s * 0 t 7 o O t 6 E o I - ePrints Sriwijaya University

advertisement
s
* 0
t
7
o
O t
6 E o
"t'
I
Z 0 13
o
9:B
LAPORAN PENELITIAN
STUDI TENTANG PENERAPAN
E FFECTIYES OCCUPATION
PRINCIPLE
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA WILAYAII NEGARA
OIeh:
MADA APRIANDI ZI]HIR
ll-rP. 132 282178
Dibiayai Oleh:
Dana DlK-suplemen Universitas Sriwijaya Tahun Anggaran 2004 Kontrak
Nomor Og2t23tDIK-S/2004 Tanggal I Januari
FAKULTAS HUKUM
UNTVERSITAS SRIWIJAYA
2004
2(X}4
II}ENTITA$ DAII PENGESAHAN USUL PETIELITIAN
Judul Penelitian
1.
.
STUDITENTANGPENERAPA}I
EFFECTIYES OCCUPATION
PNNCTPLE DALAM
PET{I{ELESAIAN SENGKETA
b. Bidang llmu
c. KatEgCIri Penelitian
2.
KetuaPeneliti
L. Nama Lerykap dau Gelar
b. JenisKelamin
d.
Golongangan/PangkatA{IP
Jabatan Fungsional
e. Jabatan Shuktural
f. Fakultas/Jurusan
g. Ifusat Penelitian
- Iv{ada Apriandi Zuhir, S.H.
- Iaki-laki
- IlUalPenata Mlu&/132282118
- kktor
- TidakAda
- Huhm/Ilmu }Iukum
- Lemb*gaPenelitiar Universitas
Jumlah Anggota Peneliti
Lokasi Penelitian
I"amaPenelitian
Biaya yang Diperh*an
:
-
c.
).
4.
5.
6.
WILAYAHNEGARA
- Hukum Intsrnasional
-II
Sriwiiaya
I {Satu) Orang
lalernbang danlakallta
6 (enam) Bulan
Rp.2.250.000,- {Dua J*a Dua Ratus
Lirm Puluh Ribu tupi*hj
Inderalaya, Oktober 2004
KetuaPeaeliti,
6,1
Z*
fr?
Hasan, SH.,MH.
f
Dr. h R.H.\_d Saleh, M.Sc.
N.r.P. 130531?91
I'
II
\
ABSTRACT
The research entitled "Study on Implementation of Effectives Occupation Principle"
intends to get better known and to get description and also to mention developing of
international law concerning to territorial jurisdiction dispute resolution as in ICJ's
decisions, basis of the facts and legal consideration and altemative ways to prevent
any territorial jurisdiction disputes. The research has been done through a method
based on some activity phases such as sampling arba and txget and source of data,
technique of data collecting and data analysis. Type and source of data are collected
by purposive sampling method. Furthermore analysed by means of qualitative
descripiive with juridical normative approach and the last, to get conclusion through
inductive method. The results show that developing of international law concerning
to territorial jurisdiction dispute resolution as in ICJ's decisions based on Effectives
Occupation Principle, ICJ conclude that sovereignty over Pulau Sipadan and Pulau
Ligita belongs to Malaysia on the basis of the facts and legal consideration that
Indonesia cannot proved the intentiorl and will to act as sovereign (i.e.activities
evidencing an actual, continued exercise of authority over the islands). Alternative
ways to prevent any territorial jurisdiction disputes between Indonesia and other
border states is strengthening our law especially on national territory matters.
,n
F"
llt
\
ABSTRAK
q
Penelitian yang berjudul "Studi Tentang Penerapan Effictives'Occupation Principle
dalam Penyelesaian Sengketa Wilayah Negara" ditujukan untuk mengetahui
perkembangan teori hukum internasional mengenai penyelesaian sengketa wilayah
negara berkaitan dengan penambahan wilayah negara sebagaimana yang terkandung
dalam Putusan ICJ pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara
Indonesia dan Malasyia terutama berkaitan dengan penerapan Effectives Occupation
Principle, alasan teoritik kekalahan Indonesia pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan dan upaya antisipatif penyelesaian sengketa wilayah antara Indonesia
dan negara-negara. Penelitian ini dilakukan melalui metode yang berdasarkan pada
tahap-tahap kegiatan seperti penentuan lokasi penelitian, teknik pengumpulan data
dan analisa datz. Data yang dikumpulkan secara purposive sampling. Selanjutnya
dianalisis secara kualitatif dengan pendekatan pendekatan yuridis normative dan
akhirnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan mengunakan metode induktif. Dari
hasil penelitian ini disimpulkan bahwa perkembangan teori hukum internasional
mengenai penyelesaian sengketa wilayah negara dan penambahan wilayah negara
dewasa ini, sebagaimana yang terkandung dalam putusan-putusan lvlahkamah
Internasional (International Court of Jusice/ICf, pacr. umunnya didasarkan pada
effectwe occupation principle yang drjalankan oleh para pihak yang bersengketa
untuk menentukan pihak mana yang memiliki hak kedaulatan atas wilayah tersebut.
Secara teoritik, Indonesia kalah pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
Dalam Putusan ICJ dikarenakan Indonesia tidak dapat membuktikan adanya tindakan
effectwes (intention and will) yang dilakukan Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan
untuk mencegah dan menyelesaikan sengketa-sengketa wilayah yang ada adalah
dengan membuat identifikaii, inventarisir, pemberian nama dan aturan-aturan hukum
sekaligus mendepositkannya ke PBB berkaitan dengan persoalan wilayah terutama
mengenai pulau-pulau terluar Indonesia.
iv
\
KATA PENGANTAR
Sebagai suatu negara kepulauan terbesar
di dunia, dengan lebih dari
17. 000 pulau dengan garis pantai yang mencapai 81.000 km serta luas wilayah yang
mencapai
7,9
jutakm2, secara positif memberikan keuntungan bagi wilayah Negara
Kesatuan Republik IndoneSia, tapi disisi lain juga memberikan dampak yang negatif
dalam hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangga berkaitan
dengan
pengklaiman atas hak-hak dan batas-batas wilayah. Potensi konflik ini dapat memicu
sengketa yang lebih ltras serta mengandung potensi instabilitas kawasan regional.
Putusan ICJ berkaitan dengan sengketa Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan merupakan suatu kasus yang menarik untuk dibahas baik dari sudut pandang
teori khususnya hukum internasional maupun pengaruhnya terhadap Indonesia.
Atas dasar itu, alhamdulilah penelitian yang dibiayai oleh Dana DIK-
Suplemen Universitas Sriwijaya Tahun Anggaran 2004, dapat diselesaikan tepat
pada waktunya. Harapannya agar hasil penelitian yang disadari masih terdapt
kekurangannya ini dapat bermanfaat dan tentunya kritik dan saran yang membangun
akan selalu kami terima.
Terimakasih
't
DAFTAR ISI
Halaman
HALA]V{r{N MUKA
IDENTITAS DAN PENGESAHAN
.........
....
ii
ABSTRACT
lv
ABSTRAK
v
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
BAB
1.
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
5
Manfaat Penelitian
5
Metode
Penelitian
.....:...
6
BAB II PEMBA}IASAN ...
A. Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
B. Perkembangan Teori Hukum Internasional Mengenai
10
l0
.
Penyelesaian
Sengketa Wilayah Negara dan Penainbahan Wilayah Negara Dikaitkan
dengan Penerapan Effectwe Occupation Principle dalam Putusan ICJ
C. Tinjauan Teoritis Atas Kekalahan Indonesia
D. Upaya-Upaya Antisispatif Penyelesaian Sengketa Wilayah
......
28
44
Antara
48
Indonesia dan Negara-Negara Tetangga
1.
BAB III PENUTUP
53
A. Kesimpulan
53
B. Saran-Saran
54
DAFTAR PUSTAKA
vl
LAMPIRAN
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)
1.
Peta
2.
Batas Negara Kesatuan Republik tndonesia
,i
t
,*
I
vii
l
I
I
)
BAB
1.
PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang
Sebagai suatu negara kepulauan, secara
fisik Indonesia merupakan
negara
terbesar ke-5 didunial yang dibatasi oleh 2 Matra, yaitu matra laut yang berbatasan
dengan sepuluh negara (Australia, Malaysi4 Singapura, India, Thailand, Vietnam,
Philipina, Palau, Papua New Guinea dan Timor Leste), dan di daratan berbatasan
dengan tiga negara (Malaysia, Papua New Guinea dan Timor Leste)-2
Berlakunya Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nations Convention
on the Law of the,SeaAJNCLOS) 1982, secara positif memberikan keuntungan bagi
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tapi disisi'lain juga memberikan
dampak yang negatif dalam hubungan lndonesia dengan negara-negara tetangga
berkaitan dengan pengklaiman atas hak-hak dan batas-batas wilayah. Potensi konflik
ini
dapat memicu sengketa yang lebih luas serta mengandung potensi instabilitas
kawasan regional.
Beberapa permasalahan perbatasan antara Indonesia dan negara-negara
tetangga yang belum terselesaikan secara tuntas tidak hanya menyangkut persoalanpersoalan batas-batas
fisik yang disepakati semata, namun juga menyangkut
cara
hidup masyarakat di daerah tersebut, misalnya para nelayan tradisional atau kegiatan
' Luas wilayah Indonesia semakin bertambah di karenakan perjuangan atas prinsip wawasan
nusantara yang termuat dalam Deklarasi Juanda Tahun 1957 yang kemudian diakui dalam Konvensi
Hukum Laut Internasional 1982. Menurut data resmi Pemerintah, panjang garis pantai tetap (Baseline\
81.000 KM2, tapi menurut World Data Center di New York, panjang garis pantai tetap
Indonesia
Indonesia hanya + 61. 000 KM2. Pada saat kemerdekaar\ kawasan laut Indonesia hanya 100. 000 KMz,
setelah berlakunya Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nation Convention on the Law of the
Sea/UNCLOS) ietZ, luas kawasan laut Indonesia bertambah 3. 000 Yo menladi 3. 100. 000 KM2,
yang terdiri dan 2.800. 000 KM2 perairan kepulauan dan 300. 000 KM2laut wilayah. Lihat Kompas
"Banyak Potensi Laut Tidak terjamah" Jumat 3 Desember 1999.
2 Hari Sabarno, "Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan dan Pengelolaan Pulau-pulau
Indonesia", Diskusi FH Univ. Indonesia, Jakarta 5 Februari 2003 Hlm. 1.
+
'l
lain di sekiar wilayah perbatasan. Potensi konflik dan beberapa persoalan perbatasan
dan sengketa wilayah antara Indonesia dan negara-negara tetangga itu diantaranya:
1.
Indonesia dan Singapura mengenai batas laut teritorial berkaitan dengan
perubahan batas kedua negara
di Selat Malaka
sebagai akibat dampak dari
kegiatan reklamasi yang dilakukan Singapura.
2.
tndonesia dan Malaysia mengenai perbedaan pemahaman rezim laut dengan
Malaysia
di bagian tltara
Selat Malaka, Selat Singapura dan Laut Cina
Selatan.
3.
Indonesia dan Philipina berkaitan dengan perbedaan secara firndamental
mengenai perbatasan wilayah laut. Hal ini disebabkan karena undang-undang
Philipina telah menetapkan garis batas lautnya, sedangkan Pemerintah
Indonesia menyatakan dalam peraturan perundang-undangan.
4.
Indonesia dan Australia pasca kemerdekaan Timor Lorosae, garis batas laut
antara Indonesia dengan Australia memerlukan penataan ulang, walaupun
persetujuan garis batas landas kontinen pernah dilaksanakan pada tahun 1971
dan1972, serta persetujuan garis balas ZEE pada tahun 1981.
5. Indonesia dan Papua New Guinea (PNG) berkaitan dengan aspek kultural.
6. Indonesia dan Vietnam mengenai penentuan batas wilayah berkaitan dengan
penentuan landas kontinen.
7.
Indonesia dan Republik Rakyat China (RRC) mengenai perbedaan pandangan
tentang batas perairan, khususnya di perairan Natuna.
8. fndonesia
dan India mengenai perbatasan perairan territorial di sekitar Pulau
Andaman dan Nicobar.
g.
Indonesia dan Palau mengenai batas ZonaEkonomi Ekslusif (ZEE) di Pulaupulau Asia dan pulau-pulau Mapia yang terdapat di utara Papua.
10. Indonesia dan
Timor Lorosae yang belum memiliki perjanjian batas wilayah
laut.3
Putusan Mahkamah Internasion
al (International Court of JusticellCJ)
pada
tanggal 17 Desember 2002 membuat bangsa Indonesia tersadar bahwa luasnya
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memuat potensi konflik dan
menrerlukan perhatian yang serius.
Konflik Sipadan-Ligitan yang mencuat sejak
Tahun 1969 antaralndonesia dan Malasyia, diputuskan oleh ICJ dengan memberikan
kedaulatan penuh atas kedua pulau tersebut kepada Malaysia atas dasar effective
occupation yang telah dilakukan Malaysia.
Konflik ini muncul pada tahun 1969 ketika kedua rregara mengadakan
perundingan untuk menetapkan batas landas kontinen. Pada saat itu terjadi perdebatan
berkaitan dengan kepemilikan Pulau Sipadan-Ligrtan. Jika dikaitkan dengan
penetapan batas landas kontinen, maka effectives occupation tidak dapat diterapkan,
hal ini dapat dilihat pada Art. 77 ayat (3) LINCLOS yang merumuskan:
The rights of the coastal state over ihe continental shelf do not depend on
occupaiiori, effictive or naiional, or on aiq, express proclamation.
Jelas terlihat dari
Art. 77 ayat (3) bahr*a hak suatu negara pantai tidak
tergantung pada pendudukan (okupasi) baik
eftktif
maup'.rn tidak.
Dasar pertimbangan utama putusan ICJ yaitu effictives occupation principle.
