BAB I HUKUM INTERNASIONAL DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL Bab ini menggambarkan pengertian hukum internasional dan hubungannya dengan hubungan internasional. Dalam bagian pengertian hukum internasional dilengkapi dengan penjelasan sumber hukum, juga maksud dan tujuan serta fungsi hukum internasional. Kedua, penjelasan hubungan internasional terdiri dari penjelasan terhadap tiga hal, yaitu hubungan internasional dan politik internasional, aspek-aspek hubungan internasional, teori dalam hubungan internasional, dan prinsip-prinsip dalam hubungan internasional. Dari kedua bagian tersebut, selain mahasiswa akan memahami hukum internasional juga menjawab pertanyaan relevansi hubungan internasional dengan hukum internasional. A. Hukum Internasional Dalam hubungan internasional, negara-negara telah memainkan peranan penting dalam berbagai bidang untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya ditingkat internasional. Hubungan internasional tersebut tidak mungkin dapat berlangsung dengan baik jika tidak didukung instrumen hukum internasional yang mengikat dan dipatuhi negara-negara. Keberadaan hukum internasional bukan saja sangat penting melainkan sebagai kebutuhan yang tidak dapat diabaikan dalam masyarakat internasional. Sebagai suatu peraturan hukum yang memiliki cakupan begitu luas, hukum internasional terdiri dari prinsip-prinsip, peraturan-peraturan, dan kebiasaan internasional tentang tingkah laku negara-negara yang terikat untuk mematuhinya dan melaksanakanya. Utamanya terkait dengan 1 (1) pengaturan hubungan antara satu negara dengan negara lainnya, yang di dalamnya termasuk peraturan hukum terkait dengan fungsi-fungsi lembaga-lembaga, organisasi-organisasi internasional, hubungan mereka dengan sesamanya, atau hubungan mereka dengan negaranegara dan individu-individu, dan (2) peraturan-peraturan hukum tertentu terkait antara individu-individu dengan subyek hukum non-negara (non-state entities) dan aktor-aktor Negara yang baru (new state actor), seperti kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Dalam hukum internasional diatur pula hak-hak dan kewajiban-kewajiban setiap individu dan subyek hukum non-negara juga tergolong menjadi bagian dari hukum internasional atau juga hubungan internasional.1 Hukum internasional publik memiliki sistem Negara sendiri, dengan keunikan dalam penegakan peraturannya. Oleh karena hukum internasional juga terpisah dari suatu hukum Negara municipal law, tidak sedikit hukum internasional ini diragukan sebagai sesuatu yang bukan peraturan hukum. Tentu saja kritik ini muncul dari aliran John Austin yang memahami hukum sebagai produk putusan dari penguasa, sebagaimana halnya Negara. Padahal hukum internasional tidak didukukng oleh sistem pemerintahan global. Sebagaimana dalam suatu negara didukung oleh institusi politik legislative, eksekutif dan yudikatif, kaum positivis memandang Hukum Internasional mengikat karena ada kesepakatan antara kehendak negara (State Will). Karena itu, menurut David J. Bedermen seluruh bangunan teori dan praktek hukum internasional sangat tergantung pada beberapa penjelasan yang koheren mengapa aktor-aktor harus mematuhi sekumpulan aturan hukum yang boleh jadi menyimpang dari kepentingan negara-negara. Secara lebih eksplisit alasan-alasan negara patuh pada hukum internasional karena para ahli hukum memerlukan gambaran suatu kesimpulan yang penting terkait sumbersumber, proses-proses, dan doktrin-doktrin hukum internasional. 2 1 2 J. G. Starke. Introduction To International Law (Tenth Edition), London: Butterworths, 1989, hlm: 3. David J. Bederman, The Spirit of International Law, Athen London. The University of George Press, 2002. Hal 4 2 Menurut John O‟Brien, di awal abad kedua puluh, yang mengacu pada Hersch Lauterpacht Oppenheim, hukum internasional publik (Public International Law) terlibat dengan pengaturan hubungan antara negara-negara saja. Namun, saat ini telah terjadi perluasan cakupan hukum internasional terkait dengan (1) hubungan antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara-negara, dan diperluas kepada hubugan antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari organisasi-organisasi internasional, (3) serta perusahaan-perusahaan (corporate), dan individuindividu.3 Tentu saja hubungan yang terjadi antara negara-negara sesamanya, dan atau organisasi, atau antara organisasi sesama organisasi internasional, juga peran individu dalam pergaulan internasional berada dalam wilayah hukum publik yang bereda dari hukum internasional privat, bersifat keperdataan. Misalnya, hubungan antara individu dengan individu dalam bidang perkawinan karena berbeda bangsa dan agama. Kontrak mengenai pendirian usaha antara subyek hukum non manusia seperti perusahaan di suatu negara juga tergolong ke dalam wilayah hukum keperdataan internasional. Indikator tersebut diatas menunjukkan adanya perbedaan yang tidak dibahas dalam kajian hukum internasional publik. Di negara-negara Common Law, seperti di Inggris Britania, aspek-aspek hubungan keperdataan masuk pada wilayah “conflict of laws”. Sama halnya dengan di Amerika Serikat, Hukum Perdata Internasional jauh lebih banyak digunakan sebagai conflict of laws”. Dengan kata lain, hukum internasional sebagai digariskan organisasi internasional PBB, berfungsi sebagai instrumen hukum antara bangsa-bangsa dengan maksud dan tujuan untuk memperjuangkan terciptanya perdamaian dunia (world peace), ketertiban dunia (world order) dan berusaha mencegah negara-negara menggunakan kekerasan senjata dalam penyelesaian 3 John O‟ Brien, International Law, London- Sydney: Cavendish Publishing Limited, 2001, hlm: 1. 3 sengketa internasional, melainkan cara-cara damai (peaceful mechanism) harus dikedepankan agar tercipta keadilan dunia untuk semua (world justice for all).4 1.1 Sumber Hukum Internasional Hukum internasional diakui sebagai pedoman global dalam mengatur tingkah laku dan perbuatan negara-negara, organisasi-organisasi internasional dan sejenisnya, secara tegas menyandarkan pada sumber hukum internasional Pasal 38 Statuta International Court of Justice (ICJ). Ayat (1) pengadilan yang fungsinya memutus berbagai sengketa harus mengacu dan menerapkan pada sumber hukum berikut:: (a). konvensi internasional, apakah bersifat umum atau khusus, menetapkan aturan-aturan yang diakui oleh Negara-negara pihak. (international conventions, whether general or particular establishing rules expressly recognized by the contesting state: (b) kebiasaan internasional sebagai bukti adanya praktek umum yang diteroima sebagai hukum (international custom as evidence of general practice accepted as law; (c) prinsip-prinsip umum hukum yang diakui Negara-negara beradap (general principles recognized by civilized nations; (d) keputusan-keputusan pengadilan (pasal 59), dan ajaran ahli-ahli hukum internasional yang memiliki kelayakan dan publikasi luas dari berbagai Negara, sebagai alat pelengkap untuk menentukan hukum internasional. 5 Pertama, Perjanjian internasional(International Treaty) adalah persetujuan antara dua atau lebih negara dalam bentuk tertulis, diatur sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional. Secara umum dikelompok menjadi dua, yaitu Perjanjian Multilateral yaitu sebuah persetujuan yang disepakati oleh lebih dari dua negara. Ketika perjanjian ini merupakan 4 Lihat secara umum tentang tujuan didirikannya organisasi internasional PBB, yang salah satunya adalah untuk mendukung dan memfasilitasi lahirnya kesepakatan-kesepatan internasional yang mengikat negara-negara. www.scribd.com/doc/65118478/Tujuan-organisasi-PBB 5 Zan Brownlie, principles of public 4 cerminan dari pendapat masyarakat internasional pada umumnya, maka perjanjian tersebut bisa menjadi apa yang disebut dengan traktat yang membuat hukum (Law-Making Treaty). Traktat yang membuat Hukum. Perjanjian ini menciptakan norma umum hukum yang akan dipakai oleh masyarakat internasional sebagai prinsip utama di masa mendatang guna menyelesaikan suatu perkara di antara mereka. Perjanjian Internasional dapat berfungsi sebagai bukti adanya kebiasaan internasional ketik ada beberapa perjanjian bilateral terhadap kasus yang serupa yang memakai prinsip-prinsip yang sama atau ketentuan-ketentuan yang serupa sehingga bisa menimbulkan akibat hukum yang sama.6 Sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh beberapa negara bisa menjadi sebuah kebiasaan jika aturan yang disepakati merupakan generalisasi dari praktek negara-negara dan persyaratan bahwa hal tersebut dianggap sebagai sebuah hukum dapat dipenuhi. 