CIFOR and The East-West Center Pembelajaran Sosial Dalam Pengelolaan Hutan Komunitas Editor Eva Wollenberg David Edmunds Louise Buck Jeff Fox Sonja Brodt ii Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas Pembelajaran Sosial Dalam Pengelolaan Hutan Komunitas/editor Eva Wollenberg, David Edmunds, Louise Buck, Jeff Fox, Sonja Brodt; penerjemah: Aisyah E. Sileuw dan Editor: Suporahardjo. Judul Asli: Social Learning In Community Forest, Eva Wollenberg, David Edmunds, Louise Buck, Jeff Fox,Sonja Brodt editors, CIFOR and The East-West Center. Copyright@2001 Eva Wollenberg, David Edmunds, Louise Buck, Jeff Fox,Sonja Brodt editors. Published by CIFOR, printed by SMK Grafika Desa Putera, Indonesia Edisi pertama: November 2005 Desain sampul dan lay-out: Agus Sumarno Diterbitkan pertama kali ke dalam bahasa Indonesia oleh Pustaka LATIN kerjasama dengan CIFOR atas bantuan dana dari MFP dan IDRC LATIN Jl. Sutera No. 21 Desa Situ Gede, Bogor Barat 16115 Telp. 0251 - 420523 - 24 Fax: 0251-626593 Email: [email protected] Websites: www.latin.or.id Percetakan Mukti Utama Kebayoran Baru, Jakarta CIFOR PO. Box 6596 JKPWB, Jakarta 10065, Indonesia Jl. Cifor, Situ Gede, Sindang Barang Bogor Barat 16680, Indonesia Telp: 62-251-622622 Fax: 62-251-622100 Email: [email protected] Situs: http:/www.cifor.cgiar.org Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Wollenberg, Eva et al Pembelajaran Sosial Dalam Pengelolaan Hutan Komunitas/ David Edmunds, Louise Buck, [et al]. Cet. 1. - - Bogor : Pustaka Latin, 2005 264 hlm.: ill; 13x21 cm ISBN : 979 - 25 - 0785 - X 1. Judul II. Buck, Louise I. Edmunds, David K PENGANTAR iii etika membaca tulisan-tulisan dari buku ini, saya seperti membaca berbagai persoalan dan tantangan yang sedang kita hadapi dalam mengembangkan program pengelolaan hutan komunitas yang selama ini terjadi di Indonesia. Pada waktu itu pernah kami diskusikan mengapa buku ini tidak dijadikan bacaan wajib buat kawan-kawan dari kalangan LSM, perguruan tinggi dan penentu kebijakan di Indonesia. Permasalahannya adalah buku aslinya “pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas” ini berbahasa Inggris, sehingga tidak banyak pihak yang dapat akses untuk mempelajari buku ini. Inilah salah satu alasan mengapa LATIN tertarik untuk menerjemahkan dan menerbitkan buku ini. Selain itu, tujuan dari buku ini seperti yang diungkapkan baik dalam pengantar maupun bab pendahuluannya sangat searah dengan misi yang sedang diperjuangkan LATIN, yaitu: mewujudkan “good forest governance” di tingkat kabupaten melalui praktekpraktek manajemen kolaborasi di kawasan konservasi dan kawasan hutan produksi. Pertama, bahwa isi dari buku ini banyak menampilkan pandangan-pandangan tentang peran pembelajaran dalam pendekatan-pendekatan kolaboratif; kedua, bahwa yang dibahas buku ini berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan kunci seperti “bagaimana harus mendorong pembelajaran bersama yang meningkatkan kolaborasi dalam pengelolaan hutan?” dan “bagaimana kelembagaan dan kesepakatan kolaboratif dapat dirancang untuk meningkatkan pembelajaran bersama dalam pengelolaan hutan?”. Melalui buku ini diharapkan dapat mempertajam cara pandang dan refleksi kita dalam melihat kerja-kerja kolaborasi yang telah dilaksanakan selama ini. Dari sini kita akan memperoleh banyak pelajaran tentang bagaimana fasilitasi dan platform dapat mendukung kerja-kerja kolaborasi dalam pengelolaan hutan komunitas, bagaimana pola-pola pembelajaran dipraktekkan dan bagaimana seharusnya memperbaharui metode-metode yang kita gunakan untuk mendukung pembelajaran bersama secara kelembagaan iv Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas antara stakehoder yang terlibat kerja kolaborasi. Dengan belajar dari konseptualisasi pengalaman dari berbagai kasus yang terjadi di beberapa negara Asia, Afrika dan Kanada tersebut, juga diharapkan akan memberikan “tambahan energi” kepada perjuangan para penggiat “pengelolaan hutan komunitas” di Indonesia, karena dalam beberapa tahun terakhir kebijakan pemerintah yang mendukung penguatan kelembagaan pengelolaan hutan komunitas secara kolaboratif semakin menurun dan menunjukkan kehilangan arah. Mengapa kata “community forest” diterjemahkan mejadi “hutan komunitas”, di sini ingin menunjukkan bahwa kata “komunitas” lebih memberikan makna tentang pentingnya memberikan kedaulatan dan kewenangan yang lebih besar kepada masyarakat lokal untuk akses terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. Dan itulah tantangan nyata yang dihadapi di lapangan dalam memperkuat praktek kolaborasi dan kebijakan pengelolaan hutan yang berbasis komunitas. Bogor, 22 Oktober 2005. Suporahardjo Editor edisi bahasa Indonesia Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) B Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas KATA PENGANTAR v ab-bab dalam volume ini dihasilkan pada lokakarya penulis yang berjudul Berbagi Inovasi: Metode-metode untuk pengelolaan hutan komunitas oleh multipihak. East West Center menjadi tuan rumah dari Lokakarya ini yang diselenggarakan di Hawaii pada 26 Juli hingga 28 Augustus 1999. Lokakarya yang dirancang dan didukung melalui Center for International Forestry Research (CIFOR) ini mengundang praktisi profesional dalam bidang community forestry untuk mengartikulasikan pengalaman mereka dalam pendekatan-pendekatan kolaboratif pada pengelolaan hutan dan hubungan mereka dengan pembelajaran sosial. CIFOR menginisiasi lokakarya tersebut sebagai bagian dari sebuah proyek yang lebih besar mengenai Pengembangan Ruang bagi Pengelolaan Hutan Lokal, yang dikoordinasikan oleh David Edmunds dan Eva Wollenberg. Proyek ini bertujuan untuk menilai dampak kebijakan devolusi hutan, yang juga menunjukkan arahan pada dukungan masa depan untuk pengelolaan hutan lokal. Salah satu observasi kami dalam pekerjaan ini adalah bahwa pengelolaan hutan lokal membutuhkan kolaborasi di antara kelompok-kelompok yang berbeda untuk bertukar pandangan dan informasi dan juga untuk beradaptasi dengan perubahan kondisi. Oleh karenanya, kami tertarik untuk mendokumentasikan pendekatan-pendekatan inovatif yang mendorong pembelajaran di antara multistakeholder. Hingga akhirnya, Eva Wollenberg dan David Edmunds menyelenggarakan kompetisi global untuk mengidentifikasi orang-orang dengan pengalaman dalam pembelajaran sosial, yang bisa datang bersama-sama selama empat minggu untuk bertukar pengalaman, pemikiranpemikiran terkini mengenai pembelajaran sosial dan mendokumentasikan pandangan mereka. Kami mengkompilasi sejumlah bacaan mengenai pembelajaran sosial dan kolaborasi stakeholder sebagai bahan latar belakang yang kemudian didistribusikan kepada peserta terpilih. Kami menyeleksi sembilan peserta melalui kompetisi. Para pelamar tersebut mewakili organisasi pemerintah dan non-pemerintah, universitas dan lembaga-lembaga penelitian. Meskipun kami ber- vi Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas tujuan untuk menarik para peserta dari latar belakang geografi yang berbeda, penulis studi kasus sebagian besar berasal dari Afrika dan Asia. Semuanya aktif dalam pengelolaan sumberdaya alam dan program-program yang berhubungan dengan konservasi. Peserta terpilih adalah mereka yang tampak mampu menawarkan pandanganpandangan tentang peran pembelajaran dalam pendekatan-pendekatan kolaboratif, bukan karena pengalaman mereka dalam community forestry yang sekedar menawarkan cerita-cerita keberhasilan melalui ukuran-ukuran konvensional. Oleh karenanya, lokakarya tersebut mengangkat isu-isu yang berhubungan dengan proses-proses pembelaharan ini yang didasarkan pada beragamnya derajat dan kualitas dari pembelajaran sosial. Lokakarya ini diselenggarakan di East West Center, di mana Jeff Fox dan Sonja Brodt membawa banyaknya pengalaman mereka dalam melaksanakan lokakarya penulisan dan penyuntingan. Sesisesi lokakarya meliputi diskusi dan pertukaran beragam aspek dari pembelajaran sosial, kolaborasi dan pengelolaan adaptif. Seminar mingguan dikerangkakan sekitar bacaan-bacaan yang dipilih, karena mewakili pikiran-pikiran terkini mengenai tema-tema kunci dari lokakarya tersebut. Sonja juga menyelenggarakan seminar tentang teknik penulisan. Louise Buck adalah seorang narasumber tematik selama lokakarya tersebut. Dia merancang seminar-seminar tematik dan memfasilitasi seminar tersebut untuk membantu peserta dalam menghubungkan praktek mereka dengan teori yang muncul melalui presentasi-presentasi ringkasan dan refleksi mengenai bacaanbacaan tersebut, dan juga melalui diskusi kelompok. Louise, David, Jeff dan Sonja bekerja erat sepanjang lokakarya untuk merancang program yang paling memenuhi kebutuhan para peserta. Dalam perkembangan lokakarya tersebut, para peserta ditantang untuk membagikan ide-ide mereka, karena ide-ide tersebut berkembang melalui format seminar. Setiap tulisan terbuka untuk input-input berkala dari kelompok itu. Perbedaan pendapat yang menyangkut interpretasi dari konsep-konsep atau kejadian tertentu kadang-kadang membuat marah. Sering perbedaan ini berhubungan dengan perspektif yang berakar pada budaya atau iklim politik untuk pengelolaan hutan. Akhirnya, sebagian besar perbedaan tersebut Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas vii dinegosiasikan menjadi penghargaan umum untuk dasar kontekstual dari jalan buntu tersebut. Disyaratkan adanya fasilitasi dan waktu untuk mencapai pemahaman sedemikian, dan para peserta menunjukkan kesabaran yang luar biasa, keingintahuan dan keinginan berhasil sebagai satu kelompok. Akhirnya, kami semua bisa memahami bahwa membentuk tulisan-tulisan tersebut merupakan bentuk dari pembelajaran sosial, yang memberikan keuntungan pada masing-masing tulisan sekaligus juga meningkatkan gambaran kelompok terhadap konsep-konsep utama. Selain kegiatan kelompok, para peserta dipasangkan dengan seorang penasihat yang memberikan bantuan harian dalam tugastugas mengkonseptualisasi dan menyusun tulisan. Sonja Brodt, Louise Buck, David Edmunds, dan Jeff Fox bekerja dengan masingmasing penulis satu per satu beberapa kali dalam seminggu untuk menghasilkan tulisan-tulisan mereka. Eva memberikan komentar pada tulisan dari Bogor. Louise, Eva dan David menulis artikel pengantar sebagai sintesis dari poin-poin utama yang muncul dari lokakarya dan tulisan-tulisan tersebut. Tulisan-tulisan ini kemudian diedit, pertama oleh Sonja untuk bahasa Inggris-nya, kemudian oleh Eva untuk isinya dan akhirnya oleh para penulisnya sendiri untuk mereview perubahan dan terakhir oleh Sally Wellesley untuk penyuntingan salinan. Eva, dengan bantuan dari Dina Hubudin dan Gideon Suharyanto, kemudian mengkoordinasikan review oleh Bruce Campbell dan Niels Röling, revisi akhir dan publikasi. Hasil dari usaha tim yang kreatif ini adalah satu set yang terdiri dari 10 tulisan yang agak berbeda dari prosiding pada umumnya. Tulisan-tulisan ini mencerminkan pengembangan bersama dari pikiran-pikiran dari empat belas rekan-rekan. Mereka berusaha sangat keras untuk menghubungkan praktek dengan konsep dan dengan melakukan ini secara teliti meletakkan kerangka kerja yang muncul untuk pembelajaran sosial dengan pengalaman empiris. Mereka bergeser di luar retorika dan ingin membagikan pandangan-pandangan praktis. Kami menyadari bahwa proyek ini menjadi inspirasi untuk metode-metode yang disarankan, dan juga untuk pembelajaran yang membuat kita terus-menerus maju. Editor viii Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas DAFTAR ISI ix Pengantar -Edisi Bahasa Indonesia....................................................... iii -Edisi Bahasa Inggris............................................................ v Daftar Isi...................................................................................... ix Daftar Gambar............................................................................... xi Daftar Tabel dan Kotak..................................................................xiii Kontributor...................................................................................ivx Ucapan Terimakasih...................................................................... xix Bab 1............................................................................................1 PEMBELAJARAN SOSIAL DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF HUTAN KOMUNITAS: Pelajaran Dari Lapangan Louise E.Buck, Eva Wollenberg and David Edmunds Bab 2..........................................................................................29 MEMFASILITASI KEMITRAAN YANG LAYAK DALAM PENGELOLAAN HUTAN KOMUNITAS DI KAMERUN: Kasus Kawasan Hutan Pegunungan Kilum-Ijim Christian A. Asanga Bab 3..........................................................................................61 PLATFORM-PLATFORM PEMBELAJARAN: PENGALAMAN PEMBELAJARAN ADAPTIF PADA PROGRAM HUTAN KOMUNITAS DI NEPAL Ghanendra Kafle Bab 4..........................................................................................85 SEVA MANDIR: SEBUAH ORGANISASI YANG BELAJAR Rukmini Datta Bab 5.........................................................................................105 KOLABORASI KELEMBAGAAN DAN SHARED LEARNING UNTUK PENGELOLAAN HUTAN DI DISTRIK CHIVI, ZIMBABWE Nontokozo Nemarundwe x Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas Bab 6.........................................................................................139 PEMIKIRAN KEMBALI TENTANG KONSENSUS DALAM PLURALISME: Belajar Dari Pengelolaan Hutan Berbasis Komunitas Di Yunnan, Cina Cao Guangxia dan Zhang Lianmin Bab 7.........................................................................................161 DONOR EKSTERNAL DAN PENGELOLAAN HUTAN MGORI BERBASIS KOMUNITAS, TANZANIA: Apa Yang Terjadi Ketika Donor Pergi? Edward Massawe Bab 8.........................................................................................191 HUTAN MODEL: PENDEKATAN BERBASIS KEMITRAAN UNTUK PENGELOLAAN LANSKAP Ron D. Ayling Bab 9.........................................................................................217 BELAJAR BAGAIMANA UNTUK MENDELEGASIKAN: PROYEK PERHUTANAN SOSIAL, MALAKAND, PROPINSI FRONTIER NORTH-WEST, PAKISTAN Haider Ali Khan Bab 10.......................................................................................139 MELAMPAUI KEBERHASILAN RETORIKAL: MEMAJUKAN POTENSI PROGRAM HUTAN KOMUNITAS DI NEPAL UNTUK MENGATASI MASALAH KESETARAAN Bishnu Upreti DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 5.1 Gambar 5.2 Gambar 5.3 Gambar 5.4 Gambar 5.5 Gambar 6.1 Gambar 6.2 Gambar 6.3 Gambar 7.1 Gambar 7.2 Gambar 7.3 xi Kawasan hutan Kilum-Iljim, Propinsi Utara-Barat, Kamerun................................................................35 Anggota masyarakat dari salah satu desa yang dekat dengan hutan (Simonkoh) sedang melaksanakan penelusuran api di sepanjang batas hutan mereka...... 38 Latihan timeline sedang diselenggarakan dengan para laki-laki di masyarakat Mboh.................................... 40 Siklus belajar pengalaman NUKCFP............................66 Lokasi-lokasi proyek................................................69 Para perempuan terlibat dalam diskusi tentang kebutuhan dan indikator-indikator hutan di masa depan ............................................................................ 70 Posisi Rajasthan di India dan posisi Udaipur di Rajasthan Paraworkers yang sedang memfasilitasi penanaman pohon....................................................................90 Pelatihan untuk para perempuan desa....................... 92 Lokasi daerah catchment (“tangkapan”) Romwe di Zimbabwe..............................................................99 Kerangka kerja kelembagaan untuk pengelolaan lahan hutan di daerah catchment Romwe..........................115 Gully yang rusak yang siap direklamasi....................130 Rumput yang diberikan setelah kunjungan ke proyek Kuturaya..............................................................131 Percobaan untuk mereklamasi gully dengan rumput vetiver ................................................................................ 131 Lokasi dari tiga wilayah di Propinsi Yunnan, China..... 145 Hutan desa memenuhi berbagai kebutuhan penduduk desa....................................................................148 Tempat sembahyang lokal di bawah bukit divine di desa Tangdui.................................................... 152 Lokasi Hutan Mgori di wilayah Singida..................... 166 Tanda batas antara dua desa – Nduamughanga dan Mughunga............................................................171 Pertemuan komite koordinasi hutan Mgori, termasuk penasihat teknis proyek......................................... 173 xii Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas Gambar 7.4 Patroli lokal dengan senjata tradisional mereka.........175 Gambar 8.2 Kemitraan merupakan asosiasi yang kaya dengan banyak Gambar 8.1 Gambar 8.3 Jaringan hutan model............................................ 195 kepribadian, dan merupakan hubungan yang dinamis dan berkembang (Hutan Model Cree Waswanipi)............. 203 Partisipasi publik dan berbagi informasi merupakan hal DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Tabel 5.1 yang penting pada sebuah hutan model yang efektif Tabel 6.1 Gambar 9.1 Tabel 9.1 Tabel 10.1 Gambar 9.2 Gambar 9.3 Gambar 9.4 Gambar 10.1 Gambar 10.2 Gambar 10.3 Gambar 10.4 (Hutan Model Western Newfoundland)..................... 205 Proyek Perhutanan Sosial di Lembaga Malakand....... 223 Perkebunan desa pada tanah perbukitan masyarakat .......................................................................... 224 Anggota WO juga berkontribusi dalam persiapan rencana pengelolaan desa.................................................. 227 Anggota VDC menyiapkan rencana pengelolaan desa Hutan yang dikelola rakyat: harapan untuk masa depan .......................................................................... 247 Anggota masyarakat sedang merencanakan kegiatan hutan komunitas...................................................250 Perempuan merupakan pengguna utama dari sumber daya hutan...........................................................252 Karakteristik dan faktor-faktor yang mempromosikan kolaborasi yang baik................................................75 Women”s ranking of importance of institutions operating in the Romwe catchment area ............................... 117 Informasi tentang lokasi, populasi dan hutan untuk tiga desa studi kasus di Propinsi Yunnan........................ 146 Tahap-tahap kesepakatan kemitraan........................227 Tinjauan mengenai kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan pada hutan komunitas di Nepal................245 DAFTAR KOTAK .......................................................................... 228 Lokasi kawasan penelitian...................................... 244 xiii Kotak 2.1 Kotak Kotak Kotak Kotak Kotak Kotak 3.1 4.1 4.2 5.1 5.2 7.1 Kotak 7.2 Kotak 8.1 Kotak 8.2 Bukti praktis dari tumpang tindih antara tujuan penggunaan oleh masyarakat dan tujuan konservasi pada kawasan Kilum-Ijim.........................................43 Appreciate inquiry: A forward-looking approach.......... 73 Desa Shyampira......................................................95 Kampung Nayakheda...............................................97 Kasus Bapak Jonasi Dube.......................................123 Keberhasilan dan tantangan dari proyek Kuturaya.....129 Memperbaiki pengelolaan kebakaran di Hutan Mgori .......................................................................... 177 Membangun forum untuk pengelolaan hutan berbasis komunitas di Tanzania........................................... 