Menurut ICI, conventional title atau treaty based title (penentuan hak atas
pedanjian) oleh Indonesia maupun chain
of title theory
dasar
(penentuan atas dasar
pewarisan hak) oleh Malaysia sama lemahnya, karena tidak terdapat bukti-bukti
hukum yang dapat mendukung klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pulau
sengketa tersebut.a
TNI Bernard Kent Sondakh, "Peran TM Angkatan Laut Dalam Pengamanan
RI" Diskusi FH Univ. Indonesi4 Jakarta 5 Februari 2003 Hlm. 5-7.
o
ICJ luga berpendapat tidak ada bukti dokumen authentik yang dapat meyakinkan bahwa
'
Laksamana
dan Pemberdayaan Pulau Terluar
kedua pulau sengketa termasuk kedua bagian dari wilayah kekuasaan Belanda atau Inggris. Karena itu,
ICJ tidak melihat alternatif lain kecuali menguji doktrin effectives sebagai suatu fakra hukum yang
.l
Prinsip okupasi merupakan warisan dari konsep hukum Romawi, Kalau kita
kaji
penggunaan
ffictives
occupation dalam putusan ICJ, occupation atau
pendudukan itu sendiri adalah pendudukan terhadap terra nullius (wilayah yang tidak
bertuan atau tidak berada di bawah kekuasaan suatu negara) yang mengandung dua
unsur pokok, yaitu penemuan (discovery) dan pengawasan yang efektif
(administration).
Berdasarkan gambaran padalatar belakang diatas, menarik untuk di kaji baik
secara teoritik maupun praktek-praktek internasional yang berkaitan dengan
penggunilan occupation principle terutama pada putusan ICJ dalam kasus sengketa
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
B.
Perumusan Masalah
Di dalam
penelitian ini, fokus utama yang akan diangkat adalah berkaitan
dengan effectives ocupation principle khususnya bagi Indonesia dalam kaitannya
dengan sengketa-sengketa wilayah Indonesia, maka perumusan masalahnya adalah
sebagaiberikut
1.
,
Bagaimana perkembangan teori hukum internasional mengenai penyelesaian
sengketa wilayah negara berkaitan dengan penambahan wilayah negara
sebagaimana yang terkandung dalam Putusan ICJ pada kasus sengketa Pulau
Sipadan dan Pulau Ligrtan antara Indonesia dan Malasyia, terutama berkaitan
dengan penerapan
2.
ffi ct iv e occupat ion pr inc ip
I e?
Mengapa secara teoritik, Indonesia kalah pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan?
3.
Upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan oleh Indonesia untuk dapat
menyelesaikan sengketa-sengketa wilayahnya
yalg ada di masa yang akan
datang?
berdiri sendiri. Lebih lanjut
/icjwrvw/idecisions. htm.
lihat
mengenai Decisions ICJ dapat diakses pada http: www.icj-cij.org
't
principle, faktor-faktor yang secara teoritik mengakibatkan kekalahan lndonesia
dalam kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, dan upaya antisipatif
penyelesaian sengketa wilayah arrtara Indonesia dan negara-negara tetangga.
i.
Lokasi Penelitian
penelitian
ini
akan dilakukan pada
2 (dua) lokasi, yaitu D.K.I Jakarta dan
Kota Palembang. Berdasarkan atas pertimbangan relevansinya dengan tujuan
penelitian, maka penarikan sample dilakukan secara Purposive Sampling, sehingga
sampel dalam penelitian ini adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f
4.
DepartemenLuarNegeri R[;
DepartemenDalamNegeriRl;
Badan koordinasi Strategi Pertahanan Nasional (Bakorsfianas);
Badan koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal);
Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) di Palembang; dan
kmbaga Ilmu Pengetahuan Indonesia;
Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian
a.
ini meliputi:
Data Sekunder
Dalam penelitian ini data sekunder merupakan data pokok. Data sekunder
tersebut diperoleh dengan cara menelusuri bahan-bahan hukum secara
meliputi:
1)
Bahan hukum primer, diantaranYa
1.
United Nations Convention on the Law of the Sea 1982;
2.
Statuta ICJ, Konvensi- konvensi dan Treaties.
3. UU No. 4lPrpll960 tentang Perairan Indonesia;
4. UU No. 711985 Ratifikasi UNCLOS 1982;
5. UU No. 611996 tentang Perairan Indonesia;
teliti
yang
I
6.
Konsideran Putusan ICJ pada Kasus Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara
Indonesia dan Malasyia.
2) Bohan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti : hasil-hasil penelitian, artikel, hasil-hasil seminar
atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro,
dokumen pribadi atau pendapat da/, kalangan pakar hukum termasuk dalam
bahan hukum sekunder
3)
ini sepanjang relevan dengan objek kajian penelitian.s
Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus umum, kamus hukum, majalah, dan jurnal ilmiah.6 Surat kabar, majalah
mingguan juga menjadi bahan bagi penelitian
majalah mingguan
itu
ini
sepanjang surat kabar dan
memuat informasi yang relevan dengan objek kajian
penelitian ini.
b. Data Primer
Adapun data primer atau data dasar dalam penelitian ini diperlukan untuk
memberi pemahaman secara jelas, lengkap, dan komprehensif terhadap, data
sekunder.
5. Metode
TL
Pengumpulan Data
Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (Library Research)
atau studi dokumentasi. Penelitian kepustakaan dilakukan unfirk mendapatkan teori-
teori hukum atau dottrin hukum, asas-asas hukum dan pemikiran konseptual serta
penelitian pendahulu yang berkaitan dengan objek kajian penelitian ini yang dapat
berupa Konvensi-Konvensi Internasional, Treaties, peraturan perundang-undangan,
literatur dan karya tulis ilmiah lainnya.
tRonny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,
Jakartq
1982,14m.24.
uPeriksa
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Radjawali Press, Jakarta, 1990, Hlm. l4-15.
.!
b. Data Pimer
Data primer diperoleh melalui penelitian lapangan (Field Research).
Penelitian lapangan yang dilakukan merupakan upaya memperoleh data primer
berupa dokumen-dokumen dan keterangan atau informasi dari responden.
6.
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Datayangdiperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan,
selanjutnya akan dilakukan proses Editing atau pengeditan data. Hal
ini dilakukan
agar akurasi data dapat diperiksa dan kesalahan dapat diperbaiki dengan cara
menjajaki kembali ke sumber datanya.
Setelah pengeditan data selesai dilakukan, maka proses selanjutnya adalah
pengolahan data yang akan dilakukan dengan cara Coding.atau pemberian kode-kode
tertentu, kemudian data dikelompokkan atau diklasifikasikan sesuai dengan
kelompok atau unit analisis yang telah ditetapkan.
Setelah pengolahan data selesai dilakukan, selanjutnya akan dilakukan analisis
data secara Destcriptif-Analitis-Kualitatif, dan khusus terhadap data dalam bpntuk
konvensi-konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan nasional serta
Putusan ICJ pada Kasus Sengketa Pulau Sipadan-LigStan antara Indonesia dan
Malasyia dilalrukan kajian isi (Content Anatysis), untuk kemudian diambit suatu
kesimpulan sehingga pokok permasalahan yang diteliti dan dikaji dalam penelitian ini
dapat tedawab.
!
l0
BAB
tr
PEMBAHASAN
A.
Sengketa Pulau Sipadan Dan Pulau Ligitan
Dua pulau yang berada
di dekat
pulau besar Kalimantan itu sebenarnya
merupakan dua pulau kecil yang tidak berpenghuni. Pentingnya dua pulau ini
sehingga dipersengketakan adalah dikarenakan kedua pulau
ini bisa dijadikan titik
untuk menentukan lebar laut wilayah, landas kontinen dan zona ekonomi ekslusif
karenanya kepentingan ekonomi sangat dominan dalam sengketa pulau ini disamping
mempertahankan keutuhan wilayah.
7
Secara geograpis kedua pulau
ini terletak di laut Celebes. Ligitan merupakan
pulau yang sangat kecil dengan koordinat 4" }g'lintang utara dan 118o 53' lintang
selatan. Pulau ini terletak pada 21 mil laut dari Tanjung Tutop, di Semporna
Peninsula, dekat pulau Kalimantarg secara permanen tidak dihuni.
Sedangkan Sipadan, walaupun lebih besar dari Ligitan, luasnya sekitar,0. 13
km3, dengan koordinat 4o 06' lintang utara dan 118" 37' lintang selatan. Sekitar 15
mil
laut dari Tanjung Tutop dan 42 mil laut dari pantai timur Pulau Sebatik. Pulau ini
terletak pada 600-700 m permukaan laut. Pada dasarnya pulau
ini
seperti juga
Ligitan, tidak dihuni sampai tahun 1980-an yang kemudian menjadikan daerah ini
sebagai tempat pariwisata.
Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan arrtara Indonesia dan Malaysia
muncul ketika kedua negara melakukan perundingan pembahasan landas kontinen
pada tahun 1969. Perselisihan muncul dari perbedaan penafsiran atas perjanjian 1891
yang dibuat oleh Inggris dan Belanda untuk membagi Kalimantan (Borneo). Untuk
selanjutnya sengketa
ini dicoba untuk diselesaikan di tingkat pemerintahan
kedua
negara selama bertahun-tahun, namun mengalami kegagalan.
'
Hikmahanto Juwana, "Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan",
Diskusi FH Univ. Indonesia, Jakarta 5 Februari 2003 Hlm. l.
\
1t
Upaya diplomatis mulai drjajagr oleh kedua negara pada tahun 1988 atau
hampir sepuluh tahun setelah pihak Malaysia diketahui menerbitkan peta yang
memasukan kedua pulau
itu
sebagai bagian dari wilayahnya (197\.8 Isu status
kepemilikan tersebut mulai dibicarakan dalam pertemuan tingkat tinggi antara
Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahatir Mohammad
di Joryakarta,
Juni
1988. Upaya mencari penyelesaian sengketa secara politis dilakukan dengan berbagai
serangkaian perundingan yang dilakukan secara bertahap. Perundingan dilakukan,
baik pada tingkat pejabat teknis (Joint Working Group on Sipadan and Ligitan/JWG),
pejabat senior (Senior Offcial Meeting), hingga forum pertemuan tingkat Menteri
Luar Negeri (Joint Commission Meeting). Pada September 1994, kedua Kepala
Pemerintahan bahkan melakukan terobosan dengan cara menunjuk wakil pribadi
masing-masing untuk mencari penyelesaian masalah ini. Untuk keperluan tersebut,
wakil khusus (special representative) yang ditunjuk masing-masing,
Mensesneg
Moerdiono dan Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim, mengadakan 4 pertemuan,
yakni di Jakarta padz tanggal 17 Juli 1995 dan 26 September 2005 serta di
Kualalumpur tanggal 22 September 1995 dan 21 Juni 1996. dalam serangfuian
negosiasi tersebut, kedua negara tidak menyentuh opsi penyelesaian secara politis,
misalnya dengan membagi dua pulau sengketa atau pengelolaan kedua pulau itu
secara bersama-sama. Yang dilakukan oleh kedua negara adalah bertukar argumentasi
hukum dimana baik Indonesia maupun Malaysia berupaya mematahkan argumentasi
hukum yarug diajukan masing-masing. Untuk memperkuat dalil hukum yang
diajukannyq kedua negara kemudian menyampaikan dokumen-dokumen dan bukti-
bukti yang diasumsikan dapat mendulcung klaimnya masing-masing. Upaya ini
dilakukan dengan pertimbangan masing-masing memiliki dasar hukum yang lebih
kuat untuk mendukung klaimnya. Opsi penyelesaian dengan cara pengelolaan secara
bersama-sama juga sulit dilakukan karena kedua negara lebih menekankan pada
* N.
Hasan Wirajuda . "Kasus Sipadan-Ligitan: Masalah Pengisian Konsep Negarq Proses
Ligitan" Diskusi FH Univ. Indonesia, Jakarta 5
Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau
Februari 2003 Hlm. 8
I
keinginan untuk memperolah kejelasan mengenai status kepemilikan atas Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan. Sedangkan upaya penyelesaian melalui mekanisme
ASEAN, Malaysia memperlihatkan keengganannya dengan alasan forum
dikhawatirkan tidak dapat bersikap netral karena Malaysia memiliki sengketa
kewilayahan yang serupa dengan Singapura (Pulau Batu Puteh) dan Philipina
(Sabah). Selain itu, aturan pelaksanaan High Council ASEAN yang merupakan bagian
dari Treaty Amity
& Cooperation
1976 baru berlaku pada bulan Juli 2001. Upaya
penyelesaian secara hukum akhirnya direkomendasikan wakil khusus pada tahun
1996 setelah mencermati kesulitan mendapatkan solusi politis yang dapat disepakati
kedua negara. Pertimbangannya antara lain mengingat bahwa klaim kepemilikan
kedua pulau itu merupakan masalah hukum dan bahwa isu tersebut sangat sensitif
dalam hubungan kedua negara. Oleh karenanya disarankan perlunya jalur hukum
yaitu melalui Mahkamah InternasionaU Internotional Court of Justice (ICJ). Pada
tahun 1997 kedua pemerintahan akhirnya sepakat atas Special Agreement
for
the
Submission to the ICJ the Dispute Between Indonesia ond Malaysia Concerning the
Sovereignty Over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan untuk menyerahkan peneptuan
kedua wilayah ini ke International Court ofJusticellCJ.
Dasar utama klaim kedaulatan Indonesia atas Pulau Sipadan dan Ligitan
adalah treaty based
tittle
atau conventional
tittte terutama pada penafsiran atas Pasal
IV Konvensi 1891 yang menrmuskan;
"From 4" l0' north latitude on the east coast the boundary-line shall be
continued eastward along that parallel, across the Island of Sebittik: that
portion of the island situated ta the north of that parallel shall belong
unreservedly to the British North Borneo Company, and the portion south
of that parallel to the Netherlands.'D
'
Lebih jelas dapat
/imma isummaries doc.htm.
diakses
pada http ://wlvw-.icj-cij.org/icjwww/idocket/iimmasummaries
-t
13
Garis 4" 10' ini memberikan petunjuk tentang batas kepemilikan Belanda dan
Inggris di sebelah selatan dan utara garis 4" l0' tersebut adalah memotong Pulau
Sebatik dan terus menjulur ke laut di arah sebelah timur pulau tersebut. Pada oral
proceedings-nya, Indonesia menyampaikan argumen alternatif bahwa apabila ICJ
menolak hak atas dasar Konvensi 1891, maka dasar lainnya adalah bahwa Indonesia
merupakan negara successor dari Kesultanan Bulungan, dikarenakan sebelumnya
Raja inilah yang memiliki kewenangan atas pulau-pulau tersebut yang kemudian
diserahkan ke Belanda.