7Sebuah perjanjian yang ditandatangani beberapa negara yang merupakan hasil kodifikasi dari beberapa prinsip dalam kebiasaan internasional dan secara konsekuen telah mengikat pihak-pihak yang tidak terlibat dalam perjanjian tersebut. Lihat preamble Geneva Convention on the High Seas 1958 dan treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space 1967. Pembahasan lebih luas akan dikemukakan dalam satu bab secara khusus mengingat perjanjian internasional sangat penting kedudukannya dalam mengatur hubungan internasional. Kedua, Kebiasaan Internasional (customary law) sebagai praktek yang diterima oleh Negara-negara sebagai hukum, memiliki dua elemen yang harus terpenuhi untuk bisa digunakan sebagai sumber hukum internasional. Unsur-unsur yang dilihat dalam praktek negara adalah seberapa lama hal itu sudah dilakukan secara terus menerus (duration and continuation), 6 7 Lihat Lotus Case (1927) PCIJ reports, Series A, No. 10 Lihat North Sea Continental Shelf Cases (1969) ICJ Report, hal 3 5 keseragaman atau kesamaan dari praktek tersebut dalam berbagai kesempatan dan berbagai pihak yang terlibat (uniformity) serta kadar kebiasaan yang dimunculkan oleh tindakan tersebut (generality)8. Dari pendekatan psikologis, dikemukakan dalil, Opinio Juris sive Necessitatis. Ini adalah pengakuan subyektif dari negara-negara yang memberlakukan kebiasaan internasional tertentu dan kehendak untuk mematuhi kebiasaan internasional, sebagai sebuah aturan hukum yang memberikan hak dan kewajiban bagi negara-negara tersebut. Bukti keberadaan sebuah kebiasaan internasional ialah: Korespondensi Diplomatik, pernyataan kebijakan, siaran pers, pendapat dari pejabat yang berwenang tentang hukum, keputusan eksekutif dan prakteknya, komentar resmi dari pemerintah tentang rancangan yang dibuat oleh ILC, Undang-undang nasional, keputusan pengadilan nasional, kutipan dalam sebuah perjanjian internasional, praktek lembaga-lembaga internasional, dan resolusi yang dikeluarkan Sidang Umum PBB. Suatu negara bisa secara terus menerus melakukan penolakan terhadap sebuah kebiasaan internasional (persistent objector). Bukti penolakan tersebut harus jelas. 9 Namun demikian, suatu negara yang diam saja ketika proses pembentukan kebiasaan internasional berlangsung tidak dapat menghindar dari pemberlakuan kebiasaan tersebut terhadapnya. Suatu kebiasaan internasional bisa saja “exist” di wilayah tertentu saja, misal antar dua negara atau regional saja.10 Ketiga, prinsip-Prinsip Hukum Umum diakui oleh Negara-negara barat (General Principle of Law recognized by civilized states), Sumber hukum ini digunakan ketika perjanjian internasional dan kebiasaan yang ditemukan tidak kuat dipakai sebagai dasar untuk memutuskan 8 Lihat Fisheries Jurisdiction (Merits) Case (1974) ICJ Reports, hal 3 dan North Sea Continental Shelf Cases (1969) ICJ Report, hal 3 9 Lihat Anglo Norwegian Fisheries Case (1951) ICJ Reports, hal 116 10 Lihat Asylum Case (1950) ICJ Reports, hal. 266 dan The Rights of Passage over Indian Territory Case (1960) ICJ Reports,hal 6 6 suatu perkara. Hal ini penting dijadikan rujukan agar pengadilan tidak berhenti begitu saja ketika tidak ada aturan yang mengatur (non liquet). Namun, sampai saat ini belum terlalu jelas apakah yang dimaksud sebagai prinsip hukum hanya yang telah diakui oleh msayarakat internasional ataukah prinsip hukum nasional tertentu saja sudah cukup. 11 Prinsip hukum umum seringkali berguna dan berfungsi sebagai keterangan untuk menginterpretasikan sebuah kebiasaan atau perjanjian internasional. Hal ini terutama ditemukan dalam naskah persiapan suatu perjanjian internasional. Prinsip-prinsip yang pernah digunakan oleh Mahkamah Internasional antara lain adalah: (a) Good Faith, adalah bahwa perjanjian yang mengikat para pihak harus dilaksanakan dengan itikad baik; (b) Estoppel, adalah bahwa apabila suatu pihak memberikan pernyataan dan pihak lainnya mengambil suatu tindakan yang berkaitan dengan pernyataan pihak pertama, maka pihak pertama tidak diperbolehkan untuk menarik pernyataan yang telah dikeluarkannya, hal ini timbul disebabkan karena kerugian bagi pihak kedua; (c) Res Judicata, dimaksudkan bahwa putusan hakim harus dianggap benar sampai memperoleh kekuatan hukum tetap atau diputus lain oleh pengadilan yang lebih tinggi; (d) Dalam menyelesaikan suatu sengketa internasional, para pihak dapat menggunakan pembuktian tidak langsung (circumstantial evidence); (e) Equity, adalah mekanisme untuk menyelesaikan persoalan yang seharusnya diisyaratkan oleh hukum; (f) Pacta Sunt Servanda, adalah bahwa perjanjian internasional mempunyai kekuatan mengikat dan harus ditepati oleh para pihak, dan; (g) effective occupation, adalah prinsip terkait penguasaan atau pendudukan suatu wilayah oleh suatu negara secara efektif, dimana wilayah tersebut tidak dikuasai oleh negara lain atau tidak ditelantarkan oleh penguasa sebelumnya.12 11 12 Lihat Kasus Barcelona Traction dalam karya Malcolm D. Evans, 2003, Hlm: 130. Lihat Diversion of Water from the Meuse Case (1937) PCIJ Reports, Series A/B, no 70; Temple of Preah Vihear Case (Merits) (1962) ICJ Reports, hal 6 dan the Corfu Channel Case (Merits) (1949) ICJ Reports hal 4 7 Keempat, Keputusan Pengadilan, Ajaran Para Ahli, dan Keputusan Badan Internasional, Keputusan Pengadilan Pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional menegaskan bahwa “the decision of the Court shall have no binding effect except between the parties and in respect of that particular case”. Konsekuensinya: Mahkamah tidak mengakui prinsip Preseden dan keputusan sebelumnya tidak mengikat secara teknis. Tujuannya adalah bahwa mencegah sebuah prinsip yang sudah dipakai Mahkamah, dalam putusannya digunakan untuk negara lain atas kasus yang berbeda13. Keputusan Mahkamah bukan merupakan sumber formal dari sumber hukum internasional. Keputusan Peradilan hanya memiliki nilai persuasif. Sementara keputusan peradilan nasional berfungsi sebagai acuan tidak langsung adanya opinio juris terhadap suatu praktek negara tertentu. Hal yang sama juga berlaku untuk ajaran para ahli hukum internasional. Selain dilihat sebagai sebuah doktrin yang melengkapi interpretasi sebuah perjanjian, kebiasaan maupun prinsip umum hukum, sekaligus juga merupakan buki tidak langsung dari praktek dan opinio juris dari suatu negara. Sebagai contoh putusan Norwegian fisheries case mengenai batas wilayah laut, putusan pengadilan tersebut menjadi sumber hukum internasional karena penentuan batas wilayah internasional secara sepihak tidak dapat diberlakukan secara efektif, terkecuali ada perselisihan dari Negara tetangganya.14 Ajaran para ahli hukum Internasional dalam hukum internasional kontemporer, berfungsi terbatas hanya dalam analisa fakt-fakta, pembentukan pendapat-pendapat dan kesimpulankesimpulan yang mengarah kepada terjadinya kecenderungan umum dalam hukum internasional. Tentu saja pendapat dan ajaran-ajaran tersebut bersifat pribadi dan subyektif, namun dengan semakin banyaknya ajaran yang menyetujui akan suatu prinsip tertentu maka bisa dikatakan akan 13 14 Lihat Certain German Interest in Polish Upper Silesia Case (1926) PCIJ Reports, Series A, no 7. Lihat, http://tyosetiadilaw.wordpress.com/2010/05/06/anglo-norway-fisheries-case/ 6 mei 2010. 8 membentuk suatu kebiasaan baru. Pendapat dari para pejabat di bagian hukum masing-masing negara, tidak bisa dianggap sebagai ajaran para ahli hukum internasional namun justru bisa dilihat sebagai bagian dari praktek negara-negara. Contoh lain, penggunaan prinsip-prinsip “Preemptive strike”, atau penangkapan tanpa bukti atau petunjuk bagi teroris sudah jauh diakui. Padahal awal mulanya merupakan doktrin politik George W. Bush ketika tata tertib dunia terancam oleh bom teroris. 15 Sumber hukum yang bersandar pada ahli-ahli hukum yang memiliki reputasi dari berbagai dunia sebagai instrumen pelengkap bagi penentuan peraturan hukum (the rule of law). Sumber hukum dan para ahli ini digunakan hanya apabila dalam semua sumber tidak mengaturnya. Karena itu, menurut Hugh Thrilway pada saat hakim-hakim di pengadilan tidak memiliki sumber-sumber hukum lain, pengadilan tetap terikat dengan pandangan ahli tersebut. Namun, jika terdapat suatu perubahan substantif dari pemikir hukum internasional terkait sumber hukum tersebut, pengadilan bisa saja mempertimbangkan pemikiran tersebut ketika piagam tidak memiliki kemampuan untuk mengatur persoalan yang ada. 16 Dari keempat sumber hukum tersebut, model penerapannya mengenal hirarki dan pengutamaan. Artinya setiap persoalan dan kasus yang timbul pertama harus ditinjau dalam perjanjian internasional. Jika tidak terdapat di dalamnya, maka kebiasaan hukum internasional baru digunakan. Selain pembagian menurut Statuta ICJ, masih terdapat sumber hukum internasional lainnya. a. Putusan Organisasi Internasional 15 Lihat Jawahir Thontowi, Terorisme Negara dan kerjasama men islam fundamentalis. Yogyakarta. UII press 2013. 69 16 Ibid, 9 Putusan-putusan organisasi internasional dapat menjadi sumber hukum internasional. Organisasi internasional sebagai suatu lembaga, memiliki organ-organ yang terstruktur menurut kebutuhan organisasi itu sendiri dalam rangka mencapai tujuannya. 