STUDI HISTOPATOLOGI INSANG IKAN MUJAIR

advertisement
STUDI HISTOPATOLOGI INSANG IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambicus)
PADA KONSENTRASI SUBLETHAL AIR LUMPUR SIDOARJO
Dyah Eka Widayati*; Aunurrohim, S.Si, DEA1; Dra. Nurlita Abdulgani, M.Si1
*Corresponding author e-mail : [email protected]
1
Alamat sekarang : Prodi Biologi, Fak MIPA
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
ABSTRACT
The aim of this research is to know the level damage of gills of O. mossambicus exposed to
Sidoarjo Mud with sublethal concentrations, which based on histopathological observations. O.
mossambicus were exposed in Sidoarjo Mud with three different sublethal concentrations, namely
2.5%, 5%, and 10% of the LC50 for 30 days. Gill organ samples from each concentration were taken
every 10 days (the 10th, the 20th, and the 30th) as much as three tails to make gill histology
preparations using paraffin method. The data analysis is used a modification method of the Pantung
et al (2008) is Semiquantitative scoring method of histopathology changes. Scoring results in the
frequency of the pathology can be made using a formula that indicates the number of gill pathological
symptoms observed divided by the number of gill and multiplied by 100%. Histopathology changes
are found in all samples of fish gills Tilapia (O. mossambicus), among others, edema secondary
lamella (EL), hyperplasia secondary lamella (HL), and fusion lamella (FL). The frequency of
occurrence of these pathologies has increased along with the length of time of exposure and the
increasing concentration of the mud water exposed.
Key words: Oreochromis mossambicus, gill, histopathology, Sidoarjo Mud
PENDAHULUAN
Semburan Lumpur Panas yang terjadi
di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur
sejak 29 Mei 2006, sampai saat ini belum
dapat dihentikan. Menurut Wiguna (2009),
daerah yang terkena dampak luapan saat ini
telah mencapai 12 desa dari 3 kecamatan,
yaitu kecamatan Porong, Tanggulangin, dan
Jabon; selain itu dari beberapa penelitian yang
telah dilakukan, diketahui bahwa lumpur
Sidoarjo mengandung antara lain: 70% air dan
30% lumpur; gas hidrokarbon, gas H2S, gas
CO2, dan CO; serta logam seperti Cr (14,377
ppm) dan Cd (0,0271 ppm) (Kamariah, 2009
dan Subagyo, 2008), yang telah melebihi
ambang batas Kep. Menkes. No. 907/2002
mengenai kadar maksimal logam berat di air
(Cd sebesar 0,003 ppm, dan Cr sebesar 0,05
ppm). Volume lumpur yang terus meningkat
mencapai 120.000 m3 setiap harinya (Rasyid,
2008)
mengakibatkan
waduk
penampung/tanggul tidak dapat menampung
lumpur tersebut, sehingga lumpur harus
dialirkan ke laut melalui sungai (Gunradi,
2007).
Pembuangan air lumpur Sidoarjo ke
badan perairan secara terus menerus dapat
meningkatkan konsentrasi bahan toksik,
sehingga diduga dapat berdampak negatif
terhadap kehidupan organisme perairan
termasuk ikan. Menurut Mason (2002), bahan
toksik di perairan akan menyebabkan
gangguan fisiologis organisme yang diikuti
dengan kerusakan anatomi. Penelitian
pendahuluan tentang dampak fisiologis air
lumpur Sidoarjo terhadap ikan Mujair
(Oreochromis mossambicus) pernah dilakukan
oleh Budiarti, (2009). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa O. mossambicus yang
didedahkan pada air lumpur Sidoarjo dengan
konsentrasi 2.000 - 22.000 ppm selama 24 jam
mampu bertahan hidup, namun menunjukkan
peningkatan laju respirasi. Mengacu pada
Mason (2002), maka respon fisiologis ikan
mujair tersebut diduga akan mengakibatkan
gejala histopatologi insang, dimana gejala
tersebut telah banyak digunakan sebagai
biomarker untuk mengevaluasi respon
organisme akibat pengaruh polutan (Biagini,
2009).
Insang merupakan organ pertama yang
berhubungan langsung dengan bahan toksik di
dalam perairan, dengan permukaan yang luas
dan terbuka, maka mengakibatkan bagian ini
menjadi sasaran utama bagi bahan toksik yang
ada di dalam perairan (Wong, 2000). Faktor
yang menyebabkan respon histopatologi ikan
adalah adanya zat penyebab iritasi yang terus
menerus masuk ke dalam sel atau jaringan dan
kemudian dapat mempengaruhi kehidupan
organisme (Moyes, 2006). Beberapa iritan
yang terkandung di dalam air lumpur Sidoarjo
antara lain partikel lumpur, fenol, dan logam
berat.
Uji toksisitas lumpur Sidoarjo yang
telah dilakukan oleh Budiarti, (2009), lebih
ditekankan pada tingkat kematian ikan,
sedangkan untuk kerusakan di level jaringan
(insang) secara histopatologi belum diketahui.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan
dilakukan pengamatan histopatologi insang
ikan Mujair yang terpapar oleh air lumpur
Sidoarjo.
BAHAN DAN CARA KERJA
Persiapan Media Pengujian
Pengujian ikan dilakukan dalam media
lumpur Sidoarjo (dalam satuan miligram) dan
air PDAM (dalam satuan liter). Lumpur
Sidoarjo dikeringpadatkan dengan oven,
dihaluskan dengan mortar, dan ditimbang
dengan timbangan analitik sesuai konsentrasi
yang diinginkan dalam percobaan (dalam
satuan mg/liter), sedangkan air PDAM
sebelum digunakan diendapkan terlebih
dahulu selama dua hari.
Persiapan Ikan Uji
Ikan
mujair
(Oreochromis
mossambicus) juvenile dengan berat 2-2,5
gram sejumlah 600 ekor yang didapatkan dari
lokasi pembudidayaan ikan di daerah
Lamongan, diaklimasi selama dua minggu.
Ikan diberi pakan pelet setiap dua kali sehari
dan dibersihkan kotoran, serta diganti airnya
setiap tiga hari sekali (Thophon, 2002).
Uji
Pendahuluan
untuk
Penentuan
Konsentrasi Sublethal
Setelah masa aklimasi, 20 ekor ikan
mujair (O. mossambicus) dengan berat 2-2,5
gram dipilih secara acak, lalu dipindahkan ke
masing-masing akuarium pengujian (58 x 30,5
x 36,5 cm, kapasitas 64 liter) yang berisi air
lumpur dengan konsentrasi lumpur Sidoarjo
yang berbeda-beda, yaitu antara 10 - 125.000
mg/L, dan dilengkapi pompa filter selama 24
jam. Volume media pengujian disesuaikan
dengan standart APHA, (1998), yaitu satu liter
air untuk 0,8 gram berat ikan. Kematian ikan
dicatat setiap 24 jam dan dicari konsentrasi
sublethal untuk uji sesungguhnya. Konsentrasi
air lumpur yang digunakan dalam uji
sesungguhnya/uji pengaruh yaitu antara 0 –
10% dari LC50, yang kemudian dimodifikasi
intervalnya menjadi 0% dari LC50; 2,5% dari
LC50; 5% dari LC50; dan 10% dari LC50
(Sprague, 1971). Interval tersebut disesuaikan
dengan kebutuhan (bahan dan alat pendukung
lainnya).
