BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Program Food Safety Masuk Desa (FSMD)
2.1.1 Keamanan Pangan (Safety Food)
Keamanan pangan (safety Food) diartikan sebagai kondisi pangan aman
untuk dikonsumsi. Keamanan pangan meliputi pangan bebas dari bahaya biologi
atau mikroorganisme yang membahayakan, bebas cemaran fisik dan bebas
cemaran kimia. Berdasarkan UU Pangan No. 7 tahun 1996, keamanan pangan
adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari
kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
Pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya biologi
atau mikrobiologi, bahaya kimia, dan bahaya fisik. Bahaya biologis atau
mikrobiologi terdiri dari parasit (protozoa dan cacing), virus, dan bakteri patogen
yang dapat menyebabkan infeksi dan keracunan pada manusia. Bahaya kimia pada
umumnya disebabkan oleh adanya bahan kimia yang dapat menimbulkan
terjadinya intoksikasi. Bahan kimia penyebab keracunan diantaranya logam berat
(timbal/Pb dan raksa/Hg). Terbentuknya toksin akibat pertumbuhan dan
perkembangan jamur atau kapang penghasil toksin juga termasuk dalam bahaya
kimia. Bahaya fisik terdiri dari potongan kayu, batu, logam, rambut, dan kuku
yang kemungkinan berasal dari bahan baku yang tercemar, peralatan yang telah
aus, atau juga dari para pekerja pengolah makanan. Meskipun bahaya fisik tidak
selalu menyebabkan terjadinya penyakit atau gangguan kesehatan, tetapi bahaya
7
8
ini dapat sebagai pembawa atau carier bakteri-bakteri patogen dan tentunya dapat
mengganggu nilai estetika makanan yang akan dikonsumsi.
Keamanan pangan merupakan karakteristik yang sangat penting dalam
kehidupan, baik oleh produsen pangan maupun oleh konsumen. Bagi produsen
harus tanggap bahwa kesadaran konsumen semakin tinggi sehingga menuntut
perhatian yang lebih besar pada aspek ini. Konsumen sebaiknya mengetahui
bagaimana cara menentukan dan mengkonsumsi makanan yang aman. Bahanbahan atau organisme yang mungkin terdapat didalam makanan dan dapat
menimbulkan keracunan atau penyakit menular terdiri dari bahan kimia beracun
(misalnya beberapa bahan tambahan makanan, obat-obatan, logam dan pestisida).
Kontaminasi makanan mempunyai peranan yang sangat besar dalam kejadian
penyakit-penyakit bawaan makanan atau keracunan makanan. Sumber penyakit
yang mungkin mencemari makanan dapat terjadi selama proses produksi yang
dimulai dari pemeliharaan, pemanenan atau penyembelihan, pembersihan atau
pencucian, persiapan makanan atau pengolahan, penyajian serta penyimpanan.
Selain hal tersebut sekarang juga masih terdapat penggunaan bahan-bahan kimia
dalam produksi makanan, sehingga dengan sendirinya resiko kontaminasi oleh
bahan-bahan kimia juga tidak sedikit. (Marwanti.2010)
Suatu pangan dikatakan aman apabila bebas dari bahaya yang ditimbulkan
akibat dari keberadaan cemaran tersebut. Bebas dalam hal ini tidak selalu berarti
sama dengan nol atau tidak ada sama sekali, namun ditetapkan standar atau batas
maksimal keberadaan dari masing-masing bahan tersebut. Program Food Safety
Masuk Desa merupakan suatu program yang berkoordinasi dengan berbagai
kepentingan di berbagai lini, baik pemerintahan, tatanan masyarakat termasuk
9
pelaku usaha
pangan, pengawasan keamanan pangan ini bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat, dalam aplikasinya di lapangan, masyarakat
diberikan informasi mengenai keamanan pangan baik dari cara memilih bahan
pangan, cara mengolah bahan pangan, bahaya penggunaan bahan tambahan
pangan (BTP) yang melebihi ambang batas penggunaan ataupun penggunaan BTP
yang tidak boleh digunakan. Dalam program FSMD ini masyarakat juga diajarkan
cara menggunakan Rapid Test Kit/Cara uji cepat untuk mengetahui sampel aman
atau tidak untuk dikonsumsi.
