BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Medis 1. Bayi Baru Lahir a. Pengertian Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dari usia kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu dengan berat badan lahirnya 2500 gram sampai dengan 4000 gram, lahir langsung menangis, dan tidak ada kelainan kongenital (cacat bawaan) yang berat (Kosim, 2012). Bayi baru lahir (neonatus) adalah bayi yang baru mengalami proses kelahiran berusia 0-28 hari (Marmi dan Rahardjo, 2012). Bayi baru lahir adalah suatu organisme yang sedang tumbuh, baru mengalami proses kelahiran, dan harus menyesuaikan diri dari kehidupan intrauterin ke kehidupan ekstrauterin (Abdoerrachman, 2007). b. Ciri-Ciri Bayi Baru Lahir Normal Ciri-ciri bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dengan kehamilan aterm antara 37-42 minggu, bayi yang mempunyai berat badan 2500-4000 gram, panjang badan 48-52 cm, lingkar dada 30-38 cm, lingkar kepala 33-35 cm, frekuensi jantung 120-160 kali/menit, pernapasan ± 40-60 kali/menit, kulit kemerahan dan licin karena 7 8 jaringan sub kutan cukup, rambut lanugo tidak terlihat, rambut kepala biasanya telah sempurna, kuku agak panjang dan lemas, mempunyai nilai APGAR >7, bergerak aktif, bayi lahir langsung menangis kuat, genitalia : perempuan labia mayora sudah menutup labia minora dan laki-laki testis sudah turun, skrotum sudah ada, reflek (morro, rooting, sucking, tonicneck, dan babynsky) baik, mekonium keluar dalam 24 jam pertama, dan mekonium berwarna hitam kecoklatan (Dewi, 2010). c. Perawatan Bayi Baru Lahir Normal Menurut Saifuddin (2009) penanganan segera pada bayi baru lahir yang harus dilakukan, antara lain sebagai berikut : 1) Membersihkan jalan napas Bayi normal akan menangis spontan segera setelah lahir. Apabila bayi tidak langsung menangis, maka penolong harus segera membersihkan jalan napas, yaitu dengan meluruskan jalan napas dan membersihkannya menggunakan jari tangan yang dibungkus dengan kassa steril. 2) Memotong dan merawat tali pusat Tali pusat dipotong 5 cm dari dinding perut bayi dengan gunting steril, kemudian diikat dengan pengikat steril. Apabila masih terjadi perdarahan dapat dibuat ikatan baru kemudian dibalut dengan kassa steril. 9 3) Melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Segera setelah bayi lahir dan tali pusat diikat, kemudian bayi diletakkan tengkurap di dada ibu dengan kulit bayi bersentuhan langsung ke kulit ibu. Kontak kulit ibu dan bayi ini berlangsung setidaknya 1 jam atau lebih, bahkan sampai bayi dapat menyusu sendiri. Bayi diberi topi dan selimut di atasnya agar tetap terjaga kehangatannya. 4) Mempertahankan suhu tubuh bayi Pada waktu baru lahir, bayi belum mampu mengatur tetap suhu badannya dan membutuhkan pengaturan dari luar untuk membuatnya tetap hangat. Bayi baru lahir harus dibungkus dengan hangat. Suhu tubuh bayi merupakan tolok ukur kebutuhan akan tempat tidur yang hangat sampai suhu tubuhnya stabil. 5) Memberi obat tetes/salep mata Pemberian obat mata eritromisin 0,5 % atau tetrasiklin 1 % dianjurkan untuk pencegahan penyakit mata karena klamidia (penyakit menular seksual). 6) Memberi vitamin K Untuk mencegah terjadinya perdarahan karena defisiensi vitamin K1, semua bayi baru lahir normal dan cukup bulan perlu diberi 1 mg vitamin K1 pada sepertiga paha bagian luar secara intramuskular. Pemberian vitamin K1 yaitu 1 jam setelah IMD. 10 7) Pemberian imunisasi bayi baru lahir Imunisasi Hepatitis B0 diberikan 1 jam setelah pemberian vitamin K1, pada saat bayi berumur 2 jam. Imunisasi Hepatitis B bermanfaat untuk mencegah infeksi Hepatitis B pada bayi, terutama jalur penularan ibu ke bayi. 8) Identifikasi bayi Alat pengenal yang efektif harus diberikan pada setiap bayi baru lahir dan harus di tempatnya sampai waktu bayi dipulangkan. Peralatan identifikasi dapat berupa gelang identifikasi yang berisi nama lengkap ibu, tanggal lahir, jenis kelamin, dan hasil pengukuran antropometri yang dipasang pada pergelangan tangan dan atau pergelangan kaki bayi. 2. Ikterus Neonatorum a. Pengertian Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dl (Kosim, 2012). Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit, atau jaringan lainnya akibat adanya penimbunan bilirubin dalam tubuh. Keadaan ini merupakan tanda penting dari penyakit hati atau kelainan fungsi hati, saluran empedu, dan penyakit darah. Bila kadar bilirubin darah 11 melebihi 2 mg%, maka ikterus akan terlihat. Namun pada neonatus ikterus masih belum terlihat meskipun kadar bilirubin darah sudah melampaui 5 mg%. Ikterus terjadi karena adanya peninggian kadar bilirubin indirek (unconjugated) dan atau kadar bilirubin direk (conjugated) (Hasan dan Alatas, 2007). b. Klasifikasi 1) Ikterus Fisiologis Ikterus fisiologis adalah suatu proses normal yang terlihat pada sekitar 40-50 % bayi aterm/cukup bulan dan sampai dengan 80 % bayi prematur dalam minggu pertama kehidupan. Ikterus fisiologis adalah perubahan transisional yang memicu pembentukan bilirubin secara berlebihan di dalam darah yang menyebabkan bayi berwarna ikterus atau kuning (Kosim, 2012). Menurut Ridha (2014) ikterus fisiologis memiliki tandatanda, antara lain sebagai berikut : a) Warna kuning akan timbul pada hari kedua atau ketiga setelah bayi lahir dan tampak jelas pada hari kelima sampai keenam dan menghilang sampai hari kesepuluh. b) Kadar bilirubin indirek tidak lebih dari 10 mg/dl pada neonatus kurang bulan dan 12,5 mg/dl pada neonatus cukup bulan. c) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak lebih dari 5 mg/dl per hari. d) Kadar bilirubin direk tidak lebih dari 1 mg/dl. 12 e) Tidak memiliki hubungan dengan keadaan patologis yang berpotensi menjadi kern icterus (ensefalopati biliaris adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak). 