Uji Sesungguhnya
Akuarium berukuran 58 x 30,5 x 36,5
cm (kapasitas 64 liter) berjumlah empat buah
diisi dengan air PDAM yang volumenya telah
disesuaikan dengan berat badan ikan, yaitu
satu liter air untuk 0,8 gram berat ikan
(APHA, 1998). Pada masing-masing akuarium
dimasukkan konsentrasi lumpur Sidoarjo yang
disesuaikan dengan hasil uji pendahuluan,
yaitu 0 mg/L (kontrol), 2,5% dari LC50 (mg/L),
5% dari LC50 (mg/L), dan 10% dari LC50
(mg/L).
Ikan mujair (O. mossambicus) yang
telah diaklimasi dimasukkan ke dalam
akuarium pengujian masing-masing sebanyak
20 ekor. Ikan didedahkan pada masing-masing
akuarium selama 30 hari. Selama masa
pendedahan, akuarium diberi aerasi dan ikan
diberi makan dua kali sehari dengan pelet.
Pemberian pakan ikan dihentikan 24 jam
sebelum penyamplingan (APHA dalam
Thophon, 2002). Kematian ikan dicatat setiap
24 jam (Winkaler, 2007). Sampel organ insang
pada tiap perlakuan diambil setiap 10 hari
sekali (hari ke 10, ke 20, dan ke 30) sebanyak
tiga ekor untuk dibuat preparat histologi
insangnya (Pantung, 2008).
Preparasi Sampel
Ikan
dianestesi/dibius
dengan
menggunakan kloroform, kemudian insang
diambil dan difiksasi dengan buffer formalin
4% untuk selanjutnya dibuat preparat sediaan
histologisnya.
Pembuatan Sediaan Histologi
Sampel insang yang telah difiksasi
dalam buffer formalin 4%, kemudian dibuat
sediaan histologis (metode parafin dan
pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)) dengan
tahapan sebagai berikut:
a. Dehidrasi
dilakukan
dengan
memasukkan organ insang tersebut ke
dalam alkohol 70%, 80%, 90%, dan
96%, masing-masing selama 30 menit
b. Clearing
atau
dealkoholisasi
(pembersihan) dilakukan dengan
memasukkan organ insang tersebut ke
dalam toluol sampai jernih atau
transparan selama 24 jam
c. Infiltrasi ke dalam parafin dilakukan
di dalam oven pada suhu 56-60˚C.
Sebelum masuk ke paraffin murni,
jaringan dimasukkan ke dalam toluol
paraffin 1:1. Setelah itu berturut-turut
dimasukkan ke dalam paraffin murni
I, II, dan III masing-masing selama 30
menit.
d. Emmbedding, jaringan dari paraffin III
ditanamkan ke dalam kotak karton
yang telah berisi paraffin cair.
Jaringan diletakkan pada bagian dasar
tengah dengan posisi melintang
e. Sectioning (pemotongan) dilakukan
dengan
memasang
holder
di
mikrotom,
kemudian
mengatur
ketebalan irisan sebesar 6 mikron pada
mikrotom. Lalu mulai mengiris
dengan
cara
memutar
pengait
mirotom.
Pemotongan
untuk
pengamatan histopatologi insang
menurut Takasima dan Hibiyu (1995),
dilakukan sejajar dengan permukaan
insang.
f. Afixing
(penyematan),
perekatan
dengan menggunakan albumin dan
gliserin dengan perbandingan 1:1,
disimpan dalam kotak sediaan kirakira 1 hari
g. Deparafinasi, untuk menghilangkan
parafin, sediaan histologis dimasukkan
ke dalam xylol I dan II masing-masing
10 menit
h. Staining
(pewarnaan)
dilakukan
dengan pewarna eosin hematoksilin.
Setelah
deparafinisasi
sediaan
histologis dihisap xylitolnya dengan
kertas saring, kemudiaan berturutturut dimasukkan ke alkohol 95%,
90%, 80%, 70%, 60%, 50%, 40%,
i.
30%, dan aquades. Dimasukkan ke
hematoxylin kira-kira 7 detik, lalu
dicuci dengan air mengalir selama 10
menit, dicelup aquades lalu ke alkohol
30%, 40%, 50%, 60%, 70% beberapa
celupan. Dimasukkan ke dalam eosin
1-2 menit, kemudian dicelupkan ke
alkohol 70%, 80%, 90%, dan 95%,
lalu dikeringkan dengan kertas saring.
Dimasukkan xylol selama 15 menit,
kemudian sediaan histologis ditetesi
canada balsam.
Mounting (Penutupan) dan Labelling
(Pemberian Label) yaitu Penutupan
preparat dengan menggunakan kaca
penutup dan memberi identitas pada
preparat (label), kemudian disimpan
dalam kotak sediaan.
Pengamatan di Laboratorium dan Analisa
Data
Pengamatan
secara
mikroskopis
preparat irisan histologi insang ikan mujair (O.
mossambicus) dilakukan pada semua filamen
insang pada satu gill arch menggunakan
mikroskop compound dengan perbesaran 401000 kali. Tingkat kerusakan jaringan insang
ikan Mujair (O. mossambicus) dianalisa
dengan menggunakan modifikasi metode dari
Pantung (2008), yaitu metode semiquantitative
scoring perubahan histopatologi. Scoring yang
digunakan
untuk
menentukan
tingkat
kerusakan histologi insang yang berkisar dari
(0) sampai (3), tergantung pada tingkat dan
luasan perubahan yang terjadi dengan rincian
sebagaimana di Tabel 3.1. Gejala histopatologi
yang diamati menurut Robert (1989), meliputi
edema lamela sekunder (EL), hiperplasia
lamela sekunder (HL), dan fusi lamela (FL).
Setelah didapatkan hasil scoring
(Tabel 3.2), kemudian dihitung frekuensi
kejadian patologi insang ikan Mujair (O.
mossambicus) menggunakan rumus jumlah
insang yang menunjukkan gejala patologis
dibagi jumlah insang yang diamati dan
dikalikan 100%.
HASIL
Uji
Pendahuluan
untuk
Penentuan
Konsentrasi Sublethal
Uji pendahuluan bertujuan untuk
memperkirakan konsentrasi air lumpur
Sidoarjo
yang
dapat
menyebabkan
kematian/lethalitas populasi hewan uji (O.
mossambicus) sebesar 50% (LC50), sehingga
dapat
digunakan
untuk
menentukan
konsentrasi sublethal pada uji sesungguhnya
(uji pengaruh).