17 Supaya semua organ tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan demi terjalinnya hubungan antar organorgannya itu, dibutuhkan adanya peraturan yang berfungsi sebagai aturan permainan (rule of procedure) yang berlaku intern bagi organisasi internasional itu sendiri. Disamping itu ada pula yang berupa kesepakatan-kesepakatan yang mengikat sebagai norma hukum terhadap negaranegara anggotanya. Dan dalam hal tidak memiliki kekuatan mengikat pun resolusi Majelis Umum memiliki nilai-nilai normatif. b. Equity Sumber-sumber hukum lainnya yang merupakan perluasan dari sumber yang ada adalah prinsip equity yang termasuk bagian dari kategori prinsip hukum umum. Namun, penggunaan equity bersifat terbatas hanya dalam hal keadaan mendesak yakni dalam hal penggunaan hukum umum untuk mendapat keadilan. Secara teoritik fungsi equity bisa dibagi menjadi tiga. Pertama, equity dapat digunakan untuk mengadaptasikan ketentuan hukum terhadap fakta-fakta yang terdapat dalam kasus-kasus individual (equity infra legem). Kedua, ditujukan untuk mengisi kekosongan dalam hukum (equity praeter legem). Ketiga, digunakan sebagai dalih untuk tidak diterapkannya sebuah hukum yang tidak adil (equity contra legem). Akehurst menyatakan bahwa equity bukanlah sumber hukum formal. 18 Lebih dekat sebagai nilai-nilai moralitas,kode etik baik bersifat nasional maupun internasional. Jadi, penggunaan equity adalah demi tercapainya keadilan bagi kedua belah pihak. Dikenalnya equity dalam hukum internasional dinyatakan oleh Hakim Hudson dalam kasus [the] Diversion of the Water from the Meuse sebagai berikut,‟that under art. 38 of the Statute, if not 17 18 Supra., cat. kaki no. 5. Michael Akehurst, „Equity and General Principles of Law‟, dalam 25 International Comparative and Law Quarterly 1976. 10 independently of that article, the Court has some freedom to consider principles of equity as part of international law which it must apply‟. 19 Sedangkan yang dimaksud dengan equity „adalah mekanisme untuk menyelesaikan persoalan yang seharusnya diisyaratkan oleh hukum‟. 20 c. Kode Etik dan Moral Prinsip-prinsip etika dan pertimbangan atas dasar-dasar nilai-nilai kemanusiaan sebenarnya merupakan warisan dari ajaran hukum alam. Nilai atau prinsip etika dan moral universal ini telah berhasil ditanamkan dikalangan masyarakat. Nilai etika dan moral universal ini disamping mengandung universalitas dan kemuliaan, juga bersifat luwes dan abadi. Dia merupakan nilai yang mendasar dan fundamental. Oleh karena itulah dia berumur relatif lama atau abadi sepanjang zaman. Karena nilai-nilai tersebut luhur, mulia dan agung, maka sifatnya menjadi sangat abstrak dan umum sekali. Nilai-nilai luhur, dan agung inilah yang memancar dan fungsinya adalah menjiwai norma-norma hukum maupun norma-norma lainya, yang secara riil dan nyata berlaku dan mengikat masyarakat internasional. 21 Agama moralitas dan ideologi selalu muncul dan member pengaruh penting dalam pertumbuhan hukum internasional. 22 Seiring dengan itu, Mashood a Baderin menegaskan bahwa ajaran agama dalam evolusi hukum internasional masih tetap relevan. “The current growing wav of scholarship on religion and international law in strong indicator that religion us still very relevant to the modern evolution and future development of international relation and international law. 23 d. Hukum Lunak ( Soft Law ) Penggunaan istilah soft law pada dasarnya ditujukan untuk memberikan pembedaan pengertian antara instrumen hukum keras (hard law) yang dibuat dan ditujukan untuk 19 Dikutip dalam John O‟Brien, International . . . h. 90. Id. 21 Dinah Shelton, „International . . . hh. 166-70. 22 Ibid David J. Bederman hal 11 23 Lihat Mashood Baderin, Religion And International Law; Analitical Survey of the Relationship. Dalam David Amstrong, Routledge Handbook of International Law. New York. Routledge 2009; 177 20 11 mendapatkan kepatuhan secara paksa terhadap para negara-pesertanya. Sedangkan hukum lunak atau soft law adalah instrumen hukum yang mengandung norma-norma yang diharapkan suatu saat nanti dapat menjadi bimbingan bagi aktor-aktor internasional tanpa memiliki kekuatan hukum yang memaksa. 24 Beberapa contoh hukum lunak adalah deklarasi-deklarasi yang dihasilkan suatu organisasi internasional atau regional. Dalam gilirannya hukum kurang mengikat dapat menjadi keras, keadaan ini tercermin pada kedudukan yang dimiliki oleh Deklarasi Universal HAM yang pada saat ini sudah bukan lagi sekedar „deklarasi‟. 25 Melainkan dalam perkembangan diMillenium ketiga, negara-negara tidak dapat mengabaikan deklarasi HAM. e. Jus Cogen Prinsip jus cogen adalah anggapan akan adanya sebuah norma yang memiliki keutamaan dibanding dengan norma-norma lainnya. Dalam hal suatu norma telah memiliki status sebagai jus cogen tidak dimungkinkan untuk mengalami pembatalan atau modifikasi oleh tindakan apapun. Konsep ini dinyatakan oleh pasal 53 dari the Vienna Convention on the Law of Treaties, yang berbunyi sebagai berikut: a treaty is void if, at the time of its inclusion, it conflicts with a peremptory norm of general international law. . . . a peremptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of states as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be modified only by a subsequent norm of general international law having ther same character.’ Dengan kata lain, Jus Cogen sebagai sumber hukum tertinggi tidak dapat dibatalkan oleh suatu kekuatan politik apapun. Persoalan mengenai bagaimana suatu norma dapat mencapai status jus cogen masih bersifat kontroversial. Akan tetapi, beberapa norma telah menjadi jus cogen seperti genosida, diskriminasi rasial, agresi, penyiksaan, dan perbudakan. Kembali pada 24 Lihat Thomas Buergenthal, 'International Human Rights in an Historical Perspective', dalam Janusz Symonides(ed.), Human Rights: Concept and Standards, Aldershot: UNESCO Publishing dan Ashgate, 2000. h. 12; lihat juga Louis B. Sohn, 'The New Intenational Law: Protection of the Rightsof the Individuals Rather than States', dalam 32 American University Law Review 1 (1982). hh. 16-7. 25 Supra cat. kaki no. 36. 12 persoalan pertama bagaimana untuk mencapai status jus cogen para penulis berbeda pendapat ada yang mengkaitkannya dengan kebiasaan bahkan ketentuan dalam traktat itu sendiri. Ada pula yang mendasarkan pada prinsip-prinsip hukum umum. Sedangkan ICJ dalam kasus the North Sea Continental Shelf 26 dan kasus Barcelona Traction 27 membedakan antara kewajiban yang dimiliki oleh suatu negara terhadap negara lainnya dan dengan kewajiban terhadap komunitas internasional (erga omnes).28 Tujuan dan Fungsi Hukum Internasional Secara teoritis, menurut JG. Starke bahwa kajian hukum internasional didukung oleh dua alasan dengan maksud dan tujuan sebagai berikut; Pertama, hukum internasional diamaksudkan sebagai suatu upaya untuk memelihara perdamaian, dan (2) dan mengabaikan atas segala bentuk peraturan yang tidak menyukai berbagai peraturan-peraturan terkait dengan kebijakan tinggi (a high policy) yakni berkaitan dengan isu perdamaian atau perang. Kendatipun demikian hukum internasional tidak selalu terkait dengan isu perdamaian, keamanan dan perang. Kedua, hukum internasional berfungsi untuk kantor-kantor asing dan praktek para pengacara internasional yang kesehariannya menerapkan dan mempertimbangkan penyelesaian dengan peraturan hukum-hukum internasional yang terkait dengan berbagai ikhwal dan kasus yang bertautan. Berulang kali telah timbul berbagai kasus misalnya, tentang tuntutan kompensasi orang-orang asing yang terkena kecelakaan, peristiwa tentang deportasi terhadap orang-orang asing, ektradisi, pesosalan nasional atau kewarga negaraan, atau tindakan dan hak ekstrateritorialitas dalam suatu negara, suatu penafsrian atas peraturan suatu perjanjian yang kompleks. Ketiga, hukum international juga bertujuan untuk melakukan penilaian terhadap berbagai pelanggaran hukum internasional, sebagai hasil dan akibat dari peperangan atau konflik atau 26 ICJ Rep. 1969 3. ICJ Rep. 1970 h. 3. 28 Lihat Dinah Shelton, „International . . . 27 13 karena agresi militer, atau ketidak mampuan suatu negara untuk mencegah timbulnya problem apidemik, sebagai persoalan pelucutan senjata, terrosime intenasional dan pelanggaran dalam praktek konflik militer konvesnsinal dan konflik militer non-internasional. 29 Adapun Fungsi hukum internasional, yaitu sebagai suatu sistem, hukum internasional merupakan sistem hukum yang otonom, mandiri dari politik internasional. Tetapi fungsi utamanya adalah yaitu untuk melayani kebutuhan-kebutuhan komunitas internasional termasuk sistem Negara yang otentik. Kerjasama pimpinan membuat paradigma antar Negara meniscayakan globalisme dan kebutuhan akan mencegah persoalan dan tantangan yang timbul.30 Terdapat beberapa maksud dan fungsi dari hukum internasional yang beraneka ragam dan bahkan saling berlawanan satu sama lain atau “paradoksal”. Menurut Martti Koskienniemi, fungsi hukum internasional merupakan bentuk dari perspektif politik dan hukum internasional. Pertama, Hukum internasional memiliki tujuan umum yaitu untuk memenuhi tuntutan Piagam PBB, yaitu melindungi perdamaian dunia (to safeguard international peace), juga keamanan dan perdamaian (security and justice) dalam kaitannya dengan hubungan antara negara-negara. