjawab “ya” pada
pertanyaan pertama dan kedua mengenai kekhawatiran dalam hal pemenuhan
kebutuhan pangan, yaitu 84 persen dan 80 persen. Selain itu menyatakan “ya”
60
sebanyak 60 persen pada pernyataan bergantung pada makanan murah dan 56
persen pada pernyataan tidak mampu memberikan makanan yang seimbang
pada anak-anak. Pada Desa Banjarsari pada lima pernyataan awal lebih banyak
menyatakan “ya” yaitu pada pernyataan khawatir makanan habis sebelum
mampu membeli sebanyak 90.2 persen, pernyataan khawatir makanan yang
dibeli tidak cukup dan tidak memiliki uang untuk membelinya sebesar 68.8
persen, pada pernyataan tidak mampu memberikan makanan seimbang bagi
anak-anak sebesar 54.9 persen, bergantung pada pangan murah sebesar 70.6
persen dan tidak mampu makan makanan seimbang sebesar 54.9 persen. Pada
pernyataan lain yang menjawab “ya” tidak ada yang mencapai 50 persen.
Analisis Jalur
Analisis jalur adalah sebuah metode untuk mempelajari pengaruh
langsung dan tidak langsung dari variabel-variabel. Dikembangkan pertama kali
oleh Wright (1921). Analisis jalur dapat digunakan untuk menganalisis hubungan
sebab akibat antara satu variabel dengan variabel lainnya. Diagram jalur yang
digunakan dalam analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan
rumahtangga dapat dilihat pada Gambar 5.
X1
-0.078
0.160
-0.200
Y1
-0.152
X2
-0.169
0.191
-0.034
-0.022
Y2
Y4
Y3
-0.059
0.265
0.011
-0.135
-0.316
X3
Gambar 5 Diagram jalur analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan
pangan rumahtangga
61
Keterangan :
X1 : Tingkat pendidikan KRT
X2 : Tingkat pendidikan IRT
X3 : Besar rumahtangga
Y1 : Dukungan sosial
Y2 : Pegetahuan gizi
Y3 : Pengeluaran rumahtangga
Y4 : Tingkat ketahanan pangan rumahtangga kuantitatif
Yamin dan Kurniawan (2005) menyatakan bahwa analisis jalur dapat
dikatakan sebagai analisis regresi linier dengan variabel-variabel yang
dibakukan. Oleh karena itu, koefisien jalur pada dasarnya merupakan koefisien
beta atau koefisien regresi baku. Dalam analisis jalur faktor-faktor yang
mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga, koefisien regresi (beta-β) yang
diperoleh adalah seperti yang ditulis pada gambar 5.
Untuk
melihat
hubungan
langsung
antara
variabel
dapat
dilihat
berdasarkan persamaan struktural yang dibentuk oleh pengaruh atau efek yang
diberikan oleh masing-masing variabel eksogen terhadap variabel endogen.
Adapun pengaruh langsung antara tingkat pendidikan KRT dan tingkat
pendidikan IRT terhadap dukungan sosial dapat digambarkan melalui persamaan
berikut ini : Y = -0.078X1 – 0.152X2 . Pengaruh langsung tingkat pendidikan ibu
terhadap tingkat pengetahuan gizi ibu digambarkan melalui persamaan berikut :
Y = 1.175 – 0.022X2. Pengaruh langsung tingkat pendidikan KRT, tingkat
pendidikan ibu, besar keluarga, tingkat dukungan sosial dan tingkat pengetahuan
gizi ibu terhadap pengeluaran rumahtangga digambarkan melalui persamaan
berikut : Y = 0.160X1 – 0.059X2 – 0.316X3 + 0.191Y1 - 0.034Y2. Pengaruh
langsung pendidikan KRT, ukuran rumahtangga, dukungan sosial, pengetahuan
gizi
ibu,
dan
pengeluaran
terhadap
ketahanan
pangan
rumahtangga
digambarkan melalui persamaan berikut : Y = -200X1 – 0.135X3 - 0.169Y1 +
0.011Y2 + 0.256Y3.
