BAB II Tinjauan Teoritis Rumah Tradisional Sunda 2.1 Kebudayaan

advertisement
BAB II
Tinjauan Teoritis Rumah Tradisional Sunda
2.1
Kebudayaan
Kebudayaan merupakan sebuah endapan dari kegiatan dan karya manusia yang
meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan
mempunyai sifat kerohanian. Para ahli antropologi mengatakan kebudayaan
merupakan sebuah dinamika masyarakat namun belum terjawab secara definisi
mengenai kebudayaan yang sebenarnya. Seperti Robet H Lowie mengatakan
bahwa sebuah kebudayaan mempunyai sifat abstrak dari prilaku nyata manusia
yang berlokasi dari otak manusia1 .
Inti dari perilaku nyata manusia yang berlokasi dari otak manusia merupakan
sesuatu yang menyatakan perasaan manusia guna membentuk suatu ruang dan
waktu.
Kebudayaan adalah segala ciptaan manusia sebagai hasil usahanya untuk
mengubah dan memberi bentuk susunan baru kepada pemberian Tuhan sesuai
kebutuhan jasmani dan rohaninya. (R.Soekmono:, 1971)
Dalam konteks permasalahan mengenai budaya tidak lepas dari ilmu-ilmu
pendukungnya, seperti Seni Rupa, Arsitektur, Sosiologi, Sejarah dan Antropologi
yang merupakan ilmu paling akhir dari kelompok ilmu sosial budaya. Antropologi
sendiri merupakan ilmu yang mempelajari manusia dengan segala tingkah
lakunya, dengan tujuan untuk membentuk sebuah dinamika kepada manusia
sebagai mahluk biologis. Ilmu-ilmu lain tidak bisa lepas dari ilmu Antropologi,
seperti halnya dengan khasanah dunia Arsitektur.
1
Adimiharja, kusnaka dan Salura purnama, Arsitektur dalam Bingkai Kebudayaan,
9
Koentjaraningrat salah seorang ahli Antropologi mengemukakan bahwa wujud
kebudayaan itu terdiri dari :
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Ketiga wujud di atas berdasarkan pembagian dari tujuh unsur kebudayaan yang
dikemukakan oleh Koentjaraningrat, ketujuh unsur tersebut yaitu :
1. Sistem religi dan upacara keagamaan
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian
7. Sistem teknologi dan peralatan
ANTROPOLOGI
SEJARAH
SOSIALBUDAYA
MANUSIA DAN ARSITEKTUR
Diagram 2.1 Manusia dan Arsitektur
Sumber : Arsitektur dalam Bingkai Kebudayaan, Adimiharja Kusnaka dan Salura Purnama
10
Diagram diatas menjelaskan bahwa arsitektur selalu berhubungan dengan sejarah,
antropologi dan sosial budaya. Proses perkembangan teori ini berjalan dengan
mengikuti perkembangan peradaban manusia, sehingga dengan berjalannya
peradaban maka berkembang juga dunia Arsitektur yang kemudian Arsitektur
bersentuhan dengan ilmu-ilmu lain seperti Seni Rupa, Antropologi dan lain-lain.
Jadi apakah arsitektur itu? Seperti yang diulas diatas arsitektur itu mempunyai
banyak definisi dan telaah, yang pasti arsitektur itu ada karena adanya kebutuhan
manusia untuk suatu ruang, zaman sekarang mengatakan produk Arsitektur itu ada
dikarenakan adanya suatu kebutuhan yang dibuat dengan komposisi bentuk untuk
mendapatkan hasil.
MENGGUNAKAN
MEMBUAT
MENGALAMI
MEMAHAMI
HASIL
Diagram 2.2 Empat Kegiatan dalam Arsitektur
Sumber Arsitektur dalam Bingkai Kebudayaan, Adimiharja Kusnaka dan Salura Purnama
Diagram diatas memperlihatkan bahwa empat kegiatan yang selalu ada dalam
arsitektur. tapi dalam kenyataannya terkadang sulit untuk mengurutkan kegiatan
mana yang muncul lebih dahulu.
Kebutuhan-kebutuhan akan ruang ini merupakan salah satu alasan manusia untuk
hidup dan berlindung.
Teori Arsitektur yang kemudian dikembangkan sebagai suatu doktrin merupakan
justifikasi terhadap pengalaman empirik dari para arsitek pada saat itu. Proses
perkembangan teori itu pada satu sisi sulit mengadopsi semua hal yang
berhubungan
dengan
arsitektur,
karena
ternyata
arsitektur
mempunyai
keterbatasan dalam memahami suatu tempat ketempat lain dari etnik ke etnik lain
11
dalam konteks keragaman manusia.( Sumber : Arsitektur dalam Bingkai Kebudayaan,
Adimiharja Kusnaka dan Salura Purnama)
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang dianalisa akan
selalu saling berhubungan dengan disiplin ilmu yang lainnya seperti antropologi
dan lain-lain, begitupun dengan ilmu senirupa dan arsitektur, alenia diatas
mengatakan bahwa Antropologi sangat berhubungan dengan Arsitektur begitupun
dengan senirupa, kesinambungan yang sangat erat seperti sebuah hasil karya,
estetika, seniman dan lain-lain.
Kedua ilmu ini pun selalu membicarakan tentang kebudayaan, konteks
kebudayaan yang akan dibicarakan pada tulisan ini merupakan kebudayaan
manusia disuatu daerah tertentu.
Hubungan antara manusia dan kebudayaan
merupakan sebuah imanensi dan transendensi yang dipandang sebagai ciri khas
kehidupan manusia secara menyeluruh. Kehidupan manusia selalu berproses
dalam kehidupan (imanensi) tetapi pada suatu titik tertentu akan berproses secara
alamiah dan akan mengubahnya (transendensi).
Berbicara mengenai kehidupan, tidak lepas pula dengan falsafah dalam hidup
terutama pada masyarakat yang masih kental dengan tradisi. Hampir atau semua
kehidupannya difalsafahkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya,
seperti larangan-larangan yang sudah dinormakan oleh para sesepuh sangat kental
dengan ke-falsafahannya tetapi tidak menuntut pula terjadi perubahaan dalam
norma-norma yang sudah dibentuk tersebut sehingga bisa terjadi perubahaan
dalam kebudayaan.
Semua perubahan-perubahan yang terjadi dalam suatu kebudayaan manusia
merupakan perubahan alamiah dan jasmaniah yang bersifat manusiawi, faktor
sosial budaya kemasyarakatan disuatu daerah tertentu akan menyangkut cara
hidup dan prilaku individunya begitupun dengan cara individu itu berkomunikasi
dalam melakukan aktivitasnya.
12
Masyarakat tradisional selalu percaya hubungannya dengan alam merupakan
bagian dari kehidupannya, sebagai bagian dari alam manusia selalu menunjukan
karakter yang mendua, yaitu bicara mengenai perbedaan. Perbedaan karakter yang
dimaksudkan, adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dan fenomena
antara kelahiran dan kematian yang tidak dapat diubah keberadaannya, secara
mendasar dikelompokan menurut prinsip-prinsip dualistik.
Sistem simbolik dualistik muncul secara nyata pada setiap kebudayaan, sistem ini
dihipotesakan menjadi susunan yang berkategori atas dan bawah sehingga
membentuk sebuah paradoks.
Dualitas mempunyai arti sebuah fenomena yang menunjukan sifat mendua yang
dapat menjadi saling bertentangan ataupun melengkapi, fenomena ini sangat
terasa oleh masyarakat Jawa didalam kehidupan sehari-hari, seperti pada denah
bangunan tradisional yang selalu membedakan letak untuk laki-laki dan
perempuan.
Sketsa denah di bawah dapat terlihat dimana laki-laki selalu lebih tinggi
posisinya, landasan kepercayaan dunia atas dan bawah yang membawa
masyarakat tradisional membuat norma-norma ini.
A
C
LEGENDA
B
A
Ruang untuk Perempuan
B
Ruang untuk Laki-Laki
C
Ruang untuk Laki-laki dan Perempuan
Gambar 2.1 Sketsa Denah Rumah Tradisional Sunda
Sumber : Dokumen, 2005
Mereka juga percaya dengan posisi kontur tanah yang disebut tonggoh dan lebak.
Tonggoh mempunyai arti atas dan Lebak mempunyai arti bawah. Pada posisi
tapak rumah tradisional berada di tonggoh dan tempat mandi berada di lebak,
13
untuk tempat mandi atau pancuran biasanya selalu ada masjid kecil untuk shalat
yang letaknya selalu dekat mata air. Letak masjid dekat mata air diinterprestasikan
bahwa air merupakan sumber kehidupan.
