96 VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN

advertisement
VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN
PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA
DI KOTA DEPOK
6.1 Analisis Keuntungan Sistem Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok
Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk
mempelajari kelayakan serta prospek dan kemampuan ekspor buah belimbing
dalam bersaing dan memanfaatkan peluang pasar internasional. Alat analisis yang
digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM) berdasarkan data penerimaan,
biaya produksi dan biaya tataniaga selama 20 tahun. Masing-masing data tersebut
dihitung berdasarkan harga privat dan harga sosial (bayangan). Selain itu, masingmasing biaya produksi pada harga privat dan sosial dibagi kedalam biaya input
tradable dan faktor domestik. Proses diskonto (discounting) diperlukan dalam
kasus ini untuk menentukan Net Present Value (NPV) dari masing-masing bagian
tersebut. Hasil perhitungan penerimaan, biaya produksi dan tataniaga tersebut
dapat dilihat pada Lampiran 8, 9, 10 dan 11. Setelah perhitungan dilakukan, maka
disusunlah Tabel PAM yang dapat dilihat pada Tabel 32. Data penerimaan, biaya
dan keuntungan pada tabel tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung
nilai-nilai yang menjadi indikator dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah
terhadap dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok.
Tabel 32. Policy Analysis Matrix (PAM) Sistem Komoditas Belimbing Dewa
di Kota Depok (Rp/Ha)
Biaya
Uraian
Penerimaan
Keuntungan
Input
Faktor
Tradable
Domestik
4.158.755.326 141.419.164 3.522.832.197 494.503.965
Harga Privat
2.383.926.404
71.197.195 2.022.458.830 290.270.380
Harga Sosial
70.221.969 1.500.373.367 204.233.586
Efek Divergensi 1.774.828.921
Berdasarkan Tabel 32 diketahui bahwa efek divergensi yang dihasilkan
seluruhnya bernilai positif. Divergensi penerimaan bernilai Rp 1,775 miliar per
hektar. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan tingkat bunga modal pada struktur
harga privat dan sosial yang digunakan pada saat proses discounting. Perbedaan
tersebut terjadi karena adanya penambahan nilai inflasi pada struktur harga sosial.
Inflasi sebagai faktor koreksi terhadap suku bunga. Nilai suku bunga yang sudah
dikoreksi merupakan cerminan korbanan biaya bunga sosial. Tingkat suku bunga
96
pada struktur harga privat adalah 6,86 persen dan pada struktur harga sosial adalah
12,84 persen. Hal ini dikarenakan nilai inflasi yang terjadi sebesar 5,98 persen
(Bank Indonesia 2011). Sehingga pada perhitungan Net Present Value (NPV) atau
proses discounting, nilai penerimaan output belimbing dewa di Kota Depok pada
struktur harga privat lebih tinggi dibandingkan pada struktur harga sosial karena
adanya inflasi tersebut.
Divergensi pada biaya input tradable bernilai positif. Hal ini
mengindikasikan bahwa dengan adanya kebijakan pemerintah, pelaku usaha pada
sistem komoditas belimbing dewa di Kota Depok harus membayar harga yang
lebih tinggi dari harga yang seharusnya dibayar. Kebijakan yang dimaksud adalah
adanya bea masuk serta pengenaan pajak pertambahan nilai atas input tradable
yaitu pupuk anorganik (pupuk cair dan NPK) dan obat-obatan (curacron, gandasil
A dan B).
Divergensi yang terjadi pada faktor domestik juga bernilai positif. Hal ini
mengindikasikan bahwa dengan adanya kebijakan pemerintah, pelaku usaha pada
sistem komoditas belimbing dewa di Kota Depok harus mengeluarkan biaya atas
faktor domestik yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga ekonominya.
Kebijakan tersebut yaitu pajak pertambahan nilai atas faktor domestik.
Komponen biaya yang dikeluarkan dalam proporsi paling besar pada
sistem komoditas belimbing dewa di Kota Depok adalah input faktor domestik
yaitu tenaga kerja yang rata-rata mencapai 42,92 persen dari total biaya secara
keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pada budidaya belimbing dewa di Kota
Depok memerlukan kegiatan pemeliharaan yang intensif dan tenaga kerja yang
cukup banyak, khususnya pada saat proses penjarangan dan pembungkusan buah.
Proporsi biaya input terhadap biaya total dalam pengusahaan komoditas belimbing
dewa di Kota Depok dapat dilihat pada Lampiran 12.
Keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan
harga berlaku yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua
kebijakan pemerintah dan kegagalan pasar. Berdasarkan Tabel 32 dapat diketahui
bahwa keuntungan privat yang diperoleh dari sistem komoditas Bellimbing Dewa
adalah sebesar Rp 494,5 juta per hektar (hasil selisih dari total penerimaan dan
total biaya tradable dan domestik). Sehingga secara finansial, kegiatan
97
pengusahaan komoditas belimbing dewa di Kota Depok layak untuk dijalankan
karena mampu memberikan keuntungan yang positif dan cukup besar. Adapun
perhitungan budget privat komoditas belimbing dewa di Kota Depok dapat dilihat
pada Lampiran 8 dan rekapitulasi dari budget privat yang telah terdiskonto dapat
dilihat pada Lampiran 10.
Keuntungan sosial yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan
harga pada pasar persaingan sempurna yang mewakili biaya imbangan sosial yang
sesungguhnya, dimana harga ini tidak mengandung nilai-nilai kebijakan
pemerintah dan kegagalan pasar. Pada komoditas tradable, harga bayangan
(sosial) adalah harga yang terjadi di pasar internasional. Berdasarkan Tabel 32
dapat diketahui bahwa keuntungan sosial yang diperoleh dari pengusahaan
komoditas belimbing dewa adalah sebesar Rp 290,3 juta per hektar. Hal ini
menggambarkan bahwa tanpa adanya kebijakan pemerintah, pengusahaan
komoditas belimbing dewa di Kota Depok masih menguntungkan karena masih
memberikan keuntungan yang positif dan cukup besar. Namun, keuntungan yang
diperoleh menjadi lebih kecil dibandingkan pada kondisi adanya kebijakan atau
intervensi pemerintah. Secara ekonomi kegiatan tersebut tetap layak untuk
dijalankan. Perhitungan budget sosial komoditas belimbing dewa di Kota Depok
dapat dilihat pada Lampiran 9 dan rekapitulasi dari budget sosial yang telah
terdiskonto dapat dilihat pada Lampiran 11. Berdasarkan rekapitulasi budget
privat dan budget sosial yang telah terdiskonto tersebut, kemudian diperoleh tabel
PAM belimbing dewa di Kota Depok secara keseluruhan.
