Volume III Nomor 2 Desember 2016 / ISSN 2460-1802 PENANAMAN PENDIDIKAN KARAKTER PADA ANAK MELALUI PENGEMBANGAN KECERDASAN EMOSIONAL oleh: Dianti Yunia Sari Program Studi PGPAUD Universitas Islam Nusantara ABSTRAK Pada dasarnya orangtua mendambakan anak-anaknya berhasil meraih kesuksesan bukan hanya dalam prestasi akademik tetapi juga perilakunya (good character).Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, maka tentu harus dipersiapkan generasi yang memiliki nilai-nilai karakter yang kuat. Nilai-nilai karakter ini hendaknya ditanamkan sejak usia dini karena diyakini bahwa usia dini merupakan tahap yang paling potensial anak dalam mempelajari hal-hal yang baru. Menanamkan pendidikan karakter yang dituangkan dalam bentuk nilai-nilai karakter pada anak melalui pendekatan pengembangan kecerdasan emosional anak merupakan salah satu langkah bagi orangtua maupun guru di dalam memperbaiki sumber daya manusia. Maka, melatih kecerdasan emosional menjadi suatu upaya pengembangan emosi yang baik demi keberhasilan dan kesuksesan anak di masa depan. Mengembangkan kecerdasan emosional pada anak tentunya tidak terlepas dari dunia bermain.melalui bermain anak berkomunikasi, berinteraksi, belajar mengambil keputusan maupun belajar memecahkan masalah. Secara umum, dengan bermain pendidikan karakter yang ditanamkan pada anak dapat menjadi efektif dan menyenangkan. Kata kunci : Pendidikan Karakter, Kecerdasan Emosional Pendahuluan Generasi sekarang ini cenderung mulai banyak yang mengalami kesulitan emosional.Seperti kurang memiliki sopan santun, mudah cemas, mudah putus asa, pemarah, tidak mandiri, gugup, serta lebih impulsif.Hal ini tentunya akan mempengaruhi perkembangan anak, walaupun secara akademik mereka meraih prestasi (mempunyai kecerdasan intelektual yang tinggi) namun itu bukan merupakan satu-satunya jaminan kesuksesan anak di masa depan.Sebuah laporan dari National Center for Clinical Infant Programs yang dikutip oleh Goleman (2015) menyatakan bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan oleh kumpulan fakta seorang siswa atau kemampuan dirinya untuk membaca, melainkan oleh ukuran-ukuran emosional dan sosial; yakni pada diri sendiri dan mempunyai minat; tahu pola perilaku yang diharapkan orang lain dan bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal; mampu menunggu, mengikuti petunjuk dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan; serta mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan saat bergaul dengan siswa lain.Hampir semua siswa yang prestasi sekolahnya buruk, menurut laporan tersebut tidak memiliki satu atau lebih unsur-unsur kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional perlu di kembangkan sejak usia dini. karena hal ini yang akan mendasari anak ketika dewasa kelak sehingga dapat menyeimbangkan seluruh kehidupannya dengan baik dan membentuk perilaku atau karakter yang diharapkan oleh semua pihak. Keterampilan dasar emosional tidak dapat dimiliki secara tiba-tiba namun memerlukan proses pembiasaan yang berkesinambungan, bagi anak usia dini tentunya metode bermain sangat tepat dalam mengimplementasikannya. melalui metode bermain yang menjadi dunianya kecerdasan emosional ini akan membangun perilaku atau karakter bukan hanya dalam bentuk pengetahuan 99 Volume III Nomor 2 Desember 2016 / ISSN 2460-1802 saja tetapi juga pembiasaan yang kelak hingga dewasa menjadi nilai dan perilaku yang sudah tertanam kuat dalam jiwanya. Membentuk pembiasaan pada usia dini adalah waktu yang tepat karena pada usia ini merupakan masa menanamkan nilai dan pembiasaan yang menjadi dasar bagi pembentukan perilaku pada