2.1.2 5 (Lima) Kunci Keamanan Pangan
Ada 5 (lima) kunci Keamanan Pangan (Info POM.2010), yaitu:
1. Beli Pangan yang Aman
Dalam membeli bahan pangan hendaknya selalu memperhatikan jenis
pangan yang akan dibeli, tempat (lokasi) pembelian, kemampuan
penyimpanan dirumah dan belilah bahan pangan sesuai kebutuhan, hal
tersebut perlu diperhatikan karena pangan segar seperti daging, unggas,
dan ikan harus diperhatikan kondisi kebersihan dan kesegarannya dengan
cara (visual).
2. Simpan Pangan Dengan Aman
Pangan harus tetap dijaga keamanannya hingga siap diolah dan atau
dikonsumsi. Pastikan pangan dingin disimpan pada suhu kurang dari 5°C
dan pangan beku disimpan pada suhu kurang dari 0°C . Pisahkan
penyimpanan pangan mentah dengan pangan matang. Pisahkan daging
sapi, daging unggas, dan pangan hasil laut dengan pangan lainnya.
Penggunaan peralatan terpisah untuk mengolah pangan amat disarankan.
10
Dapat juga simpan pangan dalam wadah untuk menghindari kontak antara
pangan mentah dan pangan matang. Perlunya pemisahan pangan mentah
dan matang adalah agar tidak ada penyebaran mikroba patogen bahan
pangan mentah ke pangan matang.
3. Siapkan Pangan dengan Seksama
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyiapkan pangan adalah
sebagai berikut. :
a. Bahan pangan segar : sebelum dimasak harus dalam keadaan segar,
aman, bermutu dan bersih. Cuci tangan dengan air mengalir sebelum
dan sesudah mengolah pangan, serta selalu mencuci bahan pangan
seperti mencuci masing-masing lembaran sayuran seperti sawi, kol
dsb.
b. Bahan Pangan Beku (daging atau ikan beku): pada pangan beku,
sebelum dimasak hendaknya dilelehkan (thawing) terlebih dahulu dan
segera dicuci sebelum diolah, serta hindari pembekuan kembali karena
kemungkinan bakteri masih ada.
c. Pangan siap saji: Pastikan tidak basi (berbau dan berlendir) dan
berubah warna.
d. Pangan olahan (seperti kecap, bumbu, daging kaleng dsb): pastikan
belum melewati tanggal kadaluarsa, dan kemasan utuh serta tidak
rusak.
e. Peralatan Mengolah Masakan: selalu gunakan peralatan dapur yang
bersih, kering dan berfungsi dengan baik, cuci terlebih dahulu sebelum
digunakan.
11
f. Memasak Bahan pangan: Memasak adalah salah satu cara untuk
mengurangi jumlah mikroba hingga mencapai tingkat yang aman dan
menghasilkan cita rasa yang diinginkan. Dua hal penting yang harus
diperhatikan dalam memasak adalah suhu dan waktu pemasakan. Suhu
dan waktu pemasakan yang tepat (matang sempurna) berbeda untuk
setiap jenis pangan. Dalam menyajikan makanan yang sudah masak
dan telah disimpan, sebaiknya sebelum dihidangkan kembali makanan
tersebut harus dipanaskan kembali, pemanasan kembali harus
sempurna sehingga dapat mematikan mikroba pada pangan. Dalam
memasak khususnya menggoreng perlu menghindari penggunaan
minyak goreng secara berulang karena dapat mengganggu kesehatan
dan pangan menjadi tengik.
g. Penyimpanan Pangan panas: Pangan panas jangan langsung disimpan
ke lemari pendingin karena dapat memanaskan lingkungan di
sekitarnya dan memicu pertumbuhan mikroba.
4. Sajikan Pangan Secara Aman
Penyajian pangan yang baik atau layak dapat meningkatkan selera dan
mengurangi cemaran mikroba. Jenis pangan segar yang langsung
dikonsumsi seperti lalapan atau karedok, dicuci dengan air bersih dan
dibilas dengan air matang. Jika makanan tidak akan segera dikonsumsi
maka harus disimpan pada suhu dingin yaitu di lemari pendingin (kurang
dari 5°C) atau dipertahankan pada suhu lebih dari 60°C
5. Bersih Selalu
12
Jaga Kebersihan. Cuci tangan sebelum mengolah pangan dan sesering
mungkin selama pengolahan pangan, sesudah dari toilet, cuci dan sanitasi
seluruh permukaan yang kontak dengan pangan dan alat untuk pengolahan
pangan dan menjaga area dapur dan pangan dari serangga, hama, dan
binatang lainnya. Hal tersebut perlu dilakukan karena walaupun mikroba
(tidak seluruhnya) dapat menyebabkan gangguan kesehatan.