Berdasarkan diagram jalur pada Gambar 5, faktor yang berhubungan
langsung dengan ketahanan pangan rumahtangga adalah pendidikan KRT,
ukuran rumahtangga, dukungan sosial, pengetahuan gizi ibu, dan pengeluaran.
Analisis jalur menunjukkan bahwa pendidikan KRT tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap ketahanan pangan rumahtangga (R-square = 0.030, p>0.05).
Ukuran rumahtangga berpengaruh lansung terhadap ketahanan pangan
62
rumahtangga (R-square = 0.060, p<0.05), terdapat 6 persen variabel ketahanan
pangan dipengaruhi oleh variabel ukuran rumahtangga. Dukungan sosial tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ketahanan pangan (R-square =
0.014, p>0.05), pengetahuan gizi juga tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap ketahanan pangan (R-square = 0.001, p>0.05). Pengeluaran
berpengaruh langsung terhadap ketahanan pangan rumahtangga (R-square =
0.065, p<0.05), terdapat 6.5 persen variabel ketahanan pangan dipengaruhi oleh
variabel pengeluaran.
Dalam analisis jalur terdapat pengaruh tidak langsung. Besarnya
pengaruh tidak langsung suatu variabel terhadap variabel tertentu dapat dihitung
dengan cara mengalikan koefisien-koefisien regresi (beta-β) dari variabel
pemberi efek. Dibawah ini akan ditunjukkan pengaruh tidak langsung yang
diperoleh dari analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan
rumahtangga :
1. besarnya pengaruh tidak langsung oleh X1, Y1, dan Y3 terhadap Y4
adalah 0.078 x 0.191 x 0.265 = 0.004.
2. besarnya pengaruh tidak langsung X1 dan Y1 terhadap Y4 adalah 0.078
x 0.169 = 0.013.
3. besarnya pengaruh tidak langsung X1 dan Y3 terhadap Y4 adalah 0.078
x 0.169 = 0.013.
4. besarnya pengaruh tidak langsung X2, Y1, dan Y3 terhadap Y4 adalah
0.152 x 0.191 x 0.265 = 0.008.
5. besarnya pengaruh tidak langsung X2 dan Y1 terhadap Y4 adalah 0.152
x 0.169 = 0.026.
6. besarnya pengaruh tidak langsung X2 dan Y3 terhadap Y4 adalah 0.059
x 0.265 = 0.016.
7. besarnya pengaruh tidak langsung X2, Y2 dan Y3 terhadap Y4 adalah
0.022 x 0.034 x 0.265 = 0.198 x 10-3.
8. besarnya pengaruh tidak langsung X2 dan Y2 terhadap Y4 adalah 0.022
x 0.011 = 0.242 x 10-3.
9. besarnya pengaruh tidak langsung X3 dan Y3 terhadap Y4 adalah 0.316
x 0.265 = 0.084.
dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa jalur yang paling berpengaruh terhadap
ketahanan pangan rumahtangga adalah jalur 9 yaitu dimulai dari ukuran
rumahtangga-pengeluaran rumahtangga-ketahanan pangan rumahtangga.
63
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis jalur faktor-faktor yang
mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Lebak, dapat
disimpulkan bahwa :
1. Umur Kepala rumahtangga lebih dari setengahnya (57.4%) termasuk
kelompok umur dewasa madya begitu pula dengan umur ibu (47.5%).