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Piagam PBB, bahwa organisasi memeiliki tujuan sebagai Pusat untuk menciptakan harmonisasi perbuatan negara-negara dalam satu pencapaian tujuan,dan tujuan akhir dari kerjasama internasional negara-negara. Sejak disepakatinya, Perjanjian Westphalia, 1648 di Eropa, tujuan dari masyarakat internasional tidak didasarkan kepada ajaran ideal suatu keagamaan yang bersifat transandental (there were no religious or other transcendental notions of the good that international law should realize). Melainkan suatu tujuan dan kesepakatan dari suatu komuntas internasional, yakni suatu sistem yang dirancang bukan untuk mencapai suatu tujuan akhir, melainkan lebih diarahkan sebagai suatu koordinasi dari tindakan praktis terhadap tujuan akan keberadaan suatu komunias dan Hukum internasional bertujuan untuk menciptakan suatu perdamaian “peace”, dan keamanan 29 30 JG Starke. Introduction to International law (tenth Edition). Butterwoth. London. 1989: 17. David.J. Bederman, hal 25. 14 “security”,dan keadilan “justice”, yang didasarkan pada suatu persetujuan, dan pemahaman antara angota-anggota dalam suatu sistem.31 Kedua, hukum internasional dan lembaganya memiliki maksud dan tujuan serta fungsi untuk memelihara terwujudnya gagasan tentang adanya keseimbangan kepentingan, the idea of the harmony of interests. Hadirnya suatu kesepakatan yang berada di bawah kesepakatan antara negara-negara yang sedang berbeda kepentingan. Utamanya, hal ini timbul ketika negara-negara dalam kenyataannya, tidak saja terikat oleh kesepakatan internasional dalam bentuk perjanjianperjanjian. Akan tetapi, juga harus menyadari akan pentingnya kepentingan-kepentingan negara dalam arti ekonomi, militer atau pertahanan dan keamanan. Dengan preseden hukum, Adolf Hitler sebagai bukti pelanggaran sekaligus bukti kelemahan Liga Bangsa-Bangsa. Dalam konteks era globalisasi, banyak pemikir hukum dan politik internasional yang mempercayai bahwa telah terjadi suatu marjnalisasi hukum internasional sedang berlangsung dalam ruang lingkup yang semakin terpojokan. Hukum telah menjadi variable tergantung dalam pusat kekuasaan, atau hukum internaasional telah tergantung pada faktor-faktor instrumentalis untuk menggunakan hukum sebagai pelindung kepentingan khusus dan daya dukung lainnya. Fungsi lain hukum internasional, mampu memperjungkan suatu keseimbangan terkait dengan elaborasi ketergantungan antar negara. Karena akibat teori globalisasi, terutama terkait dengan perdagangan internasional, keuangan internasional, komunikasi internasional, dan seluruh faktor penting yang membuat suatu negara dapat hidup, dan seluruh persyaratan dari system hukum internasioal dapat menyediakan suatu kerangka kerja yang stabil dalam memperlihatakan adanya fungsi hukum internasional. Dalam konteks dunia ketergantungan tersebut, maka lembaga-lembaga, prosedur dan mekanisme, hingga teoriteori digunakan untuk suatu agumentasi, dapat mengartiukulasikan berbaagai kepentingan negara-negara berdasarkan iternasionalisasi suatu istilah hukum sepeti, kedaulatan “sovereignty”, 31 Lihat Martti Koskenniemi. “What is International Law For”, di dalam Edward D. Malcom. International Law. 15 perjanjian “treaty”, dan daya ikat (the binding force), tetapi membatasi apa yang disebut dengan kepentingan negara atau identitas negara. Ketiga, secara khusus Koskenniemi menyimpulkan bahwa fungsi dari Hukum Internasional adalah menegaskan tugasnya sebagai suatu tehnik formal yang relative mandiri (as a relatively autonomous formal technique), juga sebagai suatu instrument untuk meningkatkan klaim khusus dan agenda-agenda dalam kaitannya dengan perjuangan politik. Jika, hukum internasional sebagai suatu sistem yang mencari suatu kesepakatan negara-negara dengan menuntut kemandirian yang luar biasa, akan tetapi keberadaanya tidak boleh eksklusif untuk mereka. 32 Melihat fungsi hukum internasional dikaitkan dengan teori kebijakan (policy) dan kepentingan, maka ada dua aspek yang penting dalam melihat maksud dan tujuan dengan menggunakan istilah kebijakan dalam hukum internasional. Pertama, hukum internasional berkaitan dengan istilah kebijakan (sebagai tujuan) yang harus dilihat dalam hukum itu sendiri. Setiap kebijakan-kebijakan ditujukan secara umum pada perdamaian, keamanan, kerjasama (peace, security and co-operation) atau pada hal lebih spesifik lagi. Dapat diungkapkan bahwa bentuk perajnjian-perjanjian, dalam deklarasi negara. Dengan demikian, fungsi hukum internasional dikaitkan dengan kebijakan yaitu bahwa prinsip-prinsip dalam penyelesaian sengketa secara damai, atau penentuan nasib negara sendiri, penghormatan akan ahak-hak azasi manusia, perlindungan terhadap hak kemendekdaan suatu neara, dan kemerdekaan. Untuk pemanfatan lautan merupakan contoh-conotoh utama dari tujuan dari hukum internasional. Kedua, maksud dan tujuan dari hukum internasional dapat dilihat dari kebijakan, yang menekankan pentingnya komunitas internasional (international community). Keberadaan kebijakan, sebagai suatu hukum khusus dalam komunitas internasional, terutama dalam situasi kekhususan yang memerlukan adanya pengujian. Misalnya, penggunaan aturan hukum Veto bagi 32 Lihat Koskenniemi. 98. 16 lima negara-negara besar, sesunggunya tidak konsisten dengan peraturan hukum internasional. Namun, menjadi fungsional ketika dikaitkan dengan maksud dan tujuan untuk perdamaian dan keamanan internasional. Penggunaan hak Veto akan berakibat hilangnya peraturan hukum. Sebab, secara teoritis, hak veto menolak berbagai konsekuensi anti hukum yang sangat ektrim. Suatu postulat bahwa peraturan hukum di dalamnya sendiri mengandung tujuan hukum yang fundamental.33 Salah satunya keadilan sebagai hasil kesepakatan dari tujuan hukum. Namun, ketika veto digunakan untuk menolak hasil kesepakatan Negara, maka hukum internasional telah dilanggar. B. Hubungan Internasional Dalam bagian ini akan dijelaskan tentang apakah hubungan internasional dan kaitannya dengan politik internasional. Beberapa aspek hubungan internasional dapat diwujudkan dalam bentuk kerjasama perjanjian internasional, hubungan diplomasi, untuk aspek politik, ekonomi, militer, teknologi dan informasi, serta aspek penyelesaian sengketa melalui perundingan dan cara-cara lainnya. Terakhir, dalam bagian ini akan dijelaskan juga tentang teori-teori dalam hubungan internasional. Pengertian Hubungan Internasional Antara Hubungan Internasional dengan Hukum Internasional sangatlah berkaitan. Keduanya sama-sama memiliki cakupan internasional negara bangsa atau masyarakat global, atau masyarakat internasional. Sebagai objeknya adalah negara-negara dalam melakukan hubungan internasional, baik di bidang politik, ekonomi, teknologi dan lain-lain harus didasarkan pada payung hukum demi tercapainya hak dan kewajiban masing-masing negara. Melibatkan aktor-aktor yang mewakili pemerintahan suatu negara secara setara dan bermartabat, dan upaya-upayanya. Tentang cara-cara negara memperjuangkan kepentingan nasionalnya, 33 Oscar Schachter. International Law in Theory and Practice. Boston London. Martinus Nijhoff Publihsers. 1991:26. 17 selain terikat pada kewajiban internasional, juga dapat menggunakan pendekatan non-hukum. Menurut K.J Holsti ada tiga kata kunci dalam hubungan internasional yaitu hubungan internasional, kebijakan Luar Negeri, dan politik internasional. Adapun yang dimaksud dengan hubungan internasional adalah seluruh bentuk interaksi antar anggota-anggota dari suatu masyarakat yang terpisah baik yang didukung oleh pemerintah, mencakup analisis terhadap kebijakan luar negeri atau proses politik antar negara-negara dan kepentingan dalam seluruh bagian hubungan-hubungan antara masyarakat Di dalamnya terkait dengan transaksi internasional, Palang Merah Internasional, tourism, perdagangan internasional, komunikasi dan pengembangan nilai-nilai dan etika internasional. Sedangkan politik internasional suatu upaya memahami atau mempelajari kebijakan luar negeri yang memfokuskan pada upaya menjelaskan tentang kepentingan-kepentingan, tindakan-tindakan, termasuk memahami elemen-elemen kekuatan dan kekuasaan yang paling besar disuatu negara.34 Sedangkan kebijakan luar negeri terdiri dari pemahaman tentang tindakan-tindakan negara terhadap lingkungan yang ada diluar dan kondisi dalam negeri. Seseorang yang memahami tindakan-tindakan sebagai salah satu modal terhadap tindakan yang timbul sebagai reaksi dari suatu negara atas respon dari negara lain, untuk melihat politik internasional, atau proses interaksi antar dua atau lebih negara-negara. Sedangkan hubungan internasional sebelum adanya Perjanjian Westphalia 1648 yaitu memahami peristiwa-peristiwa termasuk kecenderungan-kecenderungan masa lalu. Teori-teori mengakui bahwa konsep inti didalam suatu bidang negara, bangsa, kedaulatan, kekuatan, keseimbangan kekuatan (balance of power) yang dikembangkan dan dibentuk oleh kondisi sejarah. 