Berdasarkan hasil analisis keuntungan, maka dapat disimpulkan bahwa
pengusahaan komoditas belimbing dewa di Kota Depok menguntungkan secara
finansial maupun ekonomi. Sehingga pengusahaan komoditas belimbing dewa di
Kota Depok layak untuk dijalankan baik secara finansial maupun ekonomi.
Selanjutnya, hasil dari tabel PAM yang telah diperoleh digunakan untuk melihat
tingkat dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas
belimbing dewa di Kota Depok.
6.2 Analisis Dayasaing Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok
Analisis dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok dapat dilihat
dari keunggulan komparatif dan kompetitif. Analisis keunggulan komparatif dapat
98
diukur dengan indikator Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) dan
Keuntungan Sosial (SP). Nilai DRC di lokasi penelitian adalah 0,87. Nilai ini
menunjukkan bahwa untuk meningkatkan nilai tambah output belimbing dewa di
Kota Depok sebesar satu satuan diperlukan tambahan biaya faktor domestik
sebesar 0,87 satuan. Dengan demikian, pengusahaan komoditas belimbing dewa
di Kota Depok menunjukkan penggunaan sumberdaya yang efisien secara
ekonomi sehingga memiliki keunggulan komparatif. Nilai DRC ini juga
menggambarkan bahwa komoditas belimbing dewa di Kota Depok mampu hidup
tanpa bantuan pemerintah dan memiliki peluang ekspor yang besar.
Indikator keunggulan komparatif lainnya adalah nilai keuntungan sosial
yang diperoleh dari sistem komoditas yang diteliti. Berdasarkan hasil analisis,
dapat diketahui bahwa penerimaan dari pengusahaan komoditas belimbing dewa
di Kota Depok secara ekonomi bernilai positif. Hal ini mengindikasikan bahwa
pengusahaan komoditas belimbing dewa di Kota Depok masih menguntungkan
dan efisien secara ekonomi pada kondisi tanpa adanya intervensi dari pemerintah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pelaku usaha pada sistem komoditas
belimbing dewa di Kota Depok dapat menjalankan usahanya dengan mandiri
tanpa bantuan atau intervensi dari pemerintah.
Analisis keunggulan kompetitif belimbing dewa di Kota Depok dapat
dilihat dari nilai Rasio Biaya Privat (PCR) dan Keuntungan Privat (PP). Nilai PCR
dan PP dalam analisis keunggulan kompetitif merupakan indikator yang
menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya dan tingkat keuntungan
pengusahaan belimbing dewa secara finansial. Adapun nilai PCR yang diperoleh
dari komoditas belimbing dewa di Kota Depok adalah sebesar 0,88. Hal ini
menunjukkan bahwa untuk meningkatkan nilai tambah output belimbing dewa
sebesar satu satuan, diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar 0,88
satuan. Dengan demikian, pengusahaan komoditas belimbing dewa di Kota Depok
menunjukkan penggunaan sumberdaya yang efisien secara finansial sehingga
memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini juga dapat menggambarkan bahwa
komoditas belimbing dewa di Kota Depok mampu bersaing dengan komoditas
sejenis dari produk impor yang ada di dalam negeri maupun komoditas sejenis di
mancanegara ketika dilakukan kegiatan ekspor.
99
Selain itu, keunggulan kompetitif juga dapat dilihat dari nilai keuntungan
privat. Berdasarkan hasil analisis, dapat diketahui bahwa nilai keuntungan privat
yang diperoleh dari sistem komoditas belimbing dewa di Kota Depok bernilai
positif. Hal ini menunjukkan bahwa secara finansial, yaitu pada kondisi adanya
intervensi dari pemerintah, komoditas belimbing dewa di Kota Depok
menguntungkan untuk diusahakan. Nilai dari indikator keunggulan komparatif
dan kompetitif komoditas belimbing dewa di lokasi penelitian dapat dilihat pada
Tabel 33.
Tabel 33. Nilai Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Komoditas
Belimbing Dewa di Kota Depok
Uraian
Nilai
Keunggulan Komparatif
Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC)
0,87
Keuntungan Sosial (SP)
290.270.380
Keunggulan Kompetitif
Rasio Biaya Privat (PCR)
0,88
Keuntungan Privat (PP)
494.503.965
Perbandingan antara keunggulan komparatif dan kompetitif dapat dilihat
dari nilai DRC yang lebih kecil dibandingkan nilai PCR. Hal ini menunjukkan
bahwa adanya kebijakan pemerintah yang kurang mendukung peningkatan
efisiensi dalam berproduksi pada pengusahaan komoditas belimbing dewa di Kota
Depok. Kebijakan tersebut berupa pajak terhadap input-input produksi, sehingga
harga yang harus dibayar oleh para pelaku usaha sistem komoditas belimbing
dewa di Kota Depok lebih tinggi dibandingkan harga yang seharusnya dibayarkan.
Perbandingan selanjutnya yang dapat disimpulkan adalah nilai keuntungan
sosial yang lebih kecil dibandingkan keuntungan privatnya. Hal ini berarti
pengusahaan komoditas belimbing dewa di Kota Depok lebih menguntungkan
saat adanya intervensi dari pemerintah terhadap input yang dikeluarkan dan output
yang dihasilkan. Perbedaan keuntungan yang terjadi yaitu sebesar Rp 204,2 juta
per hektar. Hal ini diduga disebabkan karena adanya bantuan pemerintah terhadap
input produksi yang dibutuhkan seperti bantuan pemberian bibit tanaman
belimbing dewa, pupuk, pestisida, pembungkus buah belimbing, pompa air serta
dana bantuan dari program Peningkatan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) yang
dikelola oleh kelompok tani, sehingga pelaku usaha pada sistem komoditas
100
belimbing dewa tidak mengeluarkan biaya yang seharusnya dikeluarkan serta
tambahan modal karena adanya subsidi/bantuan tersebut. Dengan demikian,
keuntungan yang diperoleh menjadi lebih tinggi dibandingkan ketika tidak ada
bantuan (intervensi) dari pemerintah. Hal tersebut menyebabkan keuntungan
privat menjadi lebih tinggi dibandingkan keuntungan sosialnya.