10
Sedangkan Malaysia mengklaim kedaulatan atas kedua pulau tersebut atas
dasar pewarisan hak (chain of tittte theory), dimana pulau-pulau tersebut didapatkan
Malaysia dengan mendasarkan transfer kepemilikan melalui dua cara yaitu
penyerahan wilayah dengan jalur Sultan Sulu ke Spanyol ke Amerika Serikat ke
Inggris ke Malaysia. Kedua yaitu melalui tindakan privat akibat leasing.dengan alur
British Nrtrth Borneo Company (BNBC)-Sultan Sulu ke Spanyol ke Amerika Serikat
ke Dent-Overbeck (BNBC) ke Inggris ke Malaysia. Selain itu Malaysia juga
mengajukan argumen alternatifrrya dengan mendasarkan pada fakta-fakta a{anya
pengelolaan yang damai dan berkesinambungan (continuous peaceful possession)
yang dilakukan oleh Inggris dan juga Malaysia terhadap pulau tersebut.rr
Sengketa kedua pulau
ini mulai diperiksa oleh ICJ pada bulan November
1998, didasarkan pada special agreement antara Indonesia dan Malaysia yang
ditandatangani di Kualalumpur pada tanggal
14
3l Mei
1997 danmengikat padatanggal
mei 1998.
Dalam memutuskan sengketa ini terdapat 15 orang hakim ICJ yaitu; Gilbert
Guillaume berkewarganegaraan Perancis sebagai ketua, Jiuyong
Shi
berkewarganegaraat China sebagai wakil ketua. Sedangkan hakim anggota adalah
Shigeru Oda berkewargafiegaraan Jepang, Raymond Ranjeva berkewarganegaraan
Madagaskar, Geza Herezegh berkewarganegaruan Jerman, Abdul
r0
"
G.
Koroma
Lebihjelas dapat diakses pada http://www.icj-cij.org/icjwwwTigenralinformation.htm
Ibid
"!
t4
berkewarganegaraat Sierra Leone, Vladen
S. Vereshchetin berkewarganegaraan
Russia, Rosalyn Higins berkewarganegaraafi Inggris, Gonzalo Parra-Aranguren
berkewarganegaraan Venezuela, Pieter H. Kooijmans berkewarganegaran Belanda,
Fransisco Rezek berkewarganegaraan Brazil,
Awn
Shawkat Al-Khasanwneh
berkewarganegaraan Yordania, Thomas Buergenthal berkewarganegaraan Amerika
Serikat, Nabil Elaraby berkewargane garaorn Mesir.
Masing-masing negara kemudian menunjuk hakim ad-hoc. Indonesia memilih
Mr. Mohamed Shahabuddeen
Gregory Weeramantry.
dan Malaysia menunjuk Mr.
Namun setelah pengunduran
Christopher
diri Mr. Shahabuddeen,
Indonesia menunjuk Mr. Thomas Franck untuk menggantikannya.
Secara garis besar proses pengajuan sengketa
ini ke ICJ adalah sebagai
berikutr2:
L
1998/35
2.
1998t31
ll
3.
t999l4A
16 September
4.
2000114
5.
20a0/33
6.
200u0'l
7.
2001/13
2 November 1998
Indonesii and Malasyia jointly
bring dispute over islands to the
International Court of Justice
November 1998 Fixing of the time limits for the
filling of written pleadings
I
The Court extends the time limit for
the filing of a counter-memorial by
each of the parties
1,2May 2004 New extension of the time limit for
the filing of a counter-memorial by
each of the parties
20 October 2000 Fixing of the time limits for the
filling of a Reply by each of the
Parties
15
March 2001 The Philippines requests permission
to intervene in the proceedings
22May 2001 Application for the permission to
intervene bv the Phillinnines- the
" Secara keseluruhan proses ini dapat diakses pada ICJ Press Releases http://w-rvw.icjcij.org/icjwwdigenralinformation.htm tanggal akses 25 Api.l 2004
15
intervene by the Phillippines- the
Court will hold public hearings
from 25 to 29 june 2001
8.
z00y18
9.
2A0tD6
29 lune2A0l Conclusion of the public hearings
on the application for permission to
intervene by the Phillippines- the
Court ready to consider its
iudgement
19 October 2001
Application for the permission to
intervene by the Phillippines- the
Court to deliver its judgement on
Tuesday 23 October 2001 at 3 p.m.
23 October 2001 Summary of the judgement 0f 23
October 2001
10.
200ll2&bis
11
2001128
t2
2002109
13March2002 The Court will hold public hearings
from 3 to 12 June 2002
13
2002114
23May 2402 Schedule of public hearings to be,
held from 3 to 12 June 2002
t4
2002n6
12
15
2002136
t6
2002139bis
17.
2002t39
23 October 2001 The Court finds that the
Application of the Phillippines for
permission to intervene cannot be
granted
Jwe2A02 Conclusion of the public hearings
Court re,ady to consider its
iudgement
28 November 2002 Court to deliver its judgement on
Tuesday 17 December 2002 at 10
a.m
20 December 2002 Summary of the judgement of 17
December 2002
17 December 2002 The Court finds that sovereignty
over the islands of Ligitan and
Sipadan belongs to Malasyia.
Untuk menyimpulkan suatu putusan atas sengketa ini, ICJ menggunakan tiga
pertanyaan pokok yaitu:
-!
t6
1.
Apakah Indonesia berhak atas kedua pulau tersebut berdasarkan perjanjian
yang dibuat antara Belanda dan Inggris pada tahun l89l sebagaimana yang
diargumentasikan oleh pihak Indonesia?
Apakah Malaysia berhak atas kedua pulau tersebut berdasarkan pewarisan hak
(chain of tittle)sebagaimana diargumentasikan oleh pihak Malaysia?
3.
Apakah penjajah Indonesia dan Malaysia (Belanda dan Inggris) sebagaimana
diargumentasikan oleh kedua belah pihak yang bertikai telah menunjukan
keberadaannya sebagai pemilik pulau tersebut sebagaimana yang
diterminologikan dalam bahas Perancis effect
iv ites' ?
pada saat diperiksa, tanggal13 Maret 2001 berdasarkan Pasal 62 Statuta ICJ,
Filipina mengajukan intervensi didasarkan pada pengklaimannya atas Sabah sebagai
bagian dari wilayah Filipina. Dalam sengketa ini, - Sabah digunakan oleh Malaysia
sebagai sandaran wilayah dalam mengklaim kedua pulau yang disengketakan. Namun
intervensi Filipina ini kemudian ditolak oleh ICJ dalam putusannya padatanggal23
Oktober
2001.13
,
pada pokok pertanyaan pertama mengenai apakah Indonesia berhak atas
kedua pulau tersebut berdasarkan perjanjian yang dibuat antata Belanda dan Inggris
pada tahun 1891 sebagaimana yang diargumentasikan oleh pihak Indonesia, ICJ
berpendapat bahwa penafsiran kata-kata dalam Pasal
l89l
IV dan penafsiran perjanjian
ke dalam bentuk peta, tidak bisa dijadikan dasar pemberian kedaulatan.
Berikut summory of the judgement of 17 December 2002 berkaitan dengan
interpretation of the 1891 Convention oleh ICJ;
The court notes that Indonesia is not a party to the Vienna
Convention 23 May 1969 on the Law of Treaties; the Court would
nevertheless recall thot, in accordance witlt customary international
law, reflected in Articles 3I and 32 of that Convention:
13 Pertimbangan
iseff alinformation. htm
penolakan
ini dapat diakses pada http://www.icj-cij.or8/icjw*-/
17
"a treaQl must be interpreted in good faith in accordance with the
ordinary meaning to be given to its terms in their context and in the light
of its object and purpose. Interpretation must be based above all upon
the text of the treaty. As a supplementary meosure recourse may be had
to meons of interpretation such as the preparatory work of the treaty
and the circumstances of its conclusion."
It further recalls that, with respect to Article 31, paragraph 3, it has had
occasion to state that this provision also reflects customary law,
stipulating that there shall be taken into occount, together with the
context, the subsequent conduct of the porties to the treaty, i.e., "ony
subsequent agreement" (subpara. fu)) and "any subsequent practice"
(subpara. &)) ...'o
Sedangkan summary
of the judgement of 17 December 2002 yang
berkaitan dengan text of Article
IV of the l89l Convention,ICJ
merumuskan;
... With respect to the terms of Article IV, Indonesia maintains thst this
Article contains nothing to suggest that the line stops at the east coast of
Sebatik Island. According to Malaysia, the plain and ordinary meaning
of the words "across the Island of Sebrttik" is to describe, "in English
and in Dutch, a line that crosses Sebatikfrom the west coast to the east
coast and goes nofurther".
The Court notes that the Parties dffir as to how the preposition'
"across" (in the English) or "over" (in the Dutch) in thefirst sentence of
Article IV of the I89l Convention should be interpreted. It
acknowledges that the word is not devoid of ambiguity and is capable of
bearing either of the meanings given to it by the Parties. A line
established by treaty may indeed pass "across" an island and terminate
on the shores of such island or continue beyond it.
The Parties also disagree on the interpretation of the part of the same
sentence which reads "the boundary-line shall be continued eastward
along that parallel [4" I|'northJ". In the Court's view, the phrase
"shall be continued" is also not devoid of ambiguity. Article I of the
Convention defines the starting point of the boundary between the two
States, whilst Articles II and III describe how that boundary continues
from one port to the next. Therefore, when Article IV provides that "the
boundaryJine shall be continued" again from the east coast of Borneo
along the 4" l0'N parallel and across the island of Sebatik, this does
ra
http://w'ww icj-cij.org/icjwwdidocket/iimmasummaries/imma
isummaries-doc.htm.
.t
19
Having examined the other maps produced by the Porties, the Court
finds that, in sum, with the exception of the map annexed to the
the cartographic material submitted by the
Parties is inconclusive in respect of the interpretation of Article IV of
the 1 89 I Convention....
lgl5 Agreement (see above),
Kesimpulan lainnya dari ICJ berkaitan dengan hak yang didasarkan atas
pewarisan (Title
by succession) yang
diargumentasikan oleh Indonesia bahwa
Indonesia merupakan pihak successor dari Belanda, yang mendapatkan hak tersebut
melalui kontrak antara Belanda dan Sultan Bulungan sebagai original title-holder,
adalah sebagai berikut;
...The Court observes that it hos already dealt with the various controcts
of vassalage concluded between the Netherlands and the Sultan of
Bulungan when it considered the 1891 Convention. It recalls that in the
1878 Contract the island possessions of the Sultan were described as
,,Terekkan
[TarokanJ, Nanoekan [NanukanJ and Sebittikh [SebatikJ,
with the islets belonging thereto". As amended in 1893, this list refers to
the three islands and surrotmding islets in similar terms while taking
into account the division of Sebatik on the basis of the l89l Convention.
The Court further recalls thot it stated above that the words "the islets
belonging thereto" can only be interpreted as referring to the small
islands lying in the immediate vicinity of the three islands which are
mentioned by name, and not to islands which are located at a distance
of more than 40 nauticol miles. The Court therefore connot accept
Indonesio's contention that it inherited title to the disputed islands from
the Netherlands through these contracts, which stated that the Sultanate
in the contracts formed port of the
of Bulungan as described
7
Netherlands Indies-..1
Pada pokok pertanyaan kedua tentang apakah Malaysia berhak atas kedua
pulau tersebut berdasarkan pewarisan hak (choin
of tittle)
sebagaimana
diargumentasikan oleh pihak Malaysia, alasan, jawaban dan kesimpulan ICJ, adalah
sebagai berikut;
t' Ibid
!
2t
Protocol. The Court observes, however, that it cannot be disputed, that
the Sultan of Sulu relinquished the sovereign rights over all ltis
possessions in favour of Spain, thus losing any title he may have had
over islands located beyond the 3-marine-league limit from the coast of
North Borneo. The Court, therefore, is of the opinion that Spain was the
only State which could have laid claim to Ligitan and Sipadan by virtue
of the relevant instruments but that there is no evidence that it actually
did so. It further observes that at the time neither Great Britain, on
behalf of the State of North Borneo, nor the Netherlands explicitly or
implicitly laid claim to Ligitan and Sipadan.
The next link in the chain of transfers of title is the Treaty of
7 November 1900 between the United States and Spain, by whiclt Spain
"relinquish[edJ to the United States all tttle and claim of title . . . to any
and all islands belonging to the Philippine Archipelago" which had not
been covered by the Treaty of Peace of l0 December 1898. The Court
first notes that, although it is undisputed that Ligitan and Sipadan were
not within the scope of the 1898 Treaty of Peace, the 1900 Treaty does
not specifu islonds, apart from Cagayan Sulu and Sibutu and their
dependencies, that Spain ceded to the {Jnited States. Spain nevertheless
relinquished by that Treaty any claim it may have had to Ligitan and
Sipadan or other islands beyond the 3-marineJeaguti limit from the
coast of North Borneo. Subsequent events show that the United States
itself wos uncertoin to which islands it had acquired title under the
1900 Treaty. A temporary atongement between Great Britain and the '
United States was made in 1907 by an Exchange of Notes. This
Exchange of Notes, which did not involve a transfer of territorial
sovereignty, provided for a continuation of the administration by the
BNBC of the islands situated more than 3 marine leaguesfrom the coast
of North Borneo but left unresolved the issae to which of the parties
these islands belonged.