35 Sebagai akibat peperangan agama tersebut, hubungan internasional semenjak Perjanjian Westphalia 1648 tiga puluh tahun semenjak perang di Eropa, kekuasaan agama bergeser dari negara dan ilmu pengetahuan. Munculnya sekularisasi berakibat agama dan ilmu pengetahuan 34 35 K.J Holsti, International Politics A Framework for Analysis.1983 Canada. Prentice Hall International, INC P.51 Karen Mingst, Essential of International Relations, W.W Northon & Company, 1990 P.18 18 tidak dapat dihindarkan. Peran Hugo De Groote telah berdampak pada pemahaman manusia terkait ilmu, agama dengan negara semakin sekuler. Berbicara mengenai politik internasional tidak terlepas dari kepentingan masing-masing negara. Terkadang kepentingan negara tersebut tidak mudah dikompromikan manakala tidak memiliki kesepakatan bersama. Kedaulatan negara utamanya yang masih merujuk model kedaulatan Negara absolut, terkadang menghambat praktek diplomasi antara negara. Negaranegara berprinsip bahwa sikap politik luar negeri diabdikan pada kepentingan nasional. Namun, cara untuk memperjuangkan kepentingan nasional, antar lain membuat perjanjian internasional dengan negara lain, baik perjanjian bilateral maupun multilateral. Perkembangan dunia yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan intensitas hubungan dan ketergantungan antar negara. Negara-negara dalam praktek hubungan internasional sangat tergantung pada terselenggaranya perjanjian internasional. Teori-Teori Tentang Hubungan Internasional 1. Teori Idealisme Sejak Perang Dunia Pertama, 1918, Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson, mengeluarkan pandangan dalam suatu Kongres untuk mencegah terjadinya konflik dan peperangan. Program tersebut diusukan dengan membentuk suatu organisasi internasional, bernama Liga Bangsa-Bangsa yaitu untuk dapat menghormati hukum internasional, larangan untuk melakukan diplomasi secara rahasiah, dan meningkatkan praktek perjanjan internasional. Usulan tersebut sebagai suatu pendekatan dalam memahami hubungan internasional. Pertama, hukum internasional dan perdamaian dunia hanya mungkin dapat dipertahankan jika terdapat suatu organisasi internaasional. Kedua, organisasi internasional diharapkan mampu untuk mencegah timbulnya suatu praktek negosiasi dan diplomasi rahasia antara negara-negara sekutu yang terkadang seringkali menimbulkan konflik dan juga persengketaan. Karena itu, dengan adanya hukum internasional dan organisai internasional, negaranegara wajib terikat untuk mematuhi norma hukum internasional, dan dapat mencegah negara- 19 negara dari pelanggaran dengan harapan negara-negara dapat melakukan hal yang sama. Namun, dalam kenyataan Liga Bangsa-Banga tidak memiliki kemampuan untuk mencegah timbulnya peperangan, sehingga teori idelisme ini tumbang karena ternyata Perang Dunia Kedua tidak dapat dicegah. Lebih dahsyat akibat-akibatnya, sebagaimana umat manusia menyadari betapa mengerikan korban-korban perang sebgaia terjadi di Jepang, sebagai akibat Bom Herosima, di Nagasaki 1945. Organisasi internasional yang semula dipandang sebagai badan yang mampu memainkan hukum internasional dalam mengatur negara terbukti tidak berhasil. Itulah awal permulaan lahirnya teori realisme yang mengkritik kelemahan teori idealisme. 2. Teori Realisme Negara-negara sebagai aktor-aktor dalam dalam politik dan hubungan internasional, tidak luput dari kepentingan negara-negara. Menurut teori realisme, negara-negara dapat melakukan upaya dan pendekatan untuk mempeorleh kepentingan negara-negara masing dalam suatu sistem dunia yang anarkis. Kepentingan nasional dirumuskan oleh pimpinan-pimpinan negara berbedabeda, tidak dapat dipungkiri pada akhirnya dapat menyulut timbulnya konflik dan peperangan. Hans J. Morgenthau mengajukan enam prinsip dalam teori realisme dalam hubungan internasional. 1) Realisme harus diatur oleh suatu hukum yang obyektif, yang berakar pada dasar alamiah manusia; 2) Konsep kepentingan nasional didefinisikan sebagai suatu daya atau kekuatan, bahwa kebijakan luar negeri merupakan tujuan utama; 3) Sementara kepentingan didedikasikan sebagai daya atau kekuatan adalah bukan subyek dari perubahan sejarah, sebab penerapan kekuatan adalah menyatu; 4) Moralitas universal tidak dapat digunakan untuk menghakimi suatu perbuatan negara; 5) Realisme politik menolak untuk mengdientifikasi aspirasi moral dari suatu bangsa yang khusus dengan moral hukum yang mengatur alam raya ini; 6) Atmosfer politik adalah berbeda dari ekonomi dan hukum, dan politik dalam dan luar negeri berjalan menurut beeraapa prinsip yang berbeda (Morgenthau 1973).36 36 Lihat Martin Griffiths and Terry O‟Callaghan. Dalam Richard Devetak, Anthony Burke, dan Jim George, An Introduction to International Relations. Australian Perspective. Merlbourne-Australia. 2007:59.\ 20 Dalam konteks tersebut, maka ketergantungan organisasi internasional dan hukum internasional, telah menyandarkan dirinya pada keseimbangan kekuatan (a balance of power) sebagai suatu instrumen utama yang dapat memerelihara dan mengekalkan perdamaian. 3. Teori Realisme Baru (Neo-Realism) Suatu teori dalam hubungan internasional yang lahir sejak tahuh 1960-70-an, yang menempatkan negara-negara dalam hubungan internasional yang menebarkan gagasan hak-hak asasi manusia yang agresif, sebagai akibat dari ancaman dan penekanan ketidak puasan negaranegara terhadap pendekatan teori realisme. Kritik itupun dengan serta muncul dimana pertumbuhan gagasan tentang ketergantungan negara-negara (interdependence), baik dalam sistem internasional, perkembangan sistem hukum dan norma hukum internasional yang mengatur dan menata berbagai hubungan antara negara, dan dengan tambahan pentingnya sedikit kontribusi dari suatu pemahaman terhadap hubungan antara negara-negara dengan pasar-pasar di tingkat global. Paham neo-realis ini meninjau adanya keseimbangan kekuatan hanya dilindungi dua kekuatan dunia (the bipolar balance of power) matahari. Dalam pandangan Kenneth N. Waltz, hubungan internasional, dalam teori baru realisme ini dibangun dengan tiga asumsi dasar: 1) Anarki (kekosongan dari suatu dasar kedaulatan) adalah adanya perbedaan dasar tentang pembelaan diri sendiri dalam sistem intenasional („self-help international system). Negara-negara berkewajiban untuk mendasarkan berbagai alat dan mekanismenya untuk melindungi kepentingannya. Dalam hal ini, keamanan merupakan tujuan tertinggi dari negara-negara. Karena itu, tidak sepantasnya menggunakan suatu argumentasi yang samar-samar bersifat filosofis tentang manusia secara alamiah untuk melihat pembagian kekuasaan merupakan hal utama dalam menjelaskan stabilitas dari suatu sistem. 2) Negara-negara merupakan aktor aktor utama dalam sistem internasional. Aktor-aktor non-negara seperti korporasi-korporasi, organisasi-organisasi multi-internasional, telah memainkan peranan penting, tetapi, memang negaralah yang utama. Klaim dari neo-realis terkadang melakukan kritik untuk melihat pentingnya aktor-aktor lain, di luar negara. Waltz menegaskan, “states are not and never have been the only international actors”. 3) Negara-negara merupakan aktor-akator paling rasional dalam hubungan internasional. Sebagaimana Robert Keohane, menyatakan negara-negara itu umum konsisten, dan memerintahkan berdasarkan sumber-sumber yang jelas. Karena itu, negara-negara selalu menghitung biaya dan keuntungan untuk semua kebijakan atributif untuk memanfaatkan 21 semaksimal mungkin sumber-sumber dan persepsi mereka terhadap realitas yang sesungguhnya kan f agar memperoeh suatu dan kepentingan dan sumber jaminan. 37 Dengan demikian, lembaga-lembaga internasional dapat memainkan peranan dalam hubungan internasional, terutama terkait dengan arena keamanan. Para pendukung neorealis, meyakini bahwa negara-negara pada khususnya berupaya mengimbangi dalam upaya menghadapi negara-negara lain jika merupakan ancaman pada mereka. Jadi, kaum neo-realis, lebih mengutamakan perhitungan adanya keseimbangan ancaman (balance of threat) dari pada keseimbangan kekuatan. Menurut Waltz, keseimbangan ancaman jauh lebih baik digunakan dari kedudukan negara sekutu dari pada keseimbangan kekuatan kasar. Misalnya, untuk menjelaskan keadaan Perang Dingin, bahwa proksimitas geografis, kekuatan terbuka, dan niat agresi negara-negara Uni Soviet meningkatkan perilaku berimbang yang dimainkan oleh kekuatan regional dari Uni Eropa dan Asia dalam bentuk persekutuan dengan Amerika Serikat. Teori tentang keseimbangan ancaman (balance of threat) membantu menjelaskan alasanalasan mengapa keperihatinan kita terhadap peristiwa 11 September 2001, tidak seharusnya dipandang oleh negara-negara sebagai upaya untuk menyeimbangkan AS sendirian, atau dengan negara-negara lainnya.38 4. Teori Marxisme Gagasan Karl Marx, tentang hubungan internasional selalu berangkat dari asumsi dasar manusia dan perilaku ekonominya. Dengan mencoba menganalisis secara kombinasi antara metode menerawang (predicitive), dengan metode penindakan (prescritive) dengan memaksimalkan upaya kaum Marxis yang dipandang sebagai dialektika dari lingkaran sejarah keberhasilan umat manusia dalam ideologi komunis. Tujuan akhir dalam suatu negara adalah membentuk suatu masyarakat yang tidak mengenal lagi adanya perbedaan-perbedaan kelas sosial 37 38 Lihat Richard Devetak. Ibid: 57. 