Tabel 3.1. Nilai Skoring Untuk Perubahan Histopatologi Insang Ikan Mujair (O. mossambicus)
Parameter
Score 0
Score 1
Score 2
Score 3
yang diamati
(Normal)
(Ringan)
(Sedang)
(Berat)
Edema
tidak ada sama sekali
30%-70% dari luasan lebih
dari
70%
Lamela
pandang
luasan pandang
Sekunder
(EL)
Hiperplasia
tidak ada sama sekali kurang dari 30% dari 30%-70% dari luasan lebih
dari
70%
Lamela
luasan pandang
pandang
luasan pandang
Sekunder
(HL)
Fusi Lamela tidak ada sama sekali kurang dari 30% dari 30%-70% dari luasan lebih
dari
70%
(FL)
luasan pandang
pandang
luasan pandang
Konsentrasi
sublethal
adalah
konsentrasi yang dapat merusak kegiatan
fisiologis atau perilaku organisme, tetapi tidak
menyebabkan kematian individu secara
langsung (Mason, 2002). Uji pendahuluan
dilakukan selama 24 jam masa pemaparan
(Mangkoedihardjo, 2009), dengan metode
yang disesuai dengan penelitian Budiarti
(2009), yaitu dalam persiapan media pengujian
dan penggunaan aerator di tiap akuarium.
(Pantung, 2002).
Rentang konsentrasi yang digunakan yakni
antara 0 mg/L (kontrol) hingga 50.000 mg/L,
disesuaikan dengan penelitian Budiarti (2009)
yang menyatakan konsentrasi 20.000 mg/L air
Lumpur Sidoarjo dapat mengakibatkan
kematian 50% populasi ikan Mujair (O.
mossambicus). Hasil Uji Pendahuluan dapat
dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil Uji Pendahuluan I Air Lumpur Sidoarjo pada ikan Mujair (O. mossambicus)
Keterangan: Data hari 2 hingga hari 5 hanya digunakan untuk mengetahui pola kematian populasi hewan uji. Data yang
digunakan tetap hari 1 saja.
Hasil uji pendahuluan pada 24 jam
masa pemaparan menunjukkan adanya
kematian hewan uji sebesar 5% pada
konsentrasi 10 mg/L dan 20.000 mg/L (Tabel
4.1). Untuk mendapatkan konsentrasi air
lumpur Sidoarjo yang dapat menyebabkan
kematian/lethalitas populasi hewan uji sebesar
50%, maka waktu pengujian dicoba
dilanjutkan hingga hari ke lima. Akan tetapi,
hasil uji tetap tidak menunjukkan adanya
kematian sebesar 50%.
Berdasarkan hasil uji pendahuluan
yang relatif kurang bagus tersebut, maka perlu
dilakukan uji pendahuluan kedua (ulangan)
dengan menggunakan rentang konsentrasi air
Lumpur Sidoarjo yang lebih besar, yaitu dari 0
hingga 125.000 mg/L, dengan masa
pemaparan tetap 24 jam (Mangkoedihardjo,
2009). Pada uji ini aerator digantikan dengan
pompa filter untuk menjaga kondisi air
Lumpur Sidoarjo agar tetap tersuspensi merata
dan mengurangi adanya pengendapan lumpur,
sehingga hasil yang didapatkan dapat menjadi
lebih maksimal. Hasil Uji Pendahuluan Kedua
Air Lumpur Sidoarjo pada ikan Mujair dapat
dilihat pada Tabel 4.2.
Hasil uji pendahuluan kedua selama
24 jam pertama juga tidak menunjukkan
kematian populasi hewan uji sebesar 50%.
Kematian hewan uji hanya terjadi pada
konsentrasi 75.000 mg/L sebesar 5%,
sedangkan persentase kematian populasi
hewan uji terbesar terjadi pada konsentrasi
125.000 mg/L setelah masa pemaparan 5 hari.
Jika dibandingkan dengan uji pendahuluan
pertama, hasil kematian populasi ikan mujair
pada uji pendahuluan kedua menunjukkan
terjadinya peningkatan persen kematian, yaitu
sebesar 5% pada konsentrasi 10.000 mg/L dan
sebesar 15% pada konsentrasi 50.000 mg/L.
Angka kematian populasi hewan uji
sebesar 50% tetap tidak dijumpai pada uji
pendahuluan pertama maupun kedua, maka
digunakan analisa probit-MINITAB untuk
memprediksi nilai LC50. Mangkoediharjo,
(2009), menyatakan bahwa uji temuan awal/uji
pendahuluan cukup dilakukan dengan waktu
paparan sehari, sehingga nilai LC50 yang
digunakan adalah nilai LC50 dari uji
pendahuluan kedua di 24 jam pertama, yaitu
435.118 mg/L (Tabel 4.2).
Meskipun angka kematian populasi
hewan uji sebesar 50% belum diketahui secara
pasti dan kurang bisa dijadikan patokan untuk
uji toksisitas lainnya, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa kemungkinan besar air
lumpur Sidoarjo dapat mengakibatkan
terganggunya proses fisiologis dan kerusakan
histologi. Hal ini dibuktikan oleh beberapa
penelitian seperti dari Virgianti, (2008), yang
menyatakan bahwa sintasan udang windu
(Penaeus monodon) pada media campuran air
lumpur dan air PDAM adalah 16.67 %.
Budiarti, (2009) menunjukkkan bahwa air
lumpur Sidoarjo dapat mengakibatkan
peningkatan laju respirasi ikan Mujair (O.
mossambicus). Serta Hidayati, (2009) yang
menyatakan bahwa ikan Bandeng (Chanos
chanos) yang dipelihara dalam air hasil
fitoremidiasi air Lumpur Sidoarjo dengan
Salvinia molesta mengalami perubahan
histologi bersifat ringan dan sedang pada
insang, dan bersifat ringan dan parah pada
hati.
Tabel 4.2 Hasil Uji Pendahuluan II Air Lumpur Sidoarjo pada ikan Mujair (O. mossambicus)
Keterangan: Data hari 2 hingga hari 5 hanya digunakan untuk mengetahui pola kematian populasi hewan uji. Data yang
digunakan tetap hari 1 saja.
Uji Sesungguhnya (Uji Pengaruh)
Konsentrasi air Lumpur Sidoarjo yang
digunakan pada uji sesungguhnya adalah
konsentrasi sublethal, yaitu di bawah
konsentrasi 435.118 mg/L. Sprague, (1971)
menyatakan bahwa konsentrasi zat toksik yang
umum digunakan dalam uji sublethal berkisar
antara 1-5% dari LC50, sedangkan rentang 1040% dari LC50 umumnya digunakan dalam uji
lethal. Sehingga pada uji sesungguhnya,
rentang konsentrasi yang digunakan adalah
0%, 2,5%, 5%, dan 10% dari LC50 (Lampiran
1).
Waktu pemaparan yang digunakan
dalam uji sesungguhnya adalah 30 hari,
dengan penyamplingan organ insang setiap 10
hari sebanyak tiga ekor dari tiap konsentrasi.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui perubahan
struktur histologi insang yang terjadi seiring
meningkatnya
waktu
pemaparan.
Meningkatnya konsentrasi zat toksik dapat
mengakibatkan gangguan fisiologi dan stres
pada ikan Mujair. Hal ini didukung oleh
penelitian Budiarti, (2009), yang menyatakan
laju respirasi ikan Mujair semakin meningkat
seiring dengan meningkatnya konsentrasi air
Lumpur
Sidoarjo
yang
dipaparkan.
Peningkatan konsentrasi zat toksik terus
menerus terjadi dan didukung dengan
ketidakmampuan
organisme
untuk
mempertahankan fungsi normal tubuhnya akan
menyebabkan terjadinya kegagalan fisiologis
hingga kematian organisme (Roberts, 1989
dan Mason, 2002).