185 Pengembangan Dewan Perwakilan untuk Hutan Model Chihuahua, Meksiko...............................................204 Mencoba Kemitraan dalam membangun Hutan Model Gassinski, Rusia....................................................207 xiv Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas KONTRIBUTOR Peserta Workshop tentang “Sharing Innovation: Methods for Multiple stakeholder Management of Community Forest” di East-West, Honolulu, Hawai, tanggal 26 Juli – 20 Agustus 1999. Christian Asanga, adalah Menteri Senior pada Kementrian Lingkungan Hidup dan Counterpart Kehutanan serta Manajer Lokasi (Kilum) dari Proyek Hutan Kilum-Ijim di Kamerun. Dilahirkan pada tahun 1962 di Bambili, Propinsi North-West, Kamerun, Asanga mendapatkan Sarjana Kehutanan pada Universitas Wales di Bangor pada tahun 1988 dan MSc dalam Pengelolaan Sumberdaya pada Universitas Edinburgh pada tahun 1989. Sekembalinya ke Kamerun, beliau bekerja sebagai staf kehutanan senior di kantor Konservasi Hutan, Propinsi South-West di Kamerun selama dua tahun sebelum menempati posisinya yang sekarang dengan proyek Hutan Kilum-Ijim. Ron Ayling, adalah konsultan untuk pengelolaan sumberdaya terpadu, dengan fokus pada kehutanan dan agroforestri di negaranegara berkembang. Beliau adalah Sarjana Kehutanan dari Universitas Toronto, Canada dan Ph.D dari Universitar Nasional Australia di Canberra. Beliau telah bekerja selama lebih dari 20 tahun secara internasional dalam bidang kehutanan dan pembangunan pedesaan, termasuk 15 tahun dengan Pusat Penelitian Pembangunan Internasional Canada di Afrika Timur dan Afrika bagian Selatan, Asia Tenggara dan sebagian Amerika LATIN Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas xv Louise Buck, adalah Associate Senior untuk CIFOR, berbasis di Jurusan Sumberdaya Alam di Universitas Cornell, dan bergabung dengan Cornell International Institute for Food, Agriculture and Development. Minat penelitiannya adalah strategi-strategi pembelajaran partisipatif dan pembelajaran sosial untuk pengelolaan kawasan lindung dan agroforestri. Beliau memperoleh gelar Ph.D dalam Sumberdaya Alam dari Universitas Cornell dan memperoleh Masternya dalam Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam dari Universitas Negeri Colorado. Sebagian besar pekerjaannya dilakukan di Afrika Timur, Madagaskar dan Amerika Utara bagian timur laut (northeast). Cao Guangxia, adalah associate profesor pada Institut Masyarakat dan Lingkungan Hidup, Kolej Kehutanan Southwest. Beliau adalah sarjana Botani dan Master dalam bidang Ekologi dari Universitas Lanzhou. Beliau juga menerima sertifikat dalam bidang community forestry dari Pusat Regional untuk pelatihan community forestry di Bangkok pada tahun 1991. Beliau bekerja dengan isu-isu tentang pengelolaan adaptif, konflik, negosiasi, pembelajaran partisipatif dan pengembangan konsensus lokal dalam kehutanan masyarakat. Beliau juga bekerja sebagai fasilitator untuk mempromosikan proyek-proyek pengelolaan kolaboratif berbasis komunitas di Yunnan dan propinsi lain di Cina. Rukmini Datta, saat ini bekerja dengan program Dana Pembangunan Desa pada organisasi Seva Mandir, sebuah organisasi non-pemerintah yang bekerja untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di desa-desa adat di Udaipur, India. Beliau mendapatkan ijazah pasca sarjana dari Institute of Rural Management di Anand, India dan Sarjana Sosiologi dari St.Xavier’s College, Universitas Bombay, Mumbai. Beliau lahir pada tahun 1973. David Edmunds, adalah peneliti (yang disponsori oleh Yayasan Rockefeller) Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) di Bogor, Indonesia. Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama xvi Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas lima tahun beliau bekerja di Uganda, Benin, dan Republik Demokratic Congo (yang kemudian berubah nama menjadi Zaire) dalam bidang pengelolaan sumberdaya berbasis rakyat. Sekarang ini beliau sedang mengembangkan berbagai proyek yang berhubungan dengan negosiasi multistakeholder dan kebijakan devolusi. Ghanendra Kafle, adalah Penasehat Community Forestry pada Proyek Community Forestry Nepal/Inggris di Nepal. Beliau telah bekerja dalam bidang community forestry ini selama lebih dari satu dasawarsa, mengelola banyak proyek, memfasilitasi kolaborasi dalam community forestry dan membantu untuk menciptakan lingkungan atau situasi yang kondusif pada tingkat pelaksanaan dan kebijakan. Pengalaman kerjanya meliputi mengajar anak-anak sekolah menengah dan administrasi sekolah, survei sosial ekonomi dan kerja-kerja penelitian, action-research dan mengajar bahasa Nepal sebagai bahasa asing bagi orang-orang yang tidak berbicara bahasa Nepal. Haider Ali Khan, saat ini menjabat sebagai manajer organisasi pendukung yang bekerja sangat erat dengan Proyek Perhutanan Sosial di Malakand dan kota Dir di Propinsi Frontier North-West, Pakistan. Beliau memiliki kesarjanaan dan Master dalam bidang Kehutanan dari Universitas Peshawar (1978), dan menerima gelar Master dari Universitas Missouri, Amerika Serikat pada tahun 1991 dengan spesialisasi dalam bidang Perhutanan Sosial. Beliau memiliki banyak pengalaman di bidang perhutanan sosial, organisasi masyarakat dan perencanaan tata guna desa. Beliau adalah penulis tiga buku dan beberapa artikel yang berhubungan dalam bidang kehutanan. Nontokozo Nemarundwe (née Nabane), adalah sosiolog, dengan delapan tahun pengalaman di bidang pembangunan pedesaan, khususnya tentang permasalahan jender dan kelembagaaan dalam pengelolaan sumberdaya alam berbasis komunitas. Beliau bekerja sebagai peneliti pada Pusat Pengetahuan Sosial Terapan (CASS) di Universitas Zimbabwe selama enam tahun (1992-1997). Saat ini beli- Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas xvii au adalah peneliti associate pada Institute of Environmental Studies (Lembaga Studi Lingkungan Hidup) dan sedang melakukan penelitian mengenai dinamika kelembagaan pada pengelolaan lahan hutan. Beliau memiliki gelar Master dalam bidang Studi Sosial dari Universitas Zimbabwe (1997). Beliau juga mengambil kursus satu tahun dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam di Universitas Negeri Oregon, Amerika Serikat pada tahun 199394. Beliau dilahirkan di kota Plumtree, Zimbabwe bagian barat. Edward L. Massawe, adalah pejabat kehutanan divisi hutan Mgori dan Pejabat Liaison Hutan untuk Divisi Kehutanan dan Pemeliharaan Lebah Madu Tanzania, di mana beliau memfasilitasi kehutanan berbasis komunitas di antara lima desa yang terletak di Cagar Hutan Mgori sejak 1995. Dilahirkan pada tahun 1955 di Wilayah Kilimanjaro Moshi di Tanzania, beliau bekerja dengan Bagian Penelitian Pemanfaatan Hutan Pemerintah Tanzania dari tahun 1978 hingga 1980. Beliau menyelesaikan Kursus bersertifikat tentang kehutanan di Olmotonyi Forestry Training Institute pada tahun 1983 dan Sarjana Kehutanan pada tahun 1994. Pengalaman community forestri lainnya meliputi bekerja dari tahun 1984 hingga 1992 di Ilongero dalam pengembangan desa dan hutan individu serta penanaman pohon di Divisi Ilongero. Bishnu Raj Upreti, adalah sosiolog dan penyuluh pertanian yang didapatkannya dari pelatihan dan telah bekerja dalam pengembangan masyarakat dan pengelolaan sumberdaya alam di Nepal selama 19 tahun terakhir ini. Beliau menyelesaikan Ph.D-nya tentang pengelolaan konflik dalam suumberdaya alam di Universitas Pertanian Wageningen, Belanda dan saat ini merupakan peneliti pada Pusat Strategi Lingkungan Hidup, Universitas Surrey, Inggris. Beliau telah banyak membantu merancang dan mengevaluasi proyek-proyek pembangunan terpadu, studi dan action-research serta bekerja di Departemen Irigasi, Bank Pembangunan Pertanian, Departemen Pertanian, UNDP, FAO, SNV, SDC dan UMN. Eva (Lini) Wollenberg, adalah seorang peneliti di CIFOR, Bogor, Indonesia. Sebelum bergabung dengan CIFOR, beliau bekerja pada xviii Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas Program Kemiskinan Pedesaan dan Sumberdaya Asia Ford Foundation. Beliau mendapatkan gelar Ph.D dari Universitas California, Berkeley pada tahun 1991. Penelitian terbarunya berfokus pada pembelajaran sosial di antara stakeholder dan sarana untuk memberdayakan masyarakat hutan, khususnya di daerah-daerah tropis di Asia. Zhang Lianmin, adalah asisten profesor pada Southwest Forestry College. Sekarang ini beliau sedang menyelesaikan gelar Ph.D di Universitas Yunnan. Dalam studi Ph.D-nya, beliau melihat titik temu antara ekologi dan ekonomi lokal dan implikasinya pada kebijakan konservasi di Propinsi Yunnan. P Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas UCAPAN TERIMA KASIH xix ara editor mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepada siapapun yang membantu lokakarya penulisan dan publikasi ini. Secara khusus kami mengucapkan terima kasih kepada sembilan peserta lokakarya tersebut – Christian Asanga, Ghanendra Kafle, Rukmini Datta, Nontokozo Nemarundwe, Cao Guangzia, Edward Massawe, Ron Ayling dan Haider Ali Khan – dan rekan-rekan mereka di negara mereka yang telah berkontribusi pada informasi untuk tulisan-tulisan ini. Louise Buck, David Edmunds, Sonja Brodt dan Jeff Fox dengan antusias bekerja bersama peserta di Honolulu untuk mengembangkan dan mengedit tulisan-tulisan mereka. Bruce Campbell dan Niels Röling mereview draft-draft sebelumnya. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dina Hubudin untuk bantuan tanpa lelahnya dalam menangani aspekaspek administratif dari proyek ini dari Bogor, dan kepada June Kuramoto, Mary Abo dan Glenn Dolcemascolo untuk bantuan mereka yang efisien di Hawaii. Sally Wellesley, Gideon Suharyanto, Eko Priyanto dan Dina Hubudin menyelesaikan sentuhan akhir untuk penyuntingan, perancangan sampul dan tata letak. Pekerjaan ini didukung oleh hibah dari Dana Internasional untuk Pengembangan Pertanian, dengan kontribusi dari CIFOR dan East West Center. Fotografer: n David Edmunds and Louise, halaman xiv n Christian A Asanga, halaman 38, 40 n Ghanendra Kafle, halaman 70 n Rukmini Datta, halaman 92, 99 n Nontokozo Nemarundwe, halaman 130, 131 n Cao Guangxia dan Zhang Lianmin, halaman 148, 152 n Edward Massawe, halaman 171, 173, 175 n Model Forest Network, halaman 201, 203 n Haider Ali Khan, halaman 224, 227, 228 n Bishnu Upreti, halaman 247, 250, 252 Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas: Pembelajaran dari Lapangan BAB 1 PEMBELAJARAN SOSIAL DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF HUTAN KOMUNITAS: Pelajaran Dari Lapangan Louise E. Buck, Eva Wollenberg and David Edmunds 1 2 Louise E. Buck, Eva Wollenberg and David Edmunds Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas: Pembelajaran dari Lapangan 3 PEMBELAJARAN SOSIAL DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF HUTAN KOMUNITAS: Pelajaran Dari Lapangan Louise E.Buck, Eva Wollenberg and David Edmunds Abstrak Pengelolaan hutan rakyat di seluruh dunia memiliki keragaman jenis dan tingkat kesuksesan dalam pembelajaran sosial, namun sedikit upaya telah dilakukan untuk menganalisis pengalamanpengalaman ini dan menghubungkannya dengan teori pembelajaran sosial yang muncul. Bab ini merupakan sintesis dari kontribusi para peserta lokakarya untuk menunjukkan apa pembelajaran sosial itu dan bagaimana pembelajaran sosial dapat diperbaiki. Kontribusi yang paling berharga dari bab-bab tersebut adalah dalam