22 (classless), dan masyarakat tanpa negara. Hal itu terjadi ketika keadilan dipahami sebagai suatu prinsip sederhana yaitu, untuk setiap orang memperoleh sesuatu tergantung kepada kemampuannya, dan setiap orang juga tergantung pada kebutuhan-kebutuhannya (from each according to his ability, to each according to his needs). Dalam hubungan internasional, teori Marxis yang dipelopori oleh Karl Marx dan Friederich Engels, menegaskan bahwa sistem ekonomi merupakan motif dasar utama setiap masyarakat. Hubungan ekonomi membantu menjelaskan dan memahami seluruh hubungan sosial dan politik. Konsep kelas dan perjuangan kelas dimaksudkan untuk mengawasi alat-alat produksi merupakan akar terciptanya interaksi sosial. Adapun alat-alat produksi sebagai faktor-faktor utama dalam interaksi sosial, digambarkaan dalam hubungan antara masyarakat pada masa sebelum ada negara dengan lahirnya kaum kaya (bourgeoisie) sebagai pemilik dan pengawas alat-alat produksi (alat-alat, mesin, dan organisasi-organisasi), termasuk di dalamnya bank-bank yang berkaitan dengan fungsi lembaga-lembaga keuangan. Dalam perkembangan hubungan internasional, pada akhirnya teori Marxis dan Leninis telah menegaskan bahwa perang internasional merupakan produk negara-negara imperialis kapitalis yang sedang mencari dan bertanding secara agresif untuk mencipakan pasar-pasar dan ketergantungan politik. Konsekuensi logisnya adalah bahwa peperangan antara negara-negara sosialis yang non-imperialis adalah sesuatu yang tidak terpikirkan. Secara faktual diargumentasikan, bahwa sekali partai komunis sebagai suatu suatu sistem pemerintahan telah berkembang biak, di berbagai penjuru dunia peperangan sebagai fenomena dunia akan sirna dengan sendirinya. Namun, dalam kenyataan tidak demikian, sebab negara-negara yang memiliki paham yang sama juga ikut terlibat dalam peperangan. Perang dingin terjadi antar Uni Soviet, Cina, Hongaria, dan juga Vietnam dan Kamboja yang sesungguhnya memiliki kesamaan ideologi.39 39 Lihat Theodore A. Couloumbis dan James H. Wolfe. Introduction to International Relations: Power and Justice (Nineth Edition). Englewood Cliffs New Jersey. Prentice-Hall International, Inc. 1978. 13. 23 Nilai manfaat teori Marxis, saat ini dalam konteks global adalah, dampaknya terhadap budaya ekonomi nasional, dan kegunaannya untuk membatasi penebaran kapitalisme masih tetap diperhitungkan. Hampir kebanyakan para komentator terkait globalisasi berhutang budi pada karya Karl Marx dari segi hutang intelektual dan sejenisnya. Begitu pula, pemikiran Marx telah memberikan konribusi besar pada pemahaman tentang politik internasional, dengan menunjukan berbagai keganjilan pengaruh dalam perdagangan bebas, dan hubungan kompleks yang terjadi di antara negara-negara dengan kekuatan ekonomi dominan dan negara-negara miskin yang mengekor negara-negara di dunia. 5. Teori Feminisme dalam Hubungan Internasional Gerakan feminisme mendapatkan perhatian penting dalam hukum dan hubungan internasional sejak awal tahun 1990-an. Isu feminisme ini telah menjadi gelombang besar pembahasan masyarakat tentang isu-isu perempuan atau jender. Apa yang menjadi kajian teori Feminis dalam hubungan internasional sesungguhnya mencakup ruang lingkup perbedaan pendekatan, para ahi hubungan internasional memiliki komitmen tinggi dalam memahami ketidakberutungan kebanyakan wanita yang menderita dalam politik internasional. Kerugian wanita dalam hubungan internasional adalah (1) Kurangnya akses kaum perempuaan untuk ambil bagian dalam politik, pembuatan kekuatan keputusan, dan akses pada sumber-sumber ekonomi. (2) Para sarjana feminis internasional sangat peduli pada berbagai cara dan studi dan praktek politik internasional yang merendahkan kaum perempuan. Isu-isu tersebut merupakan bagian ketidakberuntungan dan ketidaksamaan untuk dijadikan suatu agenda untuk kaum feminist dalam poltik internasional. Katrina Lee Koo,40 menyatakan bahwa agenda hubungan internasional terkait dengan feminisme mencakup latar belakang sosial, dan politik. Karena itu, hubungan internasional juga menjadi sangat penting untuk dikaitakan dengan program demokratiasi. Agenda pertama, adalah 40 Lihat Richard Devetak 24 feminis dalam hubungan internasional dengan cara mempersempit atau membatasi kaum perempuan dalam aktifitas politik, perdagangan perempuan untuk perbudakan seks, prostitusi untuk melayani militer, ekploitasi buruh di beberapa pabrik, kekerasan seksual pada saat keadaan perang. Kedua, kepedulian selanjutnya adalah isu terkait dengan perempuan dan laki-laki yang memiliki perbedaan pengalaman, tetapi memiliki kesamaan kontek. Sebagai contoh diterangkan banyak wanita-wanita pekerja di Kementerian Pertahanan di Australia, tetapi telah menjadi korban dari pelecahan seksual. Untuk itu, bagaimana agar perempuan tersebut tidak menjadi obyek pelecehan para pekerja laki-laki. Secara umum bahwa teori feminis dalam hubungan internasional dapat dikembangkan sebagai berikut. (1) kaum feminis liberal mendasarkan pandangannya pada idea kebebasan dan kesederajatan antara laki-laki dengan perempuan. (2). Sedangkan Feminis Marxis, beranggapan bahwa kebebasan wanita dapat dicapai dengan menghancurkan kapitalisme dan penindasan hubungan kelas, (3), Feminisme hitam (black feminism) telah meninjau tentang hubunganhubungan antara jender, diskriminasi didasarkan pada rasial. (4), budaya dan feminis maternalistik beragrgumentasi bahwa bahwa sifat damainya kaum perempuan dapat berkonribusi terhadap politik dan perdamaian global. (5) Feminisme Post-Kolonial mencari penjelasan tentang perbedaan penderitaan dihadapi perempuan di dalam masyarakat di zaman penajajahan dan paaska penajajahan yang acapkali dicampakan oleh feminisme penjajah. (6) Feminisme Paska moden Kritis berupaya mencari jawaban atas pertanyaan mendasar tentang identitas laki-laki dan perempuan, dan sifat-sifat alamiah jender dalam sisten internasional dan kemungkinan untuk melakukan emansipasi untuk wanita. 41 Dengan demikian, maka teori feminisme dalam hubungan internasional berusaha untuk menciptakan perlakuan yang berkeadilan dalam hubungan internasional, melalui upaya membuka peluang dan kesempatan yang sama dalam aspek ekonomi, politik, militer, dan pertahanan. 41 . Katrina Lee Koo. Hal 81. 25 6. Keadilan Global dan Demokrasi Kosmopolit Teori ini memang tidak sebagaimana teori hubungan internasional yang lebih tampak konkrit, empirit dan faktual. Melainkan lebih pada wacana yang abstrak dan normatif. Dalam hubungan internasional, keadilan sangat penting karena menentukan antara nilai baik dan buruk, nilai moral dan nilai etis, dan juga nilai kebenaran. Secara umum, keadilan dibedakan secara keadilan substantif dan keadilan prosedural. Keadilan substatif adalah merujuk pada kesederajatan hasil (outcome), dan pembagian harta kekayaan atau daya dan kekuatan. Sedangkan keadilan prosedural, merujuk pada suatu prosedur yang jujur, berimbang unuk memutuskan siapa untuk mendapatkan apa. Mengapa keadilan itu begitu global? Pertanyaan ini menarik terkait dengan hubungan internasional? Di satu pihak, John Rawls menegaskan bahwa keadilan adalah satu kebajikan dari lembaga-lembaga sosial, sebagai kebenaran. Sebagai suatu sistem berpikir, hukum dan lembaga-lembaganya, bagaimanapun efisiensinya dan tersusun rapi harus dibentuk atau dimusnahkan jika hukum dan lembaga-lembaganya tidak berkeadilan. Para pemikir Etika Barat telah dirusak oleh akibat suatu ketegangan antara kewajiban yang kita miliki dengan keharusan kita untuk berlaku sama dengan orang lain. 42 Menurut Theodore A. Coulombis, kaum tradisional memahami hubungan internasional memusatkan perhatian pada aktivitas para diplomat dan tentara-tentara yang melaksanakan tugas kebijakan luar negeri untuk memperjuangkan kepentingan nasional. Juga dapat dikenal, hubungan internasional sama dengan diplomasi atau strategi (strategy), kerjasama (cooperation), konflik (conflict), atau juga berbicara mengenai perang (war) dan damai (peace). Kaum tradisional juga tidak merumuskan tentang politik internasional yang menjelaskan ke dalam keadaan tertentu, memprediksi respon-respon para elit-elit terkait kebijakan politik luar negeri suatu negara dalam keadaan krisis. Dengan kata lain, hubungan internasional dalam 42 Lihat Richard Shapsott. Global Justice and Cosmoploitas Demoncracy. Di dalam Introduction to International Relations: Australian Perspective. By Richard Devetak, Anthony Burke and Jim Georgen 26 kacamata politik adalah analisis tentang ketertiban dengan membagi-bagi aspek-aspek politik dalam menciptakan keseimbangan dan memajukan sistem politik dengan menempatkannya dalam hubungan internasional. Karena itu, sebagai suatu disiplin keilmuan tentang hubungan internasional, haruslah memiliki dasar pengetahuan hukum, sejara dan suatu pengalaman khususu terkait politik dan budaya dari suatu wilayah di dunia. Faktor budaya menjadi sangat penting untuk menafsirkan data-data kosong untuk mencegah bias peran dogma dan paham paternalistik. 43 Holsti membedakan pemahaman antara politik internasional, kebijakan luar negeri (foreign policy), dan hubungan internasional (international relation). Politik internasional (international politic) memusatkan pengkajian pada kepentingan-kepentingan (interest), tindakan-tindakan (actions), dan unsur-unsur kekuatan negara-negara adidaya. Sedangkan hubungan-hubungan internasional merujuk pada berbagai bentuk interaksi antara anggota-anggota dari berbagai masyarakat yang terpisahkan, apakah di dukung oleh pemerintahan atau tidak. Termasuk didalamnya melakukan analisis terhadap kebijakan luar negeri, proses-proses politik antar bangsa-bangsa, dengan perjuangan kepentingan dalam seluruh aktivitas antar negara-negara, mencakup didalamnya memahami tentang organisasi perdagangan, Palang Merah Internasional, pariwisata, perdagangan internasional, transportasi, komunikasi, dan pembangunan nilai-nilai dan etika. Jadi, kajian internasional politik hanya akan terjadi jika fokus bahasa dan analisis ditujukan pada peristiwa-peristiwa yang secara rasional berdampak secara langsung pada hubungan antar pemerintahan. Karenanya, diplomasi bola ping-pong (table tennis), digunakan sebagai kendaraan untuk memperjuangkan kepentingan. Sebagaimana halnya hubungan China dengan Amerika Serikat. Sama halnya diplomasi model tenis meja tersebut dipergunakan untuk menjalankan praktek hubungan internasional yang 43 Theodore A. Coulombis, Hlm: 23. 