C
A
D
E
F
LEGENDA
B
A DAERAH TONGGOH
B DAERAH LEBAK
C RUMAH TRADISIONAL
D SUMBER AIR
E TEMPAT MANDI/PANCURAN
F MASJID KECIL/ALIT
Gambar 2.2 Skema potongan tapak tonggoh dan lebak
Sumber : Dokumen, 2005
Konsep dualitas menurut para sufi menjelaskan bahwa hubungan atas dan bawah
berkumpulnya dualitas inner dan outer, elemen inner secara esensial merupakan
gambaran seseorang terhadap orang lain, misalnya sesepuh adat yang diibaratkan
seorang wali/nabi sedangkan elemen outer secara esensial merupakan gambaran
bentuk terhadap bentuk lain yang direfleksikan pada bentuk lain dari kreasi,
misalnya rumah menjadi bentuk rumah tradisional yang sakral didalamnya.
Ekspresi mendua dalam dunia nyata ini seringkali diasosiasikan dengan realita
dualitas eksistensi individu, yang menginterprestasikan antara lahir dan batin,
konteks ini dimanifestasikan dalam kesadaran yang subjektif.
Lahir dan batin lebih memiliki sebuah hubungan tengah ke pinggir daripada
sebuah hubungan dua kutub. Dari samping dan tengah ada elemen yang
14
berinteraksi yaitu jangkauan indera (senses), hasrat (desires) dan keinginan (will).
Setiap elemen membentuk sebuah lapisan di sekitar yang lainnya.
Gambar 2.3 Sketsa Pembagian Ruang Secara Vertikal
Sumber : Dokumen, 2005
2.2
Kepercayaan Masyarakat Tradisi
Manusia selalu berkomunikasi dengan apa yang dipercayainya berdasarkan
keyakinan dan kepercayaan yang dianutnya, begitupun dengan masyarakat zaman
prasejarah,
mereka
mempercayai
apa
yang
didewakannya
atau
yang
diTuhankannya.
Komunikasi
manusia
dengan
yang
percayai-NYA
mewujudkan
sebuah
kepercayaan dan akan melahirkan aturan-aturan didalamnya, seperti halnya
bangunan rumah adat atau tradisional, banyak sekali aturan dan pemaknaan di
dalam bangunan dan tata letak ruangnya, begitupun dengan aturan di luar
bangunan tersebut.
15
Foto 2.1 Rumah Tradisional Jawa Barat
Sumber : sunda.net
Rumah merupakan salah satu wujud dari kebudayaan dan aturannya. Manusia
yang menempatinya menjadi faktor yang mempengaruhi semua konsep bentuk
rumah dan tata ruangnya. Rumah tradisional merupakan suatu karya arsitektur
yang didalamnya mempunyai unsur-unsur kepercayaan dan pemaknaan, semua ini
juga dilandasi oleh masyarakat, di mana manusia yang menjadi salah satu elemen
yang berpegang pada norma dan kepercayaan yang kuat. Fenomena ini akan
memberi sebuah aspirasi terhadap kaidah kebudayaan dan masyarakat dalam
ruang dan waktu sebagai perwujudan manusia dalam lingkungannya. Dengan
terwujudnya fenomena ini maka terjadi sebuah proses perubahan dalam manusia
di dalam lingkungannya secara bertahap, pengertian ini merupakan terjadinya
perubahan sosial-budaya suatu masyarakat berkembang secara linier.
Bentuk arsitektural yang dihasilkannya merupakan bentuk kolektif yang telah
disepakati oleh manusia dengan landasan kepercayaan. Karya kolektif yang
dihasilkan dapat menghasilkan gaya arsitektur tertentu ditempat tertentu dengan
kepercayaan yang berbeda disetiap daerah. Keragaman dengan karya kolektif
menghasilkan kebudayaan dan kepercayaan yang berbeda hingga dapat dirasakan
kehadirannya di dunia ini.
Penulis meninjau rumah adat / tradisional sebagai salah satu wujud kebudayaan
fisik, di mana dalam ilmu seni rupa, wujud kebudayaan fisik merupakan suatu
16
karya seni yang mengandung makna / filosofi sehingga terdapat nilai-nilai estetis
di dalamnya.
Fenomena ini telah menjadi dogma bagi manusia, hingga manusia hanya
mengagungkan lingkungan atau daerahnya saja, misalkan setiap daerah
mempunyai spiritual dan kepercayaan yang hanya di percayai didaerahnya,
mereka percaya akan pusaka dan karuhun/leluhur masing-masing hingga mereka
hanya mempercayai tradisi daerahnya.
Seperti masyarakat Baduy percaya akan kekuatan alam yang dapat memberikan
pengaruh kuat hingga dapat membentuk watak, tabiat dan perangai manusia sesuai
dengan kadar lingkungannya
2.3.
Perubahan Budaya
Budaya mengalami perubahan seiring dengan berkembangnya akal budi manusia
serta teknologi. Budaya tradisional tak pelak mengalami perubahan yang cukup
signifikan dalam era modernisasi saat ini. Perubahan nilai-nilai serta wujud
kebudayaan dapat dirasakan bahkan dapat tampak dengan mata telanjang.
Wujud kebudayaan tradisional mengalami perubahan dalam aplikasinya.
Perubahan menjadi lebih modern meliputi setiap aspek wujud visual namun nilainilai yang terkandung di dalamnya tetap dijaga kemurniannya. Nilai-nilai
kebudayaan tetap merupakan pedoman bagi peradaban yang menganutnya.
Manusia tradisional maupun modern menganut nilai-nilai budaya yang dianutnya.
Dalam sebuah kehidupan selalu ada perubahan begitupun dengan budaya,
walapun kentalnya sebuah kebudayaan pasti ada perubahannya, misalnya seperti
rumah-rumah tradisional yang dahulu menggunakan atap dari alam seperti, bahan
ijuk tetapi banyak sekali yang kita lihat rumah-rumah tradisional menggunakan
atap modern yaitu genteng.
17
Namun seperti yang dikatakan pada alenia diatas norma-norma di dalamnya masih
ada yang dipertahankan, seperti letak dimana untuk laki-laki dan perempuan
begitupun dengan site tapak di luar bangunan/rumah, masih banyak yang
dipertahankan ketradisian-nya, seperti letak mushola yang selalu dekat dengan
mata air dan letaknya di sebelah lebak dan rumah letaknya di sebelah tonggoh.
Eksisitensi seni didalam masyarakat dapat dibuktikan dengan adanya sebuah hasil
karya yang berbentuk visual sehingga menciptakan suatu ruang dan waktu dari
artefak yang diciptakannya. Tetapi dengan proses dari manusia itu sendiri senipun
dapat berubah dan mengakibatkan berubahnya budaya, ini semua dikarenakan
seni merupakan salah satu elemen kebudayaan yang paling dominan dalam
kehidupan manusia.
Penekanan arti perubahan seperti yang ditulis pada alenia sebelumnya, merupakan
jelas pengaruh dari manusia itu sendiri di dalam masyarakatnya sehingga sangat
memungkinan terjadi perubahan yang menglobal.
Seperti pada masalah rumah tradisional, selalu terjadi aktualisasi budaya yang
dikarenakan masuknya moderenisasi kedalam masyarakat tradisional. Ini semua
dikarenakan juga masuknya individu lain yang membawa sesuatu hingga
terjadinya perubahaan dan masyarakat mempunyai rasa keinginan ”tahu” apa yang
dibawa oleh individu tersebut, hingga keinginan tahuan tersebut menjadi ”umum”.
Banyak sekali rumah-rumah tradisional yang berubah oleh kreasinya masyarakat,
misalnya genteng, pintu bahkan ukuran struktur-pun berubah. Culture change
yang terjadi dalam rumah tradisional Sumedang sudah sangat dipastikan
dikarenakan masuknya individu yang membawa teknologi dalam masyarakat
tradisional.
Di sisi lain sebetulnya kita harus menjaga kelestarian peninggalan-peniggalan
warisan budaya melalui konservasi.
18
Konservasi
adalah
segenap
proses
pengelolaan
suatu
tempat
agar kandungan makna kulturalnya terpelihara dengan baik yang meliputi
seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat (Eko
Budihardjo, 1989)
Konservasi merupakan pokok istilah dari kegiatan pelestarian bangunan, yaitu
segala
bentuk
intervensi
fisik
yang
perlu
dilakukan
untuk
menjaga
ketahanan/keutuhan struktur mulai yang paling mudah hingga perlakukan yang
paling radikal (Historic Preservation).
Pelestarian bangunan sebagai warisan masa lalu menjadi sangat penting karena
dengan demikian proses perubahan serta perkembangan suatu daerah akan terjadi
secara alamiah, berurutan tanpa harus kehilangan masa lalu yang dapat dijadikan
cermin untuk pembangunan masa depan.
Simbolisme Arsitektur merupakan tata cara kehidupan masyarakat dan cerminan
sejarah suatu tempat, sehingga Arsitektur dapat berfungsi sebagai penyambung
babakan sejarah masa kini, masa datang dan masa lampau.
Pelestarian sebuah artefak juga menjamin variasi dalam suatu daerah Walaupun
demikian, pelestarian tetap terkait oleh berbagai pertimbangan yang bersifat
estetis, strategis, ekonomis dan simbolis, serta beberapa kriteria Pelestarian seperti
yang tercantum dalam Pengantar Perencanaan Kota, yaitu berdasarkan nilai
estetika, kejamakan, kelangkaan, peranan sejarah, memperkuat kawasan di
dekatnya, serta keistimewaan karena merupakan bangunan berpredikat paling
(paling tua, paling besar, paling panjang dsb.)