This temporary arrangement lasted until 2 January 1930, when a
Convention was concluded between Great Britain and the United States
in which a line wos drawn separating the islands belonging to the
Philippine Archipelago on the one hand and the islands belonging to the
State of North Borneo on the other hand. Article III of that Corwention
stated that all islands to the south and west of the line should belong to
the State of North Borneo. From a point well to the north-east of Ligilan
and Sipadan, the line extended to the north and to the east. The
Convention did not mention any island by name apart from the Turtle
and Mangsee Islands, which were declared to be under United States
sovereignty. By concluding the 1930 Convention, the United States
relinquished any claim it might have had to Ligitan and Sipadan and to
the neighbouring islands. But the Court cannot conclude eitherfrom the
I
22
of Notes or from the l9j0 Convention or from any
document emanating from the United States Administration in the
intervening period that the United States did claim sovereignty over
these islands. It can, therefore, not be said with any degree of certainty
1907 Exchonge
that by the l9i0 Convention the United States transferred title to Ligitan
and Sipadan to Great Britain, as Malaysia asserts. On the other hand,
the Court cannot let go unnoticed that Great Britain was of the opinion
that as a result of the 1930 Convention it acquired, on behalf of the
BNBC, title to all the islands beyond the 3-marineJeague zone which
had been administered by the Company, with the exception of the Turtle
and the Mangsee Islands. To none of the islands lying beyond the 3marineJeague zone had it ever before laid aformal claim. Whether such
title in the case of Ligitan and Sipodan and the neighbouring islands
was indeed acquired as a result of the 1930 Convention is less relevant
than the fact that Great Britain's position on the effect of this
Conventionwas not contested by any other Stote.
The State of North Borneo was transformed into a colorry in 1946.
Subsequently, by virtue of Article IV of the Agreement of 9 July 1963,
the Government of the United Kingdom agreed to take -"such steps as
[might| be appropriate and ovailable to them to secure the enactment by
the Parliament of the United Kingdom of an Act providing for the
relinquishment. . . of Her Britannic Majesty's sovereignty and
jurisdiction in respect of North Borneo, Sarawak and Singapore" in
favour of Malaysio.
In 1969 Indonesia challenged Malaysia's title to Ligitan and Sipadan
and claimed to have title to the two islands on the basis of the I89I
Convention.
In view of the foregoing, the Court concludes that it connot accept
Malaysio's contention that there is an uninterrupted series of transfers
of title from the alleged original title-holder, the Sultan of Sulu, to
Malaysia as the present one. It has not been established with certainty
that Ligitan and Sipadan belonged to the possessions of the Sultan of
Sulu nor that any of the olleged subsequent title-holders hod a treatybased title to these two islands. The Court con therefore not find that
Malaysia hos inherited a treaty-based title from its predecessor, the
(Inited Kingdom of Great Britain and Northern lreland.ls
Pada pokok pertanyaan kedua
ini,
sebagaimana pada pokok pertanyaan
pertama, ICJ menyatakan bahwa klaim chain of tittle theory dari Malaysia sama
lemahnya dengan klaim conventional tittle oleh Indonesia, dikarenakan tidak dapat
T
lbid
-t
23
dibuktikan di depan ICJ bukti-bukti hukum yang mendukung klaim tersebut. Selain
itu ICJ menyatakan bahwa tidak ada bukti dokumen authentik yang dapat
meyakinkan bahwa kedua pulau tersebut diwarisi Malaysia dari negara-negara
terdahulunya.
Pada pokok pertanyaan yang ketiga tentang apakah penjajah Indonesia dan
Malaysia (Belanda dan Inggris) sebagaimana diargumentasikan oleh kedua belah
pihak yang bertikai telah menunjukan keberadaannya sebagai pemilik pulau tersebut
sebagaimana yang diterminologlkan dalam bahas Perancis effectivites, ICJ
menyimpulkan bahwa Malaysia memiliki sejumlah dokumen yang menunjukan
adanya adrninistrasi berkesinambungan yang dilakukan pemerintah kolonial Inggns
terhadap kedua pulau sengketa. Tindakan pengelolaan Inggris dibuktikan dengan
beragam pelaksanaan baik
itu
administratif, legislatif dan quasi yudisial yang
diperlihatkan dengan fakta pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu
dan pengumpulan telur penyu sejak 1917, penyelesaian kasus-kasus sengketa
pengumpulan telur penyu
di Pulau Sipadan pada tahun
Sipadan sebagai cagar burung
(bird
1930-an, penetapan Pulau
sanctuaries) dan pembangunan , serta
pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 dtPulau Sipadan dan tahun 1963 di Pulau
Ligitan.
Secara lengkap ICJ menyimpulkan;
...The Court observes that both Parties claim that the effectivitis on
which they rely merely confirm a treaty-based title. On an alternative
basis, Malaysia claims that it acquired title to Ligrtan and Sipadan by
virtue of continuous peaceful possession and administration, without
objectionfrom Indonesia or its predecessors in title.
The Court indicates that, having found that neither of the Parties has a
will consider these
treaty-based title to Ligitan and sipadan,
ffictivitds as an independent and separate issue.
notes that, in support of its arguments relating to effectivitds,
Indonesia citbs patrols in the area by vessels of the Dutch Royol Navy,
activities of the Indonesian Nayy, as well as activities of Indonesian
fishermen. It notes furthe,r that, in regard to its Act No. 4 concerning
Indonesian Waters, promulgated on 18 February 1960, in which its
it
It
-!
24
archipelagic baselines ore defined, Indonesia recognizes that it did not
at thot time include Ligitan or Sipadan as base points for the purpose of
drawing baselines and defining its archipelagic waters and territorial
sea, olthough it argues that this cannot be interpreted as demonstrating
that Indonesia regarded the islands os not belonging to its territory.
As regards its effectivitds on the islands of Ligitan and Sipadan,
Maloysia mentions control over the taking of turtles and the collection
of turtle eggs, allegedly the most important economie activity on
Sipadan for many years- Malaysia also relies on the establishment in
1933 of a bird sanctuary on Sipadan. Maloysia further points out that
the British North Borneo colonial authorities constructed lighthouses on
Ligitan and Sipadan Islands in the early 1960s and that these exist to
this day and are maintained by the Malaysion authorities.
The Court first recalls the statement by the Permanent Court of
International Justice in the Legal Status of Eastern Greenland
(Denmark v. Norw ay) case :
"a cloim to sovereignty based not upon some particular sct or title such
os a treaty of cession but merely upon continued display of authority,
'involves two elements each of which must be shown to exist: the
intention and will to act as sovereign, and some actual exercise or
display of such authority.
Another circumstonce which must be taken into account by any tribunol
which has to adjudicate upon a claim to sovereignty over a particular
territory, is the extent to which the sovereignty is also claimed by some
other Power."
The Permanent Court continued:
"It is impossible to read the records of the decisions in cases as to
territorial sovereignty without observing that in mony coses the tribunal
has been satisfied with very little in the way of the actual exercise of
sovereign rights, provided that the other State could not make out o
superior cloim. This is particularly true in the case of claims to
sovereignty over oreos in thinly populated or unsettled countries."
(P.C.I.J., Series A/8, No. 53, pp. 45-46.)
The Court points out that in particular in the case of very small islands
which are uninhabited or not permanently inhabited -- like Ligitan and
Sipadan, which have been of little economic importance (at least until
recently) - ffictivitds will indeed generally be scarce.
The Court further observes that it cannot take into consideration octs
having taken place after the date on which the dispute between the
Parties crystallized unless such acts are a normal continuation of prior
acts and are not undertaken for the purpose of improving the legal
position of the Party which relies on them. The Court therefore,
primarily, analyses the effectivitds which date from the period before
'
-!
25
1969, the year in which the Parties asserted conflicting cloims to
and Sipadan.
Ligitan
The Court finally observes that it can only consider those acts as
constituting a relevant dtsplay of authority which leave no doubt as to
their specific reference to the islands in dispute as such. Regulations or
odministrative acts of a general nature can therefore be taken as
effectivitds with regard to Ligitan and Sipadan only if it is cleor from
their terms or their effects that they pertained to these two islands.
Turning then to the effictivitds relied on by Indonesia, the Court begins
by pointing out that none of them is of a legislative or regulatory
character. It finds, moreover, that it connot ignore the fact that
Indonesian Act No. 4 of I February 1960, which draws Indonesia's
archipelagic baselines, and its accompanying map do not mention or
indicote Ligitan and Sipadan as relevant base points or turning points.
With regard to a continuous presence of the Dutch and Indonesian
navies in the woters around Ligitan and Sipadan, as cited by Indonesia,
it cannot, in the opinion of the Court, be deduced either from the report
of the commanding fficer of the Dutch destroyer Lyra -- which
patrolled the area in I92l - or from any other document presented by
Indonesia in connection with Dutch or Indonesian naval surveillance
and patrol activities that the naval authorities concerned considered
Ligitan and Sipadan and the surrounding waters to be under the
sovereignty of the Netherlands or Indonesia.
The Court finally observes that activities by private persons such as
Indonesian fishermen, cannot be seen as effectivitds f they do not take
place on the basis of fficial regulations or under governmental
authority. The Court concludes that the activities relied upon by
Indonesia do not constitute acts d titre de souverain reflecting the
intention andwill to oct in that capacity.
With regard to the effectivitds relied upon by Malaysia, the Court first
observes thot pursuant to the 1930 Corwention, the United States
relinquished any claim it might have had to Ligitan and Sipadan and
thot no other State asserted its sovereignty over those islands at that
time or objected to their continued administration by the State of North
Borneo. The Court further observes that those activities which took
place before the conclusion of that Canvention connot be seen as acts "d
titre de sowerain", os Greot Britain did not ot that time claim
sovereignty on behnlf of the State of North Borneo over the islands
beyond the 3-marineJeague limit. Since it, however, took the position
tlrut the BNBC was entitled to administer the islands, a position which
after 1907 was formally recognized by the United States, these
ctdministrative activities cannot be ignored either.
26
Both the meosures taken to regulate and control the collecting of turtle
eggs ond the establishment of a bird reserve, as cited by Malaysia as
evidence of such effective administration over the islands, must, in the
view of the Court, be seen as regulatory and administrative assertions of
authority over territory which is specified by name.
The Court observes that the construction and operation of lighthouses
and navigational aids are not normally considered manifestations of
State authority. It recalls, however, that in its Judgment in the case
concerning Maritime Delimitation and Territorial Questions between
Qatar and Bohrain (Qatar v. Bahrain) it stated as follows:
"Certain types of activities invoked by Bahrain such as the drilling of
artesian wells would, taken by themselves, be considered controversial
as octs performed d titre de sotnerain. The construction of navigational
aids, on the other hand, can be legally relevant in the case ofvery small
islonds. In the present case, taking into aceount the size of Qit'at
Jaradah, the activities carried out by Bahrain on that island must be
considered sfficient to support Bahrain's claim thot it has sovereignty
over it." (Judgment, Merits,I.C.J. Reports 2001, para. 197.)
The Court is of the view that the sqme considerations apply in the
present case.
The Court notes that the activities relied upon by Malaysia, both in its
own twme and os successor State of Great Britain, are modest in
number but that they are diverse in character and include legislative,
administrative and quasi-judicial acts. They cover a considerable period '
of time and show a pattern revealing an intention to exercise State
functions in respect of the two islands in the context of the
administration of awider range of islands.
The Court moreover cannot disregard the fact that at the time when
these activities were catied out, neither Indonesia nor its predecessor,
the Netherlonds, ever expressed its disagreement or protest. In this
regard, the Court notes that in 1962 and 1963 the Indonesian
authorities did not even remind the authorities of the colony of North
Borneo, or Malaysia after its independenee, thot the construction of the
lighthouses at those times had taken place on teruitory which they
considered Indonesian; even f they regarded these lighthouses as
merely destined for safe navigation in an orea which was of particular
importonce for navigation in the woters off North Borneo, such
behaviour is unusuol. Given the circumstances of the case, and in
particular in view of the evidence furnished by the Parties, the Court
concludes that Malaysia has title to Ligitan and Sipadan on the basis of
the effectivitds referred to above.le
re
http://www.icj-cij.org/icjwwdidocket/iimmasumrnaries/irnma
isummaries doc.htm
\
27
Pada pokok pertanyaan ketiga inilah, ICJ akhirnya memutuskan untuk
memberikan hak kedaulatan kepada Malaysia. Inggris sebagai penjajah Malaysia
lebih melakukan effetivities daripada Belanda sebagai penjajah lndonesia maupun
Indonesia setelah kemerdekaawtya.
ICJ menegaskan bahwa fakta-fakta yang diajukan Malaysi4 walaupun sedikit
namun bervariatif yang membuktikan adanyapengelolaan secara damai dan berlanjut
Inggns atas kedua pulau tersebut yang melingkupi suatu periode waktu yang
memadai dan dinilai memperlihatkan suatu keinginan untuk melaksanakan fungsi-
fungsi negara berkaitan dengan kedua pulau dalam rangka pengelolaan yang lebih
luas atau dengan kata lain menunjukan pelaksanaan yang nyata dari itikad dan
kemauan untuk menegakan sifat perbuatan yang didalamnya melekat dasar dari
kedaulatan negara.
Putusan kasus Eastern Greenland antara Denmark
v. Norwegia yang
menentukan dua kriteria penting untuk menunjukan adanya effetivrties yaitu (1)
(will) untuk bertindak sebagai negara
,pada
pelaksanaan
yang
(2)
wilayah
disengketakan;
adanya tindakan nyata atau
kehendak (intention) dan kemauan
kewenangan negara (actual exercise or display of such authority) serta pertimbangan
ada atau tidaknya klaim yang lebih tinggt (superior claim) dari pihak lawan dalam
sengfueta, dijadikan acuan oleh ICJ dalam memutuskan sengketa tersebut.
Menurut ICJ, kriteria pertama dibuktikan dengan adanya peraturan Inggns
mengenai ketentuan tentang cagfi burung dan ketentuan tentang pengambilan telur
penyu, sementara ICJ menilai Indonesia tidak memiliki klaim yang lebih tinggi
bahkan dalam peta yang dilampirkan pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1960 yang
menentukan laut teritorial Indonesia, kedua pulau tersebut tidak diatur.
Kriteria kedua menurut ICJ dibuktikan dengan adanya
mercusuar
di
Pulau Sipadan tahun 1962 dan
pembangunan
di Pulau Ligitan tahun 1963 yang
dilakukan Inggns, sedangkan Indonesia atas pembangunan ini tidak melakukan protes
sama sekali.
\
29
Perbatasan adalah bagran dari suatu wilayah negara yang unik dibandingkan
dengan wilayah lainnya. Menurut Stephen B. Jones,2r perbatasan adalah lebih dari
sekedar garis-garis (lines) pada suatu peta, karena sesungguhnya perbatasan berkaitan
dengan wilayah-wilayah (regions), dengan demikian perbatasan selain menampilkan
sebuah kondisi
multi dimensi, yakni wilayah perbatasan yang tidak hanya berkaitan
dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat yang berdiam di dalamnya tetapi juga
aspek
fisik wilayah itu sendiri, yakni wilayah yang berupa permukaan bumi, wilayah
dibawah permukaan bumi, dan wilayah ruang angkasa.
