BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Manajemen Pembelajaran Proses pembelajaran dalam institusi pendidikan memerlukan manajemen yang baik sehingga bisa berlangsung dengan efektif dan efisien. Pelaksanaan yang efektif diharapkan mampu menghasilkan out put yang berkualitas. Oleh karenanya, manajemen pembelajaran baik dari tahap perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi kegiatan yang berkaitan dengan proses pembelajaran guna mencapai tujuan pengajaran seorang guru. 1. Perencanaan Pembelajaran Perencanaan pembelajaran adalah suatu proses dan cara berpikir mengenai sesuatu hal yang akan dilakukan dengan tujuan agar diri seseorang dapat berubah. Perubahan tersebut mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik (Suwardi, 2007: 30). Perencanaan dalam sebuah pembelajaran sangatlah penting dipersiapkan oleh guru di SDN Bergaskidul 03 pada awal, supaya pembelajaran benar-benar terencana dan terprogram dengan baik. Seorang guru harus mempersiapkan program tahunan (prota), program semester (promes), silabus 7 dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Pemilihan metode pembelajaran juga menjadi prioritas awal yang harus dicermati oleh guru supaya pembelajaran bisa berjalan dengan baik, lancar serta tepat sasaran (Hamalik, 2011: 45). Menyesuaikan RPP yang telah dibuat guru SDN Bergaskidul 03 juga memilih metode pembelajaran yang mencerminkan pendidikan karakter yang telah dipilih dalam RPP. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rancangan pembelajaran mata pelajaran per unit yang akan digunakan guru dalam pembelajaran di kelas. Bagi guru, rencana pengajaran ini berfungsi sebagai acuan untuk melaksanakan proses belajar mengajar di kelas agar lebih efisien dan efektif (Uzer Usman, 2008: 61). Berdasarkan RPP seorang guru diharapkan dapat menerapkan pembelajaran secara terprogram dan terperinci. Dengan demikian, RPP harus mempunyai daya terap (aplicable) yang tinggi. Tanpa perencanaan yang matang, target pembelajaran tidak dapat tercapai dengan maksimal. Dengan kata lain, melalui RPP dapat diketahui kadar kemampuan guru dalam menjalankan profesinya. Secara struktural rencana pembelajaran mencakup komponen-komponen berikut: (1) Standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator pencapaian hasil belajar; (2) Tujuan pembelajaran; (3) Materi pembelajaran; (4) Pendekatan dan metode pembelajaran; (5) Langkah-langkah kegiatan pembelajaran; (6) Alat dan sumber bahan belajar; (7) Evaluasi pembelajaran. 8 Persiapan pembelajaran ini dikenal dengan perencanaan, yaitu salah satu cara untuk membuat kegiatan pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Persiapan ini juga harus disertai dengan berbagai langkah antisipatif guna memperkecil kesenjangan yang terjadi sehingga kegiatan tersebut mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Uno, 2008: 2). Kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan yang disadari dan direncanakan. Perencanaan pembelajaran ini berkaitan dengan suatu program yang isinya mengenai bagaimana mengajarkan pendidikan karakter yang sudah dirumuskan dalam kurikulum. Perencanaan pembelajaran ini harus sesuai dengan konsep pendidikan dan pembelajaran yang dianut dalam kurikulum (Syaodih dan Ibrahim, 2003: 51). Uno (2008: 3) menyatakan upaya perencanaan pembelajaran dilakukan dengan asumsi: (1) Untuk memperbaiki kualitas pembelajaran dapat diawali dengan perencanaan pembelajaran yang diwujudkan dengan adanya sekenario pembelajaran; (2) Untuk merancang suatu pembelajaran perlu dilakukan pendekatan sistem; (3) Perencanaan desain pembelajaran diacukan bagaimana seseoarang belajar; (4) Untuk merencanakan suatu desain pembelajaran ditujukan pada siswa secara perorangan; (5).Tujuan akhir dari perencanaan pembelajaran adalah mudahnya siswa untuk memahami pembelajaran. Dari uraian tersebut bisa dikatakan bahwa perencanaan pembelajaran merupakan suatu proses persiapan awal guru mengenai sesuatu hal yang akan dilakukan dalam pembelajaran dengan tujuan peru9 bahan peserta didik pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. 