2.4
Ruang dan Waktu
Bicara mengenai ruang, selalu bicara mengenai waktu. Dimanapun adanya suatu
objek dan ruang disitu pula kita berbicara mengenai waktu. ”Waktu bukanlah
merupakan pengertian empiris” yang dijabarkan dari pengalaman melalui proses
abstraksi, waktu selalu bicara mengenai kapan dan dimana, semua ini dilakukan
dengan acara-acara adat disuatu daerah. Mereka sudah memiliki waktu untuk
19
pemujaan kepada karuhun atau leluhur dan mereka juga sudah mempunyai ruang
untuk tempat pemujaan. Dapat disimpulkan bahwa ruang dan waktu mempunyai
makna, karena pemaknaan disini merupakan wujud dari suatu budaya.
Rumah tradisional merupakan wujud dari budaya yang dilandasi oleh pemaknaan
yang sakral dan mempunyai norma-norma didalamnya yang sudah menjadi tradisi
secara turun menurun.
Tradisi dapat diartikan sebagai kebiasaan yang turun temurun dalam suatu
masyarakat yang merupakan kesadaran kolektif dengan sifatnya yang luas,
meliputi segala aspek dalam kehidupan. Arsitektur tradisional sunda dapat
diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat sunda yang telah
berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari
jaman dahulu.
Semua aspek ini mencerminkan kekhasan dari kampung adat tersebut, seperti
halnya rumah tradisional dapat menjadi ciri khas kampung adat dimana rumah itu
berada, kekhasan disini terkadang berbicara mengenai material. Karena material
untuk membangun didapatkan disekitar kampung tersebut dan pembangunan
biasnya dilakukan secara gotong royong. Ini membuktikan bahwa mereka adalah
masyarakat homogen yang biasanya merupakan satu keturunan dan hanya
memiliki satu kepercayaan yang diturunkan dari leluhur mereka, kepercayaan ini
dipimpin oleh sesepuh (ketua adat) yang sangat dihormati.
Namun secara sosial-budaya umum ada kemiripan diantar kampung-kampung
adat tersebut, seperti cara mereka bermukim, bentuk rumah, larangan-larangan
(tabu), bahkan upacara-upacara adat.
20
2.5
Kehidupan Masyarakat Tradisi
Kehidupan masyarakat tradisi tidak lepas dari budaya mistis dalam kehidupannya
sehari-hari walaupun pada zaman sekarang sudah mulai agak memudar yang
dikarenakan proses modernisme. Pada hakekatnya
budaya mistis dalam
kehidupan
dalam
masyarakat
tradisi
berarti
berkonsep
hidup
yang
keserbaragaman, yang berarti mendapatkan keseimbangan dari dunia atas dan
dunia bawah. Keseimbangan merupakan aturan dan kesakralan yang dimiliki oleh
masyarakat tradisi secara turun menurun, dengan demikian keseimbangan bersifat
mutlak sekaligus relatif terhadap komponennya sendiri terhadap komponen yang
lain, terhadap tataran dimana ia terdefinisikan.
Beberapa aspek dalam sudut pandang falsafah mengatakan bahwa falsafah
merupakan Ilmu pengetahuan umum untuk mencari kebenaran seluruh fakta /
kenyataan begitupun yang dituntut oleh masyarakat tradisi, mereka mencari
kebenaran dan berlindung didalam norma-norma kesakralannya. Kesakralan yang
dimiliki oleh masyarakat tradisi selalu berhubungan dengan alam dan yang diatas
sehingga terbentuknya trasendensi dalam suatu kebudayaan.
DUNIA ATAS
TRANSENDEN
MANUSIA
ALAM
PROSES IMANENSI
Diagram 2.3 Proses Transendensi
Sumber : Dokumen Pribadi, 2006
21
Diagram diatas menjelaskan bagaimana prosesnya suatu kehidupan masyarakat
tradisi, kehidupan dimulai dari alam semesta dan alam merupakan dunia bawah
sedangkan langit adalah dunia atas, posisi manusia sebagai dunia tengah hingga
mencapai kesempurnaan (transenden).
2.5.1
Masyarakat Pola Dua
Masyarakat pola dua merupakan masyarakat pemburu atau pramu yang
membentuk realitas hidup dengan persaingan atau pemisahan, karena masyarakat
pola dua tidak bisa menyatu dalam satu kelompok sosial, sehingga mereka
terpisah-pisah dalam jumlah suku dan bahasa yang bervarian.
Masyarakat pola dua sangat bergantung dengan alam, mereka menganggap alam
raya yang memberikan kehidupan, mereka percaya alam itu hidup dan jika alam
itu mati manusiapun akan mati. Realitas ini membentuk kesadaran bagi
masyarakat pola dua tentang kebenaran dalam hidup ini.
Fenomena ini membuat masyarakat pola dua menghasilkan artefak budaya yang
berbeda-beda namun hasil dari semua ini didasari ole.h cara berfikir mereka
tentang suatu sistem kesadaran rasional yang bertolak dari bangunan religinya.
Masyarakat pramu percaya tentang prinsip kematian adalah kehidupan, sehingga
terbentuknya dualistik, yaitu hulu dan hilir, mitologi ini terdapat di beberapa
kebudayaan di Indonesia, seperti di Asmat.(Estetika Paradoks,hal 37, Yakob
Sumardjo)
22
Tebentuknya hulu,hilir dan dunia atas, dunia bawah sehingga membuat suatu
paradoks dengan unsur dualistik antagonistik di ruang manusia.Religi masyarakat
pola dua lebih cenderung dinamistik dari pada animistik, yakni personifikasi dayadaya transenden, yang merupakan sang pencipta tinggal di atas langit dan manusia
di Bumi
Gambar 2.4 Sketsa Paradoks Pola Dua
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
Gambar 2.5 Sketsa Pola Arah Paradoks
Sumber : Estetika Paradoks, Yakob Sumardjo, 2006
23
Gambar sketsa di atas merupakan simbol dari bersatunya dua unsur (paradoks)
yang bertentangan, satu tapi dua atau bisa disebut Dwitunggal, seperti laki-laki
dan perempuan, hulu dan hilir, badan dan jiwa, kiri dan kanan.
Pola arah berbalikan maupun yang berhadapan merupakan simbol dari satu
kesatuan yang bertentangan (dwitunggal) tetapi tidak harmoni, pola ini dapat
dilihat dari wujud patung dua manusia Papua yang saling berhadapan atau
berbalikan, kedua wujud tersebut dipahat disatu batang kayu yang sama, ini
berarti pisah tetapi satu (paradoks).
Begitupun dengan ruang, terdapat ruang untuk perempuan dan ruang untuk lakilaki, terpisah tetapi satu. Secara stuktur ruang adalah sama tetapi nilainya
(heterogen) berbeda, namun menjadi satu kesatuan (paradoks).
Gambar 2.6 Sketsa Rumah Tradisional Sunda yang Merupakan Satu Kesatuan (paradoks)
Sumber : Dokumen. Pribadi 2006
24
Pola ini merupakan religi pola dua kaum peramu, rumah merupakan replika
makrokosmos dan metakosmos, yang atap merupakan simbol dunia yang
menghadap dari hulu ke hilir dan kolong merupakan simbol bumi. Hulu
merupakan simbol dari kehidupan dan hilir simbol dari kematian, namun semua
ini menjadi satu kesatuan (paradoks). Pada masyarakat peladang rumah
merupakan bagian dari simbol-simbol yang menjadi satu kesatuan dengan
keharmonian, disebabkan oleh adanya dunia tengah atau dunia manusia. Ruang
tengah (manusia) terletak diantara arah hulu dan hilir yang dibagi secara imanen.
Gambar 2.7 Sketsa Tampak Depan Rumah Tradisional Sunda
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
2.5.2
Masyarakat Pola Tiga
Pola tiga merupakan masyarakat peladang yang bercocok tanam padi di tanah
yang berkontur tinggi. Masyarakat peladang tidak menggantungkan hidupnya
kepada alam, tetapi memproduksi sendiri dengan cara bertani. Seperti halnya
masyarakat pola dua, masyarakat pola tiga membatasi komunitasnya dalam
jumlah tertentu.
25
Prinsip pemisahan budaya terjadi pula pada masyarakat pola tiga tetapi tidak
setegas masyarakat pola dua. Pemikiran mereka lebih memikirkan tentang
kehidupan bukan kematian, karena masyarakat pola tiga selalu berfikir
“bagaimana cara menghidupkannya” sehingga mereka harus merawat tanaman
dan memelihara binatang.
Pada masyarakat pola tiga terjadi keharmonian dengan adanya dunia tengah
sebagai pemersatu antara dunia atas dan dunia bawah. Kosmos ini terjadi sehingga
kehidupan bisa dipertahankan.
Masyarakat berfikir bahwa pemisah itu tidak baik karena akan mendatangkan
kematian, sehingga kepercayaan dualisme antagonistik harus diakhiri dengan
adanya dunia netral (dunia) yang mengandung dua kutub pertentangan.