Perubahan Struktur Jaringan Insang Ikan
Mujair
(O. mossambicus) setelah
dipapar Air Lumpur Sidoarjo
Respon sublethal dari O. mossambicus
terhadap Air Lumpur Sidoarjo yang diamati
adalah
struktur
jaringan
insangnya
(histopatologi insang). Insang merupakan
organ vital dalam proses respirasi ikan Mujair.
Struktur jaringan insang yang tersusun atas
epitel tipis selapis, dan secara langsung
berhubungan dengan zat toksik di lingkungan,
mengakibatkan
organ
tersebut
mudah
mengalami kerusakan (Roberts, 1989). Oleh
karena itu, perubahan histopatologi pada
jaringan insang ikan dapat dijadikan sebagai
parameter
penting
untuk
mengetahui
perubahan yang diterjadi akibat masuknya
bahan pencemar pada tubuh ikan (Spector,
1993).
Berdasarkan
hasil
pengamatan
histopatologi insang ikan Mujair (O.
mossambicus) selama masa uji sesungguhnya
(uji pengaruh), terdapat beberapa kerusakan
insang yakni edema lamela sekunder (EL),
hiperplasia lamela sekunder (HL), dan fusi
lamela (FL). Dimana edema merupakan
pembengkakan sel yang terjadi akibat adanya
perubahan sistem permeabilitas membran
ditingkat sel atau jaringan (Himawan, 1990
dan Laksman, 2003). Dalam penelitian ini,
terjadinya edema lamela sekunder ditunjukkan
pada gambar 4.1 B dan C.
Gambar 4.1 Gambar Patologi Edema (A) Penampang melintang insang normal (Pewarnaan HE, 100x)
(Benli, 2010). (B) Pada bagian basal lamela sekunder insang ikan Mujair (O. mossambicus) di konsentrasi
2,5% dari LC50 setelah 10 hari pemaparan (Pewarnaan HE, 1000x) (Dokumen Pribadi, 2010). (C) Pada
lamela sekunder insang ikan Mujair (O. mossambicus) di konsentrasi 5% dari LC50 setelah 20 hari
pemaparan (Pewarnaan HE, 400x) (Dokumen Pribadi, 2010).
Dalam penelitian ini, terjadinya edema
lamela sekunder diduga disebabkan oleh
materi tersuspensi/partikel lumpur halus (very
fine clay) yang tinggi (6.716 NTU) dan logam
berat, seperti Cd (0,04 mg/L), Pb (0,048
mg/L), dan Hg (0,0024 mg/L) yang
terkandung dalam Air Lumpur Sidoarjo
(Budiarti, 2009; Hidayati 2009). Menurut PP
RI No. 20 tahun 1990, ambang batas Cadmium
untuk air yang digunakan pada perikanan dan
peternakan adalah 0,01 mg/L. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Robbins dan Kumar, 1995
yang menyatakan patologi edema terjadi
sebagai bentuk adaptasi sel untuk bertahan
hidup akibat pengaruh dari bahan toksik,
seperti bahan kimia dan logam berat.
Partikel lumpur halus dari air lumpur
Sidoarjo akan ikut dilintaskan melalui lamela
insang pada proses inspirasi ikan Mujair.
Partikel tersebut akan melekat pada mukus
yang disekresikan oleh sel mukus insang,
sehingga menutupi lamela-lamela insang, dan
kemudian mengganggu proses difusi oksigen.
Sedangkan zat toksik, seperti cadmium (Cd)
yang masuk ke dalam sel insang melalui
calcium channel di membran sel, akan
menyebabkan terjadinya penurunan/kerusakan
aktifitas pompa Ca+, yang selanjutnya akan
memicu peningkatan aktifitas enzim ATPase.
Peningkatan enzim ATPase dan terganggunya
proses difusi oksigen akibat tertutupnya lamela
insang
oleh
partikel
lumpur
akan
mengakibatkan berkurangnya jumlah pasokan
ATP di dalam sel insang (Robbins dan Kumar,
1995; Hollis, 1999; Wong, 2000; dan
Nordberg, 2007).
Jumlah pasokan ATP dalam sel insang
yang berkurang, diduga akan memicu
terjadinya kegagalan beberapa fungsi pompa
ion, seperti pompa Na+-K+ dan pompa Ca2+.
Dimana kegagalan pompa-pompa ion tersebut
akan menyebabkan peningkatan jumlah ion
(ion Na+ dan ion Ca2+) di dalam sel, dan sel
menjadi pekat. Pekatnya sel kemudian memicu
masuknya cairan ekstraseluler ke dalam sel
secara osmosis, dan akhirnya sel bengkak
(edema) (Robbins dan Kumar, 1995).
Patologi edema yang terjadi pada
lamela insang ikan Mujair ini jika jumlahnya
semakin meningkat, didukung dengan adanya
paparan zat toksik dari Air Lumpur Sidoarjo
yang berkelanjutan, serta kondisi sel yang
tidak mampu lagi untuk memperbaiki
kerusakan sel, maka akan menyebabkan
terjadinya nekrosis/kematian sel (Robbins dan
Kumar, 1995). Sel yang mengalami nekrosis
akan lepas dari jaringan penyokongnya
(membran basalis) dan menyebabkan jaringan
yang berada di dekatnya menjadi rentan
terhadap iritan. Hal ini akan memicu aktifasi
sinyal transduction pathway, dimana sinyal
tersebut kemudian menginduksi beberapa gen
untuk mensintesis beberapa protein seluler,
seperti growth factor. Protein growth faktor ini
memperbaiki keadaan sel dan mengembalikan
keseimbangan fungsi sel dengan cara
meningkatkan proliferasi sel. Akan tetapi,
kegiatan ini terganggu oleh adanya paparan zat
toksik
yang
berkelanjutan,
sehingga
pembelahan sel (terutama pada sel-sel yang
mampu membelah dengan cepat) menjadi
tidak terkontrol. Peningkatan jumlah sel yang
tidak normal ini disebut hiperplasia. Hasil
pengamatan patologi hiperplasia pada insang
ikan Mujair ditunjukkan pada Gambar 4.2 B
dan C.
Dari Gambar 4.2 B dan C di atas,
nampak adanya hiperplasia di sekitar lamela
sekunder dan lamela primer insang. Pada
lamela sekunder, hiperplasia terjadi akibat
adanya pembelahan sel epitel yang berlebihan,
sedangkan pada lamela primer disebabkan
oleh pembelahan sel chloride secara
berlebihan. Pembelahan yang berlebihan pada
sel chloride disebabkan oleh terganggunya
pengaturan transportasi ion Ca2+ dan Cl(Perry, 1997). Pada penelitian ini, kesulitan
pengaturan transportasi ion Ca2+, diduga dapat
disebabkan oleh zat toksik, seperti cadmium
yang terkandung dalam air lumpur Sidoarjo.
Gambar 4.2 Gambar Patologi Hiperplasia Lamela Sekunder Insang Ikan Mujair (O. mossambicus) (A)
Penampang melintang insang normal (Pewarnaan HE, 100x) (Benli, 2010). (B) Pada konsentrasi 10%
dari LC50 setelah 20 hari pemaparan (Pewarnaan HE, 400x) (Dokumen Pribadi, 2010). (C) Pada
konsentrasi 5% dari LC50 setelah 10 hari pemaparan (Pewarnaan HE, 1000x) (Dokumen Pribadi, 2010).
