Jurnal Medika Veterinaria ISSN : 0853-1943 Vol. 8 No. 1, Februari 2014 GAMBARAN PERILAKU DAN INSANG IKAN NILA (OREOCHROMIS NILOTICUS) YANG MENGALAMI STRES KEPADATAN Behavior and Gill profile of Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) Induced by Density stress Dwinna Aliza1 1 Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh E-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran perilaku dan insang ikan nila (Oreochromis niloticus) yang mengalami stres kepadatan. Sebanyak 50 ekor ikan nila jantan berumur 2-3 bulan dengan berat badan 80-100 g dibagi atas 4 kelompok. Kelompok I adalah perlakuan kontrol terdiri atas 5 ekor ikan, kelompok II, III, dan IV masing-masing terdiri atas 10, 15, dan 20 ekor ikan. Perlakuan dilakukan selama 24 jam dan perubahan perilaku diamati setiap3 jam. Insang sampel diamati secara patologi anatomi kemudian diambil dan difiksasi dalam larutan Davidson 10% dilanjutkan dengan pembuatan sediaan histopatologi menggunakan pewarnaan haematoksilin dan eosin (HE). Pengamatan histopatologi dilakukan dengan mikroskop cahaya biokuler, kemudian dilakukan pemotretan dengan fotomikrograf. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Perubahan perilaku berupa pergerakan mengambil udara ke permukaan dan gerakan operkulum yang cepat teramati lebih awal dibandingkan pergerakan pasif dan menurunnya refleks pada ikan nila kelompok II, III, dan IV. Pada pemeriksaan patologi anatomi insang ikan nila didapati perubahan berupa perubahan warna insang menjadi kecoklatan, lembar insang tidak terstruktur, dan sekresi cairan mukus yang berlebihan. Sementara hasil pemeriksaan histopatologi insang ditemukan hematom, nekrosis, hiperplasia lamela primer dan sekunder, serta fusi lamela. ____________________________________________________________________________________________________________________ Kata kunci: histopatologi, ikan nila, insang, stres kepadatan ABSTRACT The aim of this research was to observe behavior and gill profile of nile tilaphia (Oreochromis niloticus) induced by density stress. A total of 50 nile tilapia fish with the age of 3-8 months and 80-100 bwwere divided into 4 groups. Group I was control group contained 5 fish, group II, III, and IV contained 10, 15, and 20 fish, respectively. Treatment was performed for 24 hours, and fish behavior was observed every 3 hours. Gill sample was examined by anatomical pathology then tissue samples were collected and fixed in 10% Davidson solution, routinely processed, embedded in paraffin, sectioned at 5 microns, stained with hematoxylin and eosin (H&E), and examined by light microscopy. The data was analyzed descriptively. Behavior changessuch as swim up to water surface and rapid movement of operculum occur earlier than passive movement and decreased reflex of fish on group II, III, and IV. The anatomical pathology of nile tilapia gills observed were darker colour of gills, gill rott, and over mucus.Histopathological result showed that haematoma, necrosis, hyperplasia of primary and secondary lamella, and fusion lamella were observed in gills of nile tilapia induced by density stress. ____________________________________________________________________________________________________________________ Key words: histopathology, nile tilapia, gill, density stress PENDAHULUAN Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan spesies yang berasal dari kawasan sungai Nil dan danau-danau sekitarnya di Afrika. Bentuk tubuh memanjang, pipih kesamping, dan warna putih kehitaman. Saat