Sesuai dengan kewajiban hukum internasional dan Pasal
33 ayat I Piagam
PBB, sengketa yang te{adi antar negara hendaknya diselesaikan secara damai. Dalam
hal ini terdapat beberapa carayangdapat dilakukan oleh para pihak yang bersengketa
yaitu melalui penyelesaian secara politis dan penyelesaian secara yuridis. Para pihak
yang bersengketa diberikan kebebasan untuk memilih penyelesaian secara damai
termasuk juga penggunaan good
ffices yang mensyaratkan
peranan minimal pihak
ketiga. Penyelesaian secara politis dapat dilakukan secara bilateral ataupun negosiasi
langsung para pihak atau dengan melibatkan pihak ketiga yang netral berupa enquiry,
mediasi atau konsiliasi. Sedangkan secara yuridis dapat dilakukan dengan lembaga
yudisial yang bersifat ad-hoc yaitu arbitrasi atau lembaga yang permanen berupa
Mahkamah Internasional (International Court of Just ice/ICJ)).
Mahkamah Internasional merupakan satu-satunya organ umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyelesaikan sengketa dengan cara penyelesaian
yudisial yang menggantikan dan melanjutkan kontinuitas Permanent Court of
I nter nat i onal J us t ice.22
2r
Stephen B. Jones dalam Muchlis Hamdi, "Pengelolaan Wayah Perbatasan" Majalah Berita
Misi 02iTh l/ Desember 2002/Jaruori 2aB,Diterbitkan oleh Depdagn RI Jakarta.
22
Pengukuhan kedudukannya dilaksanakan pada tanggal 18 April 1946, dan pada tanggal itu
juga Permanent Court of International Justice dibubarkan oleh Majelis Liga Bangsa-Bangsa pada
Perbatasqn
waktu sidang terakhirnya. Mahkamah Internasional dibentuk berdasarkan Bab
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirumuskan
di
IV
(Pasal 92-96)
San Fransisko pada tahun 1945. Pasal92
Piagam menyatakan bahwa Mahkamah adalah organ utama Perserikatan Bangsa-Bangsa
dan
menentukan bahwa Mahkamah akan bekerja menurut suatu Statuta, yang merupakan bagian integral
-!
30
Secara prosedural, penyelesaian sengketa melalui ICJ harus didahului dengan
kesepakatan negara yang bersengketa sebagaimana diatur dalam
Art. 36 ayat (1)
Statuta ICJ yang merumuskan:
jurisdiction of the court comprises all coses which the parties refer
to it and all matters specially provided for in the Charter of the United
Nations or in treoties and conventions inforce.
The
Didasarkan pada Pasal di atas juga, ICJ memiliki yurisdiksi terhadap semua
masalah yang disampaikan oleh negara, dan semua hal yang tercantum dalam Piagam
PBB atau peianjian serta konvensi yang berlaku namun berbeda dengan penyelesaian
secara politis, karakteristik utama dari penyelesaian hukum adalah kekuatan hukum
atau sifat memaksa dari putusan ICJ. Dalam Pasal 94 Piagam PBB mengindikasikan
keterlibatan Dewan Keamanan PBB untuk memaksakan pelaksanaan putusan jika
salah satu dari para pihak itu menghindari kewajiban yang diputuskan ICJ.
Dalam menyelesaikan kasus-kasus yang diajukan kepada ICJ, Art" 38 ayat I
Statuta ICJ merumuskan bahan-bahan yang dapat dipergunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk mengadili perkara,
berupa:
,
The court, whose function is to decide in accordance with international
low such disputes as are submitted to it shall apply:
o. international convention, wheter general or particular establishing
rules expressly recognized by contracting state;
b. international custom, as evidence of a generol practice accepted as
low;
c. the general principles of law recognized by civilized nations;
d. subject to the provision of article 59, judicial decissions and the
teachings of the most highly qualified publicists of the various
notions, as subsidiary meansfor the determinotion of rules of law.
Penggunaan asas-asas umum (General principles
of law), dianggap
merupakan statu non liquet, yaitu mengatasi persoalan ketidakmampuan ICJ untuk
memutuskan suatu perkara menurut hukum karena tidak mampu menemukan kaidah-
dari Piagam. Lihat. J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional
Cet. Ke 2.1989. Hlm 652.
,1.
Aksara Persada Indonesia Jakarta
-t
31
kaidah hukum yang dapat digunakan untuk perkara tersebut, ketentuan ini dipandang
juga
sebagai
tidak mengadakan kaidah baru, melainkan hanya menyatakan
(declaratory)apa yang sudah lama ada sebagai praktek Mahkamah Internasional.23
Secara umum dan secara tradisional terdapat lima cara untuk mendapatkan
kedaulatan teritorial, yaitu; pendudukan (occupation), aneksasi (anexation), akresi
(occretion), sesi (sess ion) danpreskripsi Qtrescription). Menurut J. G. Starke'o carucara ini sejajar dengan cara-carahukum sipil untuk mendapatkan kepemilikan pribadi
.dan cara-cara ini pada hakikatnya turun menjadi suatu pertunjukan kontrol dan
wewenang yang efektif oleh negara yang mengklaim kedaulatan atau oleh suatu
negara darimana negara mengklaim kedaulatan itu dapat membuktikan bahwa hak
itu
telah diambil. Secara singkat kelima cara tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut;
1. Aneksasi (annexation), yaitu metode penambahan wilayah negara dengan
- kekerasan atau dipaksakan dengan dua bentuk keadaan, yaitu:
cara
a. Apabila wilayah yang dianeksasi telah ditundukkan oleh negara yang
menganeksasi tanpa adanyapengumuman kehendak;
b. Apabila wilayah yang dianeksasi dalam kedudukan yang benar-benar berada
di bawah negara yang menganeksasi pada waktu diumumkannya kehendak
aneksasi oleh negara tersebut.
2.
Akresi (accretion), yaitu metode penambahan wilayah negara, dimana hak yang
didapatkan melalui penambahan wilayah yang terjadi apabila ada wilayah baru
yang ditambahkan, terutama dikarenakan oleh sebab-sebab alamiah, yang
mungkin timbul karena pergerakan sungai atau lainnya (misalnya tumpukan pasir
karena tiupan angrn) terhadap wilayah yang telah ada yang berada
di
bawah
kedaulatan negara yang memperoleh hak tersebut.
"
Ibid. Hlm. 3l-32. lihat juga Muchtar Kusumaatmadja, Pengantor Hukum Internasional.,
Bina Cipta Bandung, 1978. Hlm. 107-108.
'o J. G. Starke, Op.cit. Hlm. 144
-!
32
3.
Sesi (cession), yaitu metode penambahan wilayah negara dikarenakan adanya
penyerahan oleh pihak lain baik secara sukarela maupun secara paksa melalui
peperangan.
4.
Preskripsi Qtrescription), yaitu metode yang dihasilkan
dari
pelaksanaan
kedaulatan secara damai untuk jangka waktu yang sangat lama atas wilayah yang
sebenamya tunduk pada kedaulatan negara lain, dan karena jangka waktu tersebut
telah menghilangkan kesan adanya kedaulatan oleh negara terdahulu.
5.
Okupasi (occupation), yaitu penegakan kedaulatan atas wilayah yang bukan
dibawah wewenang negara lain entah yang baru ditemukan atau ditinggalkan
oleh negara yang sebelumnya menguasainya.2s
Pendudukan dan aneksasi didasarkan pada suatu tindakan penahanan efektif
terhadap wilayah, sementara akresi dapat dimaknakan sebagai suatu tarnbahan
kepada suatu wilayah dimana telah ada kedaulatan. Preskripsi tergantung pada
pelaksanaan kedaulatan secara sinambung dan secara damai atas suatu wilayah dalam
jangka waktu yang panjang, sementara penyerahan atau sesi mengandaikan bahwa
negara yang menyerahkan
itu mempunyai
kekuasaan untuk memberikan wilayah
yang diserahkan itu.
Selain kelima cara ini terdapat satu lagi cara untuk memperoleh kedaulatan
territorial wilayah yaitu melalui keputusan oleh suatu konferensi negara-negara- Cara
ini umumnya terjadi dimana suatu konferensi negara-negara yang menang pada akhir
suafu perang menyerahkan wilayah kepada suatu negara, mengingat
suafu
penyelesaian perdamaian umurn2 misalnya pembagian kembali wilayah Eropa dalam
konferensi perdamaian Versailles 191 9.
Menurut definisinya, okupasi dapat diartikan sebagai penegakan kedaulatan
atas wilayah yang bukan
di bawah penguasaan
2'J. G. Starkg lbid.Iilm.145-152.
negara manapun, baik wilayah yang
-!
JJ
baru ditemukan ataupun wilayah yang ditinggalkan oleh negara yang semula
menguasainya.
Secara klasik, pokok permasalahan dari suatu okupasi adalah adanya suatu
tena nullier. Wilayah yang didiami oleh suku-suku bangsa atau rakyat-rakyat yang
memiliki organisasi sosial dan politik tidak dapat dikatakan termasuk dalam suatu
kwalifikasi terra nullius. Jika suatu wilayah daratan didiami oleh suku-suku atau
rakyat yang terorganisir, maka kedaulatan wilayah
itu
harus diperoleh dengan
membuat perjanjian-perjanjian lokal dengan pemimpin-pemimpin atau wakil-wakil
suku atau bangsa itu.
Dalam menentukan apakah selalu terjadi atau tidak suatu pendudukan sesuai
dengan hukum internasional. Sebagian terbesar ditentukan dengan prinsip
keefektifan. Dalam Eastern Greenland Case26, Permanent Court of International
Justice menetapkan bahwa okupasi agar dapattedaksana secara efektil mensyaratkan
adanya dua unsur di pihak negara yang melakukan, yaitu:
1.
suatu maksud atau keinginan untuk bertindak sebagai pihak yang berkuasa;
2.
pelaksanaan atau penunjukan kedaulatan secara
memadai.
,
Unsur kehendak merupakan kesimpulan dari semua fakta, meskipun
terkadang kehendak tersebut dapat secara formal ditegaskan dalam pengumuman
resmi kepada negara-negara lain yang berkepentingan" dalam hal ini harus terbukti
adanya suatu maksud untuk tetap terus memegang kontrol atas wilayah tersebut.
Suatu okupasi yang bersifat sementara waktu oleh negara yang dianggap melakukan
'u ...'a claim to sovereignty based not upon some particvlar qct or title such as a treaty of
cession but merely upon contimrcd display of authority, involves twa elements each of which must be
shwwt to efist: the intention and will to act as swereign, and some actual exercise or display of such
authority.Another circumstqnce which must be taken into account by any tribunal which has to
adjudicate upon a claim to sovereignly over d pffiicalar territory, is lhe extent to which the
sovereignly is also claimed by some other Power...h is impossible to read the records of the decisions
thot in mcmy cases the triburul hos been
in cases as to territoriql sovereignty without
satisfied with very little in the way of the acnal exercise of sovereign rights, provided that the other
State could not malce out a superior cloim. This is particularly true in the case of claims to sovereignly
over qreqs in thinly poprlated or unsettled camtries. " Iebih jelas lihat Decisions yang dapat diakses
pada: hup://www.icj-cij. org/icjwwwfidecisions.htm
\
35
Dalam beberapa kasus tertentu diperlukan penentuan keluasan wilayah yang
tercakup oleh tindakan okupasi. Dalam sejarah hukum internasional kita menemukan
banyak teori yang berkaitan dengan okupasi, namun terdapat dua teori yang dianggap
penting yaitu:
1.
Teori Kontinuitas (continuity), teoi ini menganggap tindakan okupasi di suatu
wilayah tertentu memperluas kedaulatan negara yang melakukan okupasi sejauh
diperlukan untuk menjamin keamanan atau pengembangan alam wilayah terkait.
2. teori Kontiguitas (contiguty), teori ini
menganggap kedaulatan negara yang
melakukan okupasi tersebut mencakup wilayah-wilayah yang berbatasan yang
secara geograpis berhubungan dengan wilayah terkait.
Teori ini berkaitan erat dengan klaim beberapa negara tertentu di daerah
kutub. Klaim tersebut di dasarkan atas prinsip sektor dimana beberapa negara yang
wilayahnya berbatasan dengan kutub telah menyatakan suatu hak kedaulatanterhadap
tanah atau laut membeku di dalam suatu seklor yang di batasi oleh garis pantai
wilayah ini dan oleh garis-garis bujur yang berpotongan di kutub utara atau kutub
selatan. Klaim-klaim seperti
ini telah dikemukakan baik di Arctic oleh Rusia dan
Kanada khususnya maupun di Antartika oleh Argentina, Australia, Inggris, Chile,
Perancis, New Zealand dan Norwegia.
Dasar pembenaran utama untuk klaim-klaim seklor tersebut adalah tidak dapat
diterapkannya prinsipprinsip normal asumsi fisik kontrol yang tersirat dalam hukum
internasional mengenai okupasi terhadap wilayah-wilayah kutub, yang tidak dapat
dimasuki, dengan kondisi-kondisi iklim dan kurangnya pemukiman. Sekftor-sektor ini
sendiri sesuai dengan pembagian yang adil dan pantas. Dilain pihak, kiranya tidak
dapat
di
sangkal bahwa klaim-klaim sektor tersebut sebenarnya hanyalah sekedar
pengumuman mengenai kehendak
di
masa yang akan datang
untuk
memegang
kontrol sepenuhnya, sesuatu yang hampir sama dengan keinginan untuk menunjukam
lingkungan pengaruh atau lingkungan kepentingan dalam hubungan internasional.
Yang utama adalah bahwa negara-negara seklor tersebut harus berusaha memperkuat
-t
36
hak administrasi, aktivitas negara yang secara tradisional digunakan oleh negaranegara yang berkehendak mendapatkan hak melalui okupasi.
