s * 0 t 7 o O t 6 E o "t' I Z 0 13 o 9:B LAPORAN PENELITIAN STUDI TENTANG PENERAPAN E FFECTIYES OCCUPATION PRINCIPLE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA WILAYAII NEGARA OIeh: MADA APRIANDI ZI]HIR ll-rP. 132 282178 Dibiayai Oleh: Dana DlK-suplemen Universitas Sriwijaya Tahun Anggaran 2004 Kontrak Nomor Og2t23tDIK-S/2004 Tanggal I Januari FAKULTAS HUKUM UNTVERSITAS SRIWIJAYA 2004 2(X}4 II}ENTITA$ DAII PENGESAHAN USUL PETIELITIAN Judul Penelitian 1. . STUDITENTANGPENERAPA}I EFFECTIYES OCCUPATION PNNCTPLE DALAM PET{I{ELESAIAN SENGKETA b. Bidang llmu c. KatEgCIri Penelitian 2. KetuaPeneliti L. Nama Lerykap dau Gelar b. JenisKelamin d. Golongangan/PangkatA{IP Jabatan Fungsional e. Jabatan Shuktural f. Fakultas/Jurusan g. Ifusat Penelitian - Iv{ada Apriandi Zuhir, S.H. - Iaki-laki - IlUalPenata Mlu&/132282118 - kktor - TidakAda - Huhm/Ilmu }Iukum - Lemb*gaPenelitiar Universitas Jumlah Anggota Peneliti Lokasi Penelitian I"amaPenelitian Biaya yang Diperh*an : - c. ). 4. 5. 6. WILAYAHNEGARA - Hukum Intsrnasional -II Sriwiiaya I {Satu) Orang lalernbang danlakallta 6 (enam) Bulan Rp.2.250.000,- {Dua J*a Dua Ratus Lirm Puluh Ribu tupi*hj Inderalaya, Oktober 2004 KetuaPeaeliti, 6,1 Z* fr? Hasan, SH.,MH. f Dr. h R.H.\_d Saleh, M.Sc. N.r.P. 130531?91 I' II \ ABSTRACT The research entitled "Study on Implementation of Effectives Occupation Principle" intends to get better known and to get description and also to mention developing of international law concerning to territorial jurisdiction dispute resolution as in ICJ's decisions, basis of the facts and legal consideration and altemative ways to prevent any territorial jurisdiction disputes. The research has been done through a method based on some activity phases such as sampling arba and txget and source of data, technique of data collecting and data analysis. Type and source of data are collected by purposive sampling method. Furthermore analysed by means of qualitative descripiive with juridical normative approach and the last, to get conclusion through inductive method. The results show that developing of international law concerning to territorial jurisdiction dispute resolution as in ICJ's decisions based on Effectives Occupation Principle, ICJ conclude that sovereignty over Pulau Sipadan and Pulau Ligita belongs to Malaysia on the basis of the facts and legal consideration that Indonesia cannot proved the intentiorl and will to act as sovereign (i.e.activities evidencing an actual, continued exercise of authority over the islands). Alternative ways to prevent any territorial jurisdiction disputes between Indonesia and other border states is strengthening our law especially on national territory matters. ,n F" llt \ ABSTRAK q Penelitian yang berjudul "Studi Tentang Penerapan Effictives'Occupation Principle dalam Penyelesaian Sengketa Wilayah Negara" ditujukan untuk mengetahui perkembangan teori hukum internasional mengenai penyelesaian sengketa wilayah negara berkaitan dengan penambahan wilayah negara sebagaimana yang terkandung dalam Putusan ICJ pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dan Malasyia terutama berkaitan dengan penerapan Effectives Occupation Principle, alasan teoritik kekalahan Indonesia pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dan upaya antisipatif penyelesaian sengketa wilayah antara Indonesia dan negara-negara. Penelitian ini dilakukan melalui metode yang berdasarkan pada tahap-tahap kegiatan seperti penentuan lokasi penelitian, teknik pengumpulan data dan analisa datz. Data yang dikumpulkan secara purposive sampling. Selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan pendekatan pendekatan yuridis normative dan akhirnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan mengunakan metode induktif. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa perkembangan teori hukum internasional mengenai penyelesaian sengketa wilayah negara dan penambahan wilayah negara dewasa ini, sebagaimana yang terkandung dalam putusan-putusan lvlahkamah Internasional (International Court of Jusice/ICf, pacr. umunnya didasarkan pada effectwe occupation principle yang drjalankan oleh para pihak yang bersengketa untuk menentukan pihak mana yang memiliki hak kedaulatan atas wilayah tersebut. Secara teoritik, Indonesia kalah pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan Dalam Putusan ICJ dikarenakan Indonesia tidak dapat membuktikan adanya tindakan effectwes (intention and will) yang dilakukan Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menyelesaikan sengketa-sengketa wilayah yang ada adalah dengan membuat identifikaii, inventarisir, pemberian nama dan aturan-aturan hukum sekaligus mendepositkannya ke PBB berkaitan dengan persoalan wilayah terutama mengenai pulau-pulau terluar Indonesia. iv \ KATA PENGANTAR Sebagai suatu negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 17. 000 pulau dengan garis pantai yang mencapai 81.000 km serta luas wilayah yang mencapai 7,9 jutakm2, secara positif memberikan keuntungan bagi wilayah Negara Kesatuan Republik IndoneSia, tapi disisi lain juga memberikan dampak yang negatif dalam hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangga berkaitan dengan pengklaiman atas hak-hak dan batas-batas wilayah. Potensi konflik ini dapat memicu sengketa yang lebih ltras serta mengandung potensi instabilitas kawasan regional. Putusan ICJ berkaitan dengan sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan suatu kasus yang menarik untuk dibahas baik dari sudut pandang teori khususnya hukum internasional maupun pengaruhnya terhadap Indonesia. Atas dasar itu, alhamdulilah penelitian yang dibiayai oleh Dana DIK- Suplemen Universitas Sriwijaya Tahun Anggaran 2004, dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Harapannya agar hasil penelitian yang disadari masih terdapt kekurangannya ini dapat bermanfaat dan tentunya kritik dan saran yang membangun akan selalu kami terima. Terimakasih 't DAFTAR ISI Halaman HALA]V{r{N MUKA IDENTITAS DAN PENGESAHAN ......... .... ii ABSTRACT lv ABSTRAK v KATA PENGANTAR DAFTAR ISI vi DAFTAR LAMPIRAN vii BAB 1. PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 4 Tujuan Penelitian 5 Manfaat Penelitian 5 Metode Penelitian .....:... 6 BAB II PEMBA}IASAN ... A. Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan B. Perkembangan Teori Hukum Internasional Mengenai 10 l0 . Penyelesaian Sengketa Wilayah Negara dan Penainbahan Wilayah Negara Dikaitkan dengan Penerapan Effectwe Occupation Principle dalam Putusan ICJ C. Tinjauan Teoritis Atas Kekalahan Indonesia D. Upaya-Upaya Antisispatif Penyelesaian Sengketa Wilayah ...... 28 44 Antara 48 Indonesia dan Negara-Negara Tetangga 1. BAB III PENUTUP 53 A. Kesimpulan 53 B. Saran-Saran 54 DAFTAR PUSTAKA vl LAMPIRAN Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) 1. Peta 2. Batas Negara Kesatuan Republik tndonesia ,i t ,* I vii l I I ) BAB 1. PENDAHULUAN A. LatarBelakang Sebagai suatu negara kepulauan, secara fisik Indonesia merupakan negara terbesar ke-5 didunial yang dibatasi oleh 2 Matra, yaitu matra laut yang berbatasan dengan sepuluh negara (Australia, Malaysi4 Singapura, India, Thailand, Vietnam, Philipina, Palau, Papua New Guinea dan Timor Leste), dan di daratan berbatasan dengan tiga negara (Malaysia, Papua New Guinea dan Timor Leste)-2 Berlakunya Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nations Convention on the Law of the,SeaAJNCLOS) 1982, secara positif memberikan keuntungan bagi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tapi disisi'lain juga memberikan dampak yang negatif dalam hubungan lndonesia dengan negara-negara tetangga berkaitan dengan pengklaiman atas hak-hak dan batas-batas wilayah. Potensi konflik ini dapat memicu sengketa yang lebih luas serta mengandung potensi instabilitas kawasan regional. Beberapa permasalahan perbatasan antara Indonesia dan negara-negara tetangga yang belum terselesaikan secara tuntas tidak hanya menyangkut persoalanpersoalan batas-batas fisik yang disepakati semata, namun juga menyangkut cara hidup masyarakat di daerah tersebut, misalnya para nelayan tradisional atau kegiatan ' Luas wilayah Indonesia semakin bertambah di karenakan perjuangan atas prinsip wawasan nusantara yang termuat dalam Deklarasi Juanda Tahun 1957 yang kemudian diakui dalam Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Menurut data resmi Pemerintah, panjang garis pantai tetap (Baseline\ 81.000 KM2, tapi menurut World Data Center di New York, panjang garis pantai tetap Indonesia Indonesia hanya + 61. 000 KM2. Pada saat kemerdekaar\ kawasan laut Indonesia hanya 100. 000 KMz, setelah berlakunya Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) ietZ, luas kawasan laut Indonesia bertambah 3. 000 Yo menladi 3. 100. 000 KM2, yang terdiri dan 2.800. 000 KM2 perairan kepulauan dan 300. 000 KM2laut wilayah. Lihat Kompas "Banyak Potensi Laut Tidak terjamah" Jumat 3 Desember 1999. 2 Hari Sabarno, "Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan dan Pengelolaan Pulau-pulau Indonesia", Diskusi FH Univ. Indonesia, Jakarta 5 Februari 2003 Hlm. 1. + 'l lain di sekiar wilayah perbatasan. Potensi konflik dan beberapa persoalan perbatasan dan sengketa wilayah antara Indonesia dan negara-negara tetangga itu diantaranya: 1. Indonesia dan Singapura mengenai batas laut teritorial berkaitan dengan perubahan batas kedua negara di Selat Malaka sebagai akibat dampak dari kegiatan reklamasi yang dilakukan Singapura. 2. tndonesia dan Malaysia mengenai perbedaan pemahaman rezim laut dengan Malaysia di bagian tltara Selat Malaka, Selat Singapura dan Laut Cina Selatan. 3. Indonesia dan Philipina berkaitan dengan perbedaan secara firndamental mengenai perbatasan wilayah laut. Hal ini disebabkan karena undang-undang Philipina telah menetapkan garis batas lautnya, sedangkan Pemerintah Indonesia menyatakan dalam peraturan perundang-undangan. 4. Indonesia dan Australia pasca kemerdekaan Timor Lorosae, garis batas laut antara Indonesia dengan Australia memerlukan penataan ulang, walaupun persetujuan garis batas landas kontinen pernah dilaksanakan pada tahun 1971 dan1972, serta persetujuan garis balas ZEE pada tahun 1981. 5. Indonesia dan Papua New Guinea (PNG) berkaitan dengan aspek kultural. 6. Indonesia dan Vietnam mengenai penentuan batas wilayah berkaitan dengan penentuan landas kontinen. 7. Indonesia dan Republik Rakyat China (RRC) mengenai perbedaan pandangan tentang batas perairan, khususnya di perairan Natuna. 8. fndonesia dan India mengenai perbatasan perairan territorial di sekitar Pulau Andaman dan Nicobar. g. Indonesia dan Palau mengenai batas ZonaEkonomi Ekslusif (ZEE) di Pulaupulau Asia dan pulau-pulau Mapia yang terdapat di utara Papua. 10. Indonesia dan Timor Lorosae yang belum memiliki perjanjian batas wilayah laut.3 Putusan Mahkamah Internasion al (International Court of JusticellCJ) pada tanggal 17 Desember 2002 membuat bangsa Indonesia tersadar bahwa luasnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memuat potensi konflik dan menrerlukan perhatian yang serius. Konflik Sipadan-Ligitan yang mencuat sejak Tahun 1969 antaralndonesia dan Malasyia, diputuskan oleh ICJ dengan memberikan kedaulatan penuh atas kedua pulau tersebut kepada Malaysia atas dasar effective occupation yang telah dilakukan Malaysia. Konflik ini muncul pada tahun 1969 ketika kedua rregara mengadakan perundingan untuk menetapkan batas landas kontinen. Pada saat itu terjadi perdebatan berkaitan dengan kepemilikan Pulau Sipadan-Ligrtan. Jika dikaitkan dengan penetapan batas landas kontinen, maka effectives occupation tidak dapat diterapkan, hal ini dapat dilihat pada Art. 77 ayat (3) LINCLOS yang merumuskan: The rights of the coastal state over ihe continental shelf do not depend on occupaiiori, effictive or naiional, or on aiq, express proclamation. Jelas terlihat dari Art. 77 ayat (3) bahr*a hak suatu negara pantai tidak tergantung pada pendudukan (okupasi) baik eftktif maup'.rn tidak. Dasar pertimbangan utama putusan ICJ yaitu effictives occupation principle. Menurut ICI, conventional title atau treaty based title (penentuan hak atas pedanjian) oleh Indonesia maupun chain of title theory dasar (penentuan atas dasar pewarisan hak) oleh Malaysia sama lemahnya, karena tidak terdapat bukti-bukti hukum yang dapat mendukung klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pulau sengketa tersebut.a TNI Bernard Kent Sondakh, "Peran TM Angkatan Laut Dalam Pengamanan RI" Diskusi FH Univ. Indonesi4 Jakarta 5 Februari 2003 Hlm. 5-7. o ICJ luga berpendapat tidak ada bukti dokumen authentik yang dapat meyakinkan bahwa ' Laksamana dan Pemberdayaan Pulau Terluar kedua pulau sengketa termasuk kedua bagian dari wilayah kekuasaan Belanda atau Inggris. Karena itu, ICJ tidak melihat alternatif lain kecuali menguji doktrin effectives sebagai suatu fakra hukum yang .l Prinsip okupasi merupakan warisan dari konsep hukum Romawi, Kalau kita kaji penggunaan ffictives occupation dalam putusan ICJ, occupation atau pendudukan itu sendiri adalah pendudukan terhadap terra