asupan vitamin a, status vitamin a dan status gizi

advertisement
ASUPAN VITAMIN A, STATUS VITAMIN A DAN STATUS
GIZI ANAK SD DI KECAMATAN LEUWILIANG,
KABUPATEN BOGOR
AJI NUGRAHA
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Asupan Vitamin A, Status Vitamin
A, dan Status Gizi Anak SD di Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir usulan
penelitian ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian
Bogor.
Bogor, Juni 2014
Aji Nugraha
NIM I14090114
ABSTRAK
Aji Nugraha. Asupan Vitamin A, Status Vitamin A dan Status Gizi Anak SD di
Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh Prof Dr Ir Faisal
Anwar, MS dan Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si.
Pertumbuhan dalam kehidupan manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah
satunya asupan gizi. Asupan gizi masyarakat masih menjadi masalah yang berdampak
pada kualitas SDM. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari asupan vitamin A, status
vitamin A, status gizi dan status kesehatan anak SD di Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten
Bogor. Sebanyak 31 anak kelas 2 dan 3 SD Angsana I dan II Desa Cibeber dipilih dengan
teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak
memiliki tingkat kecukupan vitamin A kategori sedang (54.8%) dengan rata-rata tingkat
kecukupan vitamin A 112.3%. Pada umumnya status gizi mereka normal (93.5%). Lebih
dari separuh anak memiliki status vitamin A rendah (58.1%) dengan rata-rata retinol
serum 10.7 µg/dl. Hasil uji hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein
dengan status gizi tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (p>0.05). Hasil uji
hubungan antara asupan vitamin A dengan status vitamin A juga tidak menunjukkan
hubungan yang signifikan (p>0.05). Hal ini diduga karena adanya faktor lain (cadangan
vitamin A dalam hati) yang memengaruhi. Tidak ada hubungan yang signifikan antara
status vitamin A dan status gizi (p>0.05). Hal ini diduga karena adanya faktor lain
(konsumsi pangan, kondisi ekonomi dan faktor penyakit) yang memengaruhi status gizi.
Kata kunci: anak usia sekolah, konsumsi energi protein, konsumsi vitamin A
ABSTRACT
Aji Nugraha. Intake of Vitamin A, Vitamin A Status, and Nutritional Status of
Primary School Children in Leuwiliang Sub-district, Bogor Regency. Supervised
by Prof Dr Ir Faisal Anwar, MS dan Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si.
Growth in human life is influenced by various factors, one of them is nutrient
intake. Nutrient intake still a problem that affects the quality of human resources. The
objective of this research was to study the intake of vitamin A, vitamin A status, and
nutritional status of primary school children in Leuwiliang Sub-District, Bogor Regency.
There were 31 children grade 2 and 3 in SD Angsana I and II Cibeber Village selected by
purposive sampling technique. The results showed that more than half of the children had
medium sufficient levels of vitamin A (54.8 %) with mean value levels of vitamin A
112.3%. Generally, they had normal nutritional status (93.5%). More than half of children
had low vitamin A status (58.1%) with mean value retinol serum is 10.7 µg/dl . The
result also found that relationship between the level of adequacy of energy and protein
with nutritional status of the children were not significant (p>0.05). The relationship
between intake of vitamin A to vitamin A status also showed no significant relationship
(p>0.05). It was presumably due to the presence of other factors (reserves of vitamin A in
the liver). There was no significant relationship between vitamin A status and nutritional
status (p>0.05). It was presumably due to the presence of other factors (food
consumption, socio-economic and disease factors) affected nutritinal status.
Keywords: energy and protein consumption, school-age children vitamin A consumption
ASUPAN VITAMIN A, STATUS VITAMIN A DAN STATUS GIZI
ANAK SD DI KECAMATAN LEUWILIANG, KABUPATEN BOGOR
AJI NUGRAHA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul
: Asupan Vitamin A, Status Vitamin A, dan Status Gizi Anak SD
di Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor
Nama
: Aji Nugraha
NIM
: I14090114
Disetujui oleh :
Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS
Pembimbing I
Dr. Ir. Sri Anna Marliyati M.Si
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Rimbawan
Ketua Departemen
Tanggal lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat, nikmat dan hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahkan sehingga penulisan
dan penyusunan skripsi dengan judul “Asupan Vitamin A, Status Vitamin A dan
Status Gizi Anak SD di Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor” sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana gizi dari program ilmu gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
dapat diselesaikan dengan baik. Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak terlepas
dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS dan Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS yang
telah senantiasa sabar membimbing dan mengarahkan penulis dalam
melaksanakan penelitian dan penyelesaian penulisan skripsi.
2. Ibu dr. Karina Rahmadia Ekawidyani, M.Sc sebagai dosen pemandu
seminar dan dosen penguji skripsi, atas saran dan perbaikan untuk
penyempurnaan skripsi ini.
3. Papah Hasan Kuswara, Mamah Eti Puspitasari serta kedua adik tercinta
yaitu Bugi Kurniadi dan Cintari Nurnajmi yang senantiasa memberikan
doa, dukungan dan semangat dengan penuh kasih sayang.
4. Pretty Dinda Srikandi, SSi yang selalu memberikan semangat, saran,
kritik, dan ketenangan serta selalu ada saat kondisi suka dan duka sehingga
penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan.
5. Rekan-rekan pembahas seminar (April, Iqbar, Richardson dan Ineke) atas
saran dan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini
6. Sahabat seperjuangan (Ryan, Albeta, Diego, Agustino, Karim, Ronald,
Bagus, Evi, Michel, Tania) yang setia menemani dan memberi semangat.
