perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP DIAMETER ARTERIOL PADA TIKUS WISTAR MODEL SEPSIS TESIS Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Kedokteran Keluarga Oleh : Radin Intan Edilla Sini S. 501102050 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2015 i perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP DIAMETER ARTERIOL PADA TIKUS WISTAR MODEL SEPSIS Oleh : Radin Intan Edilla Sini S. 501102050 Telah disetujui oleh Tim Pembimbing Pada tanggal........................................... Dewan Pembimbing Jabatan Nama Tanda Tangan Pembimbing I Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, MM ..…………………. NIP. 196210221995031001 Pembimbing II dr. Mulyo Hadi Sudjito, SpAn, KNA NIP. 197103222010011022 Ketua Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama Ilmu Biomedik Dr. Hari Wujoso, commitdr. to SpF, user MM NIP. 196210221995031001 ii ............................ perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id SURAT PENGESAHAN TESIS Oleh RADIN INTAN EDILLA SINI NIM: S 501102050 Tim Penguji Jabatan Nama Ketua Prof. Dr. Harsono Salimo, dr, SpA(K) Tanda Tangan Tanggal ……………. ……2015 ……………. ……2015 ……………. ……2015 …………….. ……2015 NIP. 194412261973101001 Sekretaris Dr.dr. Trisulo Wasyanto, Sp.JP(K), FIHA NIP. Anggota Dr. Hari Wujoso, dr, SpF, MM Penguji NIP. 19621021995031001 Mulyo Hadi Sudjito, dr.SpAn.KNA NIP. 195109171979031001 Telah dipertahankan di depan penguji Dinyatakan telah memenuhi syarat Pada tanggal 21 April 2015 Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Prof.Dr.Ir. Ahmad Yunus, MS commit to user NIP.19610717 19860 11001 Dr. Hari Wujoso, dr, MM, SpF NIP.19621022 19950 3100 iii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa : 1. Tesis yang berjudul : “PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP DIAMETER ARTERIOL PADA TIKUS WISTAR MODEL SEPSIS” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Permendiknas No.17, tahun 2010). 2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan Program Pasca Sarjana UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester (enam bulan sejak pengesahan tesis) saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan tesis ini, maka Prodi Kedokteran Keluarga berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Kedokteran Keluarga Program Pasca Sarjana UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku. Surakarta, April 2015 Mahasiswa Radin Intan Edilla Sini S. 501102050 commit to user iv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Diameter Arteriol Pada Tikus Wistar Model Sepsis” Penulis menyadari bahwa karya tulis ini jauh dari sempurna, maka, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Atas kesempatan, bantuan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar–besarnya kepada yang terhormat : 1. Rektor Universitas Sebelas Maret Prof. Dr. Ravik Karsidi yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan di UNS. 2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS, yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan di Pasca Sarjana UNS. 3. Direktur RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dr. Endang Agustinar, M.Kes , yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk menerapkan ilmu anestesi di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. 4. Dekan Fakultas Kedokteran UNS, Prof. Dr. dr. Zainal Arifin Adnan, Sp.PD-KR, FINASIM., yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan di Fakuktas Kedokteran UNS. 5. Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Dr. dr. Hari Wujoso, Sp F, MM, yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan dan menyelesaikan karya tulis ini. 6. Kepala Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNS, Dr.M.H. Sudjito, Sp. An KNA, atas segala bimbingan dan masukan yang diberikan pada penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini. 7. Kepala Bagian SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNS, dr. Marthunus Judin, Sp.An-K, atas segala bimbingan dan masukan yang diberikan pada penulis dalam menyelesaikan karya tulis. 8. dr. Purwoko, SpAn,KAKV,KAO atas segala bimbingan dan masukan yang diberikan pada penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini. 10. ”Guru-guruku” yang tidak pernah lelah mengajari, dan memberi kesempatan penulis commit to user untuk menimba ilmu di PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif UNS. v perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 11. Kedua orang tua penulis, Bapak Sutan Edilla Sini dan Ibu Sri Mulyani yang sangat penulis hormati dan sayangi yang selalu memberi dukungan, bantuan, perhatian, kasih sayang, dan tidak bosan-bosannya berdoa untuk penulis agar penulis cepat dapat menyelesaikan pendidikan. 12. Istri tercinta dan tersayang, Isnainy Sartika, yang tak pernah lelah memberi dukungan, doa, cinta, kasih sayang, pengertian, perhatian dan pengorbanan. selama penulis menjalani pendidikan. 13. Sahabat-sahabat seangkatan, dr Henri Dumas, dr Isroful Ikhsan, dr Andi Nugroho, yang selalu memberi dukungan agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan. 14. Semua sahabat yang memberikan perhatian dan bantuan pada penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini. Surakarta, Maret 2015 Penulis commit to user vi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Daftar Isi Halaman Judul… ………………………………………………………………. ….……… Halaman Pengesahan Pembimbing. ………………………………………….. ………….i Lembar pengesahan Tesis………………………………………………………. …...……ii Pernyataan Orisinalitas ………………………………………………………… ………..iii Kata Pengantar ..................................................................................................... ………...iv Daftar Isi…………................................................................................................ …………v Daftar Gambar…………………………............................................................... ……….vii Daftar Tabel.......................................................................................................... ………...ix Daftar Lampiran…................................................................................................ …………x ABSTRAK................................................................................................................. ………...xi ABSTRACT……………………………………………………………………… ……….xii I. PENDAHULUAN ……………………………………………………………. ……….xii a. Latar Belakang………................................................................................... ………….i b. Rumusan Masalah……….............................................................................. …………1 c. Tujuan Penelitian………………………………………………………… …………1 d. Manfaat Hasil Penelitian……….................................................................... …………3 II. TINJAUAN PUSTAKA………........................................................................ …………4 a. Kajian Teori………………………………………………………………... …………4 1. LPS induced-signaling Pathway……………………………………….. …………5 1.1 NFκB………………………………………………………………. …………5 1.2 Redoks Regulation………………………………………………… …………6 1.3 NFκB dan Sepsis…………………………………………………... …………7 2. Keterkaitan Reactive Oxygen Species………………………………… …………8 2.1 Reactive Oxygen Species………………………………………….. …………8 2.2 Mekanisme Pertahanan antioksidan endogen…………………… …………9 2.3 Stress oksidatif pada syok septik………………………………… ………..11 2.4 Disfungsi mitokondria pada syok septik………………………….. ………..12 3. Peranan Nitrogen Species……………………………………………… ………..13 4. Proteksi Antioksidan…………………………………………………... ………..14 4.1 Struktur dan biokimia…………………………………………….. ………..15 4.2 Aktivitas antioksidan……………………………………………… ………..18 commitaskorbat……………………….. to user 4.3 Pelepasan NO yang dipengaruhi ………..18 4.4 Reduksi nitrit menjadi NO oleh askorbat………………………… ………..20 vii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4.5 Penguraian ROS oleh askorbat………………………….. ………..……21 4.6 Pengaturan redoks oleh thiols…………………………… ………………..22 4.7 Pengaturan eNOS oleh askorbat…………………………. ……………….23 4.8 Askorbat sebagai salah satu kofaktor eNOS……………. ………………..24 4.9 Efek askorbat pada stimulasi guanylate cyclase oleh NO. ………………..25 4.10 Mekanisme transport Vitamin C………………………. ………………..25 5. Metode Induksi Sepsis………………………………………. ………………...25 b. Penelitian yang relevan……...…………………………………… ………………..31 c. Kerangka Pikir…………………...……………………………….. ……………….35 d. Kerangka Konsep………………..……………………………… ………………..36 e. Hipotesis …………………………................................................. ………………..36 III. METODE PENELITIAN.…………................................................. ………………...37 a. Waktu dan Tempat Penelitian…..………………………………. ………………...37 b. Jenis Penelitian………………..………………………………….. ……………….37 c. Populasi dan Sampel Penelitian…..……………………………… ………………..37 d. Definisi Operasional…………….……………………………….. ……………….39 e. Alur Penelitian……………………………………………………. ……………….41 f. Bahan dan Cara Kerja Penelitian..................................................... ………………..42 g. Analisis Data……………………………………………………… ………………..45 h. Etika Penelitian……………………................................................ ………………..45 IV. HASIL PENELITIAN……………………………………………... ………………..46 a. Hasil Penelitian ………………………………………………….. ……………….46 b. Pembahasan ……............................................................................ ………………..53 V. KESIMPULAN DAN SARAN….………………..............................………………...56 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….. ……………….57 commit to user viii digilib.uns.ac.id9 perpustakaan.uns.ac.id DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Diagram Skematik LPS-induced signaling pathway…………….………..….7 Gambar 2. Bentuk asam askorbat tereduksi ………………………………………….…25 Gambar 3.Bentuk asam askorbat teroksidasi…….. ………………………………….….27 Gambar 4. Efek inhibisi NO dan ONOO-….……………………………………………..31 Gambar 5. Potensi kerja antiokksidan pada sepsis...…………………………………….32 Gambar 6. Kerangka berpikir………………………………………………………….....35 Gambar 7. Kerangka Konsep………………………………………………………….....36 Gambar 8. Alur penelitian………………………………………………………………..41 Gambar 9. Diagram batang rerata kadar neutrophil……………………………………...47 Gambar 10. Diagram batang rerata diameter arteriol…………………………………….51 commit to user 9 10 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id DAFTAR TABEL Tabel 1. Pembagian antioksidan berdasarkan solubilitas………………………………..17 Tabel 2. Deskripsi hasil pemeriksaan neutrophil………………………………………..46 Tabel 3. Uji normalitas data neutrophil………………………………………………….48 Tabel 4. Uji rata-rata kadar neutrophil…………………………………………………..48 Tabel 5. Perbedaan kadar neutrophil antara masing-masing kelompok perlakuan……...49 Tabel 6. Deskripsi hasil pengukuran diameter arteriol…………………………………..50 Tabel 7. Uji normalitas data diameter arteriol…………………………………………...52 Tabel 8. Uji beda rata-rata diameter arteriol……………………………………………..52 Tabel 9. Perbedaan diameter arteriol antara masing-masing kelompok perlakuan……...53 commit to user 10 11 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id DAFTAR LAMPIRAN Lampiran.1 Lampiran Hasil Penelitian……………………………………………...59 Lampiran.2 Hasil Uji Kruskal-Wallis Test Neutrofil NPar Tests…………………...63 Lampiran.3 Hasil Uji Normalitas Diameter Arteriol………………………………..65 Lampiran.4 Hasil Uji Kruskal-Wallis Test Diameter Arteriol NPar Tests……….…67 Lampiran.5 Ethical Clearance………………………………………………………69 Lampiran.6 Dokumentasi Penelitian…………………………………………………70 commit to user 11 12 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Radin Intan Edilla Sini, S. 501102050, 2015. Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Diameter Arteriol Pada Tikus Wistar Model Sepsis. TESIS. Pembimbing I : Dr. Hari Wujoso, dr. Sp.F. MM. Pembimbing II : M.H Sudjito, dr. Sp.An. KNA. Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta ABSTRAK Latar belakang : Sepsis dan syok septik telah lama dikenal sebagai masalah kesehatan serius di dunia, karena angka mortalitas dan morbiditasnya yang masih sangat tinggi. Produksi berlebihan mediator pro-oksidan pada sepsis menguasai sinyal anti-oksidan. Ketidak seimbangan antara mediator pro oksidan dan antioksidan akan menyebabkan perubahan pada mikrosirkulasi, sehingga mikrosirkulasi tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai pengatur distribusi oxygen carrying blood cell pada berbagai organ, sehingga terjadi kerusakan dan kematian sel. Vitamin C merupakan golongan antioksidan larut dalam air yang dapat meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat logam. Fungsi antioksidan adalah mencegah terbentuknya radikal hidroksil, memutus rantai reaksi oksidan, mereduksi oksidan menjadi zat lain yang kurang reaktif misalnya H2O dan O2, menghambat peroksidase lipid dan scavenger langsung dari ROS. Tujuan : Menganalisis pengaruh pemberian vitamin C 5,1mg/kgBB/hari/ i.v (setara dengan 50 mg/kgBB/hari/ i.v pada manusia dengan berat badan 60kg) pada tahap awal sepsis terhadap diameter arteriol pada tikus wistar dengan model sepsis polimikrobial. Metode : Penelitian ini termasuk eksperimental laboratorik. Sejumlah 27 ekor tikus wistar di adaptasikan selama 7 hari sebelum dibagi dalam tiga kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 9 ekor tikus yang ditentukan secara acak. Untuk kelompok satu (K1) yang merupakan kelompok kontrol, tidak dikukan induksi cecal inoculum maupun pemberian vitamin c.. Untuk kelompok dua (K2) diberikan injeksi cecal inoculum 40mg/kali/hari selama 3 hari berturut turut. Untuk kelompok perlakukan tiga (K3) perlakuan sama dengan kelompok dua ditambah dengan vitamin C 5,1 mg/kg/kali/hari secara intravena selama 3 hari berturutturut. Setelah 72 jam tikus wistar akan di euthanasia dengan cara dekapitasi. Duodenum tikus kemudian diambil untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi yang akan mengukur diameter arteriol rata-rata pada tiap sampel. Dikarenakan ada kelompok tidak lulus uji normalitas maka pengujian statistik di uji alternatif dengan Kruskal-Wallis test dan dilanjutkan dengan Mann Whitney Test. Dianggap bermakna secara statistik apabila nilai p < 0,05. Hasil : Nilai uji beda antara kelompok 1 dan kelompok 2 mendapatkan nilai p=0,001 p<0,05, jadi ada perbedaan yang signifikan diameter arteriol antara kelompok 1 (tanpa perlakuan) dengan dengan kelompok 2 (diberi cecal inoculum) dimana rata-rata diameter arteriol tikus kelompok 1 (tanpa perlakuan) 30,8% lebih lebar dibandingkan dengan tikus kelompok 2 (diberi cecal inoculum). Demikian juga antara kelompok 1 (tanpa perlakuan) dan kelompok 3 (diberi cecal inoculum dan Vitamin C) mendapatkan hasil nilai p=0,001 p<0,05. Jadi ada perbedaan yang signifikan diameter arteriol antara kelompok 1 dan kelompok 3. Dimana kelompok 3 menghasilkan diameter arteriol 118,2% lebih lebar daripada kelompok 1. Uji beda antara kelompok 2 (diberi cecal inoculum) dan kelompok 3 (diberi cecal inoculum dan Vitamin C) mendapatkan hasil nilai p=0,000 p<0,05. Jadi ada perbedaan yang signifikan diameter arteriol antara kelompok 2 dan kelompok 3. Dimana kelompok 3 menghasilkan diameter arteriol 185,3% lebih lebar daripada kelompok 2. Kesimpulan : Pemberian vitamin C pada tikus sepsis mampu meningkatkan diameter arteriol to sepsis. user dibandingkan dengan tikus sehat (normal) commit dan tikus Kata kunci : Vitamin c, sepsis, mikrosirkulasi, diameter arteriol 12 13 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Radin Intan Edilla Sini, S. 501102050, 2015. The Effect of vitamin c on The arteriol Diameter in Wistar Rats with Sepsis Model. THESIS Supervisor I : Dr. Hari Wujoso, dr. Sp.F. MM. Supervisor II : M.H Sudjito, dr. Sp.An. KNA. Anesthesiology and Intensive Care Departement, Faculty of Medicine, Post Graduate Program University of Sebelas Maret, Surakarta. ABSTRACT Background : Sepsis and septic shock have long been recognized as serious medical problems in the world, since the mortality and morbidity rates are still very high. Excessive production of pro-oxidant mediator in sepsis dominates the anti oxidant signal. The imbalance between pro oxidant mediator and antioxidant will cause changes in microcirculation, therefore the microcirculations cannot function as a controller of oxygen carrying blood cell distribution in various organs, that leads to damage and cell death. Vitamin C is a water soluble type that can filter the negative effects of oxidants, including enzymes and iron binding proteins. The function of antioxidant is to prevent the hydroxyl radical to be formed, to cut the oxidant reaction chain, to reduce oxidant to other matter which less reactive for instances H2O and O2, to block lipid peroxide and scavengers directly from ROS. Objective : To analyze the influence of vitamin C administration 5,1mg/Kg Body weight/day/ IV (equals to 50 mg/kg body weight/day/ IV in humans with 60kg bodyweight) in