Kritik lain
atas klaim-
klaim sektor secara tegas dan tepat ditujukan pada sifat tidak tetapnya garis-garis
sektor, terhadap fakta bahwa garis ini merentang menyeberangi wilayah-wilayah laut
bebas yang luas.27
Selain dari kasus diatas berikut ini adalah kasus Pulau Miangas (Las Palmas)
antara Belanda melawan Amerika Serikat tahun 1928, yang memberikan penjelasan
lebih lanjut tentang effective occupation.
Akibat perang Spanyol-Amerika, Spanyol berdasarkan perjanjian Paris 1898
menyerahkan Filipina kepada Amerika Serikat (AS). Pada tahun lg}6,pejabat negara
AS mengunjungi pulau Miangas, terletak kira-kira 50 mil di sebelah
tenggara
Semenanjung San Agustin di atas pulau Mindanao dengan panjang 2 mil dan lebar I
mil dan ia yakin bahwa pulau tersebut merupakan wilayah yang diserahkan kepada
AS. Tetapi ternyata di pulau tersebut terdapat bendera negara Belanda.
Setalah
gagalnya perundingan arfiara Belanda dan AS, mereka sepakat mengajukan persoalan
ini ke badan arbitrase yang dipimpin oleh Max
Hubefs.
,
Dalam memutuskan kasus ini, beberapa aspek penting diantaranya adalah;
jika timbul sengketa yang menyangkut kedaulatan atas sejumlah wilayah maka sudah
merupakan kebiasaan untuk menelaah negara-negara mana saja yang mengklaim
kedaulatan tersebut, yang memiliki alas hak yang sah yang lebih tinggi (baik itu
melalui penyeraban/cession, penaklukan, maupun okupasi) atas
negara-negara
lainnya yang juga mengajukan klaim yang sama.
Meskipun demikian,
jika persetenran di
dasarkan pada kenyataan bahwa
pihak lainnya juga telah mengumumkan kedaulatan, maka hal itu tidak cukup untuk
membenttrk alas hak, karena harus ditunjukan pula bahwa kedaulatan atas wilayah
2'
Adilaya Yusu{ "Penerapan Prinsip Pendudukan
Makalah dalam Diskusi FH Univ. Indonesia. 2003. Hlm 6
Efektif Dalam Perolehan Wilayah"
28 Putusan, pertimbangan dan proses kasus ini dapat diakses pada http://www.icj-
cij.
org/icjumu/igenralinformation. htm
37
tersebut juga telah berlangsung dan tetap adapada saat putusan untuk perselisihan
itu
ditetapkan.
Alas hak dari penyerahan kedaulatan wailayah dalan hukum internasional juga
berdasarkan atas tindakan effective occupation, dengan mengasumsikan bahwa negara
yang menerima memiliki kemampuan untuk mengatur secara efektif wilayah yang
diserahkan tersebut. Dalam carayang sama, penambahan wilayah secara alami dapat
dianggap sebagai suatu penambahan atas bagian wilayah yang telah ada kedaulatan
yang sesungguhnya. Oleh karena
itu
merupakan
hal yang wajar apabila untuk
mewujudkan kedaulatan dibutuhkan suatu tindakan yag terus menerus dan juga
dilakukan secara damai.
Perkembangan hukum internasional yang marak pada abad ke-18 menuntut
bahwa okupasi yang seharusnya efektif akan dianggap sebagai suatu tindakan okupasi
yang tidak efektif,
jika efektifitas
tersebut hanya dibutuhkan pada saat tindakan
pengambilaliha4 namun tidak pada saat pemeliharaan daerah tersebut
Perwujudan dari kedaulatan wilayah mengasumsikan bentuk-bentuk yang
berbeda berdasarkan kondisi waktu dan tempat. Meskipun secara prinsipil kedaulatan
tersebut dilakukan secara terus menerus, pada kenyataannya kedaulatan tidak dapat
dilaksanakan pada setiap saat di setiap titik wilayah yang bersangkutan.
Alas hak yang diajukan AS sebagai dasar klaim adalah
penyerahan,
sebagaimana termuat dalam perjanjian Paris 1889 tentang pengakhiran perang antara
spanyol dan AS. Dalam perjanjian tersebut penyerahan dari spanyol ke AS
memberikan seluruh hak kedaulatanyangdimiliki oleh Spanyol terdahulu, termasuk
pulau Palmas atau Miangas. Oleh karena itu AS mendasarkan klaimnya sebagai
successor dari Spanyol.
Kedua belah pihak mengakui bahwa hukum internasional mengalami
perubahan mendasar pada abad ke-19, berkaitan dengan hak-hak penemuan dan
akuisisi dari daerah yang tidak didiami atau daerah yang didiami oleh orang-orang
dari suku terbelakang. Kedua pihak juga menyetujui bahwa fakta yuridis harus
38
disesuaikan dengan hukum yang lebih modern, dan bukan hukum yang berlaku pada
saat perselisihan teresbut mencuat untuk diselesaikan.
Belanda mendasarkan klaim kedaulatannya pada alas hak pelaksanaan
kewenangan negara yang damai dan secara terus menerus. Hal
ini berlaku sebagai
bukti kedaulatan dalam hukum internasional.
Dalam penilaian Arbitor, Belanda telah berhasil dalam mewujudkan fakta
sebagai berikut:
b. Pulau Miangas
identik dengan pulau yang memiliki nama yang sama atau serupa,
yang telah ditemukan sejak tahun 1700. salah satu bagian dari pulau tersebut
bernama Sangi (kepulauan Tau Latse).
c.
wilayah ini sejak tahun 1677 tervs berhubungan dengan East Indian Company
dalam hal
ini
dengan Belanda, melalui perjanjian yang dibuat berdasarkan
kekuasan raja.
d.
Undang-undang
yang menunjukan adanya karakteristik
otoritas negara yang
dilaksanakan baik oleh wilayah yang diperintah maupun negara penguasa
berkaitan dengan pulau Palmas, telah ditetapkan antara periode tahun 1700-,1898,
begitu juga periode 1898-1906.
Tindakan yang mengatur baik secara langsung maupun tidak langsung
pelaksanaan kedaulatan Belanda
di Pulau Palmas, khusunya di abad ke-18 dan ke-19
tidaklah banyak. Banyak pertentangan yang harus dipertimbangkan dalam bukti
pelaksanaan kedaulatan secara terus menerus. Namun harus
pula dipertimbangkan
bahwa pelaksanaan kedautatan terhadap putau yang kecil dan terpencil, yang dihuni
hanya suku-suku asli, bukanlah suatu yang mudah untuk terlaksana secara terus
menems dalam waktu yang sangat lama. Untuk membuktikan pihak mana saja yang
menganggap dirinya telah
memiliki kedaulatan di atas Pulau Miangas
tersebut,
cukuplah dengan ditunjukannya kedaulatan pada tahun 1898, dan yang telah ada
secara terus menerus dan damai sebelum waktu tersebut dengan jangka waktu yang
cukup lama.
\
39
Tidak adanya konflik antara Spanyol dan Belanda menyangkut Pulau Miangas
selama lebih dari dua abad, merupakan bukti tidak langsung dari dilaksanakannya
kedaulatan ekslusif oleh pemerintah Belanda.Dalam penilaian arbitor, tidak ada lags
bukti lain yang menunjukan pelaksanaan kedaulatan lebih dari yang ditampilkan oleh
Belanda, baik itu oleh Spanyol maupun oleh negara lain.
Suatu tindakan okupasi lebih sering didahului oleh tindakan penemuan di
dalam tahap awalnya. Tindakan penemuan semata-mata tidak cukup dijadikan dasar
untuk memberikan hak secara okupasi. Hak kepemilikan yang tidak lengkap itu
hendaknya diperkuat dengan otoritas nyata yang berlangsung terus menerus dan
damai. Dalam kasus ini perselisihan hak antara Amerika Serikat, yang mengajukan
klaim atas dasar pengganti Spanyol yang mengklaim telah menemukan pulau tersebut
dan Belanda yang menurut bukti sejarah yang diajukan kehadapan arbitrasi telah
cukup lama diakui telah melaksanakan kedaulatannya atas pulau tersebut. Arbitrator
akhirnya memutuskan menyerahkan pulau tersebut kepada Belanda, dan dalam
pertimbangan putusannya terutama menekankan fakta bahwa pelaksanaan kekuasaan
efektif yang terus menerus dalam waktu lama dapat memberikan hak menurut hukum
internasional.
Dalam sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagaimana yang telah
dijelaskan pada bagian sebelumnya, ICJ memutuskan perkara ini dengan berdasarkan
pada aktivitas okupasi secara efektif yang dilakukan para pihak. ICJ memutuskan
Malaysia sebagai pihak yang berhak atas kedua pulau tersebut karena ICJ
menganggap Malaysia telah dapat menunjukan pelaksanaan okupasi secara efektif
terhadap kedua pulau itu.
Hal ini dibuktikan Malaysia dengan
membuktikan adanya Peraturan
pengurusan penyu dan pengumpulan telur penyu yang telah dilakukan Inggris sejak
tahun
l9l4
dan merupakan kegiatan ekonomi paling penting disana. Kemudian
dibuktikan juga dengan adanya pembentukan usaha cagar burung pada tahun 1933
serta pembangunan mercusuar
Authorities
di kedua
oleh
British North Borneo Colonial (BNBC)
pulau tersebut pada tahun 1960-an yang masih dan terus
'!
40
dipelihara oleh otoritas Malaysia. Selain itu dikuatkan juga dengan adanya peraturan
perundang-undanga Pemerintah Malaysia mengenai pariwisata di Sipadan serta sejak
tanggal 25 September 1997 dinyatakan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
merupakan daerah yang dilindungi di bawah Malaysia' protected areas.
Dalam hal okupasi secara efektif ini, ICJ pertama mengamati bahwa sesuai
dengan Konvensi tahun 193A, AS melepaskan klaim bahwa AS
memiliki kedaulatan
atas kedua pulau tersebut dan tidak ada flegara lain yang mengemukakan
kedaulatannya
di
atas kedua pulau tersebut pada saat itu, atau merasa keberatan
dengan pemerintahan yang berkelanjutan oleh State of North Borneo. ICJ mengamati
juga bahwa akrivitas-aktivitas yang tedadi sebelum dibuatnya Konvensi tidak dapat
dianggap sebagai tindakan "a titre de sotnerain",karena Inggts pada saat ifu tidak
mengajukan klaim kedaulatan atas nama State of North Borneo atas pulau-pulau
diluar batas 3 marine-league. Karena ICJ beranggapan bahwa BNBC mempunyai hak
untuk memerintah kedua pulau tersebut, posisi yang setelah tahun 1907 secara formal
diakui AS, maka kegiatan-kegaiatanadministratif ini tidak dapat diabaikan.
Sebagai
buhi administratif efektif
terhadap kedua pulau
it,
Malaysia
menyatakan bahwa ukuran yang diambil olen Otoritas North Borneo untuk mengatur
dan mengendalikan tindakan pengumpulan telur penyu
di
Sipadan dan Ligitan
merupakan sebuah aktivitas ekonomi yangnyatadi daerah tersebut pada saat itu. Hal
ini
merujuk pada Turtle Preservation Ardinance
l9l7 yang bertujuan untuk
membatasi penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu dalam wilayah State
of
North Borneo atau perairan wilayahnya. ICJ mencatat bahwa ordonansi dibuat dalam
kaitan sistem pemberian lisensi dan untuk menciptakan notive reserves untuk
pengrrmpulan telur penyu dan Sipadan terdaftar diantara pulau-pulau yang termasuk
dalam native reserves tersebut. Malaysia membuktikan dokumen yang menunjukan
Ordonansi Pelestarian Penyu
l9l7
berlaku setidaknya sampai tahun 1950. dalam hal
ini, Malaysia menyatakan bahwa izin yang dikeluarkan pada tanggal 28 April lg54
oleh Pejabat Distrik Tawau memperkenankan penangkapan penyu yang
dengan bagian
2 dan ordonansi
sesuai
tersebut yang meliputi wilayah yang didalamnya
\
4t
pulau-pulau Sipadan, Ligitan, Kapalat,Mabul, Dinawan dan Siamil. Kemudian
dibuktikan juga oleh Malaysia bahwa otoritas administratif sebelum dan sesudah
tahun 1930 dengan beberapa kasusnya berhasil menyelesaikan sengketa pengumpulan
telur penyu di Sipadan. Malaysia merujuk fakta bahwa pada tahun 1933, Sipadan
dinyatakan sebagai suatu reserve bagr tujuan penangkaran burung berdasarkan bagian
28 dari Ordonansi Tanah 1930.
Menurut ICJ baik ukuran yang diarnbil untuk mengatur dan mengendalikan
pengumpulan telur penyu dan usaha penangkaran burung harus dilihat sebagai
pernyataan tegas tentang pengaturan dan pernyataan administatif dari otoritas
terhadap wilayah tersebut. Ditambahkan oleh ICJ mengenai pembangunan mercusuar
bahwa pembangunan dan pengoperasian mercusuar dan banfuan navigasi pada
umumnya tidak berdasarkan perwujudan otoritas negara, namun ICJ mengingatkan
kembali bahwa dalam putusannya pada kasus yang menyangkut maritime
delimitation and territorial question between Qatar and Bahrain, yangdinyatakan:
Jenis-jenis kegiatan tertentu yang ditimbulkan oleh bahrain seperti
mengebor sumur artesian dianggap kontroversial sebagai tindakan yang
dilaksanakan a titre de souveraln. Pembangunan alat bantu pelayaran di
pihak laiq secara hukum relevan dalam kasus pulau-pulau kecil. Dalam
kasus sekarang ini, dengan memperhitungkan Qit'at Jaradah. Kegiatan
yang dilaksanakan oleh Bahrai terhadap pulau tersebut harus dianggap
cukup untuk mendukung klaim Bahrain bahwa Bahrain memiliki
kedaulatan atas wilayah tersebut.2e
Pertimbangan
ICJ pada kasus Qatar v Bahrain tersebut kemudian
dipertimbangkan yang sama pada kasus Sipadan dan Ligitan.