7. Saudara saudara sepupu yang selalu menghibur dan memotivasi dalam
penyusunan skripsi ini.
8. Teman-teman Gizi Masyarakat 45, 46 dan 47 yang tidak bisa disebutkan
satu per satu atas segala bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.
9. Staf Gizi Masyarakat (Bari, Regal, De’e, Pak sadi, Bu yati, Bu omi, Pak
Abo, dll) yang telah memberi semangat.
10. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala
bantuan dan dukungan selama penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan
dan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis dengan terbuka menerima
saran maupun kritik yang berkaitan dengan penulisan skripsi sehingga dapat
memberikan hasil yang optimal dan berguna bagi berbagai pihak.
Bogor, Mei 2014
Aji Nugraha
DAFTAR ISI
ABSTRAK
v
DAFTAR ISI
xiii
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Kegunaan Penelitian
3
KERANGKA PEMIKIRAN
3
METODE
5
Desain, Waktu dan Tempat
5
Responden Penelitian
5
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
6
Pengukuran Status Gizi
6
Pengolahan dan Analisis Data
7
Definisi Operasional
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
10
Karakteristik Anak SD
10
Karakteristik Keluarga
11
Asupan Energi, Protein, Lemak dan Vitamin A
14
Status Gizi
19
Status Vitamin A
20
Status Kesehatan
21
Hubungan Variabel
22
SIMPULAN DAN SARAN
25
Simpulan
25
Saran
25
DAFTAR PUSTAKA
26
LAMPIRAN
29
RIWAYAT HIDUP
31
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Kriteria inklusi dan eksklusi untuk penentuan responden
Jenis dan cara pengumpulan atau pengukuran data
Pengkategorian Data
Sebaran anak SD berdasarkan jenis kelamin, usia dan jenjang
pendidikan
Sebaran anak SD berdasarkan tingkat pendidikan ibu dan ayah
anak SD
Sebaran anak SD berdasarkan pekerjaan ibu dan ayah anak SD
Sebaran anak SD berdasarkan pendapatan keluarga dan
kondisi ekonomi keluarga
Sebaran anak SD berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi
Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan energi dan
kondisi ekonomi keluarga
Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan protein
Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan protein dan
kondisi ekonomi keluarga
Sebaran anak SD berdasarkan asupan lemak
Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A
Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A
dan kondisi ekonomi keluarga
Sebaran anak SD berdasarkan status gizi
Sebaran anak SD berdasarkan status vitamin A
Sebaran anak SD berdasarkan jenis penyakit yang diderita
selama 2 mingu terakhir
Sebaran anak SD berdasarkan angka morbiditas
Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan energi dan
status gizi
Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan protein dan
status gizi
Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A
dengan status vitamin A
Sebaran anak SD berdasarkan status gizi dengan status
vitamin A
5
6
7
11
12
13
14
15
16
16
17
17
18
19
20
21
21
21
22
23
24
25
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran penelitian (modifikasi Gusthianza 2010)
asupan vitamin A, status vitamin A dan status gizi anak SD di
Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor
4
DAFTAR LAMPIRAN
1 Dokumentasi
2 Uji hubungan
29
30
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak dalam rahim ibu, kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan
selanjutnya berupa tahap bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan tua terdapat saling
pengaruh antara faktor keturunan dan faktor lingkungan yang dapat menentukan
jalannya proses tersebut. Faktor keturunan tidak dapat diabaikan dan faktor
lingkungan juga jelas mempunyai potensi untuk mengubah perjalanan daur
kehidupan (Almatsier, Soetardjo, Soekatri 2011). Lingkungan yang tidak kondusif
dapat mengakibatkan penyakit yang semakin parah dan meningkatkan kematian.
Dampak dari hal-hal tersebut dapat merugikan perekonomian negara karena
kualitas sumber daya manusia yang menurun.
Pembangunan suatu bangsa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
lapisan masyarakat. Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa sangat
tergantung pada kemampuan dan kualitas sumber daya manusia (Depkes 2007).
Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang berkelanjutan merupakan tujuan
pembangunan nasional. Kualitas sumber daya manusia di suatu negara salah
satunya dapat dilihat dengan status gizi dari masyarakatnya sendiri. Sekitar 30
persen dari jumlah penduduk Indonesia adalah anak-anak, maka status gizi pada
anak perlu diperhatikan karena merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
suatu bangsa. Status gizi anak usia 6-18 tahun di Indonesia dilakukan penilaian
dengan mengelompokkan menjadi tiga yaitu untuk anak usia 6-12 tahun, 13-15
tahun, dan 16-18 tahun (Depkes 2007). Pada tahun 2007 prevalensi anak sekolah
yang mengalami gizi kurang sekitar 18.4 persen, pada tahun 2010 menurun
menjadi 17.9 persen, meskipun mengalami penurunan Indonesia termasuk
diantara 36 negara di dunia yang memberi 90 persen kontribusi maasalah gizi
dunia (Depkes 2007).
Keadaan gizi masyarakat Indonesia masih memprihatinkan, meskipun
berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasinya. Masalah gizi penduduk
Indonesia salah satunya adalah masalah pada asupan makanan yang tidak
seimbang dan konsumsi pangan yang tidak beragam. Masalah gizi terjadi karena
adanya gangguan pada beberapa segi kesejahteraan perorangan dan atau
masyarakat yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi
yang diperoleh dari makanan. Zat gizi adalah zat kimia yang terdapat dalam
makanan yang diperlukan manusia untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan. Masyarakat Indonesia sampai saat ini masih menghadapi empat
masalah gizi yaitu kurang energi protein (KEP), kurang vitamin A (KVA),
anemia gizi besi (AGB) dan gangguan akibat kurang yodium (GAKY) (Susilowati
2007).