the initial phase of sepsis to the arteriol diameter in wistar rats with sepsis polimicrobial model. Methods : This research is categorized as laboratoric experimental. As many as 27 wistar rats were being adapted for 7 days before they were divided in three groups with 9 rats each which randomly selected. For group 1 (K1) which is a control group, the cecal induction and vitamin c administration were not applied. For group 2 (K2) inoculum cecal injection 40 mg/a time/day was given for 3 days in a row. For group 3 (K3) it has the same treatment as in group 2 added with 5.1 mg/kg/time/day intravenously for 3 days in a row. After 72 hours, wistar rats were euthanized by decapitation. The rats duodenum were taken and histopathologically examined to measure the diameter of the average in each sample. Since the groups did not pass the normality test so the statistic test was using alternative test with Kruskal-Wallis tes and continued with Mann Whitney Test. It was considered significant if the P value < 0.05. Result : The different value test between group 1 and group 2 was p=0.01 p<0.05, so there was significant different in arteriol different between group 1 (without treatment) and group 2 (with cecal inoculum administration) which the average of arteriol diameter of the group 1 rats (without treatment) was wider than in group 2 (with cecal inoculum administration). And also between group 1 (without treatment) and group 3 (with cecal inoculums and vitamin C) resulted in p value = 0.001 p <0.05. So there was significant different in arteriol diameter between group 1 and group 3. Whereas group 3 resulted arteriol diameter 118.2 % wider than group 1. Different test between group 2 (with cecal inoculum) and group 3 (Cecal inoculums and vitamin C administration) resulted in p value=0.000 p<0.05. so there was significant different of arteriol diameter between group 2 and group 3. Whereas group 3 resulted arteriol diameter 185.3% wider than group 2. Conclusion : Vitamin C administration in sepsis rats were able to increase the arteriol commit user diameter wider than normal healthy rats and sepsistorats. Keywords : Vitamin C, sepsis, microcirculation, arteriol diameter 13 14 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepsis dan syok septik telah lama dikenal sebagai masalah kesehatan serius di dunia, karena angka mortalitas dan morbiditasnnya yang masih sangat tinggi. Sepsis sering ditemui pada pasien critical illness di ruang perawatan intensif dan merupakan 40% penyebab kematian. Di Eropa ± 150.000 pasien mengalami sepsis, sepsis berat (disertai disfungsi multi organ) dan syok septik per tahun, dimana 65.000 diantaranya meninggal. Setidaknya > 50% dari kematian tersebut disebabkan syok septik dan gagal organ. Telah disepakati bahwa bukanlah infeksi bakteri yang merupakan faktor penentu utama hasil pada sepsis, melainkan respon inflamasi terhadap infeksi tersebut (Cohen, 2002). Respon inflamasi terhadap rangsangan septik sangat berbahaya untuk pertahanan host, karena hal tersebut mengatur mediator anti-inflamasi (misalnya, IL-1 reseptor antagonis, IL-4, IL-10) dan enzim antioksidan (misalnya, katalase, glutation peroksidase, mangan ROS dismutase). Namun, produksi berlebihan mediator proinflamasi pada sepsis menguasai sinyal anti-inflamasi. Hal ini menyebabkan penekanan fungsi kekebalan tubuh bawaan (terutama PMN) dan menyebabkan immunoparalysis dan selanjutnya meningkatkan kerentanan terhadap infeksi (Riedemann et al., 2003 dan Cepinskas dan Wilson, 2008). Mikrosirkulasi selama ini tidak mendapatkan perhatian yang baik pada pengobatan klinis, namun saat ini mikrosirkulasi mulai diketahui sebagai hal penting yang menyebabkan beberapa proses patofisiologi. Fungsi mikrosirkulasi yang normal akan berperan dalam oksigenasi dan fungsi suatu jaringan, namun hal ini masih kurang dipahami karena banyak sekali perbedaan struktur yang meyebabkan perbedaan fungsi pada tiap organ. Fungsi utama dari mikrosirkulasi adalah sebagai pengatur distribusi oxygen carrying blood cell pada berbagai organ. Faktor utama yang mempengaruhi oxygen delivery diantaranya adalah; regulasi aliran darah, tekanan oksigen jaringan, dan mitokondria, yang sampai dengan saat ini masih belum dipahami sepenuhnya, dan mikrosirkulasi adalah kunci untuk memahami hal tersebut. commit to user sistemik tidak menggambarkan Telah jelas bahwa variabel hemodinamik kegagalan sirkulasi pada critical illness yang tidak responsif terhadap terapi. 14 1 15 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Kegagalan ini lebih disebabkan karena disfungsi dari mikrosirkulasi. Evaluasi dari mikrosirkulasi telah membuka ruang baru dalam monitoring fungsi hemodinamik. Identifikasi kegagalan mikrosirkulasi merupakan indikator yang paling sensitif dari kegagalan sirkulasi yang berakibat pada outcome yang buruk, dan ini merupakan target teraputik yang baru. Penelitian klinis telah dapat mengidentifikasi berbagai teraputik konvensional dan pendekatan baru yang mampu memodifikasi mikrosirkulasi. Vitamin C merupakan golongan antioksidan larut dalam air yang dapat meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat logam. Fungsi antioksidan adalah mencegah terbentuknya radikal hidroksil, memutus rantai reaksi oksidan, mereduksi oksidan menjadi zat lain yang kurang reaktif misalnya H2O dan O2, menghambat peroksidase lipid dan scavenger langsung dari ROS. Regulasi serta koordinasi dari respon imuno-inflamasi oleh cytokines dan mediator lainnya akan mempengaruhi mekanisme pertahanan tubuh. Perubahan pada tingkat molekuler meliputi mekanisme yang sangat kompleks yang dalam keadaan puncak akan menyebabkan perubahan pada ekspresi gen. Sepsis akan menyebabkan gangguan regulasi pada respon ini yang akan menyebabkan pelepasan secara eksesif mediator-mediator inflamasi dan menyebabkan kerusakan pada organ maupun sel tubuh. Mekanisme yang menyebabkan kerusakan jaringan pada respon sepsis umumnya berhubungan dengan kerusakan pada endotel vaskuler yang akan secara nyata menyebabkan penurunanan perfusi oksigen maupun substrat lainnya ke jaringan sehingga terjadi perubahan pada metabolisme seluler. Banyak kompleks sistem yang secara sekunder terstimulasi selama periode sepsis, termasuk aktivasi sistem komplemen, platelet-activating factor (PAF), metabolit asam archidonat, ROS dan NO. Faktanya yang terjadi adalah lingkaran siklus inflamasi dan koagulasi yang tidak berhenti berputar dengan iskemia, kerusakan sel yang pada akhirnya akan meyebabkan disfungsi organ serta kematian. Saat ini didapatkan bukti dimana pada keadaan sepsis juga didapatkan stress oksidatif yang berat. Oksigen radikal bebas dan ROS lainnya sepertinya berhubungan dengan messangers pada tranduksi signal dan aktivasi gen. Dan hal ini akan memberikan dampak terhadap ekspresi maupun kontrol respon immunecommit user inflammantory selama periode sepsis. Studitomolekuler pada saat ini berbasis terhadap pengenalan monosit terhadap LPS serta regulasi dari gen inflamasi, hal ini dapat 15 16 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id membuat pendekatan baru dalam strategi teraputik.(Victor et al, 2005). Intervensi teraputik dengan menggunakan Vitamin C sebagai antioksidan diharapkan dapat mengembalikan transduksi signal dan mengembalikan produksi mediator-mediator ke nilai normal. Strategi mencegah kerusakan endotel dapat dilakukan dengan cara mencegah pelepasan ROS dan mengembalikan trasduksi signal, sehingga fungsi endotel dapat dikembalikan ke fungsi normalnya. Strategi ini pada akhirnya diharapkan dappat memperbaiki fungsi dari mikrosirkulasi dan mengurangi kejadian MOD/MOFS serta angka kematian. Pada penelitian ini dengan menggunakan tikus wistar model sepsis yang diberikan Vitamin C, sepsis murni dan kontrol (tanpa induksi sepsis dan pemberian Vitamin C) diharapkan dapat diteliti pengaruh pemberian Vitamin C terhadap diameter arteriol. Penulis menduga bahwa pemberian Vitamin C pada tikus wistar yang berada dalam keadaan sepsis polimikrobial dapat memperbaiki dan mengembalikan diameter arteriol seperti dalam keadaan normal. B. Rumusan Masalah Apakah ada pengaruh pemberian Vitamin C 5,1mg/kgBB/hari/i.v (setara dengan 50 mg/kgBB/hari/ i.v pada manusia dengan berat badan 60 kg) pada tahap awal sepsis terhadap diameter arteriol pada tikus wistar dengan model sepsis polimikrobial. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Menganalisis pengaruh pemberian Vitamin C 5,1mg/kgBB/hari/ i.v (setara dengan 50 mg/kgBB/hari/ i.v pada manusia dengan berat badan 60kg) pada tahap awal sepsis terhadap diameter arteriol pada tikus wistar dengan model sepsis polimikrobial. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui pengaruh pemberian Vitamin C 5,1 mg/kgBB/hari/ i.v (setara dengan 50 mg/kgBB/hari/ i.v pada manusia dengan berat badan 60 kg) pada tahap awal sepsis terhadap diameter arteriol pada tikus wistar dengan model commit to user sepsis polimikrobial. b. Menganalisis perbandingan antara ketiga kelompok 16 17 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id D. Manfaat Penelitian 1. Jika penelitian ini terbukti, maka pemberian Vitamin C dapat menjadi pertimbangan sebagai prosedur rutin yang dilakukan dalam tatalaksana sepsis, terutama perawatan dan penatalaksanaan sepsis di unit terapi intensif. 2. Hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi dalam menjelaskan pengaruh pemberian Vitamin C terhadap mikrosirkulasi pada pasien sepsis. 3. Penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi bagi masyarakat mengenai pemberian Vitamin C pada pasien sepsis. 4. Landasan untuk penelitian lebih lanjut commit to user 17 18 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. LPS-Induced Signaling Pathway Aktivasi dari sistem imun dan inflamasi timbul sebagai respon baik terhadap stimuli infeksi maupun non infeksi. Bakteri gram negatif dan postif merupakan agen-agen kausatif. Infeksi akan menstimulasi respon imun pada innate, pada umumnya di mediasi melalui sel-sel inflammatori pada sirkulasi dan jaringan, seperti monosit/makrofag dan netrofil. Sel-sel ini pada keadaan normal akan ditemukan baik dalam sirkulasi maupun jaringan yang dapat secara cepat teraktivasi sebagai respon terhadap bakteria. Sel-sel ini akan menghasil mediatormediator inflamasi sehinga dapat dengan sangat aktif melakukan fungsi fagosit,dan juga dapat berkontribusi terhadap timbulnya kerusakan pada jaringan yang disebabkan karena mediator-mediator inflamasi yang dihasilkan oleh cytokines serta kerusakan yang disebabkan karena ROS. Mekanisme molekuler yang terjadi akibat pelepasan mediator inflamasi serta ekspresi gen yang dapat diinduksi oleh LPS seringkali menjadi objek penelitian akhir-akhir ini (Victor et al, 2005). Pada fase akut didalam plasma, LPS akan terikat dengan protein dalam bentuk LPS-binding protein (LBP). LBP sangat penting dalam timbulnya respon induksi inflamasi yang disebabkan oleh LPS. Saat ini telah banyak reseptor endotoksin yang teridentifikasi seperti β2integrin CD11/CD18, macrophage scavenger receptor for acetylated LDL, Lselectin dan CD14. Dari kesemua reseptor tersebut, CD14 dianggap sebagai yang paling penting. Dimana reseptor ini ditemukan dalam 2 bentuk: membrane bound CD14 (mCD14) dan soluble CD14 (sCD14). LPS juga dapat berinteraksi dengan transmembrane signal transduction receptor Toll-like receptor 4 (TLR4), dimana reseptor ini berada pada kompleks accessory protein MD-2. Walaupun TLR2 dianggap ikut berperan pada proses signaling LPS, diduga TLR4 memiliki peran kunci dalam respon imun terhadap bakteri gram negatif pada innate (Juan et al, 2005). LPS yang terikat pada reseptor ini akan mengaktifkan beberapa jalur signaling intraseluler, termasuk jalur IκB kinase (IKK)-nuclear factor κB (NFκB) dan berbagai jalur nitrogen-activated protein kinase (NAPK). Jalur-jalur ini akan commit to user menfosforilasi dan mengaktifkan berbagai faktor transkripsi, termasuk NFκB/Rel protein, activator protein 1 (AP-1) dan nuclear factor-interleukin 6 (NF-IL6), yang 18 5 19 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id akan meyebabkan induksi gen serta ekspresi mediator inflamasi dengan cepat, termasuk cytokines, lipid mediators, inducible nitric oxide synthase (iNOS), dan molekul adhesi. Cytokines memliki berbagai sel target, dan aksi spesifik cytokines ini tergantung dari stimulus, tipe sel serta adanya mediator inflamasi lainnya dan juga reseptor yang ada. Walaupun telah ditemukan beberapa faktor transkripsi yang mungkin berhubungan dengan perubahan aktivasi gen pada sepsis, termasuk AP-1 dan NFIL-6, NFκB merupakan faktor yang paling detail dijelaskan. Baik pada penelitian in vitro maupun in vivo membuktikan dugaan peran penting NFκB pada sepsis dan syok endotoksik. Representasi skematik jalur LPS/NFκB digambarkan pada gambar.1 1.1 Nuclear Factor κB NFκB merupakan faktor transkripsi yang penting bagi fungsi normal sel imun, yang akan mengatur aktivasi dari gen-gen yang diperlukan untuk menghasilkan respon yang dibutuhkan secara cepat. Namun, peningkatan dan/atau durasi aktivasi yang memanjang dari NFκB ini akan menyebabkan ekspresi yang berlebihan dari protein mediator dan akan menghasilkan efek yang merusak selama periode sepsis. Jalur NFκB dapat berubah-ubah, dengan perbedaan efek pada regulasi gen yang tergantung dari kombinasi spesifik yang terjadi (Abraham, 2005). NFκB berada dalam keadaan inaktif di dalam sitoplasma dan disertai dengan protein inhibitor yang berasal dari family IκB, termasuk diantaranya IκBα, IκBβ dan IκBε. LPS akan menstimuli aktivasi NFκB melalui mediator-mediator inflamasi, termasuk cytokines (TNFα, IL- 1β), ROS (terutama hydrogen peroksida) (Juan et al, 2005), protein kinase C activator, virus, sinar UV dan ionizing radiation (Barnes, 1997) Aktivasi NFκB dicapai dengan cara fosforilasi dan degradasi dari protein penghambat IκB melalui aksi kinases yang spesifik, NFκB-inducible kinases (NIK), IKK1 dan IKK-2 (Abraham, 2003). IKKα dan IKKβ dapat menfosforilasi IκB pada in vitro, namun studi genetik menduga peran utama to user untuk IKKβ pada aktivasicommit cytokine-inducible NFκB. Degradasi dari IκB dilakukan dengan cara menambahkan ubiquitin residues dan dilanjutkan 19 20 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dengan proses proteolisis. Setelah NFκB berada di dalam nucleus maka NFκB dapat terikat pada gen target untuk menginisisasi proses transkripsi, translasi dan sintesis protein. Kompleks IKK merupakan kunci pengaturan pada proses aktivasi NFκB oleh stimulus mediator inflamasi. Ada banyak gen yang berisikan rangkaian spesifik sebagai tempat terikatnya NFκB pada promoter regions. Mekanisme umpan balik telah teridentifikasi, dimana hal ini dapat menjelaskan respon yang terjadi pada stimulus awal (positive feedback) atau pengaturan yang terjadi pada aktivasi NFκB (negative feedback) (Blackwell T, Christman J, 1997). LPS dapat menginduksi sintesis mediator-mediator anti inflamasi cytokines seperti IL-10 (dan juga IL-4 serta IL-13) yang akan menghambat aktivasi NFκB serta menghambat produksi cytokine (Wang et al, 2003), hal tersebut membutuhkan mekanisme hambatan umpan balik. Gambar 1. Diagram Skematik LPS-induced signaling pathway sebagai respon inflamasi yang timbul pada monosit, makrofag dan neutrophil. 1.2 Redox Regulation of NFκB dan Stress Oksidatif Status redoks intraseluler secara fisologis penting dalam menjaga homeostasis seluler. Regulasi NFκB meliputi kaskade fosoforilasi dan defosforilasi, namun hal ini dapat dikontrol oleh status redoks pada sel. Glutathione (GSH) merupakan regulator utama redoks homeostasis intraseluler, commitreversible to user dari grup aktif thiol. NFκB terlibat yang bekerja melalui proses oksidasi dalam pengaturan ekspresi enzim γGCS 20 dalam sintesis GSH sebagai respon 21 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id terhadap berbagai stimulus termasuk cytokine inflamasi (IL-1β dan TNF-α). Thioredoxin (Trx) merupakan senyawa yang mengandung thiol lainnya yang penting dalam homeostasis redoks. 