perkembangan anak. Dalam kehidupan dewasa ini, baik pada lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat, pengembangan kecerdasan emosional masih kurang tepat diterapkan. Seperti kasus yang dihadapi oleh siswa maupun guru karena persoalan sederhana berakhir dengan pertengkaran bahkan pembunuhan, anak-anak yang membentuk geng untuk menimbulkan huru hara di masyarakatdengan alasan menbangun kepercayaan diri dan kasus-kasus lainnya. Thomas Lickona (2012) pun mengutarakan pendapatnya bahwa ada sepuluh tanda perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa, yaitu meningkatnya kekerasan dikalangan remaja; ketidakjujuran yang membudaya; semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru, dan figure pemimpin; pengaruh peer group terhadap tindak kekerasan; meningkatknya kecurigaan dan kebencian; penggunaan bahasa yang memburuk; penurunan etos kerja; menurunya rasa tanggung jawab individu dan warga negara; meningginya perilaku merusak diri; dan semakin kaburnya pedoman moral. Fenomena tersebut tentunya sangat memprihatinkan karena tanda-tanda tersebut sudah terbukti ada di masyarakat.Salah satu solusi untuk dapat mengantisipati perilaku tersebut di atas adalah melalui pendidikan karakter. Pendidikan karakter akan berhasil apabila pada diri anak sudah menunjukkan kebiasaan berperilaku baik yang sudah tertanam dalam jiwa, akal maupun sikap (perilaku) sehingga diharapkan akan menjadi manusia yang unggul tidak hanya pada prestasi akademik tetapi juga cerdas dalam membina diri sendiri, berhubungan dengan temannya dan rmasyarakat. Untuk mewujudkan generasi tersebut, maka tentunya memerlukan suatu pendekatan atau metode yang tepat, logis dan rasional sehingga dapat membentuk manusia yang berkarakter dimana perkembangan pada aspek kognitif harus dikuatkan dengan perkembangan aspek emosi.Karena dengan menguatkan kedua aspek tersebut maka diharapkan adanya keseimbangan seseorang dalam berpikir maupun berperilaku. Dalam ulasan ini penulis akan menjelaskan mengenai bagaimana menanamkan pendidikan karakter melalui pengembangan kecerdasan emosional pada anak usia dini. Pendidikan Karakter Gunawan (2012) mengungkapkan bahwa kata karakter berasal dari bahasa latinkharakter, kharassaein, kharax, dalam bahasa inggris, diterjemahkan characters. Karakter berarti tabiat, budi pekerti, watak .Selanjutnya menurut menurut Alwisol (2006) diartikan sebagai gambaran tingkah laku yang menonjolkan nilai benar-salah, baik-buruk, baik secara eksplisit maupun implisit.Dalam kamus psikologi (2010) dewasa ini penggunaan karakter lebih umum diganti kepribadian (personality) yang digunakan seesensi dengan makna karakter.Berdasarkan beberapa pendapat di atas istilah karakter dapat diartikan suatu sikap atau perilaku yang melekat pada seseorang dan berkaitan erat dengan kepribadiannya. Kepribadian akan menjadi sebuah karakter yang baik apabila didukung oleh berbagai pihak yaitu orang tua, guru dan masyarakat. Salah satu bentuk perwujudan untuk membentuk karakter yang baik yaitu melalui pendidikan karakter. Menurut Marvin & Melinda (2005) pendidikan karakter merupakan suatu pergerakan pendidikan yang mendukung pengembangan sosial dan perkembangan nilai etis (etika), tanggung jawab dan pengembangan karakter generasi muda melalui penekanan pada nilai-nilai universal seperti kepedulian, kejujuran, kerajinan, keadilan, tanggungjawab dan menghargai diri sendiri dan orang lain. Kemudian menurut Megawangi dalam Kesuma Dharma dkk (2012) pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.Dalam pendidikan karakter tentunya 100 Volume III Nomor 2 Desember 2016 / ISSN 2460-1802 ada