membuat gejala pembelajaran menjadi lebih terlihat dan memberikan masyarakat dengan konsep dan label di mana mereka dapat menganalisis pengalamannya. Pengaturan kelembagaan yang penting yang mendasari pembelajaran sosial adalah fasilitasi dan platform di mana para stakeholder bertemu dan saling belajar. Jenis-jenis pembelajaran yang berbeda, peluang-peluang untuk belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran ditinjau kembali. Setiap usaha untuk 4 Louise E. Buck, Eva Wollenberg and David Edmunds belajar bersama harus dijajaki dan dilaksanakan dengan kepekaan dan pemikiran strategies tentang yang bisa atau yang seharusnya berpartisipasi dan bagaimana. PENDAHULUAN Mempelajari bagaimana mengelola hutan untuk memenuhi berbagai kepentingan – dari masyarakat lokal yang menyangkut mata pencaharian mereka hingga masyarakat yang jauh yang tertarik pada fungsi-fungsi ekologis dan pendapatan – merupakan tantangan yang penting saat ini. Hutan merupakan properti yang sering dipersengketakan di mana kelompok-kelompok yang berbeda bertujuan untuk mengambil manfaat hutan dengan cara yang tidak sesuai atau berjuang menjadi pihak pertama yang mendapatkan manfaat dengan pasti. Untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan ini, terdapat banyak upaya untuk mengembangkan strategi dan mekanisme yang mempromosikan kolaborasi di antara kelompok dengan perbedaan kepentingan dalam pengelolaan hutan (Anderson et al. 1999; Fox et al. 1997; Western 1994). Namun pengelolaan hutan secara kolaboratif tidak mampu secara efektif membawa pengetahuan dan kapasitas kelompok yang berbeda tersebut. Koordinasi yang terjadi antara kelompok kepentingan lebih lemah daripada yang diharapkan. Bahkan, kelompok kepentingan menjadi sangat terikat dengan perspektif parsial mereka yang terbatas dengan waktu (Saigal 1997, Kalyawongsa 1997). Kolaborasi yang didasarkan pada kesepakatan atau kontrak untuk satu waktu sering kehilangan relevansinya, karena adanya perubahan kondisi. Asumsi dan perspektif tentang aktor-aktor yang paling kuat sering berlaku. Kualitas dan polaritas statis dari kolaborasi seperti ini membawa pada keputusan yang tidak optimal dan cenderung mengabaikan potensi penyelesaian masalah yang kreatif dan hasil yang inovatif. Pengelolaan kolaboratif bisa membaik jika kelompok kepentingan mencoba untuk terlibat dalam proses yang berkembang dan berkelanjutan untuk saling memahami pengetahuan, tujuan, kepentingan, kapasitas dan aksi masing-masing. Kolaborasi juga dapat ditingkatkan dengan menjamin bahwa tidak ada pandangan atau pengetahuan dari satu kelompok pun yang mendominasi proses ini. Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas: Pembelajaran dari Lapangan 5 Pembelajaran bersama mengakui bahwa kelompok kepentingan mem bawa pengetahuan yang berbeda (termasuk nilai-nilai, kapasitas, perspektif, metode pembelajaran, tempat pengalaman sejarah) pada proses kolaboratif tersebut. Pengetahuan dan pengalaman ini dapat menjadi aset bagi penyelesaian masalah jika dibagi, dan sebaliknya dapat menjadi kerugian jika diabaikan. Pembelajaran bersama atau sosial juga mendorong persepsi saling ketergantungan dan saling menghargai. Dengan demikian, pembelajaran sosial bisa memfasilitasi kerja sama untuk mencapai tujuan yang disepakati, menimbulkan keyakinan dalam usaha-usaha kolaborasi berikutnya. Penekanan pada pembelajaran juga membantu stakeholder mengatasi dinamika sistem sosial dan lingkungan hidup. Sebuah pertanyaan kunci untuk membuka potensi pengelolaan hutan oleh multistakeholder adalah: bagaimana harus mendorong pembelajaran bersama yang meningkatkan kolaborasi dalam pengelolaan hutan? Pada gilirannya, bagaimana kelembagaan dan kesepakatan kolaboratif dapat dirancang untuk meningkatkan pembelajaran bersama dalam pengelolaan hutan? Buku ini membahas pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengkaji ketergantungan antara pembelajaran dan kolaborasi dalam situasi pengelolaan hutan yang sangat majemuk. Tujuan kami dengan buku ini adalah untuk memperluas ide dan penerapannya dalam pembelajaran bersama dengan cara mengembangkan pelajaran yang diperoleh dari inisiatif dalam kolaborasi dan dengan menghubungkan praktek sekarang dengan kerangka kerja umum. Salah satu motivasi untuk mengembangkan bahan-bahan untuk publikasi ini adalah bahwa kami merasa ada banyak pengalaman yang relevan dalam community forestry oleh multistakeholder yang belum diakui dalam label pembelajaran sosial. Kami berharap bahwa pelajaran-pelajaran yang penting dapat ditarik dengan mengartikulasikan dan berbagi praktek lapangan. Kontribusi kami dengan buku ini adalah menawarkan konsep dan label di mana pihak lain dapat melakukan refleksi, evaluasi dan dokumentasi dari praktek yang ada saat ini dan yang sedang tumbuh. Kami berharap bahwa inovasi dan sintesis yang disajikan di sini merupakan setitik sumbangan dari banyaknya pengalaman dalam pembelajaran sosial. 6 Louise E. Buck, Eva Wollenberg and David Edmunds PEMBELAJARAN SOSIAL: SEBUAH KONSEP Jadi, apakah pembelajaran bersama atau pembelajaran sosial itu? Kami menggunakan kedua istilah itu bergantian, yang mengakui bahwa pembelajaran sosial telah digunakan lebih sering dalam literatur, tetapi dengan memperhatikan bahwa pembelajaran bersama memiliki arti yang lebih intuitif dalam konteks hutan rakyat. Maarleveld dan Dangbégnon (1999) memberikan tinjauan terbaik tentang apa itu pembelajaran sosial dan literatur-literatur yang berkaitan. Mereka mencirikan pembelajaran sosial dalam pengelolaan sumberdaya alam sebagai dialog yang berkelanjutan dan refleksi bagi ilmuwan, perencana, manajer dan pengguna untuk mengkaji masalah dan solusinya (hlm.269). Komunikasi yang bersamaan dengan coba bisa menimbulkan adaptasi di antara aktor-aktor yang relevan untuk menyesuaikan dan memperbaiki pengelolaan. Kami mendefinisikan konsep pembelajaran sosial dengan menguji banyak dimensi dari hal yang bernama “sosial” tersebut. Lee (1993:8), sebagai contoh, menggambarkan pembelajaran sosial sebagai kombinasi dari (1) pengelolaan yang adaptif, yang melibatkan pembelajaran secara sadar dari eksperimen kebijakan, dan (2) politik, yang didefinisikan sebagai konflik terikat antara pemangku kepentingan dari sumberdaya hutan. Daniels dan Walker (1999:4248) juga menggunakan “pembelajaran kolaboratif” untuk merujuk pada sebuah kerangka kerja untuk pengelolaan konflik kebijakan publik dan pengambilan keputusan. Dengan menekankan prosesproses politik yang berhubungan dengan konflik pada kelompok kepentingan, interpretasi ini mencerminkan pentingnyabahwa hubungan konflik dan kekuasaan bermain dalam diskusi-diskusi tentang pengelolaan sumberdaya alam. Fokus pada politik sangat penting untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, misalnya tentang ketidaksetaraan yang menonjol yang ada dalam stakeholder tersebut pada banyak situasi hutan rakyat. Namun demikian, aspek lain dari interaksi di antara masyarakat saat mereka belajar bersama juga bisa menjadi penting. Daniels dan Walkers (1999:38), misalnya, menggambarkan kegiatan “saling belajar” sebagai proses untuk bertukar perspektif antara klien dan perencana atau pengelola profesional untuk men- Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas: Pembelajaran dari Lapangan 7 transformasi pemahaman setiap orang terhadap situasi permasalahan. Pembelajaran sosial mengakui bahwa kelompok kepentingan membwa pengetahuan yang berbeda pada proses pembelajaran, yang meliputi pengetahuan dalam bentuk nilai-nilai, kapasitas, perspektif, metode dan tempat-tempat pengalaman sejarah. Pengetahuan dan pengalaman seperti ini, yang secara efektif disebarkan, merupakan aset penting dalam menyelesaikan pengelolaan hutan dan masalahmasalah yang ditimbulkannya (Maarleveld dan Dangbégnon, 1999). Oleh karena itu, dimensi penting lainnya dalam pembelajaran sosial adalah penyebaran pengetahuan yang menekankan pada keragaman dan sifat pelengkap dari pengetahuan kelompok sosial yang berbeda. Sangat penting bagi aspek politik dan penyebaran pengetahuan dalam pembelajaran sosial adalah ide bahwa interaksi yang konstruktif di antara kelompok kepentingan dapat didorong dengan cara menghilangkan penghambat pada komunikasi untuk membuatnya lebih terbuka dan responsif (Steins dan Edwards 1999: 246). Pembelajaran sosial memfasilitasi penyelesaian masalah bersama dengan cara mendorong adanya persepsi tentang ketergantungan, kepercayaan dan saling menghargai. Ditunjukkan pada para aktor bahwa mereka dapat mengambil manfaat dari kerja sama itu untuk mencapai tujuan yang disepakati bersama, dan menimbulkan keyakinan pada upaya-upaya kolaborasi berikutnya. Jadi, ada aspek pengembangan komunikasi dan hubungan dalam pembelajaran sosial yang menyebabkan adanya penyebaran pengetahuan dan meningkatnya kapasitas untuk melakukan aksi-aksi. Pembelajaran sosial juga dapat merujuk pada proses kolektif untuk mengakumulasikan pengetahuan baru oleh sebuah kelompok sosial tertentu. Sebagai contoh, “pembelajaran masyarakat” memiliki suatu pendekatan untuk pendidikan dan pengembangan masyarakat yang menekankan adanya kegiatan pengembangan kapasitas yang partisipatif dan praktis (Steele et al. 1999: 153-180). Aspek kolektif dari pembelajaran sosial menekankan bagaimana pengetahuan itu dikembangkan dan disebarkan di antara kelompok tertentu untuk membantu membangun motif baru bagi aksi-aksi dan pola-pola interaksi. Kami menyarankan bahwa masing-masing dimensi pembelajar- 8 Louise E. Buck, Eva Wollenberg and David Edmunds an sosial ini sangat penting dalam pengelolaan hutan secara kolaboratif: pengurangan konflik dan pengambilan keputusan politik, inovasi dan penyelesaian masalah, pengembangan komunikasi dan pengembangan hubungan, serta pengembangan kapasitas dan pengembangan masyarakat atau organisasi. Kita baru saja mulai memahami dengan lebih baik bahwa keempat aspek pembelajaran sosial ini tidak mudah dipisahkan dan memerlukan interaksi di antara aspek-aspek itu juga. Dengan memasukkan keempat dimensi ini, pembelajaran sosial mulai mendapatkan sekumpulan proses mengenai kolaborasi yang transparan, aktif, dan demokratis di antara stakeholder. Dalam usaha untuk memperbaiki pembelajaran sosial, maka kami menggunakan keempat aspek dari pembelajaran sosial itu sebagai satu kesatuan, dan bukannya terpisah satu sama lain. Keempat