2) Ikterus Patologis Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia (Saifuddin, 2009). Menurut Kosim (2012) ikterus patologis tidak mudah dibedakan dari ikterus fisiologis. Keadaan di bawah ini merupakan petunjuk untuk tindak lanjutnya sebagai berikut : a) Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam. b) Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi. c) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg/dl pada neonatus kurang bulan dan 12,5 mg/dl pada neonatus cukup bulan. d) Peningkatan bilirubin total serum > 0,5 mg/dl/jam. e) Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea atau suhu yang tidak stabil. f) Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan. 13 g) Ikterus yang disertai keadaan antara lain : BBLR, masa gestasi kurang dari 36 minggu, asfiksia, infeksi, dan hipoglikemia. Ikterus pada bayi baru lahir terdapat pada 25-50 % neonatus cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan. Ikterus pada bayi baru lahir dapat merupakan gejala fisiologis atau dapat merupakan hal yang patologis, misalnya pada inkompatibilitas Rh dan ABO, sepsis, penyumbatan saluran empedu, dan sebagainya (Saifuddin, 2009). c. Etiologi Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) etiologi ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut : 1) Produksi yang berlebihan, lebih dari kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, defisiensi enzim G6PD, pyruvate kinase, perdarahan tertutup, dan sepsis. 2) Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar akibat asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glucoronil transferase (criggler najjar syndrome). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel-sel hepar. 14 3) Gangguan dalam transportasi. Bilirubin dalam darah terikat oleh albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat-obat, misalnya : salisilat dan sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak. 4) Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar. 5) Obstruksi saluran pencernaan (fungsional atau struktural) dapat mengakibatkan penambahan hiperbilirubinemia dari bilirubin yang unconjugated berasal dari akibat sirkulasi enterohepatik. 6) Ikterus akibat Air Susu Ibu (ASI). Ikterus akibat ASI merupakan unconjugated hiperbilirubinemia yang mencapai puncaknya terlambat (biasanya menjelang hari ke 6-14). Hal ini untuk membedakan ikterus pada bayi yang disusui ASI selama minggu pertama kehidupan. Sebagian bahan yang terkandung dalam ASI (beta glucoronidase) akan memecah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam lemak, sehingga bilirubin indirek akan meningkat, dan kemudian akan diresorbsi oleh usus. Bayi yang mendapat ASI bila dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula, mempunyai kadar bilirubin yang lebih tinggi berkaitan dengan 15 penurunan asupan pada beberapa hari pertama kehidupan. Pengobatannya yaitu bukan dengan menghentikan pemberian ASI melainkan dengan meningkatkan frekuensi pemberiannya. d. Patofisiologi Meningkatnya kadar bilirubin dapat juga disebabkan produksi yang berlebihan. Sebagian besar bilirubin berasal dari destruksi eritrosit yang menua. Pada neonatus 75 % bilirubin berasal dari mekanisme ini. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 34 mg bilirubin indirek (free billirubin) dan sisanya 25 % disebut early labeled bilirubin yang berasal dari pelepasan hemoglobin karena eritropoeis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung protein heme dan heme bebas. Pembentukan bilirubin diawali dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin. Setelah mengalami reduksi biliverdin menjadi bilirubin bebas, yaitu zat yang larut dalam lemak yang bersifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melewati membran biologik, seperti plasenta dan sawar otak (Kosim, 2012). Di dalam plasma, bilirubin tersebut terikat/bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Dalam hepar menjadi mekanisme ambilan sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hepar dan masuk ke dalam hepatosit. Di dalam sel bilirubin akan terikat dan bersenyawa dengan ligandin (protein Y), protein Z, dan glutation S- 16 tranferase membawa bilirubin ke reticulum endoplasma hati (Kosim, 2012). Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronide dan sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide. Ada dua enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin diglukoronide yaitu uridin difosfat glukoronide transferase (UDPG:T) yang mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide. Sintesis dan ekskresi diglukoronide terjadi di membran kanalikulus (Hasan dan Alatas, 2007). 