karakter-karakter yang menjadi pijakan atau dasar dalam mencapai tujuan.Karakter dasar yang diusung dalam pendidikan karakter di Indonesia didasarkan pada sembilan pilar karakter dasar. Kesembilan karakter dasar tersebut adalah: 1) cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya, 2) tanggung jawab, disiplin dan mandiri, 3) jujur, 4) hormat dan santun, 5) kasih sayang, peduli, dan kerjasama, 6) percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, 7) keadilan, dan kepemimpinan, 8) baik dan rendah hati, serta 9) toleransi, cinta damai dan persatuan. Tujuan pendidikan karakter sendiri menurut Battisctich (2008) yang dikutif oleh Musfiroh adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik. Begitu tumbuh dalam karakter yang baik, anak-anak akan tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar, dan cenderung memiliki tujuan hidup. Pendidikan karakter yang efektif, ditemukan dalam lingkungan sekolah yang memungkinkan semua peserta didik menunjukkan potensi mereka untuk mencapai tujuan yang sangat penting.Tentunya dalam menanamkan pendidikan karakter ada strategi-strategi yang dapat dilaksanakan. Strategi dalam pendidikan karakter menuju terbentuknya akhlak mulia dalam diri siswa, menurut Lickona (2012) memaparkan, terdapat tiga komponen good characteryang terdiri dari moral knowing, moral feeling, dan moral action. Ketiga komponen tersebut dapat dilihat dari gambar berikut. MORAL FEELING: MORAL KNOWING: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Morel Awareness Knowing Moral Values Perspective-taking Moral Reasoning Decision-Making Self-Knowledge Consciense Self-Esteem Empathy Loving The Good Self-Control Humility MORAL ACTION: 1. Competence 2. Will 3. Habit Component of Good Character Moral Knowing (Learning to know), pada tahapan ini tujuan diorientasikan pada penguasaan pengetahuan tentang nilai-nilai.Siswa harus mampu membedakan nilai-nilai akhlak mulia dan akhlak tercela serta nilai-nilai universal, memahami secara logis dan rasional pentingnya akhlak mulia dan bahaya akhlak tercela dalam kehidupan.Moral Feeling, tahap ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap akhlak mulia. Moral 101 Volume III Nomor 2 Desember 2016 / ISSN 2460-1802 Doing (Learning to do), pada tahap ini siswa mempraktikan nilai-nilai akhlak mulia itu dalam perilaku sehari-hari. Ketiga komponen tersebut merupakan perwujudan dari implementasi kecerdasan emosional selain kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual.Kecerdasan emosional memegang peranan penting bagi terbentuknya karakter yang baik (Good Character). Hubungan Pendidikan Karakter dengan Kecerdasan Emosional Emosi berasal dari bahasa latinemovereyang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan untuk bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.Goleman (2015) menyatakan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan atau pikiranpikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis serta rangkaian kecenderungan untuk bertindak.selanjutnya menurut Agustian (2005) emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia karena merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia. Jadi, emosi adalah suatu rangkaian perasaan yang muncul dari dalam individu untuk merespon atau bertindak akibat terjadinya suatu peristiwa atau kejadian.Emosi ini dapat berkembang dengan baik apabila seseorang dapat dengan cerdas mengelola emosi tersebut. Salovey dan Mayer yang dikutip Triatna dan Kharisma (2008) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilahmilah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Sementara itu menurut Goleman (2015), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan intelegensi (to manage our emotional life with intelligence), menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial. Kemudian kak Seto (2012) mengungkapkan bahwa Suasana damai dan penuh kasih sayang dalam keluarga contoh-contoh nyata berupa sikap saling menghargai satu sama lain, ketekunan dan keuletan menghadapi kesulitan, sikap disiplin dan penuh semangat, tidak mudah putus asa, lebih banyak tersenyum daripada cemberut, semua ini memungkinkan anak mengembangkan kemampuan yang berhubungan dengan kecerdasan kognitif, kecerdasan emosional maupun kecerdasan moral dan spiritualnya. Hal yang hampir senada juga dikemukakan oleh Robert Coles yang dikutif oleh kak Seto bahwa disamping IQ, ada suatu kecerdasan yang disebut sebagai kecerdasan moral yang juga memegang peranan amat penting bagi kesuksesan seseorang dalam hidupnya. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat di ambil suatu kesimpulan bahwa kecerdasan emosional adalah merupakan suatu keterampilan yang dimiliki oleh seseorang dalam mengendalikan emosinya ketika menghadapi suatu permasalahan dan dapat mengungkapkan pemecahan masalah dengan bijaksana sehingga hasil akhir dari pengendalian emosi tersebut menimbulkan dampak yang positif baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain serta lingkungan sekitarnya.Ketika kecerdasan emosi dapat dikelola dengan sangat baik pada diri seseorang maka serangkaian sikap ataupun perilaku yang disebut karakter dapat menunjukkan keinginan untuk melakukan segala sesuatunya dengan sebaik-baiknya seperti berperilaku jujur, bertanggungjawab, disiplin, dan dapat bekerjasama. Maka dari itu pengembangan kecerdasan emosional pada anak dapat menjadi salah satu pendekatan dalam menanamkan pendidikan karakter . Kecerdasan emosional seseorang akan berpengaruh pada kehidupannya di segala bidang. Baik itu terhadap prestasi belajar, pekerjaannya maupun ketika membina hubungan sosial dengan teman dan masyarakat dalam lingkup sempit maupun luas. Untuk itu pengelolaan emosi 102 Volume III Nomor 2 Desember 2016 / ISSN 2460-1802 sebaiknya dilakukan sejak anak usia dini yang pada masa itu anak berada pada periode sensitif (sensitive periods) di mana pada masa itu anak secara khusus mudah menerima berbagai stimulus dari lingkungannya. sehingga pada masa usia dini merupakan masa yang paling tepat dalam mengembangkan kecerdasan emosional. Mengembangkan kecerdasan emosional pada anak tetap harus menggunakan metode bermain karena dengan metode bermain anak mudah memahami dan dapat melaksanakan dengan nyaman tanpa adanya suatu keterpaksaan.Hal ini sesuai dengan pendapat Triatna dan Kharisma (2008) bahwa bermain adalah sarana melatih keterampilan yang dibutuhkan anak untuk menjadi individual yang kompeten.Bermain adalah pengalaman multidimensi yang melibatkan semua indera dan menggugah kecerdasan jamak seseorang.Bermain merupakan kendaraan untuk belajar bagaimana belajar (learning how to learn).Melalui bermain anak bertanya, meneliti lingkungan, belajar mengambil keputusan, dan berlatih peran sosial.Secara umum, memperkuat seluruh aspek kehidupan anak yang membuat anak menyadari kemampuan dan kelebihannya. Berdasarkan pernyataan tersebut maka pada setiap proses pembelajaran yang diterapkan pada anak tetap harus menggunakan metode bermain termasuk dalam mengembangkan kecerdasan emosionalnya sehingga langkah-langkah yang perlu diimplementasikan dalam menanamkan nilai-nilai karakter pada anak melalui pendekatan pengembangan kecerdasan emosional pada anak akan mudah melaksanakannya sehingga terbentuklah perilaku atau