nullius (wilayah yang tidak bertuan atau tidak berada di bawah kekuasaan suatu negara) yang mengandung dua unsur pokok, yaitu penemuan (discovery) dan pengawasan yang efektif (administration). Berdasarkan gambaran padalatar belakang diatas, menarik untuk di kaji baik secara teoritik maupun praktek-praktek internasional yang berkaitan dengan penggunilan occupation principle terutama pada putusan ICJ dalam kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. B. Perumusan Masalah Di dalam penelitian ini, fokus utama yang akan diangkat adalah berkaitan dengan effectives ocupation principle khususnya bagi Indonesia dalam kaitannya dengan sengketa-sengketa wilayah Indonesia, maka perumusan masalahnya adalah sebagaiberikut 1. , Bagaimana perkembangan teori hukum internasional mengenai penyelesaian sengketa wilayah negara berkaitan dengan penambahan wilayah negara sebagaimana yang terkandung dalam Putusan ICJ pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligrtan antara Indonesia dan Malasyia, terutama berkaitan dengan penerapan 2. ffi ct iv e occupat ion pr inc ip I e? Mengapa secara teoritik, Indonesia kalah pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan? 3. Upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan oleh Indonesia untuk dapat menyelesaikan sengketa-sengketa wilayahnya yalg ada di masa yang akan datang? berdiri sendiri. Lebih lanjut /icjwrvw/idecisions. htm. lihat mengenai Decisions ICJ dapat diakses pada http: www.icj-cij.org 't principle, faktor-faktor yang secara teoritik mengakibatkan kekalahan lndonesia dalam kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, dan upaya antisipatif penyelesaian sengketa wilayah arrtara Indonesia dan negara-negara tetangga. i. Lokasi Penelitian penelitian ini akan dilakukan pada 2 (dua) lokasi, yaitu D.K.I Jakarta dan Kota Palembang. Berdasarkan atas pertimbangan relevansinya dengan tujuan penelitian, maka penarikan sample dilakukan secara Purposive Sampling, sehingga sampel dalam penelitian ini adalah: a. b. c. d. e. f 4. DepartemenLuarNegeri R[; DepartemenDalamNegeriRl; Badan koordinasi Strategi Pertahanan Nasional (Bakorsfianas); Badan koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal); Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) di Palembang; dan kmbaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian a. ini meliputi: Data Sekunder Dalam penelitian ini data sekunder merupakan data pokok. Data sekunder tersebut diperoleh dengan cara menelusuri bahan-bahan hukum secara meliputi: 1) Bahan hukum primer, diantaranYa 1. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982; 2. Statuta ICJ, Konvensi- konvensi dan Treaties. 3. UU No. 4lPrpll960 tentang Perairan Indonesia; 4. UU No. 711985 Ratifikasi UNCLOS 1982; 5. UU No. 611996 tentang Perairan Indonesia; teliti yang I 6. Konsideran Putusan ICJ pada Kasus Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malasyia. 2) Bohan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti : hasil-hasil penelitian, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro, dokumen pribadi atau pendapat da/, kalangan pakar hukum termasuk dalam bahan hukum sekunder 3) ini sepanjang relevan dengan objek kajian penelitian.s Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, dan jurnal ilmiah.6 Surat kabar, majalah mingguan juga menjadi bahan bagi penelitian majalah mingguan itu ini sepanjang surat kabar dan memuat informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian ini. b. Data Primer Adapun data primer atau data dasar dalam penelitian ini diperlukan untuk memberi pemahaman secara jelas, lengkap, dan komprehensif terhadap, data sekunder. 5. Metode TL Pengumpulan Data Data Sekunder Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (Library Research) atau studi dokumentasi. Penelitian kepustakaan dilakukan unfirk mendapatkan teori- teori hukum atau dottrin hukum, asas-asas hukum dan pemikiran konseptual serta penelitian pendahulu yang berkaitan dengan objek kajian penelitian ini yang dapat berupa Konvensi-Konvensi Internasional, Treaties, peraturan perundang-undangan, literatur dan karya tulis ilmiah lainnya. tRonny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakartq 1982,14m.24. uPeriksa Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Radjawali Press, Jakarta, 1990, Hlm. l4-15. .! b. Data Pimer Data primer diperoleh melalui penelitian lapangan (Field Research). Penelitian lapangan yang dilakukan merupakan upaya memperoleh data primer berupa dokumen-dokumen dan keterangan atau informasi dari responden. 6. Metode Pengolahan dan Analisis Data Datayangdiperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, selanjutnya akan dilakukan proses Editing atau pengeditan data. Hal ini dilakukan agar akurasi data dapat diperiksa dan kesalahan dapat diperbaiki dengan cara menjajaki kembali ke sumber datanya. Setelah pengeditan data selesai dilakukan, maka proses selanjutnya adalah pengolahan data yang akan dilakukan dengan cara Coding.atau pemberian kode-kode tertentu, kemudian data dikelompokkan atau diklasifikasikan sesuai dengan kelompok atau unit analisis yang telah ditetapkan. Setelah pengolahan data selesai dilakukan, selanjutnya akan dilakukan analisis data secara Destcriptif-Analitis-Kualitatif, dan khusus terhadap data dalam bpntuk konvensi-konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan nasional serta Putusan ICJ pada Kasus Sengketa Pulau Sipadan-LigStan antara Indonesia dan Malasyia dilalrukan kajian isi (Content Anatysis), untuk kemudian diambit suatu kesimpulan sehingga pokok permasalahan yang diteliti dan dikaji dalam penelitian ini dapat tedawab. ! l0 BAB tr PEMBAHASAN A. Sengketa Pulau Sipadan Dan Pulau Ligitan Dua pulau yang berada di dekat pulau besar Kalimantan itu sebenarnya merupakan dua pulau kecil yang tidak berpenghuni. Pentingnya dua pulau ini sehingga dipersengketakan adalah dikarenakan kedua pulau ini bisa dijadikan titik untuk menentukan lebar laut wilayah, landas kontinen dan zona ekonomi ekslusif karenanya kepentingan ekonomi sangat dominan dalam sengketa pulau ini disamping mempertahankan keutuhan wilayah. 7 Secara geograpis kedua pulau ini terletak di laut Celebes. Ligitan merupakan pulau yang sangat kecil dengan koordinat 4" }g'lintang utara dan 118o 53' lintang selatan. Pulau ini terletak pada 21 mil laut dari Tanjung Tutop, di Semporna Peninsula, dekat pulau Kalimantarg secara permanen tidak dihuni. Sedangkan Sipadan, walaupun lebih besar dari Ligitan, luasnya sekitar,0. 13 km3, dengan koordinat 4o 06' lintang utara dan 118" 37' lintang selatan. Sekitar 15 mil laut dari Tanjung Tutop dan 42 mil laut dari pantai timur Pulau Sebatik. Pulau ini terletak pada 600-700 m permukaan laut. Pada dasarnya pulau ini seperti juga Ligitan, tidak dihuni sampai tahun 1980-an yang kemudian menjadikan daerah ini sebagai tempat pariwisata. Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan arrtara Indonesia dan Malaysia muncul ketika kedua negara melakukan perundingan pembahasan landas kontinen pada tahun 1969. Perselisihan muncul dari perbedaan penafsiran atas perjanjian 1891 yang dibuat oleh Inggris dan Belanda untuk membagi Kalimantan (Borneo). Untuk selanjutnya sengketa ini dicoba untuk diselesaikan di tingkat pemerintahan kedua negara selama bertahun-tahun, namun mengalami kegagalan. ' Hikmahanto Juwana, "Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan", Diskusi FH Univ. Indonesia, Jakarta 5 Februari 2003 Hlm. l. \ 1t Upaya diplomatis mulai drjajagr oleh kedua negara pada tahun 1988 atau hampir sepuluh tahun setelah pihak Malaysia diketahui menerbitkan peta yang memasukan kedua pulau itu sebagai bagian dari wilayahnya (197\.8 Isu status kepemilikan tersebut mulai dibicarakan dalam pertemuan tingkat tinggi antara Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahatir Mohammad di Joryakarta, Juni 1988. Upaya mencari penyelesaian sengketa secara politis dilakukan dengan berbagai serangkaian perundingan yang dilakukan secara bertahap. Perundingan dilakukan, baik pada tingkat pejabat teknis (Joint Working Group on Sipadan and Ligitan/JWG), pejabat senior (Senior Offcial Meeting), hingga forum pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri (Joint Commission Meeting). Pada September 1994, kedua Kepala Pemerintahan bahkan melakukan terobosan dengan cara menunjuk wakil pribadi masing-masing untuk mencari penyelesaian masalah ini. Untuk keperluan tersebut, wakil khusus (special representative) yang ditunjuk masing-masing, Mensesneg Moerdiono dan Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim, mengadakan 4 pertemuan, yakni di Jakarta padz tanggal 17 Juli 1995 dan 26 September 2005 serta di Kualalumpur tanggal 22 September 1995 dan 21 Juni 1996. dalam serangfuian negosiasi tersebut, kedua negara tidak menyentuh opsi penyelesaian secara politis, misalnya dengan membagi dua pulau sengketa atau pengelolaan kedua pulau itu secara bersama-sama. Yang dilakukan oleh kedua negara adalah bertukar argumentasi hukum dimana baik Indonesia maupun Malaysia berupaya mematahkan argumentasi hukum yarug diajukan masing-masing. Untuk memperkuat dalil hukum yang diajukannyq kedua negara kemudian menyampaikan dokumen-dokumen dan bukti- bukti yang diasumsikan dapat mendulcung klaimnya masing-masing. Upaya ini dilakukan dengan pertimbangan masing-masing memiliki dasar hukum yang lebih kuat untuk mendukung klaimnya. Opsi penyelesaian dengan cara pengelolaan secara bersama-sama juga sulit dilakukan karena kedua negara lebih menekankan pada * N. Hasan Wirajuda . "Kasus Sipadan-Ligitan: Masalah Pengisian Konsep Negarq Proses Ligitan" Diskusi FH Univ. Indonesia, Jakarta 5 Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Februari 2003 Hlm. 8 I keinginan untuk memperolah kejelasan mengenai status kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Sedangkan upaya penyelesaian melalui mekanisme ASEAN, Malaysia memperlihatkan keengganannya dengan alasan forum dikhawatirkan tidak dapat bersikap netral karena Malaysia memiliki sengketa kewilayahan yang serupa dengan Singapura (Pulau Batu Puteh) dan Philipina (Sabah). Selain itu, aturan pelaksanaan High Council ASEAN yang merupakan bagian dari Treaty Amity & Cooperation 1976 baru berlaku pada bulan Juli 2001. Upaya penyelesaian secara hukum akhirnya direkomendasikan wakil khusus pada tahun 1996 setelah mencermati kesulitan mendapatkan solusi politis yang dapat disepakati kedua negara. Pertimbangannya antara lain mengingat bahwa klaim kepemilikan kedua pulau itu merupakan masalah hukum dan bahwa isu tersebut sangat sensitif dalam hubungan kedua negara. Oleh karenanya disarankan perlunya jalur hukum yaitu melalui Mahkamah InternasionaU Internotional Court of Justice (ICJ). Pada tahun 1997 kedua pemerintahan akhirnya sepakat atas Special Agreement for the Submission to the ICJ the Dispute Between Indonesia ond Malaysia Concerning the Sovereignty Over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan untuk menyerahkan peneptuan kedua wilayah ini ke International Court ofJusticellCJ. Dasar utama klaim kedaulatan Indonesia atas Pulau Sipadan dan Ligitan adalah treaty based tittle atau conventional tittte terutama pada penafsiran atas Pasal IV Konvensi 1891 yang menrmuskan; "From 4" l0' north latitude on the east coast the boundary-line shall be continued eastward along that parallel, across the Island of Sebittik: that portion of the island situated ta the north of that parallel shall belong unreservedly to the British North Borneo Company, and the portion south of that parallel to the Netherlands.'D ' Lebih jelas dapat /imma isummaries doc.htm. diakses pada http ://wlvw-.icj-cij.org/icjwww/idocket/iimmasummaries -t 13 Garis 4" 10' ini memberikan petunjuk tentang batas kepemilikan Belanda dan Inggris di sebelah selatan dan utara garis 4" l0' tersebut adalah memotong Pulau Sebatik dan terus menjulur ke laut di arah sebelah timur pulau tersebut. Pada oral proceedings-nya, Indonesia menyampaikan argumen alternatif bahwa apabila ICJ menolak hak atas dasar Konvensi 1891, maka dasar lainnya adalah bahwa Indonesia merupakan negara successor dari Kesultanan Bulungan, dikarenakan sebelumnya Raja inilah yang memiliki kewenangan atas pulau-pulau tersebut yang kemudian diserahkan ke Belanda. 