ini, ikan nila telah tersebar ke negara beriklim tropis dan subtropis, sedangkan pada wilayah beriklim dingin tidak dapat hidup dengan baik (Kemal, 2000). Kepadatan ikan dalam kolam akan mempengaruhi aspek morfologis ikan dan lingkungan. Pada budidaya ikan, padat penebaran dapat mempengaruhi kadar oksigen terlarut dan karbon dioksida bebas. Oksigen sebagai bahan pernapasan dibutuhkan oleh sel untuk berbagai reaksi metabolisme. Berkurangnya oksigen terlarut dalam perairan akan mempengaruhi fisiologi respirasi ikan dan dapat menyebabkan stress (Kieffer, 2000). Kepadatan populasi ikan dalam satu wadah pemeliharaan merupakan permasalahan yang sering dihadapi baik dalam budidaya maupun transportasi ikan (Portz et al., 2006). Kondisi ini berefek kepada stres, menurunnya sistem imun, menghambat pertumbuhan, perubahan perilaku berenang, gangguan reproduksi bahkan kematian (Barton dan Iwama, 1991; Barton, 2002). 80 Respons terhadap stres pada ikan teleos terbagi tiga yaitu primer, sekunder, dan pada beberapa kasus bersifat tersier. Pada stres respon primer menyebabkan dilepaskannya hormon katekolamin seperti epinephrine dan norepinephrine ke dalam sistem sirkulasi oleh selsel chromaffin. Respons stres ini juga menstimulasi hypothalamic-pituitary-interrenal (HPI) untuk melepaskan kortikosteroid (kortisol) dari jaringan interrenal (Cook et al., 2011).Tingginya hormon katekolamin dan kortisol dalam sirkulasi akan memicu respon sekunder yang melibatkan metabolisme fisiologi. Kedua fase tersebut bersifat adaptif yaitu ikan mampu menyesuaikan dirinya terhadap stresor dan mampu mempertahankan homeostasis. Sebaliknya respons tersier melibatkan perubahan sistemik yang menyebabkan ikan tidak dapat beradaptasi terhadap stresor, bahkan menyebabkan beberapa gangguan kesehatan seperti gangguan pertumbuhan, perubahan performan, gangguan reproduksi, dan perubahan perilaku (Barton, 2002). Perubahan perilaku ikan dapat berupa cepatnya gerakan operkulum, ikan mengambil udara dipermukaan air, dan ikan menjadi tidak aktif (Brick dan Cech, 2002). Beberapa respons stres pada ikan dapat dideteksi awal melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku, pemeriksaan patologi anatomi, dan histopatologi dari Jurnal Medika Veterinaria beberapa organ atau jaringan seperti insang, hati, kulit, dan traktus urogenital (Harper dan Wolf, 2009). Insang terdiri atas lembar-lembar insang, setiap lembar insang terdiri atas sepasang filamen dan tiap filamen tersusun atas lamela-lamela sebagai tempat pertukaran gas. Faktor yang menyebabkan respons patologi ikan adalah jumlah oksigen di dalam air yang rendah dan merangsang terjadinya iritan. Akibatnya akan berdampak pada kerusakan sel-sel insang diantaranya udema, hiperplasia, dan fusi sel (Roberts, 2001). MATERI DAN METODE Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah lima puluh ekor ikan nila yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan berkisar antara 80-100 gram yang berasal dari Balai Pembibitan dan Budidaya Benih Ikan Kota Jantho, Aceh Besar. Ikan dimasukkan ke dalam wadah pemeliharaan dan diadaptasikan selama 7 hari. Pemeliharaan ikan menggunakan sistem air tetap (tidak mengalir) dan diberikan pakan sesuai dengan pemberian pakan di Balai Pembibitan dan Budidaya Benih Ikan Kota Jantho baik jenis pakan maupun waktu dan cara pemberian pakan. Kemudian sampel ikan nila dibagi atas 4 kelompok perlakuan. Kelompok I adalah kontrol yang terdiri atas 5 ekor ikan, kelompok II, III, dan IV masing-masing terdiri atas 10, 15, dan 