Gambar 2.8 Tiga Entitas Pola Tiga
Sumber : Estetika Paradoks, Yakob Sumardjo, 2006
26
Masyarakat peladang menganut paham monistik, yang artinya nama Tuhan boleh
disebutkan jika pada acara-acara adat tertentu. Sehingga Tuhan dikenal secara
rasional melalui imanensi- NYA (naturalistik-monistik) yakni alam
Masyarakat peladang hanya mengenal dua arah kosmik yaitu hulu dan hilir,
gunung dan laut, kiri dan kanan sungai. Hulu arah asal dan hilir arah tujuan, ini
merupakan arah transenden, penguasa semesta.
Rumah merupakan simbol dari makrokosmos yang terdiri dari tiga bagian dalam
struktur vertikal, yaitu atap, ruang dan kolong. Sebagai simbol dari mikrokosmos
struktur vertikal juga disebut sebagai gambar manusia.
Gambar 2.9 Sketsa potongan Tapak Arah Atap Rumah Tradisional Sunda
Sumber : Dokumen Pribadi, 2006
Atap rumah kaum peladang mempunyai ukuran lebih besar dari badan rumah, dan
jika memulai membangun dengan ukuran umur lelaki tertua di rumah tersebut, hal
ini merupakan simbol dari mikrokosmos.
27
Foto 2.2 Atap Rumah Tradisional Pola Tiga
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
2.6
Falsafah Rumah Tradisional
Falsafah dalam suatu kebudayaan merupakan keinginan untuk suatu kehidupan
yang dilandasi oleh norma didalamnya, dengan demikian falsafah akan membawa
kehidupan kepada pemahaman dan tindakan yang tidak akan melawan norma
yang ada.
Falsafah merupakan pemikiran secara sistematis yang mempunyai kegiatan
merenung, perenungan disini mengartikan pemahaman dan pemaknaan dunia
dimana tempat kita hidup, pemaknaan ini merupakan landasan untuk hidup bagi
orang-orang tradisional, karena mereka berfikir tentang ruang dan waktu yang
menyatu dengan alam fisik.
Pemaknaan alam fisik merupakan kejadian-kejadian alam dalam kehidupan,
hingga akan terkesan dengan kenyataan bahwa dimana-mana terdapat gerakan
diantara ruang dan waktu.
Penggunaan istilah ’ruang’, menunjukan satu titik tertentu dimana ’ruang’ bersifat
tidak terhingga dan sakral, konteks ini dapat kita lihat dalam penggunaan ruang di
rumah-rumah tradisional. Mereka benar-benar mengsakralkan setiap ruang-ruang
di dalam rumah. Dapat disimpulkan bahwa ruang merupakan sifat subjektif,
28
karena fenomena ini terdapat didalam diri manusia dengan dilandasi pemaknaan
berdasarkan pengalaman manusia diluar dirinya dan makna yang dikandung oleh
kata ’diluar’ sudah menggambarkan adanya dunia sakral yang dapat terkendali
dengan adanya ruang, artinya pemahaman suatu objek pasti mempunyai ’ruang’.
Kata tradisi sendiri merupakan sebuah kata yang dapat diartikan sebagai pewaris
norma-norma adat istiadat ataupun pewaris budaya yang turun menurun dari
generasi ke generasi ( Peursen, 1989; Eko Budiarjo,1991 )
Perkembangan arsitektur tradisional dengan landasan budaya-budaya dan norma
yang sangat sakral dalam masyarakat tradisional akan sangat mempengerahui
prilaku ruang setiap daerah dalam rumah tradisional. Dengan demikian kehidupan
dan prilaku suatu masyarakat tardisional merupakan gambaran dari perkembangan
arsitektur tradisionalnya.
Pada masalah ini Britanica World Language mengatakan bahwa tradisi adalah,
Tradition is doctrin, customs, practices, etc, from generation, originally by world
of much by example. Tradition to or depending of tradition. (Funk and Wagnalls
Company, 1989)
2.7
Kebudayaan Sunda
Masyarakat sunda selamanya merupakan masyarakat terbuka yang mudah sekali
menerima pengaruh dari luar, tetapi juga menyerap pengaruh itu sedemikian
rupasehingga menjadi miliknya sendiri. ( Rosidi 1984:133 )
Melihat definisi demikian pola kehidupan masyarakat Sunda yang selalu
meningkatkan sistem kekerabatannya yang bersifat bilateral yang menyamakan
posisi ayah dan ibu banyak terpengaruh dari daerah-daerah sekitar Jawa seperti,
kepercayaan, adat istiadat dan berkesenian.
Kehidupan orang Sunda relatif mempunyai kedamaian diantara komunitasnya, itu
disebabkan adanya landasan pemikiran akan kedamaian dan keselarasan dalam
bermasyarakat, definisi ini pun di tulis oleh Herayati (1986:25) yang
29
mengemukakan bahwa ketentraman antar sesama merupakan salah satu aspek
pandangan hidup.
Setiap orang harus hormat pada orang tua, beramal baik, berbuat baik, berbuat
kebajikan, hormat kepada pendidik yang bisa memberi teladan dan perintah yang
bijaksana, agar selamat dan bahagia baik dunia maupun akhirat (Herayati 1986:25)
Pandangan hidup orang Sunda terhadap keluarga sangatlah penting, karena
keluarga tempat dimana mereka berkumpul dan membina diantara anggota
keluarganya, pepatahnya-pun mengatakan makan tidak makan yang penting
ngumpul. Dan pepatah untuk orang tua sebagaiberikut, Ari munjung ulah ka
gunung muja ulah ka sadara, ari munjung kudu ka indung muja mah kudu ka
bapa artinya orang tua haruslah di hormati keberadaannya.
2.8
Kosmologi Sunda
Dari zaman dahulu orang Sunda memiliki konsep tersendiri mengenai
kepercayaan dialam ini. Konsep tersebut merupakan perpaduan antara konsep
Sunda asli, ajaran agama Budha, dan ajaran agama Hindu. Fenomena ini dapat
dibuktikan dalam naskah lontar Sunda Kropak 420 dan Kropak 422. Kedua
naskah yang ditulis pada daun lontar dengan menggunakan aksara dan bahasa
Sunda kuna itu berasal dari kabuyutan Kawali, termasuk daerah Kabupaten
Ciamis sekarang.
Kosmologi Sunda kuno membagi alam ini dalam tiga alam, yaitu
•
Bumi sangkala (dunia nyata, alam dunia),
Bumi sangkala adalah alam nyata di dunia tempat kehidupan
makhluk yang memiliki jasmani (raga) dan rohani (jiwa). Makhluk
demikian adalah yang disebut manusia, hewan, tumbuhan, dan
benda lain yang dapat dilihat baik yang bergerak maupun yang
tidak bergerak.
•
Buana niskala (dunia gaib, alam gaib),
30
Buana niskala adalah alam gaib sebagai tempat tinggal makhluk
gaib yang wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia,
seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari, apsara-apsari, dll. Jumlah
dan ragam makhluk tersebut banyak dan bisa bergabung satu
dengan lainnya serta berkedudukan lebih tinggi daripada manusia.
Buana niskala yang disebut juga kahyangan yang terdiri atas surga
dan neraka.
•
Buana jatiniskala (dunia atau alam kemahagaiban sejati),
Buana jatiniskala adalah alam kemahagaiban sejati sebagai tempat
tertinggi di jagat raya. Penghuninya adalah zat Maha Tunggal yang
disebut Sang Hyang Manon, zat Maha Pencipta yang disebut Si
Ijunajati Nistemen. Zat inilah yang tingkat kegaiban dan
kekuasaannya paling tinggi. Dialah pencipta batas, tetapi tak
terkena batas. Dengan demikian, tiap-tiap alam mempunyai
penghuninya masing-masing yang wujud, sifat, tingkat, dan
tugas/kewenangannya berbeda.
Orang Sunda percaya akan hubungan antara bumi sakala dengan buana niskala
dan buana jatiniskala, da kepercayaan akan kesucian Mahapandita, maka dalam
naskah lontar Kropak 420 diutarakan secara panjang lebar tentang ciri-ciri dan
sifat kehidupan di bumi sakala, sedangkan dalam Kropak 422 dikemukakan ciriciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana jatiniskala yang menggiring
manusia agar memilih jalan ideal yang lurus menuju buana niskala yang berupa
surga yang menyenangkan, bahkan buana jatiniskala yang paling tinggi
derajatnya.
Mahapandita adalah ahli agama yang disucikan hidup di bumi sakala. Ia
mengemukakan ciri-ciri kehidupan di bumi sakala bahwa, "Samar ku rahina sada,
kapeungpeuk ku langit ageung, kapindingan maha linglang, ja kaparikusta ku
tutur, karasa ku sakatresna, kabita ku rasa ngeunah, kawalikut ku rasa kahayang,
bogoh ku rasa utama, beunang ku rasa wisisa." (Samar oleh keadaan pagi hari,
tertutup oleh langit yang luas, terhalangi keluasan langit sebab terjebak oleh
31
cerita, terasa oleh segala kecintaan, tergiur oleh rasa nikmat, tergugah lagi oleh
keinginan, senang oleh perasaan luar biasa, terpikat oleh perasaan mulia).