2. Pelaksanaan Pembelajaran Prayudi (2007: 1) mengemukakan bahwa proses pembelajaran adalah sebuah upaya bersama antara guru dan siswa untuk berbagi dan mengolah informasi dengan tujuan agar pengetahuan yang terbentuk terinternalisasi dalam diri peserta didik dan menjadi landasan belajar secara mandiri dan berkelanjutan. Menurut Dimyati dan Mudjiono (dalam Syaiful Sagala, 2011: 62) pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Lebih lanjut menurut Corey (dalam Syaiful Sagala, 2011: 61) pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisikondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu. Pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan. Dari pendapat tersebut bisa dikatakan bahwa kriteria keberhasilan sebuah proses pembelajaran adalah adanya interaksi antar guru dan siswa sehingga muncul perubahan tingkah laku dan kemampuan belajar berkelanjutan secara mandiri pada siswa. Dalam proses pembelajaran, seorang guru selain berkewajiban menyampaikan materi pelajaran sebagai10 mana yang telah tersusun dalam RPP, guru juga memiliki tugas mengkontrol perilaku siswa dalam pembelajaran dengan mengacu pada aspek pendidikan karakter. Pada tahap pelaksanaan pembelajaran, guru hendaknya mengelola pembelajaran secara sistematis melalui tahap kegiatan awal pembelajaran, kegiatan inti pembelajaran dan diakhiri dengan kegiatan akhir pembelajaran sehingga menjadi lebih efektif dan efisien. Pertama, tahap kegiatan awal, guru memberikan salam, memeriksa kesiapan siswa, menjelaskan tujuan pembelajaran, memberi penjelasan tentang materi yang akan dipelajari. Kedua, tahap kegiatan inti meliputi: eksplorasi, elaborasi, konfirmasi (EEK). Dalam kegiatan eksplorasi, guru melibatkan peserta didik dalam mencari dan menghimpun informasi, menggunakan media untuk memperkaya pengalaman mengelola informasi, memfasilitasi peserta didik berinteraksi sehingga peserta didik aktif, mendorong peserta didik mengamati berbagai gejala, menangkap tanda-tanda yang membedakan dengan gejala pada peristiwa lain, mengamati objek di lapangan dan labolatorium. Dalam kegiatan elaborasi, guru mendorong peserta didik membaca dan menuliskan hasil eksplorasi, mendiskusikan, mendengar pendapat, untuk lebih mendalami sesuatu, menganalisis kekuatan atau kelemahan argumen, membangun kesepakatan melalui kegiatan kooperatif dan kolaborasi, membiasakan 11 peserta didik membaca dan menulis, menguji prediksi atau hipotesis, menyimpulkan bersama, dan menyusun laporan atau tulisan, menyajikan hasil belajar. Dalam kegiatan konfirmasi, guru memberikan umpan balik terhadap apa yang dihasilkan peserta didik melalui pengalaman belajar, memberikan apresiasi terhadap kekuatan dan kelemahan hasil belajar dengan menggunakan teori yang dikuasai guru, menambah informasi yang seharusnya dikuasai peserta didik, mendorong peserta didik untuk menggunakan pengetahuan lebih lanjut dari sumber yang terpercaya untuk lebih menguatkan penguasaan kompetensi belajar agar lebih bermakna. Setelah memperoleh keyakinan, maka peserta didik mengerjakan tugastugas untuk mengasilkan produk belajar yang konkrit dan kontekstual. Guru membantu peserta didik menyelesaikan masalah dan menerapkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, tahap kegiatan akhir. Pada tahap ini pendidik dan peserta didik membuat rangkuman dari materi pelajaran yang telah diajarkan. Dari uraian tersebut bisa dikatakan bahwa pada tahap pelaksanaan pembelajaran guru harus melaksanakan dan menguasai tahap awal, inti dan evaluasi dengan efektif dan efisien. 