6.3 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok
Terhadap
Dayasaing
Suatu kebijakan pemerintah dalam suatu aktivitas ekonomi dapat
memberikan dampak positif maupun negatif terhadap pelaku dari sistem tersebut.
Kebijakan pemerintah pada sektor pertanian dapat menentukan keberhasilan
pengembangan usaha dalam rangka meningkatkan devisa. Kebijakan dapat
memengaruhi keuntungan maupun produktivitas suatu kegiatan ekonomi.
Berdasarkan hal tersebut, kebijakan pemerintah diduga mampu memengaruhi
kondisi dayasaing suatu komoditas. Dampak kebijakan pemerintah dapat dilihat
dari analisis matriks PAM melalui beberapa indikator, yaitu kebijakan terhadap
output (transfer output dan koefisien proteksi output nominal), kebijakan terhadap
input (transfer input, transfer faktor dan koefisien proteksi input nominal) dan
kebijakan terhadap input dan output (koefisien proteksi efektif, transfer bersih,
koefisien keuntungan dan rasio subsidi produsen). Indikator-indikator dampak
kebijakan pemerintah terhadap komoditas belimbing dewa di Kota Depok dapat
dilihat pada Tabel 34.
Tabel 34. Indikator-Indikator Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap
Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok
INDIKATOR
Dampak Kebijakan Terhadap Output
Transfer Output (TO)
Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO)
Dampak Kebijakan Terhadap Input
Transfer Input (TI)
Transfer Faktor (TF)
Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI)
Dampak Kebijakan Terhadap Input-Output
Koefisien Proteksi Efektif (EPC)
Transfer Bersih (TB)
Keofisien Keuntungan (PC)
Rasio Subsidi Produsen (SRP)
NILAI
1.774.828.921,00
1,74
70.221.969,00
1.500.373.367,00
1,99
1,74
204.233.586,00
1,70
0,05
101
6.3.1 Dampak Kebijakan Terhadap Output
Pemberlakuan kebijakan pemerintah terhadap output menyebabkan harga
output yang diterima petani pada harga privat berbeda dengan harga pada pasar
persaingan sempurna (tidak ada intervensi pemerintah dan distorsi pasar).
Kebijakan pemerintah tersebut dapat berupa kebijakan subsidi/pajak, hambatan
perdagangan atau regulasi lainnya yang dapat menimbulkan divergensi antara
harga output aktual dan output bayangan (sosial). Dampak kebijakan pemerintah
terhadap output dapat dilihat dari dua indikator yaitu transfer output (TO) dan
koefisien proteksi output nominal (NPCO). Nilai transfer output yang dihasilkan
pada pengusahaan belimbing dewa di Kota Depok adalah sebesar Rp 1,775 miliar
per hektar. Pada penelitian ini, sesungguhnya tidak terdapat perbedaan harga
output pada struktur harga privat dan sosial karena diduga tidak terdapat kebijakan
pemerintah terhadap output secara langsung, sehingga divergensi atau nilai
transfer output yang terjadi akibat adanya perbedaan tingkat suku bunga pada
struktur harga privat dan sosial yang disebabkan oleh nilai inflasi yang digunakan
pada saat proses discounting. Berdasarkan nilai transfer output yang diperoleh
maka secara implisit terdapat transfer (intensif) dari konsumen kepada produsen
belimbing dewa di Kota Depok.
Analisis dampak kebijakan terhadap output juga dapat dilihat dari nilai
Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Nilai NPCO adalah nilai rasio antara
penerimaan berdasarkan harga privat dengan penerimaan berdasarkan harga
sosial. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai NPCO pengusahaan belimbing
dewa di Kota Depok sebesar 1,74. Hal ini berarti bahwa pemerintah memberikan
proteksi pada pengusahaan komoditas belimbing dewa di Kota Depok dengan cara
menjaga kestabilan perkembangan sistem perekonomian nasional.
Secara keseluruhan, analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap output
belimbing dewa di Kota Depok mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah
terhadap output mampu mendorong terbentuknya kestabilan perekonomian
nasional sehingga akibat adanya intervensi tersebut penerimaan yang diperoleh
petani/pelaku usaha pada sistem komoditas belimbing dewa di Kota Depok
menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan penerimaan tanpa adanya intervensi
tersebut. Hal ini berpengaruh terhadap semakin besarnya keuntungan privat yang
102
diperoleh pada sistem komoditas tersebut. Peningkatan keuntungan privat
menunjukkan peningkatan keunggulan kompetitif komoditas belimbing dewa di
Kota Depok. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah terhadap output yang ada
mampu mendukung peningkatan keunggulan kompetitif komoditas belimbing
dewa di lokasi penelitian.
6.3.2 Dampak Kebijakan Terhadap Input
Pemerintah menetapkan kebijakan terhadap input seperti subsidi/pajak dan
hambatan perdagangan terhadap input pertanian bertujuan agar produsen dapat
menggunakan
sumberdaya
secara
optimal.
Besarnya
dampak
kebijakan
pemerintah terhadap input produksi belimbing dewa di Kota Depok ditunjukkan
oleh nilai transfer input (TI), transfer faktor (TF) dan koefisien proteksi input
nominal (NPCI). Berdasarkan hasil analisis, nilai TI yang diperoleh adalah
sebesar Rp 70,222 juta per hektar. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam
pengusahaan komoditas belimbing dewa di Kota Depok, harga input tradable
pada struktur harga privat lebih tinggi dibandingkan pada struktur harga sosial.
Hal ini dikarenakan adanya kebijakan pemerintah berupa bea masuk (pajak impor)
sebesar lima persen atas bahan baku input tradable serta pengenaan pajak
pertambahan nilai (PPN) sebesar sepuluh persen atas input tradable yaitu pupuk
anorganik (pupuk cair dan NPK) dan obat-obatan (curacron, gandasil A dan B).