dimensi pembelajaran sosial dapat diperbaiki secara bersama-sama dengan mengembangkan strategi, mekanisme, dan kondisi yang memampukan para aktor untuk secara aktif mengumpulkan, menganalisis informasi dan bertindak dengan informasi tersebut bersama-sama (Woodhill dan Röling 1998). Strategi, mekanisme, dan kondisi ini paling efektif jika mereka peka terhadap perbedaan kekuasaan antara stakeholders, membangun kelengkapan dalam pengetahuan mereka dan dirancang untuk memperbaiki interaksi. Röling dan Jiggens (1998) mengartikulasikan kebutuhan akan adanya platform baru dan proses komunikasi untuk menfasilitasi pembelajaran sosial dalam jaringan yang kompleks dari para aktor yang saling terkait. Pembelajaran sosial bisa juga lebih maju dengan cara lebih banyak memahami proses pembelajaran itu sendiri. Maarleveld dan Dangbégnon (1999) mengidentifikasi loops pembelajaran, di mana pembelajaran tidak saja mengenai fakta sosial dan lingkungan hidup (pembelajaran loop tunggal), namun juga tentang teori dan metode untuk mengamati dunia (pembelajaran loop ganda) dan yang lebih mendasar lagi, pentingnya pembelajaran di atas segalanya. Perspektif pelengkap ini menggambarkan ‘jalan keluar’ teoritis dari dilema yang sering kali berakhir dengan polaritas dan jalan buntu: pembangunan vs konservasi, penggunaan oleh industri vs dipakai Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas: Pembelajaran dari Lapangan 9 sendiri; otoritas asing vs otoritas lokal. Perspektif ini menantang kami untuk fokus pada pengembangan sistem pengetahuan (Röling 1994) yang membentuk “kecocokan” antara persepsi manusia dan realitas, dan untuk menawarkan kepemimpinan dalam merekonstruksi hal ini di sekitar kepentingan ekologi, sosial dan kelembagaan saat ini. Konsep-konsep yang berhubungan dengan pembelajaran sosial masih terlalu awal dan perlu pengujian dan pengembangan. Dengan tujuan inilah kami sangat ingin mengetahui seperti apa pembelajaran sosial itu di lapangan. Bab-bab dalam buku ini merupakan hasil dari pencarian itu. Kami bertujuan untuk mendokumentasikan pengalaman praktis yang akan menstimulasi pemahaman yang lebih dalam mengenai pembelajaran sosial dalam praktek, dan dengan melakukan hal tersebut, akan ada perkembangan lebih lanjut mengenai teori pembelajaran sosial. ‘BERBAGI INOVASI’: SEBUAH LOKAKARYA BAGI PARA PENULIS Pandangan-pandangan menuju pembelajaran sosial Kontribusi yang paling luar biasa dan katalitis dari lokakarya tersebut dan tulisan-tulisan yang dihasilkan adalah “membuat segala sesuatu menjadi terlihat”. Gejala yang cenderung tersembunyi, atau memang sudah terjadi, dibuat menjadi jelas. Bagi sebagian besar para peserta, pembelajaran merupakan kegiatan nomor dua yang terjadi sama sekali tanpa pikiran-pikiran substansial mengenai apakah atau bagaimanakah pembelajaran itu terjadi dalam banyak proyek. Karena dibuat menjadi jelas, kekuatan pembelajaran dan akibat dari cara pembelajaran yang berbeda mengenai pengelolaan lingkungan hidup dan perubahan sosial mulai menjadi nyata. Para penulis mulai menghargai cara pembelajaran dilakukan dan bagaimana mereka belajar akan mempengaruhi hasil perilaku, kelembagaan dan kebijakan. Namun demikian, kelompok tersebut menemukan bahwa sebagian besar dari kita kekurangan bahasa konseptual untuk menggambarkan pembelajaran sosial. Bahasa yang mencirikan kolaborasi dan pembentukan kemitraan tentu sangatlah akrab. 10 Louise E. Buck, Eva Wollenberg and David Edmunds Selama beberapa dekade yang lalu, istilah-istilah seperti negosiasi, kerja sama, akomodasi, pengaturan bersama, kesepakatan, pengembangan konsensus, dan pengambilan keputusan secara kolektif telah memasuki bahasa pada pengelola lingkungan hidup. Yang hilang adalah bahasa konseptual yang menggambarkan peran pembelajaran dalam kolaborasi. Bahasa-bahasa seperti inilah yang diperkenalkan dalam lokakarya tersebut dan dibandingkan dengan pengalaman kita. Konsep-konsep seperti kelompok pembelajaran, platform pembelajaran, kelompok penemuan, eksperimen kelompok, pembelajaran loop ganda, appreciative inquiry, fasilitasi prosesproses platform, sistem pengetahuan ekologi, pembelajaran kolektif dalam jaringan para aktornya dan yang lainnya membantu kami menghargai bagaimana pembelajaran bisa dilakukan untuk mendukung kolaborasi, dan bagaimana masyarakat melakukan pembelajaran secara kolaboratif. Melalui diskusi-diskusi kami, kami menemukan bahwa dalam prakteknya pembelajaran bersama tidak cukup dilakukan di antara lembaga-lembaga pengelolaan hutan rakyat. Sementara ada satu lembaga menunjukkan kegiatan pembelajaran, biasanya melalui pelaporan proyek dari berbagai jenis, pembelajaran tersebut cenderung terjadi dengan tidak tergantung pada stakeholder lain. Pada saat yang sama, beberapa pengaturan kolaboratif – apakah itu kesepakatan formal atau proses konsultasi informal – menunjukkan mekanisme yang jelas untuk pembelajaran kelompok. Berbagai peluang untuk pembelajaran bersama sudah ada, namun biasanya terabaikan atau tak terhindarkan. Para peserta lokakarya membahas beberapa penjelasan untuk tingkat pembelajaran sosial yang terbatas ini. Kurangnya kepercayaan dan transparansi antar mitra diduga menjadi kendala umum terhadap pembelajaran sosial. Para peserta juga menyadari bahwa pembelajaran bersama dan kolaborasi bisa menciptakan ancaman bagi struktur kekuasaan yang ada sekarang. Hingga ada insentif bagi organisasi-organisasi besar untuk berubah, mereka mungkin akan sulit diajak untuk belajar bersama. Akhirnya, potensi fasilitator untuk proses-proses pembelajaran multipihak menjadi tidak terlihat atau tidak bisa diakses oleh para aktor yang mungkin diuntungkan Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas: Pembelajaran dari Lapangan 11 oleh pembelajaran bersama. Katalis untuk proses ini hilang. Di mana ada pembelajaran bersama, pembelajaran tersebut sering terbatas pada dimensi biologis dan infrastruktur dari banyak proyek. Jarang sekali pembelajaran tersebut diperluas menjadi hubungan kelembagaan atau dimensi manusia dari pengelolaan. Sering terdapat kegiatan monitoring bersama untuk tutupan-hutan misalnya, namun jarang terdapat monitoring dan evaluasi utuk proses pengambilan keputusan dan hubungan antara stakeholder. Terbatasnya ruang lingkup pembelajaran bersama pada permasalahan biologis dan infrastruktural membuat kolaborasi menjadi rentan terhadap kesalahpahaman dan konflik dalam hubungan stakeholder yang terus berkembang. Terbatasnya contoh-contoh pembelajaran bersama di antara proyek dan kegiatan yang kita diskusikan tidak mengendurkan semangat para peserta lokakarya, namun malah menstimulasi pemikiran bagaimana mengambil langkah konkret untuk memperbaiki praktek-praktek tersebut. Kami memberikan tambahan pada pandangan para peserta di bawah ini. PENGATURAN KELEMBAGAAN UNTUK MENGUMPULKAN PARA KOLABORATOR BERSAMA-SAMA Analisis kami terpusat pada dua tema. Pertama, kami mengkaji jenis-jenis pengaturan kelembagaan seperti apa yang bisa mengumpulkan para kolaborator bersama-sama dan mendasari pembelajaran sosial. Kami mengelompokkan hal ini secara luas dalam peran fasilitasi dan ‘platform’ atau peluang bagi kolaborator untuk datang bersama dan belajar. Analisis dari pengaturan ini memberikan pandangan tentang kelayakan dari berbagai jenis pembelajaran sosial yang berbeda untuk berbagai jenis aktor yang berbeda serta peluang beberapa kelompok untuk mendominasi proses ini. Fasilitasi Fasilitasi merupakan hal yang sangat vital dalam mempromosikan pembelajaran sosial, khususnya dalam hal kompetisi yang ketat atau konflik di antara para stakeholder, atau ketika para 12 Louise E. Buck, Eva Wollenberg and David Edmunds stakeholder memiliki sistem pengetahuan yang sangat berbeda. Röling dan Jiggens (1998) juga menemukan dari pengalaman mereka bahwa fasilitasi merupakan ‘faktor yang sangat krusial dalam pengelolaan adaptif’. Fasilitator sering menjadi katalis dalam pembelajaran bersama. Mereka membawa stakeholder tersebut bersama-sama dalam berbagai konfigurasi untuk berencana, berkoordinasi, membuat batasan, memonitor, melakukan refleksi, dan belajar serta bertindak bersama-sama dengan cara lain. Tulisan Nontokozo Nemarundwe, Cao Guangxia dan Zhang Lianmin, Edward Massawe, Christian Asanga, Ron Ayling dan Bishnu Upreti membahas fasilitasi secara panjang lebar, sementara masing-masing penulis mengakui pentingnya fasilitasi dalam pembelajaran sosial. Satu permasalahan utama menyangkut kelayakan dan efektivitas fasilitasi oleh aktor internal, lokal vs aktor eksternal yang ‘didanai oleh proyek’. Tulisan Massawe dan Asanga menunjukkan bahwa fasilitator eksternal bisa menjadi lebih efektif dalam berhubungan dengan kendala-kendala tingkat makro dalam kolaborasi, seperti kebijakan pemerintah formal atau pembiayaan proyek. Namun, pekerjaan Nemarundwe menunjukkan bahwa fasilitator eksternal memiliki resiko mengabaikan atau salah menginterpretasi kepentingan aktor lokal yang penting dan cenderung tidak berlanjut. Tulisan Cao dan Zhang menunjukkan pentingnya inisiatif adanya kepemimpinan lokal. Kesimpulan yang kita tarik dari pengalaman ini adalah bahwa fasilitasi internal dan eksternal masing-masing berfungsi untuk tujuan yang berbeda, namun proses-proses lokal seharusnya menjadi lebih menonjol menurut waktu melalui pelatihan, pengembangan kelembagaan dan pembiayaan yang kreatif. Upreti berpendapat bahwa semua stakeholder dalam kehutanan masyarakat perlu mempelajari fasilitasi yang efektif. Tulisan-tulisan tersebut (khususnya tulisan Asanga) juga menunjukkan bahwa fasilitator, baik eksternal atau internal, perlu memiliki kepekaan terhadap dan berpikir strategis mengenai hubungan yang ada di antara para aktor. Kepekaan ini khususnya merujuk pada aspek politik dari pembelajaran sosial. Ini berarti pertimbangan hubungan historis yang dimiliki para stakeholder Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas: Pembelajaran dari Lapangan 13 satu sama lain, kepentingan mereka yang berbeda dalam proses kolaboratif, gaya pembelajaran dan pengetahuan yang ada sekarang. Fasilitator dapat menggunakan informasi ini untuk membuat rencana untuk kelompok apa bisa berkumpul bersamasama dan kapan, serta fokus permasalahan pada setiap pertemuan. Fasilitator mungkin juga bisa membuat struktur pembelajaran bersama melalui beberapa langkah dan membangun kolaborasi menurut