Vitamin A merupakan zat gizi penting yang dibutuhkan oleh tubuh untuk
fungsi pertumbuhan dan perkembangan serta sistem kekebalan tubuh (Kapil &
Sachdev 2013). Vitamin A tidak dapat dibentuk oleh tubuh sehingga harus
didatangkan dari makanan sehari-hari. Kurang Vitamin A (KVA) selama tiga
dekade terakhir, telah tercatat sebagai masalah kesehatan masyarakat dan
merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian anak usia prasekolah di
negara berkembang (Maqsood 2004). Vitamin A berfungsi untuk siklus
2
penglihatan (penyesuaian terhadap terang dan gelap) dan pertumbuhan jaringan
(kulit dan selaput lender) dan toksik (racun) dalam jumlah yang tinggi (Almatsier,
Soetardjo, Soekatri 2011). Masalah kurang vitamin A (KVA) masih merupakan
salah satu permasalahan gizi masyarakat Indonesia. KVA memengaruhi 40 persen
penduduk dunia (Zeba et al. 2006), dan anak-anak dengan retinol serum < 20
µg/dl berisiko menderita xerophtalmia. Widyastuti (2006) menunjukkan bahwa
masalah KVA pada anak usia sekolah di Jawa Timur adalah sebesar 1 persen
dengan hasil analisa kadar vitamin A yang rendah sebesar 8 persen dan serum
vitamin A kurang sebesar 32 persen. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan
penelitian Zimmerman et al. (2006) bahwa anak-anak adalah salah satu kelompok
yang paling rentan mengalami kekurangan vitamin A. Kelompok lain yang juga
rentan mengalami KVA adalah wanita yang dalam masa reproduktif dan balita
(Zimmerman et al. 2006).
Kekurangan Vitamin A dapat disebabkan karena kekurangan konsumsi
pangan sumber vitamin A, gangguan penyerapan dan proses metabolisme dalam
tubuh, kebutuhan vitamin A yang meningkat, atau terganggunya metabolisme
yang mengubah karoten menjadi vitamin A (Almatsier 2006). Pendapatan yang
rendah, ketidakpedulian terhadap status gizi, kurangnya pengetahuan terhadap zat
gizi, serta kebiasaan konsumsi pangan dapat menjadi penyebab masalah KVA.
Kekurangan Vitamin A dapat menyebabkan kebutaan, mengurangi daya tahan
tubuh, sehingga mudah terserang infeksi yang dapat menimbulkan kematian.
KVA lebih banyak diderita oleh kalangan anak-anak, hal ini disebabkan karena
mereka memiliki kebutuhan vitamin A yang tinggi akibat dari peningkatan
pertumbuhan fisik dan asupan makanan yang rendah (Kapil & Sachdev 2013).
Sommer (2008) menjelaskan bahwa seiring dengan kenaikan KVA, terdapat
peningkatan angka kematian yang lebih tinggi pada anak-anak dengan masalah
KVA (xerophtalmia; rabun senja, bintik Bitot) dibandingkan dengan anak yang
tidak mengalami KVA, sehingga penanganan terhadap KVA akan mengurangi
angka kematian anak-anak di Indonesia sebesar 16 persen. Oleh karena
permasalahan tersebut, diperlukan penelitian mengenai asupan vitamin A, status
vitamin A dan status gizi pada anak SD di Desa Cibeber, Kecamatan Leuwiliang,
Kabupaten Bogor. Desa Cibeber dipilih karena sebagian besar masyarakatnya
memiliki status ekonomi rendah dan merata dintara mereka karena kualitas
sumber daya manusia (SDM) yang rendah akibat rendahnya tingkat pendidikan.
Rendahnya tingkat pendidikan orang tua dapat memengaruhi asupan makanan
yang diberikan kepada anak. Selain itu, di Desa Cibeber terdapat 2 Sekolah Dasar
yang jaraknya berdekatan.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mempelajari asupan vitamin A,
status vitamin A dan status gizi anak SD di Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten
Bogor.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :
1. Mengidentifikasi karakteristik anak SD.
3
2. Mengidentifikasi karakteristik keluarga anak SD.
3. Mengidentifikasi konsumsi pangan, status gizi, status vitamin A dan
status kesehatan anak SD.
4. Menganalisis hubungan tingkat kecukupan energi dan protein dengan
status gizi anak SD.
5. Menganalisis hubungan tingkat kecukupan vitamin A dengan status
vitamin A anak SD.
6. Menganalisis hubungan status gizi dengan status vitamin A anak SD.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah
tentang asupan vitamin A, status vitamin A dan status gizi anak SD di kecamatan
Leuwiliang, Kabupaten Bogor sehingga pemerintah dapat lebih memperhatikan
dan peduli terhadap anak-anak agar masalah gizi khususnya kejadian KVA
(Kurang Vitamin A) di Indonesia semakin berkurang dan dapat meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia yang lebih baik. Selain itu, diharapkan agar orang
tua lebih memperhatikan keadaan anak khususnya pada asupan zat gizi.