27 biasa, sebagaimana pula praktek hubungan Australia dengan Selandia Baru, yang tidak perlu menggunakan kebijakan yang terlalu kompleks. Sama halnya kajian dalam hubungan internasional, yang menarik seluruh aspek perdagangan internasional. Dalam politik internasional, kita tidak perlu peduli dengan perdagangan internasional hanya kecuali jika sejauh pemerintah suatu negara menggunakan ancaman ekonomi, keuntungan, rangsangan, dan tujuan politik atau hukuman untuk memudahkan kerjasama internasional. 44 Dalam periode perang dingin, peningkatan hubungan internasional telah banyak dilakukan oleh aktor-aktor non-negara. Tetapi dalam faktanya, proses globalisasi menampilkan tantangan baru terhadap sistem negara, namun juga negara-negara memainkan peranan utama dalam sistem politik global. Hubungan internasional, di era Perang Dingin selalu dipengaruhi oleh interaksi negara-negara dengan kemandirian mereka masing-masing. Namun, ketimpangan tetap saja tampak. Sebab, menurut Mihaly Simai, diantara kurang lebih 200 negara-negara yang ada saat ini, lebih tampak menonjolkan perbedaan ketimpangan dari aspek luasnya wilayah, jumlah penduduk, kekuatan militer, kekuatan ekonomi, dan sebagainya. Sebagian negara-negara yang kuat memiliki tingkat stabilitas yang mapan, sedangkan negara-negara Islam saat ini rentan dan lemah. Timbulnya ketimpangan tersebut dapat memicu konflik dalam politik global. Tentu saja, kecenderungan motif ekonomi dan militer juga turut berubah.45 Aspek-aspek Hubungan Internasional Suatu bentuk kerjasama antara dua pihak (bilateral treaty), antara tiga pihak (trilateral treaties), atau beberapa pihak (multilateral treaties) untuk menyepakati suatu obyek tertentu secara tertulis dengan mendasarkan pada kaidah-kaidah hukum. Perjanjian internasional dapat 44 45 K. J. Holsti, 1983, Hlm: 20 Mihaly Simai, The Future of Global Governance. Managing Risk and Change in International System, Washington: Institute of Peace Press, 1994, Hlm: 40. 28 dipaksakan pemberlakuannya sepanjang telah ditulis, disepakati dan/atau diratifikasi untuk menjadi struktur hukum nasional. Fungsi dan kegunaan negara-negara terlibat dalam perjanjian internasional selain untuk menunjukan kepada upaya negara dengan negara sahabat secara formal tertulis. Juga menunjukan status negara semakin beradab dan modern. Bahkan dengan mengembangkan perjanjian internasional, Negara-negara dapat mewujudkan status kesederajatannya sebagai negara berdaulat. Dengan komunikasi, kerjasama dalam aspek perjanjian internasional dapat dipandang sebagai kerjasama dalam hukum internasional, sekaligus politik internasional. a. Kerjasama Diplomasi Suatu kerjasama dilakukan oleh negara-negara untuk menunjukan adanya kemampuan negara-negara dalam hubungan internasional. Pengakuan negara atas keberadaan negara sahabat atau negara tetangga merupakan bukti adanya hubungan diplomatik. Diplomasi adalah hubungan-hubungan yang terorganisir antara pemerintah negara-negara sebagai dasar dari seribu negara. Seorang Perdana Menteri, Nizam Malik, secara bijak menyarankan bahwa kedaulatan atas kewenanganya untuk memperlakukan duta besar negara luar sebagaimana memperlakukan dirinya sebagaimana mengirimkan seorang raja yang mengirimkan perwakilan.46 Di satu pihak, melalui adanya pengakuan, negara-negara dapat melaksanakan hubungan diplomatik melalui tukar menukar dokumen pengakuan, baik atas lahirnya negara baru atau kepemimpinan lainnya pemerintahan baru. Selain itu, hubungan diplomatik dapat diwujudkan dengan saling mengirim utusan korps diplomatik dan mendirikan kantor-kantor kedutaan besar dan konsulat jenderal. Di pihak lain, tidak kalah pentingnya, diatur juga hak-hak diplomatik sebagai hak keistimewaan (previleges rights), hak kekebalan (immunity rights), dan hak tidak dapat diganggu gugat (inviolability). Dasar hukum hubungan diplomatik diatur dalam Vienna 46 Op.Cit, Theodore Collombus, hlm: 124. 29 Convention 1961 (kedutaan besar), Vienna Convention 1963 (konsuler), yang isinya mengatur secara umum tentang persoalan diplomasi di tingkat konsuler. b. Kerjasama Hak Asasi Manusia dan Pencapaian Perdamaian Dunia Keterlibatan negara-negara dalam hal menghormati, menjunjung tinggi nilai-nilai HAM universal, dan berupaya untuk berjuang dalam menciptakan dan membangun perdamaian dunia (world peace) dan ketertiban dunia. Bentuk kerjasama negara-negara dalam nilai-nilai HAM antara lain, memberikan bantuan kemanusiaan karena pengungsi domestik akibat bencana alam (natural disaster) dan pengungsi internasional sebagian akibat adanya bencana kemanusiaan (humanitarian disaster). Pengungsi dan pengungsi domestik menjadi bagian dari HAM internasional. Sedangkan kerjasama dalam konteks perdamaian dunia dan ketertiban dunia adalah negara-negara ikut aktif dalam memelihara perdamaian dunia dengan cara menghindarkan diri dari konflik-konflik dan tidak menggunakan kekerasan atau senjata api dalam menyelesaikan sengketa. Selain itu, negara-negara memiliki kerjasama internasional dalam hal ikut serta menjauhi dan menghiraukan staf militer dalam hal praktek intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention). Intervensi kemanusiaan diselenggarakan oleh PBB, dibawah pengawasan dan Resolusi Dewan Keamanan PBB, merupakan putusan negara-negara adidaya. c. Kerjasama Internasional yang Melibatkan Negara-negara Kewajiban negara-negara untuk selalu menjunjung fungsi perdamaian dan ketertiban dunia dengan selalu menyelesaikan sengketa secara damai, baik untuk kepentingan nasional negara atau negara-negara, melalui model penyelesaian secara damai, lobi, negosiasi, mediasi, rekonsiliasi, dan juga penggunaan peradilan internasional. Dalam konteks ini, negara-negara tidak dapat berpangku tangan ketika negara-negara sahabatnya terkena masalah bencana alam dan bencana kemanusiaan peperangan dan perang saudara. 30 d. Kerjasama Pertahanan Militer dan Keamanan Internasional Kerjasama internasional dalam membangun tatanan dunia yang tertib dan damai memerlukan strategi dan metode yang interdisipliner, selain pendekatan hukum internasional atau perjanjian internasional juga terdapat pendekatan diplomasi. Dari pendekatan konvensional atau tradisional hubungan internasional tidak lepas dari kajian tentang kekuatan (power) suatu negara. Menurut Hans Morgenthau konsep kekuatan itu ditingkatkan posisinya yaitu sebagai kemampuan dari kebijakan luar negeri dilakukan oleh aktor-aktor elit negara untuk mempengaruhi secara dominan pemikiran dan tindakan terhadap pusat kekuasaan yang paling penting dalam kaitanya politik. Namun, konsep tentang kekuatan politik di tingkat operasional acapkali menyimpang dari peraturan-peraturan yang ada. Sebab hubungan dan pendekatan yang persuasive sebagai faktor yang menjadi dasar dalam hubungan internasional. Namun, karena kekuasaan dalam hubungan internasional terkait dengan kepentingan politis nasional, maka menurut Morgenthau, konsep kekuatan dan kemampuan itu harus dikaitkan dengan konsep keseimbangan kekuatan (balance of power) dan kesinambungan (equilibirium). Konsep ini dimaksudkan sebagai suatu slogan yang memberikan pembenaran pada terpeliharanya status quo (ketertiban) untuk memberikan kekuasaan pada negara-negara dan negara-negara lain yang sedang mencari status quo dari klaim ketertinggalannya.47 1.2 Prinsip-prinsip dalam Hubungan Internasional Adapun yang dimaksud dengan asas-asas hukum adalah general principle of international recognised by civilised countries, suatu prinsip-prinsip umum dalam hukum internasional yang diakui oleh negara-negara beradab yang pemberlakuannya bersifat universal, dan tidak dibatasi oleh ruang waktu dan tempat. 47 Theodore A. Coulombus dan James Wolfe, Introduction to International Relations: Power and Justice, United States of America, 1992, hlm: 24. 