17 Hemoglobin A. Produksi Heme Globin Enzim Heme Oksigenasi Oksidasi Biliverdin Reduksi Sirkulasi darah Enzim biliverdin reduktase Sirkulasi darah Bilirubin Konsentrasi albumin B. Transportasi obat-obatan bersifat asam Sirkulasi darah Bilirubin + Albumin Sirkulasi bilirubin enterohepatik Retikulum Endoplasma Bilirubin Enzim UDPG-T Konjugasi Bilirubin Diglukoronida ekskresi Ginjal Saluran Pencernaan Kandung Empedu D. Ekskresi Ekskresi Bilirubin feses Stercobilinogen Bilirubin indirek dalam darah Bilirubin + (Protein y, Protein z, Glutation S-Transferse) C. Konjugasi Bilirubin + Absorpsi enterohepatik Bilirubin Indirek Gambar 2.1 Patofisiologi Hiperbilirubinemia Sumber : Bagan diolah dari Hasan dan Alatas (2007); Kosim, M.S., dkk. (2012); Maryunani (2013) 18 e. Faktor Predisposisi Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat disebabkan atau diperberat oleh setiap faktor yang menambah beban bilirubin untuk dimetabolisasi oleh hati (anemia hemolitik, waktu hidup sel darah menjadi pendek akibat imaturitas atau akibat sel yang ditransfusikan, penambahan sirkulasi interohepatik, dan infeksi). Dapat menciderai atau mengurangi aktivitas enzim transferase (hipoksia, infeksi, kemungkinan hipotermia, dan defisiensi tiroid) dapat berkompetisi dengan atau memblokade enzim tranferase (obat-obat dan bahan-bahan lain yang memerlukan konjugasi asam glukuronat untuk ekskresi) atau dapat menyebabkan tidak adanya atau berkurangnya jumlah enzim yang diambil atau menyebabkan pengurangan reduksi bilirubin oleh sel hepar (cacat genetik dan prematuritas) (Nelson, 2012). Risiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum menjadi bertambah dengan adanya faktorfaktor yang mengurangi retensi bilirubin dalam sirkulasi (hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya pada albumin karena ikatan kompetitif obat-obatan, seperti sulfisoksazole dan moksalaktam, asidosis, kenaikan sekunder kadar asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan atau hipotermia) atau oleh faktorfaktor yang meningkatkan permeabilitas sawar darah otak atau membran sel saraf terhadap bilirubin atau kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya, seperti asfiksia, prematuritas, hiperosmolalitas, dan 19 infeksi. Pemberian makan yang awal menurunkan kadar bilirubin serum, sedangkan ASI dan dehidrasi menaikkan kadar bilirubin serum. Mekonium mengandung menyebabkan ikterus 1 mg melalui bilirubin/dl sirkulasi dan dapat enterohepatik turut pasca dekonjugasi oleh glukoronidase usus. Obat-obat seperti oksitosin dan bahan kimia yang diberikan dalam ruang perawatan seperti detergen fenol dapat juga menyebabkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi (Nelson, 2012). f. Faktor Risiko Menurut Kosim (2012) faktor risiko hiperbilirubinemia berat pada bayi usia kehamilan ≥ 35 minggu, antara lain sebagai berikut : 1) Faktor risiko mayor Faktor risiko mayor dari hiperbilirubinemia adalah ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan, inkompabilitas golongan darah dengan tes antiglobulin direk yang positif atau penyakit hemolitik lainnya (defisiensi G6PD, peningkatan ETCO), umur kehamilan antara 35-36 minggu, riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi, ASI eksklusif dengan cara perawatan tidak baik, sefal hemathoma, dan ras Asia Timur. 2) Faktor risiko minor Faktor risiko minor dari hiperbilirubinemia adalah umur kehamilan antara 37-38 minggu, sebelum pulang bayi tampak kuning, riwayat anak sebelumnya kuning, bayi makrosomia dari 20 ibu dengan penyakit Diabetes Mellitus (DM), dan bayi dengan jenis kelamin laki-laki. g. Tanda Klinis/Laboratoris Pengamatan ikterus kadang-kadang agak sulit apalagi dalam cahaya buatan. Paling baik pengamatan dilakukan dalam cahaya matahari dan dengan menekan sedikit kulit yang akan diamati untuk menghilangkan warna karena pengaruh sirkulasi darah (Hasan dan Alatas, 2007). Cara menegakkan diagnosa ikterus pada bayi baru lahir, antara lain sebagai berikut : 1) Keluhan subjektif yaitu bayi berwarna kuning pada muka dan sebagian tubuhnya dan kemampuan menghisap bayi lemah (Marmi, 2012). 2) Pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan yang dilakukan dari ujung rambut sampai kaki dengan hasil bayi berwarna kuning serta pemeriksaan reflek bayi (Hasan dan Alatas, 2007). 