2.2 Pengertian Adopsi Inovasi
Menurut Notoadmojo (2010), adopsi adalah perilaku baru seseorang atau
inovasi
didasari
oleh
pengetahuan,
kesadaran
dan
sikapnya
terhadap
rangsangan/stimulus. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi telah melalui
proses tersebut, dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang
positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Sebaliknya apabila perilaku
itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran, maka perilaku tersebut tidak
berlangsung lama.
Rogers dan Shoemaker (1971) dalam mengatakan adopsi adalah proses
mental, dalam mengambil keputusan untuk menerima atau menolak ide baru dan
menegaskan lebih lanjut tentang penerimaan dan penolakan ide baru tersebut.
Sedangkan Feder dkk (1981) adopsi didefinisikan sebagai proses mental
seseorang dari mendengar, mengetahui inovasi sampai akhirnya mengadopsi. Di
lain pihak Samsudin (1994) menyatakan bahwa adopsi adalah suatu proses
dimulai dan keluarnya ide-ide dari suatu pihak, disampaikan kepada pihak kedua,
sampai ide tersebut diterima oleh masyarakat sebagai pihak kedua. Sedangkan
Inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau benda yang dianggap/dirasa baru oleh
13
individu atau kelompok masyarakat. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur
secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Kecepatan
adopsi inovasi merupakan kecepatan sebuah inovasi diadopsi oleh suatu system
social yang diukur dengan jumlah individu yang mengadopsi inovasi tersebut
dalam kurun waktu tertentu.
2.3 Karakteristik Inovasi
Kecepatan adopsi suatu inovasi yang diterima oleh individu ditentukan oleh
karakteristik inovasi. Rogers dalam Lestari (2012) mengemukakan lima
karakteristik
inovasi
meliputi:
keunggulan
relatif
(relative
advantage),
kompatibilitas (compatibility), kerumitan (complexity), kemampuan diuji cobakan
(trialability), dan kemampuan untuk diamati (observability).
a. Keuntungan Relatif (Relative advantages): persepsi terhadap keuntungan
relatif dari sebuah inovasi akan diinterpretasikan secara berbeda oleh
setiap orang. Suatu inovasi akan semakin cepat diadopsi jika manfaat
relatifnya lebih besar.
b. Kesesuaian (Compability): kesesuaian inovasi dengan nilai sosial budaya
suatu wilayah dan norma yang berlaku akan mempengaruhi proses adopsi
suatu inovasi. Sebagai contoh, jika suatu inovasi atau ide baru tersebut
tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, maka inovasi itu tidak
dapat diadopsi dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang
sesuai (compatible).
c. Kerumitan (Complexity): Kerumitan adalah derajat dimana inovasi
dianggap sebagai suatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan.
14
Beberapa inovasi tertentu ada yang dengan mudah dapat dimengerti dan
digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang sebaliknya. Semakin mudah
dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka semakin cepat suatu
inovasi dapat diadopsi.
Rogers dalam Lestari (2012) mendefinisikan
kompleksitas sebagai "tingkat dimana suatu inovasi dianggap relatif sulit
untuk dipahami dan digunakan", berlawanan dengan atribut lain,
kompleksitas berkorelasi negatif dengan tingkat adopsi. Dengan demikian,
kompleksitas yang berlebihan dari suatu inovasi adalah hambatan penting
dalam adopsi
d. Kemampuan diuji cobakan (Triability): kemampuan untuk diuji cobakan
adalah dimana suatu inovasi dapat diuji coba kan dalam seting
sesungguhnya, dengan demikian akan lebih cepat diadopsi. Makin mudah
suatu inovasi dikerjakan maka kecenderungan untuk diterima akan lebih
mudah dan cepat.
e. Kemampuan untuk diamati (observability): Kemampuan untuk diamati
adalah derajat dimana hasil suatu inovasi dapat terlihat oleh orang lain.
Semakin mudah seseorang melihat hasil dari suatu inovasi, semakin besar
kemungkinan orang atau sekelompok orang tersebut mengadopsi. Serupa
dengan keuntungan relatif, kompatibilitas, dan trailability, observability
juga berkorelasi positif dengan tingkat adopsi dari suatu inovasi. Secara
ringkas, Rogers (2003) berpendapat bahwa inovasi relatif menawarkan
keuntungan
lebih,
kompatibilitas,
kesederhanaan,
trailability,
dan
observability akan diadopsi lebih cepat daripada inovasi lainnya. Jadi
dapat disimpulkan bahwa semakin besar keunggulan relatif; kesesuaian
15
(compatibility); kemampuan untuk diuji cobakan dan kemampuan untuk
diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka semakin cepat
kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi.