10 Sedangkan Malaysia mengklaim kedaulatan atas kedua pulau tersebut atas dasar pewarisan hak (chain of tittte theory), dimana pulau-pulau tersebut didapatkan Malaysia dengan mendasarkan transfer kepemilikan melalui dua cara yaitu penyerahan wilayah dengan jalur Sultan Sulu ke Spanyol ke Amerika Serikat ke Inggris ke Malaysia. Kedua yaitu melalui tindakan privat akibat leasing.dengan alur British Nrtrth Borneo Company (BNBC)-Sultan Sulu ke Spanyol ke Amerika Serikat ke Dent-Overbeck (BNBC) ke Inggris ke Malaysia. Selain itu Malaysia juga mengajukan argumen alternatifrrya dengan mendasarkan pada fakta-fakta a{anya pengelolaan yang damai dan berkesinambungan (continuous peaceful possession) yang dilakukan oleh Inggris dan juga Malaysia terhadap pulau tersebut.rr Sengketa kedua pulau ini mulai diperiksa oleh ICJ pada bulan November 1998, didasarkan pada special agreement antara Indonesia dan Malaysia yang ditandatangani di Kualalumpur pada tanggal 14 3l Mei 1997 danmengikat padatanggal mei 1998. Dalam memutuskan sengketa ini terdapat 15 orang hakim ICJ yaitu; Gilbert Guillaume berkewarganegaraan Perancis sebagai ketua, Jiuyong Shi berkewarganegaraat China sebagai wakil ketua. Sedangkan hakim anggota adalah Shigeru Oda berkewargafiegaraan Jepang, Raymond Ranjeva berkewarganegaraan Madagaskar, Geza Herezegh berkewarganegaruan Jerman, Abdul r0 " G. Koroma Lebihjelas dapat diakses pada http://www.icj-cij.org/icjwwwTigenralinformation.htm Ibid "! t4 berkewarganegaraat Sierra Leone, Vladen S. Vereshchetin berkewarganegaraan Russia, Rosalyn Higins berkewarganegaraafi Inggris, Gonzalo Parra-Aranguren berkewarganegaraan Venezuela, Pieter H. Kooijmans berkewarganegaran Belanda, Fransisco Rezek berkewarganegaraan Brazil, Awn Shawkat Al-Khasanwneh berkewarganegaraan Yordania, Thomas Buergenthal berkewarganegaraan Amerika Serikat, Nabil Elaraby berkewargane garaorn Mesir. Masing-masing negara kemudian menunjuk hakim ad-hoc. Indonesia memilih Mr. Mohamed Shahabuddeen Gregory Weeramantry. dan Malaysia menunjuk Mr. Namun setelah pengunduran Christopher diri Mr. Shahabuddeen, Indonesia menunjuk Mr. Thomas Franck untuk menggantikannya. Secara garis besar proses pengajuan sengketa ini ke ICJ adalah sebagai berikutr2: L 1998/35 2. 1998t31 ll 3. t999l4A 16 September 4. 2000114 5. 20a0/33 6. 200u0'l 7. 2001/13 2 November 1998 Indonesii and Malasyia jointly bring dispute over islands to the International Court of Justice November 1998 Fixing of the time limits for the filling of written pleadings I The Court extends the time limit for the filing of a counter-memorial by each of the parties 1,2May 2004 New extension of the time limit for the filing of a counter-memorial by each of the parties 20 October 2000 Fixing of the time limits for the filling of a Reply by each of the Parties 15 March 2001 The Philippines requests permission to intervene in the proceedings 22May 2001 Application for the permission to intervene bv the Phillinnines- the " Secara keseluruhan proses ini dapat diakses pada ICJ Press Releases http://w-rvw.icjcij.org/icjwwdigenralinformation.htm tanggal akses 25 Api.l 2004 15 intervene by the Phillippines- the Court will hold public hearings from 25 to 29 june 2001 8. z00y18 9. 2A0tD6 29 lune2A0l Conclusion of the public hearings on the application for permission to intervene by the Phillippines- the Court ready to consider its iudgement 19 October 2001 Application for the permission to intervene by the Phillippines- the Court to deliver its judgement on Tuesday 23 October 2001 at 3 p.m. 23 October 2001 Summary of the judgement 0f 23 October 2001 10. 200ll2&bis 11 2001128 t2 2002109 13March2002 The Court will hold public hearings from 3 to 12 June 2002 13 2002114 23May 2402 Schedule of public hearings to be, held from 3 to 12 June 2002 t4 2002n6 12 15 2002136 t6 2002139bis 17. 2002t39 23 October 2001 The Court finds that the Application of the Phillippines for permission to intervene cannot be granted Jwe2A02 Conclusion of the public hearings Court re,ady to consider its iudgement 28 November 2002 Court to deliver its judgement on Tuesday 17 December 2002 at 10 a.m 20 December 2002 Summary of the judgement of 17 December 2002 17 December 2002 The Court finds that sovereignty over the islands of Ligitan and Sipadan belongs to Malasyia. Untuk menyimpulkan suatu putusan atas sengketa ini, ICJ menggunakan tiga pertanyaan pokok yaitu: -! t6 1. Apakah Indonesia berhak atas kedua pulau tersebut berdasarkan perjanjian yang dibuat antara Belanda dan Inggris pada tahun l89l sebagaimana yang diargumentasikan oleh pihak Indonesia? Apakah Malaysia berhak atas kedua pulau tersebut berdasarkan pewarisan hak (chain of tittle)sebagaimana diargumentasikan oleh pihak Malaysia? 3. Apakah penjajah Indonesia dan Malaysia (Belanda dan Inggris) sebagaimana diargumentasikan oleh kedua belah pihak yang bertikai telah menunjukan keberadaannya sebagai pemilik pulau tersebut sebagaimana yang diterminologikan dalam bahas Perancis effect iv ites' ? pada saat diperiksa, tanggal13 Maret 2001 berdasarkan Pasal 62 Statuta ICJ, Filipina mengajukan intervensi didasarkan pada pengklaimannya atas Sabah sebagai bagian dari wilayah Filipina. Dalam sengketa ini, - Sabah digunakan oleh Malaysia sebagai sandaran wilayah dalam mengklaim kedua pulau yang disengketakan. Namun intervensi Filipina ini kemudian ditolak oleh ICJ dalam putusannya padatanggal23 Oktober 2001.13 , pada pokok pertanyaan pertama mengenai apakah Indonesia berhak atas kedua pulau tersebut berdasarkan perjanjian yang dibuat antata Belanda dan Inggris pada tahun 1891 sebagaimana yang diargumentasikan oleh pihak Indonesia, ICJ berpendapat bahwa penafsiran kata-kata dalam Pasal l89l IV dan penafsiran perjanjian ke dalam bentuk peta, tidak bisa dijadikan dasar pemberian kedaulatan. Berikut summory of the judgement of 17 December 2002 berkaitan dengan interpretation of the 1891 Convention oleh ICJ; The court notes that Indonesia is not a party to the Vienna Convention 23 May 1969 on the Law of Treaties; the Court would nevertheless recall thot, in accordance witlt customary international law, reflected in Articles 3I and 32 of that Convention: 13 Pertimbangan iseff alinformation. htm penolakan ini dapat diakses pada http://www.icj-cij.or8/icjw*-/ 17 "a treaQl must be interpreted in good faith in accordance with the ordinary meaning to be given to its terms in their context and in the light of its object and purpose. Interpretation must be based above all upon the text of the treaty. As a supplementary meosure recourse may be had to meons of interpretation such as the preparatory work of the treaty and the circumstances of its conclusion." It further recalls that, with respect to Article 31, paragraph 3, it has had occasion to state that this provision also reflects customary law, stipulating that there shall be taken into occount, together with the context, the subsequent conduct of the porties to the treaty, i.e., "ony subsequent agreement" (subpara. fu)) and "any subsequent practice" (subpara. &)) ...'o Sedangkan summary of the judgement of 17 December 2002 yang berkaitan dengan text of Article IV of the l89l Convention,ICJ merumuskan; ... With respect to the terms of Article IV, Indonesia maintains thst this Article contains nothing to suggest that the line stops at the east coast of Sebatik Island. According to Malaysia, the plain and ordinary meaning of the words "across the Island of Sebrttik" is to describe, "in English and in Dutch, a line that crosses Sebatikfrom the west coast to the east coast and goes nofurther". The Court notes that the Parties dffir as to how the preposition' "across" (in the English) or "over" (in the Dutch) in thefirst sentence of Article IV of the I89l Convention should be interpreted. It acknowledges that the word is not devoid of ambiguity and is capable of bearing either of the meanings given to it by the Parties. A line established by treaty may indeed pass "across" an island and terminate on the shores of such island or continue beyond it. The Parties also disagree on the interpretation of the part of the same sentence which reads "the boundary-line shall be continued eastward along that parallel [4" I|'northJ". In the Court's view, the phrase "shall be continued" is also not devoid of ambiguity. Article I of the Convention defines the starting point of the boundary between the two States, whilst Articles II and III describe how that boundary continues from one port to the next. Therefore, when Article IV provides that "the boundaryJine shall be continued" again from the east coast of Borneo along the 4" l0'N parallel and across the island of Sebatik, this does ra http://w'ww icj-cij.org/icjwwdidocket/iimmasummaries/imma isummaries-doc.htm. .t 19 Having examined the other maps produced by the Porties, the Court finds that, in sum, with the exception of the map annexed to the the cartographic material submitted by the Parties is inconclusive in respect of the interpretation of Article IV of the 1 89 I Convention.... lgl5 Agreement (see above), Kesimpulan lainnya dari ICJ berkaitan dengan hak yang didasarkan atas pewarisan (Title by succession) yang diargumentasikan oleh Indonesia bahwa Indonesia merupakan pihak successor dari Belanda, yang mendapatkan hak tersebut melalui kontrak antara Belanda dan Sultan Bulungan sebagai original title-holder, adalah sebagai berikut; ...The Court observes that it hos already dealt with the various controcts of vassalage concluded between the Netherlands and the Sultan of Bulungan when it considered the 1891 Convention. It recalls that in the 1878 Contract the island possessions of the Sultan were described as ,,Terekkan [TarokanJ, Nanoekan [NanukanJ and Sebittikh [SebatikJ, with the islets belonging thereto". As amended in 1893, this list refers to the three islands and surrotmding islets in similar terms while taking into account the division of Sebatik on the basis of the l89l Convention. The Court further recalls thot it stated above that the words "the islets belonging thereto" can only be interpreted as referring to the small islands lying in the immediate vicinity of the three islands which are mentioned by name, and not to islands which are located at a distance of more than 40 nauticol miles. The Court therefore connot accept Indonesio's contention that it inherited title to the disputed islands from the Netherlands through these contracts, which stated that the Sultanate in the contracts formed port of the of Bulungan as described 7 Netherlands Indies-..1 Pada pokok pertanyaan kedua tentang apakah Malaysia berhak atas kedua pulau tersebut berdasarkan pewarisan hak (choin of tittle) sebagaimana diargumentasikan oleh pihak Malaysia, alasan, jawaban dan kesimpulan ICJ, adalah sebagai berikut; t' Ibid ! 2t Protocol. The Court observes, however, that it cannot be disputed, that the Sultan of Sulu relinquished the sovereign rights over all ltis possessions in favour of Spain, thus losing any title he may have had over islands located beyond the 3-marine-league limit from the coast of North Borneo. The Court, therefore, is of the opinion that Spain was the only State which could have laid claim to Ligitan and Sipadan by virtue of the relevant instruments but that there is no evidence that it actually did so. It further observes that at the time neither Great Britain, on behalf of the State of North Borneo, nor the Netherlands explicitly or implicitly laid claim to Ligitan and Sipadan. The next link in the chain of transfers of title is the Treaty of 7 November 1900 between the United States and Spain, by whiclt Spain "relinquish[edJ to the United States all tttle and claim of title . . . to any and all islands belonging to the Philippine Archipelago" which had not been covered by the Treaty of Peace of l0 December 1898. The Court first notes that, although it is undisputed that Ligitan and Sipadan were not within the scope of the 1898 Treaty of Peace, the 1900 Treaty does not specifu islonds, apart from Cagayan Sulu and Sibutu and their dependencies, that Spain ceded to the {Jnited States. Spain nevertheless relinquished by that Treaty any claim it may have had to Ligitan and Sipadan or other islands beyond the 3-marineJeaguti limit from the coast of North Borneo. Subsequent events show that the United States itself wos uncertoin to which islands it had acquired title under the 1900 Treaty. A temporary atongement between Great Britain and the ' United States was made in 1907 by an Exchange of Notes. This Exchange of Notes, which did not involve a transfer of territorial sovereignty, provided for a continuation of the administration by the BNBC of the islands situated more than 3 marine leaguesfrom the coast of North Borneo but left unresolved the issae to which of the parties these islands belonged. This temporary arrangement lasted until 2 January 1930, when a Convention was concluded between Great Britain and the United States in which a line wos drawn separating the islands belonging to the Philippine Archipelago on the one hand and the islands belonging to the State of North Borneo on the other hand. Article III of that Corwention stated that all islands to the south and west of the line should belong to the State of North Borneo. From a point well to the north-east of Ligilan and Sipadan, the line extended to the north and to the east. The Convention did not mention any island by name apart from the Turtle and Mangsee Islands, which were declared to be under United States sovereignty. By concluding the 1930 Convention, the United States relinquished any claim it might have had to Ligitan and Sipadan and to the neighbouring islands. But the Court cannot conclude eitherfrom the I 22 of Notes or from the l9j0 Convention or from any document emanating from the United