nilai karakter yang diharapkan. Mengembangkan Kecerdasan Emosional Menyimak penjelasan sebelumnya mengenai hubungan pendidikan karakter dengan kecerdasan emosional, tentunya karakter dapat ditumbuhkan dalam diri seseorang apabila dalam dirinya terdapat ciri-ciri atau karakteristik yang menunjukkan kecerdasan emosional.menurut Goleman (2015) ada sembilan karakteristik pada anak yang mempunyai kecerdasan emosi yaitu: 1. Mampu memotivasi diri sendiri 2. Mampu bertahan menghadapi frustasi 3. Lebih cakap untuk menjalankan jaringan informalnya/nonverbal (memiliki tiga variasi, yaitu jaringan komunikasi, jaringan keahlian, dan jaringan kepercayaan). 4. Mampu mengendalikan dorongan hati. 5. Cukup luwes untuk menemukan cara/alternative agar sasaran tetap tercapai atau untuk mengubah sasaran jika sasaran semula muskil dijangkau. 6. Tetap memiliki kepercayaan tinggi bahwa segala sesuatunya akan beres ketika sedang menghadapi tahap sulit. 7. Memiliki empati yang tinggi. 8. Mempunyai keberanian untuk memecahkan tugas yang berat menjadi tugas kecil yang mudah ditangani. 9. Merasa cukup banyak akal untuk menemukan cara dalam mencapai tujuan. Dalam mengembangkan kecerdasan emosional, Wiyani (2014) dalam bukunya mengelola dan mengembangkan kecerdasan sosial dan emosional anak usia dini ada lima komponen yang harus ditumbuhkankembangkan pada anak usia dini agar mereka memiliki kecerdasan emosional. Kelima komponen tersebut antara lain: 1) kemampuan mengenali emosi diri, 2) kemampuan mengatur emosi diri, 3) kemampuan mengenali emosi orang lain, 4) kemampuan mengelola emosi orang lain. Sementara itu, Goleman (2015) mengungkapkan bahwa ada tujuh unsur utama pada kecerdasan emosional anak usia dini. Ketujuh unsur tersebut sangat mempengaruhi kesiapan anak usia dini untuk masuk ke taman kanak-kanak atau kelompok bermain. Ketujuh unsur tersebut antara lain: a) keyakinan, b) rasa ingin tahu, c) niat, d) kendali diri, e) keterkaitan, f) kecakapan berkomunikasi, g) kooperatif. 103 Volume III Nomor 2 Desember 2016 / ISSN 2460-1802 Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam membimbing anak agar dapat mencapai kecerdasan emosional pada kadar yang tinggi yaitu melalui proses pelatihan dan pendidikan yang dilakukan sejak dini secara berkelanjutan hingga dewasa dengan membiasakan diri pada anak untuk melatih keterampilan-keterampilan yang dapat mentransformasikan berbagai kecakapan kepada anak agar ia mampu menyelesaikan tugas perkembangan emosinya seperti toilet training dan self training. Proses pelatihan dan pendidikan juga dapat dilakukan melalui pembiasaan rutin yang diprogramkan secara terus menerus dan konsisten dilakukan setiap saat. Beberapa kegiatan pembiasaan rutin seperti pembiasaan 3 S (Senyum, Sapa, Salam), pembiasaan spontan yaitu dengan pemberian reinforcement atau penguatan terhadap perilaku yang positif maupun perilaku negative, selain itu dapat juga dilakukan pembiasaan keteladanan serta pengondisian. Hal yang paling penting bagi anak usia dini yaitu bermain. Bermain memiliki makna tersendiri bagi anak karena dengan bermain anak dapat mengaktualisasikan dirinya serta mengenal individu selain dirinya sendiri dengan cara berinteraksi dan berkomunikasi. Dari berinteraksi dan berkomunikasi inilah proses pelatihan dan pendidikan bagi pengembangan kecerdasan emosinya dapat dioptimalisasikan. Kegiatan bermain yang dapat dijadikan latihan bagi anak yang perlu dikembangkan agar memiliki kecerdasan emosional, yaitu melalui kegiatan bermain sosial. Manfaat dari kegiatan bermain sosial ini, Wiyani (2014) menjelaskan dalam: mengembangkan kemampuan mengorganisasi dan