KERANGKA PEMIKIRAN
Keberlangsungan masa depan suatu negara salah satunya ditentukan oleh
anak. Karakteristik responden (usia, jenis kelamin, dan jenjang pendidikan) serta
karakteristik keluarga (pendapatan, pendidikan orang tua, dan kondisi sosial
ekonomi keluarga) dapat memberikan dampak pada pemberian asupan vitamin A
kepada anak. Agrawal dan Agrawal (2013) menemukan bahwa pada keluarga
dengan status sosial ekonomi rendah, anak tidak memperoleh asupan vitamin A
yang cukup, sedangkan pada keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi,
kebutuhan vitamin A anak dapat terpenuhi dengan baik.
Status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang
sebagai akibat dari konsumsi, penyerapan, penggunaan zat gizi makanan, aktifitas
fisik dan kebiasaan makan (Almatsier 2006). Anak usia sekolah memiliki
kebutuhan zat gizi yang tinggi akibat dari masa pertumbuhan yang pesat (Natalia
et al. 2013). Pengukuran status gizi anak sekolah berdasarkan Z-score
menggunakan indikator indeks massa tubuh menurut usia (IMT/U).
Vitamin A dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang relatif kecil tetapi
sangat penting untuk pertumbuhan dan menjaga kesehatan (Almatsier 2006).
Kekurangan vitamin A dapat mengakibatkan daya tahan tubuh yang kurang.
Vitamin A dalam bahan pangan nabati berbentuk beta karoten yang memiliki
keuntungan lain yaitu sebagai antioksidan. Sistem imun di dalam tubuh dapat
bekerja secara optimal apabila jumlah vitamin dan mineral yang dikonsumsi
cukup. Vitamin A juga terbukti dapat meningkatkan respon antibodi. Status
Vitamin A merupakan gambaran dari asupan vitamin A yang diserap oleh tubuh.
Status vitamin A ditunjukkan oleh kadar retinol serum. Status vitamin A dalam
tubuh, status gizi, dan status kesehatan memiliki hubungan yang sinergis (saling
berhubungan) satu sama lain. Kerangka pemikiran penelitian digambarkan pada
Gambar 1.
4
Karakteristik Responden:
Karakteristik keluarga:
- Usia
- Pendapatan
- Jenis Kelamin
- Pendidikan
- Jenjang pendidikan
- Kondisi ekonomi keluarga
Konsumsi Pangan dan Tingkat
Konsumsi Zat Gizi
Asupan Vitamin A
Status Gizi
(IMT/U)
Status Vitamin A
(Retinol Serum)
Status Kesehatan
(Angka Morbiditas)
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian (modifikasi Gusthianza 2010) asupan
vitamin A, status vitamin A dan status gizi anak SD di Kecamatan
Leuwiliang, Kabupaten Bogor.
5
METODE
Desain, Waktu dan Tempat
Penelitian ini merupakan baseline data dari penelitian Fortifikasi Karoten
dari Red Palm Oil (RPO) pada Minyak Goreng Curah Sebagai Alternatif
Pangan Strategis untuk Pencegahan dan Pengentasan Masalah Kurang
Vitamin A (KVA) di Indonesia (Marliyati et al. 2013). Desain penelitian yang
digunakan yaitu Cross sectional study. Penelitian dilaksanakan selama 1 bulan
efektif yang dilakukan pada bulan Mei 2013. Lokasi penelitian dilaksanakan pada
2 tempat, yaitu di Sekolah Dasar Negeri Angsana I dan Sekolah Dasar Negeri
Angsana II, Desa Cibeber, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor (Lampiran
1).
Responden Penelitian
Responden yang mengikuti penelitian merupakan anak SD yang terdaftar di
Sekolah Dasar Negeri Angsana I dan II, Desa Cibeber, Kecamatan Leuwiliang,
Kabupaten Bogor (Lampiran 1). Responden dipilih dengan tekhnik purposive
sampling dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi pada Tabel 1.
Tabel 1 Kriteria inklusi dan eksklusi untuk penentuan responden.