Ditekankan bahwa setiap makhluk yang ada di alam semesta, baik di bumi sakala
maupun di buana niskala, hendaknya mampu menjalankan tugasnya masingmasing sesuai dengan kadar bayu (kekuatan), sabda (suara), dan hedap (iktikad)
yang
diterima
dari
Sang
Pencipta.
Manusia
pun
hendaknya
mampu
menyeimbangkan bayu, sabda, dan hedapnya masing-masing melalui berbagai
kegiatan tapa (pengabdian) lahir dan batin agar kelak bisa kembali ke kodratnya
bagaikan dewa.
Selain itu, dalam melaksanakan tapa manusia hendaknya diiringi oleh penuh rasa
keikhlasan, jangan rakus, jangan mengambil hak yang lain supaya tidak tersesat
kembali ke bumi sakala dan mengalami sengsara. Apabila hendak berbuat
kebajikan, janganlah setengah hati! Itulah kodrat pendeta dan hakikat
pertapaannya yang dilakukan tak kenal siang dan malam.
Adapun ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana jatiniskala, tempat
tinggalnya para dewa-dewi, batara-batari, Sanghyang Manon, dan makhluk halus
lainnya mencerminkan kehidupan tingkat tinggi yang tak dibatasi oleh keperluan
dan kepentingan duniawiah, sebagaimana diutarakan pada teks Kropak 422 yang
berjudul Jatiraga. Penjelmaan yang paling sempurna, menurut naskah ini, adalah
umat manusia. Karenanya manusia diwajibkan untuk berusaha berbuat amal
kebaikan agar kelak sukmanya bisa kembali ke kodrat sejati di Kahyangan
(surga). Sementara manusia yang terlalu terbawa nafsu angkara murka, akan
menjadi raksasa serakah, tamak, dan rakus terhadap hak-hak yang lain. Sukma
mereka hanya bisa kembali ke alam niskala sebagai penghuni neraka. Kalaupun
mendapat keringanan dari penjaga neraka, sukma itu harus mengalami reinkarnasi
di bumi sakala yang bisa jadi derajatnya lebih rendah dari manusia. Bahwa yang
berada di buana jatiniskala itu terlalu tangguh dan kuasa, karena dia adalah
kekuasaan dan pengabdian..
Berdasarkan seluruh uraian di atas tampak bahwa konsep kosmologi Sunda Kuno
bukan hanya dimaksudkan untuk pengetahuan semata-mata mengenai struktur
32
alam semesta, melainkan lebih ditujukan sebagai media agar kehidupan manusia
jelas tujuan akhir-nya, yaitu kebahagiaan dan ketenteraman hidup di buana
niskala dan buana jatiniskala yang abadi.
2.9
Rumah Tradisional Sunda menurut Ilmu Arsitektur
Salah seorang penganut paham evolusi klasik mengatakan bahwa pemukiman
manusia primitif di bagi menjadi 4 tipologi arsitektur, yaitu pertama, arsitektur
Subhumann dengan bentuk sarang sebagaimana tampak dalam berbagai jenis
kera; kedua, arsitektur semantik yaitu bangunan kecil yang terbuat dari bahan
organik yang memiliki fungsi teritori, sosial dan simbolik; ketiga, adalah
arsitektur domestik, yaitu bengunan dengan ruang didalamnya berfungsi sebagai
pelindung; keempat, yaitu arsitektur settlement berupa pemukiman yang memiliki
makna yang tinggi.
Semua teori ini dapat mengemukakan bahwa perkembangan kebudayaan dimulai
dari manusia prasejarah hingga pada manusia modern, pada tingkat perkembangan
peradaban, di saat manusia ingin mempunyai tempat untuk berlindung dari alam
maka manusia mulai membangun dengan menggunakan material dari alam yang
sesuai dengan lingkungan dimana manusia itu tinggal.
SUBHUMANN
SEMANTIC ARCHITECTURE
DOMESTIC ARSITECTURE
SEDENTARY ARCHITECTURE
Diagram 2.4 Empat Tipologi Dalam Arsitektur
(Sumber : Arsitektur dalam Bingkai Kebudayaan, Adimiharja Kusnaka dan Salura Purnama)
33
TIPOLOGI ARSITEKTUR MERUPAKAN JEJAK BUDAYA YANG DIBANGUN DARI
TUNTUTAN MANUSIA YANG PALING ELEMENTER SEJALAN DENGANKARAKTERISTIK
JEJAK FISIK BERUPA KARYA ARSITEKTUR YANG KARYA AKAN NILAI.
Sumber : Arsitektur dalam Bingkai Kebudayaan, Adimiharja Kusnaka dan Salura Purnama
Pandangan arsitektur yang berevolusi di ringi dengan berkembangnya pengaruh
nilai-nilai kebudayaan dan agama yang berdampak dengan berubahnya bentuk dan
struktur rumah-rumah tradisional, aspek ini semakin memuncak dengan
partambahanya manusia hingga mempengaruhi sifat demografi yang semakin
berdampak pada bentuk dan struktur bangunan, keaadaaan ini dapat di lihat
bentuk visualisasinya dengan adanya perbedaan bentuk dan struktur setiap rumah
tradisional walau terdapat di satu daerah, menurut tipologi arsitektur rumah
tradisional terdapat pada posisi sedentary architecture misalkan rumah tradisional
Baduy mempunyai perbedaan dengan rumah tradisional Sumedang padahal kedua
rumah tradisional ini terdapat di satu daerah, yaitu Jawa Barat. Namun tetap ada
persamaannya, seperti bentuk atap selalu beratap pelana dan mempunyai bentuk
panggung.
Foto 2.3 Bentuk rumah suku baduy
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
34
Foto 2.4 Bentuk Tipologi Tapak Suku Baduy
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
2.10
Manusia dan Arsitektur
Perubahan global dengan instrumennya, modernisme, telah mempengaruhi seluruh
aspek kehidupan saat ini, khususnya aspek sosial dan budaya. Fenomena
perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat merupakan hal
fundamental yang harus diperhatikan. Modernisasi menimbulkan suatu kondisi
masyarakat baru yang disebut masyarakat urban, namun di lain pihak, modernisasi
pula menjadikan etnisitas begitu dijunjung tinggi.
Aspek-aspek sosial dan budaya semakin kentara untuk diteliti, dilestarikan, dan
dijaga originalitasnya. Mitos dan ritual tidak pernah terlepas dari budaya
masyarakat tradisional. Unsur-unsur fisik di dalamnya pun menjadi hal yang
penting untuk diperhatikan dan dikaji.
Sebagai mahluk sosial yang membutuhkan tempat untuk berlindung, manusia
mempunyai dorongan untuk memilikinya baik rumah tradisional maupun rumah
modern. Seperti yang di katakan pada paragraf diatas perubahan terhadap bentuk
35
rumah tradisional menjadi modern dikarenakan makin baiknya kehidupan
masyarakat desa, sehingga merekapun mengikuti perkembangan zaman atau
modernisme
Rumah tardisional yang terdapat di desa-desa (kampung adat) merupakan tempat
tinggal yang mempunyai nilai-nilai kesakralan sehingga banyak sekali aturanaturan di dalamnya, berbeda dengan zaman sekarang rumah merupakan tempat
untuk istirahat dan berlindung tetapi bukan lagi sesuatu tempat yang sakral seperti
rumah-rumah tradisi.
Di Indonesia banyak sekali kampung-kampung adat yang masih memiliki dan
melestarikan rumah-rumah tradisionalnya. Seperti di Sumatra terdapat rumah Ulu
Komring, di Jawa Barat terdapat rumah adat kampung Dukuh, kampung Pulo,
kampung Mahmud, kampung Naga, kampung Cikondang, kampung Urug,
kampung Kuta, kampung Lengkong dan lainya.
Rumah-rumah tradisional Jawa Barat walaupun mempunyai lokasi yang terpisahpisah dan mempunyai ciri khas masing-masing tetapi mempunyai keseragaman
dalam bentuk rumah dan mempunyai tradisi yang masih dipegang kuat oleh
masyarakat pendukungnya.
2.11
Tipologi Rumah Tradisional Sunda
Rumah Tradisional Sunda mengenal beberapa macam tipologi atap, tidak seperti
rumah tradisional lainya yang terdapat di Indonesia, seperti rumah gadang di
Sumatra, rumah toraja dan lain-lainya.
Di bawah ini mereupakan nama-nama tipologi rumah tradisional Sunda, yaitu :
1. Julang Ngapak
2. Buka palayu
3. Suhunan Jolopong
36
4. Parahu Kumureb.
1.