menyelesaikan masalah, berinteraksi sosial (interaksi dengan teman sebaya, orang dewasa, dan memecahkan konflik), kerja sama (interaksi saling membantu, berbagi, dan pola bergiliran), peduli terhadap orang lain (memahami dan menerima perbedaan individu), menguasai konflik dan trauma sosial, serta memberikan kesempatan kepada anak untuk mengenal diri sendiri. Di dalam menanamkan pendidikan karakter malalui pengembangan kecerdasan emosional pada anak tentunya tidak terlepas dari peran orang dewasa yaitu orangtua maupun guru. Dampak dari pola pengasuhan ini pada akhirnya akan menanamkan karakter sesuai dengan pola asuh yang diberikan. Sehingga tidak serta merta penyebab berbagai peristiwa terjadi akibat ulah anak melainkan bisa terjadi karena pola asuh orangtua juga yang kurang tepat bahkan tidak tepat.menurut Gardner (1993) yang sering ditunjukkan oleh para orangtua dalam kaitannya dengan pengembangan kecerdasan emosi anak, antara lain adalah 1) Orangtua Pengabai Emosi, seperti tidak memperhatikan emosi anak, ingin emosi anak cepat hilang, merasa gagal bila anak menunjukkan emosi negative, berpendapat bahwa emosi itu berbahaya dan tidak menyelesaikan masalah bersama anak. 2) Orangtua Penentang Emosi, yaitu meremehkan dan mencela emosi anak, menuntut anak patuh, menghukum anak karena emosi negatifnya. 3) Orangtua serba boleh, seperti menerima emosi anak, selalu menghibur anak, tidak mengajari anak mengenali emosinya dan tidak membantu anak menyelesaikan masalah. 4) Orangtua Pencerdas Emosi, seperti menghargai emosi anak, mau mendengarkan anak, berempati dengan kata-kata menenangkan, membantu anak mengenali emosinya serta membimbing cara memecahkan masalah. Dari pola pengasuhan orangtua tersebut tentunya kita menginginkan orangtua yang cerdas dalam mengatasi emosi pada anak.Adapun cara-cara yang dapat dilakukan oleh orang tua ataupun guru di sekolah dalam melatih anak mengembangkan kecerdasan emosionalnya adalah 1) menjadi contoh yang baik, 2) mengajarkan pengenalan emosi, 3) menanggapi perasaan anak, 4) melatih pengendalian diri, 5) melatih pengelolaan emosi, 6) menerapkan disiplin dengan konsep empati, 7) melatih keterampilan komunikasi, 8) mengungkapkan emosi dengan kata-kata, 9) memperbanyak permainan dinamis, 10) memperdengarkan musik indah dengan ritme teratur, 11) marah, sedih, dan cemas bukan hal tabu, 12) menyelimuti dengan iklim positif. 104 Volume III Nomor 2 Desember 2016 / ISSN 2460-1802 Sementara itu Salovry dan Mayer yang dikutif tim Surya Kanti (2000) mengemukakan bahwa terdapat lima cara yang dapat dilakukan untuk membina emosi sehat pada anak. Kelima cara itu adalah: 1. Mengembangkan Kemampuan Mengenali Emosi Diri yaitu membantu anak mengenali emosinya dengan cara mengajarkan anak untuk memahami perasaan-perasaan yang dialaminya kemudian mengajak anak untuk mendiskusikan mengenai berbagai emosi yang dirasakan berdasarkan pengalamannya. 2. Mengembangkan Kemampuan untuk Mengelola dan Mengeskpresikan Emosi secara Tepat, yaitu membiasakan anak untuk berpikir realistis sehingga anak dapat menanggapi suatu kejadian dengan perilaku yang tepat. 3. Mengembangkan Kemampuan untuk Memotivasi Diri, yaitu pengembangan kemampuan untuk memotivasi diri didorong oleh kemampuan anak dalam menyelesaikan masalah dan orang tua serta guru diharapkan tidak mengabaikan kemampuan anak untuk memecahkan masalah. 4. Mengembangkan Kemampuan untuk Memahami Perasaan Orang Lain, yaitu mengembangkan keterampilan anak dalam memahami perasaan orang lain dalam upaya mengembangkan empati dan kepedulian terhadap orang lain. Anak sebaiknya mendapatkan pengalaman langsung dalam kehidupan nyata untuk merasakan perasaan tersebut. 