3. Evaluasi Pembelajaran Evaluasi merupakan komponen dalam sistem pembelajaran. Fungsi utama evaluasi dalam kelas 12 adalah untuk menentukan hasil-hasil urutan pengajaran. Tujuan evaluasi untuk memperbaiki pengajaran dan penguasaan tujuan tertentu dalam kelas (Oemar Hamalik, 2011: 145-146). Evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagaimana tujuan pendidikan dapat tercapai. Menurut Mardia Hayati (2009: 51) evaluasi adalah proses untuk melihat apakah perencanaan yang sedang dibangun berhasil, sesuai dengan harapan awal atau tidak. Pembelajaran yang terjadi di sekolah atau khususnya di kelas, guru adalah pihak yang bertanggung jawab atas hasil belajar siswa. Dengan demikian, guru patut dibekali dengan evaluasi sebagai ilmu yang mendukung tugasnya, yakni mengevaluasi hasil belajar siswa. Dalam hal ini guru bertugas mengukur apakah siswa sudah menguasai ilmu yang dipelajari oleh siswa atas bimbingan guru sesuai dengan tujuan yang dirumuskan (Arikunto, 2006: 3-4). Berdasarkan pendapat tersebut bisa disimpulkan bahwa evaluasi adalah suatu proses yang sistematis untuk mengetahui keberhasilan suatu program sesuai dengan kriteria tertentu. 2.1.2 Pendidikan Karakter 1. Pengertian Pendidikan Karakter Karakter merupakan nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri 13 sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan bangsa yang terwujud dalam pikiran, perasaan, sikap, perkataan, dan perbuatan dalam norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Menurut Vishalache (2010: 90): Education is expected to integrate the nation and aims to create a harmonious environment between the different ethnic groups. Character Education (2011: 151) Character education is a national movement creating schools that foster ethical, responsibleand caring young people by modeling and teaching good character through emphasis on universal values that we all share. Lebih lanjut Marvin (2005: 2) mengemukakan: Character education is a national movement creating schools that foster ethical, responsible, and caring young people by modeling and teaching good character through emphasis on universal values that we all share. It is the intentional, proactive effort by schools, districts, and states to instill in their students important core, ethical values such as caring, honesty, fairness, responsibility, and respect for self and others (Character Education Partnership). Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai karakter pada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilainilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk 14 komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu: isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Endang (2012: 4) menyatakan, pembinaan karakter harus terus-menerus dilakukan secara holistik dari semua lingkungan pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan karakter pada usia dini di keluarga bertujuan untuk pembentukan, pada usia remaja di sekolah bertujuan untuk pengembangan, sedangkan pada usia dewasa di bangku kuliah bertujuan untuk pemantapan. Tugas-tugas pendidik adalah menyediakan lingkungan belajar yang baik untuk membentuk, mengembangkan dan memantapkan karakter peserta didiknya. Pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh tidak sekedar membentuk anak-anak muda menjadi pribadi yang cerdas dan baik, melainkan juga membentuk mereka menjadi pelaku bagi perubahan dalam hidupnya sendiri, yang pada gilirannya akan menyumbangkan perubahan dalam tatanan sosial kemasyarakatan agar menjadi lebih adil, baik, dan manusiawi (Doni Koesoema, 2003: 25). Dari pendapat di atas bisa disimpulkan bahwa pendidikan karakter siswa hendaknya dimulai sejak dini, terbentuk secara berkelanjutan dengan dukung15 an berbagai lingkungan, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat sehingga berpengaruh bagi diri sendiri dan orang lain. 2. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Karakter Sesuai dengan fungsi Pendidikan Nasional yang tertuang dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dinyatakan bahwa: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan karakter dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan karakter berfungsi: (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa. 16 DIKTI (2010) menyatakan bahwa secara khusus pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama, yaitu: 1. Pembentukan dan Pengembangan Potensi Pendidikan karakter berfungsi membentuk dan mengembangkan potensi manusia atau warga negara Indonesia agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila; 2. Perbaikan dan Penguatan Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki karakter manusia dan warga negara Indonesia yang bersifat negatif dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi manusia atau warga negara menuju bangsa yang berkarakter, maju, mandiri, dan sejahtera; 3. Penyaring Pendidikan karakter bangsa berfungsi memilah nilai-nilai budaya bangsa sendiri dan menyaring nilai-nilai budaya bangsa lain yang positif untuk menjadi karakter manusia dan warga negara Indonesia agar menjadi bangsa yang bermartabat. Menurut salah seorang pakar pendidikan Darmawan Iskandar (2010), bahwa: Pendidikan merupakan proses yang terjadi secara terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia. Nilai-nilai pendidikan sendiri adalah suatu makna dan ukuran yang tepat dan akurat yang 17 mempengaruhi adanya pendidikan itu sendiri. Di antara nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter Bangsa, ada 18 unsur dan nilai yang mana di antaranya adalah: 1. Religius; 2. Jujur; 3. Toleransi; 4. Disiplin; 5. Kerja Keras; 6. Kreatif; 7. Mandiri; 8. Demokratis; 9. Rasa Ingin Tahu; 10. Semangat Kebangsaan; 11. Cinta Tanah Air; 12. Menghargai Prestasi; 13. Bersahabat atau Komuniktif; 14. Cinta Damai; 15. Gemar Membaca; 16. Peduli Lingkungan; 17. Peduli Sosial, dan 18. Tanggung Jawab. Menurut UU No 20 tahun 2003 pasal 3 menyebutkan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter bangsa yang bermartabat. Ada 9 pilar pendidikan berkarakter, di antaranya adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Cinta Tuhan dan segenap ciptaannya Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian Kejujuran/amanah dan kearifan Hormat dan santun Dermawan, suka menolong dan gotong royong/ kerjasama Percaya diri, kreatif dan bekerja keras Kepemimpinan dan keadilan Baik dan rendah hati Toleransi kedamaian dan kesatuan Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya 18 dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. DIKTI (2010) menyatakan bahwa: Pendidikan karakter dilakukan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilainilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua sekolah. warga sekolah, Budaya dan sekolah masyarakat merupakan ciri sekitar khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas. 19 Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Pendidikan karakter yang selama ini ada di SD perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah. Pendidikan karakter pada dasarnya dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat yang berfungsi untuk pembentukan dan pengembangan potensi, perbaikan dan penguatan, dan penyaringan dengan 18 indikator utama. 