1.3 NFκB dan Sepsis NFκB memiliki peran sentral dalam modulasi ekspresi dari mediator immunoregulatory yang terlibat dalam stress oksidatif dan juga pada sepsis. Pada beberapa studi pada hewan telah mendemontrasikan hubungan antara sepsis dan aktivasi NFκB dan stress oksidatif. Pada tikus didapatkan penggunaan LPS akan menyebabkan aktivasi NFκB pada beberapa organ, hal ini berhubungan dengan peningkatan mRNA pada jaringan paru dan ekspresi protein dari berbagai NFκBregulated cytokines termasuk diantaranya TNF- α dan IL-6 (Victor et al, 2005) Beberapa studi telah mendemontrasikan peningkatan aktivitas NFκB pada lekosit yang telah diisolasi pada pasien dengan sepsis, dimana hal ini berhubungan dengan kematian. Bohrer dkk melaporkan peningkatan aktivitas NFκB yang dibandingkan dengan skor APACHE II (Acute Physiology and Chronic Health Evalution) sebagai prediktor hasil dan tingkat mortalitas dari sepsis. Penemuan ini dikonfirmasi oleh Arnalich dkk, dimana pada penelitian didapatkan peningkatan yang bermakna pada aktivitas NFκB pada pasien non-survivor. Namun Paterson dkk melaporkan bahwa peningkatan aktivasi NFκB sel mononuclear pada pasien yang meninggal karena critically ill dapat dihambat dengan pemberian antioksidan N-acetyl cysteine (NAC). Kadar IL-8 akan megalami penurunan pada pemberian NAC, namun hal ini tidak ditemukan pada kadar IL-6 maupun kadar inreellular adhesion molecule 1 (ICAM-1). Saat ini telah dapat dibuktikan jika IL8 diatur pada tingkatan transkripsional oleh NFκB. 2. Keterkaitan Reactive Oxygen Spesies Pada keadaan fisiologis selalu ada kesimbangan antara bentuk reactive oxygen species dan bentuk buangannya, dimana bentuk ini ini dimediasi oleh antioksidan endogen dan enzim (Victor et al, 2005). Stress oksidatif timbul ketika keseimbangan ini digangu oleh produksi ROS yang berlebih, termasuk diantaranya superoxide (O2-), hydrogen peroxide (H2O2), dan hydroxyl radicals to user (HO). Produksi ROS ini tidak commit diikuti oleh peningkatan yang adekuat dari zat-zat 21 22 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id antioksidan seperti; superoxide dismutase (SOD), Katalase, Vitamin C dan E, serta glutathione (GSH). Ketidakseimbangan ini terjadi ada keadaan sepsis. Oleh karena itu ROS merupakan second messengers penting yang terbentuk sebagai respon terhadap berbagai macam stress lingkunan. Pada keadaan ini, perubahan ROS intraseluler dapat mengaktivasi jalur tranduksi signal yang akan mempengaruhi bagaimana sel bereaksi terhadap perubahan pada lingkungannya. 2.1 Reactive Oxygen Spesies Intermediate ROS akan meningkat ketika molekul teroksidasi dikarenakan molekul oksigen yang berubah menjadi air selama metabolisme. O2 O2- H2O2 Molekul Superoxide Oksigen Anion Radical Hydrogen Peroxide HO Hydroxy radical H2O Air O2- dan HO merupakan suatu radikal bebas karena molekul ini memiliki atom dengan electron yang tidak berpasangan dan akan menyumbangkan dalam peningkatan radikal bebas yang sangat reaktif dan berpotensial menjadi toksik. O2- akan diubah menjadi H2O2 oleh enzim SOD. H2O2 bukan merupakan radikal bebas, namun memiliki peran yang penting karena kemampuannya untuk menembus membrane biologis. Pada keadaan kekurangan ion logam, H2O2 selalu dalam keadaan stabil. Jumah berlebih dari H2O2 secara normal akan diubah menjadi air karena aksi dari enzim katalase, glutathione peroxidase dan peroksidase lainnya. Namun reaksi ini menyebabkan netrofil dapat mengoksidasi ion klorida menjadi hypochlorus acid melalui myeloperoxidase yang akan meningkatkan aktivitas sitotoksik dari radikal bebas. Jika didapatkan ion logam (pada umumnya besi dan copper) maka HO dapat dibentuk sebagai hasil reaksi antara O2- dengan H2O2. HO lebih reaktif dibandingkan O2-. Pada keadaan ini dibutuhkan ion besi dalam bentuk ferrous (Fe2+), dimana di dalam sel dan plasma sebagian besar besi berada dalam bentuk yang teroksidasi (Fe3+). Seperti halnya ion tersebut terkait dengan H2O2 pada pembentukan HO, maka O2- juga dapat menyebabkan perubahan bentuk Fe3+ menjadi Fe2+ yang akan menyebabkan commit to user pembentukan HO lebih lanjut. 22 23 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pada kondisi fisiologis sebagian besar ROS dibentuk selama proses respirasi di tingkat seluler dan diaktivasi oleh sel fogositik termasuk netrofil yang terlibat pada respon inflamasi. ROS memiliki peran penting pada respirasi di tingkat mitokondria, jalur produksi prostaglandin dan mekanisme pertahanan host, dan pada saat ini telah diketahui jika ROS memiliki keuntungan vital pada kondisi fisiologis. Pada keadaan sepsis, ada beberapa sumber potensial dari ROS, termasuk diantaranya rantai transport elektron pada pernafasan mitokondria, aktivasi xanthine oxidase (XO) sebagai hasil dari iskemia dan reperfusi, pembakaran yang berhubungan dengan aktivasi sel imun, dan juga dari metobolisme asam arachidonat. Aktivasi sel imun akan menghasilkan O2- sebagai agen sitotoksik yang merupakan hasil pembakaran respirasi melalui aksi dari NADPH oksidase pada molekul oksigen yang terikat pada membran. Pembentukan NADPH oksidase diatur oleh netrofil yang terpapar oleh LPS dari bakteri (Deleo et al, 1998). Deleo dkk., mendemostrasikan peningkatan kadar Rac2 pada pemberian LPS. Rac2 merupakan bagian kecil dari GTP-binding protein yang berhubungan dengan p47phox dan p67phox (dua sub unit yang dibutuhkan dalam fungsi NADPH) yang terletak pada membrane. Peningkatan ROS setelah pemberian LPS telah didemostrasikan pada berbagai model syok septik pada makrofag peritoneal dan limfosit Gangguan pada keseimbangan antara pro oksidan (ROS) dan antioksidan merupakan karakteristik yang sering ditemukan pada stress oksidatif pada sel imun sebagai respon terhadap endotoksin. Pada keadaan stress oksidatif didapatkan perubahan yang khas pada sel-sel imun tersebut dan berimplikasi pada perubahan pada berbagai fungsi imun, seperti peningkatan adhesi dan fagositosis serta penurunan kemotaksis. NO juga diproduksi oleh netrofil dan makrofag, dimana NO dapat bereaksi dengan O2- dan menghasilkan peroxynitrite (ONOO-) yang merupakan pro oksidan kuat. ONOO- dapat mengalami dekomposisi dan diubah menjadi bentuk HO. Pada keadaan iskemia yang diikuti dengan reperfusi, XO akan mengkatalisis pembentukan asam urat dengan O2- sebagai koproduksi yang akan menyebabkan proses recruitment dan aktivasi dari netrofil serta proses perlekatan (adhesi) pada sel endotel yang juga akan menstimulasi pembentukan XO serta O2-. commit userdapat timbul selama stress oksidatif. Kerusakan yang dimediasi olehtoROS DNA dan protein dapat mengalami oksidasi bersama dengan kerusakan pada 23 24 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id membran yang disebabkan peroksidasi pada lipid yang akan menyebabkan perubahan pada permeabilitas membran, modifikasi dari struktur dan perubahan fungsi protein. Kerusakan oksidatif pada membran mitokondria juga dapat timbul dan menyebabkan depolarisasi membran serta uncoupling fosforilasi oksidatif dengan perubahan pada respirasi seluler. 2.2 Mekanisme Pertahanan Antioksidan Endogen Antioksidan memiliki peran sentral pada keseimbangan redoks dalam tubuh manusia dan bekerja secara sinergistik. Antioksidan primer mencegah pembentukan radikal oksigen dengan cara menyingkirkan prekursor dari radikal bebas atau bisa juga dengan cara menghambat katalis seperti glutathione peroksidase dan katalase. Antioksidan sekunder akan bereaksi dengan ROS yang telah terbentuk baik dengan cara menyingkirkan maupun menghambat pembentukannya (e.g. Vitamin C dan E). Mekanisme pertahanan Antioksidan endogen didapatkan pada beberapa lokasi diataranya; intraseluler, pada dinding membrane sel dan ektraseluler. Antioksidan Intraseluler Enzim SOD merupakan golongan metalloenzymes yang dapat secara cepat mempromosi konversi O2- menjadi H2O2. Ada 3 bentuk dari SOD yang memiliki peran penting: copper-zinc SOD (sitoplasma), manganese SOD (mitokondria) dan SOD ekstraseluler (matriks ekstraseluler). Katalase dan glutathione peroksidase merupakan enzim yang mengandung selenium dimana enzim ini membutuhkan reduced GSH untuk dapat melakukan aksinya dalam mengkatalisis koversi dari H2O2 menjadi H2O. Pada Reduced GSH didapatkan group thiol (sulphydryl). GSH sendiri memiliki efek langsung terhadap aktivitas antioksidan dengan cara donasi ion hydrogen dan memperbaiki kerusakan pada DNA. Stress oksidatif dan modulasi pada kadar GSH/GSSG (GSSG=oxidized GSH) juga diatur oleh ekspresi gen dari beberapa protein antioksidan seperti manganese SOD, glutathione peroxidase, Trx dan methalothionein. commit to user 24 25 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Membran Antioxidant Dibutuhkan spektrum antioksidan yang berbeda pada bagian interior lipid hidrofobik pada membran sel. Vitamin E merupakan antioksidan yang dapat larut dalam lemak, sehingga zat ini menjadi antioksidan yang terpenting pada lingkungan ini. Β-carotene, lycopene dank o-enzim Q juga telah diketahui memiliki peran sebagai antioksidan pada membran. Antioksidan yang larut pada lemak/lipid juga memiliki arti yang penting dalam menjaga lapisan polyunsaturated fatty acid dari peroksidasi lipid yang dapat menyebabkan kerusakan dari integritas membran sel. Antioksidan Ektraseluler ROS juga didapatkan pada kompartemen ekstraseluler, terutama sebagai hasil dari aktivasi netrofil. Komponen plasma dan sel darah merah dapat berfungsi sebagai antioksidan; sel darah meral memiliki komponen copper-zinc SOD-dependent pathway yang dapat menginaktivasi O2-, katalase dan glutathione peroksidase dalam menghadapi H2O2. Apotranferrin, lactoferin dan ceruloplasmin merupakan protein plasma binding protein yang memiliki fugsi sebagai antioksidan. Albumin juga memiliki fungsi antioksidan melalui group thiol yang dapat teroksidasi yang dimilikinya, dimana hal ini dapat meningkatkan proses radical scavenging. Di dalam plasma juga didapatkan sejumlah molekul kecil yang memiliki arti penting sebagai antioksidan, termasuk diantaranya vitamin E, Vitamin C (asam ascorbat, AA), asam urat dan bilirubin. Vitamin C dapat berikteraksi dengan O2- untuk membentuk dehidroascorbic acid, dan akan menurunkan kadar Fe3+ dengan cara mengubahnya menjadi bentuk Fe2+ yang akan melibatkan Vitamin C baik sebagai pro mauppun antioksidan. 2.3 Stress oksidatif pada syok Septik Sepsis dapat mengaktivasi berbagai macam sel seperti makrofag, netrofil, sel endotel maupun epithelial yang akan melepaskan sejumlah mediator, termasuk diantaranyya cytokines, chemokines, PAF, interferon-γ, komplemen prostanoid, leukotriene dan protease. Kejadian ini akan menyebabkan aktivasi dari sel imun commit toinflamasi user yang disertai pelepasan ROS. Mediator ini memiliki peran yang penting dalam membunuh organisme patogen., namun jika respon yang terjadi terlalu 25 26 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id eksesif, makan dapat menyebabkan infeksi sistemik pada organ dibagian distal dan dapat menyebabkan kematian, Borelli dkk telah mendokumentasikan bahwa kadar Vitamin C pada plasma secara bermakna mengalami penurunan pada pasien di ICU yang mengalami MOFS dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami MOFS. Victor et al., menunjukkan bahwa kadar Vitamin C pada mencit mengalami penurunan pada lekosit di nodus aksilaris, lien dan timus setelah pemberian LPS (Victor et al, 2005). Pada populasi pasien dewasa maupun pediatrik dengan sepsis akan didapatkan peningkatan aktivitas XO. Namun intensitas dan durasi dari proses inflamasi sangat tergantung dari keseimbangan lokal antara pro oksidan dan antioksidan, terutama pada sistem imun. Karena hal ini lah banyak sekali penelitian menggunakan antioksidan sebagai teapi pada pasien dengan sepsis. 2.4 Disfungsi mitokondria pada Syok Septik Mitokondria merupakan pernghasil energi pada sel eukaryotic dan potensial menjadi tempat dimana ROS diproduksi. Pada pasien dengan sepsis didapatkan insufisiensi pada produksi energi pada tingkat seluler yang akan menyebabkan kurusakan jaringan/organ. Disfungsi mitokondria akan menyebabkan kegagalan pembentukan bioenergi yang merupakan mekanisme yang terjadi pada syok septik, dan hal ini sudah dikenal sejak 30 tahun yang lalu. Pada dekade terakhir fokus dari sepsis ditekankan pada masalah disfungsi endotel dan disfungsi pada kontrol vaskuler. Namun kedua efek ini telah diketahui dengan baik sebagai konsekuensi yang diakibatkan karena peningkatan kadar NO baik pada otot polos pada dinding pembuluh darah maupun pada otot rangka serta jantung (Kaymak, Basar, Sardas, 2011). Mitokondria pada kondisi syok septik akan mengalami kegagalan pada sistem respirasi internal. Disfungsi mitokondria akan menyebabkan penurunan uptake oksigen. Hambatan pada proses transfer elektron dianggap sebagai hasil produksi NO yang berlebih oleh mitokondrial NO-Synthase (mtNOS) atau bisa juga disebabkan karena NOS lainnya yang akan menyebabkan: (i) efek ireversibel dari NO dan peroxynitrite (ONOO-) pada NADPH-ubiquinone reduktase dan to user kompetitif oksigen yang reversibel uiquinol-cytochrome reductase,commit (ii) hambatan 26 27 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dari aktivitas cytochrome c oxidase. Pada penelitian in vivo juga memperlihatkan disfungsi mitokondria pada pasien dengan syok septik. Dapat disimpulkan bahwa mitokondria memiliki peran sentral pada kejadian di tingkat intraseluler yang berhubungan dengan inflamasi dan sepsis yang pada saat bersamaan menjadi sumber penghasil energi serta target dari NO. 3. Peranan Nitrogen Spesies ROS dan reactive nitrogen species (RNS) memainkan peranan yang penting pada proses inflamasi sebagai mediator pada kerusakan yang terjadi. RNS merupakan nama kolektif termasuk diantaranya NO, ONOO-, nitrogen dioxide radical (NO2), nitrogen teroksidasi lainnya dan nitrogen yang timbul ketika NO bereaksi dengan O2-, RO- dan RO2-. NO beraksi cepat dengan ferrous iron, dan pada saat konsentrasinya sesuai dengan keadaan fisiologis, NO juga terikat dengan guanylate cyclase yang terlarut dan hemoprotein serta cytochrome c oxidase (COX) yang merupakan enzim terminal pada rantai pernafasan di mitokondria. Namun NO dapat mengontrol fungsi seluler melalui hambatan yang bersifat reversibel pada pernafasan ((Kaymak, Basar, Sardas, 2011)). Ada beberapa reactive NO species seperti N2O3 dan ONOO- yang dapat merubah komponen ktitikal pada sel. Aktivasi dari monosit, makrofag, dan sel endotel yang diinduksi oleh LPS akan meningkatan ekspresi dari iNOS, dan menyebabkan peningkatan transformasi L-arginine menjadi NO. NO yang terbentuk akan mengalami reaksi dengan O2- dan membentuk ONOO- yang merupakan suatu oksidan yang sitotoksik yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan selama periode syok, inflamasi dan reperfusi pada iskemia. NO akan menstimulasi pembentukan H2O2 dan O2- pada mitokondria, hal ini kemungkinan dilakukan dengan cara menghambat COX yang akan meyebabkan perlekatan elektron dari rantai pernafasan. H2O2 yang terbentuk juga akan mengatur dengan cara umpan balik untuk dalam menghambat ekspresi iNOS melalui aktivasi NFκB. ONOO- dapat menstimulasi pembentukan H2O2 dengan cara mengisolasi mitokondria. Namun kebalikannya, NO pada kadar yang fisiologis juga dapat menurunkan kerusakan yang dihasilkan oleh pembentukan ROS (Victor et al, 2005). Reaktivitas tinggi commit to user tersendiri pada in vivo, sebagai NO terhadap radikal merupakan keuntungan contoh denggan cara meningkatkan penghancuran radikal peroxyl dan 27 28 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menghambat peroksidasi. Sebagai tambahan diduga bahwa ONOO- dapat menjadi signal transmisi yang dapat memediasi vasorelaksasi. RNS lainnya seperti nitrogen oksida dan nitryl clorida diyakini dapat menyebabkan beberapa kejadian patofisiologi, termasuk reaksi inflamasi. Gambaran skematik yang meperlihatkan efek inhibisi dari NO dan ONOO- pada mitokondria di iliustrasikan pada gambar.2. Reaksi inflamasi memainkan peran yang penting pada kerusakan jaringan yang diinduksi oleh endotoksin. Kerusakan jaringan yang terjadi dimediasi oleh adhesi dan migrasi dari lekosit melalui endothelium yang akan membentuk ROS dan RNS, dan melepaskan beberapa cytokines pro inflamasi dari monosit maupun makrofag. Pembentukan RNS secara lokal akan berkontribusi terhadap kerusakan jaringan yang terjadi. Peningkatan pembentukan RNS sebagai respon terhadap endotoksin berbeda-beda sesuai dan spesifik terhadap organ (berikut urutan dari yang berkadar tinggi ke rendah: hati-jantung-serebrum-serebellum-paru-ototdarah-ileum-kidney-duodenum-jejunum). 4. Proteksi Antioksidan Telah dilaporkan bahwa sepsis meyebabkan peningkatan penanda dari stress oksidatif pada berbagai hewan coba maupun manusia. Efek ini berkorelasi dengan ketidakseimbangan pada jumlah antioksidan. Bukti dari stress oksidatif pada sepsis dan hubungannya dengan ekspresi gen inflamasi telah memberikan dasar dalam intervensi yang dapat dilakukan baik dalam menurunkan stress oksidatif maupun dengan cara menghambat aktivasi proses transkripsi. Karena alasan ini, pengaturan antioksidan dalam melawan toksisitas endotoksin dan penggunaan secara klinis akan dibahas lebih lanjut. 