Sehingga harga sosial input tradable lebih rendah daripada harga privatnya.
Dengan demikian, petani/pelaku usaha pada sistem komoditas belimbing dewa di
Kota Depok harus membayar input lebih besar Rp 70,222 juta per hektar dari
kondisi seharusnya akibat intervensi pemerintah tersebut.
Selain input tradable, input lain yang digunakan dalam proses produksi
adalah input domestik (faktor domestik). Harga atas input tersebut ditentukan oleh
mekanisme pasar lokal atau di dalam negeri. Transfer faktor (TF) merupakan
indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input produksi tersebut. TF
merupakan selisih antara biaya input domestik yang dihitung pada harga privat
dengan biaya input produksi pada harga bayangan (sosial). Kebijakan pemerintah
untuk input domestik dilakukan dalam bentuk kebijakan subsidi (positif atau
negatif). Berdasarkan hasil analisis, nilai TF komoditas belimbing dewa di Kota
Depok bernilai positif, yaitu sebesar Rp 1,5 miliar per hektar. Nilai tersebut
103
menunjukkan bahwa terdapat implisit pajak atau transfer (insentif) dari petani
belimbing dewa di Kota Depok kepada produsen input domestik sehingga petani
belimbing dewa harus membayar input domestik tersebut lebih mahal dari harga
sosialnya. Beberapa bentuk kebijakan yang menyebabkan timbulnya implisit
pajak tersebut antara lain adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas seluruh
komponen peralatan yang digunakan petani/pelaku usaha sehingga harga
peralatan yang dibayarkan oleh petani/pelaku usaha (harga privat) menjadi lebih
tinggi dari harga yang seharusnya dibayarkan (harga sosial). Kemudian, adanya
perbedaan penilaian harga tenaga kerja pada struktur harga sosial akibat adanya
pengangguran terbuka dan tidak kentara di wilayah penelitian sehingga harga
bayangan (sosial) tenaga kerja tersebut adalah sebesar 90,17 persen dari harga
privatnya. Selain itu, dikarenakan pula adanya perbedaan penilaian harga bunga
modal pada struktur harga sosial akibat adanya inflasi, sehingga harga bayangan
bunga modal menjadi lebih tinggi 5,98 persen dari harga privatnya.
Untuk menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi yang dibebankan
pemerintah pada input tradable apabila dibandingkan tanpa adanya kebijakan
pemerintah, dapat dilihat dari besarnya nilai Koefisien Proteksi Input Nominal
(NPCI). NPCI merupakan rasio antara biaya input tradable privat dengan biaya
input tradable sosial. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai NPCI pengusahaan
komoditas belimbing dewa di Kota Depok adalah 1,99. Nilai ini menunjukkan
bahwa kebijakan pemerintah terhadap input tidak mendorong peningkatan
dayasaing komoditas belimbing dewa di lokasi penelitian. NPCI yang lebih dari
satu menunjukkan adanya proteksi pemerintah terhadap produsen input tradable
di pasar domestik.
Secara keseluruhan, adanya bea masuk (pajak impor) sebesar lima persen
atas bahan baku input tradable serta PPN sebesar sepuluh persen atas pupuk
anorganik (pupuk cair dan NPK) dan obat-obatan (curacron, gandasil A dan B)
diindikasi dapat menurunkan keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas
belimbing dewa di Kota Depok. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah terhadap
input produksi sejauh ini belum mampu mendorong peningkatan dayasaing
komoditas belimbing dewa di lokasi penelitian.
104
6.3.3 Dampak Kebijakan Terhadap Input dan Output
Analisis kebijakan pemerintah terhadap input-ouput adalah analisis
gabungan antara kebijakan input dan kebijakan output. Dampak kebijakan
gabungan tersebut dapat dilihat melalui indikator Koefisien Proteksi Efektif
(EPC), Transfer Bersih (TB), Keofisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi
Produsen (SRP). Nilai EPC merupakan rasio antara selisih penerimaan dan biaya
input tradable pada harga privat (aktual) dengan selisih penerimaan dan biaya
input tradable pada harga sosial (bayangan). Nilai EPC tersebut menggambarkan
sejauh mana kebijakan pemerintah dalam melindungi atau menghambat produksi
domestik secara efektif. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai EPC
pengusahaan komoditas belimbing dewa di Kota Depok adalah sebesar 1,74. Hal
ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input-output yang berlaku
telah melindungi petani belimbing dewa di Kota Depok dalam melakukan
aktivitas produksi komoditas tersebut secara efektif. Dengan kata lain, petani
belimbing di lokasi penelitian mendapatkan fasilitas proteksi dari pemerintah.
Indikator lain yang menunjukkan adanya dukungan (proteksi) dari
pemerintah terhadap petani belimbing dewa di Kota Depok adalah transfer bersih
(TB). TB merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima
petani dengan keuntungan bersih sosial (pada kondisi pasar bersaing sempurna).
Hasil analisis menunjukkan nilai TB di lokasi penelitian bernilai positif. Nilai
tersebut menunjukkan bahwa terdapat penambahan keuntungan untuk sistem
komoditas belimbing dewa di Kota Depok yang disebabkan oleh kebijakan
pemerintah. Nilai TB tersebut juga menggambarkan bahwa dampak kebijakan
pemerintah terhadap input-output akan meningkatkan surplus petani/pelaku usaha
pada sistem komoditas belimbing dewa sebesar Rp 204,2 juta per hektar.
Nilai koefisien keuntungan (PC) juga menunjukkan adanya proteksi atau
dukungan dari pemerintah terhadap petani/pelaku usaha pada sistem komoditas
belimbing dewa di Kota Depok. PC merupakan rasio atau perbandingan antara
keuntungan privat dengan keuntungan sosial. Nilai PC dapat menjadi indikator
yang menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan output, kebijakan input
asing dan input domestik (net policy transfer). Nilai PC yang dihasilkan dalam
penelitian ini adalah 1,70. Nilai tersebut menunjukkan keuntungan privat yang
105
diterima oleh petani belimbing dewa di lokasi penelitian lebih besar dari
keuntungan sosialnya sebesar 70 persen. Artinya kebijakan pemerintah yang ada
telah efektif meningkatkan produksi belimbing dewa di lokasi penelitian.