Suhunan Jolopong
Gambar 2.10 Atap Jolopong
Sumber : Dokumen Pribadi 2007
Suhunan jolopong dikenal juga dengan sebutan suhunan panjang. Di kecamatan
Tomo Kabupaten Sumedang dalam tahun tiga puluhan disebut atap ini dengan
suhuna Jepang "Jolopong" adalah Istilah Sunda. artinya tergolek lurus. Bentuk
jolopong merupakan bentuk yang cukup tua. karena bentuk ini ternyata terdapat
pada bentuk atap bangunan saung (dangau) yang diperkirakan bentuknya sudah
tua sekali. Bentuk jolopong memiliki dua bidang atap saja. Kedua bidang atap ini
dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah. bahkan jalur suhunan
itu sendiri merupakan sisi bersama (rangkap) dari kedua bidang atap yang sebelah
menyebelah.
Suhunan jolopong: suhunan nu lempeng. Mun basa indonesia mah, atap pelana.
Siga pelana kuda. Kaci ogé disebut regol.
37
2.
Suhunan Julang ngapak
Gambar 2.11 Atap Julang ngapak
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
Julang Ngapak (sikap burung julang yang merentangkan sayap)
Bentuk atap julang ngapak adalah bentuk atap yang melebar di kedua sisi bidang
atapnya. Jika dilihat dari arah muka rumahnya, bentuk atap demikian menyerupai
sayap dari burung julang (nama sejenis burung) yang sedang merentangkan
sayapnya.
Bentuk-bentuk atap demikian dulu dijumpai didaerah-daerah Garut, Kuningan dan
tempat-tempat lain di Jawa Barat.
Foto 2.5 Tampak Atap ITB
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
38
Julang ngapak: julang teh ngaran manuk. dipaké ku Maclain Point jang nyieun
aula kulon-aula wétan ITB. Nya manéhna nu nyebut ieu model téh ciri suhunan
Sunda Besar. Julang ngapak mun diténjo ti hareup, suhunan kénca katuhuna siga
jangjang manuk julang-suhunanana opat nyambung nu di sisi nyorondoy.
Sambunganana di tengah, maké tambahan siga gunting muka di punclutna.
3.
Suhunan Buka Palayu
Gambar 2.12 Atap Buka Palayu
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
Buka Palayu (Menghadap ke Bagian Panjangnya)
Nama buka palayu menunjukkan letak pintu muka dari rumah tersebut
menghadap
ke arah salah satu sisi dari bidang atapnya. Dengan demikian, jika
dilihat dari arah muka rumah, tampak dengan jelas keseluruh garis suhunan yang
melintang dari kiri ke kanan, bangunan-bangunan rumah adat semacam ini masih
dapat dijumpai di daerah-daerah yang menghubungkan kota Cirebon dan kota
Bandung. Potongan buka palayu pada umumnya mempergunakan bentuk atap
suhunan panjang.
Pada umumnya, rumah-rumah dengan gaya palayu didirikan atas dasar keinginan
pemiliknya, untuk menghadapkan keseluruhan bentuk bangunan dan atapnya ke
arah jalan yang ada di depan rumahnya
39
Buka palayu: suhunan sigan imah Betawi aya émpér panjang dihareup
4. Suhunan Perahu Kumerep
Gambar 2.13 Atap Perahu Kumerep
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
Bentuk atap ini memiliki empat buah bidang atap. Sepasang bidang atap sama
luasnya, berbentuk trapezium sama kaki. Letak kedua bidang atap lainnya
berbentuk segitiga sama kaki dengan kedua titik ujung suhunan merupakan titiktitik puncak segitiga itu. Kaki-kakinya merupakan sisi bersama dengan kedua
bidang atap trapezium. Bentuk atap perahu kumureb, oleh informan dari bugel
kecamatan Tomo kabupaten Sumedang disebut bentuk atap jubleg nangkub.
Parahu kumureb: nya siga tangkuban parahu pisan, trapesium tibalik di Tomo
Sumedang, disebutna jubleg nangkub
40
2.12
Bagian Struktur Rumah Tradisional Sunda
Rumah tradisional Sunda memiliki bagian-bagian secara struktur arsitektural,
yaitu :
1.
Atap, memiliki bentuk atap pelana atau jure terkadang disebut suhunan,
bentuk ini menggunakan material alam, seperti kayu-kayu dan ijuk.
Foto 2.6 Bentuk Atap dengan Material Injuk
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
2.
Langit-langit, Langit-langit terkadang disebut lalangit/paparan terbuat
dari bilik dengan motif kepang, hanya bagian dari dapur yang tidak menggunakan
lalangit.
Foto 2.7 Foto Langit-langit dengan Motif Kepang
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
41
3.
Tihang, Tiang-tiang konstruksi utuk menahan rumah biasanya berjumlah
16 tiang, dengan pondasi menggunakan batu alam.
Foto 2.8 Struktur Tiang Rumah Tradisional Sunda
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
4.
Dinding, Dinding rumah Sunda menggunakan bahan dari bilik motif
kepang, konstruksi pemasangan bilik ini menempel langsung pada bagian luar
tiang rumah. Selain menggunakan bilik, untuk fasade mereka menggunakan
papan.
Foto 2.9 Dinding BilikTiang Rumah Tradisional Sunda
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
42
5.
Pintu, rumah tradisional Sunda hanya memiliki pintu masuk satu buah
yangt terletak dibagian depan rumah menuju kedalam ruangan depan dan
memiliki satu pintu keluar/belakang yang terdapat didapur (hawu).
Foto 2.10 Pintu Rumah Tradisional Sunda
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
6.
Jendela, jendela terdapat disamping kiri dan kanan dan bagian fasade,
bentuk jendela persegi panjang.
Foto 2.11 Jendela Rumah Tradisional Sunda
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
7.
Lantai, penggunaan material lantai rumah tradisional Sunda biasanya
menggunakan papan kayu atau lempengan-lempengan bambu (talapuh) yang
digelarkan diatas bambu bulat yang biasa dinamakan darurang. Untuk bagian
dapur, menggunakan tanah yang ada (alam murni).
43
Foto 2.12 Lantai Bambu (talapuh) Rumah Tradisional Sunda
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
2.13
Fungsi Ruang Rumah Tradisional Sunda
Rumah tradisional Sunda mempunyai kesakralan dengan kondisi alam, seperti
struktur panggung mempunyai kepercayaan dan mengaitkan dengan kekuatan
alam yang berpusat pada duni atas dan dunia bawah oleh karena itu struktur-nya
tidak boleh menyentuh tanah.
Masyarakat Sunda membagi ruang dengan fungsinya masing-masing berdasarkan
kepercayaan dan keyakinan mereka, pembagian ini berdasarkan jenis kelamin dan
urutan keluarga.
A
LEGENDA
A
DAERAH PEREMPUAN
B
DAERAH NETRAL
C
DAERAH LAKI-LAKI
B
C
GAMBAR 2.14 PEMBAGIAN RUANG
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
44
Pembagian fungsi-pun terjadi bukan hanya didalam rumah saja tetapi terjadi juga
diluar rumah, seperti daerah laki-laki ditempat pertanian dan daerah perempuan
hanya tempat yang berhubungan dengan rumah tangga, seperti daerah
sumur/cucian, tempat menumbuk padi dan kebun.
HB
C
LEGENDA
HB HALAMAN BELAKANG UNTUK PEREMPUAN
HD HALAMAN DEPAN UNTUK LAKI-LAKI
B
A RUANG DEPAN DAERAH LAKI-LAKI
B RUANG NETRAL
C RUANG BELAKANG UNTUK PEREMPUAN
A
HD
GAMBAR 2.15 SKEMA PENGELOMPOKAN RUANG LUAR DAN DALAM
SUMBER : ROBERT WESSING, 1978:55
Setiap ruang yang terdapat disebuah rumah pasti mempunyai fungsi, penjelasan
mengenai fungsi tergantung pada pe-maknaan manusianya.
Pada rumah tradisional Sunda juga memiliki fungsi-fungsi ruang yang terdiri dari:
1. Ruangan Depan (tepas), terletak pada bagian paling depan
dengan fungsi untuk menerima tamu.
2. Kamar Tidur (enggon), komposisinya terletak disebelah
ruang tamu, banyaknya enggon tergantung banyaknya
keluarga.
Fungsi
45
enggon
merupakan
tempat
untuk
tidur/beristirahat, yang dipisahkan antara enggon laki-laki
dan perempuan.
3. Dapur (pawon), menggunakan lantai tanah dan tanpa
plafon. Didalam dapur biasanya terdapat hawu (tempat
untuk menyimpan kebutuhan dapur).
4. Goah, merupakan tempat menyimpan beras atau padi.
Tempat ini merupakan tempat sakral bagi orang-orang
Sunda, letak goah biasnya di belakang rumah atau
terkadang didekat dapur.
Pe-maknaan rumah tradisional Sunda diatas masih dipakai oleh orang-orang
tradisional
Sunda,
mereka
selalu
mempertahankan
budayanya
dan
menurunkannya kepada keturunannya.
Djauhari Sumintatdja (1981:46) mengatakan bahwa rumah tradisional Sunda
terletak didataran tinggi atau pedalaman yang dipengaruhi dengan kehidupan
bersawah (nyawah) dan berladang (ngahuma).