Lama sekolah kepala rumahtangga berkisar antara 0-12 tahun dengan
rataan 5.05 ± 3.001, lama sekolah ibu berkisar antara 0-16 tahun dengan
rataan 4.35 ± 3.119. Sebaran pendidikan KRT dan ibu terbesar (73.3%
dan 69.3%) adalah SD. Pekerjaan tambahan terbanyak yang dilakukan
contoh adalah sebagai pedagang dan buruh (26.7% dan 26.7%), kontrol
keuangan rumahtangga umumnya di putuskan oleh istri sendiri. Hampir
setengah (49.5%) rumahtangga berukuran kecil, kepemilikan lahan
terbesar (36.6%) adalah tidak memiliki lahan, tingkat pengetahuan gizi ibu
rendah
(87.1%),
dan
dukungan
sosial
tergolong
baik
(56.4%).
Pengeluaran perkapita rumahtangga contoh rata-rata sebesar Rp 254
241, pengeluaran terkecil sebesar Rp 40 394 dan terbesar adalah
sebesar Rp 1 140 028, terdapat 68.3 persen rumatangga tergolong tidak
miskin dan 31.7 persen tergolong rumahtangga miskin. Akses fisik
terhadap pangan tergolong kurang memadai, terkait jarak pasar dan
ketersediaan pangan di warung.
2. Tingkat konsumsi rumahtangga berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi
adalah sebagai berikut : a) Tingkat kecukupan energi rumahtangga
berkisar antara 10-600 dengan rataan 141.08 ± 99.163, sebanyak 47.5
persen rumahtangga berada dalam kategori lebih; b) Tingkat kecukupan
protein rumahtangga berkisar antara 8-335 dengan rataan 104.42 ±
65.859,
sebanyak 35.6 persen rumahtangga berada dalam kategori
defisit berat; c) Tingkat kecukupan kalsium rumahtangga berkisar antara
2-169 dengan rataan 21.21 ± 18.702, sebanyak 97 persen rumahtangga
berada
dalam
kategori
defisit;
d)
Tingkat
kecukupan
zat
besi
rumahtangga berkisar antara 4-179 dengan rataan 50.94 ± 34.296,
sebanyak 60.4 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit; e)
Tingkat kecukupan vitamin A rumahtangga berkisar antara 15-7 418
64
dengan rataan 611.49 ± 1 159.32, sebanyak 97 persen rumahtangga
berada dalam kategori cukup; f) Tingkat kecukupan vitamin C
rumahtangga berkisar antara 0-432 dengan rataan 60.35 ± 85.006,
sebanyak 71.3 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit.
Berdasarkan klasifikasi ketahanan pangan kualitatif, sebanyak 84.2
persen rumahtangga tahan pangan, sedangkan pada ketahanan pangan
kuantitatif sebanyak 62.4 persen tergolong rumahtangga tahan pangan,
25.7 persen rumahtangga rawan pangan berat, 6.9 persen rumahtangga
rawan pangan ringan dan 5 persen rumahtangga rawan pangan sedang.
3. Berdasarkan analisis korelasi Spearman tidak terdapat hubungan yang
signifikan (r= -0.040, p>0.05) antara pendidikan KRT dengan ketahanan
pangan rumahtangga. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (r= 0.027,
p>0.05) antara pendidikan IRT dengan ketahanan pangan rumahtangga.
Terdapat
hubungan
negatif
(r=
-0.261,
p<0.01)
antara
ukuran
rumahtangga dengan ketahanan pangan rumahtangga. Tidak terdapat
hubungan yang signifikan (r= 0.077 dan p>0.05) antara pengetahuan gizi
ibu dengan ketahanan pangan rumahtangga. Tidak terdapat hubungan
yang signifikan (r = - 0.035, p>0.05) antara dukungan sosial dengan
ketahanan pangan rumahtangga. Analisis korelasi Pearson menunjukkan
hubungan (r= 0.255, p<0.05) antara pengeluaran rumahtangga dengan
ketahanan pangan rumahtangga.