Berikutnya, rasio subsidi bagi produsen (SRP) adalah rasio antara TB
dengan penerimaan berdasarkan harga sosial (bayangan). Nilai SRP menunjukkan
proporsi penerimaan pada harga sosial usahatani belimbing dewa di Kota Depok
yang dapat menutupi subsidi dan pajak sehingga melalui SRP dapat
memungkinkan membuat perbandingan tentang besarnya subsidi perekonomian
bagi sistem komoditas belimbing dewa. Hasil analisis menunjukkan nilai SRP di
lokasi penelitian adalah 0,05 yang berarti bahwa kebijakan pemerintah yang
berlaku selama ini menyebabkan petani/pelaku usaha pada sistem komoditas
belimbing dewa di Kota Depok mengeluarkan biaya lebih rendah 5 persen dari
biaya opportunity cost untuk berproduksi.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah
terhadap input-output yang ada selama ini telah melindungi petani belimbing
dewa di Kota Depok secara efektif. Hal ini terlihat dari adanya kestabilan harga
belimbing yang disebabkan kestabilan perekonomian nasional, peningkatan
surplus petani serta keuntungan yang diperoleh menjadi lebih tinggi dibandingkan
tanpa adanya intervensi pemerintah. Dengan demikian, kondisi tersebut dapat
menguntungkan bagi pengembangan dan peningkatan dayasaing komoditas
belimbing dewa di Kota Depok.
6.4 Analisis Sensitivitas Usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok
Analisis sensitivitas dilakukan untuk mereduksi kelemahan matriks
analisis kebijakan (PAM) yang bersifat statis yaitu hanya memberlakukan satu
tingkat harga dimana pada kenyataannya harga dapat bervariasi atau berfluktuatif.
Oleh karena itu, diperlukan simulasi untuk mengantisipasi setiap perubahan yang
terjadi dalam sistem ekonomi yang dinamis. Pada penelitian ini digunakan empat
skenario analisis sensitivitas. Empat skenario tersebut adalah jika terjadi
penurunan jumlah produksi, peningkatan harga tenaga kerja, peningkatan harga
pupuk anorganik dan penurunan harga output belimbing dewa. Keempat skenario
tersebut bersifat cateris paribus, yaitu jika terjadi perubahan pada satu variabel,
maka variabel lainnya dianggap tetap. Adanya perubahan terhadap jumlah
106
produksi serta harga input dan output tersebut menyebabkan perubahan tingkat
keuntungan dan efisiensi usahatani belimbing dewa di Kota Depok. Hal tersebut
juga akan berpengaruh terhadap dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota
Depok. Perubahan indikator dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah
terhadap komoditas belimbing dewa di Kota Depok atas skenario yang diterapkan
dalam analisis sensitivitas yang dilakukan pada penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 35.
Tabel 35. Perubahan Indikator Dayasaing dan Dampak
Pemerintah terhadap Komoditas Belimbing Dewa di
pada Analisis Sensitivitas
Indikator
Skenario
DRC PCR NPCO NPCI EPC
Normal
0,87 0,88
1,74
1,99 1,74
Produksi turun 10 persen
0,94 0,95
1,74
1,99 1,74
Kenaikan harga tenaga
0,95 0,96
1,74
1,99 1,74
kerja sebesar 20 persen
Kenaikan harga pupuk
anorganik sebesar 10
0,88 0,88
1,74
1,98 1,74
persen
Penurunan harga
belimbing dewa sebesar
1,03 1,04
1,74
1,99 1,74
15 persen
Kebijakan
Kota Depok
PC
1,70
1,60
SRP
0,05
0,02
1,57
0,01
1,70
0,05
1,92
-0,02
6.4.1 Dampak Penurunan Jumlah Produksi Belimbing Dewa
Analisis pertama yang dilakukan adalah menguji kepekaan keuntungan
privat dan ekonomi serta keunggulan komparatif dan kompetitif bila terjadi
penurunan jumlah produksi (output) buah belimbing dewa di Kota Depok sebesar
sepuluh persen. Skenario penurunan jumlah produksi ini ditetapkan karena adanya
fakta yang pernah dialami oleh petani belimbing dewa. Hal tersebut terjadi karena
kendala sulitnya mengendalikan organisme pengganggu tanaman, khususnya ulat
penggerek buah serta kondisi cuaca ekstrim yang menyebabkan banyak buah
belimbing yang tidak dapat dipanen. Tabel 36 menunjukkan tabulasi PAM saat
terjadi penurunan produksi belimbing dewa sebesar sepuluh persen.
107
Tabel 36. Tabulasi PAM Skenario Penurunan Produksi Sebesar 10 persen
Biaya
Uraian
Penerimaan
Keuntungan
Input
Faktor
Tradable
Domestik
3.742.879.793 141.419.164 3.410.502.442
190.958.187
Privat
2.145.533.764
71.197.195 1.955.106.946
119.229.623
Sosial
70.221.969 1.455.395.496
71.728.564
Efek Divergensi 1.597.346.029
Hasil yang diperoleh dengan penetapan skenario ini adalah komoditas
belimbing dewa masih tetap memiliki dayasaing baik dari sisi keunggulan
komparatif dan kompetitifnya. Hal ini dapat dilihat dari nilai DRC dan PCR yang
masih kurang dari satu yaitu 0,94 dan 0,95 (Tabel 35). Hal ini juga dapat dilihat
dari nilai keuntungan privat dan sosial yang diperoleh masih bernilai positif.
Dengan demikian, jika skenario ini terjadi maka komoditas belimbing dewa di
Kota Depok masih layak untuk dijalankan. Secara universal, kebutuhan belimbing
Indonesia masih lebih baik dipenuhi dengan cara memproduksi di dalam negeri
dibandingkan dengan cara impor karena jika diupayakan di dalam negeri,
pengusahaan
komoditas
belimbing
(khususnya
belimbing
dewa)
hanya
membutuhkan biaya sumberdaya domestik sebesar 94 persen terhadap biaya
impor yang dibutuhkan. Dengan demikian, Indonesia dapat menghemat devisa
negara.