3) Pemeriksaan penunjang laboratorium yaitu pemeriksaan golongan darah, uji coombs direk, uji coombs indirek, kadar bilirubin total dan direk, darah periksa lengkap dengan diferensial, protein serum total, dan glukosa serum (Kosim, 2012). Cara untuk menentukan derajat ikterus yang merupakan risiko terjadinya kern icterus, salah satunya dengan cara klinis (rumus 21 Kramer) yang dilakukan di bawah sinar biasa (day light) (Saifuddin, 2009). Daerah kulit bayi yang berwarna kuning untuk penerapan rumus Kremer, seperti dibawah ini : Keterangan : 1. Kepala dan leher 2. Daerah 1 (+) Badan bagian atas 3. Daerah 1, 2 (+) Badan bagian bawah dan tungkai 4. Daerah 1, 2, 3 (+) Lengan dan kaki di bawah lutut 5. Daerah 1, 2, 3, 4 (+) Telapak tangan dan kaki Gambar 2.2 Daerah kulit yang berwarna kuning untuk penempatan rumus Kramer Sumber : Saifuddin, 2009 22 Ikterus neonatorum patologis dibagi menjadi 5 kramer sesuai dengan daerah ikterusnya dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Pembagian Ikterus Neonatorum menurut metode Kramer DAERAH LUAS IKTERUS KADAR BILIRUBIN (mg%) 1 Kepala leher 5 2 Daerah 1 (+) Badan bagian atas 9 3 Daerah 1, 2 (+) Badan bagian 11 bawah dan tungkai 4 Daerah 1, 2, 3 (+) Lengan dan 12 kaki di bawah lutut 5 Daerah 1, 2, 3, 4 (+) Telapak 16 tangan dan kaki Sumber : Saifuddin, 2009 h. Prognosis Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kern ikterus atau ensefalopati biliaris. Kern ikterus (ensefalopati biliaris) adalah sindrom neurologis akibat pengendapan bilirubin tak terkonjugasi di dalam sel-sel otak. Risiko pada bayi dengan eritroblastosis foetalis secara langsung berkaitan dengan kadar bilirubin serum : hubungan antara kadar bilirubin serum dan kern ikterus pada bayi cukup bulan yang sehat masih belum pasti. Bilirubin indirek yang larut dalam lemak dapat melewati sawar darah otak dan masuk ke otak dengan cara difusi apabila kapasitas albumin untuk mengikat bilirubin dan protein plasma lainnya terlampaui dan kadar bilirubin bebas dalam plasma bertambah (Nelson, dkk, 2012). Pada setiap bayi nilai persis kadar bilirubin yang bereaksi indirek atau kadar bilirubin bebas dalam darah yang jika dilebihi akan bersifat 23 toksik tidak dapat diramalkan, tetapi kern ikterus jarang terjadi pada bayi cukup bulan yang sehat (Nelson, dkk, 2012). Manifestasi klinis akut bilirubin ensefalopati pada fase awal bayi dengan ikterus berat akan tampak letargis, hipotonik, dan reflek menghisap buruk, sedangkan pada fase intermediate ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas, hipertoni. Untuk selanjutnya bayi akan demam, high-pitced cry, kemudian akan menjadi drowsiness dan hipotoni (Kosim, 2012). Pada kern ikterus, gejala klinik pada permulaan tidak jelas, antara lain dapat disebutkan yaitu bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar, gerakan tidak menentu (involuntary movements), kejang, tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya opistotonus (Saifuddin, 2009). i. Penatalaksanaan dan Pengobatan Menurut Ridha (2014) mencegah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati biliaris dalam hal ini yang penting ialah pengamatan yang ketat dan cermat perubahan peningkatan kadar ikterus/bilirubin bayi baru lahir khususnya ikterus yang kemungkinan besar menjadi patologis, yaitu : 1) Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama. 2) Ikterus dengan kadar bilirubin >12,5 mg pada neonatus cukup bulan atau >10 mg% pada neonatus kurang bulan. 3) Ikterus dengan peningkatan kadar bilirubin >5 mg%/hari. 24 Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) dan Kosim (2012) penatalaksanaan screening test, antara lain sebagai berikut : 1) Golongan darah : untuk menentukan dan status Rh bayi bila transfusi sulih diperlukan. 2) Uji Coombs direk : untuk menentukan diagnosis penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, hasil positif mengindikasikan sel darah merah bayi telah terpajan (diselimuti antibodi). 3) Uji Coombs indirek : mengukur jumlah antibodi Rh positif dalam darah ibu. 4) Kadar Bilirubin total dan direk : untuk menegakkan diagnosis heperbilirubinemia. 5) Darah periksa lengkap dengan diferensial : untuk mendeteksi hemolisis, anemia (Hb < 14 gr/dl) atau polisitemia (Ht lebih dari 65%), Ht kurang dari 40 % (darah tali pusat) mengindikasi hemolisis berat. 6) Protein serum total : untuk mendeteksi penurunan kapasitas ikatan (3,0 mg/dl). 7) Glukosa serum : untuk mendeteksi hipoglikemia (< 40 mg/dl). Dalam penanganan ikterus cara-cara yang dipakai adalah untuk mencegah dan mengobati, sampai saat ini cara-cara itu dapat dibagi dalam empat jenis usaha, yaitu sebagai berikut : 1) Mempercepat metabolisme dan pengeluaran bilirubin dengan early breast feeding yaitu menyusui bayi dengan ASI (Air Susu Ibu). 25 Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urine. Untuk itu bayi harus mendapat cukup ASI. Seperti diketahui ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar BAB dan BAK. Akan tetapi pemberian ASI juga harus dibawah pengawasan dokter karena pada beberapa kasus ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk jaundice) (Marmi dan Rahardjo, 2012). Pemberian fenobarbital yang yang dapat memperbesar konjugasi dan ekskresi bilirubin. Pemberiannya akan membatasi perkembangan ikterus fisiologis pada bayi baru lahir bila diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam sebelum persalinan atau pada bayi saat lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam. Meskipun demikian, fenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk mengobati ikterus pada bayi neonatus karena pengaruhnya pada metabolisme bilirubin biasanya tidak terlihat sebelum mencapai beberapa hari pemberian, efektivitas obat ini lebih kecil dari pada fototerapi dalam menurunkan kadar bilirubin, dan dapat mempunyai pengaruh sedatif yang tidak menguntungkan serta tidak menambah respon terhadap fototerapi (Nelson, 2012). 