HISTOPATOLOGIS INSANG IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambicus) YANG DIPAPARKAN SECARA IN SITU DI SUNGAI ALOO SIDOARJO Aisyah Asy Syatik*, Dewi Hidayati1, Nurlita Abdulgani1, Aunurohim1 Program Studi Biologi, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan insang ikan mujair (Oreochromis mossambicus) yang dipaparkan di sungai Aloo Sidoarjo secara in situ menggunakan metode keramba (fishcaged method). Juvenile ikan mujair (O. mossambicus) yang telah dikondisikan selama 7 hari di laboratorium Zoologi kemudian diletakkan di keramba jaring yang dipasang di 3 stasiun yang berbeda yang terletak di sepanjang sungai Aloo Sidoarjo. Jumlah ikan yang dipaparkan pada setiap stasiun adalah 35 ekor. Setiap stasiun diambil subsampel sebanyak 3 ekor ikan setiap hari ke 7, 14, 21 dan 28 serta dibuat preparat histologis insangnya dengan menggunakan metode parafin. Analisa data dilakukan menggunakan modifikasi metode dari Pantung et al (2008) yaitu metode Semiquantitative scoring perubahan histopatologi. Dari hasil scoring yang diperoleh, dihitung frekuensi kejadian patologinya dengan menggunakan rumus jumlah insang yang menunjukkan gejala patologis dibagi jumlah insang yang diamati dikali 100%. Hasil pengamatan tingkat kerusakan insang ikan mujair (O. mossambicus) menunjukkan beberapa jenis kerusakan diantaranya oedema lamela, hiperplasia lamela dan fusi lamela sedangkan jenis patologi hemoragik sel hanya ditemukan di stasiun 2 dan 3. Tingkat kerusakan terberat terjadi di stasiun 3. Kata Kunci: Ikan mujair (Oreochromis mossambicus), metode keramba (fishcaged method), insang dan histopatologi ABSTRACT The aim of this research is to know the level damage of Oreochromis mossambicus’s gills which was exposed in Aloo river Sidoarjo by in situ test using fishcaged method. Oreochromis mossambicus’s juveniles which had been acclimated about 7 days in Zoology laboratory then placed in the fish cage that had been assembled in 3 difference stations along the Aloo river Sidoarjo. Total of fish is about 35 fish in each station. Three fish in each station were taken for sub sample at 7 th, 14th, 21st, and 28th day for and made gill histological preparations using paraffin method. Analytical data was performed using modified method from Pantung et al (2008), It is semiquantitative scoring method of histopathology alteration. From scoring result, then frequency of pathological occurance was calculated using a formula that shows the number of gill pathological symptoms observed divided by the number of gill multiplied by 100%. The result of O. mossambicus’s gills level damage shows many kinds of damage such as oedema lamella, hiperplasia lamella and fusi lamella while hemmoraghic cell just found in station 2 and 3. The heaviest level damage happen in station 3. Keyword : Oreochromis mossambicus, fishcaged method, gills and histophatology *Corresponding author Phone : 085645136994 e-mail : [email protected] 1 Alamat sekarang : Prodi Biologi, Fak MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya I PENDAHULUAN Sungai Aloo Sidoarjo merupakan salah satu sungai di Sidoarjo yang sepanjang alirannya terdapat pemukiman, pertanian dan industri. Adanya kegiatan-kegiatan tersebut berpotensi mencemari sungai Aloo Sidoarjo. Selain itu, di sekitar muara sungai Aloo merupakan daerah pertambakan dan daerah tangkapan ikan penduduk sekitar. Adanya lumpur panas Sidoarjo di kecamatan Porong sejak 26 Mei 2006 diduga turut memperparah beban sungai Aloo terhadap pencemar, dimana sejak akhir tahun 2009 air lumpur juga dialirkan ke sungai Aloo (Agustiyani, 2011). Lumpur Sidoarjo menunjukkan kandungan logam berat di atas ambang batas yang dipersyaratkan, unsur Cd 10,45 ppm, Cr 105,44 ppm, As 0,99 ppm, dan Hg 1,96 ppm dengan pH Lumpur 9,18 (Gunradi dan Suprapto, 2007). Berdasarkan penelitian Agustiyani (2011), kualitas perairan sungai Aloo