3. Materi Pendidikan Karakter Pendidikan bukan sekedar berfungsi sebagai media untuk mengembangkan kemampuan semata, melainkan juga berfungsi untuk membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermatabat. Dari hal ini 20 maka sebenarnya pendidikan watak (karakter) tidak bisa ditinggalkan dalam berfungsinya pendidikan. Oleh karena itu, sebagai fungsi yang melekat pada keberadaan pendidikan nasional untuk membentuk watak dan peradaban bangsa, pendidikan karakter merupakan manifestasi dari peran tersebut. Untuk itu, pendidikan karakter menjadi tugas dari semua pihak yang terlibat dalam usaha pendidikan (pendidik). Secara umum materi tentang pendidikan karakter dijelaskan oleh Berkowitz, Battistich, dan Bier (2008: 442) yang melaporkan bahwa materi pendidikan karakter sangat luas. Dari hasil penelitiannya dijelaskan bahwa paling tidak ada 25 variabel yang dapat dipakai sebagai materi pendidikan karakter. Namun, dari 25 variabel tersebut yang paling umum dilaporkan dan secara signifikan hanya ada 10, yaitu: 1. Perilaku seksual 2. Pengetahuan tentang karakter (Character knowledge) 3. Pemahaman tentang moral social 4. Ketrampilan pemecahan masalah 5. Kompetensi emosional 6. Hubungan dengan orang lain (Relationships) 7. Perasaan keterikan dengan sekolah (Attachment to school) 8. Prestasi akademis 9. Kompetensi berkomunikasi 10. Sikap kepada guru (Attitudes toward teachers). Otten (2000) menyatakan bahwa pendidikan karakter yang diintegrasikan ke dalam seluruh masyarakat sekolah sebagai suatu strategi untuk memban21 tu mengingatkan kembali siswa untuk berhubungan dengan konflik, menjaga siswa untuk tetap selalu siaga dalam lingkungan pendidikan, dan menginvestasikan kembali masyarakat untuk berpartisipasi aktif sebagai warga negara. 4. Metode Pendidikan Karakter Diperlukan beberapa pendekatan agar PK dapat berjalan dengan baik nantinya yang di antaranya adalah: (1) Keteladanan; (2) Kegiatan; (3) Penugasan (pendampingan); (4) Pembiasaan; (5) Ko-kreasi (keterlibatan aktif siswa). Pendidikan karakter akan lebih mudah diterap-kan pada siswa jika dilaksanakan dengan pendekatan dan metode-metode khusus yang diperlukan, sebagai berikut: a. Metode Percakapan Metode percakapan (hiwar) ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih melalui tanya jawab mengenai susatu topik, dan dengan sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang dikehendaki. Dalam proses pendidikan, metode percakapan mempunyai dampak yang sangat mendalam terhadap jiwa pendengar atau pembaca yang mengikuti topik percakapan dengan seksama dan penuh perhatian. b. Metode Cerita (Qishah) Kisah sebagian metode pendukung pelaksanaan pendidikan memiliki peranan yang sangat penting, 22 karena dalam kisah-kisah terdapat berbagai keteladanan dan edukasi. c. Metode Perumpamaan Metode perumpamaan baik digunakan dalam menanamkan karakter kepada peserta didik. Cara penggunaan metode ini adalah dengan berceramah (berkisah atau menbacakan kisah), atau membacakan teks. d. Metode Keteladanan Dalam penanaman karakter keteladanan merupakan metode yang lebih efektif dan efisien, karena peserta didik pada umumnya cenderung meneladani (meniru) guru atau pendidiknya. Hal ini karena secara psikologis peserta didik senang meniru, tidak saja yang baik, bahkan terkadang yang jeleknya pun ditiru. Karena itu orang tua perlu memberikan keteladanan yang baik kepada anak-anaknya. e. Metode Pembiasaan Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-ulang agar sesuatu dapat menjadi kebiasaan. Metode pembiasaan (habituation) ini berintikan pengalaman, karena yang dibiasakan itu ialah sesuatu yang diamalkan. Inti kebiasaan adalah pengulangan. Pembiasaan menempatkan manusia sebagai sesuatu yang istimewa, yang dapat menghemat kekuatan karena akan menjadi kebiasaan yang 23 melekat dan spontan, agar kegiatan ini dapat dilakukan dalam setiap pekerjaaan. Menurut para pakar metode ini sangat efektif dalam rangka pembinaan karakter dan kepribadian anak. Orang tua membiasakan anak-anaknya untuk bangun pagi, maka bangun pagi itu akan menjadi kebiasaan. Dari pendapat tersebut bisa dikatakan bahwa agar proses penerapan pendidikan karakter berlangsung baik dan lancar memerlukan metode yang tepat seperti: metode percakapan, metode cerita (qishah), metode perumpamaan, metode keteladanan, dan metode pembiasaan. 