Dalam klaim Indonesia untuk menunjukan otoritasnya pada kedua pulau itu
ICJ mempertimbangkan bahwa laporan dari Komandan kapal patroli Belanda Lynk
ataupun dokumen yang berkaitan dengan patroli laut Indonesia dan Belanda di kedua
pulau itu tidak cukup membuktikan otoritas atas kedua pulau itu. Ditambahkan oleh
2e
Judgements, Merits,
ICJ Reports 2001 para 197. kutipan ini dapat diakses
http://www.icj-cij.org /icjwwdidocket/iimmasummaries/imma isummaries doc.htm
pada
\
43
In porticulor, Article IV of the l89I Convention, in establishing the
4" l0'line to allocate territory beyond Borneo's east coast ond "ocross
the Island of Sebittik" should hwe been preswned to extend so far as
necessary to allocate the two islands - which clearly lie south of the
line -- and thereby to resolve any future source of disputation It ought
to hsve been presumed that a treaty intended to resolve all outstanding
issues in the area could not have intended to leave the disposition of
Ligitan and Sipadan up to turtle egg collection and piraqt patrolling.
Indeed there is ample evidence to validate this logical, if rebuttable but
unrebutted, presumption. The Dutch Government's map accompanying
the Explanotory Memorandum by which the ratification of the l89l
Convention was urged upon the States-General shows the 4" l0'line
extending out to sea eastward of Sebatik. This map was well lcnown to
the British Government, which had been alerted to it by its Minister in
The Hague. There was no objectionfrom London. In more recent times,
Indonesian and Malaysian oil exploration concessions were also careful
to respect the extension of this line well east of Sebatik. These facts duly
support the inference that the 4" 10'line was not intended to end on the
eost coast of Sebatilc
Moreover, the legal preswnption -- recognized in this Court's
jurisprudence -- that treaties establishing borders, boundaries and lines
of allocation between Stotes are intended to ffict closure has an
important role to play in establishing the legal rdgime that underpins
world peace. Such treaties should be interpreted broadly, not narrowly
as f they were contracts for the sale of barley. In this light, the
4o l0'line in the 1891 Convention should hove been recognized as
dispositive in this dispute.3o
'
Hakim Franck menyesalkan sikap ICJ yang tidak berani untuk meninggalkan
pendekatan konvensionalnya dalam upaya menafsirkan Pasal IV Konvensi 1891 yang
menjadi sumber persengketaan. Dalam dissenting opinion-nya ia menyatakan bahwa
mengingat arti pentingnya peqanjian perbatasan untuk menghindari konflik maka ia
harus ditafsirkan secara luas yakni dengan menggunakan sejenis pembuktian terbalik
Qresumption).
Walaupun berbeda dengan hakim lainnya namun dalam persoalan sengketa
wilayah dan persoalan penambahan wilayah negar4 apa yang disampaikan oleh
'0 Annex to Press Release 2002/39bis
\
44
Hakim Ad-Hoc Thomas J. Franck ini patut diperhitungkan mengingat dewasa ini
hukum internasional banyak berdasarkan pada konvensi ataupun pe{ anj ian-perjanj ian
internasional atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perjanjian (internationol
eonvention) merupakan sumber hukum intemasional yang utama, walaupun ia
bukanlah merupakan sumber hukum internasional satu-satunya.
C.
Tinjauan Teoritis Atas Kekalahan Indonesia
Sebagaimana yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, didasarkan pada
kewajiban hukum internasional negara-negara yang bersengketa hendaknya
menyelesaikan permasalahan diantara mereka secara damai, baik
itu secara politis
maupun secara yuridis. Secara teoritis penyelesaian sengketa secara politis dan
yuridis dengan melibatkan pihak ketiga mempunyai esensi berbeda, meski keduanya
sama menekankan keterlibatan pihak ketiga yang netral untuk menengahi
persengketaan yang muncul. Karakleristik yang membedakan keduanya
ini terletak
pada sifat mengikat dari putusan atau yang dihasilkannya dimana solusi politis,lebih
bersifat rekomendasi, sementara putusan hakim memiliki kekuatan hukum bagi
implementasinya.
Dalam kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, Putusan ICJ
hendaknya tidak dapat ditafsirkan sebagai suatu kegagalan diplomasi mengingat
penyelesaian damai melalui ICJ sepenuhnya merupakan suatu proses hukum yang
fair, transparan dan berwibawa. Putusan ICJ telah didasarkan atas "term of
reference" yang disepakati dan diminta oleh kedua pihak, yakni berdasarkan
pertimbangan perjanjian tertulis (treaty agreement) atau praktek kenegaraan.
Sebaliknya kesepakatan kedua negara untuk membawa penyelesaian klaim
kepemilikan atas wailayah kedaulatan secara damai melalui proses adjudikasi justru
selayaknya ditafsirkan sebagai suatu preseden baik bagi kedua negara dan bahkan
bagi kawasan karena keputusan politik tersebut setidaknya telah berhasil mengisolir
1
45
isu kedaulatan yang sensitif, yang apabila tidak ditangani secara bijaksana, sangat
potensial menimbulkan konflik bersenjata dan mengganggu kestabilan kawasan.3l
Menurut Pemerintah R[ terdapat kesalapahaman mengenai kasus ini, yaitu
tentang kekalahan Indonesia atas putusan ICJ adalah kekalahan diplomasi dan
kesalapahaman yang menyatakan bahwa dengan putusan
ini maka wilayah Indonesia
berkurang. lvlenurutN. Hasan Wirajuda, Menteri LuarNegeri RI;
...persoalan utama yang terkait adalah kecenderungan menyamaratakan
makna proses penyelesaian secara hukum dengan diplomatis. Kesan ini
mengemuka dengan mencermati tanggapan yang berkembang luas yang
menafsirkan bahwa putusan mahkamah internasional dalam Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan sebagai kekalahan dan kegagalan diplomasi.
Kesalahpahaman ini berkembang, bahwa Indonesia berkurang wilayahnya
akibat putusan Mahkamah yang memberikan kedua pulau tersebut kepada
Malaysia. Hal ini mencerminkan pencampur adukan status kepemilikan
atas suatu daratan/pulau yang menjadi sengketa (soveregnity) dengan
masalah residual yang berkaitan dengan delimitasi batas maritim yang
sesungguhnya berkaitan dengan kepentingan negaru pantai guna
perlindungan dan pemanfaatan sumber daya hayatai dan non-hayati di
dalam batas-batas wilayah maritimnya (sovereign right)..."
Keputusan ICJ tidak dapat dipungkiri merupakan suatu keputusan yang
bersifatfinal dan binding, yang merupakan alternatif terbaik dari alternatif yang ada
dalam penyelesaian sengketa wilayah antar negara. Namun disisi lain perlu dicatat
bahwa terdapat beberapa celah bagi Indonesia dalam kasus ini yang hendaknya dapat
dijadikan pelajaran untuk tidak mengulangi persoalan yang sama.
Baik Indonesia maupun Malaysia dalam proses penyelesaian sengketa di ICJ
ini
mendasarkan klaim mereka atas argumentasi hukum yang sama, yaitu suksesi
kepemilikan yang diwarisi dari penjajah mereka sebelumnya.
Dalam Putusan ICJ poin yang paling telak dan menjadi dasar putusan adalah
persoalan ada-tidaknya effectives. Indonesia tidak mempunyai bukti tentang adanya
3r
"
N. Hasan Wirajuda. Op.cit. Hlm. 5
N. Hasan Wirajuda.lDrd Hlm. 10
\
46
arsip atau data baik berupa peraturan dan tindakan nyata Belanda di kedua pulau itu.
Bahkan ketika kasus ini muncul pada tahun 1969,fakta menunjukan bahwa Undangundang No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia tidak memasukan Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan dalam wilayah NKR[.33
Kesan yang memperlihatkan Indonesia tidak secara sungguh-sungguh atau
dalam terminologi teori tidak memperlihatkan intention danwill terhadap persoalan
ini adalah dengan tidak adanya protes Indonesia
atas pembangunan mercusuar oleh
Inggris pada tahun 1962 di Pulau Sipadan dan tahun 1963 di Pulau Ligitan. Bahkan
Indonesia baru mengetahui
jika
Malaysia telah menerbitkan sebuah peta yang
memasukan kedua pulau tersebut pada tahun 1979 dimanapada waktu itu disepakati
kedua pulau
itu
distatus-quokan. Bahkan lebih jauh
jika
dibandingkan dengan
Malaysia, mereka telah membuat Peraturan perundangan mengenai pariwisata di
Sipadan dan"sejak tanggal 25 September 1997 malahan Sipadan dan Ligitan menjadi
daerah yang dilindungi dibawah Malaysia'protected areas.
Kesepakatan status-quo pada tahun 1979 arttara Indonesia dan Malaysia pada
wakfu itu tidak mengurangi tindakan Malaysia atas kedua pulau yang dikategorikan
kemudian oleh
ICJ sebagai intention dan will,
kesepakatan status quo
kasus
sayangnya Indonesia setlah
itu malah memperlihatkan kesan ketidakpedulian
sampai
ini dibawah ke ICJ.
Selain itu, secara hukum internasional dan praktek yang dilaksanakan di ICJ
berkaitan dengan sengketa wilayah, putusan atas sengketa wilayah umumnya selalu
didasarkan atas okupasi yang efektif Hal ini, menurut N. Hasan Wirajuda sebagai
suatu pengalaman yang berulang (de javu), paling tidak pada tahun 1928 berkaitan
dengan kasus Pulau Miangas (Las Palmas) dimana dalam kasus
ini arbitrator
tunggal, Max Huber, memutuskan kepemilikan Belanda atas pulau tersebut.
Pengawasan
efektif Belanda, yang merupakan pembuktian yang sah
33
atas
Hal inilah yang dijadikan dasar bagi pemerintah dengan menyatakan bahwa Putusan ICJ itu
bukan berarti wilayah Indonesia berkurang ataupun kedua pulau tersebut lepas dari wilayah RI,
melainkan perjuangan hukum Indonesia untuk menambah wilayahnya ternyata tidak memperoleh
sandaran hukum yang kuat.
\
47
kepemilikannya, diwujudkan dengan pemeliharaan mercusuar dan kunjungan secara
berkala dalam rangka pencatatan penduduk.
Hal lainnya yang hendaknya juga menjadi perhatian adalah identifikasi
pulau-pulau yang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu penyebab kegagalan kita dalam sengketa
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan adalah tidak dimasukannya kedua pulau itu dalam
peraturan yang ada di Indonesia.
Berbicara tentang identifikasi pulau-pulau yang ada, baik mengenai kepastian
jumlah maupun nama pulau-pulau itu, di dalam negeri pun masih terjadi perdebatan.
Di dasarkan data resmi pemerintah yang ada, menurut Menteri Dalam Negeri Hari
Sabarno, pada saat sekarang terdapat 17. 508 pulau sedangkan jumlah pulau yang
telah terinventarisir sejumlah 7. 353 pulau yang bemama dan 10. 155 pulau yang
belum bernamayang tersebar di seluruh NK2.34
Namun menurut keterangan Jacub Rais35, Mantan Ketua Bakorsurtanal1984-
lgg4,jumlah pulau 17. 508 itu perlu dipertanyakan kembali, karena angka saat ini
dengan laporan Gubernur, Bupati/lValikota baru mencatat 7. 307 nama pulau,saja.
Menurut dugaannya sebagian besar dari angka 17.508 ifu adalah unsur-unsur bawah
laut karena menghitung dengan memakai peta navigasi pelayaran dan memang
dengan peta tersebut dibuat dengan acturn terendatr, pada saat
air surut, demi
keselamatan pelayaran.
Resolusi PBB (ECOSOC) No. 4 tahun 1967 di Geneva mengatur bahwa tiap
negara anggota PBB harus membenfuk suatu "Notional Names
Authority" (Otoritas
Nama-nama Geograpis) dengan nama dan bentuk apapun juga, di AS dinamakan US
Board of Geographical Names dibentuk dengan
Utl, di
Kanada dinamakan
Canadian Permanent Committee onGeographical Names, demikian juga di
Australia, hanya di Indonesia yang belum mempunyai otoritas semacam itu yang
'oHari Sabarno, Op.cit- Hlm.
35
7
Jacub Raiq "Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan", Majalah Berita Perbatason
Desember 2002/Jarruari 2003,Diterbitkan oleh Depdagri RI Jakarta.
Misi
02/Th
Ii
\
48
sebenarnya kita mempunyai pulau yang terbanyak dan laut terluas dengan selat, teluk
dan tanjung yang begitu banyak belum bernama, serta kaya akan nama generik
unsur-unsur geografi dalam bahasa etnik/lokal.36
Hal ini diperlukan untuk
mendukung klaim Indonesia bahwa jumlah pulau-pulau kita adalah 17. 508 dan
dalam upaya mendukung program bangsa-bangsa di dunia pada awal abad ke-20
untuk me-romanisasi peta berabjad non romawi, agat peta tersebut dapat menjadi
sarana komunikasi bangsa-bangsa.
Walaupun putusan telah dijatuhkan dan tanggapan yang ada sangat beragam
namun yang paling penting bagi Indonesia pada saat
ini
adalah mencoba untuk
mengevaluasi dan memperbaiki kelemahan kita atas pelajaran kasus Sipadan dan
Ligitan sehingga pada saatnya nanti pengakuan kita sebagai negara dengan pulau
terbanyalg laut terluas dapat dibuktikan dengan fakta dan data.
D.
Upaya-Upaya Antisipatif Penyelesaian Sengketa Wilayah Antara Indonesia
Dan Negara-Negara Tetangga
Sebagai suatu negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 17. 000
pulau dengan garis pantai yang mencapai 81.000 km serta luas wilayah yang
mencapai
7,9 jutakm2,
Indonesia memiliki pulau-pulau kecil baik yang berpenghuni
maupun yang tidak, yang merupakan titik-titik terluar batas wilayah negara yang juga
mengandung potensi konflik dengan negara-negara tetangga. Walaupun belum ada
satupun negara yang mengklaim kepemilikan pulau-pulau terluar tersebut, tentunya
kepemilikan dan keberadaan pulau-pulau terluar tersebut perlu ditangani secara baik.