2) Terapi sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya bisa di jemur selama setengah jam dengan posisi yang berbeda. Lakukan pada jam 07.00-09.00 WIB karena inilah waktu di mana 26 sinar ultraviolet belum cukup efektif mengurangi kadar bilirubin. Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke arah matahari karena dapat merusak matanya. 3) Terapi sinar (Fototerapi) Terapi sinar atau fototerapi dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecah dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah dahulu oleh organ hati dan dapat dikeluarkan melalui urin dan feses sehingga kadar bilirubin menurun (Dewi, 2010; Marmi dan Rahardjo, 2012). Di samping itu pada terapi sinar ditemukan pula peninggian konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum dan menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan keluar bersama feses. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tidak terus meningkat sehingga menimbulkan risiko yang lebih fatal. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan fototerapi, yaitu : a) Alat-alat yang diperlukan menurut Dewi (2010), antara lain : Unit terapi sinar , yaitu : 27 1) Lampu fluoresensi 10 buah masing-masing 20 watt dengan gelombang sinar 425-475 nm, seperti pada sinar cool white, daylight, vita kite blue, dan special blue. 2) Jarak sumber cahaya ke bayi ± 45 cm, di antaranya diberi kaca pleksi setebal 0,5 inci untuk menahan sinar ultraviolet. 3) Lampu diganti setiap 200-400 jam. b) Pelaksanaan pemberian terapi sinar menurut Marmi dan Rahardjo (2012), yaitu : 1) Pemberian terapi sinar biasanya selama 100 jam. 2) Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas mungkin terkena sinar. 3) Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk mencegah kerusakan retina. Penutup mata dilepas saat pemberian minum dan kunjungan orang tua untuk memberikan rangsang visual pada neonatus. 4) Daerah kemaluan ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk melindungi daerah kemaluan dari cahaya fototerapi. 5) Posisi lampu diatur dengan jarak 45-50 cm di atas tubuh bayi, untuk mendapatkan energi yang optimal. 6) Posisi tubuh bayi diubah tiap 8 jam agar tubuh mendapat penyinaran seluas mungkin. 28 7) Pertahankan suhu bayi agar selalu 36,5-37 ºC dan observasi suhu setiap 4-6 jam sekali. Jika terjadi kenaikan suhu matikan sementara lampunya dan bayi diberikan banyak minum. Setelah 1 jam kontrol kembali suhunya. Jika tetap tinggi hubungi dokter. 8) Perhatikan asupan cairan agar tidak terjadi dehidrasi dan peningkatan suhu tubuh bayi. 9) Pada waktu memberi minum bayi dikeluarkan, dipangku, dan penutup mata dibuka. Perhatikan apakah terjadi iritasi atau tidak. 10) Periksa kadar bilirubin setiap 8 jam setelah pemberian terapi 24 jam. 11) Apabila kadar bilirubin telah turun menjadi 7,5 % atau kurang terapi dihentikan walaupun belum 100 jam. 12) Jika setelah pemberian terapi 100 jam bilirubin tetap tinggi atau kadar bilirubin dalam serum terus naik, coba lihat kembali apakah lampu belum melebihi 500 jam digunakan. Selanjutnya hubungi dokter, mungkin perlu transfusi tukar. 13) Hentikan terapi sinar bila kadar bilirubin turun di bawah batas untuk dilakukan terapi sinar atau mendekati nilai untuk dilakukan transfusi tukar. 29 c) Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemberian fototerapi, yaitu : 1) Apabila kadar bilirubin cenderung naik pada bayi-bayi yang mendapat fototerapi intensif, kemungkinan besar terjadi proses hemolisis. 2) Kebutuhan cairan bayi meningkat selama pemberian terapi sinar, yaitu : (a) Anjurkan ibu menyusui sesuai keinginan bayi, paling tidak setiap 3 jam, tidak perlu menambah atau mengganti ASI dengan air, dekstrosa, atau formula. (b) Apabila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minum. Selama dilakukan terapi sinar, naikkan kebutuhan hariannya dengan menambah 25 ml/kg BB. (c) Apabila bayi mendapat cairan IV, naikkan kebutuhan hariannya 10-20 %. (d) Apabila bayi mendapat cairan IV atau diberi minum melalui pipa lambung, bayi tidak perlu dipindahkan dari lampu terapi sinar. (e) Selama dilakukan terapi sinar, feses bayi menjadi cair dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak membutuhkan tindakan khusus. 30 (f) Bayi dipindahkan dari alat terapi sinar bila akan dilakukan tindakan yang tidak memungkinkan dikerjakan di bawah lampu terapi sinar. (g) Apabila bayi mendapat terapi oksigen, matikan lampu saat memeriksa bayi untuk mengetahui sianosis sentral. (h) Warna kulit tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi dilakukan fototerapi dan selama 24 jam setelah dihentikan. 