4. Pengaruh langsung terbesar terhadap ketahanan pangan rumahtangga
adalah pengeluaran rumahtangga (R-square = 0.065, p<0.05). Jalur yang
paling berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumahtangga adalah
jalur 9 yaitu dimulai dari ukuran rumahtangga-pengeluaran rumahtanggaketahanan pangan rumahtangga.
SARAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian analisis jalur faktor-faktor
yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Lebak
beberapa saran yang diberikan diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Menggalakkan kembali program Keluarga Berencana (KB)
2. Meningkatkan kualitas kader posyandu terkait gizi keluarga melalui
pelatihan kader
65
3. Mengaktifkan kembali fungsi PKK khususnya pemberian penyuluhan
mengenai manajemen keuangan rumahtangga
4. Revitalisasi kelembagaan bagi petani seperti kelompok tani sebagai
wadah aspirasi dan pusat memperoleh informasi
5. Pemberian
bantuan
kredit
dan
teknologi
meningkatkan produktivitas dan pendapatan
pada
petani
untuk
66
DAFTAR PUSTAKA
Adi AC. 1998. Komunikasi dan ketahanan pangan rumah tangga menurut tipe
arkeologi di wilayah kabupaten Pasuruhan, Jawa Timur. [tesis]. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
[Anonim]. 2009. Petani. http//:www.wikipedia.com. [7 April 2009].
Den Hartog AP, van Staveren WA, Brouwer (1995). Manual for Social Surveys
on Food Habits and Consumption in Developing Countries. Germany:
Margraf Verlag.
Dewan Bimas Ketahanan Pangan (DBKP). 2001.
Ketahanan Pangan Nasional. DBKP, Jakarta.
Kebijakan Pemantapan
Guhardja S, Puspitawati H, Hartoyo, Hastuti D. 1992. Manajemen Sumberdaya
Keluarga. Diktat Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga.
Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hardinsyah dan Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan
dan Gizi, IPB. Bogor.
Hardinsyah, Fadjar, Ikeu Tanziha, Drajat Martianto, Dodik Briawan, Fatimah,
Munawar, Basuki, Farid dan bernadus. 2003. Uji Coba Instrumen
Kelaparan. Kerjasama Deptan, PSKPG, BPS, Depkes dan BKKBN.
Jakarta.
Hardinsyah dan Suhardjo. 1990. Prinsip-Prinsip Analisis Ekonomi Gizi. Pusat
Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.
Hildawati I. 2008. Analisis akses pangan serta pengaruhnya terhadap tingkat
konsumsi energi dan protein pada rumahtangganelayan. [skripsi].
Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hoddinott J. 1999. Choosing outcome indicators of household food security.
International Food Polisy Research Institute. Washington D.C.
Hudjimartsu S. 2005. Pemodelan menggunakan regresi, analisis jalur, dan
persamaan structural [skripsi]. Departemen Matermatika, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Hurlock EB. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan, Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
Kartika TWW. 2005. Analisis coping strategy dan ketahanan pangan rumah
tangga petani di desa Majasih kecamatan Sliyeg kabupaten Indramayu.
[skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Kenny DA. 1979. Correlation an Causality. Newyork: Wiley
67
Khomsan A. 2002a. Kecukupan Pangan Sebagai HAM. Di dalam: Fenomena
Kemiskinan dalam Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
________. 2002b. Fenomena Keniskinan. Di dalam: Fenomena Kemiskinan
dalam Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. Gizi Masyarakat
dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
________. 2002c. Pangan sebagai Indikator Kemiskinan. Di dalam: Fenomena
Kemiskinan dalam Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Manesa J. 2009. Ketahanan pangan rumah tangga di desa penghasil damar
kabupaten Lampung Barat. [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Martianto D, M Ariani. 2004. Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Jakarta.
Maxwell S, Frankenberg TR. 1992. Household Food Security: Concepts,
Indicators, Measurements. New York: UNICEF Programme Publications.
Megawangi R. 1994. Gender Perspectives in Early Childhood Care and
Development in Indonesia. Indonesia: The Consultative Group on Early
Childhood Care and Development.