States Administration in the intervening period that the United States did claim sovereignty over these islands. It can, therefore, not be said with any degree of certainty 1907 Exchonge that by the l9i0 Convention the United States transferred title to Ligitan and Sipadan to Great Britain, as Malaysia asserts. On the other hand, the Court cannot let go unnoticed that Great Britain was of the opinion that as a result of the 1930 Convention it acquired, on behalf of the BNBC, title to all the islands beyond the 3-marineJeague zone which had been administered by the Company, with the exception of the Turtle and the Mangsee Islands. To none of the islands lying beyond the 3marineJeague zone had it ever before laid aformal claim. Whether such title in the case of Ligitan and Sipodan and the neighbouring islands was indeed acquired as a result of the 1930 Convention is less relevant than the fact that Great Britain's position on the effect of this Conventionwas not contested by any other Stote. The State of North Borneo was transformed into a colorry in 1946. Subsequently, by virtue of Article IV of the Agreement of 9 July 1963, the Government of the United Kingdom agreed to take -"such steps as [might| be appropriate and ovailable to them to secure the enactment by the Parliament of the United Kingdom of an Act providing for the relinquishment. . . of Her Britannic Majesty's sovereignty and jurisdiction in respect of North Borneo, Sarawak and Singapore" in favour of Malaysio. In 1969 Indonesia challenged Malaysia's title to Ligitan and Sipadan and claimed to have title to the two islands on the basis of the I89I Convention. In view of the foregoing, the Court concludes that it connot accept Malaysio's contention that there is an uninterrupted series of transfers of title from the alleged original title-holder, the Sultan of Sulu, to Malaysia as the present one. It has not been established with certainty that Ligitan and Sipadan belonged to the possessions of the Sultan of Sulu nor that any of the olleged subsequent title-holders hod a treatybased title to these two islands. The Court con therefore not find that Malaysia hos inherited a treaty-based title from its predecessor, the (Inited Kingdom of Great Britain and Northern lreland.ls Pada pokok pertanyaan kedua ini, sebagaimana pada pokok pertanyaan pertama, ICJ menyatakan bahwa klaim chain of tittle theory dari Malaysia sama lemahnya dengan klaim conventional tittle oleh Indonesia, dikarenakan tidak dapat T lbid -t 23 dibuktikan di depan ICJ bukti-bukti hukum yang mendukung klaim tersebut. Selain itu ICJ menyatakan bahwa tidak ada bukti dokumen authentik yang dapat meyakinkan bahwa kedua pulau tersebut diwarisi Malaysia dari negara-negara terdahulunya. Pada pokok pertanyaan yang ketiga tentang apakah penjajah Indonesia dan Malaysia (Belanda dan Inggris) sebagaimana diargumentasikan oleh kedua belah pihak yang bertikai telah menunjukan keberadaannya sebagai pemilik pulau tersebut sebagaimana yang diterminologlkan dalam bahas Perancis effectivites, ICJ menyimpulkan bahwa Malaysia memiliki sejumlah dokumen yang menunjukan adanya adrninistrasi berkesinambungan yang dilakukan pemerintah kolonial Inggns terhadap kedua pulau sengketa. Tindakan pengelolaan Inggris dibuktikan dengan beragam pelaksanaan baik itu administratif, legislatif dan quasi yudisial yang diperlihatkan dengan fakta pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917, penyelesaian kasus-kasus sengketa pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan pada tahun Sipadan sebagai cagar burung (bird 1930-an, penetapan Pulau sanctuaries) dan pembangunan , serta pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 dtPulau Sipadan dan tahun 1963 di Pulau Ligitan. Secara lengkap ICJ menyimpulkan; ...The Court observes that both Parties claim that the effectivitis on which they rely merely confirm a treaty-based title. On an alternative basis, Malaysia claims that it acquired title to Ligrtan and Sipadan by virtue of continuous peaceful possession and administration, without objectionfrom Indonesia or its predecessors in title. The Court indicates that, having found that neither of the Parties has a will consider these treaty-based title to Ligitan and sipadan, ffictivitds as an independent and separate issue. notes that, in support of its arguments relating to effectivitds, Indonesia citbs patrols in the area by vessels of the Dutch Royol Navy, activities of the Indonesian Nayy, as well as activities of Indonesian fishermen. It notes furthe,r that, in regard to its Act No. 4 concerning Indonesian Waters, promulgated on 18 February 1960, in which its it It -! 24 archipelagic baselines ore defined, Indonesia recognizes that it did not at thot time include Ligitan or Sipadan as base points for the purpose of drawing baselines and defining its archipelagic waters and territorial sea, olthough it argues that this cannot be interpreted as demonstrating that Indonesia regarded the islands os not belonging to its territory. As regards its effectivitds on the islands of Ligitan and Sipadan, Maloysia mentions control over the taking of turtles and the collection of turtle eggs, allegedly the most important economie activity on Sipadan for many years- Malaysia also relies on the establishment in 1933 of a bird sanctuary on Sipadan. Maloysia further points out that the British North Borneo colonial authorities constructed lighthouses on Ligitan and Sipadan Islands in the early 1960s and that these exist to this day and are maintained by the Malaysion authorities. The Court first recalls the statement by the Permanent Court of International Justice in the Legal Status of Eastern Greenland (Denmark v. Norw ay) case : "a cloim to sovereignty based not upon some particular sct or title such os a treaty of cession but merely upon continued display of authority, 'involves two elements each of which must be shown to exist: the intention and will to act as sovereign, and some actual exercise or display of such authority. Another circumstonce which must be taken into account by any tribunol which has to adjudicate upon a claim to sovereignty over a particular territory, is the extent to which the sovereignty is also claimed by some other Power." The Permanent Court continued: "It is impossible to read the records of the decisions in cases as to territorial sovereignty without observing that in mony coses the tribunal has been satisfied with very little in the way of the actual exercise of sovereign rights, provided that the other State could not make out o superior cloim. This is particularly true in the case of claims to sovereignty over oreos in thinly populated or unsettled countries." (P.C.I.J., Series A/8, No. 53, pp. 45-46.) The Court points out that in particular in the case of very small islands which are uninhabited or not permanently inhabited -- like Ligitan and Sipadan, which have been of little economic importance (at least until recently) - ffictivitds will indeed generally be scarce. The Court further observes that it cannot take into consideration octs having taken place after the date on which the dispute between the Parties crystallized unless such acts are a normal continuation of prior acts and are not undertaken for the purpose of improving the legal position of the Party which relies on them. The Court therefore, primarily, analyses the effectivitds which date from the period before ' -! 25 1969, the year in which the Parties asserted conflicting cloims to and Sipadan. Ligitan The Court finally observes that it can only consider those acts as constituting a relevant dtsplay of authority which leave no doubt as to their specific reference to the islands in dispute as such. Regulations or odministrative acts of a general nature can therefore be taken as effectivitds with regard to Ligitan and Sipadan only if it is cleor from their terms or their effects that they pertained to these two islands. Turning then to the effictivitds relied on by Indonesia, the Court begins by pointing out that none of them is of a legislative or regulatory character. It finds, moreover, that it connot ignore the fact that Indonesian Act No. 4 of I February 1960, which draws Indonesia's archipelagic baselines, and its accompanying map do not mention or indicote Ligitan and Sipadan as relevant base points or turning points. With regard to a continuous presence of the Dutch and Indonesian navies in the woters around Ligitan and Sipadan, as cited by Indonesia, it cannot, in the opinion of the Court, be deduced either from the report of the commanding fficer of the Dutch destroyer Lyra -- which patrolled the area in I92l - or from any other document presented by Indonesia in connection with Dutch or Indonesian naval surveillance and patrol activities that the naval authorities concerned considered Ligitan and Sipadan and the surrounding waters to be under the sovereignty of the Netherlands or Indonesia. The Court finally observes that activities by private persons such as Indonesian fishermen, cannot be seen as effectivitds f they do not take place on the basis of fficial regulations or under governmental authority. The Court concludes that the activities relied upon by Indonesia do not constitute acts d titre de souverain reflecting the intention andwill to oct in that capacity. With regard to the effectivitds relied upon by Malaysia, the Court first observes thot pursuant to the 1930 Corwention, the United States relinquished any claim it might have had to Ligitan and Sipadan and thot no other State asserted its sovereignty over those islands at that time or objected to their continued administration by the State of North Borneo. The Court further observes that those activities which took place before the conclusion of that Canvention connot be seen as acts "d titre de sowerain", os Greot Britain did not ot that time claim sovereignty on behnlf of the State of North Borneo over the islands beyond the 3-marineJeague limit. Since it, however, took the position tlrut the BNBC was entitled to administer the islands, a position which after 1907 was formally recognized by the United States, these ctdministrative activities cannot be ignored either. 26 Both the meosures taken to regulate and control the collecting of turtle eggs ond the establishment of a bird reserve, as cited by Malaysia as evidence of such effective administration over the islands, must, in the view of the Court, be seen as regulatory and administrative assertions of authority over territory which is specified by name. The Court observes that the construction and operation of lighthouses and navigational aids are not normally considered manifestations of State authority. It recalls, however, that in its Judgment in the case concerning Maritime Delimitation and Territorial Questions between Qatar and Bohrain (Qatar v. Bahrain) it stated as follows: "Certain types of activities invoked by Bahrain such as the drilling of artesian wells would, taken by themselves, be considered controversial as octs performed d titre de sotnerain. The construction of navigational aids, on the other hand, can be legally relevant in the case ofvery small islonds. In the present case, taking into aceount the size of Qit'at Jaradah, the activities carried out by Bahrain on that island must be considered sfficient to support Bahrain's claim thot it has sovereignty over it." (Judgment, Merits,I.C.J. Reports 2001, para. 197.) The Court is of the view that the sqme considerations apply in the present case. The Court notes that the activities relied upon by Malaysia, both in its own twme and os successor State of Great Britain, are modest in number but that they are diverse in character and include legislative, administrative and quasi-judicial acts. They cover a considerable period ' of time and show a pattern revealing an intention to exercise State functions in respect of the two islands in the context of the administration of awider range of islands. The Court moreover cannot disregard the fact that at the time when these activities were catied out, neither Indonesia nor its predecessor, the Netherlonds, ever expressed its disagreement or protest. In this regard, the Court notes that in 1962 and 1963 the Indonesian authorities did not even remind the authorities of the colony of North Borneo, or Malaysia after its independenee, thot the construction of the lighthouses at those times had taken place on teruitory which they considered Indonesian; even f they regarded these lighthouses as merely destined for safe navigation in an orea which was of particular importonce for navigation in the woters off North Borneo, such behaviour is unusuol. Given the circumstances of the case, and in particular in view of the evidence furnished by the Parties, the Court concludes that Malaysia has title to Ligitan and Sipadan on the basis of the effectivitds referred to above.le re http://www.icj-cij.org/icjwwdidocket/iimmasumrnaries/irnma isummaries doc.htm \ 27 