4.1 Mekanisme Kerja Antioksidan Pada Endothel Pasien Sepsis Anti oksidan merupakan senyawa-senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat logam. Fungsi antioksidan adalah mencegah terbentuknya radikal hidroksil, memutus rantai reaksi oksidan, mereduksi oksidan menjadi zat lain yang kurang reaktif misalnya H2O dan O2, menghambat peroksidase lipid dan to user scavenger langsung dari commit ROS. Pada sepsis terjadi inflamasi, inflamasi 28 29 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id ditandai oleh pelepasan sitokin pro inflamasi seperti TNF-, 1L-1 , dan IL-6 dan mediator inflamasi termasuk NO, PGE2, iNOS dan COX. Antioksidan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok seperti tercantum di bawah ini : 1. Berdasarkan mekanisme kerjanya, anti oksidan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu (Murray, 2003) : a. Antioksidan pencegah Pada dasarnya tujuan anti oksidan jenis ini adalah mencegah terjadinya radikal hidroksil, yaitu radikal yang paling berbahaya. Untuk membentuk radikal hidroksil diperlukan tiga komponen, yaitu : logam transisi Fe atau Cu, H2O2 dan O2. Agar reaksi Fenton tidak terjadi, maka harus dicegah keberadaan ion Fe++ atau Cu+ bebas. Untuk itu berperan beberapa protein penting, yaitu : (1). Untuk Fe: Transferin atau Feritin, (2). Untuk Cu : Seruloplasmin atau Albumin. Penimbunan O2 dicegah oleh Enzim ROS Dismutase (SOD) yang mengkatalisis reaksi dismutasi O2. Penimbunan H2O2 dicegah melalui aktifitas dua jenis enzim, yaitu : (1) Katalase, yang mengkatalisis reaksi dismutasi H2O2, (2). Peroksidase. Diantara berbagai peroksidase, yang paling penting adalah glutation peroksidase (GSPx). Apabila radikal hidroksil masih saja terbentuk, masih ada sarana lain untuk meredamnya, tanpa memberi kesempatan untuk memulai reaksi rantai dengan melibatkan senyawa-senyawa yang mengandung gugusan sulfidril seperti glutation dan sistein. b. Antioksidan pemutus rantai Dalam kelompok anti oksidan ini termasuk tocopherol, asam askorbat, -karoten, glutation dan sistein. Tocopherol dan -karoten bersifat lipofilik, sehingga dapat berperan pada membran sel untuk mencegah peroksidasi lipid. Sebaliknya, asam askorbat, glutation dan sistein bersifat hidrofilik, dan berperan dalam sitosol. commit to user 29 30 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2. Berdasarkan kelarutan, antioksidan diklasifikasikan menjadi (Murray, 2003): a. Larut dalam air (hidrofilik) Antioksidan larut air bereaksi dengan oksidan dalam sitosol sel dan plasma darah, contohnya adalah Asam askorbat, glutation dan sistein b. Larut dalam lipid (lipofilik) Antioksidan yang larut lipid melindungi sel membran dari peroksidasi lipid, contohnya adalah Tocopherol dan -karoten. Antioksidan yang berbeda-beda berada dalam cairan tubuh dan jaringan, dengan beberapa antioksidan seperti glutation atau ubiquinone sebagian besar berada di dalam sel, sementara yang lain seperti asam urat terdistribusi secara lebih merata. Tabel 1. Pembagian antioksidan berdasarkan solubilitas (Murray, 2003) Metabolit anti Kelarutan oksidan Kadar dalam serum Kadar dalam liver (μM) (μmol/kg) Asam Ascorbat Air 50 – 60 260 Glutation Air 4 6.400 Asam Lipoat Air 0,1-0,7 4-5 (pada tikus) Asam urat Air 200-400 1.600 β-Karotene Lipid β-karotene 0,5-1 5 (total) Retinol (vit A) 1-3 α-Tocopherol Lipid 10-40 50 Ubiquinol Lipid 5 200 3. Berdasarkan sifat enzimatik, antioksidan dapat dibagi menjadi (Pasupathy 2009) : a. Enzimatik Yang termasuk antioksidan enzimatik diantaranya adalah Glutation, ROS Dismutase dan Katalase b. Non enzimatik commit to user β-Karoten, Asam askorbat, Tocopherol 30 31 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Liver adalah organ utama untuk membersihkan zat-zat toksin berasal dari bakteri maupun zat kimia seperti toksin, oksidan, dan pro-oksidan. Untuk melakukan detoksikasi dari bahan berbahaya tersebut, liver mengandung antioksidan dengan berat molekul rendah dan enzim yang merusak kelompok oksigen reaktif (ROS) yaitu glutation tereduksi (GSH), Vitamin C, vitamin E, ROS dismutase (SOD), glutation peroksidase, dan katalase. 4.2 Asam Askorbat 4.2.1 Struktur dan Biokimiawi Asam askorbat atau Vitamin C adalah suatu monosakarida, termasuk antioksidan larut air yang ditemukan pada binatang dan tumbuhan. Salah satu enzim yang diperlukan untuk membuat asam askorbat yaitu gulanolactone oxydase telah hilang oleh mutasi selama evolusi manusia, karena itu asam askorbat harus diperoleh dari makanan dan vitamin. Dalam sel, asam askorbat dipertahankan dalam reduced form oleh reaksi dengan glutathione, yang dapat dikatalisis oleh protein disulfida isomerase dan glutaredoxins. Asam askorbat terdapat pada jumlah yang tinggi dalam kloroplas tumbuhan. Asam askorbat berperan sebagai koenzim dalam hidroksilasi prolin dan lisin dalam proses sintesa kolagen dan meningkatkan absorpsi besi (Murray, 2003). Gambar 2. Bentuk Asam askorbat tereduksi (Murray, 2003) Gambar 3. Bentuk Asam akorbat teroksidasi (Murray, 2003) 4.2.3 Aktivitas Antioksidan Asam askorbat adalah reducing commit to user agent dan dapat mengurangi dan menetralkan, reaktif oksigen spesies seperti hidrogen peroksida. Oksidan 31 32 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id seperti hidroksil radikal mengandung elektron tidak berpasangan dan sangat reaktif dan merusak pada tingkat molekuler. Hal ini disebabkan oleh interaksi ROS dengan asam nukleat, protein, dan lipid. Reaktif oksigen spesies mengoksidasi askorbat menjadi monodehydroascorbate dan kemudian menjadi dehydroascorbate. Reaktif Oksigen Spesies (ROS) direduksi menjadi air sementara bentuk askorbat teroksidasi relatif stabil, tidak reaktif dan tidak menyebabkan kerusakan sel. Dosis yang direkomendasikan adalah 90 mg/hari untuk laki-laki dan 75 mg/hari untuk wanita (Padayatty, 2003). Pemberian asam askorbat secara intravena aman dan dapat ditoleransi dengan baik pada pasien sepsis (Alpha et al, 2014). Dengan dosis 50-200 mg/kg/hari didapatkan kadar plasma sebesar 17,9 ± 2,4 µM (range normal 50-70µM) (Alpha et al, 2014) dan dengan kadar ini dapat menurunkan angka kejadian multiple organ failure, biomarker reaksi inflamasi serta kerusakan endotel. Vitamin C (Asam Ascorbat/AA) merupakan donor elektron yang kuat, bereaksi baik dengan O2- maupun dengan OH-. AA memainkan peran penting dalam mekanisme pertahanan terhadap kerusakan oksidatif terutama yang disebabkan oleh lekosit. Pengaturan utama dari Vitamin C pada organisme berhubungan dengan fungsinya sebagai reduktor, namun Vitamin C juga ikut berperan dalam memodulasi jalur kompleks biokimia dimana hal ini merupakan bagian penting dalam metabolisme normal dari sel imun. Antioksidan ini menghambat aktivasi dari faktor transkripsi nuclear NF-κB yang dicetuskan oleh adanya endotoksin, dimana hal ini dapat menurunkan produksi TNFα. Penelitian Ex vivo telah menunjukkan pengaruh pemberian Vitamin C terhadap regulasi aktivitas seluler, seperti peningkatan adhesi dan produksi O2- yang dihasilkan oleh makrofag pada mencit dengan syok endotoksin yang akan berkurang dengan adanya AA (Victor et al, 2005). AA juga memperlihatkan kemampuan untuk memodulasi fungsi limfosit pada model yang sama. Studi in vitro telah memperlihatkan dimana AA dapat menghambat replikasi bakteria dan mencegah kerusakan sel endotel mikrovaskuler yang diakibatkan H2O2. Konsentrasi AA pada sirkulasi mengalami penurunan selama periode sepsis. Pada studi lainnya, Wu et al commitAA to user (2003) memperlihatkan dimana dapat menghambat ekspresi iNOS dan menurunkan kadar oksidan pada masa otot selama periode sepsis. Hasil ini 32 33 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menimbulkan dugaan dimana pemberiacn vitamin pada early sepsis dapat menjadi terapi tambahan yang berharga. 4.2.4 Pelepasan NO yang dipengaruhi Askorbat dari S-nitrosothiols dalam plasma Askorbat dapat meningkatkan pengiriman NO dari plasma ke dinding pembuluh darah. Ketika diukur, konsentrasi NO bebas dalam plasma sekitar 3 nM, NO dapat diangkut sebagai S-nitrosothiols oleh albumin dan sistein bebas. Konsentrasi S-nitrosothiols dalam plasma antara 0,45 μM sampai tertinggi 7 μM, 82% dalam bentuk S-nitrosolabumin. Perlakuan pada hewan dengan pemberian NOS-inhibitor yaitu NG-monomethyl L-arginine (NMMA) menurunkan konsentrasi NO sampai 40%, menunjukkan bahwa NO mungkin dibentuk oleh aktivitas NOS (Spagnuolo, et al, 2006). Vitamin C dapat melepaskan NO baik dari S-nitrosothiols dan Snitrosoalbumin dengan berat molekul rendah. Meskipun NO yang dilepaskan ke dalam lumen pembuluh darah akan segera diuraikan oleh hemoglobin dalam eritrosit, sejumlah NO dapat mencapai sel otot polos dinding pembuluh darah. Hemoglobin sendiri dapat membawa sejumlah NO dalam bentuk Snitrosothiols. Karena S-nitrosothiols dapat mengubah NO menjadi thiols bentuk lain melalui reaksi transnitrosation, perubahan S-nitrosohemoglobin menjadi S-nitrososistein dapat melepaskan NO dari eritrosit menuju plasma. Dukungan untuk pernyataan ini datang dari penelitian ini, eritrosit yang ditambah dengan S-nitrosohemoglobin, kemudian dicuci untuk melepaskan sisa S-nitrososistein intrasel, kemudian diinkubasikan pada beberapa segmen arteri kelinci. Ditemukan bahwa segmen arteri tersebut berdilatasi lebih dari segmen dengan eritrosit kontrol, sebagaiman disebutkan bahwa S-nitrosothiols dilepaskan dari eritrosit. Bagaimanapun tinggal ditunjukkan bahwa konsentrasi S-nitrosothiols plasma, khususnya pada eritrosit cukup untuk menghasilkan NO untuk bereaksi dengan askorbat (Xian, et al, 2000). 4.2.5 Reduksi Nitrit menjadi NO oleh Askorbat Mekanisme lain dimana askorbat dapat mempertahankan NO di jaringan atau plasma adalah reduksi langsung nitrit (NO2-) menjadi NO. commitoleh to user Reaksi ini mungkin diperantarai protonated nitrous acid (H2NO2+) atau oleh nitrous anhydride (N2O3), dan telah diteliti berlangsung pada pH rendah. 33 34 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Secara luas apakah terjadi secara in vivo belum diketahui. Meskipun begitu, karena nitrit merupakan hasil utama dekomposisi NO dalam larutan yang encer, reduksi nitrit oleh askorbat secara efektif akan memetabolisme dan menjaga konsentrasi lokal NO. Jalur arginin-NO merupakan sumber utama NO pada manusia yang puasa. Bagaimanapun, kadar konsentrasi nitrit dalam plasma masih menjadi perdebatan, antara tidak terdeteksi sampai 0,4 μM sampai 8,8 μM. Kemungkinan konsentrasi nitrit plasma dapat meningkat sebagai efek pelepasan NO dari endothel atau sel-sel inflamasi. Jika demikian, askorbat plasma atau intrasel cukup untuk membantu mengubah kembali nitrit menjadi NO. belum ada penelitian yang menunjukkan bahwa askorbat dapat mereduksi nitrit menjadi NO pada pH fisiologis dalam sel atau plasma. Memang, perlakuan utama untuk mekanisme ini sepertinya tidak mungkin, yaitu member pH asam yang optimal untuk mereduksi nitrit oleh askorbat. 4.2.6 Penguraian ROS Oleh Askorbat Sel endothel menghasilkan ROS dan H2O2 sebagai hasil dari metabolisme baik di sitoplasma (prostaglandin, sitokrom P450, protein kinase C) maupun di mitokondria. Selanjutnya, produksi ROS oleh sel endothel meningkat pada segmen arteri kelinci yang dibuat hiperkolesterolemia. ROS bereaksi dengan NO membentuk peroksinitrit, yang dapat merusak sel. Lebih jauh lagi, nitrotyrosine yang merupakan “footprint” dari peroksinitrit, ditemukan pada lesi aterosklerotik. Dengan menguraikan ROS, askorbat dapat menurunkan konsumsi NO. Selanjutnya dilaporkan bahwa hanya dalam konsentrasi fisiologis yang tinggi (>1 mM), askorbat dapat menguraikan ROS secara efektif dan meningkatkan vasodilatasi yang dependen terhadap endothel pada beberapa segmen arteri kelinci. Fungsi ini sepertinya tidak mungkin terjadi pada konsentrasi Vitamin C plasma. Sepertinya juga tidak mungkin ROS yang dilepaskan oleh sel akan bereaksi dengan Vitamin C, karena konsentrasi ROS dismutase interstisial pada tunika intima arteri mungkin sudah cukup untuk menguraikan setiap ROS yang dilepaskan. Pada sisi yang lain, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, konsentrasi askorbat intrasel pada sel endothel berada pada rentang milimolar yang rendah. Konsentrasi commit to user askorbat intrasel ini harus cukup efektif untuk menguraikan ROS dan mencegah disfungsi endothel (Asada, 2006). 34 35 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 4.2.7 Pengaturan Reduksi-Oksidasi Tergantung Thiols Oleh eNOS : Interaksi Dengan Askorbat Bukti menunjukkan bahwa eNOS merupakan titik utama pengaturan reduksi-oksidasi (redoks) yang melibatkan kelompok thiols pada enzim yang dibutuhkan untuk berfungsinya enzim, tetapi sensitif terhadap oksidasi. Anehnya, peran GSH dalam mengatur aktivitas eNOS masih kontroversial dan tergantung tipe sel atau spesies. Pada sel endothel arteri babi maupun sapi, penurunan kadar GSH berhubungan langsung dengan aktivitas eNOS. Pada sel endothel vena umbilikalis manusia, sintesis NO berkurang dengan penipisan GSH, dan meningkat dengan peningkatan kadar GSH karena pemberian GSH monoethyl ester. Baru-baru ini, sebuah penelitian klinis menunjukkan bahwa peningkatan GSH intrasel karena pemberian 2-oxothiazolidine oral (diubah menjadi GSH) meningkatkan vasodilatasi arteri brakhialis pada pasien dengan penyakit arteri koroner. Ada beberapa mekanisme yang masuk akal pada pengaturan redoks tergantung thiols oleh eNOS. Pertama, transport arginin pada sel endothel membutuhkan kadar GSH intrasel yang cukup. Kedua, senyawa thiols meningkatkan stimulasi brain-type NOS oleh tetrahydrobiopterin, sebuah kofaktor esensial untuk eNOS. Ketiga, Snitrosylation pada thiols yang sensitif enzim dapat menghambat aktivitasnya sendiri. Pengaturan redoks langsung oleh eNOS melibatkan enzim Cys184 dan Cys99. Paparan NO pada sel endothel arteri pulmonalis atau pada eNOS murni, berupa S-nitrosylate, sistein ini akan menghambat aktivitas eNOS. Thiols ini juga sensitif terhadap oksidasi oleh diamida atau alkilasi oleh Nethylmaleimide, diikuti hilangnya aktivitas enzim. Lebih jauh lagi, sistem thioredoxin/thioredoxin reductase dapat membalikkan efek dari diamida, sepertinya karena kehilangan campuran disulfide. Sebaliknya askorbat tidak dapat mengubah GSSG secara langsung atau protein disuldida menjadi sulfhidril, itu dapat melindungi thiols dengan cara (i) penguraian ROS intrasel berlebih, (ii) dekomposisi S-nitrosothiols dengan berat molekul rendah sebelum bereaksi dengan eNOS, atau (iii) pemindahan S-nitrosothiols pada eNOS (Kuzkaya, et al, 2003). commit to user 35 36 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 4.2.7 Pengaturan eNOS Oleh Askorbat Melalui Tetrahydrobiopterin Baru-baru ini telah disebutkan bahwa suplementasi askorbat dalam jumlah yang fisiologis pada kultur sel endothel vena umbilikalis manusia meningkatkan ionomycin dan aktivitas eNOS yang distimulasi thrombin, serta produksi cyclic GMP. Efek ini berhubungan dengan perubahan transport arginin atau gen eNOS atau ekspresi protein. Karena askorbat dan redoks aktif yang berhubungan dengan derivat askorbat meningkatkan aktivitas eNOS tetrahydrobiopterin-dependent pada sel lysate dan NOS brain-type murni, telah disebutkan bahwa askorbat meningkatkan availabilitas tetrahydrobiopterin atau afinitas eNOS terhadap tetrahydrobiopterin. Telah diketahui dengan baik bahwa baik eNOS maupun NOS brain-type membutuhkan tetrahydrobiopterin. Tetrahydrobiopterin dapat menjadi faktor yang membatasi aktivitas eNOS, terutama pada sel yang dikultur. Sebagai contoh, peningkatan kadar tetrahydrobiopterin intrasel meningkatkan aktivitas eNOS dengan stimulus kalsium pada kultur sel endothel. Pada penelitian ini diamati apakah kandungan tetrahydrobiopterin intrasel meningkat oleh peningkatkan enzim-enzim untuk biosintesis tetrahydrobiopterin dengan induksi sitokin tetrahydrobiopterin atau dengan sintetik. pemberian Askorbat sepiapterin, dapat prekursor mempertahankan tetrahydrobiopterin secara langsung dengan mencegah oksidasinya, meskipun hal ini belum pernah dilakukan penelitian. Askorbat juga dapat menyimpan tetrahydrobiopterin secara tidak langsung melalui dua mekanisme. Pertama, askorbat dapat meningkatkan afinitas tetrahydrobiopterin terhadap eNOS, dengan mempertahankan thiols penting pada eNOS yang dibutuhkan untuk pengikatan kofaktor seperti telah disebutkan sebelumnya. Kedua, askorbat dapat mengurangi siklus redoks tetrahydrobiopterin dengan menurunkan konsentrasi ROS intrasel dan peroksinitrit, yang akan dibahas selanjutnya. Hasil dari beberapa penelitian menunjkkan bahwa tetrahydrobiopterin berperan dalam metabolisme ROS intrasel.sebagai contoh, telah dilakukan penelitian bahwa pemberian tetrahydrobiopterin pada kultur sel hepar mencegah kerusakan sel yang diakibatkan oleh ROS berlebih dan hidroksi radikal yang dihasilkan oleh metabolisme paraquat. Peningkatan kadar to user tetrahydrobiopterin intraselcommit dapat melindungi sel endothel terhadap kerusakan akibat H2O2-. Selain itu, perlindungan ini dihasilkan oleh efek antioksidan 36 37 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id langsung tetrahydrobiopterin dan tidak merubah aktivitas eNOS (Matei, et al, 2006). Pada sisi lain, metabolisme tetrahydrobiopterin dapat meningkatkan produksi ROS, paling tidak melalui 2 mekanisme. Pertama, tetrahydrobiopterin mengalami siklus redoks dengan oksigen molekuler, yang menghasilkan ROS. Kedua, paling tidak untuk NOS brain-type, tetrahydrobiopterin hilang selama katalisis. Mungkin juga karena teroksidasi menjadi 5,6-dihydrobiopterin, atau diubah menjadi produk yang belum teridentifikasi. Tidak tersedianya tetrahydrobiopterin menyebabkan NOS menghasilkan ROS dan H2O2. ROS berlebih intrasel bergabung dengan NO dari eNOS membentuk peroksinitrit. Ini akan menyebabkan penurunan NO, dan oksidasi tetrahydrobiopterin tergantung- peroksinitrit. Pada tingkat konsentrasi milimolar rendah, askorbat menguraikan supeoksida dan peroksinitrit, askorbat dapat mencegah siklus redoks tetrahydrobiopterin dan memperkuat aktivasi eNOS tergantung- tetrahydrobiopterin (Tiefenbacher, 2001). 