31 Pertama, asas Pacta Sunt Servanda, suatu asas yang digunakan oleh negara-negara untuk membebankan kewajiban-kewajiban kepada pihak-pihak untuk saling mematuhi dan menghormatinya. Pandangan Anzilotti ini, terbukti tidak hanya berlaku pada cakupan hukum internasional akan tetapi hukum negara-negara beradab juga telah mengakui adanya asas tersebut. Misalnya dalam Al Qur‟an surat Al maidah menjelaskan antara lain “penuhilah janjijanjimu”. Sebagaimana ajaran Islam, dengan sangat ketat mewajibkan kepada pihak-pihak yang melakukan suatu transaksi hutang pituang dengan penundaan pembayarannya, maka pihakpihak diwajibkan untuk membikin suatu perjanjian secara tertulis dengan harpan terdapatnya jaminan kepastian hukum. Kedua, I‟tikad baik (Good Faith) adalah suatu „tikad baik menjadi sangat penting dalam melaksanakan hubungan internasional. Sejak awal ajaran islam menegaskan bahwa kejujuran dapat mendorong lahirnya perbuatan bajik, sebab perbuatan bajik sekecil jarropun akan tetap kelihatan hasilnya. Sebagaimana perbuatan tidak bajik, dusta juga akan kelihatan hasilnya. Hadits nabi menyatakan bahwa segala perbuatan dimulai dengan niat-niat yang baik menentukan tujuan yang akan dicapai. Asas untuk saling menanamkan kejujuran dan satu lain bukan saja penting melainkan telah menjadi kebutuhan dalam melaksanakan transaksi baik di tingkat nasional dan tingkat internasional. Apalagi dalam kondisi teknologi informasi dan dunia maya, akan mustahil suatu transaksi dapat berjalan dengan efisien dan efektif tanpda dukungan itikad baik ini. Jadi universalitas itikad baik tidak pernah berubah dan tetap berpegang teguh dalam setiap praktek transaksi atau kerjasama internasional. Ketiga, asas kesederajatan (equality), suatu prinsip universal yang menempatkan setiap orang Negara dan subyek lainnya sama sederajat didepan hukum. Secara lebih filosofis ajaran islam menegaskan bahwa Tuhan telah menciptakan laki-laki dan perempuan, suku-suku, dan bangsa-bangsa. Agar kamu sekalian saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya yang paling mulia dihadapan Allah adalah yang paling tinggi ketakwaannya dihadapan Allah SWT. Kendatipun demikian, Islam juga menempatkan perbedaan kemampuan antar subyek hukum sehingga dapat menimbulkan tanggungjawab yang berbeda pula. Secara idealita 32 kesederajatan tadi menjadi kewajiban yang oleh setiap subyek hukum, perorangan atau Negara harus dipatuhi. Namun, secara implementatif ternyata menjadi relatif mengingat setiap orang, Negara atau entitas politik lainnya dihadapkan pada kondisi sosial, budaya dan agama yang berbeda-beda, sehingga menjadi sangat lazim, jika prinsip-prinsip kesetaraan tersebut dalam hubungan internasional tidak dapat diterapkan secara hitam putih, melainkan harus ada proses adaptasi dan penyesuaian. Dimana besar kecilnya suatu ukuran negara tidak dapat menghalangi penerapan asas kesederajatan tersebut. Akibatnya, negara-negara memiliki kewajiban untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi kedaulatan negaranya masing-masing. Keempat, asas tidak melakukan campur tangan (non-intervention principle) adalah suatu prinsip dimana negara-negara tidak boleh diperbolehkan untuk ikut campur tangan urusan dalam dan luar negerinya suatu negara. Suatu negara yang tegak berdiri di atas kedaulatan negara, itu berarti suatu negara dapat berdiri dan menegakan kekuasaan dan kewenangannya terbebas dari campur tangan asing, baik dalam arti terbebasnya ketergantungan secara ekonomi, politik, kebudayaan dan pertahanan. Pada dasarnya intervensi dilarang dalam hukum internasional, sebab praktek intervensi mengganggu kemandirian negara-negara berdaulat. Jikapun intervensi, dalam kondisi tertentu mungkin saja digunakan, maka syarat-syaratnya cukup berat, misalnya intervensi kolektif (collective intervention), intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention) atau intervensi bersifat menghukum (punifive intervention) diakui dalam hukum internasional, yang didasarkan pada piagam PBB, Bab VII pasal 52. Hal tersebut dimaksudkan sebagai cara mencegah penggunaan kekerasan oleh suatu kelompok ke kelompok Negara lain. Karena itu, intervensi yang mengandung persekongkolan jahat (conspiracy crime) sungguh dilarang. Sebagaimana ajaran islam dalam Al-Qur‟an memerintahkan untuk saling menolong, tetapi dilarang keras tolong-menolong dalam keburukan dan permusuhan. Ayat tersebut dapat digunakan untuk menganalisis fakta yang begitu banyak Negara-negara adidaya melakukan kerjasama dan tolong- 33 menolong untuk menghancurkan suatu Negara sebagaimana Negara-negara barat menggempur Afghanistan pada 2002 dan irak pada tahun 2005.48 Kelima, asas hubungan bertetangga baik (good and friendly neigbourhood relations) suatu asas yang dipergunakan oleh suatu negara untuk dapat hidup berdampingan sebagai negara-negara tetangga satu sama lain. Upaya yang biasa dilakukan dalam kaitannya dengan memelihara hubungan baik dan bersahabat antara negara-negara tetangga. Di satu pihak menghormati atas berbagai kebijakan suatu negaranya dan selalu melakukan kerjasama dengan menggunakan kerjasama melalui perjanjian internasional atau upaya diplomasi lainnya.Sangat penting ketika negara-negara wajib dapat menahan diri untuk tidak menggunakan kekuatan militer dalam menyelesaikan suatu sengketa terkait dengan perjuangan untuk memperoleh berbagai keuntungan untuk kepentingan nasionalnya. Dalam Pasal 1 angka 1 Piagam PBB ditegaskan bahwa setiap negara wajib mengendalikan untuk tidak menggunakan kekerasan, melainkan harus mengutamakan cara-cara perdamaian. 49 Sebagaimana negara-negara ASEAN memiliki kewajiban untuk memelihara hubungan persahabatan yang baik, karena ketertiban dunia dapat diselenggarakan dengan terciptanya tata tertib dan perdamaian di ASEAN. 50 Keenam, Asas hubungan timbal balik (reciprocal relations) Suatu asas penting yang digunakan oleh negara-negara dimana sesungguhnya kedua negara saling tergantung karena itu, negara-negara tersebut saling memberikan pengakuan kedaualatan dan pengakuan atas adanya Pemerintahan baru atau pemimpin yang baru. Asas timbal balik itu juga dapat dipergunakan ketika hubungan kedua negara berada dalam kondisi yang tidak bersahabat (unfriendly relations), untuk saling menjatuhkan hukuman seperti pengusiran atau Persona Non Grata bagi wakil-wakil diplomatik yang diduga telah melakukan pelanggaran diplomatik. Bahkan anggota 48 49 50 Jawahir Thontowi, Terorisme Negara. Kerjasama Konspiratif Menjinakkan Islam Fundamentalis, Yogyakarta: UII Press, 2013, hal: 53. Pasal 1 ayat (1): bersama yang efektif untuk pencegahan dan penghapusan ancaman terhadap perdamaian, dan untuk menekan tindakan agresi atau pelanggaran lain perdamaian, dan untuk membawa dengan cara damai , dan sesuai dengan prinsip keadilan dan hukum internasional, penyesuaian atau penyelesaian sengketa internasional atau situasi yang mungkin mengakibatkan pelanggaran perdamaian Lihat Pasal 1 angka 7 Piagam ASEAN. 34 diplomatik yang melakukan penyadapan dengan informasi rahasia intelejen atau melakukan diplomatik lainnya dapat dilakukan pengusiran dalam waktu 24 jam. Ketujuh, prinsip penggunaan hak Veto suatu hak istimewa yang dipegang negara-negara adi-kuasa (Super Powers) untuk menolak dan/atau membatalkan berbagai putusan yang dibuat dan telah disepakati anggota-anggota Dewan Keamanan PBB. Banyak pakar politik dan hukum internasional yang memandang hak veto sebagai lambang status quo ketidak adilan dalam hukum internasional. Secara historis dan juridis, hak veto hanya diberikan kepada lima negaranegara besar yang diatur dalam Pasal 27 Piagam PBB. Dalam konteks, politik pasca Perang Dunia Kedua, hak veto ada kaitannya dengan upaya negara-negara tersebut memelihara keseimbangan kekuatan (balance of power) negara-negara di dunia. Timbulnya negara-negara baru baik di Asia, Afrika, dan juga sebagaian Eropa timur umumnya terjadi setelah Perang Dunia II berada dibawah pengawasan bantuan dari lima negara-negara besar (the big five contries). Karena itu, ada usulan agar hak veto dihilangkan. Sebab pasca perang dingin hak veto sepertinya tidak lagi diperlukan, karena tatanan masyarakat internasional telah berubah. HAM internasional telah memberi kontribusi besar atas semakin efektifnya hukum internasional. Tidak mungkin keadilan dapat terselenggara manakala kelima negara tersebut hanya mengakomodir negaranegara bekas jajahannya, sementara banyak negara-negara dengan latar belakang agama tertentu tidak terwakili dalam pemegang hak veto. Kedelapan, prinsip free trade zone, yaitu prinsip wilayah perdagangan bebas yang diberlakukan bagi negara-negara untuk menyepakati berbagai hak dan kewajiban internasional dalam pelaksanaan perdagangan internasional, termasuk di dalamnya untuk saling tidak membatasi adanya sistem perdagangan di dalam dan luar negeri dengan tidak membebankan pajak masuk (import dan eksport) dan pajak keluar yang lebih meringankan. Pasar global telah menjadi bagian dari sistem ekonomi dunia, menuntut kedaulatan negara semakin bergeser oleh karena pembatasan masuk dan keluarnya, uang, SDM, SDA, barang, jasa, ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi kebutuhan dasar umat manusia. Pemberlakuan free trade di zona bebas ASEAN akan diberlakukan tahun 2015. Hal ini seharusnya mendorong Negara-negara ASEAN 35 untuk mempersiapkan instrumen hukum internasional untuk diadopsi agar semua anggota ASEAN, dapat mematuhi ketentuan tersebut, termasuk instrumen HAM bagi penyelesaian kasuskasus pelanggaran HAM berat di ASEAN. Selain itu, secara khusus Negara Indonesia yang paling besar dilihat dari penduduk, luas wilayah, dan kekayaan alamnya. Mustahil dapat mengelak penerapan free trade, sebagai kesepakatan internasional. Sumber daya manusialah andalan utama dalam merespon era globalisasi yang member manfaat bagi kepentingan bangsa dan Negara. . 36