Gambar 4.3 Gambar Patologi Fusi Lamela Insang Ikan Mujair (O. mossambicus) (A) Penampang
melintang insang normal (Pewarnaan HE, 100x) (Benli, 2010). (B) dan (C) Pada konsentrasi 2,5% dari
LC50 setelah 20 hari pemaparan (b perbesaran 400x; c perbesaran 1000x) (Dokumen Pribadi, 2010).
Proliferasi sel chloride bertujuan
untuk mengoptimalkan kapasitas transport
Ca2+ dan Cl-, namun proliferasi ini
menyebabkan ruang antar lamela sekunder
penuh dengan sel-sel baru dan memicu
terjadinya perlekatan kedua sisi lamela
sekunder, yang disebut fusi lamela (FL)
(Robert, (1989); Perry, (1997); dan Lawler,
(2005)). Oleh karena itu hiperplasia dapat
dijadikan sebagai biomarker yang merespon
adanya logam berat pada suatu perairan dan
menunjukkan adanya gangguan kesehatan ikan
dalam transport ion (Alvarado, et al; 2006).
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa
semakin meningkatnya score patologi
hiperplasia lamela sekunder, maka semakin
meningkat score patologi fusi lamela insang
ikan Mujair yang ditemukan. Kejadian ini
didukung oleh penelitian Benli, (2008); dan
Velmurugan, (2009), yang menyatakan bahwa
kejadian fusi lamela merupakan level
kerusakan cukup parah, karena fusi lamela
merupakan kerusakan tahap lanjutan dari
kerusakan hiperplasia. Gambar 4.3 B dan C
menunjukkan kejadian Fusi Lamela Insang
Ikan Mujair setelah dipapar Air Lumpur
Sidoarjo.
Dari gambar 4.3 B dan C, nampak
adanya perlekatan antar lamela sekunder
insang,
sehingga
menyebabkan
luas
permukaan insang untuk melakukan proses
respirasi (respiratory area) berkurang. Apabila
suplai O2 dan nutrien untuk sel-sel insang
berkurang,
maka
akan
menyebabkan
berkurangnya ATP. Apabila hal ini terus
terjadi, maka dapat mengakibatkan terjadinya
kematian ikan (Robert, 1989; Susilowati,
2005; dan Kumar, 2007).
Pengaruh Konsentrasi Sublethal Air
Lumpur Sidoarjo dan Lama
Pemaparan
terhadap Histopatologi Insang
O.
mossambicus
Hasil
Uji
Sesungguhnya
(Uji
Pengaruh) Konsentrasi Sublethal Air Lumpur
Sidoarjo pada ikan Mujair dapat dilihat pada
Tabel 4.3.
Berdasarkan Tabel 4.3, pada ikan
kontrol ditemukan beberapa kerusakan insang,
yakni edema lamela sekunder (Gambar 4.1),
hiperplasia lamela sekunder (Gambar 4.2), dan
fusi lamela (Gambar 4.3) dari level ringan
hingga sedang. Begitu pula yang terjadi pada
ikan yang yang didedahkan pada konsentrasi
sublethal air Lumpur Sidoarjo, akan tetapi
score dan frekuensi kemunculan patologinya
lebih tinggi.
Tabel 4.3. Frekuensi Kejadian Patologi Insang Ikan Mujair
(O. mossambicus) (dalam %)
Keterangan : - Score 0
- Score 1
- Score 2
- Score 3
= Tidak ada kerusakan sama sekali (normal)
= Terjadi kerusakan kurang dari 30% dari luasan pandang (ringan)
= Terjadi kerusakan 30% - 70 % dari luasan pandang (sedang)
= Terjadi kerusakan lebih dari 70% dari luasan pandang (berat) (Pantung et al, 2008).
Patologi Edema Lamela Sekunder
(EL) terjadi pada seluruh konsentrasi, mulai
dari score 0 hingga score 2 (sedang). Patologi
edema dengan score 0 dan score 1 (ringan)
terjadi pada semua konsentrasi uji, sedangkan
edema score 2 (sedang) hanya terjadi pada
konsentrasi 5% dari LC50 (21.755,9 mg/L) dan
10% dari LC50 (43.511,8 mg/L). Frekuensi
kemunculan patologi Edema Lamela Sekunder
(EL) pada konsentrasi 2,5% dari LC50, setelah
10 hari pemaparan yaitu dari tiga individu ikan
Mujair yang disampling ditemukan satu
individu ikan yang mengalami edema kategori
ringan (score 1), sedangkan dua ekor lainnya
normal (tidak ditemukan edema). Frekuensi
patologi insang ini tidak berubah pada hari ke
20 pemaparan, akan tetapi pada hari ke 30
pemaparan, frekuensi kejadian patologi edema
kategori ringan (score 1) meningkat menjadi
tiga individu.
Pada konsentrasi 5% dari LC50,
frekuensi ikan mujair yang mengalami edema
setelah 10 hari dan 20 hari pemaparan hampir
sama dengan konsentrasi 2,5% dari LC50, yaitu
dari tiga individu ikan Mujair yang
disampling, ditemukan satu individu ikan yang
mengalami edema kategori ringan (score 1),
sedangkan pada dua ekor lainnya normal
(tidak ditemukan edema). Pada 30 hari
pemaparan, frekuensi kejadian patologi edema
lebih besar dari konsentrasi 2,5% dari LC50,
karena pada konsentrasi ini ditemukan
patologi edema kategori sedang (score 2)
sebanyak satu individu dan dua individu pada
kategori ringan (score 1).
Pada konsentrasi 10% dari LC50
setelah 10 hari pemaparan, frekuensi ikan
mujair yang mengalami patologi edema sama
dengan konsentrasi 2,5% dari LC50 dan 5%
dari LC50. Peningkatan frekuensi patologi
insang terjadi pada hari ke 20 masa
pemaparan, yaitu ikan Mujair yang mengalami
patologi edema kategori ringan (score 1)
menjadi dua ekor. Pada 30 hari pemaparan
terjadi peningkatan yang paling besar, yaitu
frekuensi kejadian patologi edema kategori
sedang (score 2) meningkat menjadi dua
individu dan satu individu mengalami edema
kategori ringan (score 1). Dari hasil akhir
pengamatan histopatologi, diketahui bahwa
frekuensi kemunculan patologi edema lamela
sekunder (EL) pada insang ikan Mujair
semakin meningkat seiring dengan lamanya
waktu pemaparan dan semakin meningkatnya
konsentrasi air lumpur yang dipaparkan.
Munculnya edema score 0 pada penelitian ini,
bukan berarti tidak terjadi patologi di insang
ikan Mujair, tetapi kemungkinan patologi yang
terjadi telah mengalami peningkatan ke fase
selanjutnya, yaitu hiperplasia (Kumar, 2007).
Patologi
Hiperplasia
Lamela
Sekunder (HL) terjadi pada seluruh
konsentrasi, mulai dari score 1 (ringan) hingga
score 3 (berat). Patologi hiperplasia score 1
(ringan) terjadi pada kontrol dan konsentrasi
2,5% dari LC50. Patologi score 2 (sedang)
terjadi pada seluruh konsentrasi, sedangkan
patologi dengan score yang paling berat terjadi
pada konsentrasi 2,5% dari LC50 hingga 10%
dari LC50 (43.511,8 mg/L).