2.14
Kepercayaan Arah Bangunan Rumah Tradisional Sunda
Masyarakat Sunda mempunyai keparcayaan terhadap kekuatan diluar manusia
yang datang dari alam., seperti kekuatan datang dari matahari, angin dan tanah.
Kepercayaan tersebut dilandasi atas empat arah angin. Tengah yang merupakan
pusat di baratkan sebagai rumah yang menghadap ke utara, membujur ke selatan
atau sebaliknya. Kepercayaan ini berhubungan pula dengan peletakan pintu
masuk tama, pintu rumah dilarang menghadap timur karena menentang arah
perjalanan matahari. (Sumber :Tetty Sekaryati, Tesis 1994:64)
2.15 Rumah Tradisional Sunda
2.15.1. Kampung Dukuh
Kampung Dukuh terdapat di daerah Jawa Barat yang mempunyai ketinggian 390
M dari permukaan laut, masyarakat kampung Dukuh beragama Islam dan selalu
menjalankan syariat-syariat ke Islamannya. Dalam kehidupan sehari-hari mereka
46
menganut madzhab (aliran atau ajaran) Syafil dan mengikuti ajaran tasyauf yang
menganjurkan hidup sederhana.
Hal ini terbukti dengan sederhananya kehidupan mereka yang tidak ada berusaha
untuk mengungguli kehidupan tetangganya dengan kehidupan duniawi, karena hal
tersebut dianggap sebagai alat perangkap setan untuk menjebak manusia ke dalam
kesengsaraan akherat.
Walaupun masyarakat kampung Dukuh menganut keagamaan yang kuat, namun
dalam kehidupan sehari-hari masih tampak unsur-unsur kepercayaan mistis,
seperti kepercayaan terhadap mahluk halus dan kekuatan magis yang diturunkan
secara turun menurun dari nenek moyang mereka.
Agar tetap terpeliharanya adat istiadat warisan nenek moyang masyarakat
kampung Dukuh menjungjung tinggi dan menghormati keturunan leluhur Dukuh
yang dianggap sebagai pewaris nilai-nilai tradisi nenek moyangnya, yaitu kuncen.
Kuncen deanggap sebagai sesepuh dan pimpinan masyarakat yang dapat mewakili
masyarakat kampung Dukuh dengan nenek moyangnya. Demikian sebaliknya
pesan yang disampaikan para leluhur dapat diterima melalui kuncen pada waktu
tapa
Pola perkampungan kampung Dukuh adalah mengelompok, yang terdiri dari
beberapa puluh rumah yang tersusun pada kemiringan (kontur) tanah. Kampung
Dukuh terbagi menjadi dua daerah pemukiman, yaitu Dukuh Lebak dan Dukuh
Tonggoh juag terdapat taneuh karomah (tanah keramat)
47
Foto 2.13 Kampung Adat Dukuh
Sumber : Dinas Pariwisata Bandung, 2002
Dukuh Tonggoh merupakan daerah pemukiman yang dikelilingi pagar tanaman
dan terdiri dari 42 rumah dengan bentuk, arah membujur dan bahan bangunan
yang sama. Dan Dukuh Lebak merupakan daerah yang terdapat di luar taneuh
karomah. Diluar batas ini norma-norma yang berlaku tidak seketat Dukuh
Tonggoh.
Foto 2.14 Rumah Tradisional Kampung Dukuh
Sumber : Dinas Pariwisata Bandung, 2002
48
Foto 2.15 Leuit (Bumi Lebet) Dukuh (Sumber : Dinas Pariwisata Bandung, 2002)
2.15.2. Rumah Tradisional Kampung Cikondang
Kampung Cikondang merupakan kampung adat dari kecamatan Pangalengan
kabupaten Bandung, yang secara geografis mempunyai ketinggian 7000 meter
dari permukaan laut dengan suhu rata-rata 23 ºC. Kehidupan masyarakat setempat
adalah bertani dan berladang. Masyarakat kampung Cikondang sangat kental
dengan keagamaannya yang mayoritas beragama Islam, dapat terlihat dengan
pengajian rutin setiap hari dan pengajian-pengajian dalam rangka memperingati
hari besar agama Islam seperti Rajaban dan Muludan.
Namun masyarakat Cikondang mempercayai adanya roh-roh leluhur yang selalu
melindungi mereka. Sebagai perantara antara roh-roh tersebut masyarakat
Cikondang menggangkat kuncen atau sesepuh di daerahnya. Sampai saat ini ada
lima kuncen yang memelihara bumi adat di desa Cikondang.
Adat istiadat yang bertalian dengan leluhur misalnya mereka mempercayai dengan
pantangan-pantangan (tabu) dan melaksanakan upacara-upacara adat guna
berhubungan dengan para leluhur mereka.
49
Beberapa pantangan-pantangan (tabu) yang dipercayai oleh masyarakat
Cikondang, sebagai berikut :
1. Menendang Duwegan (kelapa) untuk sasajen, karena bisa mengakibatkan
datangnya musibah bagi yang menendangnya.
2. Pergi kehutan pada hari kamis
3. Berselonjor kaki ke arah utara dan selatan
4. Kencing tidak boleh menghadap ke selatan
5. Menginjak bangbarung (bagian alas pintu)
6. Menyembelih ayam selain ayam kampung
7. Berkata kasar
8. Di Bumi Adat dilarang ada barang pecah belah (modern)
Semua kepercayaan dan pantangan-pantangan tersebut masih dipercayai dan
dilaksanakan oleh masyarakat Cikondang sampai saat ini.
Pola permukiman masyarakat Cikondang adalah mengelompok, rumah-rumah
terletak pada kontur yang paling tinggi, sebelah selatan permikiman terdapat Bumi
Adat yang dibangun sekitar 200 tahun yang lalu. Bumi Adat merupakan karya
arsitektur tradisional yang tersisa, senantiasa dipelihara oleh masyarakat
Cikondang. Di depan bumi Adat terdapat Leuit yang dipercayai tempat suci
sebagai tempat Dewi Sri.
Foto 2.16 Leuit Kampung Cikondang
Sumber : Dinas Pariwisata Bandung, 2002
50
Sampai saat ini masyarakat Cikondang percaya bahwa daerah Cikondang berasal
dari perpaduan air dan pohon besar, yang mempunyai arti Cai adalah Ci dan
Kondang adalah Pohon Besar. Desa Cikondang dipercayai didirikan oleh Uyut
Pameget dan Uyut Istri sekitar 200 tahun yang lalu
Rumah-rumah adat di Desa Cikondang merupakan porto tipe rumah adat Jawa
Barat. Hal ini dapat terlihat dengan adanya kolong (panggung) dan lisung, juga
mempunyai kesakralan yang hampir sama dengan di daerah-daerah lain di Jawa
Barat
Foto 2.17 Lisung Kampung Cikondang
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
2.15.3. Rumah Tradisional Kampung Pulo
Kampung Pulo merupakan wilayah Cangkuan bagian dari kabupaten Garut, yang
mempunyai penduduk sebanyak 21 orang dan masyarakat kampung Pulo
mempercayai keturunan dari Embah Dalem Arif Muhamad pimpinan pasukan
Mataram Islam. Embah Dalem Arif Muhamad adalah orang yang mengislamkan
seluruh masyarakat Cangkuang, pada saat menjalankan ibadahnya untuk
mengislamkan wilayah Cangkuang, Embah Dalem Arif Muhamad membendung
sebuah parit yang airnya berasal dari sungai Cicapar hingga bendungan tersebut
membentuk sebuah situ, yang sekarang dinamakan Situ Cangkuang.
51
Foto 2.18 Makam Embah Dalem Arif Muhamad
Sumber : Dinas Pariwisata Bandung, 2002
Situ Cangkuang diambil dari nama sebuah pohon yang berada disekitar situ itu
terbentuk, sementara di tengah Situ tidak terendam air, membentuk daratan yang
menyerupai pulau-pulau kecil, antara lain pulau Panjang.
Walau keislamannya sangat kuat, masyarakat kampung Pulo masih mempercayai
dengan roh-roh leluhur yang selalu melindungi dari bahaya dunia dan akhirat, dan
masyarakatnya mempercayai pantangan-pantangan (tabu) yang didapat dari
warisan para leluhur mereka, seperti :
1. Tidak boleh memelihara hewan berkaki empat, kecuali kucing.
2. Tidak boleh bekerja dan berziarah pada hari rabu, karena hari rabu
digunakan untuk upacara keagamaan dan pengajian.
3. Tidak boleh memukul gong besar
4. Atap rumah tidak boleh berbentuk prisma
5. Jumlah kepala keluarga di kampung Pulo tidak boleh lebih dari pada enam
karena ketentuan tersebut bermula dari kisah Embah Dalam Muhamad
Arif. Cikal bakal kampung Pulo yang memiliki enam orang anak
perempuan dan satu orang anak laki-laki yang meninggal pada waktu
khitanan. Sehingga jumlah enam anak perempuan, maka di kampung Pulo
hanya ada enam rumah yang dihuni hingga saat ini.
Lima pamali diatas merupakan warisan dari leluhur yang masih dilestarikan oleh
masayarakat kampung Pulo. Karena mereka percaya jika salah satu dilanggar
dapat mengakibatkan malapetaka.