4.2.8 Askorbat sebagai salah satu kofaktor eNOS Tahap pertama pembentukan NO oleh nitrit oxide synthase adalah hidroksilasi satu atom amidin nitrogen dari arginin. Reaksi ini, sama seperti mekanisme yang berhubungan dengan hemoprotein P-450, membutuhkan satu molekul oksigen dan NADPH. Apakah askorbat dapat memfasilitasi reaksi ini belum diketahui. Askorbat dapat berperan sebagai kofaktor reduksi untuk reaksi hidroksilasi yang lain, termasuk prolyl-4-hydroxylase, dopamine βmonooxygenase, dan indoleamine 2,3-dioxygenase. Pada sisi lainnya, reaksi, mekanisme enzim ini berbeda dengan heme oxygenase seperti nitric oxide synthase, dimana tidak digunakan kofaktor lain selain NADPH (Huang, 2000). 4.2.9 Efek askorbat pada stimulasi guanylate cyclase oleh NO Askorbat telah diketahui dapat meningkatkan vasodilatasi diinduksi NO pada arteri koroner dan beberapa segmen arteri mesenterika manusia. Karena degradasi cyclic GMP dan potensi cyclic GMP untuk mengaktifkan commit tomaka user dikemukakan bahwa efek askorbat cyclase dipengaruhi oleh askorbat, tersebut berhubungan dengan pengaturan redoks guanylate cyclase pada sel 37 38 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id otot polos. Pengaruhnya spesifik hanya karena askorbat, karena DHA menyebabkan kontraksi, dan thiols tidak mempunyai efek. Efek askorbat dalam meningkatkan kemampuan guanilat cyclase menghasilkan cyclic GMP merupakan bukti lain bahwa askorbat meningkatkan pelepasan NO oleh sel endothel. Satu mekanisme yang mungkin dari efek tersebut adalah sebagai berikut. NO berikatan dengan 6 sisi koordinat pada kofaktor guanilat cyklase heme. Ini menggantikan posisi ligan trans-histidin, yang kemudian mengaktifkan enzim. Aktivasi enzim yang tergantung-NO hanya berlangsung ketika besi heme pada kondisi Fe2+, dimana pada kondisi tersebut NO tidak mengaktifkan enzim. Askorbat dapat memudahkani aktivasi guanylate cyclase tergantung-NO oleh cadangan NO. cadangan NO bisa berasal dari beberapa mekanisme, diantaranya pembentukan kembali nitrit menjadi NO, pelepasan NO dari penyimpanan intrasel S-nitrosothiols, atau dari penguraian ROS dan peroksinitrit. Askorbat juga memudahkan aktivasi cyclase tergantung-NO dengan mempertahankan besi heme enzim pada kondisi tereduksi, tetapi akses askorbat pada metabolisme besi yang kompleks ini masih diragukan. Ada beberapa bukti klinis yang menunjukkan bahwa askorbat dapat meningkatkan vasodilatasi dengan pemberian NO dari luar. Meskipun askorbat tidak secara langsung memperkuat efek vasodilator pemberian NO secara in vivo, suplemen askorbat oral dapat mencegah toleransi nitrat pada pasien dengan penyakit koroner. Kemungkinan efek askorbat dalam mempertahankan aktivitas guanylate cyclase pada penelitian ex-vivo mendasari penelitian selanjutnya (Tiefenbacher, 2001). Akhirnya, dipertimbangkan bahwa askorbat mempunyai efek pro oksidan yang berhubungan dengan metabolisme dan pembentukan NO. Meskipun askorbat dapat menghasilkan spesies oksigen reaktif melalui kemampuannya untuk mereduksi logam transisi, efek ini tidak muncul secara signifikan in vivo, dimana logam tersebut jarang dan tidak tersedia. Bagaimanapun, pada sebuah lesi aterosklerotik, dimana terjadi perdarahan, hemolisis, denaturasi hemoglobin, dan pelepasan besi, askorbat dapat meningkatkan pembentukan radikal bebas melalui reaksi tipe-Fenton. Peningkatan sintesis NO karena askorbat belum diketahui efek ke depannya. commit to user Karena sebagian besar efek toksik NO mungkin berhubungan dengan pembentukan peroksinitrit, dan 38 karena askorbat dapat menurunkan 39 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id peroksinitrit dan prekursornya peroksida, sepertinya kecil resiko terjadinya efek toksik akibat interaksi askorbat dan NO (Nossaman, et al, 2012). 4.2.10 Mekanisme Transport Vitamin C Vitamin C (asam askorbat) berdisosiasi untuk membentuk askorbat pada pH fisiologis. Askorbat berfungsi sebagai antioksidan dan kofaktor enzim, akan teroksidasi menjadi asam dehidroaskorbat (DHAA) dalam prosesnya. SIRS dan sepsis menurunkan konsentrasi askorbat plasma. Injeksi iv Vitamin C dapat meningkatkan jumlah askorbat yang dikirim ke sel-sel endothel pada tingkat yang lebih besar daripada melalui konsumsi oral. Askorbat diangkut ke dalam sel endothel mikrovaskuler oleh transporter khusus SVCT2, sementara DHAA diambil melalui transporter yang difasilitasi glukosa (GLUT) dan kemudian bereduksi menjadi askorbat. Konsentrasi askorbat intraseluler yang dicapai adalah 4-16 mM. Askorbat intraseluler ini dapat melindungi fungsi mikrovaskuler pada dua tahap aksi: awalnya dengan menghambat aktivasi NADPH oksidase dan meningkatkan aktivitas eNOS, dan kemudian dengan menekan ekspresi NADPH oksidase, iNOS dan faktor jaringan. Askorbat dalam sel endothel mencegah oksidasi tetrahydrobiopterin, meningkatkan kadar tetrahydrobiopterin dan meningkatkan sintesis nitric oxide oleh eNOS. Adalah penting bahwa askorbat merangsang aktivitas eNOS sementara menghambat ekspresi iNOS (Victor et al, 2005) commit to user 39 40 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Gambar 4. Skema diatas memperlihatkan efek inhibisi NO dan ONOO- pada proses transfer elektron di dalam rantai pernafasan di mitokondria. Dimana NO bersifat reversible sedangkan ONOO- bersifat irreversible. Gambar 5. potensi kerja antioksidan pada sepsis 5. Metode Induksi Sepsis Induksi sepsis pada hewan coba dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya adalah dengan Cecal inoculum, Cecal Ligation and Pucture, serta pemberian Lipopolisakarida. commit to user 40 41 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id a. Cecal Inoculum (c.i) Infeksi intrabdomen merupakan salah satu sumber terjadinya sepsis. Inokulum merupakan bahan yang dipakai dalam inokulasi. Inokulasi adalah pemasukan mikroorganisme, bahan inefektif, serum dan substansi lain ke dalam jaringan organisme hidup atau media biakan. Cecum adalah bagian pertama dari usus besar, membentuk kantong yang secara distal melebar ke ileum dan proksimal kearah kolon, serta melepaskan apendiks vermiformis (Dorland, 2002) Metode cecal inoculum (c.i) adalah suatu model yang mampu menggambarkan dengan baik keadaan sepsis yang mirip dengan keadaan klinis peritonitis yang disebabkan polimikroba tanpa pembedahan. Infeksi tersebut akan menghasilkan respon inflamasi peritoneum terhadap organisme polimikroba yang berasal dari saluran pencernaan. Peritonitis secara klinis dimulai dari adanya kerusakan organ abdomen, seperti perforasi intestinal akut yang akan berkembang menjadi sepsis dan akan engakibatkan tingginya morbiditas dan mortalitas baik pada hewan coba maupun pasien (Remick et al, 2002) Model Sepsis yang dibuat dari c.i diperoleh dari isi cecal mencit donor (Brahmbhatt et al., 2002; Gupta et al, 2005) yang dimasukkan ke dalam kavitas peritoneal Alejandra et al., 2004). Model inoculum akan menggambarkan strain Escheriacia coli (E. coli) yang bercampur dengan material cecal yang lain untuk meniru peritonitis pada manusia, sehingga mampu menjadi gold standard untuk penelitian sepsis tanpa pembedahan (Edwin et al, 2003) Hasil penelitian injeksi c.i pemperlihatkan tanda-tanda piloerection, periocular discharge, tampak lesu, penurunan nafsu makan dan minum, serta diare. Terlihat infeksi yang berlebihan, kerusakan yang hebat, dan perlengketan di sejumlah orhan termasuk hepar, lien, ginjal. Serta memperlihatkan tingkat kematian sebesar 1000% selama 7 hari perlakuan (Diding dan Subijanto, 2008) dan peningkatan jumlah neurofil dalam sirkulasi. Penelitian kali ini, akan menggunakan induksi c.i yang merupakan modifikasi dari metode yang diperkenalkan oleh Brahmanhatt et al., (2005) dan Chopra & Sharma (2007). Cecal inoculum (c.i) dibuat dengan mensuspensikan 50 mg material dari cecal yang masih baru pada 1,25 ml Dextrose Water (D5W). Material cecal diperoleh dari mencit donor yang sehat, yang dikorbankan dengan dislokasi commitbaru to user servikal. Cecal inoculum (c.i) dibuat setiap hari. Pada mencit diinjeksikan c.i 4 mg/mencit/hari/intraperitoneal (i.p) (Ren et al, 2002). 41 42 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id b. Cecal Ligation and Puncture Selain cecal inoculum (i.c), metode poly microbial sepsis induced by Cecal Ligation and Puncture (CLP) dapat juga digunakan untuk mengiduksi sepsis. Ligasiadalah aplikasi pengikat. Pucture merupakan perbuatan menusuk dengan benda atau alat yang tajam, atau dapat diartikan sebagai luka yang ditimbulkan oleh penusukan tersebut (Dorland, 2002). CLP pada hewan menciit telah menjadi model paling banyak digunakan untuk penelitian sepsis dan sampai saat ini dianggap sebagai gold standard untuk penelitian sepsis dengan pembedahan (Rittirsch et al., 2007; Deitch, 2005; Buras et al., 2005; Remick et al., 2000). Setelah dikembangkan selama kurang lebih 30 tahun yang lalu, model CLP dianggap menjadi model yang realistis untuk sepsis pomikrobial dalam penelitian untuk mempelajari mekanisme terjadinya sepsis dalam penelitian untuk mempelajari mekanisme terjadinya sepsis (Rittirsch et al., 2007; Remick et al., 200). Secara singkat, CLP menampilkan ligase di bawah katup ileocecal setelah midline laparotomy, diikuti dengan pungsi jarum pada cecum. Karena cecum merupakan sumber endigen kontaminasi bakterii, maka perforasi pada cecum akan menyebabkan peritonitis bacterial, yang diikuti oleh terjadinya translokasi bakteri enteric ke dalam kompartemen darah. Pada awal sepsis, terjadi bacteremia yang memicu aktivasi respon inflamasi sistemik, syok septik, MOF dan pada akhirnya kematian. Ketika CLP digunakan pada hewan mencit, menunjukkan pola penyakit dengan gejala khas sepsis atau syok septik, seperti hipotersmia, takikardi, dan takipnea (Rittirsch et al, 2009) Sejumlah mencit jantan dengan berat badan berkisar 120-150 g, dianestesi per i.p dengan Nembutal (65 mg/kg) dan ditempatkan di bawah cahaya lampu. Setelah anestesi bekerja, dinding abdomen mencit diijeksi sepanjang midline dengan diameter 2 cm. Cari cecum, dan keluarkan dari kavitas abdomen. Bagian distal cecum diikat dengan benang sutera ukuran 5-0, kemudian cecum yang telah diligasi ditusuk dua kali dengan jarum gauge ukuran 28 dan ditekan dengan lembut menggunakan aplikator sampai sedikit material cecal ke luar. Setelah itu, cecum dimasukkan kembali ke dalam peritoneum. Bekas insisi dijahit menggunakan benang sutera ukuran 5-0 untuk lapisan otot dan surgical staples (9 commitdimonitoring to user mm) untuk kulit. Berat badan mencit secara rutin setiap hari sampai akhir eksperimen (Fu et al, 2006) 42 43 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id c. Lipopolisakarida (LPS) Lipopolisakarida adalak kompleks lipid dan polisakarida, serta merupakan komponen mayor dinding sel bakteri gram negatif. LPS merupakan endotoksin dan antigen grup spesifik yang penting (antigen O). Molekul LPS terdiri dari tiga bagian, yaitu (1) Lipid A, suatu glikolipid yang bertangung jawab terhadap aktivitas endotoksik, yang terkait secara kovalen pada rantai heteropolisakarida yang mempunyai dua bagian; (2) inti polisakarida yang konstan dalam strain terkait, dan (3) rantai spesifik-O yang sangat bervariasi. LPS dari E. coli sangat sering menggunakan mitogen sel B (activator poliklonal) dalam laboratorium imunologi (Dorland, 2002). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks, dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi inflamasi jaringan, demam, dan syok. LPS dapat langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan septikemia (Guntur, 2008). LPS merupakan faktor patogenik utama pada sepsis gram negatif, yang ditandai dengan syok, koagulopati, dan disfungsi multiorgan. Respon terhadap paparan LPS sistemik menyebabkan meningkatnya produksi sitokin proinflamasi seperti TNF-α, NFκB, IL-1, IL-8 sebagai media pertahanan tubuh terhadap benda asing yang memiliki dampak positif dan negatif. Produksi sitokin proinflamasi dan induksi mediator seluler yang lebih distal, Platelet Activation Factor (PAF), dan prostaglandin menyebabkan hipotensi, perfusi organ inadekuat, dan kematian sel yang berhubungan dengan MODS. Status proinflamasi ini didefinisikan sebagai SIRS (Brook et al, 2003). Produk yang berperan penting terhadap sepsis terutama kandungan lipid A dalam LPS tersebut. Dalam aliran darah, LPS akan terikat pada protein yang bersirkulasi kemudian beriteraksi dengan reseptor makrofag, limfosit, dan monosit serta sel lain pada sistem retikuloendiotelial. Hal ini akan mengakibatkan pelepasan sitokin dan pengaktiifan jalur komplemen dan koagulasi. Runtutan peristiwa tersebut dapat diamati secara klinis sebagai demam, leukopenia, hipoglikemia, hipotensi, syok, koagulasi intravaskuler hingga kematian karena disfungsi organ (Brook et al, 2003). commit to user sepsis dapat dimanfaatkan untuk Kemampuan LPS dalam menyebabkan menginduksi sepsis pada percobaan. Caranya, LPS dari bakteri gram negatif (E. 43 44 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id coli paling sering digunakan), diinjeksikan secara i.p ke mencit dengan dosis 15 mg/kg, kemudian survival dari hewan cba dimonitor dengan interal 12 jam selama tujuh hari (Fu et al, 2006) B. Penelitian Yang Relevan Mikrosirkulasi selama ini tidak mendapatkan perhatian yang baik pada pengobatan klinis, namun saat ini mikrosirkulasi mulai diketahui sebagai hal penting yang menyebabkan beberapa proses patofisiologi. Fungsi mikrosirkulasi yang normal akan berperan dalam oksigenasi dan fungsi suatu jaringan, namun hal ini masih kurang dipahami karena banyak sekali perbedaan struktur yang meyebabkan perbedaan fungsi pada tiap organ. Fungsi utama dari mikrosirkulasi adalah sebagai pengatur distribusi oxygen carrying blood cell pada berbagai organ. Faktor utama yang mempengaruhi oxygen delivery diantaranya adalah; regulasi aliran darah, tekanan oksigen jaringan, dan mitokondria, yang sampai dengan saat ini masih belum dipahami sepenuhnya, dan mikrosirkulasi adalah kunci untuk memahami hal tersebut. Telah jelas bahwa variabel hemodinamik sistemik tidak menggambarkan kegagalan sirkulasi pada critical illness yang tidak responsif terhadap terapi. Kegagalan ini lebih disebabkan karena disfungsi dari mikrosirkulasi. Evaluasi dari mikrosirkulasi telah membuka ruang baru dalam monitoring fungsi hemodinamik. Identifikasi kegagalan mikrosirkulasi merupakan indikator yang paling sensitif dari kegagalan sirkulasi yang berakibat pada outcome yang buruk, dan ini merupakan target teraputik yang baru. Penelitian klinis telah dapat mengidentifikasi berbagai teraputik konvensional dan pendekatan baru yang mampu memodifikasi mikrosirkulasi. Sejak deskripsi dari kroegh, banyak penelitian yang dilakukan pada area ini yang berusaha menjelaskan mekanisme yang mendasari adekuatnya oksigenasi jaringan. Pertanyaan dasarnya adalah; substansi apakah yang dapat menyebabkan perubahan pada diameter pembuluh serta aliran darah? Apa yang dimaksud dengan sensor O2? Jaringan yang mengalami hipoksia akan menghasilkan metabolit yang akan berefek pada tonus arteriol, namun sulit untuk dipahami bagaimana metabolit jaringan ini dapat berefek pada peningkatan aliran darah. Studi pada hewan dengan menggunakan intravital microscopy menjelaskan bahwa distribusi aliran darah pada mikrosirkulasi dipengaruhi oleh sifat dari pembuluh darah dimana arteriol terminal commit TAF to user berasal [ie., terminal arteriole-fed vessels )] (Abraham, 2003). Setiap TAF akan s mengatur distribusi dari RBCs diantara masing masing arteriol, sehingga hal ini 44 45 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menimbulkan dugaan dimana pembuluh darah ini merupakan kunci dalam regulasi, karena dapat menentukan apakah kapiler ini diperfusi atau tidak. Segal mengemukakan ada 2 komponen yang mengatur umpan balik metabolik terhadap mikrosirkulasi (Abraham E, 2003). Precapillary sphingter akan mengatur banyaknya area permukaan fungsional yang dapat digunakan untuk pertukaran gas dan mengatur jarak difusi., dimana hal ini dapat meningkatkan ekstraksi O2 ketika terjadi peningkatan aktivitas metabolik dan dicerminkan dengan menurunnya PO2 pada vena. Pada periode ini sangat sedikit perubahan yang terjadi pada aliran darah regional. Komponen kedua ikut berperan mengatur arteriol proksimal dalam mengontrol aliran darah lokal. Ketika PO2 vena menurun, aliran darah ke jaringan akan meningkat dengan cara vasodilatasi pembuluh darah yang memperdarahinya; respon ini disebut dengan ascending vasodilatation. Endotelium dan RBCs memiliki peran besar dalam mengatur tonus vascular dan memiliki dampak pada vasodilatasi arteriol (Schmidt et al, 2008). Sel endotel akan mengirimkan sinyal ke pembuluh darah pre dan paska kapiler sesuai dengan banyaknya aliran yang ditimbulkan, hormon, dan subtransi lainnya (Vallet, 2002). Mekanisme ini dicapai dengan cara kontrol elektrofisologikal melalui sel endotel yang berdampingan melalui gap junction (connexin 40), dimana pada keadaan sepsis didapatkan sel-sel menjadi tidak berhubungan (Backer et al, 2011). Endotelium juga mengatur koagulasi dan respon imunologi yang memiliki fungsi penting pada mikrosirkulasi, dan endothelium ini juga dikemukakan dianggap sebagai sensor oksigen yang potensial. Pada keadaan sepsis, ada beberapa sumber potensial dari ROS, termasuk diantaranya rantai transport elektron pada pernafasan mitokondria, aktivasi xanthine oxidase (XO) sebagai hasil dari iskemia dan reperfusi, pembakaran yang berhubungan dengan aktivasi sel immune, dan juga dari metobolisme asam arachidonat. Aktivasi sel imun akan menghasilkan O2- sebagai agen sitotoksik yang merupakan hasil pembakaran respirasi melalui aksi dari NADPH oksidase pada molekul oksigen yang terikat pada membran. Pembentukan NADPH oksidase diatur oleh netrofil yang terpapar oleh LPS dari bakteri (DeLeo et al, 1998). Deleo dkk., mendemostrasikan peningkatan kadar Rac2 pada pemberian LPS. Rac2 merupakan bagian kecil dari GTP-binding protein yang berhubungan dengan p47phox dan p67phox (dua sub unit commityang to user yang dibutuhkan dalam fungsi NADPH) terletak pada membrane. 