Nugroho BA. 2007. Strategi Jitu Memilih Metode Statistika Penelitian dengan
SPSS. Yogyakarta: ANDI.
Nurliawati L. 2003. Kebiasaan Jajan dan Preferensi Anak Sekolah Dasar
terhadap Makanan Jajanan dengan Pewarna Sintetik. [skripsi]. Bogor:
Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
PPK-LIPI. 2004. Ketahanan pangan rumah tangga di pedesaan: konsep dan
ukuran. www.bappeda-jabar. [17 Januari 2009]
Prabawa S. 1998. Sumberdaya Rumahtangga dan Tingkat Kesejahteraan
Rumahtangga Petani. Studi Desa Water Jaya Kecamatan Cijeruk
Kabupaten Bogor. Jawa Barat. [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Pranadji DK. 1995. Adab/Kebiasaan Makan. Makalah Disajikan dalam Pelatihan
dan Penyuluhan Pangan dan Gizi di Kalangan Pendidik Sekolah Dasar
dan Menengah, Bandar Lampung . 24-28 Oktober.
Puspa AR. 2007. Kajian Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani: Pengambilan
Keputusan Istri dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga.
[skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Rahmah I.
2006. Analisis hubungan akses fisik, akses ekonomi, dan
pengetahuan gizi terhadap konsumsi pangan mahasiswa IPB. [skripsi].
68
Departemen gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Riyadi S. 1993. Peranan wanita dalam meningkatkan taraf hidup rumahtangga
petani PIR (Kasus PIR Kelapa Sawit di Kecamatan Ngabang.Kabupaten
Pntianak. Kalimantan Barat) [Tesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Riyadi H. 1996. Pola Konsumsi Pangan. Di dalam: Gizi dan Kesehatan dalam
Pembangunan Pertanian (hlm. 174-183). Khomsan A & Sulaeman A, edit.
Bogor: IPB Press.
Sajogyo P. 1983. Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa.
Jakarta: CV. Rajawali.
Sarafino EP. 1996. Health Psycologhy: Biopsychosocial Interactions. New York:
Allyn and Bacon.
Smith LC. 2003. The Use of Household Expenditure Surveys for The
Assessment of Food Insecurity.
Proceedings Measurement and
Assessment of Food Deprivation and Undernutrition. International
Scientific Symposium, Rome 26-28 June 2002.
Soetrisno L. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Pertanian Sebuah Tinjauan
Sosiologis. Yogyakarta: Kanisius.
Syarief H. 1992. Metode Ststistika untuk Pangan dan Gizi Masyarakat.
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut
Pertanian Bogor.
Suandi. 2007. Hubungan modal sosial dengan ketahanan pangan rumahtangga
di daerah pedesaan provinsi Jambi berdasarkan agroekologi wilayah. Di
dalam: Widyakarya Nasional Pangan Dan Gizi 2008.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat antar
Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Suryana. 2003. Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan
Pangan. BPFE, Yogyakarta.
Tambunan. 2003. Perkembangan Sektor Pertanian Di Indonesia : Beberapa Isu
Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tanziha I. 2005. Analisis Peubah Konsumsi Pangan dan Sosial Ekonomi
Rumahtangga untuk Menentukan Determinan dan Indikator Kelaparan.
[disertasi]. Bogor: Program Doktor, Institut Pertanian Bogor
[WFP] World Food Programme. 2003. Peta Kerawanan Pangan. WFP. Jakarta.
Wasito. 1999. Perspektif Jender dalam Jaringan Komunikasi Difusi Sistem
Usahatani Berbasis Padi Berwawasan Agribisnis (SUTPA). [tesis]. Bogor:
Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
69
Yamin S dan Kurniawan H. 2009. SPSS Complete : Teknik Analisis Statistik
Terlengkap dengan Software SPSS. Jakarta: Salemba Infotek.