Dayasaing yang dimiliki pada skenario ini masih lebih rendah
dibandingkan pada kondisi normal. Oleh karena itu, penting untuk dapat
mengantisipasi terjadinya penurunan jumlah produksi belimbing dewa di Kota
Depok. Salah satu caranya adalah dengan memberikan penyuluhan yang intensif
khususnya mengenai pengendalian hama dan penyakit tanaman serta memberikan
subsidi pestisida (obat-obatan) yang saat ini justru dikenakan pajak. Kebijakan
pemerintah terhadap pestisida ini penting mengingat pestisida merupakan salah
satu faktor yang dapat mengendalikan organisme pengganggu tanaman tersebut
sehingga penurunan produksi dapat diantisipasi. Selain itu, upaya yang dapat
ditempuh untuk mencapai peningkatan produktivitas tanaman adalah dengan
melakukan peremajaan tanaman belimbing dewa yang telah berumur lebih dari 20
tahun serta pemberian subsidi pupuk oleh pemerintah, dimana pupuk yang
digunakan saat ini justru dikenakan pajak. Kebijakan pemerintah terhadap pupuk
ini penting mengingat pupuk merupakan salah satu faktor yang dapat
108
meningkatkan produktivitas tanaman belimbing dewa dari segi kualitas dan
kuantitas.
6.4.2 Dampak Peningkatan Upah Tenaga Kerja
Analisis kedua yang dilakukan adalah menguji kepekaan keuntungan
privat dan ekonomi serta keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas
belimbing dewa di Kota Depok bila terjadi peningkatan harga input domestik
yaitu tenaga kerja, dengan asumsi faktor-faktor lain tetap (cateris paribus). Hal ini
didasari karena di lokasi penelitian upah tenaga kerja cenderung meningkat setiap
tahunnya serta proporsi komponen biaya terbesar pada biaya input produksi
belimbing dewa di Kota Depok adalah komponen biaya tenaga kerja. Oleh karena
itu, penting untuk dilihat dampak peningkatan harga tenaga kerja terhadap
dayasaing belimbing dewa di Kota Depok. Adapun besarnya peningkatan upah
tenaga kerja yang pernah terjadi di lokasi penelitian adalah sebesar 20 persen
yaitu dari Rp 50.000,00 per HOK menjadi Rp 60.000,00 per HOK. Hasil tabulasi
PAM pada saat terjadi kenaikan upah tenaga kerja dapat dilihat pada Tabel 37.
Tabel 37. Tabulasi PAM Skenario Peningkatan Upah Tenaga Kerja
Sebesar 20 persen
Biaya
Uraian
Penerimaan
Keuntungan
Input
Faktor
Tradable
Domestik
4.158.755.326 141.419.164 3.853.700.124 163.636.038
Privat
2.383.926.404
71.197.195 2.208.347.310 104.381.900
Sosial
70.221.969 1.645.352.814
59.254.138
Efek Divergensi 1.774.828.921
Hasil yang diperoleh dengan penetapan skenario ini yaitu adanya
peningkatan harga tenaga kerja sebesar 20 persen menyebabkan meningkatnya
biaya produksi, khususnya biaya input domestik baik privat maupun sosial.
Peningkatan biaya input domestik tersebut akan menurunkan tingkat keuntungan
yang diperoleh. Keuntungan privat diperkirakan menurun sebesar Rp 330,9 juta
per hektar. Penurunan keuntungan privat dan sosial tersebut diikuti dengan
peningkatan nilai PCR dan DRC yaitu untuk nilai PCR dari 0,88 menjadi 0,96 dan
nilai DRC dari 0,87 menjadi 0,95. Berdasarkan hasil analisis tersebut,
pengusahaan belimbing dewa di Kota Depok bila terjadi kenaikan harga upah
tenaga kerja sebesar 20 persen masih memberikan keuntungan secara finansial
109
maupun ekonomi dan masih layak untuk dijalankan. Namun, peningkatan harga
tenaga kerja dapat menurunkan keunggulan komparatif dan kompetitif
(dayasaing) komoditas belimbing dewa di Kota Depok. Hal tersebut terlihat dari
adanya penurunan keuntungan privat dan sosial serta peningkatan nilai PCR dan
DRC dibandingkan pada kondisi semula (normal).
6.4.3 Dampak Peningkatan Harga Pupuk Anorganik
Analisis ketiga yang dilakukan adalah menguji kepekaan keuntungan
privat dan ekonomi serta keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas
belimbing dewa di Kota Depok bila terjadi peningkatan harga pupuk anorganik
(NPK dan pupuk daun) yang merupakan input tradable sebesar 10 persen.
Skenario peningkatan harga pupuk anorganik ini ditetapkan untuk melihat kondisi
dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok apabila suatu saat
pemerintah mengeluarkan kebijakan bea masuk bahan baku pertanian meningkat
sebesar lima persen dan pajak pertambahan nilai juga meningkat sebesar lima
persen terhadap produk pupuk anorganik tersebut. Hasil tabulasi PAM pada saat
terjadi kenaikan harga pupuk anorganik sebesar 10 persen dapat dilihat pada Tabel
38.
Tabel 38. Tabulasi PAM Skenario Peningkatan Harga Pupuk Anorganik
Sebesar 10 persen
Biaya
Uraian
Penerimaan
Keuntungan
Input
Faktor
Tradable
Domestik
4.158.755.326 147.832.227 3.535.335.350
475.587.749
Privat
2.383.926.404
74.491.676 2.029.394.331
280.040.397
Sosial
73.340.551 1.505.941.018
195.547.352
Efek Divergensi 1.774.828.921
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dengan penetapan skenario ini
adalah komoditas belimbing dewa di Kota Depok masih memiliki dayasaing baik
dari sisi keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Hal ini dapat dilihat dari nilai
DRC dan PCR yang masih kurang dari satu yaitu 0,88 (Tabel 35). Hal ini juga
dapat dilihat dari nilai keuntungan privat dan sosial yang bernilai positif. Sehingga
pengusahaan belimbing dewa di Kota Depok bila terjadi kenaikan harga pupuk
(khususnya pupuk anorganik) sebesar 10 persen masih memberikan keuntungan
secara finansial maupun ekonomi dan layak untuk dijalankan. Jadi, pada harga
110
finansial, setiap kenaikan harga pupuk sebesar 10 persen, maka keuntungan yang
diperoleh dalam pengusahaan komoditas belimbing dewa di lokasi penelitian
berubah (menurun) sebesar Rp 18,9 juta per hektar dengan asumsi faktor lain tetap
(cateris paribus). Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika terjadi peningkatan
harga pupuk akibat adanya intervensi pemerintah dapat menurunkan tingkat
dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok.