20 ekor ikan. Perlakuan dilakukan selama 24 jam pada akuarium yang berukuran 70x60x50 cm dan ketinggian air 30 cm. Perilaku ikan berupa berenang ke permukaan air, pergerakan operkulum, pergerakan pasif, dan refleks menurun diamati setiap tiga jam sekali. Insang ikan diperiksa secara patologi anatomi, kemudian ikan dieutanasi menggunakan kloroform sebelum dilakukan nekropsi untuk pengambilan organ insang. Nekropsi dilakukan dengan membelah bagian mulut ikan sampai daerah bawah operkulum menggunakan gunting (sharp-blunt), lalu organ insang ditarik secara perlahan keluar dari rongga kepala. Organ insang ditrimming lalu difiksasi dalam larutan Davidson 10% selama 48 jam, didehidrasi dengan aseton selama 1 jam, diclearing dalam xilol selama 1 jam, infiltrasi menggunakan parafin selama 30 menit dan diembedding dalam parafin pada suhu kamar. Selanjutnya preparat dipotong dengan menggunakan microtome rotary dengan ketebalan 5 µm. Slide histologi diwarnai dengan pewarnaan haematoksilin eosin (HE) sebelum diamati di bawah mikroskop dan difoto menggunakan photo micrograph. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengamatan terhadap perilaku ikan nila dijumpai perubahan perilaku ikan berupa pergerakan ikan yang berenang ke permukaan untuk mengambil oksigen disertai dengan gerakan operkulum yang lebih cepat, refleks ikan menurun, dan pergerakan menjadi pasif pada semua kelompok perlakuan kecuali kontrol. Pergerakan ikan berenang ke permukaan air disertai gerakan operkulum menjadi lebih cepat teramati pada 3 jam pertama pada kelompok IV, setelah 9 jam pada Dwinna Aliza kelompok III, dan di atas 12 jam pada kelompok II. Pergerakan pasif dan menurunnya refleks terjadi setelah 6 jam perlakuan pada kelompok IV, setelah 12 jam pada kelompok III, dan setelah 18 jam pada kelompok II. Waktu terjadinya perubahan perilaku ikan nila tersebut terjadi seiring dengan semakin padatnya populasi ikan dalam satu akuarium. Perubahan perilaku yang teramati pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Reebs (2009) yaitu ikan yang mengalami kekurangan oksigen akan mempercepat pergerakan operkulumnya disertai dengan pergerakan mengambil udara di permukaan air dan pergerakan ikan menjadi pasif. Rendahnya oksigen dalam air akan berdampak pada konsumsi oksigen pada ikan. Operkulum akan bekerja lebih maksimaluntuk memompakan air lebih cepat ke dalam permukaan insang untuk mempertahankan gradien pernafasan (Fujaya, 2008). Hasil pengamatan terhadap patologi anatomi insang ikan nila pada seluruh perlakuan ditemukan perubahan warna menjadi kecoklatan, struktur, dan cairan mukus berlebih pada insang, seperti tersaji dalam Tabel 1. Pada kelompok perlakuan II, III, dan IV warna insang lebih gelap dibandingkan dengan kelompok kontrol (I). Hal ini diduga telah terjadi nekrosis dan hemoragi pada lamela primer dan sekunder. Menurut Love dan Rees (2002) perubahan yang terjadi akibat rendahnya kadar oksigen sehingga sel-sel pada lamela tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, sementara jantung terus memompakan darah ke insang dan memicu terjadinya nekrosis mengakibatkan darah keluar dari jaringan. Paterson et al. (2003) juga menambahkan bahwa tingginya jumlah sel darah dalam insang akan memengaruhi warna insang. Tabel 1. Perubahan patologi anatomi yang terjadi pada insang ikan nila yang mengalami stres kepadatan Sekresi Kelompok Warna insang Struktur mukus I Merah Terstruktur Baik II Merah gelap Tidak Terstruktur Berlebihan III Merah gelap Tidak Terstruktur Berlebihan IV