Sidoarjo secara umum masih di bawah baku mutu. Namun, kadar BOD perairan sungai Aloo di seluruh titik penelitiannya adalah sekitar 8-30 ppm, yang menunjukkan sudah berada di atas baku mutu menurut Perda Jatim no. 2 tahun 2008 tentang Pengelolaan Air dan Pengendalian Pencemaran air di Provinsi Jawa timur kelas III, nilai BOD yang disyaratkan maksimum 6 ppm. Masuknya bahan pencemar ke dalam perairan dapat mempengaruhi kualitas perairan. Apabila bahan pencemar yang masuk melebihi ambang batas, maka daya dukung lingkungan akan menurun dan sangat mempengaruhi organisme perairan di daerah tersebut (Dahuri dan Arumsyah (1994) dalam Setyowati, 2010). Salah satu cara monitoring yang dapat dilakukan adalah dengan mengunakan histopatologi insang ikan. Perubahan histopatologi pada organ ikan akan berguna dalam tujuan evaluasi efek toksik dari berbagai polutan (El-Ghazali et al, 2006). II METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Juli 2011. Pengambilan data dilakukanAdi Sungai Aloo A sampel dan Sidoarjo Jawa Timur. Preparasi 1 analisa data dilakukan di Laboratorium zoologi Jurusan Biologi FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Cara Kerja Penelitian ini diawali dengan pemilihan lokasi penelitian dilakukan di sepanjang aliran sungai Aloo Sidoarjo yang diduga mendapatkan masukan pencemaran. Lokasi yang dipilih sebanyak 3 stasiun yang mewakili bagian hulu, tengah dan hilir. Lokasi tersebut akan digunakan sebagai penempatan keramba jaring, dimana setiap titik lokasi pengambilan sampel mewakili aliran sungai tersebut. Posisi pengambilan sampel yang telah ditentukan diukur dengan menggunakan GPS (Global Positioning System). Gambar 3.1 Lokasi Setiap stasiun yang terdapat di sepanjang aliran sungai Aloo Sidoarjo. Terdiri dari 3 stasiun yang mewakili daerah hulu, tengah dan hilir (modifikasi www.googlearth.com) Setelah itu dilakukan pemilihan lokasi kemudian dilakukan pembuatan keramba jaring, pengkondisian ikan Mujair, uji in situ dan pengambilan kualitas fisika-kimia perairan. Lalu dilakukan pembuatan preparat histologis insang ikan mujair. Metode yang digunakan dalam pembuatan preparat adalah metode parrafin dan menggunakan pewarnaan HE (hematoksilin eosin). Langkah akhir yang dilakukan adalah pengamatan preparat mikroskopis insang ikan mujair dengan menggunakan mikroskop compound. Pengamatan preparat dilakukan pada semua filamen insang pada satu gill arch, dengan perbesaran 40-400 kali. Sedangkan untuk mengetahui tingkat kerusakan jaringan insang ikan mujair, maka dilakukan analisa data A A A A dilakukan menggunakan modifikasi metode A dari AA P P A P A P P 2 Pantung 3et al., (2008) yaitu 4 metode 1 2 35 Semiquantitative scoring perubahan histopatologi. Tingkat kerusakan dinilai dengan menggunakan metode scoring dari (0) sampai (3) tergantung pada tingkat dan luasan perubahan yang terjadi dengan rincian sebagaimana di tabel 3.2. Gejala histopatologi yang diamati menurut Robert (1989) meliputi edema lamela sekunder, hiperplasia lamela, Fusi lamela dan Hemoragik Sel. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Air di Sungai Aloo Sidoarjo Kualitas perairan sungai Aloo diukur untuk menunjang analisa data pada penelitian ini. Parameter perairan yang diukur meliputi parameter fisika-kimia (non logam) dan parameter logam berat. Pengambilan data perairan non logam di stasiun 2 dan 3 dilakukan hingga hari ke 7 dikarenakan ikan mengalami mortalitas sebesar 100% setelah dipaparkan selama 7 hari. Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air diketahui bahwa sebagian besar parameter non logam yang terukur di ketiga lokasi masih di bawah baku mutu. Namun, kadar BOD dan NH 3- N yang terukur di setiap stasiun selama penelitian di atas baku mutu. Tingginya kadar BOD dan NH3-N tersebut menunjukkan bahwa sungai Aloo Sidoarjo telah tercemar bahan organik. Nilai BOD dan COD yang tinggi di perairan dapat menyebabkan menurunnya kadar DO (Disolved Oxygen). Hal ini disebabkan dengan semakin besar bahan organik yang dirombak oleh mikroorganisme dalam air akan meningkatkan kebutuhan oksigen organisme tersebut (Baroto dan Siradz, 2006). Berdasarkan hasil yang diperoleh, diketahui bahwa kadar DO di stasiun 1 sesuai dengan baku mutu Perda Jatim no. 2 tahun 2008 untuk kualitas perairan kelas III, yaitu sekitar 3.97 – 5.09 ppm. Kisaran kadar DO di stasiun 2 dan 3 di bawah baku mutu Perda Jatim no.2 thn 2008 (data tidak ditunjukkan). Parameter logam berat yang diukur dalam penelitian ini adalah adalah Hg, Cd, Cr dan Pb. Pada penelitian ini hanya logam berat jenis Pb yang ditemukan di ketiga stasiun yang berada di sepanjang sungai Aloo Sidoarjo Gambaran Histopalogis Insang Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus Histopatologis insang ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) pada hari 0 (gambar 4.5 a) menunjukkan struktur jaringan insang yang normal sebagaimana disebutkan dalam Robert (1989), yaitu lamela sekunder yang terdiri dari satu lapisan epitel dan terdapat jarak antar lamela sekunder. Sementara itu, pada perlakuan hari ke 7 di lokasi 1, 2 dan 3 telah menunjukkan gejala histopatologis yang bersifat defensif (Chezian, 2009) seperti edema lamela, hiperplasia dan fusi lamela (gambar 4.3 b-e). Pada stasiun 2 dan 3 mengalami kejadian patologis yang lebih parah yaitu perluasan fusi lamela dan hemoragik (gambar 4.3 f). Pada hari ke-14 ikan di stasiun 2 dan 3 telah mengalami tingkat mortalitas sebesar 100%. Sedangkan di stasiun 1 dapat bertahan sampai 28 hari. Gambar histopatologis jaringan insang ikan mujair (Oreochromis mossambicus) yang dipaparkan di sungai Aloo, Sidoarjo disajikan dalam gambar 4.5: a. b. c. d. e. f. Gambar 4.3 Gambaran histopatologis insang ikan mujair (O. mossambicus) yang dipaparkan di sungai Aloo Sidoarjo (LS: lamela sekunder; LP: lamela primer) a. Penampang melintang insang normal b. Insang di stasiun 1 hari ke-7, menunjukkan gejala patologi edema( ) c. Insang di stasiun 1 hari ke-7, menunjukkan gejala patologi hiperplasia ( ) pada lamela primer dan sekunder d. Insang di stasiun 1 hari ke- 21 menunjukkan gejala patologi fusi lamela primer (lingkar merah) e. Insang di stasiun 2 hari ke-7 menunjukkan gejala patologi fusi lamela berat dan sekresi mukus berlebihan f. Insang di stasiun 3 hari ke-7 menunjukkan gejala patologi hemmoragik (Pewarnaan HE, 1000x) (Dokumentasi pribadi, 2011). Terjadinya kerusakan insang ikan mujair (O. mossambicus) yang dipaparkan di sungai Aloo diduga disebabkan oleh tingginya zat toksik seperti logam berat dan bahan organik yang bersinergi. Hal ini dipertegas dengan hasil penelitian Costa et al (2009), dimana juvenile Solea senegalensis mengalami perubahan histopatologis setelah dipaparkan sedimen muara sungai Sado, Portugis yang tercemar limbah organik dan logam berat. Kerusakan insang yang terjadi disebabkan daerah permukaan insang yang berhubungan langsung dengan lingkungan luar menyebabkan insang juga menjadi target utama terkena polutan (Camargo and Martinez, 2007). Pada penelitian ini, gejala patologi edema lamela dengan level terparah terjadi di stasiun 1 pada hari ke 7. Edema merupakan pembengkakan sel atau penimbunan cairan secara berlebih di dalam jaringan tubuh (Laksman, 2003) dan dianggap sebagai tahap awal terjadinya patologi (Thopton et al, 2003). Tingginya kadar NH3-N dan logam berat Pb pada penelitian ini diduga dapat menyebabkan terjadinya patologi pada insang ikan mujair tersebut. Ammonia bebas (NH3) dapat berdifusi melewati membran insang dengan mudah karena lipid solubilitasnya serta muatannya yang rendah (Svodova et al, 1993 dalam Benli et al, 2008). Amonia cenderung memblokir transfer oksigen dari insang ke dalam darah dan dapat menyebabkan kerusakan langsung maupun jangka panjang (Ogbonna dan Chinomso, 2010). Keberadaan ammonia