Pada pokok pertanyaan ketiga inilah, ICJ akhirnya memutuskan untuk memberikan hak kedaulatan kepada Malaysia. Inggris sebagai penjajah Malaysia lebih melakukan effetivities daripada Belanda sebagai penjajah lndonesia maupun Indonesia setelah kemerdekaawtya. ICJ menegaskan bahwa fakta-fakta yang diajukan Malaysi4 walaupun sedikit namun bervariatif yang membuktikan adanyapengelolaan secara damai dan berlanjut Inggns atas kedua pulau tersebut yang melingkupi suatu periode waktu yang memadai dan dinilai memperlihatkan suatu keinginan untuk melaksanakan fungsi- fungsi negara berkaitan dengan kedua pulau dalam rangka pengelolaan yang lebih luas atau dengan kata lain menunjukan pelaksanaan yang nyata dari itikad dan kemauan untuk menegakan sifat perbuatan yang didalamnya melekat dasar dari kedaulatan negara. Putusan kasus Eastern Greenland antara Denmark v. Norwegia yang menentukan dua kriteria penting untuk menunjukan adanya effetivrties yaitu (1) (will) untuk bertindak sebagai negara ,pada pelaksanaan yang (2) wilayah disengketakan; adanya tindakan nyata atau kehendak (intention) dan kemauan kewenangan negara (actual exercise or display of such authority) serta pertimbangan ada atau tidaknya klaim yang lebih tinggt (superior claim) dari pihak lawan dalam sengfueta, dijadikan acuan oleh ICJ dalam memutuskan sengketa tersebut. Menurut ICJ, kriteria pertama dibuktikan dengan adanya peraturan Inggns mengenai ketentuan tentang cagfi burung dan ketentuan tentang pengambilan telur penyu, sementara ICJ menilai Indonesia tidak memiliki klaim yang lebih tinggi bahkan dalam peta yang dilampirkan pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1960 yang menentukan laut teritorial Indonesia, kedua pulau tersebut tidak diatur. Kriteria kedua menurut ICJ dibuktikan dengan adanya mercusuar di Pulau Sipadan tahun 1962 dan pembangunan di Pulau Ligitan tahun 1963 yang dilakukan Inggns, sedangkan Indonesia atas pembangunan ini tidak melakukan protes sama sekali. \ 29 Perbatasan adalah bagran dari suatu wilayah negara yang unik dibandingkan dengan wilayah lainnya. Menurut Stephen B. Jones,2r perbatasan adalah lebih dari sekedar garis-garis (lines) pada suatu peta, karena sesungguhnya perbatasan berkaitan dengan wilayah-wilayah (regions), dengan demikian perbatasan selain menampilkan sebuah kondisi multi dimensi, yakni wilayah perbatasan yang tidak hanya berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat yang berdiam di dalamnya tetapi juga aspek fisik wilayah itu sendiri, yakni wilayah yang berupa permukaan bumi, wilayah dibawah permukaan bumi, dan wilayah ruang angkasa. Sesuai dengan kewajiban hukum internasional dan Pasal 33 ayat I Piagam PBB, sengketa yang te{adi antar negara hendaknya diselesaikan secara damai. Dalam hal ini terdapat beberapa carayangdapat dilakukan oleh para pihak yang bersengketa yaitu melalui penyelesaian secara politis dan penyelesaian secara yuridis. Para pihak yang bersengketa diberikan kebebasan untuk memilih penyelesaian secara damai termasuk juga penggunaan good ffices yang mensyaratkan peranan minimal pihak ketiga. Penyelesaian secara politis dapat dilakukan secara bilateral ataupun negosiasi langsung para pihak atau dengan melibatkan pihak ketiga yang netral berupa enquiry, mediasi atau konsiliasi. Sedangkan secara yuridis dapat dilakukan dengan lembaga yudisial yang bersifat ad-hoc yaitu arbitrasi atau lembaga yang permanen berupa Mahkamah Internasional (International Court of Just ice/ICJ)). Mahkamah Internasional merupakan satu-satunya organ umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyelesaikan sengketa dengan cara penyelesaian yudisial yang menggantikan dan melanjutkan kontinuitas Permanent Court of I nter nat i onal J us t ice.22 2r Stephen B. Jones dalam Muchlis Hamdi, "Pengelolaan Wayah Perbatasan" Majalah Berita Misi 02iTh l/ Desember 2002/Jaruori 2aB,Diterbitkan oleh Depdagn RI Jakarta. 22 Pengukuhan kedudukannya dilaksanakan pada tanggal 18 April 1946, dan pada tanggal itu juga Permanent Court of International Justice dibubarkan oleh Majelis Liga Bangsa-Bangsa pada Perbatasqn waktu sidang terakhirnya. Mahkamah Internasional dibentuk berdasarkan Bab Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirumuskan di IV (Pasal 92-96) San Fransisko pada tahun 1945. Pasal92 Piagam menyatakan bahwa Mahkamah adalah organ utama Perserikatan Bangsa-Bangsa dan menentukan bahwa Mahkamah akan bekerja menurut suatu Statuta, yang merupakan bagian integral -! 30 Secara prosedural, penyelesaian sengketa melalui ICJ harus didahului dengan kesepakatan negara yang bersengketa sebagaimana diatur dalam Art. 36 ayat (1) Statuta ICJ yang merumuskan: jurisdiction of the court comprises all coses which the parties refer to it and all matters specially provided for in the Charter of the United Nations or in treoties and conventions inforce. The Didasarkan pada Pasal di atas juga, ICJ memiliki yurisdiksi terhadap semua masalah yang disampaikan oleh negara, dan semua hal yang tercantum dalam Piagam PBB atau peianjian serta konvensi yang berlaku namun berbeda dengan penyelesaian secara politis, karakteristik utama dari penyelesaian hukum adalah kekuatan hukum atau sifat memaksa dari putusan ICJ. Dalam Pasal 94 Piagam PBB mengindikasikan keterlibatan Dewan Keamanan PBB untuk memaksakan pelaksanaan putusan jika salah satu dari para pihak itu menghindari kewajiban yang diputuskan ICJ. Dalam menyelesaikan kasus-kasus yang diajukan kepada ICJ, Art" 38 ayat I Statuta ICJ merumuskan bahan-bahan yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengadili perkara, berupa: , The court, whose function is to decide in accordance with international low such disputes as are submitted to it shall apply: o. international convention, wheter general or particular establishing rules expressly recognized by contracting state; b. international custom, as evidence of a generol practice accepted as low; c. the general principles of law recognized by civilized nations; d. subject to the provision of article 59, judicial decissions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various notions, as subsidiary meansfor the determinotion of rules of law. Penggunaan asas-asas umum (General principles of law), dianggap merupakan statu non liquet, yaitu mengatasi persoalan ketidakmampuan ICJ untuk memutuskan suatu perkara menurut hukum karena tidak mampu menemukan kaidah- dari Piagam. Lihat. J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Cet. Ke 2.1989. Hlm 652. ,1. Aksara Persada Indonesia Jakarta -t 31 kaidah hukum yang dapat digunakan untuk perkara tersebut, ketentuan ini dipandang juga sebagai tidak mengadakan kaidah baru, melainkan hanya menyatakan (declaratory)apa yang sudah lama ada sebagai praktek Mahkamah Internasional.23 Secara umum dan secara tradisional terdapat lima cara untuk mendapatkan kedaulatan teritorial, yaitu; pendudukan (occupation), aneksasi (anexation), akresi (occretion), sesi (sess ion) danpreskripsi Qtrescription). Menurut J. G. Starke'o carucara ini sejajar dengan cara-carahukum sipil untuk mendapatkan kepemilikan pribadi .dan cara-cara ini pada hakikatnya turun menjadi suatu pertunjukan kontrol dan wewenang yang efektif oleh negara yang mengklaim kedaulatan atau oleh suatu negara darimana negara mengklaim kedaulatan itu dapat membuktikan bahwa hak itu telah diambil. Secara singkat kelima cara tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut; 1. Aneksasi (annexation), yaitu metode penambahan wilayah negara dengan - kekerasan atau dipaksakan dengan dua bentuk keadaan, yaitu: cara a. Apabila wilayah yang dianeksasi telah ditundukkan oleh negara yang menganeksasi tanpa adanyapengumuman kehendak; b. Apabila wilayah yang dianeksasi dalam kedudukan yang benar-benar berada di bawah negara yang menganeksasi pada waktu diumumkannya kehendak aneksasi oleh negara tersebut. 2. Akresi (accretion), yaitu metode penambahan wilayah negara, dimana hak yang didapatkan melalui penambahan wilayah yang terjadi apabila ada wilayah baru yang ditambahkan, terutama dikarenakan oleh sebab-sebab alamiah, yang mungkin timbul karena pergerakan sungai atau lainnya (misalnya tumpukan pasir karena tiupan angrn) terhadap wilayah yang telah ada yang berada di bawah kedaulatan negara yang memperoleh hak tersebut. " Ibid. Hlm. 3l-32. lihat juga Muchtar Kusumaatmadja, Pengantor Hukum Internasional., Bina Cipta Bandung, 1978. Hlm. 107-108. 'o J. G. Starke, Op.cit. Hlm. 144 -! 32 3. Sesi (cession), yaitu metode penambahan wilayah negara dikarenakan adanya penyerahan oleh pihak lain baik secara sukarela maupun secara paksa melalui peperangan. 4. Preskripsi Qtrescription), yaitu metode yang dihasilkan dari pelaksanaan kedaulatan secara damai untuk jangka waktu yang sangat lama atas wilayah yang sebenamya tunduk pada kedaulatan negara lain, dan karena jangka waktu tersebut telah menghilangkan kesan adanya kedaulatan oleh negara terdahulu. 5. Okupasi (occupation), yaitu penegakan kedaulatan atas wilayah yang bukan dibawah wewenang negara lain entah yang baru ditemukan atau ditinggalkan oleh negara yang sebelumnya menguasainya.2s Pendudukan dan aneksasi didasarkan pada suatu tindakan penahanan efektif terhadap wilayah, sementara akresi dapat dimaknakan sebagai suatu tarnbahan kepada suatu wilayah dimana telah ada kedaulatan. Preskripsi tergantung pada pelaksanaan kedaulatan secara sinambung dan secara damai atas suatu wilayah dalam jangka waktu yang panjang, sementara penyerahan atau sesi mengandaikan bahwa negara yang menyerahkan itu mempunyai kekuasaan untuk memberikan wilayah yang diserahkan itu. Selain kelima cara ini terdapat satu lagi cara untuk memperoleh kedaulatan territorial wilayah yaitu melalui keputusan oleh suatu konferensi negara-negara- Cara ini umumnya terjadi dimana suatu konferensi negara-negara yang menang pada akhir suafu perang menyerahkan wilayah kepada suatu negara, mengingat suafu penyelesaian perdamaian umurn2 misalnya pembagian kembali wilayah Eropa dalam konferensi perdamaian Versailles 191 9. Menurut definisinya, okupasi dapat diartikan sebagai penegakan kedaulatan atas wilayah yang bukan di bawah penguasaan 2'J. G. Starkg lbid.Iilm.145-152. negara manapun, baik wilayah yang -! JJ baru ditemukan ataupun wilayah yang ditinggalkan oleh negara yang semula menguasainya. Secara klasik, pokok permasalahan dari suatu okupasi adalah adanya suatu tena nullier. Wilayah yang didiami oleh suku-suku bangsa atau rakyat-rakyat yang memiliki organisasi sosial dan politik tidak dapat dikatakan termasuk dalam suatu kwalifikasi terra nullius. Jika suatu wilayah daratan didiami oleh suku-suku atau rakyat yang terorganisir, maka kedaulatan wilayah itu harus diperoleh dengan membuat perjanjian-perjanjian lokal dengan pemimpin-pemimpin atau wakil-wakil suku atau bangsa itu. Dalam menentukan apakah selalu terjadi atau tidak suatu pendudukan sesuai dengan hukum internasional. Sebagian terbesar ditentukan dengan prinsip keefektifan. Dalam Eastern Greenland Case26, Permanent Court of International Justice menetapkan bahwa okupasi agar dapattedaksana secara efektil mensyaratkan adanya dua unsur di pihak negara yang melakukan, yaitu: 1. suatu maksud atau keinginan untuk bertindak sebagai pihak yang berkuasa; 2. pelaksanaan atau penunjukan kedaulatan secara memadai. , Unsur kehendak merupakan kesimpulan dari semua fakta, meskipun terkadang kehendak tersebut dapat secara formal ditegaskan dalam pengumuman resmi kepada negara-negara lain yang berkepentingan" dalam hal ini harus terbukti adanya suatu maksud untuk tetap terus memegang kontrol atas wilayah tersebut. Suatu okupasi yang bersifat sementara waktu oleh negara yang dianggap melakukan 'u ...'a claim to sovereignty based not upon some particvlar qct or title such as a treaty of cession but merely upon contimrcd display of authority, involves twa elements each of which must be shwwt to efist: the intention and will to act as swereign, and some actual exercise or display of such authority.Another circumstqnce which must be taken into account by any tribunal which has to adjudicate upon a claim to sovereignly over d pffiicalar territory, is lhe extent to which the sovereignly is also claimed by some other Power...h is impossible to read the records of the decisions thot in mcmy cases the triburul hos been in cases as to territoriql sovereignty without satisfied with very little in the way of the acnal exercise of sovereign rights, provided that the other State could not malce out a superior cloim. This is particularly true in the case of claims to sovereignly over qreqs in thinly poprlated or unsettled camtries. " Iebih jelas lihat Decisions yang dapat diakses pada: hup://www.icj-cij. org/icjwwwfidecisions.htm \ 35 Dalam beberapa kasus tertentu diperlukan penentuan keluasan wilayah yang tercakup oleh tindakan okupasi. Dalam sejarah hukum internasional kita menemukan banyak teori yang berkaitan dengan okupasi, namun terdapat dua teori yang dianggap penting yaitu: 1. Teori Kontinuitas (continuity), teoi ini menganggap tindakan okupasi di suatu wilayah tertentu memperluas kedaulatan negara yang melakukan okupasi sejauh diperlukan untuk menjamin keamanan atau pengembangan alam wilayah terkait. 