Analisis Struktur Tenaga Kerja dan Perusahaan Multinasional di

advertisement
Analisis Struktur Tenaga Kerja dan Perusahaan Multinasional
di Negara Berkembang Terhadap Perencanaan Contingency Workforce
melalui Pengembangan dan Pengelolaan Work Based Learning
di Perguruan Tinggi
Oleh:
Ridwan Daud Mahande
A. Analisis Struktur Tenaga Kerja Negara Berkembang
Terjadinya sunset industri pada negara maju yang kompetitif secara
nasional dan internasional diakibatkan adanya perubahan teknologi, menurunnya
pemasaran, bahan baku yang relatif mahal, polusi dan tenaga kerja mahal
berimplikasi
munculnya
perusahaan
multinasional
sebagai
perusahaan
internasional yang memainkan peran dalam globalisasi khususnya di negara
berkembang seperti Indonesia. Masuknya perusahaan multinasional pada negara
berkembang menurut Soenarto, (2014) membawa dampak bagi pertumbuhan
ekonomi negara, meningkatnya serapan tenaga kerja, banyaknya lapangan kerja
yang tersedia didukung oleh kondisi lingkungan yang nyaman dimana polusi
belum merupakan hal kritis. Hal ini mengakibatkan perubahan struktur tenaga
kerja pada negara Indonesia. Perubahan struktur tenaga kerja semakin menjadi
sebuah keharusan dengan adanya perjanjian AFTA, AFLA dan ILO. Perjanjian ini
membuka peluang kerjasama seluas-luasnya antar negara dalam barang dan jasa,
tenaga kerja, kesempatan kerja kepada semua orang sesuai usia kerja tanpa
memandang negara maupun gender. Namun disisi lain kerjasama harus diterima
sebagai era persaingan yang semakin ketat dan tajam.
Perjanjian kerjasama AFTA, AFLA dan ILO ini juga akan memberikan
peluang lebih besar negara-negara maju untuk memindahkan industri sekaligus
mentransfer teknologi kepada negara berkembang termasuk Indonesia yang
diketahui
memiliki
karakteristik/ciri
seperti
yang
dinyatakan
oleh
Daedjoeni dan M. Todaro (dalam Nancy, S., 2012), diantaranya bahwa, (1)
mayoritas penduduk bermata pencarian di sektor pertanian dengan pengolahan
pertanian masih menggunakan alat-alat tradisional, (2) tingkat kehidupan yang
rendah, (3) fasilitas pendidikan formal dan nonformal kurang memadai dan
1
merata, (4) laju pertumbuhan penduduk tinggi menyebabkan terjadinya
ketimpangan dalam hal pelayanan sosial, pada akhirnya menghasilkan SDM
berkualitas rendah, (5) belum ada kesetaraan gender, (6) tingginya tingkat
pengangguran, (7) ketergantungan terhadap negara maju sangat tinggi, sehingga
negara maju leluasa menguasai dan mendominasi kehidupan sosial ekonomi
negara berkambang yang dibantu.
Dari uraian di atas, sunset industri, perjanjian kerjasama, karakteristik
negara berkembang semakin menguatkan terjadinya perubahan struktur tenaga
kerja khsususnya jika ditinjau dari tingkat pendidikan formaldan informal, gender,
kemiskinan dan pengangguran suatu negara. Dari sisi pendidikan di Indonesia,
cenderung pekerjaan informal berasal dari pekerja dengan tingkat pendidikan
rendah. Perubahan struktur tenaga kerja dari sisi pendidikan dipertegas oleh hasil
penelitian Simanuhuruk, dkk., (2007) bahwa, pada tahun 1980 struktur tenaga
kerja terdiri dari 88,34% tenaga kerja berpendidikan ≤SD sisanya adalah tenaga
kerja berpendidikan SLTP keatas. Setelah tahun 2005 struktur tenaga kerja
menjadi 55,40% tenaga kerja berpendidikan ≤ SD dan 44,60% tenaga kerja
berpendidikan SLTP ke atas. Selanjutnya, pendidikan formal menyumbang lebih
dari 60% tenaga kerja sementara pekerja informal kurang dari 40% tenaga kerja
dalam struktur ketenagakerjaan. Kurangnya sumbangsih tenaga kerja pada
pendidikan informal disebabkan rendahnya tingkat pendidikan.
Dari perspektif gender di Indonesia terlihat bahwa ada kesenjangan yang
cukup besar dalam partisipasi angkatan kerja dan perolehan pendidikan.