70
LAMPIRAN
71
Lampiran 1 Hasil analisis korelasi Spearman variabel karakteristik sosial ekonomi
dan akses pangan dengan tingkat ketahanan pangan
Pddk
KRT
Variabel
Pendidikan
KRT
Pendidikan IRT
Kepemilikan
Luas Lahan
Ukuran
Rumahtangga
Dukungan
Sosial
Pengetahuan
Gizi
Tk. Ketahanan
Pangan
Pddk
IRT
LuLhn
UkRT
DS
PG
1.000
Tk.KP
-0.040
1.000
0.027
1.000
0.273**
1.000
-0.263**
1.000
-0.035
1.000
0.077
1.000
Keterangan : * ) signifikansi pada level 0.05
**) signifikansi pada level 0.01
Lampiran 2 Hasil analisis korelasi Pearson variabel pengeluaran perkapita
dengan ketahanan pangan
Correlations
ketahanan pangan
pengeluaran RT
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
ketahanan
pangan
1
101
.251*
.011
101
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
pengeluaran
RT
.251*
.011
101
1
101
72
Lampiran 3 Hasil analisis jalur pendidikan KRT dan IRT terhadap dukungan
sosial
Model Summary(b)
Model
1
R
.172(a)
Adjusted R
Square
.010
R Square
.030
Std. Error of
the Estimate
6.512
a Predictors: (Constant), pendidikan IRT, pendidikan KRT
b Dependent Variable: dukungan sosial
Coefficientsa
Model
1
(Constant)
pendidikan KRT
pendidikan IRT
Unstandardized
Coefficients
B
Std. Error
21.433
1.549
-.169
.217
-.318
.209
Standardized
Coefficients
Beta
-.078
-.152
t
13.837
-.779
-1.523
Sig.
.000
.438
.131
a. Dependent Variable: dukungan sosial
Lampiran 4 Hasil analisis jalur pendidikan IRT terhadap pengetahuan gizi IRT
Model Summaryb
Model
1
R
R Square
.022a
.000
Adjusted
R Square
-.010
Std. Error of
the Estimate
2.325
a. Predictors: (Constant), pendidikan IRT
b. Dependent Variable: pengetahuan gizi
Coefficientsa
Model
1
(Constant)
pendidikan IRT
Unstandardized
Coefficients
B
Std. Error
2.414
.398
.016
.075
a. Dependent Variable: pengetahuan gizi
Standardized
Coefficients
Beta
.022
t
6.064
.221
Sig.
.000
.826
73
Lampiran 5 Hasil analisis jalur pendidikan KRT dan IRT, ukuran RT, dukungan
sosial, dan pengetahuan gizi terhadap pengeluaran perkapita
Model Summaryb
Model
1
R
R Square
.375a
.140
Adjusted
R Square
.095
Std. Error of
the Estimate
170415.824
a. Predictors: (Constant), pengetahuan gizi, pendidikan
IRT, ukuran RT, dukungan sosial, pendidikan KRT
b. Dependent Variable: Pengeluaran perkapita
Coefficientsa
Model
1
(Constant)
pendidikan IRT
pendidikan KRT
ukuran RT
dukungan sosial
pengetahuan gizi
Unstandardized
Coefficients
B
Std. Error
243139.4 76319.452
-3380.852
5533.311
9545.285
5894.920
-22477.2
6846.370
5232.379
2652.902
-2600.099
7571.627
Standardized
Coefficients
Beta
-.059
.160
-.316
.191
-.034
t
3.186
-.611
1.619
-3.283
1.972
-.343
a. Dependent Variable: Pengeluaran perkapita
Lampiran 6 Hasil analisis jalur pendidikan KRT, ukuran RT, dukungan sosial,
pengetahuan gizi, dan pengeluaran perkapita terhadap ketahanan
pangan
Model Summaryb
Model
1
R
R Square
.394a
.155
Adjusted
R Square
.111
Std. Error of
the Estimate
93.516
a. Predictors: (Constant), pengetahuan gizi, Pengeluaran
perkapita, dukungan sosial, pendidikan KRT, ukuran
RT
b. Dependent Variable: ketahanan pangan
Sig.