31 d) Efek samping terapi sinar Tabel 2.2 Efek samping terapi sinar Efek samping Perubahan suhu dan metabolik lainnya Perubahan spesifik Peningkatan suhu lingkungan dan tubuh, peningkatan konsumsi oksigen, peningkatan laju respirasi, peningkatan aliran darah ke kulit. Perubahan kardiovaskuler Perubahan sementara curah jantung dan penurunan curah ventrikel kiri. Status cairan Peningkatan aliran darah perifer dan peningkatan insensible water lost. Fungsi saluran cerna Peningkatan jumlah dan frekuensi buang air besar, feses cair, berwarna hijau kecokelatan, penurunan waktu transit usus, penurunan absorpsi, retensi nitrogen, air dan elektrolit, perubahan aktivitas laktosa, riboflavin. Perubahan aktivitas Letargis, gelisah. Perubahan berat badan Penurunan nafsu makan dan penurunan pada awalnya namun terkejar dalam 2-4 minggu. Efek okuler Tidak ada penelitian pada manusia, namun perlu perhatian antara efek cahaya dibandingkan dengan efek penutup mata. Perubahan kulit Tanning, rashes, burns, bronze baby syndrome. Perubahan endokrin Perubahan kadar gonadotropin serum (peningkatan LH dan FSH). Perubahan hematologi Peningkatan turnover trombosit dan cedera pada sel darah merah dalam sirkulasi dengan penurunan kalium dan peningkatan aktivitas ATP. Sumber : Kosim, 2012 4) Transfusi tukar (exchange transfusion) cara yang paling tepat untuk mengobati hiperbilirubinemia pada neonatus adalah tranfusi tukar. Dalam beberapa hal terapi sinar dapat menggantikan transfusi tukar darah akan tetapi pada penyakit hemolitik neonatus transfusi tukar darah adalah tindakan yang paling tepat (Marmi dan Rahardjo, 2012). Transfusi tukar dilakukan pada keadaan 32 hiperbilirubinemia yang tidak dapat diatasi dengan tindakan lain misalnya telah diberikan terapi sinar tetapi kadar bilirubin tetap tinggi. Pada umumnya transfusi tukar dilakukan pada ikterus yang disebabkan karena proses hemolisis yang terdapat pada keridakselarasan Rhesus, ABO, dan defisiensi G-6-PD. Indikasi untuk melakukan transfusi tukar adalah kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg%, kenaikan kadar bilirubin indirek cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam, anemia berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung, dan hasil pemeriksaan uji comb positif (Ngastiyah, 2005). Tabel 2.3 Pedoman pengelolaan ikterus menurut waktu timbulnya dan kadar bilirubin Bilirubin <24 jam 24-48 jam 49-72 jam >72 jam (mg%) <5 Pemberian makan yang dini 5-9 Terapi sinar Kalori bila cukup hemolisis 10-14 Transfusi Terapi sinar tukar* bila hemolysis Terapi 15-19 Transfusi Transfusi + tukar* tukar bila sinar+ hemolisis >20 Transfusi tukar+ Sumber : Modifikasi dari Maisels (Saifuddin, 2009) Keterangan : * Sebelum dan sesudah transfusi tukar, dengan memberi terapi sinar. + Bila tak berhasil, dengan transfus tukar. Bil < 5mg% selalu observasi Bil > 5mg% penyebab ikterus perlu diselidiki. 33 Bagan penanganan ikterus bayi baru lahir, sebagai berikut : Tabel 2.4 Bagan Penanganan Ikterus Bayi Baru Lahir TANDAWarna kuning pada kulit dan sklera mata (tanpa hepatomegali, TANDA perdarahan kulit, dan kejang-kejang) KATEGORI Normal Fisiologik Patologik PENILAIAN a. Daerah 1 1+2 1-4 1-5 1-5 >3 >3 >3 >3 Ikterus (rumus 5-9 11-15 >15-20 mg% >20 mg% mg% mg% Kramer) b. Kuning 1-2 hari ke c. Kadar <5 mg% bilirubin PENANGANAN Bidan atau a. Jemur di matahari pagi jam 7-9 a. Rujuk ke Terus Puskesmas diberi selama 10 menit. rumah ASI b. Badan bayi telanjang, mata sakit ditutup. b. Banyak c. Terus diberi ASI. minum d. Banyak minum. Rumah sakit Sama Sama Terapi Terapi sinar dengan dengan sinar di atas di atas a. Periksa golongan darah ibu dan bayi. b. Periksa kadar bilirubin. Tukar Nasihat Waspadai darah bila bila kadar semakin bilirubin naik >0,5 kuning, mg/jam kembali Coomb’s test Sumber : Saifuddin, 2009 34 B. Teori Manajemen Kebidanan Penerapan manajemen kebidanan pada bayi baru lahir dengan ikterus neonatorum menurut 7 Langkah Varney, yaitu : a. Langkah I. Pengumpulan Data Dasar Secara Lengkap Untuk memperoleh data dasar secara lengkap pada bayi baru lahir dengan ikterus neonatorum dapat diperoleh melalui : 1) Data Subjektif a) Biodata atau Identitas Identitas yang perlu dikaji adalah umur bayi yaitu ikterus pada 24 jam pertama termasuk patologis dan menetap setelah usia 10-14 hari (Hasan dan Alatas, 2007). b) Keluhan Utama Keluhan yang timbul pada bayi dengan ikterus neonatorum adalah bayi malas minum, letargis, dan kulit bayi berwarna kuning (Kosim, 2012). c) Riwayat Penyakit Apakah terdapat riwayat gangguan hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau golongan darah ABO), kelainan fungsi hati, dan obstruksi saluran pencernaan (Hasan dan Alatas, 2007). d) Data Kebiasaan Sehari-hari (1) Nutrisi : ASI yang diberikan pada bayi mempengaruhi tingginya tingkat hiperbilirubinemia yang berkaitan 35 dengan konjugasi dan ekskresi bilirubin (Schwartz, 2005). (2) Aktifitas : Pada bayi ikterus gerakan lemah, tidak aktif, dan letargis (Marmi, 2012). (3) Eliminasi : BAK biasanya pada bayi ikterus warna urin gelap atau urin positif mengandung hiperbilirubin, konsistensi BAB feses berwarna terang (Varney, 2008). 2) Data Objektif a) Keadaan Umum Pengkajian ini terdiri dari pemeriksaan status kesadaran, status hidrasi yang mencakup nutrisi bayi (ASI) (Hidayat, 2008). b) Vital Sign Menurut Varney (2008) vital sign yang perlu dikaji pada bayi dengan ikterus, antara lain sebagai berikut : (1) Frekuensi Nadi : Pada bayi dengan ikterus frekuensi nadi normal yaitu sama dengan bayi lahir normal. (2) Pernapasan : Pada bayi dengan ikterus frekuensi pernapasan yaitu lebih dari 60 kali/menit (takipnea). (3) Suhu Tubuh : Suhu tubuh pada bayi ikterus akan mengalami ketidakstabilan. 