45 46 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Borelli dkk telah mendokumentasikan bahwa kadar Vitamin C pada plasma secara bermakna mengalami penurunan pada pasien di ICU yang mengalami MOFS dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami MOFS. Victor et al., menunjukkan bahwa kadar Vitamin C pada mencit mengalami penurunan pada lekosit di nodus aksilaris, lien dan timus setelah pemberian LPS. Pada populasi pasien dewasa maupun pediatric dengan sepsis akan didapatkan peningkatan aktivitas XO. Vitamin C (Asam Ascorbat/AA) merupakan donor elektron yang kuat, bereaksi baik dengan O2- maupun dengan OH-. Vitamin C memainkan peran penting dalam mekanisme pertahanan terhadap kerusakan oksidatif terutama yang disebabkan oleh lekosit. Pengaturan utama dari Vitamin C pada organisme berhubungan dengan fungsinya sebagai reduktor, namun Vitamin C juga ikut berperan dalam memodulasi jalur kompleks biokimia dimana hal ini merupakan bagian penting dalam metabolisme normal dari sel imun. Antioksidan ini menghambat aktivasi dari faktor transkripsi nuclear NF-κB yang dicetuskan oleh adanya endotoksin, dimana hal ini dapat menurunkan produksi TNFα. Penelitian Ex vivo telah menunjukkan pengaruh pemberian Vitamin C terhadap regulasi aktivitas seluler, seperti peningkatan adhesi dan produksi O2- yang dihasilkan oleh makrofag pada mencit dengan syok endotoksin yang akan berkurang dengan adanya Vitamin C (Victor et al, 2000). Vitamin C juga memperlihatkan kemampuan untuk memodulasi fungsi limfosit pada model yang sama. Studi in vitro telah memperlihatkan dimana Vitamin C dapat menghambat replikasi bakteria dan mencegah kerusakan sel endotel mikrovaskuler yang diakibatkan H2O2. Konsentrasi Vitamin C pada sirkulasi mengalami penurunan selama periode sepsis. Pada studi lainnya, Wu et al (2003) memperlihatkan dimana Vitamin C dapat menghambat ekspresi iNOS dan menurunkan kadar oksidan pada masa otot selama periode sepsis. Hasil ini menimbulkan dugaan dimana pemberian Vitamin C pada early sepsis dapa menjadi terapi tambahan yang berharga. commit to user 46 47 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id C. Kerangka Berpikir dan Kerangka Konsep 1. Kerangka Berpikir Bakteri gram +/- LPS/Pedtidoglikan TLR4/ CD14 Vitamin C v ROS RNS IKK-NF-κB/ MAPK IκB -NF-κB NFκB NF-IL-1 NF-IL-6 TNF-α IL-1 IL-6 Respon Terkontrol IL-8, IL-12, IL-4, IL-10, IL-15, IL-18 IL-1ra Respon tidak terkontrol Keterangan Pertahanan Tubuh Severe Sepsis : mempengaruhi : menghambat Pengurangan diameter arteriol : diteliti : tidak diteliti MODS/MOF commit to user Gambar 6. Kerangka berpikir 47 48 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2. Kerangka Konsep Arteriol Tidak sepsis Early Sepsis Early Sepsis Vitamin C ROS (-) Peningkatan Pembentukan ROS Dimater normal Penurunan diameter Peningkatan diameter > K2 Penurunan densitas kapiler Peningkatan densitas kapiler densitas kapiler normal cv Normal perfusi mikrosirkulasi Penurunan perfusi mikrosirkulasi Hambatan Pembentukan ROS Peningkatan perfusi mikroosirkulasi Keterangan : mempengaruhi : menghambat : diteliti : tidak diteliti Gambar 7. Kerangka konsep D. Hipotesis Ada peningkatan diameter arteriol karena pemberian Vitamin C pada tikus commit to user wistar model sepsis. 48 49 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian : eksperimental, post test only group designs. Pembuluh darah arteriol diperiksa dengan cara histologi dengan penilaian skala rasio. Statistik diuji dengan uji Anova dilanjutkan dengan post HOC test dengan syarat data normal dan homogen. Bila tidak terpenuhi diuji alternatf dengan kruskal-wallis test dan dilanjutkan dengan Man Whitney test. Uji statistic ini bertujuan untuk mencari pengaruh pemberian Vitamin C 5,1 mg/kg/hari/i.v (setara dengan 50 mg/kgBB/hari/i.v pada manusia dewasa dengan berat badan 60 kg) terhadap diameter arteriol pada tikus wistar model sepsis. B. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian : 2 bulan, Januari 2014 – Febuari 2015 Tempat penelitian : Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta. C. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi : Tikus wistar 2. Sampel : Tikus wistar 3. Besar Sampel : Sampel akan dibagi menjadi 3 kelompok, dengan jumlah sampel minimal masing-masing kelompok berdasarkan rumus Federer (Supranto, 2007) adalah: (n-1) (t-1) > 15 (3-1) (t-1) > 15 2t-2 > 15 2t > 17 T > 8,5 Keterangan: n : jumlah kelompok commit to user t : jumlah sampel tiap kelompok 49 50 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Berdasarkan rumus tersebut, jumlah sampel untuk tiap kelompok adalah 9 ekor tikus wistar (n > 8,5). Jumlah kelompok ada tiga, sehingga penelitian ini membutuhkan 27 ekor tikus wistar. 4. Kriteria Inklusi Tikus wistar jantan Berat badan 180-220 g Umur dua setengah sampai tiga bulan Galur murni Tikus wistar yang sepsis setelah disuntik cecal inoculum dengan kriteria: tandatanda piloerection, periocular discharge, tampak lesu/tidak aktif bergerak, penurunan nafsu makan dan minum, demam dan diare (Diding et al., 2008) 5. Kriteria Eksklusi Mencit sakit selama masa adaptasi 7 hari (gerakan tidak aktif) Tikus wistar betina Umur kurang dari dua setengah bulan atau lebih dari dua bulan Berat badan kurang dari 180 g atau lebih dari 200 g 6. Drop out: Tikus wistar mati selama perlakuan berlangsung Tikus wistar tidak sepsis setelah disuntik cecal inoculum intra peritoneal. 7. Randomisasi Kelompok dibagi menjadi 3 yaitu : K1 : Kelompok kontrol tanpa induksi cecal inoculum maupun injeksi Vitamin C K2 : Kelompok perlakuan, tikus wistar yang mendapatkan induksi cecal inoculum 200mg/kgBB/hari/i.p (Chopra and Sharma., 2007) K3 : Kelompok perlakuan, tikus wiistar yang mendapatkan induksi cecal inoculum 200mg/kgBB/hari/i.p + Vitamin C 5,1 mg/kg/hari/i.v 8. Variabel Penelitian Variabel Bebas : Pemberian Vitamin C 5,1 mg/kgBB/hari/i.v Variabel Terikat : Diameter Arteriol Variabel luar a. Variabel luar yang dapat dikendalikan Variasi genetik, jeniscommit kelamin, umur, suhu udara, berat badan, jenis to user makanan dan minuman mencit semuanya disamakan 50 51 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan Kondisi psokologik tikus wistar, keadaan awal intestinal, reaksi hipersensitivitas, variasi kepekaan mencit terhadap suatu zat D. Definisi Operasional 1. Diameter Arteriol a. Definisi : Diameter dari arteri terkecil dari sistem peredaran darah. Dari tiap preparat dilihat 5 lapang pandang, dimana pada setiap lapang pandang dihitung semua diameter arteriol yang terlihat pada pada masing-masing lapang pandang dan dihitung nilai rata-rata dari diameter arteriol pada preparat tersebut. b. Alat ukur : Mikroskop c. Satuan data : mikro meter ( d. Skala data : ratio. 2. Vitamin C a. Definisi : Obat yang diberikan secara intravena pada tikus wistar dengan dosis 50 mg/kgBB/hari/i.v. Vitamin C yang digunakan pada penelitian ini dalam bentuk ampul 100mg/ml yang dibeli di apotik RSUD Dr Moerwardi Surakarta. Dosis Vitamin C 50mg/kgBB/hari pada manusia di translasikan ke tikus wistar menggunakan formula sesuai dengan body surface area (BSA) (Minakshi et al, 2007) HED (mg/kg) = Animal dose (mg/kg) x Animal Km Human Km Dosis translasi Vitamin C pada tikus wistar yang didapatkan dengan rumus ini adalah 5,1mg/kgBB yang setara dengan 50 mg/kgBB pada manusia dengan berat badan 60 kg b. Alat ukur : Pemberian oleh peneliti c. Satuan data : Miligram 3. Penyuntikan intravena a. Definisi : Injeksi yang dilakukan secara commit to userintravena, 51 52 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id b. cara : Vena didapatkan pada ekor tikus wistar. Sebelum penyuntikan ekor tikus dikompres dengan air hangat 1 menit agar terjadi vasodilatasi. Penyuntikan dilakukan dengan menggunakan spuit 1 mililiter. . commit to user 52 53 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id E. Alur Penelitian 27 ekor Tikus Wistar Adaptasi 7 hari Gagal berhasil Randomisasi Eksklusi Kelompok K1 Kelompok K2 Kelompok K3 (9 ekor) (9 ekor) (9 ekor) Observasi selama 72 jam Sepsis (-) Sepsis (+) Tikus mati Pengambilan sampel darah (0,5 ml) untuk pemeriksaan hitung neutrofil Observasi selama 72 jam Observasi selama 72 jam Eksklusi Drop out Pengambilan sampel darah (0,5 ml) untuk pemeriksaan hitung neutrofil Mencit dieuthanasia dengan cara dekapitasi Pengambilan organ usus halus Preparat histologi commit to user Gambar 8.. Alur penelitian 53 Sepsis (-) Sepsis (+) Tikus mati Pengambilan sampel darah (0,5 ml) untuk pemeriksaan hitung neutrofil 54 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id F. Bahan dan Cara Kerja Penelitian 1. Bahan untuk perlakuan Hewan coba adalah tikus wistar yang diperoleh dari Laboratorium Hewan Coba, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Selama proses percobaan, hewan coba ditempatkan pada kandang dan diberi makan dan minum secukupnya 2. Bahan dan alat a. Phosphat buffer formalin 10% b. Alkohol 70%, 80%, 90%, absolute c. Xylol, parafin cair, albumin, Poly-L-Lysine, canada balsam, dan entelan d. Alat untuk pengamatan dan dokumentasi sediaan 1 unit Multi Head Microscope Fluoresens Monitor optilab Canon Digital Camera Ixus 130 + SD card 1 unit notebook Asus, A43S 3. Cara Kerja Penelitian a. Perlakuan Sejumlah 27 ekor tikus wistar di adaptasikan selama 7 hari sebelum dibagi dalam tiga kelompok yang masing-asing terdiri dari 9 ekor tikus yang ditentukan secara acak. Untuk kelompok satu (K1) yang merupakan kelompok kontrol, tidak dikukan induksi cecal inoculum maupun pemberian Vitamin C. Untuk kelompok dua (K2) diberikan injeksi cecal inoculum 40mg/kali/hari selama 3 hari berturut turut. Untuk kelompok perlakukan tiga (K3) perlakuan sama dengan kelompok dua ditambah dengan Vitamin C 5,1 mg/kg/kali/hari secara intravena selama 3 hari berturut-turut. Observasi dilakukan setelah 72 jam perlakuan. Setelah 72 jam perlakuan maka dilakukan pengambilan sampel darah intravena sebanyak 0,5 ml menggunakan spuit 1 ml yang akan ditampung di tabung khusus untuk pemeriksaan neutrophil. Setelah itu tikus wistar akan di euthanasia dengan cara dekapitasi. Duodenum tikus kemudian diambil untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi. commit to user 54 55 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id b. Pembuatan preparat histopatologi secara umum - Fiksasi Potongan jaringan organ dimasukkan ke dalam larutan formalin buffer (larutan formalin 10% dalam buffer Natrium Phosphat sampai mencapai pH 7,0). Setelah fiksasi selesai, jaringan dimasukkan dalam larutan aquadest selama 1 jam untuk proses penghilangan larutan fiksasi. - Dehidrasi Potongan jaringan dimasukkan dalam alkohol konsentrasi bertingkat. Jaringan menjadi lebih jernih dan transparan. Jaringan kemudian dimasukkan dalam larutan alcohol-xylol selama 1 jam dan kemudian laritan xylol murni selama 2 x 2 jam. - Impregnansi Jaringan dimasukkan dalam parafin cair selama 2x2 jam - Embeding Jaringan ditanam dalam parafin padat yang mempunyai titik lebur 56-58 C, ditunggu sampai memadat. Jaringan dipotong setebal 4 mikron dengan mikrotom. Potongannya ditempel pada kaca obyek yang telah diolesi polisilin sebagai perekat. Jaringan pada kaca obyek dipanaskan dalam inkubator suhu 56-58 C sampai parafin mencair. Pewarnaan Hematoxillin Eosin (HE) Pewarnaan ini digunakan untuk mewarnai jaringan. Prinsip: inti yang bersifat asam akan menarik zat/ larutan yang bersifat basa sehingga akan berwarna biru. Sitoplasma bersifat basa akan menarik zat /larutan yang bersifat asam sehingga berwarna merah. Pada pewarnaan HE, ada beberapa tahapan yaitu 1. Deparafinisasi Tujuan: untuk menghilangkan/ melarutkan parafin yang terdapat pada jaringan. Zat: xylol 2. Rehidrasi Tujuan: untuk memasukkan air ke dalam jaringan. Air akan mengisi ronggacommit to user rongga jaringan yang kosong. Zat: alkohol absolut, alkohol 90 %, alkohol 80 % 55 56 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 3. Pewarnaan I Tujuan: untuk memberi warna pada inti dan sitoplasma pada jaringan Zat: hematoxylin 4. Differensiasi Tujuan: untuk mengurangi warna biru pada inti dan menghilangkan warna bitu pada sitoplasma Zat: HCl 0,6% 5. Blueing Tujuan: untuk memperjelas warna biru pada inti sel Zat: lithium carbonat 0,5% 6. Pewarnaan II Tujuan: untuk memberi warna merah pada sitoplasma sel Zat: eosin 7. Dehidrasi Tujuan: untuk menghilangkan air dari jaringan Zat: Alkohol 80 %, Alkohol 90 %, Alkohol 100 % (absolut) 8. Mounting Tujuan: untuk mengawetkan jaringan yang telah diwarnai Zat: entellan/ canada balsem Jaringan yang akan diwarnai HE, sebelumnya telah mengalami “Processing Jaringan” dan dipotong dengan menggunakan mikotrom. Ketebalan jaringan antara 4-6 μm. Jaringan yang telah dipotong sesuai ukuran dilekatkan pada objek glass. Mengukur diameter arteriol Diameter diukur dengan mikrooskop cahaya dengan pembesaran 400 kali. Diameter dihitung dengan satuan micrometer ( . Dari tiap sampel (preparat) dipilih 5 arteriol secara acak dan dihitung nilai rata-rata diameternya. Pengukuran dilakukan oleh 2 orang, yaitu peneliti dan ahli patologi anatomi dengan persetujuan klinis 95%. commit to user 56 57 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Cara Pengumpulan Data Masing-masing kelompok dilakukan pemeriksaan dan pengukuran diameter arteriol dari organ usus halus. G. Analisis Data Setelah data terkumpul, data dianalisis dengan menggunakan program SPSS 17.0. Untuk menguji perbedaan rata-rata diameter arteriol secara histopatologi diantara ketiga kelompok dan statistik diuji dengan uji Anova dilanjutkan dengan post HOC test dengan syarat data normal dan homogen. Bila tidak terpenuhi diuji alternatif dengan kruskalwallis test dan dilanjutkan dengan Man Whitney test. Dan dianggap memiliki kemaknaan statistik apabila nilai p yang diperoleh adalah p ≤ 0,05. Setelah data terkumpul dilakukan data cleaning, coding dan tabulasi. Analisis data meliputi analisis deskriptif dalam bentuk rerata, SD, median dan grafik dan uji hipotesis. H. Etika Penelitian Karena memakai binatang percobaan, maka untuk penelitian ini binatang tikus diperlakukan dengan layak, diberikan kandang yang bersih, cahaya yang cukup, serta makanan dan minuman yang cukup Sebelum dilakukan prosedur pengambilan jaringan