5. Strategi Pelaksanaan Pendidikan Karakter Melakukan sesuatu jangan diawali dengan hal yang besar karena hanya akan menambah beban. Mulailah dengan hal yang sederhana dan merasakan bahwa Penerapan Pendidikan Karakter di sekolah adalah hal yang menyenangkan. Berikut beberapa strategi yang diperlukan (Abidinsyah, 2011: 15): 1. Kegembiraan baru, bukan beban baru; 2. Mulai dengan yang mudah, murah dan menggembirakan; 3. Mulai dari diri sendiri; 4. Berbagi dan berbagi; 5. Apresiasi dan apresiasi. Lebih lanjut Soedarsono (dalam Abidinsyah, 2011: 25) mengemukakan bahwa untuk membangun karakter tidak mungkin hanya dengan diajarkan akan 24 tetapi harus melalui empat koridor yang dijalankan sepanjang berlangsungnya kurikulum, yaitu: (1) menginternalisasikan nilai moral dari luar yang dipadukan dengan nilai-nilai dari dalam, (2) memberitahukan apa yang boleh dan tidak boleh dipahami sehingga peserta didik dengan senang hati akan melakukan yang boleh dan meninggalkan yang tidak boleh, (3) membentuk kebiasaan yang harus selalu dipantau, dan (4) Mendapat suri teladan dari guru secara berkesinambungan dan berkelanjutan. 6. Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, setiap jalur pelaksanaan, dan jenjang dan penilaian pendidikan. pada Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut. Emilia (dalam Maylan Saleh, 2012) mengemukakan bahwa karakter peserta didik akan terbentuk sedikitnya oleh 5 faktor, yaitu: (1) temperamen dasar, 25 (2) keyakinan, (3) pendidikan, (4) motivasi hidup, dan (5) perjalanan. Menurut UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik. Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan 26 informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik. Melalui program ini diharapkan lulusan-lulusan dari peserta didik dapat memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah dengan karakter yang berkualitas. Keterkaitan dengan pendidikan quality character, Jacques S. Benninga (2003) dalam The Relationship Of Character Education Implementation And Academic Achievement In Elementary Schools, mengungkapkan bahwa: The argument that quality character education is good academic education is bolstered by findings that educational interventions with character-related themes produce a range of effects that are linked to effective schooling. Pendidikan karakter yang berkualitas adalah pendidikan akademik yang baik didukung oleh temuan bahwa intervensi pendidikan dengan tema karakter yang berhubungan dengan menghasilkan berbagai efek yang terkait dengan sekolah yang efektif. Sehingga 27 bisa dikatakan bahwa untuk mencapai keberhasilan pembinaan pendidikan karakter siswa perlu memperhatikan temperamen dasar, keyakinan, motivasi hidup, dan proses pembelajaran. 7. Pendidikan Karakter yang Berhasil Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SD, yang antara lain meliputi sebagai berikut: Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja; 2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri; 3. Menunjukkan sikap percaya diri; 4. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif; 5. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya; 6. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab; 7. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia; 8. Menghargai karya seni dan budaya nasional; 9. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya; 10. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik. 1. 