Frekuensi kemunculan patologi
hiperplasia pada konsentrasi 2,5% dari LC50
setelah 10 hari pemaparan, dari ketiga individu
ikan Mujair yang disampling ditemukan
masing-masing satu individu yang mengalami
hiperplasia kategori ringan (score 1), sedang
(score 2), dan berat (score 3). Frekuensi
patologi insang ini meningkat pada hari ke 20
pemaparan, jumlah ikan yang mengalami
hiperplasia kategori berat (score 3) menjadi
dua ekor, kemudian tidak mengalami
perubahan frekuensi pada hari ke 30
pemaparan.
Pada konsentrasi 5% dari LC50,
setelah 10 hari pemaparan, score patologi
hiperplasia yang dijumpai lebih besar jika
dibandingkan
dengan
patologi
pada
konsentrasi 2,5% dari LC50. Frekuensi patologi
hiperplasia yang ditemui adalah dua ekor ikan
pada kategori sedang (score 2) dan satu ekor
ikan pada kategori berat (score 3). Kemudian
frekuensi patologi ini meningkat lagi pada hari
ke 20 pemaparan, dimana jumlah ikan yang
mengalami hiperplasia kategori berat (score 3)
menjadi 2 ekor. Pada hari ke 30 pemaparan,
tidak terjadi peningkatan atau penurunan
frekuensi patologi.
Frekuensi patologi hiperplasia yang
paling besar dijumpai pada konsentrasi 10%
dari LC50. Pada 10 hari pemaparan, frekuensi
ikan yang mengalami hiperplasia kategori
berat (score 3) adalah dua ekor dan satu ekor
ikan mengalami hiperplasia sedang (score 2).
Frekuensi ini terus meningkat pada hari ke 20
pemaparan, yaitu dari ketiga ikan yang
disampling, semuanya mengami hiperplasia
kategori berat (score 3). Akan tetapi, pada hari
ke 30 pemaparan, terjadi penurunan frekuensi
patologi, dimana jumlah ikan yang mengalami
hiperplasia kategori berat (score 3) menjadi
dua ekor dan satu ekor mengalami hiperplasia
kategori sedang (score 2). Sama halnya dengan
kasus patologi Edema Lamela Sekunder (LS),
dari hasil akhir pengamatan histopatologi,
diketahui
bahwa
semakin
meningkat
konsentrasi air lumpur dan lama waktu
pemaparan dapat menyebabkan peningkatan
frekuensi hiperplasia pada ikan mujair (O.
mossambicus).
Peningkatan
patologi
hiperplasia secara terus menerus dapat
menyebabkan terisinya ruang antar lamela
sekunder dengan sel-sel baru, yang kemudian
memicu terjadinya perlekatan pada kedua sisi
lamela sekunder atau fusi lamella (Robert,
1989).
Patologi Fusi Lamela Score 1
(ringan) dan score 2 (sedang) terjadi pada
seluruh konsentrasi, sedangkan patologi fusi
lamela dengan score yang paling berat (score
3) hanya terjadi pada konsentrasi 10% dari
LC50 (43.511,8 mg/L) setelah 20 hari
pemaparan. Frekuensi patologi fusi lamela
(FL) pada konsentrasi 2,5% dari LC50 setelah
10 hari pemaparan, dari tiga individu ikan
Mujair yang disampling ditemukan hanya satu
individu ikan yang mengalami fusi ringan
(score 1), dan dua ekor lainnya mengalami fusi
kategori sedang (score 2). Frekuensi patologi
insang ini tidak berubah pada hari ke 20 dan
ke 30 pemaparan.
Pada konsentrasi 5% dari LC50,
frekuensi ikan mujair yang mengalami fusi
setelah 10 hari pemaparan adalah dua individu
dengan kategori ringan (score 1) dan satu ekor
mengalami fusi kategori sedang (score 2).
Pada hari ke 20 pemaparan, seluruh ikan yang
disampling mengalami fusi kategori kategori
ringan (score 1). Peningkatan frekuensi yang
paling besar terjadi pada pemaparan ke 30
hari, dimana seluruh ikan yang disampling
mengalami fusi kategori sedang (score 2).
Pada konsentrasi 10% dari LC50
setelah 10 hari pemaparan, frekuensi ikan
mujair yang mengalami fusi hampir sama
dengan frekuensi pada konsentrasi 5% dari
LC50, yaitu dari tiga individu ikan yang
disampling, ditemukan dua individu yang
mengalami fusi kategori ringan (score 1) dan
satu ekor lainnya mengalami fusi kategori
sedang (score 2). Kenaikan frekuensi patologi
insang mulai terjadi pada hari ke 20 masa
pemaparan, yaitu dari ketiga individu ikan
yang disampling ditemukan masing-masing
satu individu yang mengalami fusi, dengan
kategori ringan (score 1), sedang (score 2), dan
berat (score 3). Pada hari ke 30 pemaparan
terjadi peningkatan yang paling besar, dimana
jumlah ikan yang mengalami fusi kategori
sedang (score 2) meningkat menjadi dua ekor
dan jumlah ikan yang mengalami fusi kategori
berat (score 3) masih tetap berjumlah satu
ekor. Sama halnya dengan kasus patologi
Edema Lamela Sekunder (EL) dan Hiperplasia
Lamela Sekunder (HL), dari hasil akhir
pengamatan histopatologi, diketahui bahwa
frekuensi patologi Fusi Lamela (FL) pada
insang ikan Mujair juga semakin meningkat
seiring dengan lamanya waktu pemaparan dan
semakin meningkatnya konsentrasi air lumpur
yang dipaparkan.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, didapatkan kesimpulan antara lain,
pendedahan ikan Mujair (Oreochromis
mossambicus) pada konsentrasi sublethal air
Lumpur Sidoarjo selama 30 hari dapat
menyebabkan terjadinya patologi pada
jaringan insang yaitu edema lamela sekunder
(EL), hiperplasia lamela sekunder (HL), dan
fusi lamela (FL), serta frekuensi kemunculan
patologi edema lamela sekunder (EL),
hiperplasia lamela sekunder (HL), dan fusi
lamela (FL) pada insang ikan Mujair semakin
meningkat seiring dengan lamanya waktu
pemaparan dan semakin meningkatnya
konsentrasi air lumpur yang dipaparkan.
DAFTAR PUSTAKA
Alvarado N. E, Quesada K, Hylland I,
Marigómez, L, Soto M. 2006.
Quantitative
changes
in
metallothionein expression in target
cell-types in the gills of turbot
(Scophthalmus maximus) exposed to
Cd, Cu, Zn and after a depuration
treatment. Aquatatic Toxicology 77:
64-77
American Public Health Association (APHA),
American Water Works Association
(AWWA),
Water
Environment
Federation (WEF). 1999. Standard
Methods For The Examination of
Water and Wastewater. APHA
Anonim1. 2008. Oreochromis mossambicus.
Diakses
dari
http://www.aquaticcommunity.com/t
ilapia/Oreochromismossambicus.php. Pada tanggal 2
februari 2010. Pukul 15:20 WIB
Anonim2. 2007. Auditing the Hot Mud
Eruption In Sidoarjo, East Java,
Indonesia
with
Environmental
Perspectives1.