usus, tikus dieuthanasia dengan menggunakan cara dislokasi cervical, dengan dilakukan anestesi umum sebelumnya. commit to user 57 58 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id BAB IV HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan Laboratorium Hewan Coba UNS, Surakarta, selama periode bulan Januari 2015 – Maret 2015. Sejumlah 27 ekor tikus wistar di adaptasi selama 7 hari sebelum dibagi dalam tiga kelompok yang masing-masing terdiri dari 9 ekor tikus yang ditentukan secara acak. Untuk kelompok satu (K1) yang merupakan kelompok kontrol, tidak dilakukan induksi cecal inoculum maupun pemberian Vitamin C. Untuk kelompok dua (K2) diberikan injeksi cecal inoculum40mg/kali/hari selama 3 hari berturut turut. Untuk kelompok perlakukan tiga (K3) perlakuan sama dengan kelompok dua ditambah dengan Vitamin C 5,1 mg/kg/kali/hari secara intravena selama 3 hari berturut-turut. Observasi dilakukan setelah 72 jam perlakuan. Setelah 72 jam perlakuan maka dilakukan pengambilan sampel darah intravena sebanyak 0,5 ml menggunakan spuit 1 ml yang akan ditampung di tabung khusus untuk pemeriksaan neutrophil. Setelah itu tikus wistar akan di euthanasia dengan cara dekapitasi. Duodenum tikus kemudian diambil untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi. 1. Hasil Pemeriksaan Neutrophil a. Gambaran Hasil Pemeriksaan Neutrophil Hasil pemeriksaan neutrophil pada ke tiga kelompok perlakuan sebagai berikut : Tabel 2. Deskripsi Hasil Pemeriksaan Neutrophil No K1 K2 K3 1 43.5 56.5 80.2 2 35.7 82.0 83.2 3 35.9 48.8 70.5 4 15.6 54.7 78.1 5 16.0 42.0 43.2 6 23.2 59.7 79.4 7 23.3 39.5 75.8 8 35.4 88.7 79.6 9 43.7 54.4 57.6 commit to user Rata -Rata 30.3 58.5 72.0 SD 10,96 16,69 13,21 58 45 59 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Berdasarkan hasil pemeriksaan neutrophil diketahui bahwa rata-rata kadar neutrophil pada kelompok 1 yang tidak diberi cecal inoculum40mg adalah 30,3 + 10,96 mg/dl, sedangkan pada kelompok 2 yang diberikan cecal inoculum40mg/kali/hari adalah 58,5 + 16,69 mg/dl dan juga kelompok 3 yang diberi cecal inoculum40mg/kali/hari didapatkan nilai rata-rata neutrophil sebesar 72,0 + 13,21 mg/dl. 72.0 80.0 70.0 58.5 60.0 K1 50.0 40.0 K2 30.3 K3 30.0 20.0 10.0 0.0 K1 K2 K3 Gambar 9. Diagram Batang Rerata Kadar Neutrophil Berdasarkan gambar 4.1 diatas diketahui bahwa kelompok 1 yang tidak diberikan cecal inoculum40mg/kali/hari rata-rata neutrophil lebih rendah dibandingkan dengan kelompok 2 dan kelompok 3 yang diberikan cecal inoculum40mg/kali/hari. Untuk mengetahui tingkat perbedaan dari ketiga kelompok perlakuan tersebut maka dilakukan uji lanjut. commit to user 59 60 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id b. Uji Normalitas Neutrophil Tabel 3. Uji Normalitas Data Neutrophil Keterangan Neutrophil N P 9 0,178 Normal Kelompok 1 9 0,159 Normal Kelompok 2 Kelompok 3 9 0,012 Tidak Normal Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa kelompok 1 varian data berdistribusi normal (p= 0,178 ; p >0,05), Untuk kelompok 2 data juga berdistribusi normal (p=0,159; p >0,05), dan kelompok 3 varian data berdistribusi tidak normal (p=0,012; p>0,05). Dikarenakan ada salah satu kelompok tidak lulus uji normalitas maka pengujian statistik di uji alternative dengan Kruskal-Wallis test dan dilanjutkan dengan Mann Whitney Test c. Uji Beda Rata-Rata Kadar Neutrophil Uji beda kadar neutrophil dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan bermakna antara kadar neutrophil pada ketiga kelompok penelitian. Uji beda ini dilakukan dengan menggunakan uji statistik Kruskal-Wallis. Tabel 4. Uji Beda Rata-Rata Kadar Neutrophil Neutrophil N Rata-rata Kruskal-Wallis 9 30,3 16,008 Kelompok 1 9 58,5 Kelompok 2 Kelompok 3 9 72,0 p <0.01 Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa nilai p < 0.01 (p<0,05), yang artinya bahwa ada perbedaan yang nyata kadar neutrophil antara kelompok 1 (tanpa perlakuan), kelompok 2 dan kelompok 3 (diberi cecal inoculum). Untuk mengetahui adanya perbedaan kadar neutrophil antar masing-masing kelompok perlakuan maka dilakukan uji lanjut (Mann Whitney). commit to user 60 61 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tabel 5. Perbedaan Kadar Neutrophil Antara Masing –Masing Kelompok Perlakuan Z- Score p Neutrophil N Rata-rata 9 30,3 -3.223 0,001 Kelompok 1 9 58,5 Kelompok 2 9 30,3 -3.400 0,001 Kelompok 1 9 72,0 Kelompok 3 9 58,5 -1,545 0,122 Kelompok 2 9 72,0 Kelompok 3 Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa nilai uji beda antara kelompok 1 dan kelompok 2 mendapatkan nilai p=0,001 p<0,05, jadi ada perbedaan yang signifikan antara kelompok 1 dengan dengan kelompok 2. Demikian juga antara kelompok 1 dan kelompok 3.berdasarkan hasil uji tersebut dapat diketahui bahwa ada berbedaan kadar neutrophil pada tikus yang diberikan cecal inoculum40mg/kali/hari dan yang tidak diberikan cecal inoculum40mg. Sedangkan uji beda antara kelompok 2 dan kelompok 3 mendapatkan nilai p=0,122 p>0,05, jadi tidak anda perbedaan kadar neutrophil antara kelompok 2 dan kelompok 3. Hal ini berarti pemberian cecal inoculum40mg/kali/hari pada kedua kelompok tersebut telah berhasil dan memiliki kadar neutrophil yang sama (tikus dalam keadaan sepsis) Berdasarkan hasil uji beda kadar neutrophil yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa perlakuan dengan pemberian cecal inoculum40mg/kali/hari telah berhasil dimana tikus wistar pada kelompok 1 dalam keadaan sehat dan tikus wistar pada kelompok 2 dan kelompok 3 dalam keadaan sepsis. 2. Hasil Pengukuran Diameter Arteriol Dari Organ Usus Halus a. Gambaran Hasil Pengukuran Diameter Arteriol Diameter diukur dengan mikrooskop cahaya dengan pembesaran 400 kali. Diameter dihitung dengan satuan micrometer ( . Dari tiap sampel (preparat) dipilih 5 arteriol secara acak per lapang pandang dan dihitung nilai rata-rata diameternya commit to user 61 62 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tabel 6. Deskripsi Hasil Pengukuran Diameter Arteriol No Tikus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 A1 A2 A3 A4 A5 B1 B2 B3 B4 B5 C1 C2 C3 C4 C5 D1 D2 D3 D4 D5 E1 E2 E3 E4 E5 F1 F2 F3 F4 F5 G1 G2 G3 G4 G5 H1 H2 H3 H4 H5 I1 K1 ( K2 ( 329.1 195.1 216.6 135.2 367.9 168.5 208.9 133.5 255.6 170.5 208.5 137.4 229.7 107.4 184.6 136.7 189.9 122.6 247.5 139.6 267.6 102.4 232.2 107.9 179.1 134.4 150.4 129.5 165.8 125.5 330.3 136.1 374.8 151.3 231.8 166.6 274.5 155 170.3 137.3 129.3 137.3 165.6 108.2 147.8 124.1 134.1 124.1 167.3 121.3 173.1 134.9 165.6 140.3 173.8 120.1 144.8 123.1 177 146.1 141.6 160.7 89.2 151.9 139.1 136.2 142.2 144.9 78.1 165.6 97.7 151.8 145.5 156.8 127.8 157.2 116.2 131.5 commit to user 91.4 154.5 118.5 167.6 62 K3 ( 561.6 311.0 334.1 570.0 684.9 585.8 510.4 459.0 525.9 402.6 406.2 424.8 516.5 411.3 495.8 400.7 394.7 394.9 469.6 445.6 423.8 550.0 517.2 695.9 616.1 455.9 484.3 433.5 538.8 511.3 209.4 309.1 240.6 205.7 391.0 192.4 235.6 255.2 182.9 227.7 180.6 63 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id No K1 Tikus ( 42 I2 43 I3 44 I4 45 I5 Rata-rata SD K2 K3 ( 133.3 130.4 144.9 110.5 182.2 71.48 ( 144.2 128.3 135.8 111.4 139.3 19.49 178.0 180.6 182.3 188.7 397.6 148.64 Berdasarkan hasil pengukuran diameter arteriol diketahui bahwa setelah 72 jam rata-rata diameter arteriol pada kelompok 1 yang tidak diberi perlakuan apapun adalah 182,2 + 71,48 , sedangkan rata-rata diameter arteriol pada kelompok 2 (diberi cecal inoculum40mg/kali/hari) adalah 139,3 + 19,49 dan kelompok 3 (Diberi cecal inoculum40mg/kali/hari dan Vitamin C 5,1 mg/kg/kali/hari) didapatkan nilai rata-rata diameter arteriol sebesar 397 + 149,64 . 397.6 400.0 350.0 300.0 250.0 200.0 K1 182.2 K2 139.3 K3 150.0 100.0 50.0 0.0 K1 K2 K3 Gambar 10. Diagram Batang Rerata Diameter Arteriol Berdasarkan gambar 4.2 diatas diketahui bahwa kelompok 1 (tanpa perlakuan) rata-rata diameter arteriol lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok 2 (Diberi cecal inoculum). Sedangkan kelompok 3 (Diberi cecal inoculum dan Vitamin C) nilainya lebih tinggi dari pada kelompok 1 dan kelompok 2. Untuk mengetahui tingkat perbedaan dari ketiga kelompok perlakuan tersebut maka commit to user dilakukan uji lanjut. 63 64 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id b. Uji Normalitas Data Diameter Arteriol Tabel 7. Uji Normalitas Data Diameter Arteriol Diameter N P Keterangan Arteriol 45 0,001 Tidak Normal Kelompok 1 45 0,447 Normal Kelompok 2 Kelompok 3 45 0,020 Tidak Normal Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa kelompok 1 varian data berdistribusi tidak normal (p= 0,001 ; p <0,05), Untuk kelompok 2 data juga berdistribusi normal (p=0,159; p >0,05), dan kelompok 3 varian data berdistribusi tidak normal (p=0,020; p>0,05). Dikarenakan ada kelompok tidak lulus uji normalitas maka pengujian statistik di uji alternatif dengan Kruskal-Wallis test dan dilanjutkan dengan Mann Whitney Test. c. Uji Beda Rata-rata Diameter Arteriol Uji beda rata-rata diameter arteriol dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan bermakna antara diameter arteriol pada ketiga kelompok penelitian. Uji beda ini dilakukan dengan menggunakan uji statistik Kruskal-Wallis. Tabel 8. Uji Beda Rata-Rata Diameter Arteriol Rata-rata Diameter N Kruskal-Wallis Arteriol ( 182,2 80,505 Kelompok 1 45 139,3 Kelompok 2 45 Kelompok 3 45 397,6 p <0.01 Berdasarkan tabel 8. diketahui bahwa nilai p<0.01(p<0,05), yang artinya bahwa ada perbedaan yang nyata diameter arteriol antara kelompok 1 (tanpa perlakuan), kelompok 2 (diberi cecal inoculum) dan kelompok 3 (diberi cecal inoculum dan Vitamin C). Untuk mengetahui adanya perbedaan diameter arteriol antar masing-masing kelompok perlakuan maka dilakukan uji lanjut (Mann Whitney). commit to user 64 65 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tabel 9. Perbedaan Diameter Arteriol Antara Masing –Masing Kelompok Perlakuan Rata-rata Diameter N Z-Score p Arteriol ( 182,2 -3.326 0,001 Kelompok 1 45 139,3 Kelompok 2 45 Kelompok 1 45 182,2 -6,718 <0.01 Kelompok 3 45 397,6 Kelompok 2 45 139,3 -8,114 <0.01 Kelompok 3 45 397,6 Berdasarkan tabel 9. diketahui bahwa diketahui bahwa nilai uji beda antara kelompok 1 dan kelompok 2 mendapatkan nilai p=0,001 p<0,05, jadi ada perbedaan yang signifikan diameter arteriol antara kelompok 1 (tanpa perlakuan) dengan dengan kelompok 2 (diberi cecal inoculum) dimana rata-rata diameter arteriol tikus kelompok 1 (tanpa perlakuan) 30,8% lebih lebar dibandingkan dengan tikus kelompok 2 (diberi cecal inoculum). Demikian juga antara kelompok 1 (tanpa perlakuan) dan kelompok 3 (diberi cecal inoculum dan Vitamin C) mendapatkan hasil nilai p=0,001 p<0,05. Jadi ada perbedaan yang signifikan diameter arteriol antara kelompok 1 dan kelompok 3. Dimana kelompok 3 menghasilkan diameter arteriol 118,2% lebih lebar daripada kelompok 1. Uji beda antara kelompok 2 (diberi cecal inoculum) dan kelompok 3 (diberi cecal inoculum dan Vitamin C) mendapatkan hasil nilai p=0,000 p<0,05. Jadi ada perbedaan yang signifikan diameter arteriol antara kelompok 2 dan kelompok 3. Dimana kelompok 3 menghasilkan diameter arteriol 185,3% lebih lebar daripada kelompok 2. Berdasarkan hasil uji tersebut dapat diketahui bahwa pemberian Vitamin C pada tikus sepsis mampu meningkatkan diameter arteriol lebih lebar dibandingkan dengan tikus sehat (normal) dan tikus sepsis. B. Pembahasan Sepsis dapat mengaktivasi berbagai macam sel seperti makrofag, netrofil, sel endotel maupun epithelial yang akan melepaskan sejumlah mediator, termasuk diantaranya cytokines, chemokines,commit PAF,to user interferon-γ, komplemen prostanoid, leukotriene dan protease. Kejadian ini akan menyebabkan aktivasi dari sel imun yang 65 66 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id disertai pelepasan ROS. Mediator inflamasi ini memiliki peran yang penting dalam membunuh organisme patoogen, namun jika respon yang terjadi terlalu eksesif, makan dapat menyebabkan infeksi sistemik pada orgam dibangian distal dan dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa pemberian Vitamin C 5,1 mg/kgBB/hari/i.v pada tikus sepsis mampu meningkatkan diameter arteriol lebih besar dibandingkan dengan tikus sepsis dan tikus yang sehat. Nilai diameter arteriol pada kelompok 1 (tanpa perlakuan) berbeda signifikan dengan kelompok 2 (diberi cecal inoculum) dengan nilai p=0,001 p<0,05, dimana rata-rata diameter arteriol tikus kelompok 1 (tanpa perlakuan) 30,8% lebih lebar dibandingkan dengan tikus kelompok 2 (diberi cecal inoculum). Demikian juga nilai diameter arteriol kelompok 1 (tanpa perlakuan) berbeda signifikan dengan kelompok 3 (diberi cecal inoculum dan Vitamin C) dengan nilai p=0,001 p<0,05. Dimana kelompok 3 menghasilkan diameter arteriol 118,2% lebih lebar dibandingkan dengan kelompok 1. Nilai dimater arteriol kelompok 2 (diberi cecal inoculum) juga berbeda signifikan dengan kelompok 3 (diberi cecal inoculum dan Vitamin C) dengan nilai p=0,000 p<0,05. Dimana kelompok 3 menghasilkan diameter arteriol 185,3% lebih lebar daripada kelompok 2. Vitamin C merupakan golongan antioksidan larut dalam air yang dapat meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat logam. Fungsi antioksidan adalah mencegah terbentuknya radikal hidroksil, memutus rantai reaksi oksidan, mereduksi oksidan menjadi zat lain yang kurang reaktif misalnya H2O dan O2, menghambat peroksidase lipid dan scavenger langsung dari ROS. Oleh sebab itu pemberian Vitamin C pada tikus wistar mampu meningkatkan nilai diameter arteriol. Anti oksidan merupakan senyawa-senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat logam. Fungsi antioksidan adalah mencegah terbentuknya radikal hidroksil, memutus rantai reaksi oksidan, mereduksi oksidan menjadi zat lain yang kurang reaktif misalnya H2O dan O2, menghambat peroksidase lipid dan scavenger langsung dari ROS. Pada sepsis terjadi inflamasi, inflamasi ditandai oleh pelepasan sitokin pro inflamasi seperti TNF-, 1L-1 , dan IL-6 dan mediator inflamasi termasuk NO, PGE2, iNOS dan COX. Asam askorbat adalah reducing agent dan dapat mengurangi dan menetralkan, reaktif oksigen spesies seperti hidrogen peroksida. Oksidan seperti hidroksil radikal commit to user mengandung elektron tidak berpasangan dan sangat reaktif dan merusak pada tingkat 66 67 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id molekuler. Hal ini disebabkan oleh interaksi ROS dengan asam nukleat, protein, dan lipid. Reaktif oksigen spesies mengoksidasi askorbat menjadi monodehydroascorbate dan kemudian menjadi dehydroascorbate. Reaktif Oksigen Spesies (ROS) direduksi menjadi air sementara bentuk askorbat teroksidasi relatif stabil, tidak reaktif dan tidak menyebabkan kerusakan sel. Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian Victor VM et al, (2000)dimana Vitamin C (Asam Ascorbat/AA) merupakan donor elektron yang kuat, bereaksi baik dengan O2- maupun dengan OH-.AA memainkan peran penting dalam mekanisme pertahanan terhadap kerusakan oksidatif terutama yang disebabkan oleh lekosit.Pengaturan utama dari AA pada organisme berhubungan dengan fungsinya sebagai reduktor, namun AA juga ikut berperan dalam memodulasi jalur kompleks biokimia dimana hal ini merupakan bagian penting dalam metabolisme normal dari sel imun. Antioksidan ini menghambat aktivasi dari faktor transkripsi nuclear NF-κB yang dicetuskan oleh adanya endotoksin, dimana hal ini dapat menurunkan produksi TNFα. Penelitian Ex vivo telah menunjukkan pengaruh pemberian Vitamin C terhadap regulasi aktivitas seluler, seperti peningkatan adhesi dan produksi O2- yang dihasilkan oleh makrofag pada mencit dengan syok endotoksin yang akan berkurang dengan adanya AA. AA juga memperlihatkan kemampuan untuk memodulasi fungsi limfosit pada model yang sama. Wu et al (2003) memperlihatkan dimana AA dapat menghambat ekspresi iNOS dan menurunkan kadar oksidan pada masa otot selama periode sepsis. Hasil ini menimbulkan dugaan dimana pemberian AA pada early sepsis dapat menjadi terapi tambahan yang berharga. Dengan demikian pemberian Vitamin C 5,1 mg/kgBB/hari/i.v pada tikus sepsis akan berdampak pada hasil pengukuran diameter arteriol, dimana pada tikus sepsis yang diberi Vitamin C nilai dimater arteriol 118,2% lebih lebar dari tikus normal. Dan nilai dimater arteriol pada pada tikus sepsis yang diberi Vitamin C 185,3% lebih besar dari tikus sepsis tanpa diberi Vitamin C. commit to user 67 68 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan tujuan dan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 27 ekor tikus wistar dapat disimpulkan sebagai berikut: Pemberian Vitamin C pada tikus wistar dengan dosis 5.1 mg/kgBB/kali/hari telah berhasil meningkatkan diameter arteriol pada tahap awal sepsis. Nilai diameter arteriol kelompok 2 (diberi cecal inoculum) berbeda signifikan dengan kelompok 3 (diberi cecal inoculum dan Vitamin C) dengan nilai p<0.01. Dimana kelompok 3 menghasilkan diameter arteriol 185,3% lebih lebar daripada kelompok 2 B. Keterbatasan Penelitian 1. Pada penelitian tidak diukur penilaian tekanan arteri rata-rata pada tikus wistar, sehingga tidak diketahui apakan efek vasodilatasi pada arteriol di tingkatan mikrosirkulasi diikuti oleh peningkatan pada parameter makrosirkulasi. 