2.4 Tipe Keputusan Inovasi
Wayne Lamble dalam Ibrahim et al (2003) menyatakan bahwa tingkat
adopsi suatu inovasi sangat dipengaruhi oleh keputusan untuk mengadopsi atau
menolak suatu inovasi. Tipe keputusan ini diklasifikasikan menjadi:
1. Keputusan opsional, yaitu keputusan yang dibuat seseorang dengan
mengabaikan keputusan yang dilakukan orang-orang lainnya dalam suatu
sistem sosial. Dalam kaitannya dengan hubungan individual antara
penyuluh
dengan
adopter. Penyuluh
berperan sebagai
akseleran
pengambilan keputusan secara opsional.
2. Keputusan kolektif, yaitu keputusan yang dilakukan individu-individu
dalam suatu sistem sosial yang telah dimufakati atau disetujui bersama.
3. Keputusan otoritas, yaitu keputusan yang dipaksakan oleh seseorang yang
memiliki kekuasaan lebih besar kepada individu lainnya.
Hanafi (1987) menyatakan bahwa tipe keputusan inovasi mempengaruhi
kecepatan adopsi. Secara umum kita dapat mengharapkan bahwa inovasi yang
diputuskan secara otoritas akan diadopsi lebih cepat karena orang yang terlibat
dalam proses pengambilan keputusan inovasi lebih sedikit. Akan tetapi, jika
bentuk keputusan itu tradisional mungkin tempo adopsinya juga lebih lambat.
Keputusan opsional biasanya lebih cepat daripada keputusan kolektif, tetapi lebih
lambat daripada keputusan otoritas.
16
2.4.1 Model Proses Keputusan Inovasi
Saluran Komunikasi
Kondisi
Sebelumnya :
1. Pengalaman
2. Kebutuhan/
masalah
3. Kepekaan
inovasi
4. Norma
Sosial
Pengetahuan
Karakteristik
Pengambilan
Keputusan
1. Sosial ekonomi
2. Kemampuan
3. Kemampuan
berkomunikasi
Bujukan
Keputusan
Penerapan
Tetap
Menerima
Karakteristik yang
diamati
1. Keuntungan
yang relative
2. Kompatibalitas
3. Kompleksitas
4. Triabilitas
5. Observabilitas
1. Penerimaan
Terlambat
Menerima
2. Penolakan
Gambar 2.1 Model Proses Pengambilan Keputusan Inovasi (Rogers, (1983)
Model tersebut menggambarkan tentang variabel yang berpengaruh
terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan
keputusan inovasi.
Ada lima tahap proses keputusan inovasi yakni:
1. Tahap Pengetahuan
Konfirmasi
Berubah
(menolak)
Tetap
Menolak
17
Proses tahap inovasi dimulai dengan tahap pengetahuan, yaitu tahap pada
saat seseorang menyadari adanya suatu inovasi dan ingin tahu bagaimana
fungsi inovasi tersebut.
2. Tahap Bujukan (persuasi)
Pada tahap persuasi dari proses keputusan inovasi, seseorang membentuk
sikap menyenangi atau tidak menyenangi terhadap inovasi. Jika pada tahap
pengetahuan proses kegiatan mental yang utama adalah di bidang kognitif,
maka pada tahap persuasi yang berperan utama adalah bidang afektif atau
perasaan. Individu akan membentuk persepsi dan sikap terhadap inovasi
ke arah penerimaan atau penolakan. Pada tahap ini, individu mencari
informasi sebanyak-banyaknya mengenai inovasi tersebut dan seringkali
muncul berbagai persepsi terhadap suatu inovasi.