Diakses
dari
http://www.bpk.go.id/doc/publikasi/
PDF/ppan/19.pdf. Pada tanggal 24
oktober 2009. Pukul 14:02 WIB
Anonim3. 2006. Penanganan Semburan
Lumpur
Panas
di
Sidoarjo.
Kementrian
Negara
Lingkungan
Hidup
Anonim4. 2009. Oreochromis mossambicus.
Diakses
dari
http://www.iucnredlist.org/apps/redli
st/details/63338/0. Pada tanggal 3
Maret 2010. Pukul 09:18 WIB
Anonim5. 2009. Atlas Of Fathead Minnow
Normal Histology. Diakses dari
http://aquaticpath.umd.edu/fhm/res
p.html. Pada tanggal 25 September
2009. Pukul 18:11 WIB
Ardjosoediro, Ingrid and I. W. Ramnarine.
2002. The Influence Of Turbidity On
Growth, Feed Conversion And
Survivorship Of The Jamaica Red
Tilapia Strain. Aquaculture 212
(2002) 159–165
Biagini, F. R., Jose´ Augusto de Oliveira
David., dan Carmem, S. F. 2009. The
Use Of Histological, Histochemical,
And Ultramorphological Techniques
To Detect Gill Alterations In
Oreochromis niloticus Reared In
Treated Polluted Waters. Micron 40:
839–844
Benli. A. Ç. K; G. Koksal; dan A. Ozkul.
2008. Sublethal Ammonia Exposure
Of Nile tilapia (Oreochromis niloticus
L.): Effect On Gill, Liver, And Kidney
Histology. Chemosphere 72 (2008):
1355-1358
Benli. A. Ç. K dan A. Özkul. 2010. Acute
Toxicity
And
Histopathological
Effects Of Sublethal Fenitrothion On
Nile tilapia, Oreochromis niloticus.
Pesticide
Biochemistry
and
Physiology (2010)
Budiarti, Titisari, R. 2009. Laju Respirasi
Mujair (Oreochromis mossambicus)
Dalam Media Air Lumpur Sidoarjo
Pada Konsentrasi Subletal. Tugas
Akhir. Program Studi Biologi.
FMIPA Institut Teknologi Sepuluh
Nopember Surabaya
Chahaya, Indra. 2003. Ikan Sebagai Alat
Monitor Pencemaran. Universitas
Sumatera Utara Digital Library:
Sumatera
Utara.
http://74.125.153.132/search?q=cach
e%3AsmFpG69em9AJ%3Alibrary.usu.
ac.id%2Fdownload%2Ffkm%2Ffkmind
ra%2520c2.pdf+%2C+Indra.+2003.+Ik
an+Sebagai+Alat+Monitor+Pencemar
an&hl=id&gl=id
Connell, D. W dan G. J. Miller. 1995. Kimia
Dan Ekotoksikologi Pencemaran.
Universitas Indonesia: Jakarta
Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem
Biologi Makhluk Hidup. UI-Press:
Jakarta
Darmono. 2006. Lingkungan Hidup Dan
Pencemaran. UI-Press: Jakarta
Evans, David. H., P. M. Piermarini, dan
W.T.W. Potts. 1999. Ionic Transport
in the Fish Gill Epithelium. Journal
Of Experimental Zoology 283:641–
652 (1999)
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi
Pengelolaan
Sumberdaya
dan
Lingkungan Perairan. Penerbit
Kanisius : Yogyakarta
Farias. Ana. R. L. 2010. Histopathology Of
Gills And Accesory Air-Breathing
Organ Of Liposarcus pardalis
Exposed To Crude Oil. Diakses dari
http://www-heb.pac.dfompo.gc.ca/congress/1996/tropical/fer
riera.pdf
Fernandes, A. F., A. Luzio., S. G. Santos., J.
Carrola., dan S. Monteiro. 2008. Gill
Histopathological Alterations in Nile
Tilapia,
Oreochromis
niloticus
Exposed to Treated Sewage Water.
Brazilian Archives Of Biology And
Technology Vol. 51, n. 5: pp.10571063
Fujaya, Yushinta. 2004. Fisiologi Ikan.
Rineka Cipta: Jakarta
Galland. M. B., dan G. M. Hughes. 1973.
Contractile Filamentous Material In
The Pillar Cells Of Fish Gills. J. Cell
Sci. I3> 359-370
Gunradi, Rudy, S. dan J. Suprapto. 2007.
Penelitian Endapan Lumpur Di
Daerah Porong Kabupaten Sidoarjo
Provinsi Jawa Timur. Proceeding
Pemaparan
Hasil
Kegiatan
Lapangan Dan Non Lapangan
Tahun 2007 Pusat Sumber Daya
Geologi
Hahn, Mark. E. 2002. Biomarkers And
Bioassays For Detecting Dioxin-Like
Compounds
In
The
Marine
Environment. The Science of the
Total Environment 289(2002) 49-69
Heerden, Dale´ne van., Louwrens R. Tiedt.,
dan Andre´ Vosloo. 2004. Gill
Damage In Oreochromis mossambicus
And Tilapia sparrmanii After ShortTerm Copper Exposure. International
Congress Series 1275: 195– 200
Hidayati, D., Aunurohim, dan I. K. Murwani.
“ Kajian Histologi Insang Ikan
Bandeng (Chanos chanos F.) untuk
Mengevaluasi Hasil Fitoremediasi
Analisis Logam Berat”. Proceeding
International
Conference
of
Biological Science at Biology Faculty,
Gadjah Mada University
Hollis,
Lydia., J. C. McGeer., D.G.
McDonald., dan C.M. Wood. 1999.
Cadmium Accumulation, Gill Binding,
Acclimation, And Physiological Effect
During Long Term Sublethal Cd
Exposure In Rainbow Trout. Aquatic
Toxicology 46 (1999) 101-119
Kamal, Abu H. M., dan Graham C. M. 2005.
Salinity Tolerance In Superior
Genotypes Of Tilapia, Oreochromis
niloticus, Oreochromis mossambicus
and Their Hybrids. Aquaculture 247
(2005) 189– 201
Kamariah dan Fajriyanto. 2009. Pemanfaatan
Lumpur Lapindo Sebagai Komposit
Ramah Lingkungan Berbasis Fiber
Reinforced Concrete (FRC). Seminar
Nasional Teknik Kimia Indonesia
(SNTKI). ISBN 978-979-98300-1-2
Kaoud H.A. dan A.R. El-Dahshan. 2010.
Bioaccumulation And
Histopathological Alterations Of The
Heavy Metals In Oreochromis
niloticus Fish. Nature and Science
2010; 8(4)
Karr, John McLachlan. Sidoarjo Mud
Emergency Response Consultant
Report Ecological Engineering
Approach. Diakses dari
http://202.155.137.105/upload/lib/Con
sultant%20report%20%20Ecological%20Engineering%20A
pproach%20-%20JM%20Karr.pdf.
Pada tanggal 24 Oktober 2009. Pukul
16:56 WIB
Kumar, V., A.K. Abbas, N. Fausto, R.N
Mitchell. 2007. Robbins Basic
Pathology. Eighth Edition. Saunders
Elsevier, Inc : Philadelphia
Laksman, H. T. 2003. Kamus Kedokteran.