36 c) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan yang dilakukan dari ujung rambut sampai kaki. (1) Kepala : Pada bayi ikterus terlihat menguningnya atau jaringan lain di kepala akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh (Hasan dan Alatas, 2007). (2) Muka : Tanda klinis pada bayi ikterus pada muka yaitu pada puncak hidung dan mulut berwarna kuning (Marmi dan Rahardjo, 2012). (3) Mata : Sklera pada bayi ikterus berwarna kuning (Varney, 2008). (4) Kulit : Pada bayi dengan ikterus kulit berwarna kuning akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih (Hidayat, 2008). (5) Dada : Pada bayi ikterus dada berwarna kuning (Marmi dan Rahardjo, 2012). (6) Abdomen : Pada bayi dengan ikterus tanda klinis pada abdomen yaitu perut bayi berwarna kuning dan memeriksa adanya pembesaran hati dan limpa (Marmi dan Rahardjo, 2012). (7) Ekstremitas : Pada bayi dengan ikterus tanda klinis pada ekstremitas yaitu kaki dan tangan terdapat warna kuning (Marmi dan Rahardjo, 2012). 37 (8) Genetalia : Pada bayi dengan ikterus ketika BAK warna urine gelap (Varney, 2008). (9) Anus : Pada bayi dengan ikterus pengeluaran BAB pada warna feses bayi akan lebih terang (Varney, 2008). d) Reflek Menurut Hidayat (2008) reflek pada bayi dengan ikterus neonatorum, antara lain sebagai berikut : (1) Reflek morro pada bayi dengan ikterus neonatorum adalah lemah (Schwartz, 2005). Reflek morro dapat dilakukan dengan cara memukul meja pemeriksaan di dekat kepala bayi. (2) Reflek babynsky dapat dilakukan dengan cara menggores telapak kaki sepanjang tepi luar. Reflek babynsky pada bayi dengan ikterus adalah lemah. (3) Reflek tonick neck dapat dilakukan dengan memutar kepala bayi ke salah satu sisi dengan cepat. (4) Reflek rooting yaitu mencari puting susu dengan rangsang taktil pada pipi dan daerah mulut. Reflek rooting pada bayi dengan ikterus adalah lemah. (5) Refleks sucking yaitu reflek menghisap. Pada bayi dengan ikterus memiliki reflek hisap yang lemah. 38 3) Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) dan Kosim (2012) pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan pada bayi dengan hiperbilirubinemia adalah pemeriksaan golongan darah, uji coombs direk, uji coombs indirek, kadar bilirubin total dan direk, darah periksa lengkap dengan diferensial, protein serum total, dan glukosa serum. b. Langkah II. Interpretasi Data Dasar 1) Diagnosis Kebidanan Diagnosis kebidanan pada bayi baru lahir dengan ikterus adalah By. Ny. P umur 20 jam dengan ikterus neonatorum. Diagnosis tersebut ditegakkan berdasarkan data subjektif, objektif, dan pemeriksaan laboratorium (Ngastiyah, 2005). Data Dasar : a) Subjektif Ibu mengatakan bayinya berwarna kuning pada muka dan sebagian tubuhnya dan kemampuan menghisap bayi lemah (Marmi, 2012). b) Objektif (1) Observasi keadaan umum mengenai status kesadaran. (2) Observasi vital sign, meliputi : frekuensi nadi, pernapasan, dan suhu tubuh. (3) Pemeriksaan fisik. (4) Reflek lemah. (5) Pemeriksaan penunjang laboratorium (Marmi, 2012). 39 2) Masalah Masalah pada bayi baru lahir dengan ikterus adalah gangguan pernapasan, kurangnya masukan dan nutrisi karena bayi malas minum (Ngastiyah, 2005). 3) Kebutuhan Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) dan Kosim (2012) kebutuhan pada bayi baru lahir dengan ikterus adalah memenuhi kebutuhan cairan dan nutrisi dengan memberikan ASI secara adekuat dengan cara ASI dimasukkan dalam botol susu, jika tidak mau menghisap dot berikan pakai sendok dan jika tidak dapat habis berikan melalui sonde, mengusahakan agar bayi tidak kepanasan atau kedinginan, memelihara kebersihan tempat tidur bayi dan lingkungannya berguna untuk mencegah terjadinya infeksi, dan menjemur bayi pada pagi hari di bawah sinar matahari pada pukul 07.00-09.00 WIB kurang lebih selama tiga puluh menit dengan mata dan alat genital bayi ditutup. c. Langkah III. Mengidentifikasi Diagnosis atau Masalah Potensial dan Mengantisipasi Penanganannya Diagnosis potensial pada bayi baru lahir dengan ikterus adalah potensial terjadi Kern Icterus yang berhubungan dengan peningkatan kadar bilirubin serta potensial kekurangan volume cairan berhubungan dengan terapi sinar (Nelson, dkk, 2012). yang 40 Antisipasi tindakan yang dilakukakan oleh bidan yaitu dengan cara perbaikan KU dengan pemberian ASI secara adekuat (on demand) (Dewi, 2010). d. Langkah IV. Menetapkan Kebutuhan Terhadap Tindakan Segera Menurut Kosim (2012) kebutuhan terhadap tindakan segera pada kasus ikterus neonatorum adalah kolaborasi maupun konsultasi terhadap tim kesehatan lain dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. Kolaborasi mungkin dapat dilakukan dengan dokter spesialis anak dalam pemberian terapi (fototerapi atau transfusi tukar bila terdapat indikasi), serta petugas laboratorium untuk pemeriksaan penunjang. e. Langkah V. Menyusun Rencana Asuhan Yang Menyeluruh Menurut Dewi (2010) dan Maryunani (2013) rencana asuhan yang dapat dilakukan oleh bidan dalam penanganan ikterus, antara lain : 1) Beritahu kepada keluarga tentang kondisi bayi. 2) Lakukan perawatan seperti bayi baru lahir normal lainnya. 