2. teori Kontiguitas (contiguty), teori ini menganggap kedaulatan negara yang melakukan okupasi tersebut mencakup wilayah-wilayah yang berbatasan yang secara geograpis berhubungan dengan wilayah terkait. Teori ini berkaitan erat dengan klaim beberapa negara tertentu di daerah kutub. Klaim tersebut di dasarkan atas prinsip sektor dimana beberapa negara yang wilayahnya berbatasan dengan kutub telah menyatakan suatu hak kedaulatanterhadap tanah atau laut membeku di dalam suatu seklor yang di batasi oleh garis pantai wilayah ini dan oleh garis-garis bujur yang berpotongan di kutub utara atau kutub selatan. Klaim-klaim seperti ini telah dikemukakan baik di Arctic oleh Rusia dan Kanada khususnya maupun di Antartika oleh Argentina, Australia, Inggris, Chile, Perancis, New Zealand dan Norwegia. Dasar pembenaran utama untuk klaim-klaim seklor tersebut adalah tidak dapat diterapkannya prinsipprinsip normal asumsi fisik kontrol yang tersirat dalam hukum internasional mengenai okupasi terhadap wilayah-wilayah kutub, yang tidak dapat dimasuki, dengan kondisi-kondisi iklim dan kurangnya pemukiman. Sekftor-sektor ini sendiri sesuai dengan pembagian yang adil dan pantas. Dilain pihak, kiranya tidak dapat di sangkal bahwa klaim-klaim sektor tersebut sebenarnya hanyalah sekedar pengumuman mengenai kehendak di masa yang akan datang untuk memegang kontrol sepenuhnya, sesuatu yang hampir sama dengan keinginan untuk menunjukam lingkungan pengaruh atau lingkungan kepentingan dalam hubungan internasional. Yang utama adalah bahwa negara-negara seklor tersebut harus berusaha memperkuat -t 36 hak administrasi, aktivitas negara yang secara tradisional digunakan oleh negaranegara yang berkehendak mendapatkan hak melalui okupasi. Kritik lain atas klaim- klaim sektor secara tegas dan tepat ditujukan pada sifat tidak tetapnya garis-garis sektor, terhadap fakta bahwa garis ini merentang menyeberangi wilayah-wilayah laut bebas yang luas.27 Selain dari kasus diatas berikut ini adalah kasus Pulau Miangas (Las Palmas) antara Belanda melawan Amerika Serikat tahun 1928, yang memberikan penjelasan lebih lanjut tentang effective occupation. Akibat perang Spanyol-Amerika, Spanyol berdasarkan perjanjian Paris 1898 menyerahkan Filipina kepada Amerika Serikat (AS). Pada tahun lg}6,pejabat negara AS mengunjungi pulau Miangas, terletak kira-kira 50 mil di sebelah tenggara Semenanjung San Agustin di atas pulau Mindanao dengan panjang 2 mil dan lebar I mil dan ia yakin bahwa pulau tersebut merupakan wilayah yang diserahkan kepada AS. Tetapi ternyata di pulau tersebut terdapat bendera negara Belanda. Setalah gagalnya perundingan arfiara Belanda dan AS, mereka sepakat mengajukan persoalan ini ke badan arbitrase yang dipimpin oleh Max Hubefs. , Dalam memutuskan kasus ini, beberapa aspek penting diantaranya adalah; jika timbul sengketa yang menyangkut kedaulatan atas sejumlah wilayah maka sudah merupakan kebiasaan untuk menelaah negara-negara mana saja yang mengklaim kedaulatan tersebut, yang memiliki alas hak yang sah yang lebih tinggi (baik itu melalui penyeraban/cession, penaklukan, maupun okupasi) atas negara-negara lainnya yang juga mengajukan klaim yang sama. Meskipun demikian, jika persetenran di dasarkan pada kenyataan bahwa pihak lainnya juga telah mengumumkan kedaulatan, maka hal itu tidak cukup untuk membenttrk alas hak, karena harus ditunjukan pula bahwa kedaulatan atas wilayah 2' Adilaya Yusu{ "Penerapan Prinsip Pendudukan Makalah dalam Diskusi FH Univ. Indonesia. 2003. Hlm 6 Efektif Dalam Perolehan Wilayah" 28 Putusan, pertimbangan dan proses kasus ini dapat diakses pada http://www.icj- cij. org/icjumu/igenralinformation. htm 37 tersebut juga telah berlangsung dan tetap adapada saat putusan untuk perselisihan itu ditetapkan. Alas hak dari penyerahan kedaulatan wailayah dalan hukum internasional juga berdasarkan atas tindakan effective occupation, dengan mengasumsikan bahwa negara yang menerima memiliki kemampuan untuk mengatur secara efektif wilayah yang diserahkan tersebut. Dalam carayang sama, penambahan wilayah secara alami dapat dianggap sebagai suatu penambahan atas bagian wilayah yang telah ada kedaulatan yang sesungguhnya. Oleh karena itu merupakan hal yang wajar apabila untuk mewujudkan kedaulatan dibutuhkan suatu tindakan yag terus menerus dan juga dilakukan secara damai. Perkembangan hukum internasional yang marak pada abad ke-18 menuntut bahwa okupasi yang seharusnya efektif akan dianggap sebagai suatu tindakan okupasi yang tidak efektif, jika efektifitas tersebut hanya dibutuhkan pada saat tindakan pengambilaliha4 namun tidak pada saat pemeliharaan daerah tersebut Perwujudan dari kedaulatan wilayah mengasumsikan bentuk-bentuk yang berbeda berdasarkan kondisi waktu dan tempat. Meskipun secara prinsipil kedaulatan tersebut dilakukan secara terus menerus, pada kenyataannya kedaulatan tidak dapat dilaksanakan pada setiap saat di setiap titik wilayah yang bersangkutan. Alas hak yang diajukan AS sebagai dasar klaim adalah penyerahan, sebagaimana termuat dalam perjanjian Paris 1889 tentang pengakhiran perang antara spanyol dan AS. Dalam perjanjian tersebut penyerahan dari spanyol ke AS memberikan seluruh hak kedaulatanyangdimiliki oleh Spanyol terdahulu, termasuk pulau Palmas atau Miangas. Oleh karena itu AS mendasarkan klaimnya sebagai successor dari Spanyol. Kedua belah pihak mengakui bahwa hukum internasional mengalami perubahan mendasar pada abad ke-19, berkaitan dengan hak-hak penemuan dan akuisisi dari daerah yang tidak didiami atau daerah yang didiami oleh orang-orang dari suku terbelakang. Kedua pihak juga menyetujui bahwa fakta yuridis harus 38 disesuaikan dengan hukum yang lebih modern, dan bukan hukum yang berlaku pada saat perselisihan teresbut mencuat untuk diselesaikan. Belanda mendasarkan klaim kedaulatannya pada alas hak pelaksanaan kewenangan negara yang damai dan secara terus menerus. Hal ini berlaku sebagai bukti kedaulatan dalam hukum internasional. Dalam penilaian Arbitor, Belanda telah berhasil dalam mewujudkan fakta sebagai berikut: b. Pulau Miangas identik dengan pulau yang memiliki nama yang sama atau serupa, yang telah ditemukan sejak tahun 1700. salah satu bagian dari pulau tersebut bernama Sangi (kepulauan Tau Latse). c. wilayah ini sejak tahun 1677 tervs berhubungan dengan East Indian Company dalam hal ini dengan Belanda, melalui perjanjian yang dibuat berdasarkan kekuasan raja. d. Undang-undang yang menunjukan adanya karakteristik otoritas negara yang dilaksanakan baik oleh wilayah yang diperintah maupun negara penguasa berkaitan dengan pulau Palmas, telah ditetapkan antara periode tahun 1700-,1898, begitu juga periode 1898-1906. Tindakan yang mengatur baik secara langsung maupun tidak langsung pelaksanaan kedaulatan Belanda di Pulau Palmas, khusunya di abad ke-18 dan ke-19 tidaklah banyak. Banyak pertentangan yang harus dipertimbangkan dalam bukti pelaksanaan kedaulatan secara terus menerus. Namun harus pula dipertimbangkan bahwa pelaksanaan kedautatan terhadap putau yang kecil dan terpencil, yang dihuni hanya suku-suku asli, bukanlah suatu yang mudah untuk terlaksana secara terus menems dalam waktu yang sangat lama. Untuk membuktikan pihak mana saja yang menganggap dirinya telah memiliki kedaulatan di atas Pulau Miangas tersebut, cukuplah dengan ditunjukannya kedaulatan pada tahun 1898, dan yang telah ada secara terus menerus dan damai sebelum waktu tersebut dengan jangka waktu yang cukup lama. \ 39 Tidak adanya konflik antara Spanyol dan Belanda menyangkut Pulau Miangas selama lebih dari dua abad, merupakan bukti tidak langsung dari dilaksanakannya kedaulatan ekslusif oleh pemerintah Belanda.Dalam penilaian arbitor, tidak ada lags bukti lain yang menunjukan pelaksanaan kedaulatan lebih dari yang ditampilkan oleh Belanda, baik itu oleh Spanyol maupun oleh negara lain. Suatu tindakan okupasi lebih sering didahului oleh tindakan penemuan di dalam tahap awalnya. Tindakan penemuan semata-mata tidak cukup dijadikan dasar untuk memberikan hak secara okupasi. Hak kepemilikan yang tidak lengkap itu hendaknya diperkuat dengan otoritas nyata yang berlangsung terus menerus dan damai. Dalam kasus ini perselisihan hak antara Amerika Serikat, yang mengajukan klaim atas dasar pengganti Spanyol yang mengklaim telah menemukan pulau tersebut dan Belanda yang menurut bukti sejarah yang diajukan kehadapan arbitrasi telah cukup lama diakui telah melaksanakan kedaulatannya atas pulau tersebut. Arbitrator akhirnya memutuskan menyerahkan pulau tersebut kepada Belanda, dan dalam pertimbangan putusannya terutama menekankan fakta bahwa pelaksanaan kekuasaan efektif yang terus menerus dalam waktu lama dapat memberikan hak menurut hukum internasional. Dalam sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, ICJ memutuskan perkara ini dengan berdasarkan pada aktivitas okupasi secara efektif yang dilakukan para pihak. ICJ memutuskan Malaysia sebagai pihak yang berhak atas kedua pulau tersebut karena ICJ menganggap Malaysia telah dapat menunjukan pelaksanaan okupasi secara efektif terhadap kedua pulau itu. Hal ini dibuktikan Malaysia dengan membuktikan adanya Peraturan pengurusan penyu dan pengumpulan telur penyu yang telah dilakukan Inggris sejak tahun l9l4 dan merupakan kegiatan ekonomi paling penting disana. Kemudian dibuktikan juga dengan adanya pembentukan usaha cagar burung pada tahun 1933 serta pembangunan mercusuar Authorities di kedua oleh British North Borneo Colonial (BNBC) pulau tersebut pada tahun 1960-an yang masih dan terus '! 40 dipelihara oleh otoritas Malaysia. Selain itu dikuatkan juga dengan adanya peraturan perundang-undanga Pemerintah Malaysia mengenai pariwisata di Sipadan serta sejak tanggal 25 September 1997 dinyatakan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan daerah yang dilindungi di bawah Malaysia' protected areas. Dalam hal okupasi secara efektif ini, ICJ pertama mengamati bahwa sesuai dengan Konvensi tahun 193A, AS melepaskan klaim bahwa AS memiliki kedaulatan atas kedua pulau tersebut dan tidak ada flegara lain yang mengemukakan kedaulatannya di atas kedua pulau tersebut pada saat itu, atau merasa keberatan dengan pemerintahan yang berkelanjutan oleh State of North Borneo. ICJ mengamati juga bahwa akrivitas-aktivitas yang tedadi sebelum dibuatnya Konvensi tidak dapat dianggap sebagai tindakan "a titre de sotnerain",karena Inggts pada saat ifu tidak mengajukan klaim kedaulatan atas nama State of North Borneo atas pulau-pulau diluar batas 3 marine-league. Karena ICJ beranggapan bahwa BNBC mempunyai hak untuk memerintah kedua pulau tersebut, posisi yang setelah tahun 1907 secara formal diakui AS, maka kegiatan-kegaiatanadministratif ini tidak dapat diabaikan. Sebagai buhi administratif efektif terhadap kedua pulau it, Malaysia menyatakan bahwa ukuran yang diambil olen Otoritas North Borneo untuk mengatur dan mengendalikan tindakan pengumpulan telur penyu di Sipadan dan Ligitan merupakan sebuah aktivitas ekonomi yangnyatadi daerah tersebut pada saat itu. Hal ini merujuk pada Turtle Preservation Ardinance l9l7 yang bertujuan untuk membatasi penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu dalam wilayah State of North Borneo atau perairan wilayahnya. ICJ mencatat bahwa ordonansi dibuat dalam kaitan sistem pemberian lisensi dan untuk menciptakan notive reserves untuk pengrrmpulan telur penyu dan Sipadan terdaftar diantara pulau-pulau yang termasuk dalam native reserves tersebut. Malaysia membuktikan dokumen yang menunjukan Ordonansi Pelestarian Penyu l9l7 berlaku setidaknya sampai tahun 1950. dalam hal ini, Malaysia menyatakan bahwa izin yang dikeluarkan pada tanggal 28 April lg54 oleh Pejabat Distrik Tawau memperkenankan penangkapan penyu yang dengan bagian 2 dan ordonansi sesuai tersebut yang meliputi wilayah yang didalamnya \ 4t pulau-pulau Sipadan, Ligitan, Kapalat,Mabul, Dinawan dan Siamil. Kemudian dibuktikan juga oleh Malaysia bahwa otoritas administratif sebelum dan sesudah tahun 1930 dengan beberapa kasusnya berhasil menyelesaikan sengketa pengumpulan telur penyu di Sipadan. Malaysia merujuk fakta bahwa pada tahun 1933, Sipadan dinyatakan sebagai suatu reserve bagr tujuan penangkaran burung berdasarkan bagian 28 dari Ordonansi Tanah 1930. Menurut ICJ baik ukuran yang diarnbil untuk mengatur dan mengendalikan pengumpulan telur penyu dan usaha penangkaran burung harus dilihat sebagai pernyataan tegas tentang pengaturan dan pernyataan administatif dari otoritas terhadap wilayah tersebut. Ditambahkan oleh ICJ mengenai pembangunan mercusuar bahwa pembangunan dan pengoperasian mercusuar dan banfuan navigasi pada umumnya tidak berdasarkan perwujudan otoritas negara, namun ICJ mengingatkan kembali bahwa dalam putusannya pada kasus yang menyangkut maritime delimitation and territorial question between Qatar and Bahrain, yangdinyatakan: Jenis-jenis kegiatan tertentu yang ditimbulkan oleh bahrain seperti