6.4.4 Dampak Penurunan Harga Output
Analisis keempat yang dilakukan adalah menguji kepekaan keuntungan
privat dan ekonomi serta keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas
belimbing dewa di Kota Depok bila terjadi penurunan harga output belimbing
dewa sebesar 15 persen karena mekanisme pasar. Hasil tabulasi PAM pada saat
terjadi penurunan harga output belimbing dewa sebesar 15 persen dapat dilihat
pada Tabel 39.
Tabel 39. Tabulasi PAM Skenario Penurunan Harga Ouput Belimbing
Dewa Sebesar 15 persen
Biaya
Uraian
Penerimaan
Keuntungan
Input
Faktor
Tradable
Domestik
3.534.942.027 141.419.164 3.522.832.197 (129.309.334)
Privat
2.026.337.444
71.197.195 2.022.458.830 (67.318.581)
Sosial
70.221.969 1.500.373.367 (61.990.753)
Efek Divergensi 1.508.604.583
Hasil yang diperoleh dengan penetapan skenario ini menunjukkan bahwa
komoditas belimbing dewa di Kota Depok menjadi tidak memiliki dayasaing baik
dari sisi keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Hal ini dapat dilihat dari nilai
DRC dan PCR yang diperoleh yaitu sebesar 1,03 dan 1,04 (Tabel 35). Hal ini juga
terlihat dari nilai keuntungan privat dan sosial yang menjadi bernilai negatif yaitu
mengalami kerugian sebesar Rp 129,3 juta per hektar dan Rp 67,3 juta per hektar.
Sehingga pengusahaan komoditas belimbing dewa di Kota Depok bila terjadi
penurunan harga output sebesar 15 persen akan menjadi tidak layak untuk
diusahakan. Oleh karena itu, jika skenario ini terjadi, secara universal kebutuhan
domestik belimbing Indonesia akan lebih baik dipenuhi dengan cara impor
dibandingkan dengan memproduksi di dalam negeri karena jika diupayakan di
dalam negeri, pengusahaan belimbing (khususnya belimbing dewa) akan
111
membutuhkan biaya sumberdaya domestik sebesar 104 persen terhadap biaya
impor yang dibutuhkan.
Pemerintah dapat memberikan peran dan kebijakan untuk dapat
mengantisipasi terjadinya distorsi pasar tersebut yaitu dengan menjaga kestabilan
harga belimbing dewa, terutama di tingkat petani. Salah satu cara menjaga
kestabilan harga belimbing dewa adalah dengan membentuk sebuah lembaga yang
dapat menjaga kestabilan harga tersebut. Di lokasi penelitian, kebijakan tersebut
telah dilaksanakan yaitu dengan didirikannya Pusat Koperasi Pemasaran Buah dan
Olahan Belimbing Dewa Depok (Puskop) yang bertujuan menjadikan pemasaran
belimbing dewa di Kota Depok menjadi satu pintu sehingga bargaining position
petani belimbing dewa di Kota Depok meningkat dan pemasaran satu pintu
tersebut diharapkan mampu menjaga kestabilan harga belimbing di lokasi
penelitian. Pemerintah juga berperan untuk melakukan controlling terhadap
lembaga tersebut sehingga apabila lembaga tersebut menyimpang atau mengalami
kendala, pemerintah dapat meluruskan atau membantu lembaga tersebut agar
dapat menjalani peran dan fungsi sebagaimana mestinya.
Selain itu, salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan
harga output belimbing dewa adalah dengan meningkatkan kualitas belimbing
dewa yang dihasilkan. Hal tersebut mungkin dapat dicapai ketika petani belimbing
dewa di Kota Depok telah menerapkan secara keseluruhan atau sempurna SOP
dan GAP belimbing dewa di Kota Depok yang telah dibuat oleh Dinas Pertanian
Kota Depok dan mulai menerapkan usahatani belimbing organik untuk
mengurangi tingkat residu pada buah belimbing yang dihasilkan sehingga
meningkatkan kualitas buah belimbing tersebut.
6.5 Rekomendasi Kebijakan
Dari hasil analisis diketahui bahwa adanya kebijakan pemerintah dapat
memengaruhi keunggulan komparatif dan kompetitif yang merupakan indikator
dari dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok. Oleh karena itu, penulis
mencoba memberikan rekomendasi kebijakan yang mendukung peningkatan
dayasaing pengusahaan komoditas belimbing dewa di Kota Depok yang didasari
dari informasi dan hasil analisis yang diperoleh. Adapun rekomendasi kebijakan
yang diajukan adalah :
112
1.
Pemerintah dapat memanfaatkan dayasaing belimbing domestik untuk
mengurangi jumlah impor belimbing dan mulai memperhatikan kegiatan
ekspor dengan menstimulus peningkatan produktivitas belimbing dewa.
Dengan dayasaing yang dimiliki, berarti Indonesia lebih baik memproduksi
sendiri dibandingkan dengan mengimpornya, karena Indonesia mampu
memproduksinya dengan efisien. Dengan demikian, pemerintah harus
menggali potensi atau memberikan stimulus kepada para petani belimbing
untuk meningkatkan produktivitasnya sehingga Indonesia dapat memenuhi
kebutuhan belimbing dalam negeri dan melakukan ekspansi pasar dengan
melakukan kegiatan ekspor belimbing. Sehingga, Indonesia dapat menghemat
pengeluaran dan meningkatkan devisa negara.
2.