Perbedaan gender dalam tingkat kesempatan kerja cukup kecil bagi mereka yang
menempuh pendidikan menengah dibandingkan mereka yang memiliki tingkat
pendidikan lebih rendah. Namun, setengah dari laki-laki dalam usia kerja dengan
pendidikan menengah memiliki pekerjaan dibandingkan dengan hanya sepertiga
dari perempuan dalam usia kerja dengan pendidikan menengah yang bekerja
(survey angkatan kerja bih tahun 2009 dalam organisasi perburuhan
internasional). Akan tetapi, jika pendidikan diarahkan untuk mengakses
kesempatan kerja menunjukkan lebih banyak laki-laki yang berpendidikan tinggi
tidak aktif dibandingkan perempuan yang jauh lebih aktif. Ini berarti bahwa
2
wanita menggunakan pendidikan untuk mengakses kesempatan kerja jauh lebih
penting dibanding dengan laki-laki. Tingkat pendidikan menjadi hambatan bagi
perempuan untuk menciptakan kesempatan kerja, sehingga sejak tahun 2005
tingkat partisipasi kerja meningkat di kalangan perempuan dari 32% menjadi 59%
dan sementara laki-laki menurun dari 87% menjadi 73% (Soenarto dan Sukamto,
2014). Meningkatnya pekerja wanita didorong untuk memiliki pekerjaan utama
bagi masa depan mereka melalui pendidikan formal di perguruan tinggi dan
pelatihan melalui pendidikan informal. Hal ini dimaksudkan agar wanita lebih
siap dan mendorong memasuki dunia kerja, menghapuskan disparitas upah
berdasarkan jenis kelamin dan mengurangi diskriminasi seksual.
Selain dari pendidikan dan gender, kemiskinan serta pengangguran
merupakan aspek penting perubahan struktur tenaga kerja di Indonesia.
Kemiskinan dan pekerja miskin sangat terkait dengan pendidikan formal maupun
nonformal melalui pelatihan kompetensi. Terjadinya kemiskinan akan terkait
secara tidak langsung dengan pengangguran. Hal ini ditunjukkan oleh negaranegara dengan sistem perlindungan sosial yang baik, kemiskinan diantara
pengangguran seringkali lebih tinggi dari pada diantara penduduk bekerja.
Sebaliknya bagi negara yang kurang perlindungan sosial, orang tidak sanggup
menjadi pengangguran, namun terpaksa menerima pekerjaan apapun, bahkan pada
tingkat produktivitas dan penghasilan yang sangat rendah. Sehingga negara ini
sangat sedikit pengangguran dibandingkan dengan yang miskin. Walaupun
demikian, negara kita Indonesia tentunya menginginkan kurangnya pengangguran
dan bekerja dengan produktivitas dan penghasilan yang tinggi.
Dari uraian analisis adanya perjanjian AFTA, AFLA & ILO serta
masuknya perusahaan multinasional ke negara berkembang akibat adanya sunset
industri di negara maju, karakteristik negara berkembang, tingkat pendidikan,
angka partisipasi kerja laki-laki dan perempuan serta kemiskinan dan
pengangguran dapat penulis simpulkan bahwa persoalan utama perubahan struktur
tenaga kerja di Indonesia adalah terletak pada sumber daya manusia (SDM). Oleh
karena itu tantangan yang menghadang adalah meningkatkan daya saing senada
dengan pernyataan Slamet, PH., (2014) bahwa, kemampuan bersaing di era
3
globalisasi berkaitan dengan kualitas SDM, teknologi khusunya technology
naturally resources (teknologi pengolah SDA), kemampuan manajemen, dan
kepemimpinan. Namun ironisnya kemampuan bersaing di atas kurang dimiliki
oleh negara kita Indonesia sesuai pernyataan Iryanti, R., (2013) bahwa, negara ini
sedang kekurangan tenaga ahli yang kritis disektor modern dan kelebihan tenaga
kerja (surplus labour) di sektor tradisional. Kekurangan tenaga kerja berkeahlian
terdeteksi dari kurangnya bidang-bidang yang sangat diperlukan dari ilmuan,
insinyur teknik, dokter (paramedia) agronomis dan serta teknisi dan pekerja
lapangan berketerampilan menengah serta kekurangan tenaga professional di
bidang manajemen dan administrasi.