waktu, dengan rencana yang selalu direvisi sebagai tanggapan dari hasil langkah pertama. Tulisan Khan menunjukkan bahwa pengalaman pembelajaran yang efektif berasal dari proses fasilitasi keterlibatan sektor swasta dengan lembaga publik, yang menghasilkan saat-saat ‘ah-ha’ (setuju) ketika stakeholder yang kuat menyadari bahwa pendekatan alternatif dapat bekerja lebih baik. Mempelajari stakeholder (analisis stakeholder) membantu para pihak mengatur menurut peran dan tanggungjawab yang baru. Khan menyarankan bahwa keterlibatan masyarakat dalam proses-proses multistakeholder membutuhkan negosiasi dan kompromi internal yang konstan, dan demikian juga untuk departemen kehutanan, karena tidak ada satu pun organisasi yang homogen. Bishnu Upreti menggambarkan bagaimana community forestry di Nepal menjadi lebih sensitif terhadap masalah-masalah jender dan kesetaraan di antara stakeholder menurut waktu dan telah mencoba berhubungan dengan mereka secara langsung dalam proyek-proyeknya sekarang ini. Kasus Asanga menunjukkan bagaimana fasilitasi memerlukan perlakuan bertahap untuk stakeholder-stakeholder yang berbeda. Dia mengembangkan bagaimana kepemimpinan kolektif dalam proyek pengelolaan hutan rakyat di Kamerun bisa mengkoordinasikan para aktor selama sepuluh tahun proyek tersebut. Berbagai aktor dikumpulkan dalam berbagai acara pada waktu yang berbeda untuk membahas pengelolaan hutan. Proses tersebut sangat peka terhadap ketidakpraktisan logistik dan politik untuk mendorong semua stakeholder bertindak bersama-sama. Komitmen kepemimpinan kolektif terhadap daya tanggap dan riset aksi partisipatif menjamin bahwa strategi untuk mengumpulkan para aktor bersama-sama berkembang menurut waktu. 14 Louise E. Buck, Eva Wollenberg and David Edmunds Platform Ruang metaforis, jika bukan merupakan ruang yang nyata, perlu dibangun sehingga para stakeholder dapat berinteraksi dan belajar bersama. Röling dan Jiggins (1998:301) menyebut sebagai platform untuk negosiasi tentang manfaat sumberdaya. Platform dapat berupa pertemuan-pertemuan satu waktu, panitia yang terpilih, dewan atau bahkan lembaga pemerintah yang ditunjuk secara formal. Yang penting adalah bagaimana stakeholder utama terwakili dalam platform tersebut dan bagaimana wakil-wakil tersebut tetap bertanggungjawab kepada konstituen mereka. Masalah lain adalah bagaimana membuat diskusi terbuka dan bebas di antara banyak aktor tanpa membawa platform menemui jalan buntu (Röling dan Jiggins 1998:301). Akhirnya, bagaimana platform berinteraksi dengan lembaga-lembaga pengambil keputusan perlu dikaji untuk menjamin bahwa platform tersebut memiliki legitimasi dan manfaat. Tulisan-tulisan dalam buku ini menyoroti beragamnya platform yang muncul untuk melibatkan multipihak dalam pengelolaan hutan komunitas. Sejumlah proyek-proyek community forestry yang diwakili dalam lokakarya tersebut membentuk platform-platform sedemikian. Ghanendra Kafle memberikan contoh-contoh dari pengalamannya di Nepal yang mencakup: jaringan kelompok pengguna hutan yang berkembang sendiri dan bersifat lepas; komite berbasis kelompok pengguna untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi partisipatif; dan lokakarya-lokakarya yang meliputi perwakilan NGO lokal, federasi pengguna hutan, kantor distrik dari organisasi perempuan, dan pejabat dinas kehutanan. Kafle membahas bagaimana platform berkembang di sekitar permasalahan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga yang peduli dengan permasalahan pengelolaan, atau yang diciptakan oleh proyek-proyek. Platform yang berkembang sendiri cenderung berkelanjutan. Tulisan Ayling membahas beberapa potensi manfaat dari perumusan platform pada skala yang lebih besar, dan juga beberapa tantangan untuk melakukan hal ini. Para pengelola hutan semakin berpendapat bahwa hutan harus dikelola sebagai lanskap, dan bukan sebagai bagian-bagian kecil di bawah pengawasan perusahaan ataupun masyarakat. Bagian-bagian kecil tersebut tidak boleh Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas: Pembelajaran dari Lapangan 15 dipisahkan satu dengan lainnya dan kesepakatan kolaboratif di bagian yang satu bisa diabaikan oleh kegiatan di bagian lainnya. Perluasan pembelajaran bersama pada satu titik di mana keputusan dibuat mengenai hutan sebagai lanskap harus membawa manfaat yang substansial bagi hutan dan stakeholder-nya. Namun, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Ayling, perluasan bisa mengintensifkan masalah-masalah yang disebabkan oleh keterwakilan dan tanggungjawab, yang menjembatani perbedaan antara sistem pengetahuan, dan mengatasi ketidaksetaraan dalam kekuasaan politik. Berdasar kasus dari Jaringan Hutan Model Internasional, dia menyarankan strategi untuk mengatasi beberapa dari permasalahan ini, yang meliputi kepemimpinan yang inovatif, mengambil resiko dan interaksi yang lebih informal secara langsung di antara para stakeholder tersebut. POLA-POLA PEMBELAJARAN Tema kedua dari analisis kami adalah untuk mencirikan jenis pembelajaran yang terjadi, cara-cara belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran. Kami mengkaji apa yang memicu pembelajaran sosial dan apa yang memotivasi orang untuk terlibat dalam upaya-upaya dan biaya-biaya ekstra untuk belajar bersama-sama. Kami me-review keragaman cara-cara dan gaya-gaya yang berbeda untuk belajar dan potensi manfaat dari penggunaan berbagai cara tersebut. Kami juga melihat bagaimana pembelajaran bisa terjadi dalam pembelajaran bersama, atau apa sebenarnya yang disebut dengan pembelajaran loop ganda (Hamilton 1998: 186). Tema yang paling penting di sini adalah kebutuhan akan gaya-gaya pembelajaran dan pendekatan agar tanggap terhadap preferensi, budaya dan perubahan stakeholder dalam kebutuhan pengelolaan. Berbagai pendekatan itu memang mungkin jika tujuannya adalah untuk mencapai semua pihak yang penting dan menjadi relevan terhadap berubahnya kondisi menurut waktu. Kondisi yang menstimulasi pembelajaran Pembelajaran bersama biasanya terjadi secara tidak teratur, dan tidak berlangsung pada situasi yang konsisten dan dapat 16 Louise E. Buck, Eva Wollenberg and David Edmunds diprediksi. Biasanya konflik yang terikat, namun terus-menerus di antara stakeholder bisa memicu pembelajaran kolektif, yang kemudian berfokus pada negosiasi jalan keluar dari sebuah dilema (Lee 1993). Para penulis mengetengahkan berbagai contoh jalan buntu yang ditemui sebelum para stakeholder melakukan pendekatan negosiasi. Namun, kejadian-kejadian satu waktu sering membawa pada proses yang berkelanjutan, karena aktor-aktor kunci dalam sistem pengelolaan tersebut mengakui adanya nilai-nilai dalam negosiasi, yang diberikan oleh pembelajaran kolaboratif. Upaya-upaya awal pada pembelajaran kolaboratif sering menghendaki adanya fasilitasi dari luar untuk mengatasi permasalahan ketidakpercayaan dan kesalahpahaman di antara kelompok. Namun, keberlanjutan kolaborasi tersebut tergantung pada stakeholder itu sendiri yang meminta peran fasilitasi. Khan menggambarkan sebuah kasus di Pakistan tentang pembelajaran, bagaimana membagi otoritas pengelolaan dari pemerintah ke kelompok sipil lokal. Serangkaian pengalaman pembelajaran berdasar pembicaraan yang kontinu antara stakeholder, yang dicirikan sebagai pembicaraan yang membingungkan penuh persaingan, memampukan proyek tersebut untuk membuat kemajuan dalam mengembangkan praktek-praktek pengelolaan kolaboratif antara departemen kehutanan, masyarakat dan organisasi non-pemerintah. Upreti memberikan contoh lain dari pengalamannya dengan Program Community Forestry di Nepal. Dia menggambarkan sebuah studi yang dilakukan untuk membantu memahami dan mengatasi batasan-batasan kesetaraan sosial dari program tersebut. Studi tersebut menggambarkan bagaimana sebuah upaya oleh politisi yang berkuasa untuk mengendalikan sumberdaya umum yang telah ada dalam waktu yang lama untuk kepentingan dia sendiri menstimulasi pengguna sumberdaya itu untuk menganalisis masalah dan membentuk Komite Perlindungan dalam menegosiasikan konflik dengan cara menggunakan tekanan-tekanan sosial melalui orangtua, sekolah dan para sesepuh daripada jalur hukum. Proses fasilitasi sendiri secara jangka panjang muncul yang telah menjadikan hutan sebagai simbol yang diakui secara lokal untuk pengelolaan hutan yang berkeadilan sosial. Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas: Pembelajaran dari Lapangan 17 Cara-cara pembelajaran bersama Studi kasus oleh Rukmini Datta dari India menyoroti nilai dari berbagai cara untuk belajar dan membiarkan cara-cara tersebut memiliki ruang yang sah untuk berkembang. Cara-cara ini meliputi pembelajaran dari: lapangan, dokumentasi proses, studi penelitian, program pelatihan, refleksi diri organisasi (umpan balik internal) dan interaksi dengan negara. Salah satu kesimpulan Datta adalah bahwa berbagai cara pembelajaran akan sangat bermanfaat bagi organisasi. Dia menunjukkan bahwa efisiensi pertukaran informasi kadangkadang dibayar dengan tidak-sampainya informasi itu kepada orangorang yang membutuhkannya. Strategi untuk menggunakan berbagai saluran untuk belajar merupakan hal yang konsisten dengan Lee (1993:102) yang memelihara keragaman dengan mempercepat pembelajaran di berbagai tempat yang berbeda, masing-masing didukung dengan cara yang berbeda, meningkatkan peluang di mana berbagai pelajaran dapat ditarik di mana pun. Semua tulisan menyebutkan pentingnya belajar sambil bekerja sebagai cara utama untuk berubah. Pemikiran ini konsisten dengan Borrini-Feyerabend dan rekan-rekannya (2000) yang menggambarkan bagaimana jenis pembelajaran yang kita sebut sebagai pengelolaan kolaboratif biasanya didasarkan pada pengalaman. Kasuskasus tersebut menggambarkan bagaimana tindakan yang sederhana untuk berbagi kegiatan kunci seperti pengembangan indikator untuk monitoring sendiri, melakukan pemetaan partisipatif atau mengevaluasi potensi peran dalam kolaborasi; dapat menghasilkan suatu pembelajaran bersama. Apa yang dipelajari sering tidak jelas, namun – dan oleh karenanya tidak disebarkan secara jelas – kecuali pendekatan yang lebih terstruktur diambil untuk mengevaluasi pengalaman tersebut. Penelitian partisipatif dapat menstimulasi pembelajaran sosial dengan cara membawa kelompok yang berbeda bersama-sama melalui siklus penyadaran dan kesengajaan untuk meminta, mengamati, merefleksikan, merencanakan