Harga output belimbing memegang peranan yang sangat penting dalam
memberikan kontribusi terhadap keuntungan usahatani, sehingga pemerintah
perlu melakukan proteksi terhadap harga output belimbing dengan menjaga
stabilitas harga belimbing domestik serta menjaga volume impor belimbing.
Stabilitas harga output belimbing di lokasi penelitian dilaksanakan oleh
Puskop. Berdasarkan informasi di lokasi penelitian, diketahui bahwa Puskop
sedang mengalami masalah/kendala seperti yang telah diuraikan dalam
gambaran umum pemasaran komoditas belimbing dewa di Kota Depok. Oleh
karena itu, diharapkan pemerintah dapat medukung dan membantu
menyelesaikan permasalahan tersebut. Sehingga Puskop dapat kembali
menjalani peran dan fungsi sebagaimana mestinya
3.
Biaya input produksi belimbing dapat memengaruhi tingkat keuntungan
usahatani. Biaya input produksi yang besar membuat para petani belimbing
melakukan peminjaman modal untuk membeli input produksi yang
dibutuhkan atau bahkan ketika modal yang diperoleh tidak mencukupi atau
petani tidak mendapat pinjaman maka petani akan mengurangi penggunaan
input produksi yang dibutuhkan sehingga kualitas belimbing menjadi
menurun atau rendah. Melihat kondisi tersebut, untuk membantu penyediaan
input produksi dan mengatasi kendala yang dihadapi petani dalam pengadaan
input produksi maka diharapkan pemerintah melalui Puskop dapat
membentuk sebuah unit bisnis pengadaan input produksi yang memberikan
113
kredit input produksi kepada petani anggota. Sehingga petani tidak perlu lagi
melakukan pinjaman uang kepada tengkulak ataupun lembaga keuangan
lainnya yang mengenakan tingkat bunga yang cukup tinggi untuk membeli
input produksi yang dibutuhkan. Petani akan membayar kredit setelah panen.
4.
Berdasarkan informasi yang diperoleh di lokasi penelitian, sebagian besar
petani responden menjual hasil panennya kepada tengkulak (55,77 persen).
Hal ini dikarenakan adanya ikatan emosional (balas jasa atas peminjaman
modal) dan sistem pembayaran yang lebih cepat (cash) dibandingkan di
Puskop. Oleh karena itu, Puskop diharapkan dapat memperbaiki sistem
pembayaran yang dilakukan, yaitu jika tidak mampu membayar secara cash,
Puskop dapat memberikan pembayaran dimuka (down payment) sebesar 1525 persen pada saat petani menyerahkan belimbingnya dan melunasinya
setelah 3-7 hari dari penyerahan belimbing tersebut. Sehingga petani masih
dapat menikmati atau menyambung hidup atau melanjutkan pembiayaan
produksi belimbing dari uang hasil panennya. Setelah adanya unit bisnis yang
memberikan kredit input produksi, ikatan emosional petani terhadap Puskop
diharapkan dapat terbentuk. Dikarenakan Puskop merupakan lembaga
pemasaran resmi yang didirikan untuk meningkatkan kesejahteraan petani
belimbing maka Puskop tidak akan (tidak boleh) menekan harga beli
belimbing terhadap petani meskipun petani memiliki hutang budi (karena
Puskop didirikan memang untuk menyejahterakan petani belimbing di Kota
Depok). Ikatan emosional yang terbentuk dan perbaikan sistem pembayaran
diharapkan dapat menciptakan loyalitas sehingga petani akan selalu menjual
hasil panennya kepada Puskop.
5.
Kualitas belimbing dapat menentukan harga output belimbing yang akan
memberikan kontribusi terhadap tingkat keuntungan yang diperoleh petani.
Oleh karena itu, petani diharapkan dapat terus meningkatkan atau
mempertahankan kualitas belimbing yang dihasilkannya. Pemerintah
diharapkan juga dapat mendukung petani untuk menghasilkan belimbing
yang berkualitas dengan cara memberikan pelatihan, pembinaan dan
penyuluhan yang intensif dan efektif. Namun saat ini, pembinaan dan
penyuluhan yang diterima oleh petani belimbing di lokasi penelitian dirasa
114
masih belum intensif. Kurang intensifnya penyuluhan pertanian yang didapat
oleh para petani belimbing dewa di Kota Depok dikarenakan kurangnya
personil penyuluh pertanian yang ada di Kota Depok. Oleh karena itu,
diharapkan pemerintah Kota Depok dapat menambah personil penyuluh
pertanian agar penyuluhan dapat dilakukan lebih intensif, optimal dan efektif
sehingga para petani dapat memperoleh bimbingan atau pemecahan
masalah/kendala yang dihadapi di lapangan. Dengan demikian, petani
belimbing dewa dapat menghasilkan kuantitas dan kualitas belimbing sesuai
yang diharapkan.
6.
Industri pengolahan merupakan suatu bagian yang sangat penting didalam
pengusahaan komoditas belimbing dewa sehingga dapat meningkatkan nilai
tambah yang menguntungkan bagi petani. Namun, industri seperti ini belum
cukup berkembang di Kota Depok. Pabrik pengolahan belimbing yang telah
dibangun menggunakan dana bantuan Program Pendanaan Kompetisi
Akselerasi Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (PPK-IPM) pada
kenyataannya sampai saat ini masih belum beroperasi. Oleh karena itu,
pemerintah Kota Depok diharapkan dapat menstimulasi agar pabrik
pengolahan belimbing yang telah dibangun dapat segera beroperasi sehingga
dapat meningkatkan keuntungan serta dayasaing komoditas belimbing dewa
di Kota Depok. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan pelatihanpelatihan mengenai pembuatan produk turunan belimbing serta workshop
kewirausahaan kepada masyarakat agar masyarakat dapat terdorong untuk
membuka usaha yang bergerak di bidang hasil pengolahan (produk turunan)
belimbing, baik skala rumah tangga atau industri bagi yang memiliki modal
besar.
7.
Pemerintah, petani dan seluruh stakeholders komoditas belimbing dewa di
Kota Depok diharapkan tidak akan pernah menyerah untuk terus melakukan
perbaikan sistem dan sumberdaya manusia hingga tujuan akhir dari adanya
komoditas unggulan daerah dan program belimbing sebagai icon kota dapat
tercapai.
115
Download