Maka dari itu perlu membuat langkah-langkah sistematis dalam
menghasilkan tenaga terampil untuk menjamin agar kualitas pendidikan
dan
pelatihan benar-benar tercermin pada pekerja menghadapi perubahan struktur
tenaga kerja yang sangat dominan melalui perbaikan sikap kerja, budaya dan
kebiasaan kerja, kompetensi inti, pemecahan masalah. Perbaikan ini dapat
dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan kejuruan sesuai tujuannya untuk
mempersiapkan memasuki dunia kerja. Secara spesifik diperlukan pemetaan
tuntutan kompetensi Industri termasuk perusahaan multinasional meliputi
kompetensi sektor yang sangat dibutuhkan dan diakui pasar kerja tingkat daerah,
nasional bahkan internasional.
B. Dampak Perusahaan Multinasional di Negara Berkembang
Perusahaan
multinasional
adalah
perusahaan besar
yang
memiliki
kantor/pabrik cabang di banyak negara dan memiliki sebuah kantor pusat di mana
mereka mengkoordinasi manajemen global. Negara berkembang seperti Indonesia
adalah merupakan target operasi perusahaan multinasional yang membawa
dampak pada hampir setiap aspek dari kehidupan komunitas baik di bidang
ekonomi, politik maupun bidang lainnya. Adapun dampak postif kehadiran
perusahaan multinasional, yaitu:
1. Penanaman modal dan mengisi kekosongan atau kekurangan sumber daya
4
2. Meningkatkan pendapatan suatu negara yang berasal dari pungutan pajak atas
keuntungan perusahaan multinasional
3. Menyediakan sumber daya finansial, sarana prasarana diberbagai sektor bagi
pembangunan berkelanjutan.
4. Perusahaan multinasional dapat sebagai trainer para manajer lokal agar
mengetahui strategi pasokan sumber daya dan memperluas jaringan
pemasaran sampai ke tingkat internasional.
5. Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi berbagai sektor yang dinilai sangat
maju oleh negara berkembang.
6. Terciptanya lapangan kerja mempunyai efek terhadap berbagai sektor,
mengurangi masalah penganguran, meningkatkan gairah daya beli masyarakat
dan membuka peluang pekerja wanita untuk bekerja lebih banyak lagi.
Selain dampak positif yang telah diuraikan di atas, tentu saja dalam
pelaksanaan kegiatan ekonominya, perusahaan multinasional juga membawa
dampak negatif, yaitu:
1. Adanya perjanjian AFTA, AFLA & ILO yang menekankan era pasar bebas,
transformasi pengelolaan SDA maupun tenaga kerja memberi kebebasan
perusahaan multinasional untuk melakukan investasi ke negara berkembang
tanpa adanya penolakan.
2. Dapat mengurangi penghasilan devisa, baik dari sisi perimbangan transaksi
berjalan maupun perimbangan modal
3. Munculnya dominasi industrial yang dapat mengganggu perencanaan sampai
merusak ekonomi tuan rumah dengan menekan timbulnya semangat bisnis
usahawan
lokal
melalui
kemampuan
SDM,
teknologi,
networking
internasional mereka.
4. Ketergantungan teknologi baru yang canggih dari luar akan menghambat
keratifitas inovasi serta terjadinya perubahan budaya yang menjadi ciri khas
suatu negara.
5. Dapat terjadi intervensi kebijakan negara dari negara pemilik multinasional
melalui kekuatan ekonomi yang tidak menguntungkan bagi pembangunan
5
Berdasarkan dampak positif dan negatif dari perusahaan multinasional di
atas, perlu suatu aturan jelas melalui perjanjian atau hukum internasional yang
akan memperkuat hukum nasional mengenai aturan tentang perusahaan
multinasional. Salah satu butir perjanjian penting dibuat adalah masuknya
perusahaan multinasional ke suatu negara dapat diterima jika, tenaga kerja diisi
oleh negara penerima dalam hal ini Indonesia sesuai level keahlian/kompetensi
dari perusahaan multinasional tersebut. Oleh karena itu diperlukan tenaga kerja
ahli yang memiliki daya saing dan kualitas mumpuni. Hal ini dapat dilakukan
melalui persiapan atau perencanaan kompetensi keahlian melalui pendidikan dan
pelatihan berdasarkan pemetaan kompetensi yang dibutuhkan di dunia kerja
khususnya perusahaan multinasional.
Tuntutan kompetensi keahlian dari suatu perusahaan juga memunculkan
contingency workforce, yang dinilai memiliki pengetahuan, keahlian/skill yang
tinggi serta professional dalam bekerja khususnya pertanggungjawaban kerja.
Sehubungan dengan ini desain pengajaran keahlian perlu keterkaitan/melibatkan
orang-orang yang disebut sebagai contingency workforce sebagai trainer
berpengalaman baik dalam pengajaran maupun praktek langsung di lapangan.