Kriteria
Inklusi:
Usia 7 sampai 9 tahun (kelas 2-3 SD)
Sehat (tidak menderita infeksi sekunder) berdasarkan hasil pemeriksaan dokter
Mendapatkan penjelasan penelitian dan menyetujui informed consent
Bersedia untuk mematuhi prosedur penelitian
Eksklusi:
Mempunyai kelainan kongenital/cacat bawaan
Mempunyai alergi berat berdasarkan medical Questionnaire
Mengkonsumsi antibiotik dan/atau laxative (4 minggu sebelum penelitian)
Menerima kapsul vitamin A dosis tinggi setahun sebelum penelitian
Berpartisipasi dalam penelitian lain
Anak usia 7 sampai 9 tahun merupakan masa pertumbuhan yang penting,
dimana kebutuhan akan zat gizi meningkat untuk mencapai pertumbuhan yang
optimal. Jumlah anak SD yang mengikuti penelitian dihitung berdasarkan rumus:
2 σ2 (Z1-α/2 + Z1-β)2
n
=
δ2
Keterangan:
n
= besar sampel
Z1-α/2 = suatu nilai sehingga P(Z > Zα) = 1-α/2, Z adalah peubah acak normal baku
Z1-β
= suatu nilai sehingga P(Z > Zβ) = 1-β, Z adalah peubah acak normal baku
σ
= 4.61 (perkiraan standar deviasi serum Imunoglobulin G (IgG) berdasarkan
penelitian Ghustianza 2010)
δ
= 6.62 (Peningkatan titer IgG berdasarkan penelitian Ghustianza 2010)
(Sumber : Steel dan Torrie 1991)
6
Nilai Z1-α/2 diperoleh sebesar 2,575 dan Z1-β sebesar 1,272, berdasarkan
rumus perhitungan tersebut, maka diperoleh ukuran sampel (n) sebanyak 14
responden. Antisipasi drop out yang digunakan pada penelitian ini sebesar 10%,
sehingga diperoleh sebanyak 16 responden. Jumlah keseluruhan anak SD yang
mengikuti penelitian yaitu 31 anak.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Data Sekunder yang dikumpulkan berupa nama lengkap, usia, dan jenis
kelamin responden. Data primer berupa data berat badan, tinggi badan,
karakteristik keluarga, konsumsi pangan, status gizi, dan status vitamin A. Jenis
dan cara pengumpulan data disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan atau pengukuran data
Data
Karakteristik responden
(nama, jenis kelamin, berat
badan, urutan anak ke
berapa, dll)
Karakteristik keluarga
(Pendidikan orang tua,
pendapatan keluarga)
Berat badan
Tinggi badan
Konsumsi pangan
Status Gizi
Status Vitamin A
Status Kesehatan (angka
morbiditas)
Cara Pengukuran atau
Pengumpulan
Wawancara dengan
orangtua atau pengasuh
anak sekolah dasar
menggunakan kuesioner
Wawancara dengan
orangtua atau pengasuh
anak sekolah dasar
menggunakan kuesioner
Penimbangan dan
Pengukuran
Food recall
Antropometri
Pengambilan darah
Pemeriksaan klinis dan
observasi serta wawancara
oleh tenaga medis dan
peneliti kepada orangtua
(pengasuh) anak sekolah
dasar dan guru
menggunakan kuesioner
Frekuensi
Satu kali
Satu kali
Satu Kali
2x24 jam (1x24jam
hari libur dan 1x24
jam hari sekolah)
Satu kali
Satu kali
Satu kali
Pengukuran Status Gizi
Pengukuran berat badan dan tinggi badan dilakukan untuk mengetahui
status gizi anak SD. Berat badan diukur dengan menggunakan timbangan injak
analog dengan ketelitian 0,1 kg. Tinggi badan diukur dengan menggunakan
microtoise dengan ketelitian 0,1 cm. Pengukuran status gizi dilaksanakan dalam
satu rangkaian bersama pemeriksaan klinis dan pengambilan darah untuk analisis
retinol dan IgG serum. Sampel darah diambil dengan melibatkan tenaga medis
dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Pusat Teknologi Terapan
7
Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
Bogor. Darah untuk analisis retinol diambil dari pembuluh darah vena.
Analisis kadar retinol serum dilakukan dengan menggunakan metode
ektraksi (Concurrent Liqud Chromatographic Assay of Retinol). Metode ini
menggunakan prinsip serum diencerkan dengan larutan retinil asetat pada etanol,
larutan retinil asetat berperan sebagai standar dan etanol berperan mengendapkan
protein, yang membebaskan retinol, kemudian diekstraksi dengan heksana.
Ekstrak dievaporasi atau diuapkan dalam nitrogen atmosfer dan residu dilarutkan
dalam metanol. Retinol dipisahkan dengan menggunakan HPLC. Jumlah serum
yang digunakan untuk analisis retinol adalah sebanyak 100 µL. Analisis tersebut
menggunakan alat HPLC (High Performance Liquid Chromatography) dengan
menginjeksi sampel secara terpisah. Bahan yang digunakan antara lain serum,
sodium deodecyl sulphate (SDS), alkohol, dan butylated hidroxytoluene (BHT).
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data primer dilakukan dengan beberapa tahapan meliputi
entry data, editing, coding dan cleaning untuk melihat konsistensi informasi. Data
yang telah diverifikasi diolah menggunakan software Microsoft Excel dan
dianalisis dengan menggunakan software SPSS v.20.0 for Windows. Analisis data
dilakukan secara deskriptif dan statistik. Data identitas, kondisi ekonomi keluarga,
asupan zat gizi (tingkat kecukupan energi, protein, lemak dan vitamin A), status
gizi dan status vitamin A anak SD dikategorikan seperti pada Tabel 3. Setelah itu,
dianalisis secara deskriptif menggunakan software SPSS v.20.0 for Windows.