3. Tahap keputusan
Individu mengenal keputusan sesuai dengan sikap yang telah dibentuk
pada persuasi. Keputusan ini bisa menerima atau menolak inovasi melalui
proses-proses sebelumnya. Menurut Rogers adoption (menerima) berarti
bahwa inovasi tersebut akan digunakan secara penuh, sedangkan menolak
berarti “not to adopt an innovation”. Jika inovasi dapat dicobakan secara
parsial, umpamanya pada keadaan suatu individu, maka inovasi ini akan
lebih cepat diterima karena biasanya individu tersebut pertama-tama ingin
mencoba dulu inovasi tersebut pada keadaannya dan setelah itu
memutuskan untuk menerima inovasi tersebut, walaupun begitu,
penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses keputusan inovasi
ini. Rogers menyatakan ada dua jenis penolakan, yaitu active rejection dan
18
passive rejection. Active rejection terjadi ketika suatu individu mencoba
inovasi dan berfikir akan mengadopsi inovasi tersebut namun pada
akhirnya dia menolak inovasi tersebut. Passive rejection yaitu dimana
individu tersebut sama sekali tidak berfikir untuk mengadopsi inovasi.
4. Tahap Implementasi
Tahap implementasi dari proses keputusan inovasi terjadi apabila
seseorang menerapkan inovasi. Pada tahap implementasi ini berlangsung
keaktifan baik mental maupun perbuatan. Keputusan penerima gagasan
atau ide baru dibuktikan dalam praktik. Pada umumnya implementasi tentu
mengikuti asli keputusan inovasi. tetapi dapat juga terjadi karena sesuatu
hal sudah memutuskan menerima inovasi tidak diikuti implementasi.
Biasanya hal ini terjadi karena fasilitas penerapannya tidak tersedia.
5. Tahap Konfirmasi
Pada Tahap konfirmasi ini seseorang mencari penguatan terhadap
keputusan yang telah diambilnya dan kemudian dapat menarik kesimpulan
kembali keputusannya jika memang diperoleh informasi bertentangan
dengan informasi semula.
Pada tahap ini dapat terjadi kemungkinan
individu yang semula sudah mengadopsi suatu inovasi bisa saja akhirnya
dapat menolak atau sebaliknya.
2.4.2 Keinovatifan dan kategori Adopter
Rogers dalam Lestari (2012) menjelaskan dalam menerima suatu inovasi
ada beberapa tipologi penerima adopsi yang ideal yaitu:
19
1. Inovator adalah kelompok orang yang berani dan siap untuk mencoba halhal baru. Biasanya orang-orang ini adalah mereka yang memiliki gaya
hidup dinamis di perkotaan yang memiliki banyak teman atau relasi.
2. Pengguna awal (early adopter). Kategori adopter ini menghasilkan lebih
banyak opini dibanding kategori lainnya, serta selalu mencari informasi
tentang inovasi.
3. Mayoritas awal (early majority). Kategori pengadopsi seperti ini akan
berkompromi secara hati-hati sebelum membuat keputusan dalam
mengadopsi inovasi, bahkan bisa dalam kurun waktu yang lama. Orangorang seperti ini menjalankan fungsi penting untuk menunjukkan kepada
seluruh komunitas bahwa sebuah inovasi layak digunakan atau cukup
bermanfaat.
4. Mayoritas akhir (late majority). Kelompok yang ini lebih berhati-hati
mengenai fungsi sebuah inovasi. Mereka menunggu hingga kebanyakan
orang telah mencoba dan mengadopsi inovasi sebelum mereka mengambil
keputusan.
5. Lamban (laggard). Kelompok ini merupakan orang yang terakhir
melakukan adopsi inovasi. Mereka bersifat lebih tradisional, dan segan
untuk mencoba hal hal baru. Saat kelompok ini mengadopsi inovasi baru,
kebanyakan orang justru sudah jauh mengadopsi inovasi lainnya, dan
menganggap mereka ketinggalan zaman.
20
2.5 Saluran Komunikasi
Roger dalam Mardikanto (1988) menyatakan bahwa saluran komunikasi
sebagai sesuatu melalui mana pesan dapat disampaikan dari sumber kepada
penerimanya. Saluran komunikasi dapat dibedakan menjadi saluran interpersonal
dan media massa.
a. Saluran
kumunikasi
antarpribadi
(interpersonal).
Cangara
(2011)
menyebutkan, saluran komunikasi antar pribadi ialah saluran yang
melibatkan dua orang atau lebih secara tatap muka. Mardikanto (1988)
menyebutkan bahwa saluran antar pribadi merupakan segala bentuk
hubungan atau pertukaran pesan antar dua orang atau lebih secara langsung
tatap muka, dengan atau tanpa alat bantu yang memungkinkan semua pihak
yang berkomunikasi dapat memberikan respons atau umpan balik secara
langsung.
b. Saluran komunikasi media massa. Rogers (2003) mendefinisikan, saluran
media massa adalah alat-alat penyampaian pesan yang memungkinkan
sumber mencapai suatu audiens dalam jumlah besar yang dapat menembus
batasan waktu dan ruang. Misalnya radio, televisi, film, surat kabar, buku,
dan sebagainya.