2. Penelitian juga tidak mengukur peningkatan aliran darah serta tekanan oksigen pada jaringan yang merupakan target akhir dari proses konveksi dan difusi oksigen di mikrosirkulasi C. Saran 1. Pada penelitian selanjutnya mungkin dapat diukur parameter makrosirkulasi sebagai pembanding perbaikan pada perfusi di tingkat mikrosirkulasi. 2. Pada penelitian selanjutnya dapat diukur tekanan oksigen jaringan sebagai parameter keberhasilan perfusi di tingkat mikroosirkulasi commit to user 68 69 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id DAFTAR PUSTAKA Abraham E (2003). Nuclear factor-kB and its role in sepsis-associated organ failure. J Infect Dis, 187: S364-9. Alpha A, Aamer A, Syed, Shelley K, Robin S, Don F, et al. 2014. Phase I safety trial of intravenous ascorbic acid in patients with severe sepsis. Journal of Translational Medicine. Vol:12(32): 1-10 Asada, K. 2006. Production and Scavenging of Reactive Oxygen Species in Chloroplasts and Their Functions. ASPB. Vol. 141 (2): 391-396 Backer, D, et al. 2011. Microsirculatory alterations: potential mechanism and implication for therapy. Annal of Intensive Care. 1:27 Baldwin AS. 2001. Series introduction: the transcription factor NF-kB and human disease. J Clin Invest; 107: 3-6. Barnes PJ. 1997. Nuclear factor kB. Int J Biochem Cell, 29: 867-70. Bateman RM, Sharpe MD, Ellis CG, 2003. Bench-to-bedside review: microvascular dysfunction in sepsis-hemodynamics, oxygen transport, and nitric oxide. Crit Care; 7: 359-73. Blackwell TS, Christman JW, 1997. The role of nuclear factor kB in cytokine gene regulation. Am J Respir Cell Mol Biol, 17: 3-9. Blackwell TS, Yull FE, Chen CL, Venkatakrishnan A, Blackwell TR, Hicks DJ et al, 2000. Multiorganic nuclear factor kappa B activation in a transgenic mouse model of systemic inflammation. Am J Respir Crit Care Med, 162: 1095-101. Bolon ML, Peng T, Kidder GM, Tyml K, 2008. Lipopolysaccharide plus hypoxia and reoxygenation synergistically reduce electrical coupling between microvascular endothelial cells by dephosphorylating connexin40. J Cell Physiol; 217(2): 350–359 Bone RC, Balk RA, Cerra FB, Dellinger RP, Fein AM, Knaus WA, et al (1992). Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. The ACCP/SCCM Consensus Conference Comitte. American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine. 101: 1644-55. Boveris A, Alvarez S, Navarro A (2002). The role of mitochondrial nitric oxide synthase in inflammation and septic shock. Free Radic Biol Med, 33: 1186-93. Brahmbhatt S, Gupta A, Sharma AC. 2005. Big Endothelin-1 (I-21) Fragment during early sepsis modulates tai, p38-MAPK phosphorylation and nitric oxide synthase activation. Molecular and Cellular Biochemistry, 271: pp: 225-237 Brook G, Butel J, Morse A. 2003. Medical Microbiology. Singapore: Mcgraw Hill Company: 854-865 commit to user 69 70 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Buras JJ, Holzmann B, Sitkovsky M. 2005. Animal models of sepsis: Setting the stage. Nature reviews Drugs Discovery 4; 854-865 Cepinskas, G & Wilson, J. 2008. Respon inflamasi pada endothel Mikrovaskuler Pada Sepsis: Peran Oksidan. J. Clin. Biochem. Nutr. 42: 175-184 Chopra M, Sharma A. 2007. Distinct cardiodynamic and molecular characteristics during early and late stages of sepsis induced myocardial dysfuncion. Life ScienccesJournal Elsevier; 81(4): 306-316 Cohen, J. 2002. The Immunopathogenesis of Sepsis. Nature. 420: 885–891 Deitch E. 2005. Rodent models of intra-abdominal infection. Shock; 24:19-23 DeLeo FR, Renee J, McCormick S, Nakamura M, Apicella M, Weiss JP, et al (1998). Neutrophils exposed to bacterial lipopolysaccharide upregulate NADPH oxidase assembly. J Clin Invest, 101: 455-63. Diding HP, Nurwati I, Indrayantp Y, Guntur HA, 2014. Penurunan kadar pro-adrenomedullin mencit Baalb/C model sepsis dengan kortikosteroid dosis rendah. Majalan Kedokteran Bandung, 46(2) Dorland N, 2001. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC, pp:1765 Edwin S, Theo J, Joohan K. 2003. Receptors, mediators and mechanism involved in bacterial sepsis and septic shock. Clinical Microbiology Reviews; 379-414 Fu B, Wang X, Qin Z, William R, Hsueh, Zheng X, Rozenfield A, Zuo L, Tan D. 2006. Lysozyme-modified probiotic components protect rats against polymicrobial sepsis: Role of macrophages and cathelicidin-related innate immunity. The Journal of Immunology. 177: 8767-8776 Guha M, Mackman N (2001). LPS induction of gene expression in human monocytes cell signal, 13: 85-94 Guntur, AH. 2008. SIRS, SEPSIS & SYOK SEPTIK (Imunologi, Diagnosis, Penatalaksanaan. Sebelas Maret University Press. Surakarta Huang, A, et al. 2000. Ascorbic Acid Enhances Endothelial Nitric Oxide Synthase Activity By Increasing Intracellular Tetrahydrobiopterin. JBC. Kaymak, C, Basar, H, Sardas, S. 2011. Reactive Oxygen Spesies (Ros) Generation in Sepsis. FABAD J Pharm Sci. 36: 41-47. Kuzkaya, N, et al. 2003. Interactions of Peroxynitrite, Tetrahydrobiopterin, Ascorbic Acid, And Thiols: Implications For Uncoupling Endothelial Nitric-Oxide Synthase. J Biol Chem. 278 (25): 22546-54 Matei, V, et al. 2006. The eNOS Cofactor Tetrahydrobiopterin Improves Endothelial Dysfunction In Livers Of Rats With CCl4 Cirrhosis. PubMed. 44 (1): 44-52 Minakshi N, Shannon R, Nihal A. 2007. Dose translation from animal to human studies revisited. The Faseb Journal. Vol:22; 559-561 commit to user Murray, R, et al. 2003. Harper Illustrated Biochemistry 26 ed. McGraw Hill USA. 474-497 70 71 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Nossaman, B, et al. 2012. Stimulators and Activators of Soluble Guanylate Cyclase: Review and Potential Therapeutic Indications. Critical Care Research and Practice. Vol 2012 Padayatty, S. 2003. Vitamin C as Anti Oxidant: Evaluation of its Roles in Disease Prevention. Journal of the American College of Nutrition. 22(1): 18–35 Pasupathy. 2009. Effect of Chronic Smoking on Lipid Peroxidation And Antioxidant Status In Gastric Carcinoma Patients. Indian J Gastroentero. 28(2): 65–67 Remick DG, Bolgos GR, Siddiqui J, Shin J, Nemzek JA, 2002. Six at six: Interleukin-6 measured 6 h after the initiation of sepsis predicts mortality over 3 days. Shock. 17:pp:463-467 Ren J, Ren B, Sharma A. 2002. Sepsis-induced depressed contractile function of isolated ventricular myocytes is due to altered calcium transient properties. Shock; 18 (3): 285-288. Riedemann, N, Guo, R, and Ward, P. 2003. Novel Strate-Gies For The Treatment Of Sepsis. Nat Med. 9: 517–524 Rittirsch D, Markus S, Michael A, Peter A. 2009. Immunodesign of experimental sepsis by cecal ligation and puncture. Nature Protocols, 4(1): 31-36 Schildberger, A, et al. 2013. Monocytes, Peripheral Blood Mononuclear Cells, and THP-1 Cells Exhibit Different Cytokine Expression Patterns Following Stimulation with Lipopolysaccharide. Hindawi. Vol 2013 Spagnuolo, M, et al. 2006. Nitric Oxide Stimulates The Erythrocyte For Ascorbate Recycling. Elsevier Inc. 1089-8603 Supranto J. 2007. Teknik sampling untuk survey dan eksperimen. Ediasi ke-4. Jakarta: PT. Rineka Cipta: 5-9 Tiefenbacher, C. 2001. Tetrahydrobiopterin: a critical cofactor for eNOS and a strategy in the treatment of endothelial dysfunction?. APS. 280: H2484–H2488 Victor, M, et al. 2005. Role of Free Radicals in Sepsis: Antioxidant Therapy. Current Pharmaceutical Design. 11: 3141-3158 Wang W, Jittikanont S, Falk SA, Li P, Feng L, Gengaro PE, et al (2003). Interaction among nitric oxide, reactive oxygen species, and antioxidants during endotoxemia-related acute renal failure. Am J Physiol Renal Physiol; 284: 352-7. Xian, M, et al. 2000. Inhibition of Papain by S-Nitrosothiols. JBC commit to user 71 72 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Lampiran.1 Hasil Penelitian Tabel Deskripsi Hasil Pemeriksaan Neutrophil No K1 K2 K3 1 43.5 56.5 80.2 2 35.7 82.0 83.2 3 35.9 48.8 70.5 4 15.6 54.7 78.1 5 16.0 42.0 43.2 6 23.2 59.7 79.4 7 23.3 39.5 75.8 8 35.4 88.7 79.6 9 43.7 54.4 57.6 Rata -Rata 30.3 58.5 72.0 SD 10,96 16,69 13,21 Tabel Deskripsi Hasil Pengukuran Diameter Arteriol No Tikus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 A1 A2 A3 A4 A5 B1 B2 B3 B4 B5 C1 C2 C3 C4 C5 D1 D2 K1 ( K2 ( 329.1 195.1 216.6 135.2 367.9 168.5 208.9 133.5 255.6 170.5 208.5 137.4 229.7 107.4 184.6 136.7 189.9 122.6 247.5 139.6 267.6 102.4 232.2 107.9 179.1 134.4 150.4 129.5 165.8 125.5 330.3to user 136.1 commit 374.8 151.3 72 K3 ( 561.6 311.0 334.1 570.0 684.9 585.8 510.4 459.0 525.9 402.6 406.2 424.8 516.5 411.3 495.8 400.7 394.7 73 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id No Tikus 18 D3 19 D4 20 D5 21 E1 22 E2 23 E3 24 E4 25 E5 26 F1 27 F2 28 F3 29 F4 30 F5 31 G1 32 G2 33 G3 34 G4 35 G5 36 H1 37 H2 38 H3 39 H4 40 H5 41 I1 42 I2 43 I3 44 I4 45 I5 Rata-rata SD K1 ( K2 ( 231.8 274.5 170.3 129.3 165.6 147.8 134.1 167.3 173.1 165.6 173.8 144.8 177 141.6 89.2 139.1 142.2 78.1 97.7 145.5 127.8 116.2 91.4 118.5 133.3 130.4 144.9 110.5 182.2 71.48 ( 166.6 155 137.3 137.3 108.2 124.1 124.1 121.3 134.9 140.3 120.1 123.1 146.1 160.7 151.9 136.2 144.9 165.6 151.8 156.8 157.2 131.5 154.5 167.6 144.2 128.3 135.8 111.4 139.3 19.49 commit to user 73 K3 394.9 469.6 445.6 423.8 550.0 517.2 695.9 616.1 455.9 484.3 433.5 538.8 511.3 209.4 309.1 240.6 205.7 391.0 192.4 235.6 255.2 182.9 227.7 180.6 178.0 180.6 182.3 188.7 397.6 148.64 74 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Hasil penghitungan dengan SPSS Hasil Uji Normalitas Neutrofil Case Processing Summary Valid Neutrof il Kelompok K1 K2 K3 N 9 9 9 Percent 100.0% 100.0% 100.0% N Cases Missing Percent 0 .0% 0 .0% 0 .0% Total N 9 9 9 Descrip tives Neutrof il Kelompok K1 K2 K3 Mean 95% Conf idence Interv al f or Mean Lower Bound Upper Bound 5% Trimmed Mean Median Variance Std. Dev iat ion Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurt osis Mean 95% Conf idence Interv al f or Mean 5% Trimmed Mean Median Variance Std. Dev iat ion Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurt osis Mean 95% Conf idence Interv al f or Mean Lower Bound Upper Bound Lower Bound Upper Bound 5% Trimmed Mean Median Variance Std. Dev iat ion Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurt osis Stat istic 30.2556 21.8339 38.6772 30.3228 35.4000 120.038 10.95618 15.60 43.70 28.10 20.10 -.184 -1.629 58.4778 45.6491 74 .717 1.400 5.56317 71.3065 57.8531 54.7000 278.539 16.68950 39.50 88.70 49.20 25.45 .978 .100 71.9556 61.8020 .717 1.400 4.40310 82.1091 72.9284 78.1000 174.485 13.20929 43.20 83.20 40.00 15.85 -1.646 2.071 commit to user Std. Error 3.65206 .717 1.400 Percent 100.0% 100.0% 100.0% 75 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tests of Normal ity a Neutrof il Kelompok K1 K2 K3 Kolmogorov -Smirnov St at ist ic df Sig. .236 9 .158 .249 9 .115 .281 9 .039 St at ist ic .885 .880 .781 Shapiro-Wilk df 9 9 9 Sig. .178 .159 .012 a. Lillief ors Signif icance Correction 17 11 80.00 Neutrofil 60.00 23 40.00 20.00 K1 K2 Kelompok commit to user 75 K3 76 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Lampiran.2 Hasil Uji Kruskal-Wallis Test Neutrofil NPar Tests Kruskal-Wallis Test Ranks Neutrof il Kelompok K1 K2 K3 Total N 9 9 9 27 Mean Rank 5.67 16.11 20.22 Test Statisticsa,b Chi-Square df Asy mp. Sig. Neutrof il 16.088 2 .000 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Kelompok Hasil Uji Mann-Whitney Test Neutrofil NPar Tests Mann-Whitney Test Ranks Neutrof il Kelompok K1 K2 Total N 9 9 18 Mean Rank 5.44 13.56 Sum of Ranks 49.00 122.00 Test Statisticsb Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asy mp. Sig. (2-t ailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] Neutrof il 4.000 49.000 -3.223 .001 a .000 a. Not corrected f or ties. b. Grouping Variable: Kelompok commit to user 76 77 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id NPar Tests Mann-Whitney Test Ranks Neutrof il Kelompok K1 K3 Total N 9 9 18 Mean Rank 5.22 13.78 Sum of Ranks 47.00 124.00 Mean Rank 7.56 11.44 Sum of Ranks 68.00 103.00 Test Statisticsb Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asy mp. Sig. (2-t ailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] Neutrof il 2.000 47.000 -3.400 .001 a .000 a. Not corrected f or ties. b. Grouping Variable: Kelompok NPar Tests Mann-Whitney Test Ranks Neutrof il Kelompok K2 K3 Total N 9 9 18 Test Statisticsb Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asy mp. Sig. (2-t ailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] Neutrof il 23.000 68.000 -1.545 .122 a .136 a. Not corrected f or ties. b. Grouping Variable: Kelompok commit to user 77 78 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Lampiran.3 Hasil Uji Normalitas Diameter Arteriol Case Processing Summary Valid Diameter Art eriol Kelompok K1 K2 K3 N 45 45 45 Percent 100.0% 100.0% 100.0% Cases Missing N Percent 0 .0% 0 .0% 0 .0% Total N 45 45 45 Descriptives Diam et er Art eriol Kelompok K1 K2 K3 Mean 95% Conf idence Interv al f or Mean Lower Bound Upper Bound 5% Trimmed Mean Median Variance Std. Dev iat ion Minimum Maximum Range Interquart ile Range Skewness Kurt osis Mean 95% Conf idence Interv al f or Mean 5% Trimmed Mean Median Variance Std. Dev iat ion Minimum Maximum Range Interquart ile Range Skewness Kurt osis Mean 95% Conf idence Interv al f or Mean 5% Trimmed Mean Median Variance Std. Dev iat ion Minimum Maximum Range Interquart ile Range Skewness commit Kurt osis 78 Lower Bound Upper Bound Lower Bound Upper Bound to user Stat istic 182.2200 160.7453 Std. Error 10.65549 203.6947 177.3944 165.8000 5109.279 71.47922 78.10 374.80 296.70 89.45 1.116 .904 139.3422 133.4856 .354 .695 2.90600 145.1989 138.9111 136.7000 380.019 19.49407 102.40 195.10 92.70 28.40 .393 .316 397.6000 352.9431 .354 .695 22.15820 442.2569 393.9117 411.3000 22094.370 148.64175 178.00 695.90 517.90 275.80 -.041 -.974 .354 .695 Percent 100.0% 100.0% 100.0% 79 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tests of Normality a Diameter Art eriol Kolmogorov -Smirnov St at ist ic df Sig. .162 45 .005 .117 45 .137 .127 45 .067 Kelompok K1 K2 K3 St at ist ic .905 .975 .939 Shapiro-Wilk df 45 45 45 a. Lillief ors Signif icance Correction 700.00 600.00 Diameter Arteriol 500.00 400.00 17 300.00 46 200.00 100.00 0.00 K1 K2 Kelompok commit to user 79 K3 Sig. .001 .447 .020 80 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Lampiran.4 Hasil Uji Kruskal-Wallis Test Diameter Arteriol NPar Tests Kruskal-Wallis Test Ranks Diameter Art eriol Kelompok K1 K2 K3 Total N 45 45 45 135 Mean Rank 58.41 36.74 108.84 Test Statisticsa,b Chi-Square df Asy mp. Sig. Diamet er Art eriol 80.505 2 .000 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Kelompok Hasil Uji Mann-Whitney Test Diameter Arteriol NPar Tests Mann-Whitney Test Ranks Diameter Art eriol Kelompok K1 K2 Total N 45 45 90 Mean Rank 54.41 36.59 Sum of Ranks 2448.50 1646.50 Test Statisticsa Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asy mp. Sig. (2-t ailed) Diamet er Art eriol 611.500 1646.500 -3.236 .001 a. Grouping Variable: Kelompok commit to user 80 81 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id NPar Tests Mann-Whitney Test Ranks Diameter Art eriol Kelompok K1 K3 Total N 45 45 90 Mean Rank 27.00 64.00 Sum of Ranks 1215.00 2880.00 Mean Rank 23.16 67.84 Sum of Ranks 1042.00 3053.00 Test Statisticsa Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asy mp. Sig. (2-t ailed) Diamet er Art eriol 180.000 1215.000 -6.718 .000 a. Grouping Variable: Kelompok NPar Tests Mann-Whitney Test Ranks Diameter Art eriol Kelompok K2 K3 Total N 45 45 90 Test Statisticsa Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asy mp. Sig. (2-t ailed) Diamet er Art eriol 7.000 1042.000 -8.114 .000 a. Grouping Variable: Kelompok commit to user 81 82 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id LAMPIRAN.5 Ethical Clearance commit to user 82 83 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id LAMPIRAN.6 Dokumentasi Penelitian commit to user 83 84 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id commit to user 84 85 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id commit to user 85 86 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id commit to user 86 87 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id commit to user 87