Tabel 3 Pengkategorian data
Variabel
Tingkat pendidikan
Orang tua
Pekerjaan Ibu
Pekerjaan Ayah
Pendapatan
Keluarga
Pendapatan
perkapita
Kategori
Tidak sekolah
SD
SMP
SMA
Petani
Pedagang
Buruh tani
Buruh non tani
Ibu rumah tangga
Lain-lain
Petani
Pedagang
Buruh tani
Buruh non tani
Jasa
Lain-lain
Rendah ( < Rp 1 500 000)
Sedang (Rp. 1 500 000 – 2 500 000
Tinggi (Rp. 2 500 000 - 3 500 000)
Sangat tinggi (> Rp. 3 500 000)
Miskin ( < Rp. 268 251)
Tidak miskin ( > Rp. 268 251)
Acuan
Strata Pendidikan di
Indonesia
Ghustianza 2010
Ghustianza 2010
BPS 2008
BPS 2013
8
Lanjutan Tabel 3 Pengkategorian data
Variabel
Tingkat kecukupan
energi dan protein
Asupan lemak
Tingkat kecukupan
vitamin A
Status Gizi
Status vitamin A
Status Kesehatan
(Angka morbiditas)
Kategori
Defisit berat (<70%)
Defisit sedang (70-79%)
Defisit ringan (80-89%)
Normal (90-119%)
Lebih (>120%)
<20% kebutuhan energi
>20% kebutuhan energi
Kurang (<77%)
Cukup (≥77%)
Sangat kurus (< -3 SD)
Kurus ( -3 SD - < -2 SD)
Normal (-2 SD - 1 SD)
Gemuk ( >1 SD - < 2 SD)
Obesitas ( > 2 SD)
Kurang (<10 µg/dl)
Rendah (10 µg/dl - <20 µg/dl)
Cukup (20 µg/dl - <100 µg/dl)
Lebih (>100 µg/dl)
Rendah (<4)
Sedang (4-7)
Tinggi (>7)
Acuan
Depkes 1996
Almatsier 2006
Gibson 2005
WHO 2005
Almatsier 2011
Sugiyono 2009
Data yang diperoleh dari pengkategorian asupan zat gizi, status vitamin A,
serta status gizi anak kemudian di uji normalitas pada software SPSS v.20.0 for
Windows. Setelah data normal, kemudian dihubungkan antara asupan zat gizi
(Energi dan protein) dengan status gizi, asupan vitamin A dengan status vitamin
A, status gizi dengan status vitamin A pada anak SD untuk dianalisis secara
statistik menggunakan uji spearman atau uji pearson pada software SPSS v.20.0
for Windows (Lampiran 1). Uji korelasi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Pearson dan Spearman. Uji korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui
keterkaitan hubungan antar peubah–peubah penelitian dengan skala rasio
(hubungan antara tingkat kecukupan vitamin A dengan status Vitamin A). Uji
korelasi Spearman digunakan untuk mengetahui keterkaitan hubungan antar
peubah penelitian dengan skala ordinal (hubungan tingkat kecukupan energi dan
protein dengan status gizi; hubungan status gizi dengan status vitamin A).
Definisi Operasional
Anak SD adalah siswa-siswi sekolah dasar negeri angsana 1 dan angsana 2 yang
berusia 7 sampai 9 tahun.
Angka Kecukupan gizi adalah jumlah masing-masing zat gizi yang sebaiknya
dipenuhi untuk mencapai status gizi yang baik.
Antropometri adalah metode yang digunakan dalam melakukan penilaian status
gizi secara langsung yaitu tinggi badan, berat badan dan usia.
Asupan adalah kandungan zat gizi yang diperoleh dari konsumsi pangan.
9
Asupan Energi adalah jumlah kandungan energi yang berasal dari pangan yang
dikonsumsi
Asupan Protein adalah jumlah kandungan protein yang berasal dari pangan yang
dikonsumsi.
Asupan Vitamin A adalah jumlah kandungan vitamin A yang berasal dari pangan
yang dikonsumsi.
Deskriptif adalah salah satu cara menganalisis yang bertujuan untuk
menggambarkan keadaan atau data yang diperoleh.
Eksklusi adalah beberapa kriteria atau syarat dalam penentuan responden yang
menyebabkan sampel tidak dapat mengikuti kegiatan.
Evaporasi atau penguapan adalah peristiwa perubahan molekul cair menjadi
molekul gas.
Inklusi adalah beberapa kriteria atau syarat dalam penentuan responden sehingga
responden dapat mengikuti kegiatan.
Indeks Massa Tubuh adalah suatu rumus matematis untuk menentukan status
gizi seseorang dengan persamaan yaitu berat badan dalam kilogram dibagi
dengan tinggi badan kuadrat dalam meter.
Jenjang Pendidikan adalah tingkatan dari pendidikan yang ditempuh oleh
responden.
Karakteristik Anak SD adalah ciri-ciri dan keadaan umum responden yang
meliputi usia, jenis kelamin dan jenjang pendidikan.
Karakteristik Keluarga adalah keadaan umum dari keluarga responden yang
meliputi pendapatan, pendidikan dan kondisi ekonomi
Kondisi Ekonomi Keluarga adalah keadaan keluarga yang digolongkan
berdasarkan pendapatan perkapita.
Konsumsi Pangan adalah jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan
responden untuk memenuhi kebutuhan hidup dan melakukan aktivitas
berupa energi, protein, serta Vitamin A.
Morbiditas adalah keadaan sakit atau terjadinya penyakit yang mengubah
kesehatan dan kualitas hidup anak.
Pendapatan adalah jumlah uang yang diperoleh seseorang untuk mencukupi
kebutuhan sehari–hari.
Pendapatan Keluarga adalah jumlah uang yang diperoleh dalam suatu keluarga
untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari pada keluarga tersebut.
Pendapatan Perkapita adalah jumlah uang yang diperoleh dari hasil pembagian
pendapatan keluarga dibagi jumlah anggota keluarga.
Pendidikan Orang Tua adalah lamanya orang tua mengalami pendidikan formal
di sekolah.
Statistik adalah salah satu cara menganalisis data berdasarkan rumus atau
ketentuan yang sudah ada.
Status Gizi adalah keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai
akibat dari konsumi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan.
Status Kesehatan adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang berdasarkan hasil
pemeriksaan fisik dan klinis yang dilakukan sebelum, selama, dan setelah
intervensi.
Status Vitamin A adalah jumlah vitamin A dalam bentuk alkohol dengan satuan
µg/dL pada serum yang diukur dengan metode ekstraksi (Concurrent Liquid
10
Chromatography Assay of Retinol) dan merupakan indikator status vitamin
A responden.