Jakarta: Djambatan
Lawler, Adrian. 2005. Hyperplasia in Fishes.
Diakses
dari
http://www.aquarticles.com/articles/
management/Lawler_Hyperplasia.ht
ml. Pada tanggal 4 November 2010.
Pukul 16:22 WIB
Mahjoor, A. A., dan Loh. R. 2008. Some
Histophatological Aspects of hlorine
Toxicity
in
Rainbow
Trout
(Oncorhynchus
mykiss).
Asian
Journal of Animal and Veterinary
Advances 3 (5): 303-306
Mangkoediharjo, S., dan G. Samudro. 2009.
Ekotoksikologi Teknosfer. Guna
Widya: Surabaya
Mason,
Christhoper. 2002. Biology Of
Freshwater Pollution. Fourth edition.
Prentice Hall: England
Moyes, C. D., Patricia M, and Schulte. 2006.
Principles of Animal Physiology.
Pearson Benjamin Cummings
Pantung, Nuntiya, Kerstin, G. Helander,
Herbert F. H. dan Voravit C. 2008.
Histopathological
Alterations
of
Hybrid Walking Catfish (Clarias
macrocephalus x Clarias gariepinus)
in Acute and Subacute Cadmium
Exposure. Environment Asia 1 : 2227
Permatasari, a. A. 2009. Fitoremediasi Logam
Berat Cd Menggunakan Ki Ambang
(Salvinia molesta) Pada Media
Modifikasi Air Lumpur Sidoarjo.
Tugas Akhir. Jurusan Biologi Institut
Teknologi
Sepuluh
Nopember
Surabaya.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 82 Tahun 2001 Tentang
Pengelolaan Kualitas Air Dan
Pengendalian Pencemaran Air
Perry, Steve, F. 1997. The Chloride Cell:
Structure and Function in the Gills of
Freshwater Fishes. Annual Review of
Physiology Vol. 59: 325-347
Rasyid,
Sofyan. 2008. Basic Concept
Penanganan Lumpur Porong Sidoarjo
Didukung Hasil Penelitian Sifat Aliran
Lumpur. Jurnal Teknologi Dan
Rekayasa
Sipil-FTSP
Institut
Teknologi
Sepuluh
Nopember
Surabaya
Nandlal, S., and T. Pickering. 2004. Tilapia
Fish Farming In Pacific Island
Countries. Volume 1. Tilapia
Hatchery Operation. Secretariat of the
Pacific Community: New Caledonia
Roberts, J. S. 1989. Fish Pathology. Second
Edition. Bailliere Tindall: London
Ogundiran, M. A., O. O. Fawole., S. O.
Adewoye., dan T. A. Ayandiran. 2009.
Pathologic Lesions in The Gills of
Clarias gariepinus Exposed to
Sublethal Concentrations of Soap and
Detergent Effluents. Journal of Cell
and Animal Biology Vol. 3 (5), pp.
078-082
Robbins, S.L., Ramzi, S.C, V. Kumar. 1995.
Pocket Companion to Pathologic
Basis of Disease. W.B Saunders
Company : Philadelphia
Omoregie.E., Thomas G. E., dan Paul. C.O.
1994. Chronic effects of Formalin on
Erythrocyte Counts and Plasma
Glucose of Nile Tilapia, Oreochromis
mossambicus.
Asian
Fisheries
Science 7 (1994): 1-6
Palar, Heryando. 2002. Pencemaran dan
Toksikologi Logam Berat. Rineka
Cipta: Jakarta
Robbins, S.L., Ramzi, S.C, V. Kumar. 1994.
Dasar Patologik Penyakit. Jilid Satu.
Binarupa Aksara : Jakarta
Santamaria, Yohana M. Velasco., dan Pablo E.
Cruz-Casallas. 2008. Behavioural And
Gill Histopathological Effects Of
Acute Exposure To Sodium Chloride
In Moneda (Metynnis orinocensis).
Environmental Toxicology and
Pharmacology 25: 365–372
Subagyo, 2008. Skandal Ekosida Lumpur
Lapindo.
Diakses
dari
http://korbanlumpur.info/opini/artike
l/154-skandal-ekosida-lumpur-
lapindo-.html.Pada 28 Januari 2010.
Pukul 20.00 WIB
Setyawan, Priadi. 2009. Ikan sebagai
Indikator Pencemaran Air. Diakses
dari
http://akademiperikanan.wordpress.c
om/2009/04/01/ikan-sebagaiindikator-pencemaran-air/.
Pada
tanggal 25 Februari 2010. Pukul 16:45
WIB
Spector, W.G. 1993. Pengantar Patologi
Umum. Gadjah Mada University
Press : Yogyakarta
Sprague, J. B. 1971. Measurement Of Polutant
Toxicity To Fish-III. Sublethal Effect
And Safe Concentrations. Water
Research Pergamon Press Vol. 5, pp
245-266
Susilowati. 2005. Pengaruh Akut Pemberian
Kadmium
terhadap
Struktur
Mikroanatomi Insang Ikan Bandeng.
Skripsi. Universitas Negeri Semarang
Tarigan M.S. dan Edward. 2003. Kandungan
Total Zat Padat Tersuspensi (Total
Suspended Solid) Di Perairan Raha,
Sulawesi Tenggara. Makara, Sains,
Vol. 7, No. 3
Thophon, S., M. Kruatrachuea., dan E.S.
Upathama. 2002. Histopathological
Alterations Of White Seabass, Lates
calcarifer, In Acute And Subchronic
Cadmium Exposure. Environmental
Pollution 121: 307–320
United
Nations.
2006.
Environmental
Assessment Hot Mud Flow East Java,
Indonesia. Final Technical Report:
United Nations Disaster Assessment
and Coordination mission in June &
July 2006 and Follow-up mission in
July 2006. Joint UNEP/OCHA
Environment Unit: Switzerland
Velmurugan B., M. Selvanayagam., E. I.
Cengiz.,
dan
E.
Unlu.
Histopathological Changes in the Gill
and Liver Tissues of Freshwater Fish,
Cirrhinus mrigala Exposed to
Dichlorvos. Braz. Arch. Biol.
Technol. v.52 n.5: pp. 1291-1296
Wiguna, I. P. A., W. Citrosiswoyo., dan A.
Widodo. 2009. Penanggulangan
Semburan Lumpur Sidoarjo. Pusat
Studi Kebumian dan Bencana (PSKB),
Lembaga
Penelitian
dan
Pengembangan Masyarakat (LPPM),
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
(ITS): Surabaya
Winkaler, Elissandra U.,
Thiago R.M.
Santos., Joaquim G. Machado-Neto.,
dan Cláudia B.R. Martinez. 2007.
Acute Lethal And Sublethal Effects Of
Neem Leaf Extract On The
Neotropical
Freshwater
Fish
Prochilodus lineatus. Comparative
Biochemistry and Physiology, Part
C 145: 236–244
Wong, Chris K dan M.H. Wong. 2000.
Morphological And Biochemical
Changes In The Gills Of Tilapia
(Oreochromis
mossambicus)
To
Ambient Cadmium Exposure. Aquatic
Toxicology 48: 517–527
Download