Merah gelap Tidak Terstruktur Berlebihan Kerusakan struktur terjadi akibat arus yang berlawanan pada insang untuk proses penyaringan dan pengambilan oksigen oleh lembar insang terlalu tinggi. Proses lawan arus (counter curent) adalah proses untuk menangkap oksigen dari air yang mengalir di atas permukaan lamela yang berlawan dengan aliran darah setelah air dipompakan masuk ke dalam insang (Evans et al., 1999). Tingginya jumlah populasi pada wadah pemeliharaan akan memengaruhi perubahan pada lingkungan seperti kelarutan oksigen dan kimia dalam air. Menurut Portz et al. (2006), padat tebaran ikan akan mengakibatkan tingginya kadar nitrogen dalam air, hal ini akan menyebabkan ikan akan mempertahankan diri dari lingkungan dengan mensekresikan sel mukus pada insang. Keadaan lingkungan yang berbeda dengan habitat biasanya akan merangsang sekresi mukus pada insang (Cinar, 2008). 81 Jurnal Medika Veterinaria Hasil pengamatan secara mikroskopis terhadap insang ditemukan perubahan histopatologi berupa hematom, nekrosis, hiperplasia lamela primer dan sekunder, dan fusi lamela sekunder. Semua perubahan histopatologis tersebut teramati pada perlakuan II, III, dan IV. Hematom adalah pembengkakan yang terjadi akibat pecahnya pembuluh darah kecil yang diakibatkan oleh suatu trauma/benturan (Roberts, 2001). Diduga kejadian hematom (Gambar 1) pada penelitian ini terjadi akibat benturan ikan dengan akuarium dan ikan nila yang saling berkelahi. Nekrosis merupakan kematian satu atau lebih sel dari suatu organ yang dihasilkan dari kerusakan ireversibel (Anonimous, 2009). Nekrosis sel-sel insang (Gambar 1) terjadi akibat kurangnya darah atau tidak adanya darah yang mengalir ke jaringan. Apabila sel-sel darah yang membawa oksigen ke dalam jaringan tidak mencukupi maka akan mendorong terjadinya hipoksia (Harper dan Jeffrey, 2008). Menurut Pichavant et al. (2001), hipoksia dapat mengakibatkan terjadinya keadaan patologis diantaranya nekrosis, hiperplasia, hiperemi, dan hipertropi. Sel yang mengalami nekrosis akan lepas dari membran dan mendorong terjadinya proliferasi sel-sel untuk pergantian sel yang baru. Proliferasi dapat terganggu akibat keadaan lingkungan tidak baik dan menyebabkan kerusakan patologis pada insang (Evans et al., 1999). Vol. 8 No. 1, Februari 2014 sehingga terjadi hiperplasia. Pada lamela sekunder, hiperplasia terjadi akibat adanya pembelahan sel epitel yang berlebihan,sedangkan pada lamela primer disebabkan oleh pembelahan sel chloride secara berlebihan Roberts (2001). Hiperplasia berat teramati pada kelompok perlakuan II dan III dan menyebabkan terjadinya fusi lamela (Gambar 2). Fusi pada lamela terjadi karena proliferasi pada sel epitel lamela sekunder, sehingga jarak antar lamela sekunder memendek dan akhirnya melebur. Fusi lamela yang terjadi pada kelompok perlakuan II masih bersifat ringan, artinya hanya ditemukan dibeberapa tempat dari lamela sekunder. Sementara pada kelompok III fusi lamela yang ditemukan bersifat komplit yaitu terjadi penyatuan lamela sekunder secara menyeluruh sepanjang lamela primer. Gambar 2. Gambaran histopatologi insang ikan nila yang mengalami (A). hiperplasia primer (a) dan sekunder (b) dan (B). fusi lamela. Menurut Widayati (2008), semakin meningkatnya jumlah kejadian hiperplasia lamela sekunder, maka semakin meningkat jumlah fusi lamela insang yang ditemukan. Kejadian ini didukung oleh penelitian yang telah dilakukan Benli dan Ozkul, (2008) dan Evans et al. (1999), bahwa kejadian fusi lamela merupakan level kerusakan cukup