Namun tentunya dalam menjaga pulau-pulau tersebut terdapat kendalakendala yang dihadapi, misalnya sebagaimana yang dikatakan oleh Laksamana TNI
Bernard Kent Sondakh;
36
lbid
-t
49
...Dalam menjalankan tugas pokoknya untuk mengawal lautan nusantara,
TNI AL dihadapkan pada suatu kendala dimana kekuatan yang dimiliki
oleh TM AL masih sangat terbatas apabila dihadapkan dengan luas
perairan yang harus diamankan. Kendala berikutnya adalah begitu
besarnya beban yang harus dipikul oleh TNI AL karena tidak banyak
institusi nasional yang merasa terpanggil untuk membantu penegakan
hukum di laut, jika pun ada hanya bersifat sekloral tidak dilakukan dalam
kerangka nasional yang sistematis dan berlanjut. Selain itu aturan hukum
yang dapat digunakan sebagai pedoma_n pelaksanaan tugas juga belum
lengkap dan terkesan tumpang tindih...
"
Sedangkan menurut Rudolf W. Matindas, Kepala BAKOSURTANAL;
...Masih banyak segmen-segmen batas maritim, baik batas laut teritorial,
batas tambahan, batas ZEE, batas landas kontinen yang masih harus
ditetapkan. Delimitasi banyak segmen itu harus melalui perundingan
bilateral dan trilateral, dimana penyediaan data-data teknis hidrografis,
geodetis, geologis diperlukan selain berbagai dokumen-dokumen sejarah
dan hukum yang dapat mendukung klaim Indonesia. Koordinasi yang
erat dan efektif antara instansi-instansi terkait, di pusat dan daerah sangat
diperlukan slain juga diperlukan persiapan dan pelatihan anggota delegasi
yang akan mewakili Indonesia dalam perundingan. Perlu senantiasa
diperhatikan bahwa penetapan batas-batas maritim mutlak diperlukan
untuk kepentingan kepastian hukum ditingkat nasional dan internasional,,
juga guna pertahanan dan keamanan serta menegakan kedaulatan,
diperlukan guna perencanzum pengelolaan jangka panjang dan
mengamankan berbagai investasi pengelolaannya. Penetapaan batas
maritim internasional juga sering membawa masalah pelik yang
mempunyai dampak politik, dirnana terutama berbagai negara besar yang
memiliki armada dagang dan armada perang yarrg besar, untuk
kepentingan geopolitiknya turut memainkan bobotnya dalam
merumuskan dam implementasi konvensi huk-um laut internasional.3S
Dalam hal penanganan perbatasan antar negara, menurut Hari
Sabarno,
permasalahan-permasalah yang dihadapi adalah.
1.
secara yuridis belum ada pegangan dan pengaturan yang jelas dan menyeluruh
"
Laksamana TNI Bernard Kent Sondakb Op. Cit. Hlm. 9
Rudolf W. Matindas, Kepala BAKOSIIRTANAL " Masalah Delimitasi Batas Maritim ZEE
dan Zona Perikanan Khususnya dengan Australia dan Timor Leste" dalam pertemuan Apresiasi
Kesepakatan Bilateral dan Multilateral. Direktorat Sumber Daya Ikan. Ditjen Perikanan Tangkap.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 15 Januai 2002
"
-t
50
penyelesaian permasalahan yang
timbul sangat tergantung pada
pola
advantages dan disadvantages (untung dan rugt) serta kapabiltas negosiator
yang ditunjuk;
3.
kondisi masyarakat
di wilayah perbatasan
negara masih sangat marginal,
sehingga dapat dimanfaatkan oleh pihak lain yang mempunyai kepentingan;
4.
dalam penegasan batas negara, acuan-acuan teknis survey dan pemetaan
masih bersifat parsial, akibatnya senantiasa memerlukan waktu koordinasi
yang panjang dan berbelit;
5. dari
konteks permasalahan yang mencuat, pemecahannya masih bersifat
insidentil dan situasional;
6. banyak instansi yang bidang tugasnya
bertalian erat dengan masalah
perbatasan negara dan untuk itu tidakmudah mengintegrasikannya.3e
Sedangkan pemasalahan pengelolaan sejumlah pulau-pulau kecil, menurut Hari
Sabarno;
1.
belum ada publikasi resmi dari pemerintah tentang daftar nama-nama pulau
yang dibukukan atau dikodifikasikan dalam daftar nama atau register nama-
nama pulau yang lazim disebut dengan Gazetir nasional, yang dapat
digunakan dalam berbagai kepentingan dan sebagai pedoman bagi pakar
sosial ekonomi, statistik, pefugas sensus, perencana, pembuatan peta serta
masyarakat nasional dan internasional;
2.
masih banyak pulau-pulau
di
Indonesia yang belum bernama dan perlu
dilakukan inventarisir dan pembakuan nama pulau melalui prosedur dan tata
acara pemberian dan pembakuan nama unsur geograpis yang standar;
3.
terdapat 67 pulau terluar
di wilayah RI yang berbatasan
langsung dengan
negara tetangga, 1 0 diantaranya memerlukan perhatian khusus.
3e
Hari Sabarno, Op.cit. Hlm.
11
-!
5l
4.
terbatasnya sarana dan prasarana
di
daerah untuk melakukan pembinaan,
pengawasan dan pengelolaan, khususnya terhadap pulau-pulau yang terpencil
yang sulit dijangkau dan tidak berpenghuni.ao
Kewajiban hukum internasional dan Pasal
33 ayat I
Piagam PBB,
mewajibkan sengketa yang te{adi antar negara hendaknya diselesaikan secara damai.
Dalam hal ini terdapat beberapa caru yang dapat dilakukan oleh para pihak yang
bersengketa yaitu melalui penyelesaian secara politis dan penyelesaian secara yuridis.
Para pihak yang bersengketa diberikan kebebasan untuk memilih penyelesaian secara
damai termasuk juga penggunaan good ffices. Penyelesaian secara politis dapat
dilakukan secara bilateral ataupun negosiasi langsung para pihak atau dengan
melibatkan pihak ketiga yang netral berupa enquiry, mediasi atau konsiliasi. Dalam
hal ini mengingat Indonesia adalah negaru anggota ASEAN maka tidak salah jika
seandainya dalam sengketa-sengketa yang ada antar negara
ini perlu dimanfaatkan
forum ASEAN, apalagp mekanisme ASEAN ini sudah diatur dalam plaksanan High
Council ASEAN yang merupakan bagian dalj Treaty Amity & Cooperation 1976,yang
berlaku pada bulan Juli 2001. selain
itu
penyelesaian secara yuridis juga harus
diantisipatif dan dikedepankan mengingat apapun alasannya penyelesaian secara
damai lebih memperlihatkan tingkat peradaban yang dimiliki oleh suatu masyarakat
dibandingkan dengan penyelesaian dengan kekerasan dan senjata.
Secara umum sebagaimana yang dijelaskan diatas, permasalahan utama yang
kita hadapi dalam menjaga wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan upaya
antisipatif mencegah terjadinya sengketa wilayah adalah persoalan hukum termasuk
aturan tentang inventarisasi dan pemberian nama pulau-pulau tersebut sekaligus
mendepositkannya ke PBB. Menurut Prof. Dr. Hasyim Djalalar, sebagai penjabaran
dari Konvensi Hukum Laut atau UNCLOS 1982, Indonesia paling tidak
harus
membuat lebih dari dua ratus aturan nasional, namun kenyataannya belum banyak
* Ibid
ar
Prof. Dr. Hasyim Djalal dalam laksamana TNI Bernard Kent Sondaktq Loc. cit.
\
52
UU atau aturan hukum yang dibuat berdasarkan UNCLOS tersebut. Aturan-aturan
hukum ini tidak hanya diperlukan dalam upaya penyelesaian secara yudisial tapijuga
pada penyelesaian secara diplomasi dan politik.
Namun selain yang dijelaskan di atas yang paling utama dalam upaya baik itu
mencegah maupun menyelesaikan persoalan sengketa wilayah yang ada adalah
kepedulian kita semua sebagai komponen anak bangsa. Kepedulian
ini hendaknya
merupakan kepedulian dari semua komponen nasional. Kepedulian ini harus ditindaki
dengan tindakan nyata dan sfrategis bagr pengembangan seluruh pulau-pulau yang
ada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara berkelanjutan,
utamanya pada pulau-pulau dan wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan
negara lain dan berpotensi untuk dimanfaatkan serta diduduki secara kontinyu oleh
negara-negara perbatasan tersebut.
J
\
53
BAB Itr.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan teori hukum internasiona[ mengenai penyelesaian sengketa
wilayah negara dan penambahan wilayah negara dewasa ini, sebagaimana yang
terkandung dalam putusan-pufusan Mahkamah Internasional (International Court
of
JusiceilCJ), misalnya Kasus Pulau Palmas antara Amerika Serikat v Belanda, Kasus
Eastern Greenland at$aru Norwegia v Denmark, Kasus Minquiers and Echrechos
antaru Inggris
v Perancis, kasus Qatar v Bahrain dan kasus Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan antara Indonesia
v Malaysiq paoa. umumnya
didasarkan pada effective
occupation principle yang dijalankan oleh para pihak yang bersengketa untuk
menentukan pihak mana yang memiliki hak kedaulatan atas wilayah tersebut.
Tindakan okupasi yang seharusnya efektif akan dianggap sebagai suatu tindakan
okupasi yang tidak efektif,
jika efektifitas tersebut hanya dibutuhkan
pada saat
tindakan pengambilalihan, namun tidak pada saat pemeliharaan daerah tersebut., Alas
hak pelaksanaan kewenangan negara yang merupakan bukti kedaulatan dalam hukum
internasional haruslah dilaksanakan secara damai dan terus menerus dengan
menunjukan secara fakta adanya
will
dan intention.
Secara teoritik, Indonesia kalah pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan Dalam Putusan ICJ dikarenakan Indonesia tidak dapat membuktikan adanya
tindakan effictives yang dilakukan Indonesia. Pembuktian effictives menghendaki
adanya bukti tentang arsip atau data baik berupa peraturan dan tindakan nyata baik
dari Belanda maupun Indonesia di kedua pulau itu, bahkan ketika kasus ini muncul
pada tahun 7969, fakta menunjukan bahwa Undang-undang No. 4/PRPll960 tentang
Perairan Indonesia tidak memasukan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dalam wilayah
NKRI. Selain itu tidak adanya intention dan will terhadap persoalan ini terlihat
dengan tidak adanya protes Indonesia atas pembangunan mercusuar oleh Inggris pada
tahun 1962 di Pulau Sipadan dan tahun 1963 di Pulau Ligitan.
\
54
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menyelesaikan sengketasengketa wilayah yang ada adalah dengan membuat aturan-aturan hukum yang
berkaitan dengan persoalan wilayah terutama mengenai pulau-pulau terluar Indonesia
Aturan-aturan hukum tersebut termasuk juga identifikasi, inventarisasi dan pemberian
nama pulau-pulau tersebut sekaligus mendepositkannya ke PBB. Aturan-aturan
hukum ini tidak hanya diperlukan dalam upaya penyelesaian secara yudisial tapijuga
pada penyelesaian secara diplomasi dan
politik baik secara bilateral ataupun negosiasi
langsung para pihak atau dengan melibatkan pihak ketiga yang netral berupa enquiry,
mediasi atau konsiliasi termasuk pemanfaatan forum ASEAN.
B. Saran
1. Perlu adanya aturan yang jelas dan menyeluruh
mengenai wilayah perbatasan
Indonesia.
2.
Perlunya identifikasi, inventarisas, dan pembakuan nama pulau melalui prosedur
dan tata acara pemberian dan pembakuan nama unsur geograpis yang standar
karena masih banyak pulau-pulau di Indonesiayatgbelum bemama.
3. Perlunya kepedulian kita semua sebagai komponen anak bangsa melalui tindakan
nyata dan strategis bagi pengembangan seluruh pulau-pulau yang ada dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara berkelanjutan, terutama
pemerintah daerah yang lebih memahami kondisi kedaerahannya.
ooOoo
DAFTAR BACAAN
Adijaya Yusuf, "Penerapan Prinsip Pendudukan Efektif Dalam Perolehan Wilayah"
Makalah dalam Diskusi FH Univ. Indonesia. 2003
Bernard Kent Sondakh, '"Peran TNI Angkatan Laut Dalam Pengamanan dan
Pemberdayaan Pulau Terluar R[" Diskusi FH Univ. Indonesia, Jakarta
5 Februari 2003
55
Deplu, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Huhtm Laut, Deplu RI
Jakarta 1983
Hikmahanto Juwana, "Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Pulau Sipadan dan
Ligitan", Diskusi FII Univ. Indonesia, Jakarta 5 Februari 2003
Hari Sabarno, '?elaksanaan Administrasi Pemerinkhan dan Pengelolaan Pulau-pulau
Indonesia", Diskusi FH Univ. Indonesia, Jakarta 5 Februari 2003
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional /. Aksara Persada Indonesia Jakarta
Cet. Ke 2.1989
Jacub Rais, "Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan", Majalah Berita Perbatasan Edisi
02/Th l/ Desember 2002/Januari 2003, Diterbitkan oleh Depdagn RI
Jakarta.
Muchlis Hamdi, "Pengelolaan Wilayah Perbatasan" Majalah Berita Perbatasan Edisi
02/Th l/ Desember 2002/Januari 2003, Diterbitkan oleh Depdagri RI
Jakarta.
Muchtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional., Bina Cipta Bandung,
1978
N. Hasan Wirajuda. "Kasus Sipadan-Ligitan: Masalah Pengisian Konsep Negara;
Proses Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau LigStan"
Diskusi EH Univ. Indonesia, Jakarta 5 Februari 2003
Ronny HanitUo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,
lakarta, 1982
Rudolf W. Matindas, Kepala BAKOSURTANAL
Masalah Delimitasi Batas
Maritim ZEE dan Zona Perikanan Khususnya dengan Australia dan
Timor Leste" dalam pertemuan Apresiasi Kesepakatan Bilateral dan
Multilateral. Direklorat Sumber Daya Ikan. Ditjen Perikanan
Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. 15 Januai2002
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Radjawali Press, J akarta, 1990
Kompas "Banyak Potensi Laut Tidak terjamah" Jumat 3 Desember 1999.
Annex to Press Release 2A02l39bis
http: www. icj-cij.org /icjwwwiidecisions.htm.
http ://rvww. icj -cii. org/ici rvwdi qenralinformation.htm
http://wrvw.icj-crj.org/icjwwdidocket/iimmasummaries/imma isummaries doq.h1m.
"
t
Download