mengebor sumur artesian dianggap kontroversial sebagai tindakan yang dilaksanakan a titre de souveraln. Pembangunan alat bantu pelayaran di pihak laiq secara hukum relevan dalam kasus pulau-pulau kecil. Dalam kasus sekarang ini, dengan memperhitungkan Qit'at Jaradah. Kegiatan yang dilaksanakan oleh Bahrai terhadap pulau tersebut harus dianggap cukup untuk mendukung klaim Bahrain bahwa Bahrain memiliki kedaulatan atas wilayah tersebut.2e Pertimbangan ICJ pada kasus Qatar v Bahrain tersebut kemudian dipertimbangkan yang sama pada kasus Sipadan dan Ligitan. Dalam klaim Indonesia untuk menunjukan otoritasnya pada kedua pulau itu ICJ mempertimbangkan bahwa laporan dari Komandan kapal patroli Belanda Lynk ataupun dokumen yang berkaitan dengan patroli laut Indonesia dan Belanda di kedua pulau itu tidak cukup membuktikan otoritas atas kedua pulau itu. Ditambahkan oleh 2e Judgements, Merits, ICJ Reports 2001 para 197. kutipan ini dapat diakses http://www.icj-cij.org /icjwwdidocket/iimmasummaries/imma isummaries doc.htm pada \ 43 In porticulor, Article IV of the l89I Convention, in establishing the 4" l0'line to allocate territory beyond Borneo's east coast ond "ocross the Island of Sebittik" should hwe been preswned to extend so far as necessary to allocate the two islands - which clearly lie south of the line -- and thereby to resolve any future source of disputation It ought to hsve been presumed that a treaty intended to resolve all outstanding issues in the area could not have intended to leave the disposition of Ligitan and Sipadan up to turtle egg collection and piraqt patrolling. Indeed there is ample evidence to validate this logical, if rebuttable but unrebutted, presumption. The Dutch Government's map accompanying the Explanotory Memorandum by which the ratification of the l89l Convention was urged upon the States-General shows the 4" l0'line extending out to sea eastward of Sebatik. This map was well lcnown to the British Government, which had been alerted to it by its Minister in The Hague. There was no objectionfrom London. In more recent times, Indonesian and Malaysian oil exploration concessions were also careful to respect the extension of this line well east of Sebatik. These facts duly support the inference that the 4" 10'line was not intended to end on the eost coast of Sebatilc Moreover, the legal preswnption -- recognized in this Court's jurisprudence -- that treaties establishing borders, boundaries and lines of allocation between Stotes are intended to ffict closure has an important role to play in establishing the legal rdgime that underpins world peace. Such treaties should be interpreted broadly, not narrowly as f they were contracts for the sale of barley. In this light, the 4o l0'line in the 1891 Convention should hove been recognized as dispositive in this dispute.3o ' Hakim Franck menyesalkan sikap ICJ yang tidak berani untuk meninggalkan pendekatan konvensionalnya dalam upaya menafsirkan Pasal IV Konvensi 1891 yang menjadi sumber persengketaan. Dalam dissenting opinion-nya ia menyatakan bahwa mengingat arti pentingnya peqanjian perbatasan untuk menghindari konflik maka ia harus ditafsirkan secara luas yakni dengan menggunakan sejenis pembuktian terbalik Qresumption). Walaupun berbeda dengan hakim lainnya namun dalam persoalan sengketa wilayah dan persoalan penambahan wilayah negar4 apa yang disampaikan oleh '0 Annex to Press Release 2002/39bis \ 44 Hakim Ad-Hoc Thomas J. Franck ini patut diperhitungkan mengingat dewasa ini hukum internasional banyak berdasarkan pada konvensi ataupun pe{ anj ian-perjanj ian internasional atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perjanjian (internationol eonvention) merupakan sumber hukum intemasional yang utama, walaupun ia bukanlah merupakan sumber hukum internasional satu-satunya. C. Tinjauan Teoritis Atas Kekalahan Indonesia Sebagaimana yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, didasarkan pada kewajiban hukum internasional negara-negara yang bersengketa hendaknya menyelesaikan permasalahan diantara mereka secara damai, baik itu secara politis maupun secara yuridis. Secara teoritis penyelesaian sengketa secara politis dan yuridis dengan melibatkan pihak ketiga mempunyai esensi berbeda, meski keduanya sama menekankan keterlibatan pihak ketiga yang netral untuk menengahi persengketaan yang muncul. Karakleristik yang membedakan keduanya ini terletak pada sifat mengikat dari putusan atau yang dihasilkannya dimana solusi politis,lebih bersifat rekomendasi, sementara putusan hakim memiliki kekuatan hukum bagi implementasinya. Dalam kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, Putusan ICJ hendaknya tidak dapat ditafsirkan sebagai suatu kegagalan diplomasi mengingat penyelesaian damai melalui ICJ sepenuhnya merupakan suatu proses hukum yang fair, transparan dan berwibawa. Putusan ICJ telah didasarkan atas "term of reference" yang disepakati dan diminta oleh kedua pihak, yakni berdasarkan pertimbangan perjanjian tertulis (treaty agreement) atau praktek kenegaraan. Sebaliknya kesepakatan kedua negara untuk membawa penyelesaian klaim kepemilikan atas wailayah kedaulatan secara damai melalui proses adjudikasi justru selayaknya ditafsirkan sebagai suatu preseden baik bagi kedua negara dan bahkan bagi kawasan karena keputusan politik tersebut setidaknya telah berhasil mengisolir 1 45 isu kedaulatan yang sensitif, yang apabila tidak ditangani secara bijaksana, sangat potensial menimbulkan konflik bersenjata dan mengganggu kestabilan kawasan.3l Menurut Pemerintah R[ terdapat kesalapahaman mengenai kasus ini, yaitu tentang kekalahan Indonesia atas putusan ICJ adalah kekalahan diplomasi dan kesalapahaman yang menyatakan bahwa dengan putusan ini maka wilayah Indonesia berkurang. lvlenurutN. Hasan Wirajuda, Menteri LuarNegeri RI; ...persoalan utama yang terkait adalah kecenderungan menyamaratakan makna proses penyelesaian secara hukum dengan diplomatis. Kesan ini mengemuka dengan mencermati tanggapan yang berkembang luas yang menafsirkan bahwa putusan mahkamah internasional dalam Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai kekalahan dan kegagalan diplomasi. Kesalahpahaman ini berkembang, bahwa Indonesia berkurang wilayahnya akibat putusan Mahkamah yang memberikan kedua pulau tersebut kepada Malaysia. Hal ini mencerminkan pencampur adukan status kepemilikan atas suatu daratan/pulau yang menjadi sengketa (soveregnity) dengan masalah residual yang berkaitan dengan delimitasi batas maritim yang sesungguhnya berkaitan dengan kepentingan negaru pantai guna perlindungan dan pemanfaatan sumber daya hayatai dan non-hayati di dalam batas-batas wilayah maritimnya (sovereign right)..." Keputusan ICJ tidak dapat dipungkiri merupakan suatu keputusan yang bersifatfinal dan binding, yang merupakan alternatif terbaik dari alternatif yang ada dalam penyelesaian sengketa wilayah antar negara. Namun disisi lain perlu dicatat bahwa terdapat beberapa celah bagi Indonesia dalam kasus ini yang hendaknya dapat dijadikan pelajaran untuk tidak mengulangi persoalan yang sama. Baik Indonesia maupun Malaysia dalam proses penyelesaian sengketa di ICJ ini mendasarkan klaim mereka atas argumentasi hukum yang sama, yaitu suksesi kepemilikan yang diwarisi dari penjajah mereka sebelumnya. Dalam Putusan ICJ poin yang paling telak dan menjadi dasar putusan adalah persoalan ada-tidaknya effectives. Indonesia tidak mempunyai bukti tentang adanya 3r " N. Hasan Wirajuda. Op.cit. Hlm. 5 N. Hasan Wirajuda.lDrd Hlm. 10 \ 46 arsip atau data baik berupa peraturan dan tindakan nyata Belanda di kedua pulau itu. Bahkan ketika kasus ini muncul pada tahun 1969,fakta menunjukan bahwa Undangundang No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia tidak memasukan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dalam wilayah NKR[.33 Kesan yang memperlihatkan Indonesia tidak secara sungguh-sungguh atau dalam terminologi teori tidak memperlihatkan intention danwill terhadap persoalan ini adalah dengan tidak adanya protes Indonesia atas pembangunan mercusuar oleh Inggris pada tahun 1962 di Pulau Sipadan dan tahun 1963 di Pulau Ligitan. Bahkan Indonesia baru mengetahui jika Malaysia telah menerbitkan sebuah peta yang memasukan kedua pulau tersebut pada tahun 1979 dimanapada waktu itu disepakati kedua pulau itu distatus-quokan. Bahkan lebih jauh jika dibandingkan dengan Malaysia, mereka telah membuat Peraturan perundangan mengenai pariwisata di Sipadan dan"sejak tanggal 25 September 1997 malahan Sipadan dan Ligitan menjadi daerah yang dilindungi dibawah Malaysia'protected areas. Kesepakatan status-quo pada tahun 1979 arttara Indonesia dan Malaysia pada wakfu itu tidak mengurangi tindakan Malaysia atas kedua pulau yang dikategorikan kemudian oleh ICJ sebagai intention dan will, kesepakatan status quo kasus sayangnya Indonesia setlah itu malah memperlihatkan kesan ketidakpedulian sampai ini dibawah ke ICJ. Selain itu, secara hukum internasional dan praktek yang dilaksanakan di ICJ berkaitan dengan sengketa wilayah, putusan atas sengketa wilayah umumnya selalu didasarkan atas okupasi yang efektif Hal ini, menurut N. Hasan Wirajuda sebagai suatu pengalaman yang berulang (de javu), paling tidak pada tahun 1928 berkaitan dengan kasus Pulau Miangas (Las Palmas) dimana dalam kasus ini arbitrator tunggal, Max Huber, memutuskan kepemilikan Belanda atas pulau tersebut. Pengawasan efektif Belanda, yang merupakan pembuktian yang sah 33 atas Hal inilah yang dijadikan dasar bagi pemerintah dengan menyatakan bahwa Putusan ICJ itu bukan berarti wilayah Indonesia berkurang ataupun kedua pulau tersebut lepas dari wilayah RI, melainkan perjuangan hukum Indonesia untuk menambah wilayahnya ternyata tidak memperoleh sandaran hukum yang kuat. \ 47 kepemilikannya, diwujudkan dengan pemeliharaan mercusuar dan kunjungan secara berkala dalam rangka pencatatan penduduk. Hal lainnya yang hendaknya juga menjadi perhatian adalah identifikasi pulau-pulau yang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu penyebab kegagalan kita dalam sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan adalah tidak dimasukannya kedua pulau itu dalam peraturan yang ada di Indonesia. Berbicara tentang identifikasi pulau-pulau yang ada, baik mengenai kepastian jumlah maupun nama pulau-pulau itu, di dalam negeri pun masih terjadi perdebatan. Di dasarkan data resmi pemerintah yang ada, menurut Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno, pada saat sekarang terdapat 17. 508 pulau sedangkan jumlah pulau yang telah terinventarisir sejumlah 7. 353 pulau yang bemama dan 10. 155 pulau yang belum bernamayang tersebar di seluruh NK2.34 Namun menurut keterangan Jacub Rais35, Mantan Ketua Bakorsurtanal1984- lgg4,jumlah pulau 17. 508 itu perlu dipertanyakan kembali, karena angka saat ini dengan laporan Gubernur, Bupati/lValikota baru mencatat 7. 307 nama pulau,saja. Menurut dugaannya sebagian besar dari angka 17.508 ifu adalah unsur-unsur bawah laut karena menghitung dengan memakai peta navigasi pelayaran dan memang dengan peta tersebut dibuat dengan acturn terendatr, pada saat air surut, demi keselamatan pelayaran. Resolusi PBB (ECOSOC) No. 4 tahun 1967 di Geneva mengatur bahwa tiap negara anggota PBB harus membenfuk suatu "Notional Names Authority" (Otoritas Nama-nama Geograpis) dengan nama dan bentuk apapun juga, di AS dinamakan US Board of Geographical Names dibentuk dengan Utl, di Kanada dinamakan Canadian Permanent Committee onGeographical Names, demikian juga di Australia, hanya di Indonesia yang belum mempunyai otoritas semacam itu yang 'oHari Sabarno, Op.cit- Hlm. 35 7 Jacub Raiq "Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan", Majalah Berita Perbatason Desember 2002/Jarruari 2003,Diterbitkan oleh Depdagri RI Jakarta. Misi 02/Th Ii \ 48 sebenarnya kita mempunyai pulau yang terbanyak dan laut terluas dengan selat, teluk dan tanjung yang begitu banyak belum bernama, serta kaya akan nama generik unsur-unsur geografi dalam bahasa etnik/lokal.36 Hal ini diperlukan untuk mendukung klaim Indonesia bahwa jumlah pulau-pulau kita adalah 17. 508 dan dalam upaya mendukung program bangsa-bangsa di dunia pada awal abad ke-20 untuk me-romanisasi peta berabjad non romawi, agat peta tersebut dapat menjadi sarana komunikasi bangsa-bangsa. Walaupun putusan telah dijatuhkan dan tanggapan yang ada sangat beragam namun yang paling penting bagi Indonesia pada saat ini adalah mencoba untuk mengevaluasi dan memperbaiki kelemahan kita atas pelajaran kasus Sipadan dan Ligitan sehingga pada saatnya nanti pengakuan kita sebagai negara dengan pulau terbanyalg laut terluas dapat dibuktikan dengan fakta dan data. D. Upaya-Upaya Antisipatif Penyelesaian Sengketa Wilayah Antara Indonesia Dan Negara-Negara Tetangga Sebagai suatu negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 17. 