Tingkat Kecukupan Zat Gizi adalah hasil bagi dari asupan zat gizi dengan
kebutuhan zat gizi yang disesuaikan dengan status gizi.
Uji Korelasi adalah uji hubungan antar variabel berdasarkan ketentuan yang
sudah ditetapkan.
Uji Normalitas adalah uji yang dilakukan untuk melihat normal atau tidaknya
suatu variabel.
Zat Gizi adalah bahan kimia yang terdapat dalam bahan yang diperlukan tubuh
untuk mengatur proses kehidupan.
Zat Gizi Makro adalah Zat gizi yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah besar.
Zat Gizi Mikro adalah Zat gizi yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah kecil.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Anak SD
Karakteristik anak SD yang diamati meliputi jenis kelamin, usia, berat
badan, tinggi badan dan jenjang pendidikan. Anak SD yang memenuhi kriteria
inklusi adalah 31 anak, terdiri anak perempuan sebanyak 16 anak (51.6%) dan
anak laki-laki sebanyak 15 anak (48.4%) . Jumlah anak SD berjenis kelamin
perempuan lebih besar daripada jumlah anak SD berjenis kelamin laki-laki.
Sebaran anak SD berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Tabel 4.
Angka Kecukupan zat gizi (AKG) (2012) menunjukkan bahwa anak SD
tergolong dalam satu kategori usia (7 sampai 9 tahun) sehingga memiliki angka
kecukupan zat gizi dalam jumlah yang sama. Kebutuhan zat gizi anak usia 7
sampai 9 tahun sebagian besar digunakan untuk aktivitas pembentukan dan
pemeliharaan jaringan (Alatas 2011). Selain itu, kebutuhan zat gizi diperlukan
oleh anak usia sekolah dasar untuk memenuhi kebutuhan dalam pembentukan
kualitas fisik di tahapan usia selanjutnya, yaitu masa remaja. Beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa dalam pertumbuhan dan perkembangan tahapan
anak usia sekolah memerlukan berbagai kombinasi
zat gizi yang
berkesinambungan, baik dari zat gizi makro maupun mikro, serta faktor
lingkungan sosial ekonomi dimana mereka tinggal (Rahman et al. 2004). Dari
data yang diperoleh, hampir separuh anak SD berusia 8 tahun, yaitu 13 anak
(41.9%) sedangkan anak SD yang berusia 7 tahun berjumlah 10 anak (32.3%) dan
yang berusia 9 tahun berjumlah 8 anak (25.8%). Sebaran anak SD berdasarkan
usia disajikan pada Tabel 4.
Menurut UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan
tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan
yang akan dikembangkan. Jenjang pendidikan formal di Indonesia yaitu
pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar
merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI),
atau bentuk lain yang sederajat dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan
11
Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat. Anak SD pada
penelitian ini merupakan siswa-siswi kelas 2 dan kelas 3 dari sekolah SDN
Angsana I dan SDN Angsana II. Lebih dari separuh anak SD berada pada jenjang
pendidikan kelas 2 sekolah dasar yaitu 17 anak (54.8%), sementara itu anak SD
yang berada di jenjang pendidikan kelas 3 berjumlah 14 anak (45.2%).
Keberhasilan anak dapat ditentukan oleh faktor pendapatan keluarga, pada
keluarga yang ekonominya kurang, dapat menyebabkan anak kekurangan gizi,
kebutuhan anak tidak terpenuhi, suasana rumah menjadi muram, dan gairah
belajar tidak ada (Mustamin 2013). Sebaran anak SD berdasarkan jenjang
pendidikan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Sebaran anak SD berdasarkan jenis kelamin, usia dan jenjang pendidikan
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total
Usia
7 tahun
8 tahun
9 tahun
Total
Rata-rata±SD
Jenjang pendidikan
n
15
16
31
n
10
13
8
31
%
48.4
51.6
100.0
%
32.3
41.9
25.8
100.0
7.9±0.8
n
%
Kelas 2
Kelas 3
17
14
54.8
45.2
Total
31
100.0
Karakteristik Keluarga
Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu aspek pembangunan untuk mewujudkan
pembangunan nasional. Menurut UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam Undang-Undang
tersebut disebutkan bahwa Pendidikan di Indonesia dibagi menjadi tiga kelompok
yang menyelenggarakan pendidikan, yaitu pendidikan informal, nonformal dan
formal. Pendidikan informal adalah pendidikan jalur keluarga dan lingkungan;
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan diluar
pendidikan formal yang dpat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang;
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang
terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
Tingkat pendidikan orang tua terdiri dari pendidikan ibu dan pendidikan
ayah dari anak SD. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa sebagian
besar ibu anak SD memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar yaitu 27 orang
(87.1%) dan masih terdapat ibu anak SD yang tidak sekolah (9.7 %). Sama halnya
dengan tingkat pendidikan ibu, tingkat pendidikan ayah sebagian besar berada
12
pada kategori Sekolah Dasar yaitu 26 orang (83.6%), dan terdapat 6.4 persen ayah
anak SD yang tidak sekolah. Pendidikan paling tinggi yang ditempuh ibu paling
tinggi berada di tingkat SMP (3.2 %), sedangkan pendidikan tertinggi ayah secara
keseluruhan berada di tingkat SMA (6.4 %). Dari hasil tersebut, dapat dilihat
bahwa pendidikan di Desa Cibeber masih belum memenuhi program pemerintah
wajib belajar 12 tahun (UU no. 47 tahun 2008 tentang wajib belajar). Masalah
pendidikan di Indonesia yang dihadapi yaitu, taraf pendidikan yang rendah, tidak
meratanya pendidikan, tingginya angka putus sekolah, kehilangan kepercayaan
pada lembaga kependidikan, sulit mendapatkan layanan pendidikan (Puspitarini
2013). Sebaran tingkat pendidikan ibu dan ayah anak SD dapat dilihat dalam
Tabel 5.