5. Mengembangkan Kemampuan untuk Membina Hubungan dengan Orang Lain, yaitu dengan melatih anak untuk bergabung dengan anak yang lain, bermain kelompok, dan melakukan kerjasama. Untuk itu latihan yang perlu dikembangkan pada anak dalam mengembangkan kecerdasan emosional ini diantaranya wujud nyata melalui latihan pembentukan kasih sayang dengan cara menyayangi orang-orang disekitarnya dengan bersikap ramah dan sayang atau memelihara dan merawat binatang peliharaan dengan baik, kemudian menumbuhkan rasa empati dengan cara menengok temannya yang sakit, pada saat itu anak seolah-olah ia mengalami peristiwa tersebut. Selain itu melatih mengendalikan emosi yang berhubungan dengan kemampuan penyesuaian diri dan mengendalikan tindakan seperti sabar menunggu giliran, melaksanakan kegiatan sendiri dengan tuntas dan latihan-latihan yang lainnya. Disini betapa penting peran orangtua dan guru dalam kecerdasan emosional anak.ketika ada hambatan dalam proses pengembangan kecerdasan emosinya, maka orangtua dan guru membimbing dan mengarahkan anak melalui berbagai hal tersebut di atas secara terus menerus dan berkesinambungan sampai anak dapat dengan mudah mengenal emosi dirinya dan dapat mengendalikan emosi sesuai dengan usia perkembangannya. Ketika hal ini terjadi maka secara bertahap anak sudah terbiasa memiliki karakter yang baik dan melekat kuat pada diri anak. Kesimpulan Pada dasarnya orangtua maupun guru menginginkan anak-anaknya untuk tumbuh cerdas dan baik perilakunya.Namun untuk mewujudkan itu semua anak-anak membutuhkan bimbingan atau pengarahan yang dapat menghantarkan mereka menjadi manusia yang unggul. Tidak hanya unggul dalam prestasi akademik saja tetapi juga unggul dalam membangun karakter melalui pengembangan kecerdasan emosinya pada kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain serta kemampuan membina hubungan. Tentunya orangtua dan guru memegang peranan yang sangat penting bagi anak dalam memfasilitasi pengembangan kecerdasan emosi tersebut.Selain orang tua dan guru, lingkungan pun memegang peranan yang sangat menentukan. Lingkungan yang kondusif akan membantu anak dalam menstabilkan emosi, itu terlihat saat anak berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. 105 Volume III Nomor 2 Desember 2016 / ISSN 2460-1802 Bimbingan dan pengarahan pada anak usia dini tentunya tidak terlepas dari dunia bermain. Bagi mereka bermain adalah hal yang paling menyenangkan.Untuk itu apapun pendekatannya dalam menanamkan karakter maka metode bermain tetap digunakan.Nilai-nilai karakter seperti jujur, adil, bertanggung jawab, dapat bekerjasama merupakan fungsi dari kecerdasan emosional.Untuk itu, orang dewasa perlu melatih kecerdasan emosional pada anak agar dapat mencapai suatu keberhasilan yang hakiki. Daftar Pustaka Alwisol (2006).Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Agustian, A.G (2005). Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual.Jakarta: Arga Goleman, D. (2015). Kecerdasan Emosional: Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ. Bandung: Pustaka Setia. Gunawan, H. (2012). Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta Gardner, H. (1993). Multiple Intelligences. New York. Basic Books Harper Collins Publ., Inc. Kesuma, D. dkk.(2012). Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya. Lickona, T. (2012).Educating For Character. Mendidik Untuk Membentuk Karakter. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Musfiroh, T. (2008).Pengembangan Karakter Anak Melalui Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Tiara Wacana Mulyadi, S. (2008).Peran Pendidikan dalam Membangun Karakter Anak. Yogyakarta: Tiara Wacana Marvin, W. B & Melinda B. (2005).What Work in Character Education: A Research-Driven Guide for Educator. Washington: Character Education Patnership. Reber, A. S dan Emily S. R (2010).Kamus Psikologi. Diterjemahkan oleh Yudi Santoso. Jakarta; Pustaka Pelajar Wiyani, N.A. 2014. Mengelola dan Mengembangkan Kecerdasan Sosial & Emosi Anak Usia Dini. Jogjakarta: Arruz Media. 106 Volume III Nomor 2 Desember 2016 / ISSN 2460-1802 Daftar Pustaka Bachri, S. Bachtiar. (2010). Impelementasi pengembangan Content Curriculum dalam proses perencanaan pembelajaran. Jurnal Teknologi Pendidikan, 10 (2), 1-11 Bahrul, H. (2014) Penilaian Kelas (Classroom Assessment) dalam Penerapan Standard Kompetensi. Jurnal Pendidikan Penabur. 03 (12), 110 Barry Cushway (2002 : 1998) Kinerja. http://id.wikipedia.org/wiki/ diunduh tanggal 20 September 2015. Borhan, L. (1998), Penilaian Autentik Pada Kurikulum 2013 Revisi Prodi Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya 2013. Jurnal Pendidikan Universitas Negeri Sunan Ampel Surabaya 2013. https://www.academia.edu/7233687 BSNP. (2007). Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi.http://dikmenum.go.id/dataapp/kurikulum/3.%20PANDUAN%20 PENILAIAN %20KEL%205%20MAPEL/C_Panduan_Kel_Mapel_Ipteks.pdf (diakses tanggal 15 September 2015). Branson, M.S. (1998). The Role of Civic Education. Calabasas : Center for Civic Education. Branson, M.S. (1999). Making the Case for Civic Education: Where We Stand at the End of the 20th Centure.Washington: CCE. Budimansyah, D dan Suryadi, K. (2008). PKn dan Masyarakat Multikultural. Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia Budimansyah & Winataputra. (2007). Civic Education Konteks, Landasan Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung : Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPS UPI Buku Guru PPKn Kelas XI (2014). Buku Pegangan Guru Pendidikan Kewarganegaraan Kelas XI SMA/SMK. Jakarta : Depdiknas Center for Indonesia Civic Education/CICED (1999) .Democratic Citizens in a Civic society: Report of the Conference on Civic Education for Civic Society, Bandung : CICED. Goudarz Alibakhshi* & Hassan Sharakipour. (2014) The Effect of Self-Assessment on EFL Learners’ Receptive Skills (Kesan Penilaian Kendiri terhadap Kemahiran Reseptif dalam Kalangan Pelajar Bahasa Inggeris sebagai Bahasa Kedua (ELF). Jurnal Pendidikan Malaysia 39 (1) , 9-17 Furqon. (2011). Statistik Terapan untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Hartono.(2008). Statistik Untuk Penelitian.Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Husaini Usman (2008). Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara Komang, D.M., Made, Y., & I Gusti, K.A.S. (2013). Kontribusi kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, dan kepuasan kerja terhadap kinerja guru PKn pada SMP Pasundan IKabupeten Tabanan. e-Journal. Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, (4), 1-20 Maftuh, B dan Sapriya. (2005). Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Melalui Pemetaan Konsep. Jurnal Civicus 1, (5), 319-321. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor. 104 tahun 2014 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta: Kemendikbud Peraturan Pendidikan Nasional 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta: Kemendikbud Sapriya (2001). http://www.gudangmateri.com/2011/05/ tujuan pendidikan kewarganegaraan .html. diunduh tanggal 10 April 2015. Wagiran, dkk. (2013). Determinan kinerja guru SMK bidang keahlian teknik mesin. Jurnal. Penilaian Evaluasi Pendidikan, 17 (1), 148-171 107