52
Rumah tradisional kampung Pulo mempunyai bentuk atap Julang Ngapak, bentuk
ini mempunyai empat buah bidang atap, dua bidang atap bertemu pada garis
suhunan dan mempunyai letak miring. Dua bidang atap lainya merupakan
kelanjutan dari bidang-bidang itu dengan membentuk sudut tumpul, pada garis
pertemuan antara keduanya. Disisi lain ada bidang atap tambahan dengan bentuk
melandai, disebut leang-leang. Lalu di bagian pertemuan kedua atap , dibentuk
menyerupai tanduk lurus, disebut cagak gunting. Atau capit hurang dan dililitkan
tali injuk.
Gambar 2.16 Bentuk Atap Julang Ngapak
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
Penutup atap menggunakan alang-alang (rumbia) dan injuk kecuali pada bagian
ruang tamu menggunakan bambu bulat yang disebut talahab ( bambu berjajar).
Pada plafon menggunakan bilik dengan anyaman kepang dan mempunyai ukuran
ketinggian tiga meter dari lantai sampai plafon.
Foto 2.19 Rumah Tradisional Kampung Pulo
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
53
Dinding pada rumah tradisional ini menggunakan bilik dengan anyaman kepang
seperti pada plafon sedangkan tatapakan menggunakan batu alam yang dipercayai
bahwa batu langsung bersatu dengan tanah sebagai dunia tiga (bawah).
2.15.4. Rumah Tradisional Kampung Urug
Kampung Urug merupakan bagian dari daerah kabupaten Bogor yang dialiri oleh
tiga sungai, yaitu : sungai Citepus, sungai Durian dan anak sungai Ciapus
sehingga daerah kampung Urug merupakan daerah yang sejuk dan mempunyai
curah hujan yang cukup tinggi.
Kata Urug diambil dari dari kata Guru yang berdasarkan etimologi rakyat adalah
akronim dari digugu ditiru. Jadi guru itu harus digugu dan ditiru dengan arti
ditaati dan diteladani segala petuahnya.
Foto 2.20 Perkampungan Kampung Urug
Sumber : Dinas Pariwisata Bandung, 2002
Masyarakat kampung Urug beragama Islam, namun seperti kampung-kampung
adat lainya, mereka percaya akan roh-roh leluhur yang masih melindungi mereka.
Kepercayaan ini dapat terlihat dari rutinitas masyarakat kampung dengan
membuat sasajen untuk para karuhun, berupa : kopi pahit, air teh, rokok kretek
dan bunga-bunga tujuh rupa.
54
Kampung Urug dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Urug Tonggoh, Urug Tengah
dan Urug Lebak yang masing-masing dipimpin oleh seorang Olot (sesepuh). Olot
sangat dihormati oleh masyarakat kampung karena seorang Olot dipercayai
keturunan dari para leluhur dan olot adalah media antara masyarakat kampung
dengan para roh leluhur yang bisa menerima wangsit goib. Masyarakat kampung
percaya bahwa mereka merupakan keturunan dari Prabu Siliwangi, ini terbukti
dari sisa artefak yang ditinggalkan prabu Siliwangi, yaitu berupa sambungan kayu
yang terdapat dirumah adat kampung Olot sama dengan sambungan kayu yang
terdapat di rumah adat Cirebon.
Seperti kampung adat lainya, kampung Urug mempercayai hubungan erat dengan
para leluhurnya (karuhun), bahkan masyarakat kampung Urug tidak mau untuk
menyebutkan siapa karuhunnya karena takut mendapat malapetaka dikemudian
hari. Mereka hanya mau menyebutkan bahwa mereka merupakan keturunan dari
Prabu Siliwangi, raja Padjadjaran.
Dengan kekukuhan masyarakatnya, mereka masih menganut ketabuan dibeberapa
hal, seperti :
1. Hari Sabtu dan Selasa tidak boleh membuang sampah
2. Tidak boleh membuang air ke Gedong Leutik
3. Tidak boleh duduk didepan pintu
4. Wanita hamil tidak boleh menguraikan rambutnya
Semua ketabuan ini masih sangat kental dan selalu dipertahankan kegenarasi
berikutnya.
55
Foto 2.21 Gedong Leutik Kampung Urug
Sumber : Dinas Pariwisata Bandung, 2002
Kesakralan dan ketabuan masyarakat Urug diterapkan juga pada rumah-rumah
tradisional mereka. Rumah tradisi Urug masih membedakan ruang antara wanita
dan laki-laki. Bahan-bahan yang digunakan mempunyai karakteristik yang sama
dengan rumah tradisional sunda lainnya, yaitu :
1. Bambu (awi) digunakan untuk bilik, cemped dan ereng, juga ada awi
gembong yang biasa digunakan untuk golodog, palupuh dan cemped
2. Kayu digunakan untuk membuat tihang
3. Batu kali digunakan untuk tatapakan.
4. Eurih(alang-alang) digunakan untuk atap
Gambar 2.17 SketsaTampak Depan Rumah Tradisional Kampung Urug
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
56
Gambar 2.18 Sketsa Denah Rumah Tradisional Kampung Urug
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
2.16
Bentuk dan Struktur Rumah Tradisional Sunda Semi Permanen
Rumah tradisional Sunda adalah artefak dari karya arsitektur tradisional,
merupakan unsur kebudayaan yang berkembang bersamaan dengan pertumbuhan
dan perkembangan suatu suku bangsa.
Namun pada proses perkembangan terjadi pula pergeseran kebudayaan,
khususnya di pedesaan, telah menyebabkan adanya perubahan-perubahaan
terhadap wujud kebudayaan yang terkandung dalam arsitektur tradisional.
Terjadinya moderenisasi yang begitu cepat akan membawa perubahan-perubahan
terhadap bentuk, struktur dan fungsi arsitektur tradisional.
Namun pada beberapa daerah masih melestarikan makna di dalamnya, walaupun
pada bentuk secara arsitektur sudah mengalami perubahan.
Foto di bawah merupakan terjadinya perubahan bentuk secara arsitektur tetapi
pemaknaan dan layout denah masih dipertahankan secara tradisional.
57
Foto 2.22 Rumah Tradisional Sunda Semi Permanen
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
Secara struktural rumah tradisional sunda masih dipertahankan seperti aslinya
oleh masyarakat pendukungnya dan hanya beberapa material konstruksi yang
mendapatkan perubahan karena terpengaruh oleh moderenisasi, fenomena ini
terjadi hampir disetiap daerah di Jawa Barat.
Foto-foto di bawah ini menjelaskan perubahan jenis material untuk rumah
tradisional Sunda terutama pada material atap, yang sudah menggantikan material
injuk dengan menggunakan atap dari jenis material tanah merah/genteng.
Foto 2.23 Rumah Tradisional Sunda yang Masih beratap Injuk
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
58
Foto 2.24 Rumah Tradisional Sunda setelah mengalami perubahan material
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
Selain material untuk atap, perubahan juga terjadi pada dinding rumah tradisional,
dahulu dinding rumah tradisional menggunakan material jeni bambu (bilik) yang
dianyam dengan bentuk kepang namun karena terpengaruhnya moderenisasi,
dinding–dinding rumah tradisional mulai digantikan dengan material dinding bata,
fenomena ini hampir terjadi juga di seluruh perkampungan adat di Jawa Barat.
Foto 2.25 Rumah Tradisional Sunda yang Sudah Mengalami Perubahan secara Struktural dan Material
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
59
Semua rumah tradisional sunda mempunyai karakteristik yang hampir sama
seperti : golodog yang biasa terletak di dapur. Fungsi golodog sebagai jembatan
atau tangga untuk naik ke dalam rumah. Jembatan atau tangga diartikan sebagai
media antara dunia bawah dan dunia tenggah (manusia). Di dalam dapur terdapat
tunggku (anglo) yang digunakan untuk memasak, tungku harus dibuat sepasang
dan biasanya digunakan untuk memasak air, nasi dan lain-lain.
Foto 2.26 Penampang tungku
Sumber : Dokumen Pribadi 2006
Dari semua teori dan data di atas manusia menjadi Human Activity atau Human
Interest itu dikarenakan manusia tumbuh menjadi Human Needs yang membuat
menjadi Human Needs karena atas dorongan budaya turun menurun hingga
terjadinya proses modernisasi dan menjadikan modernitas. Dengan kata lain
manusia membutuhkan sesuatu untuk perjuangan hidupnya.
Pengertian mengenai tempat berlindung tidak bisa lepas dari arsitektur dan
arsitekturpun tidak bisa lepas dari manusia karena mempunyai hubungan yang
sangat erat, keeratan hubungan antara manusia dan arsitektur dapat dilihat dengan
keragaman dan perubahan manusia dari abad ke abad yang selalu membutuhkan
tempat untuk berlindung. Semua ini karena khasanah dunia Arsitektur selalu
60
berada dalam konteks alam dan selalu mengandung benda-benda hasil karya
manusia didalamnya. Esensinya adalah untuk siapa karya itu di buat atau di
rancang.
61
Download