yang berdifusi ke dalam sel insang dan logam berat yang berikatan dengan membran plasma sel epitel lamela insang saling bersinergi dan menyebabkan kekurangan ATP. Rendahnya kadar O2 dalam darah dapat menyebabkan sel kekurangan ATP. Padahal sistem transport membran tergantung pada pompa Na+-K+ yang membutuhkan ATP. Rendahnya jumlah ATP di dalam sel menyebabkan penumpukan Na+ di dalam sel. Hal ini dikarenakan tidak adanya energi untuk mengeluarkan ion Na+ ke luar sel. Banyaknya jumlah Na+ dapat menyebabkan perubahan tekanan osmotik sehingga air, Ca 2+ dan Na+ dapat masuk. Hal ini menyebabkan terjadinya pembengkakan atau edema (Robbins dan Kumar, 1995). Menurut Robert (1989), kerusakan insang berupa edema lamela paling sering disebabkan oleh polutan kimia seperti logam berat, pestisida tertentu dan formalin yang melebihi batas. Edema yang berlebihan dapat menyebabkan hiperplasia akibat sel darah merah keluar dari kapilernya dan sel akan terlepas dari jaringan penyongkongnya (Laksman, 2003). Hiperplasia merupakan suatu mekanisme adaptasi organisme untuk melindungi jaringannya dari iritan. Mekanisme ini dapat berfungsi sebagai mekanisme perlindungan, namun juga menghambat fungsi respirasi dan eskresi pada insang (El-Ghazaly et al, 2006). Hiperplasia lamela sekunder terjadi akibat pembelahan sel epitel yang berlebihan, sedangkan hiperplasia lamela primer disebabkan oleh pembelahan sel klorit secara berlebihan. Bertambahnya jumlah sel klorit ini menyebabkan ruang antar lamela sekunder penuh dengan sel-sel baru dan memicu terjadinya pelekatan kedua sisi lamela sekunder yang berdekatan yang disebut fusi lamela (gambar 4.5 d). Fusi lamela dapat mengurangi luas permukaan insang, sehingga dapat memperlambat pengambilan toksik namun juga menciptakan kondisi anoksik yang dapat menyebabkan kematian pada ikan akibat berkurangnya suplai oksigen (Takashima and Hibiya, 1995). Terjadinya fusi lamela dapat dikatakan bahwa kerusakan yang terjadi sudah cukup parah karena fusi merupakan tahap lanjutan dari kerusakan sebelumnya (Hidayati, 2010). Gejala histopatologis yang ditemukan di stasiun 2 ini menunjukkan gejala patologi berupa fusi lamela kategori berat (skor 3) disertai sekresi mukus yang berlebihan pada histologi insang tersebut (gambar 4.5 d). Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan yang terjadi di stasiun ini sudah sangat parah. Kerusakan insang ikan berupa hemoragik ditemukan di stasiun 2 dan 3 (gambar 4.2). Hal ini dimungkinkan akibat kadar polutan di kedua stasiun ini sangat tinggi. Menurut Camargo dan martinez et al (2007), hemoragik bisa diinterpretasikan sebagai bentuk efek langsung dari polutan terhadap jaringan. Hemoragik adalah keluarnya eritrosit dari pembuluh darah yang berada di jaringan insang. Hal ini diakibatkan menurunnya permeabilitas pembuluh kapiler dan membran insang akibat iritasi karena cairan di luar tubuh lebih rendah daripada cairan di dalam tubuh ikan mengakibatkan sebagian besar plasma keluar dari tubuh ikan sehingga ikan mengalami dehidrasi dan pendarahan di bagian insang (Zahri, 2005). Berdasarkan hasil pengamatan histopatologis insang ikan mujair (O. mossambicus), dapat dikatakan bahwa konsentrasi polutan yang terdapat di stasiun 1 berdampak kronis, sedangkan konsentrasi polutan yang terdapat di stasiun 2 dan 3 tersebut berdampak akut terhadap ikan mujair (O.mossambicus) yang dipaparkan dengan menggunakan metode keramba. Kerusakan insang yang terjadi di stasiun 2 dan 3 diduga diakibatkan oleh kadar DO perairan yang rendah dan unsur NH3-N serta logam berat Pb yang terukur di kedua titik tersebut sangat tinggi (data tidak ditunjukkan). Menurut Riche dan Garling (2003), konsentrasi NH3-N sebesar 0.6-3 ppm dapat menyebabkan kematian pada ikan air tawar. Sedangkan jenis tilapia akan mati ketika konsentrasi NH3-N di perairan mencapai lebih dari 2 ppm. Tingginya kadar kedua jenis polutan