000 pulau dengan garis pantai yang mencapai 81.000 km serta luas wilayah yang mencapai 7,9 jutakm2, Indonesia memiliki pulau-pulau kecil baik yang berpenghuni maupun yang tidak, yang merupakan titik-titik terluar batas wilayah negara yang juga mengandung potensi konflik dengan negara-negara tetangga. Walaupun belum ada satupun negara yang mengklaim kepemilikan pulau-pulau terluar tersebut, tentunya kepemilikan dan keberadaan pulau-pulau terluar tersebut perlu ditangani secara baik. Namun tentunya dalam menjaga pulau-pulau tersebut terdapat kendalakendala yang dihadapi, misalnya sebagaimana yang dikatakan oleh Laksamana TNI Bernard Kent Sondakh; 36 lbid -t 49 ...Dalam menjalankan tugas pokoknya untuk mengawal lautan nusantara, TNI AL dihadapkan pada suatu kendala dimana kekuatan yang dimiliki oleh TM AL masih sangat terbatas apabila dihadapkan dengan luas perairan yang harus diamankan. Kendala berikutnya adalah begitu besarnya beban yang harus dipikul oleh TNI AL karena tidak banyak institusi nasional yang merasa terpanggil untuk membantu penegakan hukum di laut, jika pun ada hanya bersifat sekloral tidak dilakukan dalam kerangka nasional yang sistematis dan berlanjut. Selain itu aturan hukum yang dapat digunakan sebagai pedoma_n pelaksanaan tugas juga belum lengkap dan terkesan tumpang tindih... " Sedangkan menurut Rudolf W. Matindas, Kepala BAKOSURTANAL; ...Masih banyak segmen-segmen batas maritim, baik batas laut teritorial, batas tambahan, batas ZEE, batas landas kontinen yang masih harus ditetapkan. Delimitasi banyak segmen itu harus melalui perundingan bilateral dan trilateral, dimana penyediaan data-data teknis hidrografis, geodetis, geologis diperlukan selain berbagai dokumen-dokumen sejarah dan hukum yang dapat mendukung klaim Indonesia. Koordinasi yang erat dan efektif antara instansi-instansi terkait, di pusat dan daerah sangat diperlukan slain juga diperlukan persiapan dan pelatihan anggota delegasi yang akan mewakili Indonesia dalam perundingan. Perlu senantiasa diperhatikan bahwa penetapan batas-batas maritim mutlak diperlukan untuk kepentingan kepastian hukum ditingkat nasional dan internasional,, juga guna pertahanan dan keamanan serta menegakan kedaulatan, diperlukan guna perencanzum pengelolaan jangka panjang dan mengamankan berbagai investasi pengelolaannya. Penetapaan batas maritim internasional juga sering membawa masalah pelik yang mempunyai dampak politik, dirnana terutama berbagai negara besar yang memiliki armada dagang dan armada perang yarrg besar, untuk kepentingan geopolitiknya turut memainkan bobotnya dalam merumuskan dam implementasi konvensi huk-um laut internasional.3S Dalam hal penanganan perbatasan antar negara, menurut Hari Sabarno, permasalahan-permasalah yang dihadapi adalah. 1. secara yuridis belum ada pegangan dan pengaturan yang jelas dan menyeluruh " Laksamana TNI Bernard Kent Sondakb Op. Cit. Hlm. 9 Rudolf W. Matindas, Kepala BAKOSIIRTANAL " Masalah Delimitasi Batas Maritim ZEE dan Zona Perikanan Khususnya dengan Australia dan Timor Leste" dalam pertemuan Apresiasi Kesepakatan Bilateral dan Multilateral. Direktorat Sumber Daya Ikan. Ditjen Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. 15 Januai 2002 " -t 50 penyelesaian permasalahan yang timbul sangat tergantung pada pola advantages dan disadvantages (untung dan rugt) serta kapabiltas negosiator yang ditunjuk; 3. kondisi masyarakat di wilayah perbatasan negara masih sangat marginal, sehingga dapat dimanfaatkan oleh pihak lain yang mempunyai kepentingan; 4. dalam penegasan batas negara, acuan-acuan teknis survey dan pemetaan masih bersifat parsial, akibatnya senantiasa memerlukan waktu koordinasi yang panjang dan berbelit; 5. dari konteks permasalahan yang mencuat, pemecahannya masih bersifat insidentil dan situasional; 6. banyak instansi yang bidang tugasnya bertalian erat dengan masalah perbatasan negara dan untuk itu tidakmudah mengintegrasikannya.3e Sedangkan pemasalahan pengelolaan sejumlah pulau-pulau kecil, menurut Hari Sabarno; 1. belum ada publikasi resmi dari pemerintah tentang daftar nama-nama pulau yang dibukukan atau dikodifikasikan dalam daftar nama atau register nama- nama pulau yang lazim disebut dengan Gazetir nasional, yang dapat digunakan dalam berbagai kepentingan dan sebagai pedoman bagi pakar sosial ekonomi, statistik, pefugas sensus, perencana, pembuatan peta serta masyarakat nasional dan internasional; 2. masih banyak pulau-pulau di Indonesia yang belum bernama dan perlu dilakukan inventarisir dan pembakuan nama pulau melalui prosedur dan tata acara pemberian dan pembakuan nama unsur geograpis yang standar; 3. terdapat 67 pulau terluar di wilayah RI yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, 1 0 diantaranya memerlukan perhatian khusus. 3e Hari Sabarno, Op.cit. Hlm. 11 -! 5l 4. terbatasnya sarana dan prasarana di daerah untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan pengelolaan, khususnya terhadap pulau-pulau yang terpencil yang sulit dijangkau dan tidak berpenghuni.ao Kewajiban hukum internasional dan Pasal 33 ayat I Piagam PBB, mewajibkan sengketa yang te{adi antar negara hendaknya diselesaikan secara damai. Dalam hal ini terdapat beberapa caru yang dapat dilakukan oleh para pihak yang bersengketa yaitu melalui penyelesaian secara politis dan penyelesaian secara yuridis. Para pihak yang bersengketa diberikan kebebasan untuk memilih penyelesaian secara damai termasuk juga penggunaan good ffices. Penyelesaian secara politis dapat dilakukan secara bilateral ataupun negosiasi langsung para pihak atau dengan melibatkan pihak ketiga yang netral berupa enquiry, mediasi atau konsiliasi. Dalam hal ini mengingat Indonesia adalah negaru anggota ASEAN maka tidak salah jika seandainya dalam sengketa-sengketa yang ada antar negara ini perlu dimanfaatkan forum ASEAN, apalagp mekanisme ASEAN ini sudah diatur dalam plaksanan High Council ASEAN yang merupakan bagian dalj Treaty Amity & Cooperation 1976,yang berlaku pada bulan Juli 2001. selain itu penyelesaian secara yuridis juga harus diantisipatif dan dikedepankan mengingat apapun alasannya penyelesaian secara damai lebih memperlihatkan tingkat peradaban yang dimiliki oleh suatu masyarakat dibandingkan dengan penyelesaian dengan kekerasan dan senjata. Secara umum sebagaimana yang dijelaskan diatas, permasalahan utama yang kita hadapi dalam menjaga wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan upaya antisipatif mencegah terjadinya sengketa wilayah adalah persoalan hukum termasuk aturan tentang inventarisasi dan pemberian nama pulau-pulau tersebut sekaligus mendepositkannya ke PBB. Menurut Prof. Dr. Hasyim Djalalar, sebagai penjabaran dari Konvensi Hukum Laut atau UNCLOS 1982, Indonesia paling tidak harus membuat lebih dari dua ratus aturan nasional, namun kenyataannya belum banyak * Ibid ar Prof. Dr. Hasyim Djalal dalam laksamana TNI Bernard Kent Sondaktq Loc. cit. \ 52 UU atau aturan hukum yang dibuat berdasarkan UNCLOS tersebut. Aturan-aturan hukum ini tidak hanya diperlukan dalam upaya penyelesaian secara yudisial tapijuga pada penyelesaian secara diplomasi dan politik. Namun selain yang dijelaskan di atas yang paling utama dalam upaya baik itu mencegah maupun menyelesaikan persoalan sengketa wilayah yang ada adalah kepedulian kita semua sebagai komponen anak bangsa. Kepedulian ini hendaknya merupakan kepedulian dari semua komponen nasional. Kepedulian ini harus ditindaki dengan tindakan nyata dan sfrategis bagr pengembangan seluruh pulau-pulau yang ada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara berkelanjutan, utamanya pada pulau-pulau dan wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan negara lain dan berpotensi untuk dimanfaatkan serta diduduki secara kontinyu oleh negara-negara perbatasan tersebut. J \ 53 BAB Itr. PENUTUP A. Kesimpulan Perkembangan teori hukum internasiona[ mengenai penyelesaian sengketa wilayah negara dan penambahan wilayah negara dewasa ini, sebagaimana yang terkandung dalam putusan-pufusan Mahkamah Internasional (International Court of JusiceilCJ), misalnya Kasus Pulau Palmas antara Amerika Serikat v Belanda, Kasus Eastern Greenland at$aru Norwegia v Denmark, Kasus Minquiers and Echrechos antaru Inggris v Perancis, kasus Qatar v Bahrain dan kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia v Malaysiq paoa. umumnya didasarkan pada effective occupation principle yang dijalankan oleh para pihak yang bersengketa untuk menentukan pihak mana yang memiliki hak kedaulatan atas wilayah tersebut. Tindakan okupasi yang seharusnya efektif akan dianggap sebagai suatu tindakan okupasi yang tidak efektif, jika efektifitas tersebut hanya dibutuhkan pada saat tindakan pengambilalihan, namun tidak pada saat pemeliharaan daerah tersebut., Alas hak pelaksanaan kewenangan negara yang merupakan bukti kedaulatan dalam hukum internasional haruslah dilaksanakan secara damai dan terus menerus dengan menunjukan secara fakta adanya will dan intention. Secara teoritik, Indonesia kalah pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan Dalam Putusan ICJ dikarenakan Indonesia tidak dapat membuktikan adanya tindakan effictives yang dilakukan Indonesia. Pembuktian effictives menghendaki adanya bukti tentang arsip atau data baik berupa peraturan dan tindakan nyata baik dari Belanda maupun Indonesia di kedua pulau itu, bahkan ketika kasus ini muncul pada tahun 7969, fakta menunjukan bahwa Undang-undang No. 4/PRPll960 tentang Perairan Indonesia tidak memasukan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dalam wilayah NKRI. Selain itu tidak adanya intention dan will terhadap persoalan ini terlihat dengan tidak adanya protes Indonesia atas pembangunan mercusuar oleh Inggris pada tahun 1962 di Pulau Sipadan dan tahun 1963 di Pulau Ligitan. \ 54 Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menyelesaikan sengketasengketa wilayah yang ada adalah dengan membuat aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan persoalan wilayah terutama mengenai pulau-pulau terluar Indonesia Aturan-aturan hukum tersebut termasuk juga identifikasi, inventarisasi dan pemberian nama pulau-pulau tersebut sekaligus mendepositkannya ke PBB. Aturan-aturan hukum ini tidak hanya diperlukan dalam upaya penyelesaian secara yudisial tapijuga pada penyelesaian secara diplomasi dan politik baik secara bilateral ataupun negosiasi langsung para pihak atau dengan melibatkan pihak ketiga yang netral berupa enquiry, mediasi atau konsiliasi termasuk pemanfaatan forum ASEAN. B. Saran 1. Perlu adanya aturan yang jelas dan menyeluruh mengenai wilayah perbatasan Indonesia. 2. Perlunya identifikasi, inventarisas, dan pembakuan nama pulau melalui prosedur dan tata acara pemberian dan pembakuan nama unsur geograpis yang standar karena masih banyak pulau-pulau di Indonesiayatgbelum bemama. 3. Perlunya kepedulian kita semua sebagai komponen anak bangsa melalui tindakan nyata dan strategis bagi pengembangan seluruh pulau-pulau yang ada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara berkelanjutan, terutama pemerintah daerah yang lebih memahami kondisi kedaerahannya. ooOoo DAFTAR BACAAN Adijaya Yusuf, "Penerapan Prinsip Pendudukan Efektif Dalam Perolehan Wilayah" Makalah dalam Diskusi FH Univ. Indonesia. 2003 Bernard Kent Sondakh, '"Peran TNI Angkatan Laut Dalam Pengamanan dan Pemberdayaan Pulau Terluar R[" Diskusi FH Univ. Indonesia, Jakarta 5 Februari 2003 55 Deplu, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Huhtm Laut, Deplu RI Jakarta 1983 Hikmahanto Juwana, "Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan", Diskusi FII Univ. Indonesia, Jakarta 5 Februari 2003 Hari Sabarno, '?elaksanaan Administrasi Pemerinkhan dan Pengelolaan Pulau-pulau Indonesia", Diskusi FH Univ. Indonesia, Jakarta 5 Februari 2003 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional /. Aksara Persada Indonesia Jakarta Cet. Ke 2.1989 Jacub Rais, "Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan", Majalah Berita Perbatasan Edisi 02/Th l/ Desember 2002/Januari 2003, Diterbitkan oleh Depdagn RI Jakarta. Muchlis Hamdi, "Pengelolaan Wilayah Perbatasan" Majalah Berita Perbatasan Edisi 02/Th l/ Desember 2002/Januari 2003, Diterbitkan oleh Depdagri RI Jakarta. Muchtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional., Bina Cipta Bandung, 1978 N. Hasan Wirajuda. "Kasus Sipadan-Ligitan: Masalah Pengisian Konsep Negara; Proses Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau LigStan" Diskusi EH Univ. Indonesia, Jakarta 5 Februari 2003 Ronny HanitUo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, lakarta, 1982 Rudolf W. Matindas, Kepala BAKOSURTANAL Masalah Delimitasi Batas Maritim ZEE dan Zona Perikanan Khususnya dengan Australia dan Timor Leste" dalam pertemuan Apresiasi Kesepakatan Bilateral dan Multilateral. Direklorat Sumber Daya Ikan. Ditjen Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. 15 Januai2002 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Radjawali Press, J akarta, 1990 Kompas "Banyak Potensi Laut Tidak terjamah" Jumat 3 Desember 1999. Annex to Press Release 2A02l39bis http: www. icj-cij.org /icjwwwiidecisions.htm. http ://rvww. icj -cii. org/ici rvwdi qenralinformation.htm http://wrvw.icj-crj.org/icjwwdidocket/iimmasummaries/imma isummaries doq.h1m. " t