C. Contingency Workforce (CWF)
Contingency Workforce (CWF) adalah gambaran pekerja yang tidak secara
langsung dipengaruhi oleh suatu perusahaan namun dikontrak karena keahlian dan
profesionalisme di tempat kerja. CWF menurut Papalexandris & Kramar dalam
Maniam, (2004) adalah pekerja yang bekerja untuk sebuah organisasi/perusahaan
secara tidak tetap/part time, temporary, dan kerja kontrak. Munculnya CWF
sebagai tenaga kerja ahli dipengaruhi oleh banyaknya laki-laki dan perempuan
yang memilih untuk bekerja secara independen dengan alasan positif bahwa, (1)
fleksibilitas jadwal dan jumlah sumber daya tenaga kerja, (2) pendapatan lebih
dan menghemat biaya, (3) tanggungjawab atas karir sendiri (hr.blr.com dalam
Chris Burkhard, 2013). Disamping manfaat positif, CWF juga memiliki dampak
negatif yaitu: (1) kurangnya loyalitas terhadap pekerjaan, (2) kurangnya
pengetahuan tentang budaya kerja karena sangat singkat, (3) kebijakan organisasi
6
dan prosedur terganggu, (4) berpotensi pada biaya yang lebih tinggi jika biaya
training persiapan CWF tidak direncanakan dengan baik, (5) tingkat kepedulian
dengan hak milik organisasi/perusahaan rendah (Informit, 2005), dan (6) Jika
tidak melakukan perencanaan dan persiapan secara nasional akan membawa
ketergantungan jangka panjang, (Sukamto dan Soenarto, 2014).
Diantara beberapa faktor yang memberikan kontribusi munculnya CWF,
era globalisasi memiliki dampak besar pada pertumbuhan atau menjamurnya
CWF. Globalisasi memberikan kontribusi untuk pertumbuhan pesat dalam
industri, peningkatan CWF/outsourcing, dan kebutuhan yang fleksibilitas dan
kelincahan/atraktif untuk tetap kompetitif di era global yang terus berubah.
Walaupun demikian, menurut Callaghan & Hartman dalam Maniam (2004),
pertumbuhan dan besarnya CWF dapat mengganggu karena efek negatif pada
perekonomian secara keseluruhan, ketidakadilan dan kurangnya perlindungan
kerja bagi pekerja kontingen yang pengalaman, dan potensi beban ketidakadilan
ini dapat menempatkan sistem kesejahteraannya. Selain itu, rata-rata CWF masih
menerima upah rendah dan manfaatnya kurang optimal serta pekerja penuh waktu
hanya melakukan pekerjaan biasa saja akibatnya cenderung terjadi diskriminasi
yang mempengaruhi tidak hanya orang-orang dalam pekerjaan kontingen, tetapi
juga pekerja tetap yang terpaksa bersaing dengan mereka.
Sehubungan dengan masalah yang dihadapi CWF di atas, Sukamto dan
Soenarto, (2014) menguraikan beberapa solusi terhadap CWF yaitu, (a) akun
kontrak dan sementara pekerja lebih dari 25% dari tenaga kerja global. (b)
Organisasi menjaga CWF karena kurangnya sumber daya dan keahlian untuk
mengelola bakat kontingen ini dengan cara yang efisien dan compliant dengan
perubahan peraturan pemerintah, meningkatkan penegakan kerja, dan peraturan
perpajakan, (c) Organisasi untuk mengelola tenaga kerja yang lebih efektif untuk
menghindari kewajiban keuangan atau legislative, (d) pendidikan tinggi harus
mempersiapkan CWF melalui pengembangan dan pengelolaan WBL.
Berdasarkan uraian CWF di atas, penulis berpendapat perlu adanya aturan
jelas tentang keberadaan CWF tentang lingkup pekerjaan antara CWF dengan
pekerja tetap untuk menghindari diskriminasi, pembiayaan/upah kerja dan aturan
7
perlindungan kerja bagi CWF. Selain itu, perlunya persiapan CWF sejak dini
melalui pendidikan pelatihan teknologi dan kejuruan berupa program work based
learning (WBL).