.002
.543
.109
.001
.051
.732
74
Coefficientsa
Model
1
(Constant)
pendidikan KRT
ukuran RT
Pengeluaran perkapita
dukungan sosial
pengetahuan gizi
Unstandardized
Coefficients
B
Std. Error
212.833
40.027
-6.616
3.279
-5.318
3.960
.000
.000
-2.567
1.472
.479
4.157
Standardized
Coefficients
Beta
t
5.317
-2.018
-1.343
2.610
-1.745
.115
-.200
-.135
.265
-.169
.011
Sig.
.000
.046
.182
.011
.084
.909
a. Dependent Variable: ketahanan pangan
Lampiran 7 Hasil analisis jalur pengaruh langsung variabel sosial ekonomi
terhadap ketahahan pangan
Model Summaryb
Model
1
R
R Square
.174a
.030
Adjusted
R Square
.020
Std. Error of
the Estimate
98.144
a. Predictors: (Constant), pendidikan KRT
b. Dependent Variable: ketahanan pangan
Coefficientsa
Model
1
(Constant)
pendidikan KRT
Unstandardized
Coefficients
B
Std. Error
170.092
19.184
-5.746
3.270
Standardized
Coefficients
Beta
a. Dependent Variable: ketahanan pangan
Model Summaryb
Model
1
R
R Square
.244a
.060
Adjusted
R Square
.050
a. Predictors: (Constant), ukuran RT
b. Dependent Variable: ketahanan pangan
Std. Error of
the Estimate
96.638
-.174
t
8.866
-1.757
Sig.
.000
.082
75
Coefficientsa
Model
1
(Constant)
ukuran RT
Unstandardized
Coefficients
B
Std. Error
190.908
22.067
-9.623
3.836
Standardized
Coefficients
Beta
t
8.651
-2.509
-.244
Sig.
.000
.014
a. Dependent Variable: ketahanan pangan
Model Summaryb
Model
1
R
R Square
.117a
.014
Adjusted
R Square
.004
Std. Error of
the Estimate
98.973
a. Predictors: (Constant), dukungan sosial
b. Dependent Variable: ketahanan pangan
Coefficientsa
Model
1
(Constant)
dukungan sosial
Unstandardized
Coefficients
B
Std. Error
175.241
30.661
-1.779
1.512
Standardized
Coefficients
Beta
-.117
t
5.715
-1.176
Sig.
.000
.242
t
9.877
-.281
Sig.
.000
.780
a. Dependent Variable: ketahanan pangan
Model Summaryb
Model
1
R
R Square
.028a
.001
Adjusted
R Square
-.009
Std. Error of
the Estimate
99.623
a. Predictors: (Constant), pengetahuan gizi
b. Dependent Variable: ketahanan pangan
Coefficientsa
Model
1
(Constant)
pengetahuan gizi
Unstandardized
Coefficients
B
Std. Error
144.083
14.587
-1.209
4.306
a. Dependent Variable: ketahanan pangan
Standardized
Coefficients
Beta
-.028
76
Model Summaryb
Model
1
R
.255a
R Square
.065
Adjusted
R Square
.056
Std. Error of
the Estimate
96.359
a. Predictors: (Constant), Pengeluaran perkapita
b. Dependent Variable: ketahanan pangan
Coefficientsa
Model
1
(Constant)
Pengeluaran perkapita
Unstandardized
Coefficients
B
Std. Error
105.148
16.701
.000
.000
a. Dependent Variable: ketahanan pangan
Standardized
Coefficients
Beta
.255
t
6.296
2.628
Sig.
.000
.010
Download