dan bertindak. Pengalaman Nemarundwe di Zimbabwe dengan penelitian dan percobaan partisipatifnya oleh pemilik lahan menyoroti unsur-unsur penting dan potensi hasil dari pendekatan ini. Para pemilik lahan 18 Louise E. Buck, Eva Wollenberg and David Edmunds menyadari bahwa mereka perlu memahami dan berbagi pandangan mengenai dinamika lingkungan mereka. Kelompok tersebut menggunakan percobaan pengelolaan sumberdaya yang membentuk dasar untuk monitoring dan evaluasi bersama. Alat-alat lain untuk pembelajaran bersama meliputi lokakarya masyarakat, kegiatan lapangan, penggunaan cerita dan legenda rakyat, dan kunjungan kelompok untuk melihat dan belajar. Kunjungan ini berkembang menjadi platform pembelajaran yang telah berakar dalam interaksi desa ke desa, yang meningkatkan kolaborasi lokal dengan berkembangnya rasa percaya dan memahami masalah yang dihadapi oleh kelompok kepentingan yang berbeda. Pendekatan partisipatif membantu menghasilkan cara-cara komunikasi dan pembelajaran yang layak untuk para kolaborator. Cara-cara di mana pengalaman ini distrukturkan dapat meningkatkan pembelajaran yang lebih efektif. Sebagai contoh, tulisan Khan mengingatkan kita pada pentingnya memperkenalkan penerapan kegiatan program dalam skala kecil. Begitu terbukti berhasil, kegiatan tersebut akan dilakukan dalam skala yang lebih luas. Jadi, proses pembelajaran yang kontinu dari keberhasilan dan kegagalan pada tingkat intervensi berbiaya rendah memainkan peran penting dalam devolusi pengelolaan hutan. Satu kunci untuk membuat cara ini efektif dalam jangka panjang adalah dengan melembagakannya ke dalam sebuah proyek atau organisasi. Asanga membahas penggunaan riset-aksi sebagai model mendasar dari proyek community forestry Kilum-Ijim di Kamerun. Dia menggambarkan riset aksi sebagai metodologi yang sangat penting untuk pelaksanaan proyek. Penelitian itu sendiri bertujuan untuk membuat segalanya terlihat dan menciptakan pemahaman bersama tentang sumberdaya tersebut di antara para stakeholder. Gaya Pembelajaran: Konsensus dan Konflik Gaya pembelajaran dapat berbeda antara negara-negara dan para stakeholder. Khususnya, cara di mana kelompok yang berbeda memperlakukan peran konsensus dan konflik, hak-hak individu dan kerukunan kelompok, diskusi terbuka atau diplomasi tertutup dapat sangat berbeda dari tempat yang satu ke tempat lainnya, dan mem- Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas: Pembelajaran dari Lapangan 19 pengaruhi bagaimana pembelajaran sosial dapat berlangsung. Alatalat, platform dan mekanisme lain untuk memfasilitasi pembelajaran sosial harus dikembangkan untuk mendukung gaya pembelajaran yang berbeda jika ingin kolaborasi itu efektif. Cao dan Zhang menggambarkan poin tersebut dengan kasus mereka dari Yunnan, China. Mereka menunjukkan bahwa memotivasi keterbukaan perspektif individu, dan konflik yang mungkin muncul, tidak akan menghasilkan kolaborasi yang efektif di China sebagaimana yang ditunjukkan oleh penulis lain (Lee 1993). Mereka berpendapat bahwa di Yunnan, kerukunan dan konsensus kelompok mengatur tahap untuk kolaborasi yang efektif, dan bahwa pengembangan konsensus di balik layar merupakan hal penting. Dalam situasi seperti ini, pentingnya pimpinan lokal, yang membawa otoritas dan pengetahuan untuk membantu mengembangkan konsensus itu, lebih penting daripada kehadiran fasilitator dari luar. Cao dan Zhang yakin bahwa bahkan masyarakat yang memiliki keragaman kepentingan dalam sumberdaya hutan dapat secara efektif bersatu dalam nilai-nilai budaya umum, yang mencapai konsensus untuk rencana aksi. Ayling menunjukkan bahwa sensitivitas terhadap gaya-gaya yang berbeda tadi penting untuk mengakui perbedaan nilai di antara para mitra dari berbagai budaya di Canada. Dia yakin bahwa perbedaan ini akan mempengaruhi keinginan dan kapasitas para aktor untuk berkolaborasi, dan yang lebih penting lagi kelayakan untuk mencapai konsensus, bentuk yang paling ideal dalam pengambilan keputusan untuk Program Model Forest. Pendekatan komunikasi dan pendidikan yang membantu mendorong partisipasi para kolaborator, meliputi penggunaan komunikasi langsung, verbal daripada media cetak atau elektronik, lokakarya, presentasi, inisiatif perencanaan strategis, konsultasi publik dan kegiatan lain yang meningkatkan interaksi sosial. Studi tentang nilai-nilai sumberdaya di antara para aktor yang berbeda tersebut dilakukan juga, untuk membantu menjelaskan kemajuan dalam pengembangan kemitraan. Dalam beberapa proyek model forest sangat perlu untuk mengubah aturan pengambilan keputusan, sehingga konsensus bukan merupakan tujuan. 20 Louise E. Buck, Eva Wollenberg and David Edmunds Upreti menunjukkan bahwa konflik tidak selamanya merusak, namun dapat membawa pada inovasi dan memiliki potensi transformasi yang penting. Studi kasusnya menggambarkan bagaimana konflik dan negosiasi merupakan bagian integral dari proses pengelolaan oleh masyarakat yang inklusif. Kunci menuju keberhasilan adalah proses fasilitasi dan perumusan platform yang mendorong keterlibatan kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Pembelajaran Loop Ganda: Belajar bagaimana menggerakkan pembelajaran di antara para kolaborator Dalam pengelolaan hutan, tidak ada satu cara atau alat untuk pembelajaran bersama akan tetap valid dalam waktu yang lama. Metode-metode yang digunakan untuk mendukung pembelajaran bersama itu sendiri harus diperbarui secara reguler dalam hal pengalaman dan para stakeholder-nya. Orang-orang yang berkolaborasi dalam pengelolaan hutan harus secara berkala memperhatikan bagaimana mereka belajar, dan apa yang mereka pelajari. Inilah yang dikenal dengan proses pembelajaran loop ganda. Pembelajaran loop ganda memasukkan masukan dari lapangan ke dalam proses perencanaan untuk menguji asumsi-asumsi yang mendasar. Pembelajaran ini membutuhkan pengujian tujuan dari program dalam hal pencapaian dan kendalanya, sehingga nilai asumsi teoritisnya bisa diklarifikasi (Lee 1993; Maarleveld dan Dagbégnon 1999). Melalui proses belajar dan kognisi yang kontinu, para aktor dapat menyesuaikan pengelolaannya dengan berubahnya situasi lingkungan dan sosial. Datta menggunakan konsep pembelajaraan loop ganda untuk menggambarkan “organisasi pembelajaran”, suatu organisasi yang memiliki refleksi sendiri mengenai bagaimana mereka mengumpulkan informasi tentang dunia di sekitarnya. Kasus Nemarundwe dari Zimbabwe juga menunjukkan bahwa perumusan platform untuk pembelajaran loop ganda dapat membantu lembaga beradaptasi dengan cara memfasilitasi evaluasi berkala dan sistematis dari prinsip-prinsip dan kebiasaan mendasar dalam melakukan pekerjaan. Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas: Pembelajaran dari Lapangan 21 DIMANA TEORI dan PRAKTEK BERTEMU – ARTI PEMBELAJARAN SOSIAL DALAM KEHUTANAN KOLABORATIF PADA SAAT INI Kami sepakat dengan Parson dan Clark (1995) bahwa istilah ‘pembelajaran sosial’ menyimpan keragaman yang besar dan bahwa penggunaan konsep tersebut oleh peneliti yang berbeda tidak mengungkapkan adanya perspektif teori yang umum (hlm.429). Dalam menghasilkan sintesis ini, kami telah mencoba membawa lebih banyak koherensi pada konsep itu sebagai sebuah pendekatan dan filosofi yang berfokus pada proses-proses partisipatif dari perubahan sosial (Woodhill dan Röling, 1998: 53). Meskipun teori pembelajaran sosial belum lama berkembang, teori ini memberi kita dengan kerangka kerja yang wajib untuk berbagi pengalaman dan ide mengenai bagaimana memperbaiki kolaborasi dalam pengelolaan sumberdaya alam untuk meningkatkan adaptabilitas kelembagaan dan keberlanjutan ekologi. Sementara, pendekatan pembelajaran sosial tidak layak di mana pun dan pada situasi apa pun. Bahan-bahan dalam buku ini menunjukkan bahwa pembelajaran sosial memiliki potensi yang tinggi untuk meningkatkan kolaborasi di antara lembagalembaga lokal (integrasi horisontal) dan hubungan vertikal antara departemen kehutanan, ORNOP dan kelompok masyarakat lokal tanpa kehilangan pandangan tentang masalah ketidaksetaraan yang berhubungan dengan jender, budaya atau kemiskinan. Pembelajaran sosial merupakan hal yang khas. Oleh karenanya memerlukan perhatian secara simultan tentang bagaimana mengumpulkan kelompok kepentingan bersama-sama, dan juga pola pembelajaran apa yang diberlakukan. Titik temu dari kolaborasi dan pembelajaran adalah apa yang membuat pembelajaran sosial ini berbeda dari pembelajaran biasa oleh satu aktor atau kolaborasi yang tidak melibatkan pembelajaran penyadaran. Implikasi yang paling penting dari tumpang-tindih ini adalah bahwa setiap usaha untuk belajar bersama harus dijajaki dan dilakukan dengan sensitivitas dan pemikiran strategis tentang siapa yang bisa atau yang seharusnya berpartisipasi dan bagaimana. Untuk ini, perlu diperhatikan keempat dimensi pembelajaran sosial sebagaimana disebutkan di bagian depan. Sensitivitas dan pemikiran strategis dibutuhkan dalam mem- 22 Louise E. Buck, Eva Wollenberg and David Edmunds pertimbangkan hubungan politik dan konflik antar-aktor, dalam mempertimbangkan bagaimana membawa pengetahuan pelengkap bersama-sama, dalam mengembangkan interaksi yang bisa membangun kepercayaan dan dalam memutuskan bagaimana membuat pemahaman kolektif. Oleh karena itu pembelajaran sosial menunjukkan kebutuhan akan fasilitator dengan kepekaan yang kuat mengenai hubungan antara kelompok kepentingan dan sebuah daftar berbagai platform dan cara pembelajaran untuk memenuhi beragamnya gaya pembelajaran dan preferensi dari kelompok kepentingan yang berbeda. Berbagai platform dan cara diperlukan supaya mampu untuk bekerja dengan jenis stakeholder atau kelompok stakeholder yang berbeda. Berbagai cara juga diperlukan untuk mengatasi jenis permasalahan yang berbeda yang akan muncul menurut waktu di antara kelompok stakeholder yang berbeda. Menentukan jenis tipe pembelajaran yang mana yang akan digunakan untuk masyarakat yang mana dan di mana serta ketika membentuk seni fasilitasi pembelajaran sosial yang efektif. Belajar dari pengalaman studi kasus ini, kita dapat membuat pengamatan awal berikut ini untuk membantu mengarahkan proses itu. Strategi jangka panjang untuk penyebaran informasi merupakan hal penting yang sesuai untuk semua para kolaborator utama. Harus ada alat untuk merekam pelajaran yang diperoleh dan alasan mengapa tindakan selanjutnya diambil untuk menjamin memori kelembagaan. Rekaman ini harus tersedia untuk semua stakeholder dalam bentuk dan tempat yang bisa diakses. Cara dan platform pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang melaksanakan kegiatan itu yang ada untuk mengambil manfaat dari pelajaran tersebut. Cara-cara ini seringkali memiliki banyak langkah dan konstelasi stakeholder yang berbeda yang berinteraksi dalam waktu yang berbeda. Perhatian yang strategis perlu diberikan pada pengaturan caracara dan platform pembelajaran dengan cara yang memampukan pengetahuan dan kapasitas dari stakeholder yang lemah, agar didengar oleh yang kuat dan untuk mengembangkan sinergi yang memampukan penyelesaian masalah. Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas: Pembelajaran dari Lapangan 23 Biaya pembelajaran harus dialokasikan dengan cara sedemikian, sehingga dapat mengakui kapasitas relatif dan insentif bagi stakeholder yang berbeda yang mengeluarkan biaya tersebut. Dengan cara ini, pembelajaran tersebut lebih mungkin untuk berkelanjutan. Refleksi mengenai peran fasilitator dan tujuan mereka sendiri dalam mengumpulkan masyarakat bersama-sama untuk pembelajaran dapat menunjukkan adanya bias antara pendekatan pembelajaran dan menunjukkan beberapa kolaborator tidak terlibat secara efektif. Pembelajaran sosial tentu tidak mungkin atau dikehendaki bisa dalam segala situasi. Akan ada biaya dan batasan-batasan yang signifikan. Faktor-faktor pembatas dalam pembelajaran sosial, berdasar pada pengalaman para peserta, adalah memenuhi komitmen waktu, mengembangkan kapasitas fasilitasi, bekerja dengan keragaman budaya, mengatasi hubungan kekuasaan dan membayar biaya. Pembelajaran sosial merupakan proses yang panjang, banyak tahap yang bisa jadi mahal. Pembelajaran pada skala yang lebih luas (seperti lanskap), yang biasanya diperlukan dalam pengelolaan hutan, memiliki masalah tertentu, khususnya yang berhubungan dengan biaya-biaya transaksi, yang berhubungan dengan keragaman kelompok, pemberlakuan strategi komunikasi yang layak, membangun dan memelihara kepercayaan dan sebagainya. Selain masalah-masalah praktis seperti biaya, waktu dan kreativitas, ada batasan-batasan pada peran di mana pembelajaran dan kolaborasi dapat meningkatkan pengelolaan hutan berkelanjutan. Untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu, pola-pola negosiasi konflik dan kompromi secara tak-terhindarkan lagi harus dibiarkan untuk memberikan jalan pada otoritas dan aturan yang dimandatkan secara hukum. Dalam beberapa situasi tertentu, mungkin akan ada strategis untuk merangkul perbedaan, dan bahkan seperti dalam konflik terbatas, di antara stakeholder daripada mencoba menetralkan perbedaan itu melalui kolaborasi. Mengetahui kapan dan bagaimana menerapkan strategi itu perlu pengetahuan politik dari stakeholder, teori intervensi baik dan menyeluruh serta keahlian 24 Louise E. Buck, Eva Wollenberg and David Edmunds komunikasi yang luar biasa. Kombinasi tekanan politik eksternal dan tuntutan kinerja internal seharusnya memperingatkan kita, agar dapat menempatkan harapan dan keyakinan pada tingkat yang realistis dalam pendekatan pembelajaran sosial untuk menyelesaikan dilema pengelolaan hutan. PENGORGANISASIAN BAB-BAB Untuk menyampaikan pengalaman dari studi kasus ini, tetapi juga menarik tema yang dibahas di atas, kami telah mengatur babbab dengan cara berikut. Tiga bab pertama oleh Asanga, Kafle dan Datta, memberikan pengantar pada pendekatan umum untuk meningkatkan pembelajaran sosial. Ketiga penulis ini mengkaji, secara berturut-turut, tiga unsur dasar dari pembelajaran sosial: pengembangan kemitraan yang strategis, penggunaan platform multistakeholder, dan pembelajaran organisasi (loop ganda). Melalui penceritaan kembali pengalaman mereka sendiri dalam pengelolaan hutan komunitas di Kamerun, Nepal dan India, setiap penulis memberikan serangkaian teknik yang digunakan dan kekuatan serta kelemahan mereka atau kelayakan teknik pada berbagai kondisi. Enam bab berikutnya menyoroti isu-isu spesifik yang berhubungan dengan praktek pembelajaran sosial. Nemarundwe memunculkan masalah mengenai bagaimana prinsip-prinsip perancangan kelembagaan untuk pengelolaan common property dapat dengan sendirinya fleksibel dan disesuaikan dengan kondisi perubahan di Zimbabwe. Cao dan Zhang mempertanyakan pikiranpikiran dalam teori pluralisme mengenai ketidakmungkinan dan keengganan akan konsensus. Mereka menunjukkan bahwa dalam prakteknya, konsensus sangat dinilai di China dan sangat penting untuk memahami proses-proses multistakeholder. Di Tanzania, Massawe menunjukkan biaya dan keahlian yang diperlukan untuk memfasilitasi pembelajaran sosial dan memunculkan permasalahan praktis mengenai bagaimana pembelajaran sosial dapat dilanjutkan setelah donor pergi. Ayling melihat hutan yang lebih luas di Kanada untuk menyoroti kesulitan dalam melakukan pembelajaran sosial dengan skala yang lebih besar. Khan menggambarkan kesulitan yang diatasi oleh pemerintah Pakistan dalam mencapai organisasi lain dan Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas: Pembelajaran dari Lapangan 25 menciptakan hubungan kolaboratif yang positif. Upreti merefleksikan upaya-upaya di Nepal untuk mengatur program community forestry menjadi lebih setara. Secara bersamaan, bab-bab tersebut menunjukkan banyaknya dimensi hubungan sosial yang dilibatkan dalam pengelolaan hutan komunitas dan kesulitan untuk meningkatkan pembelajaran di sepanjang hubungan tersebut. Mereka menggambarkan situasi yang berantakan, kompleks dan tidak selalu berhasil. Mereka menunjukkan di mana teori sangat sulit diterapkan. Pengalaman-pengalaman seperti inilah yang kita harapkan akan memajukan perkembangan konsep tentang pembelajaran sosial dan akhirnya, prakteknya sekaligus. Pembelajaran sosial dalam kehutanan masyarakat oleh multistakeholder menawarkan pendekatan untuk menghasilkan generasi inisiatif baru yang berakar dalam hubungan kolaboratif. Kasuskasus yang kami sajikan di sini, semuanya adalah pekerjaanpekerjaan yang masih sedang berlangsung. Tidak ada kesimpulan mengenai efek-efek dari proses pembelajaran sosial pada tujuan pengelolaan hutan komunitas. Sebagian dari kekuatan pembelajaran sosial terlihat dalam rasa optimisme di mana situasi dapat diperbaiki dengan memodifikasi perspektif, mencoba pendekatan baru, melihat apa yang bekerja dan mencobanya lagi. Karena kita dapat menjelaskan dari pengalaman kolektif kita melalui bab-bab ini, suatu perspektif pembelajaran sosial dapat memunculkan aktor sosial dari habitat yang lama untuk memungkinkan lahirnya inovasi yang luar biasa. 26 Louise E. Buck, Eva Wollenberg and David Edmunds BAHAN RUJUKAN Anderson, J., Clemant, J. and Crowder, L. V. 1999. “Pluralism in sustainable forestry and rural development: an overview of concepts, approaches and future steps.” In: “FAO. Pluralism an d Sustainable Forestry and Ruaral Development.” Proceedings of an International Workshop, 17-28. Food and Agriculture Organization, Rome. Borrini-Feyerabend, G., Farvar, M. T., Nguinguiri, J. C. and Ndangang, V. A. 2000. Comanagement of natural resources: organizing, negotiating, and learning-by-doing. GTZ and IUCN, Heidelberg, Germany. Daniels, S. and Walker, G. 1999. “Rethinking public participation in natural resources management: concept from pluralism and five emerging approaches.” In: FAO. “Pluralism and Sustainable forestry and Rural Development.” Proceedings of an International Workshop, 9-12 December 1997, 29-48. Food and Agriculture Organization, Rome. Fox, J., Fisher, L. and Cook, C. (eds.) 1997. Conflict and Collaboration: Eighth Workshop on Community Management of Forest Lands. Program on Environment, East-West Center, Honolulu, Hawaii. Hamilton, G., 1998. “Co-learning tools: powerful instruments of change in Southern Queensland, Australia.” In: Röling, N. G. and Wagemakers, M. A. E. (eds.) Facilitating Sustainable Agriculture, 172-190. Cambridge University Press, Cambridge. Lee, K. N. 1993. Compass and gyroscope: Integrating science and politics for the environment. Island Press, Washington D.C., USA. Maarleveld, M. and Dangbégnon, C. 1999. “Managing natural resources: A social learning perspective.” Agriculture and Human Values 16: 267-280. Parson, E. A. and Clark, W. C. 1995. “Sustainable development as social learning: theoretical perspectives and practical challenges for the design of a research program.” In : Gunderson, L. H., Holling, C. s. and Light, S. S. (eds.) Barriers and Bridges to the Renewal of Ecosystems and Institutions, 428-459. Columbia University Press, New York, NY. Röling, N. G. 1994. “Communication support for sustainable natural resources management.” In : Davis, S. (ed.) “Knowledge is Power? The Use and Abuse of Information in Development.” IDS Bulletin, Vol. 25 (2): 125-133. Röling, N. G. and Jiggins, J. 1998. “The ecological knowledge system.” In: Röling, N. G. and Wagemakers, M. A. E. (eds.) Facilitating Sustainable Agriculture, 281-307. Cambridge University Press, Cambridge. Saigal, S. 1997. “Beyond experimentation: emerging issues and conflicts over joint forest management in India.” In : Fox, J., Fisher, L. and Cook. C. (eds.) Conflict and Collaboration: Eighth Workshop on Community Management of Forest Lands, 1-26 Program on Environment, East-West Center, Honolulu, Hawaii. Steele, R., Nielson, E. and Mboji, E. 1999. “Community learning and education in a pluralistic environment: implication for sustainable forestry, agriculture and rural development.” In: “FAO. Pluralism and Sustainable Forestry and Ruaral Development.” Proceedings of an International Workshop, 153-180. Food and Agriculture Organization, Rome Steins, N. A. and Edwards, V M. 1999. “Platforms for collective action in multiple use common-pool resources.” Agriculture and Human Values 16: 241-255. Western, D. 1994. Natural Connections. Perspectives in Community-Based Conservation. Island Press, Washington D.C., USA. Woodhill, J. and Röling, N. G. 1998. “The second wing of the eagle: the human dimension in learning our way to more sustainable futures.” In: Röling, N. G. and Wagemakers, M. A. E. (eds.) Facilitating Sustainable Agriculture, 46-71. Cambridge University Press, Cambridge. Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas: Pembelajaran dari Lapangan 27 28 Louise E. Buck, Eva Wollenberg and David Edmunds