Sumber dan saluran komunikasi memberi rangsangan informasi kepada
seseorang selama proses keputusan inovasi berlangsung. Seseorang pertama kali
mengenal dan mengetahui inovasi terutama dari saluran media massa. Pada tahap
persuasi, seseorang membentuk persepsinya terhadap inovasi dari saluran yang
lebih dekat dan antar pribadi. Seseorang yang telah memutuskan untuk menerima
21
inovasi pada tahap keputusan ada kemungkinan untuk meneruskan atau
menghentikan penggunaannya (Hanafi, 1987).
2.6 Sistem Sosial
Sistem sosial merupakan kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan
terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai
tujuan bersama (Rogers, 2003).
Sistem sosial adalah sejumlah kegiatan atau sejumlah orang yang
mempunyai hubungan timbal balik relatif konstan. Hubungan sejumlah orang dan
kegiatannya itu berlangsung terus menerus. Sistem sosial mempengaruhi perilaku
manusia, karena di dalam suatu sistem sosial tercakup pula nilai-nilai dan normanorma yang merupakan aturan perilaku anggota-anggota masyarakat. Dalam
setiap sistem sosial pada tingkat-tingkat tertentu selalu mempertahankan batasbatas yang memisahkan dan membedakan dari lingkungannya (sistem sosial
lainnya). Selain itu, di dalam sistem sosial ditemukan juga mekanisme-mekanisme
yang dipergunakan atau berfungsi mempertahakan sistem sosial tersebut
(widjajati, 2010).
Norma sistem (system norms) adalah suatu pola perilaku yang dapat
diterima oleh semua anggota sistem sosial yang berfungsi sebagai panduan atau
standar bagi semua anggota sistem sosial. Sistem norma juga dapat menjadi faktor
penghambat untuk menerima suatu ide baru. Hal ini sangat berhubungan dengan
derajat kesesuaian (compatibility) inovasi dengan nilai atau kepercayaan
masyarakat dalam suatu sistem sosial. Jadi, derajat ketidaksesuaian suatu inovasi
dengan kepercayaan atau nilai-nilai yang dianut oleh individu (sekelompok
22
masyarakat) dalam suatu sistem sosial berpengaruh terhadap penerimaan suatu
inovasi tersebut.
2.7 Upaya Promosi
Tingkat adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh upaya promosi agen-agen
perubahan. Hubungan antara tingkat adopsi dan upaya agen-agen perubahan
mungkin tidak terjadi secara langsung dan linear. Agen perubahan (change agent)
adalah suatu bagian dari sistem sosial yang berpengaruh terhadap sistem
sosialnya. Agen perubah, biasanya merupakan orang-orang profesional yang telah
mendapatkan pendidikan atau pelatihan tertentu untuk dapat memengaruhi sistem
sosialnya. Fungsi utama dari change agent adalah menjadi mata rantai yang
menghubungkan dua sistem sosial atau lebih. Dengan demikian, kemampuan dan
keterampilan change agent berperan besar terhadap diterima atau ditolaknya
inovasi tertentu.
Hanafi (1987) juga menyebutkan bahwa kecepatan adopsi juga dipengaruhi
oleh gencarnya usaha-usaha promosi yang dilakukan oleh agen pembaruan.
Dengan lebih sering mengadakan kontak dengan kliennya, terutama kontakkontak pribadi untuk menyebarkan ide baru. Lebih banyak anggota masyarakat
yang dihubungi, dan lebih beragam jalan yang ditempuh untuk menyampaikan
pesan-pesan
inovasi.
Sejalan
dengan
hal
tersebut
Mardikanto
(1993)
menambahkan bahwa semakin rajin penyuluh menawarkan inovasi, maka
kecepatan adopsi suatu inovasi juga akan meningkat. Mardikanto (1993)
menyebutkan pula bahwa semakin intensif dan seringnya intensitas atau frekuensi
yang dilakukan oleh agen pembaharuan (penyuluh) setempat dan atau pihak-pihak
23
lain yang berkompeten dengan adopsi inovasi tersebut sepeti lembaga penelitian
produsen, pedagang, dan atau sumber informasi (inovasi) tersebut.
Download