3) Berikan asuhan pada keluarga untuk menjemur bayinya tiap pagi selama kurang lebih tiga puluh menit pada pukul 07.00-09.00 WIB di bawah sinar matahari dengan menutup mata dan genital bayi dan merubah posisi bayi agar sinar ultraviolet dapat merata ke seluruh tubuh. 4) Jelaskan pentingnya memberikan ASI sedini dan sesering mungkin. 5) Melakukan advis dokter spesialis anak untuk pemberian terapi dan tindakan, yaitu apabila bayi mendapatkan fototerapi, usahakan seluruh 41 tubuh bayi terkena sinar, kedua mata dan genital ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya, posisi bayi selalu diubah untuk mencegah decubitus dan sinar ultraviolet merata ke seluruh tubuh, dan lamanya terapi sinar dicatat. 6) Lakukan pemeriksaan kadar bilirubin setiap 8 jam atau sekurangkurangnya sekali dalam 24 jam. 7) Awasi efek dari pemberian fototerapi yaitu BAB lebih sering dan encer sehingga cegah bayi jangan sampai dehidrasi bila perlu konsumsi cairan bayi dinaikkan. 8) Awasi kemungkinan kulit bayi mengalami perubahan kulit yang berlebihan dan laporkan pada dokter jika hal ini terjadi. f. Langkah VI. Pelaksanaan Langsung Asuhan Dengan Efisien dan Aman Langkah ini dapat dilakukan secara keseluruhan oleh bidan yang menangani bayi dengan ikterus di ruang perawatan bayi/perinatologi sesuai dengan rencana asuhan yang akan dilakukan. Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosa dengan mengecek kadar bilirubin dan darah pada bayi. Advis dokter spesialis anak telah dilakukan untuk tindakan dan terapi yang harus diberikan pada bayi dengan ikterus neonatorum patologis (Varney, 2008). g. Langkah VII. Evaluasi Evaluasi yang diharapkan pada bayi baru lahir dengan dengan ikterus neonatorum yaitu : keefektifan dalam pemberian terapi sudah sesuai dengan kebutuhan pasien, warna pada kulit bayi sudah normal kemerahan 42 tidak kuning, bayi sudah dapat menyusu dengan adekuat, dan setelah dilakukan fototerapi tidak terdapat efek samping yang terjadi pada bayi serta kondisi bayi menjadi semakin baik (Kosim, 2012). C. Follow Up Data Perkembangan Kondisi Klien Selanjutnya dari 7 langkah Varney dapat disajikan menjadi 4 langkah yaitu SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Planning). SOAP disajikan dari proses pemikiran penatalaksanaan kebidanan untuk mendokumentasikan asuhan pasien dalam rekam medis pasien sebagai catatan kemajuan atau perkembangan keadaan klien (KEPMENKES RI Nomor 938/MENKES/SK/VIII/2007). a. S : Subjective Menggambarkan pendokumentasian hasil pengumpulan data klien melalui anamnesis sebagai langkah I Varney. Data subyektif pada kasus bayi baru lahir dengan ikterus neonatorum didapatkan dari hasil wawancara dengan keluarga mengenai perubahan setelah dilakukan evaluasi hasilnya yaitu bayi sudah lebih baik, gerakannya aktif, menangis dengan kuat, sudah menyusu dengan kuat, dan warna kuning pada tubuh bayinya sudah berkurang (Varney, 2008). 43 b. O : Objective Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik klien, hasil laboratorium, dan tes diagnosis lain yang dirumuskan dalam data fokus untuk mendukung asuhan sebagai langkah I Varney. Data objektif pada kasus bayi baru lahir dengan ikterus neonarorum adalah berupa hasil observasi keadaan umum dan vital sign, berat badan, reflek menghisap, keaktifan gerak, pola nutrisi, eliminasi, dan hasil laboratorium kadar bilirubin bayi (Marmi, 2012). c. A : Assessment Menggambarkan pendokumentasian hasil analisis dan interpretasi data subjektif dan objektif dalam suatu identifikasi dan masalah kebidanan serta kebutuhan sebagai langkah II Varney. Pada kasus bayi baru lahir ikterus neonatorum, diagnosis yang dapat ditegakkan berdasarkan data subjektif dan objektif adalah bayi Ny. P dengan ikterus neonatorum. Masalah yang dapat timbul yaitu keadaan umum lemah dan malas minum (Marmi, 2012). d. P : Planning Menggambarkan penatalaksanaan, mencatat seluruh perencanaan dan penatalaksanaan yang sudah dilakukan seperti tindakan antisipatif, tindakan segera, tindakan secara komprehensif, penyuluhan, dukungan, kolaborasi, evaluasi atau follow up dari rujukan sebagai langkah III, IV, V, VI, dan VII Varney. 44 Penatalaksanaan, mencatat seluruh perencanaan, dan penatalaksanaan yang sudah dilakukan, antara lain sebagai berikut : memonitor keadaan umum dan tanda-tanda vital (suhu, nafas, dan nadi), serta menimbang berat badan, jika reflek menghisap sudah baik dan kuat ASI dapat diberikan kembali secara on demand, melakukan kolaborasi dengan dokter spesialis anak untuk melanjutkan terapi dan tindakan hingga bayi sembuh dari ikterus. Evaluasi dari pelaksanaan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan ikterus neonatorum adalah keadaan umum baik, tidak letargis, tanda-tanda vital dalam keadaan normal, berat badan meningkat, kulit sudah tidak berwarna kuning, warna urin tidak gelap, warna feses tidak kuning terang, dan pernapasan tidak takipnea (lebih dari 60 kali per menit) (Kosim, 2012).