ini diduga berasal kontaminan yang terbawa dari daerah hulu dan diperparah dengan kegiatan antropogenik di sekitar stasiun tersebut, seperti pertanian, pertambakan, rumah tangga dan penggunaan kendaraan bermotor serta lumpur Sidoarjo (LUSI). DAFTAR PUSTAKA Agustiyani, S. P, 2011.Analisis Kualitas Air Sungai Aloo Sidoarjo Berdasarkan Keanekaragaman dan Komposisi Fitoplankton. Tugas Akhir. Prodi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember: Surabaya Baroto dan Siradz, A. S. 2006. Taraf Pencemaran Kandungan Kromium (Cr) pada Air dan Tanah di Daerah Aliran Sungai Code Yogyakarta. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol 6 (2) p: 82-100 Benli, K.C.A dan Koksal, G. 2003. The Acute Toxicity of Ammonia on Tilapia (Oreochromis niloticus L.) Larvae and Fingerlings. Turk J Vet Anim Sci 29: 339-344 Camargo, M.M.P and Martinez, C.B.R. 2007. Histopatology of Gills, Kidney and Liver of a Neotropical Fish Caged in an Urban Stream. Neotropical Ichthyology, 5(3):327-336 Chezhian, A, Kabilan, N, Kumar, T.S. 2009. Impact of Chemical Factory Effluent on the Structural Changes in Gills of Fresh Water Fish Cyprinus carpio Var. Communis (Linnaeus, 1758). Journal of Basic and Applied Biology, 3(1 & 2), pp. 28-35 Costa, M.P, Diniz, M.S, Caeiro, S, Lobo, J, Martins, M, Ferreira, A. M, Caetano, M, Vale, C, DelValls, A.T, Costa, H. M. 2009. Histological Biomarkers in Liver and Gills of Juvenile Solea senegalensis Exposed to Contaminated Estuarine Sediment: A Weighted Indices Approach. Aquatic Toxicology 92: 202–212 El-Ghazali, N.A, Abdel-Aziz, E, Dohaish,E.A.B. 2006. Effect of Pollutants in Coastal Water of Jeddah on The Histological Structure of Gills and Intestine of Fish Siganus rivulatus (Forskal) Saudi Arabia. Egyptian Journal of Aquatic Research Vol. 32 N. 1, 2 : 298-315 Gunradi, R. dan S. J. Suprapto, 2007. Penelitian Endapan Lumpur di Daerah Porong Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur. Proceeding Pemaparan Hasil Kegiatan Lapangan dan Non Lapangan Pusat Sumber Daya Geologi Hidayati, N, 2010. Studi Histopatologi Insang Ikan Belanak (Mugil cephalus) di Muara Sungai Aloo Sidoarjo. Tugas Akhir. Prodi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember: Surabaya Laksman, H. T. 2003. Kamus Kedokteran. Djambatan: Jakarta Ogbonna, J dan Chinomso, A.A. 2010. Determination of the Concentration of Ammonia Could Have Lethal Effect on Fish Pond. ARPN J. Engineer. Appl. Sci. pp 1-4 Pantung, N, Helander, K.G, Helander, F.B, Cheevaporn, V. 2008.” Histopatological Alterations of Hybrid Walking Catfish (Clarias macrocephalus x Clarias gariepinus) in Acute and Subacute Cadmium Exposure. Environment Asia 1: 22-27 Riche, M and Garling, D. 2003. Feeding Tilapia in Intensive Recirculating Systems. North Central Regional Aquaculture Center Fact Sheet Series #114 Robert, R.J.Fish Pathology 2nd Edition. Bailliere Tindall: England Robbins, S.L, Ramzi, S.C, V. Kumar. 1995. Pocket Companion to Pathologic Basic of Disease. W. B Saunders Company: Philadelphia Setyowati, A, Hidayati, D, P.D.N, Awik, dan Abdulghani, N. 2010. Studi Histopatologi Hati Ikan Belanak (Mugil cephalus) di Muara Sungai Aloo Sidoarjo. Tugas Akhir. Program Studi Biologi, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember: Surabaya Takashima, F. and T. Hibiya (1995). An Atlas of Fish Histology. Normal and pathogical features; 2 nd Ed. Kodansha Ltd: Tokyo Thophon S, Kruatrachue M, Upatham ES, Pokethitiyook P, Sahaphong S, Jaritkhuan, S.2003. Histopathological Alterations of White Seabass, Lates calcarifer, in Acute and Subchronic Cadmium Exposure. Environmental Pollution 121:307–320 Zahri, A. 2005. Pengaruh Alkyl Benzena Sulfonate (LAS) Terhadap Tingkat Mortalitas dan Kerusakan Jaringan Insang pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Program Studi Teknologi Budidaya Perairan Politeknik Perikanan Negeri Tual: Maluku Tenggara