parah, karena fusi lamela merupakan kerusakan tahap lanjutan dari kerusakan hiperplasia. Gambar 1. Hematom (panah) dan nekrosis (kurung kurawal) pada insang ikan nila yang mengalami stres kepadatan KESIMPULAN Proliferasi yang berlebihan menyebabkan pembelahan sel (terutama pada sel-sel yang mampu membelah dengan cepat) menjadi tidak terkontrol Gambaran perilaku ikan nila yang mengalami stres kepadatan adalah berenang ke permukaan untuk mengambil oksigen disertai cepatnya pergerakan operkulum, pergerakan menjadi pasif, dan refleks ikan 82 Jurnal Medika Veterinaria menurun. Secara patologi anatomi teramati insang yang kecoklatan, tidak terstruktur, dan sekresi mukus yang berlebihan, sedangkan pada pemeriksaan histopatologi ditemukan hematom, nekrosa, hiperplasia lamela primer dan sekunder, serta fusi lamela. DAFTAR PUSTAKA Barton, B.A. 2002. Stress in fishes: A diversity of responses with particular reference to changes in circulating corticosteroids. Integ Comp Biol. 42:517-525. Barton, B.A. and G.K. Iwama.1991.Physiological changes in fish from stress in aquaculture with emphasis on the response and effects of corticosteroids. Annu. Rev. Fish. Dis.1:13-26. Benli. A.C.K. and A. Ozkul. 2008. Sublethal Ammonia Exposure Of Nile tilapia (Oreochromis niloticus) Effect On Gill, Liver, And Kidney. Pesticide Biochemistry and Physiology, Chemosphere. Brick, M.E. and J.J. Cech. 2002. Metabolic responses of juvenile striped bass to exercise and handling stress with various recovery environments. Trans. Am. Fish. Soc. 131:855-864. Cinar, K. 2008. The histology and histochemical aspects of gills of the flower fish Pseudophoxinus antalyae. Vet. Res. Commun. Department of Biology, Faculty of Science and Art Süleyman Demirel University. Isparta, Turkey. Cook, K.V., C.M. O’Connor, K.M. Gilmour, and S.J. Cooke. 2011. The glucocorticoid stress response is repeatable between years in a wild teleost fish. J Comp Physiol A. 197:1189-1196. Dwinna Aliza Evans, D., P.M. Piermarini, and W.T.W. Potts. 1999. Ionic transport in the fish gill epithelium. J Eperimental Zoology. 283:641652. Fujaya, Y. 2008. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Rineka Zipta, Jakarta. Harper, G. and w. Jeffrey. 2008. Morphologic effects of the stress response in fish. ILAR Journal. 50(4):387-396. Kieffer, J.D. 2000. Limits to exhaustive exercise in fish. Comp Biochem Physiol A. 126:161-179. Love, J.W. and B.B. Rees. 2002. Seasonal difference in hypoxia tolerance in gulf killifish, Fundulus grandis (Fundulidae). Environ Bio Fish. 63:103-115. Paterson, B.D., M.A. Rimmer, G.M. Meikle, and G.L. Semmens. 2003. Physiological responses of the Asian sea bass, Lates calcarifer, to water quality deterioration during simulated live transport: acidosis, red-cell swelling, and levels of ions and ammonia in the plasma. Aquaculture 218:717-728. Pichavant, K., J. Person-Le-Ruyet, N. Le Banyon, A. Severe, A. Le Roux, and G. Boeuf. 2001. Comparative effect of long-term hypoxia on growth, feeding and oxygen consumption in juvenile turbot and European sea bass. J Fish Biol. 59:875-883. Portz, D.E., C.M. Woodley, and J.J.J. Chech 2006. Stress-associated impacts of short-term holding on fishes. Rev. Fish. Biol. Fisheries. 16:125-170. Roberts, R.J. 2001. Fish Pathology. 3th ed. WB Saunders, Toronto. Widayati, E.D. 2008. Studi Histopatologi Insang Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) pada Konsentrasi Sublethal Air Lumpur Sidoarjo. Skripsi. Fakultas MIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. 83