28 Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut. Keterkaitan dengan pendidikan karakter yang berkualitas, Jacques S. Benninga (2003) dalam The Relationship Of Character Education Implementation And Academic Achievement In Elementary Schools mengungkapkan: The argument that quality character education is good academic education is bolstered by findings that educational interventions with character-related themes produce a range of effects that are linked to effective schooling. (Pendidikan karakter yang berkualitas adalah pendidikan akademik yang baik didukung oleh temuan bahwa intervensi pendidikan dengan Tema karakter yang berhubungan dengan menghasilkan berbagai efek yang terkait dengan sekolah yang efektif). Dalam hal ini Kevin Ryan and Karen Bohlin dalam Ainur Phala (2011) mengungkapkan have defined people of good character as individuals who know the good, love the good, and do the good. Mempelajari pendidikan karakter yang berhasil, menumbuhkan rasa semangat untuk SDN Bergaskidul 03 menekankan lebih spesifik tentang perilaku siswa dalam pendidikan karakter pada diri siswa. 29 2.2 Kerangka Pikir Pelaksanaan pendidikan karakter di Sekolah dasar bisa dilihat sebagaimana skema gambar berikut: Evaluasi Pendidikan Karakter Bangsa Pelaksanaan Pendidikan Karakter Bangsa Perencanaan Pendidikan Karakter Bangsa Feed back 1. Dalam rumusan tujuan Pendidikan Karakter Bangsa peserta didik dapat mengembangkan sebagai manusia yang berperilaku terpuji dan sejalan dengan nilai dan tradisi budaya karakter bangsa dan melatih tanggung jawab yang mandiri, kreatif dan berwawasan kebangsaan; 2. Persoalan Karakter siswa SD adalah belum terbiasanya menjalankan disiplin dalam melaksanakan pendidikan karakter bangsa dalam keseharian di SDN Bergaskidul 03; 3. Dari beberapa persoalan tersebut maka dilakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program pendidikan karakter di SDN Bergaskidul 03 yang terdiri dari: Pembiasaan rutin, spontan, pembiasaan keteladan. 30 pembiasaan 2.3 Penelitian Relevan Supaya berkesinambungan dengan penelitian terdahulu dan agar tidak terjadi tumpang tindih fokus penelitian, maka peneliti perlu membandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya. Penelitian terdahulu yang relevan adalah sebagai berikut: Ismail, Syarof Nursyah (2010), Penerapan Pembelajaran berbasis pendidikan karakter Pada Mata Pelajaran PKn pada Kelas 6 di SDN 1 Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama ini penerapan pendekatan pendidikan berbasis karakter pada Mata Pelajaran PKn telah dapat meningkatkan prestasi belajar dan moral siswa khususnya pada kelas VI. Untuk mengatasi berbagai macam kendala yang menghambat, maka guru menggunakan beberapa solusi di antaranya adalah dengan melengkapi sarana yang dibutuhkan atau dengan melakukan perbaikan program pendidikan dan peraturan sikap guru. Persamaan dengan penelitian di atas adalah peneliti ingin membahas tentang perencanaan serta pelaksanaan program pendidikan karakter siswa di sekolah sehingga memudahkan sekolah dalam mengevaluasi pelaksanaan pendidikan karakter di SDN Bergaskidul 03 Kec. Bergas Kab. Semarang. Isroah, Sukanti, Ani Widayat (2009). Implementasi Pendidikan Karakter Dalam Perkuliahan Perpajakan Pada Mahasiswa Jurusan Pendidikan Akuntansi 31 Fise Universitas Negeri Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Model pemberian tugas mandiri dalam Perkuliahan Perpajakan belum mampu mendorong sikap/perilaku jujur mahasiswa Jurusan Pendidikan Akuntansi FISE UNY. Hal ini terbukti pada siklus pertama bahwa mahasiswa mengerjakan dan mengumpulkan tugas mandiri dengan menyalin pekerjaan teman, mahasiswa tidak mengerjakan tugasnya sendiri artinya tidak bertanggung jawab pada tugas yang dibebankannya; (2) Model kerja praktik (simulasi) berkelompok dalam perkuliahan perpajakan mampu mendorong sikap/ perilaku tanggung jawab mahasiswa jurusan pendidikan akuntansi FISE UNY. Berdasarkan angket tertutup yang diberikan diketahui bahwa sebagian besar mahasiswa memiliki nilai kejujuran akademik dan non akademik yang bagus (rata-rata nilai 90) dan memiliki tanggung jawab akademik dan non akademik yang tinggi (nilai rata-rata 85). Persamaan dengan penelitian ini adalah diperlukan adanya kejujuran untuk melaksanakan dan mengerjakan tugas sendiri dengan guru memberikan tugas terstruktur supaya siswa memiliki kesadaran untuk melaksanakan dengan penuh tanggung jawab. 32