D. Perencanaan Contingency Workforce melalui Pengembangan dan
Pengelolaan Work Based Learning di Perguruan Tinggi
Work Based Learning (WBL) merupakan program kelas bersama antara
perguruan tinggi dengan dunia kerja untuk menciptakan kesempatan belajar di
tempat kerja (Boud & Solomon dalam Liyanage, L., et al., 2013). Kesempatan
belajar ini juga sekaligus mempersiapkan tenaga kontingen melalui pembelajaran
kerja berbasis proyek sekaligus dimentoring oleh ahli berpengalaman/CWF
seperti
bagaimana
untuk
memajukan
karir
mereka
dan
memasarkan
keterampilan/skill di dunia kerja di tengah-tengah arus globalisasi yang menuntut
keahlian SDM, teknologi era digital, manajemen kerja yang akan memaksa
persaingan begitu ketat di suatu daerah dalam suatu negara. Adapun perencanaan
pengembangan dan pengelolaan CWF dalam WBL di perguruan tinggi, sebagai
berikut:
1. Pendidikan tinggi harus melakukan kerjasama dengan pemerintah, sekolah,
industri/supplier tenaga kerja, tenga kerja kontingen, dalam mendesain WBL
untuk menghasilkan tenaga kerja/CWF.
2. Melakukan pemetaan untuk mengidentifikasi keahlian spesifik maupun
keahlian
umum
yang
dibutuhkan
di
perusahaan/industri
khususnya
kompetensi yang terkait CWF untuk pedoman perencanaan kurikulum WBL.
3. Membangun unit produksi kerjasama dengan industri/supplier tenaga kerja
dalam penyiapan tenaga ahli maupun sarana prasarana/bahan baku produksi.
4. Menyediakan bimbingan karier untuk membangun kesadaran akan pentingnya
pendidikan dan pelatihan dan pilihan karier jangka panjang khususnya
mengenai CWF.
5. Membangun kerjasama industri/ hotel/restaurant yang dapat mendukung WBL
dalam penyiapan CWF.
8
6. Mengajarkan pengelolaan keuangan dengan memberikan pengalaman
perbankan yang nyata di sekolah/perguruan tinggi. Pengalaman ini dapat
membantu mereka dalam mengelola keuangan secara bijak.
E. REFERENSI
Chris Burkhard (2013). Trends of the Contingent Workforce a 21st Century
Reality [Versi elektronik]. Newark: CBI Group Main Office.
Iryanti, R. (2013). Kesempatan Kerja Menghadapi Liberalisasi Perdagangan.
Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas
Informit (2005). Workforce Planning and Employment. Diambil pada tanggal 9
April
2014,
dari
http://www.informit.com/articles/article.aspx?p=437082&seqNum=8
Liyanage, L., et al. (2013). Design of educational systems for work based learning
(WBL): the learner experience [Versi elektronik]. Journal emerald group
publishing limited, vol. 3 No. 1, 2013 pp. 51-61.
Maniam, G.,S. (2004). Research Organizational Justice, Trust and
Organizational Commitment: a Comparison Between Permanent and
Contingent Workers [Versi elektronik]. Tesis Master, diterbitkan,
University Sains Malaysia, Malaysia.
Nancy, Suci. (2012). Ciri-ciri Negara Berkembang dan Negara Maju. Diambi
pada
tanggal
08
April
2014,
dari
http://campusnancy.blogspot.com/2012/12/ciri-ciri-negara-berkembangdan-negara.html
Organisasi Perburuhan Internasional. (tanpa tahun). Analisa Diagnostik
Ketenagakerjaan: Panduan Metodologi Sektor Ketenagakerjaan.
Simanihuruk,dkk. (2007) Analisis Struktur Tenaga Kerja Di Indonesia [Versi
elektronik]. Tesis master, tidak diterbitkan, UNIB.
Soenarto & Sukamto. (2014). Workforce Structure and Work Based Education
[Versi elektronik]. Disampaikan dalam perkuliahan ke-3 & 7 Pendidikan
Berorientasi Kerja Program Doktor Pendidikan Teknologi dan Kejuruan
UNY
Sukamto & Soenarto. (2014). Contingency Workforce [Versi elektronik].
Disampaikan dalam perkuliahan ke-7 Pendidikan Berorientasi Kerja
Program Doktor Pendidikan Teknologi dan Kejuruan UNY
Soenarto, (2014). Perusahaan Multinasional (MNC & TNC). Disampaikan dalam
perkuliahan ke-3 & 7 Pendidikan Berorientasi Kerja Program Doktor
Pendidikan Teknologi dan Kejuruan UNY
Slamet, PH. (2014). Daya Saing di Era Global. Disampaikan dalam perkuliahan
ke-6 Isu-Isu Pendidikan Kejuruan Program Doktor Pendidikan Teknologi
dan Kejuruan UNY.
9
Download