Tabel 5 Sebaran anak SD berdasarkan tingkat pendidikan ibu dan ayah anak SD
Tingkat Pendidikan Ibu
Tidak sekolah
SD
SMP
Total
Rata-rata±SD
Tingkat Pendidikan Ayah
Tidak sekolah
SD
SMP
SMA
Total
Rata-rata±SD
n
3
27
1
31
%
9.7
87.1
3.2
100.0
5.2±1.9
n
2
26
1
2
31
%
6.4
83.9
3.2
6.4
100.0
6.0±2.2
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendidikan berpengaruh terhadap
pemenuhan kebutuhan zat gizi yang diperoleh anak. Dalam penelitian Saputra dan
Nurrizka (2012) diperoleh hasil bahwa pendidikan orang tua berpengaruh
signifikan terhadap gizi dan kesehatan anak. Hal ini disebabkan oleh pendidikan
yang berpengaruh signifikan terhadap pengetahuan mengenai gizi dan kesehatan,
sehingga orang tua memiliki dasar dalam pemilihan makanan yang baik bagi
anak-anaknya. Dengan dasar pengetahuan tersebut, ketercapaian anak dalam hal
asupan gizi akan semakin optimal dan kebutuhan gizi anak akan terpenuhi.
Sudirman dalam Hidayati (2010) menunjukkan bahwa terkadang faktor
pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki orang tua menjadi lebih penting
dibanding pendapatan yang dimiliki oleh suatu keluarga. Tingkat pendidikan
orang tua dianggap faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat pendidikan
anak, sebab semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, semakin positif sikapnya
terhadap peranan sekolah (Mustamin 2013).
Pekerjaan
Pekerjaan diperlukan setiap orang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari
baik individu maupun dalam suatu keluarga. Jenis pekerjaan di Indonesia
beragam, mulai dari sektor pertanian maupun perindustrian. Dalam penelitian,
pekerjaan orang tua anak SD dibagi menjadi beberapa kelompok pekerjaan.
Berdasarkan hasil penelitian, ibu anak SD yang bekerja sebagai ibu rumah tangga
13
memiliki persentase terbesar, yaitu 77.4 persen. Sementara itu, lebih dari separuh
ayah anak SD bekerja sebagai buruh tani (54.8%). Hal tersebut diduga karena
keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh orang tua, akibat rendahnya tingkat
pendidikan yang ditempuh. Tabel 6 menunjukkan sebaran anak SD berdasarkan
pekerjaan ibu dan ayah anak SD.
Tabel 6 Sebaran anak SD berdasarkan pekerjaan ibu dan ayah anak SD.
Pekerjaan Ibu
Pedagang
Buruh tani
Ibu rumah tangga
Lainnya (wiraswasta, guru honorer, dll.)
Total
Pekerjaan Ayah
Petani
Pedagang
Buruh tani
Buruh non tani
Jasa (tukang ojek, tukang cukur, dll.)
Lainnya (wiraswasta, guru honorer, dll.)
Total
n
4
2
24
1
31
n
1
2
17
6
2
3
31
%
12.9
6.5
77.4
3.2
100.0
%
3.2
6.5
54.8
19.4
6.5
9.7
100.0
Pendapatan dan Kondisi Ekonomi Keluarga
Pendapatan merupakan jumlah penghasilan seseorang yang diperoleh dari
berbagai sumber secara berkelanjutan baik dari hasil pekerjaan maupun dari
sumber lainnya. Pendapatan dalam suatu keluarga pada umumnya diperoleh dari
anggota keluarga yang bekerja.
Pendapatan keluarga yang tergolong pendapatan rendah lebih besar
dibandingkan kategori lainnya. Sebanyak 23 keluarga (74.2%) berada pada
golongan pendapatan rendah (Tabel 7). Hal tersebut disebabkan karena sebagian
besar ayah dan ibu dari responden bekerja sebagai buruh tani dan ibu rumah
tangga, sehingga pendapatan yang diperoleh relatif sedikit. Tingkat pendidikan
yang dimiliki seseorang pada umumnya dapat mengindikasi pekerjaan orang
tersebut, yang selanjutnya akan berdampak pada pendapatannya. Semakin tinggi
pendidikan yang ditempuh seseorang, maka status pekerjaannya semakin baik,
dan selanjutnya semakin tinggi pula pendapatannya. Hasil penelitian Suranadi dan
Chandradewi (2008) menunjukkan bahwa pengeluaran unuk makanan dan
pekerjaan kepala keluarga berpengaruh secara signifikan terhadap anak dengan
masalah gizi. Tabel 7 menunjukkan bahwa terdapat 1 keluarga terdapat pada
pendapatan dengan kategori sangat tinggi, hal tersebut diduga karena pendidikan
kedua orangtua yang tinggi sehingga pendapatan yang diperoleh tinggi.
Pendapatan keluarga berdampak pada kondisi ekonomi suatu keluarga.
Kondisi ekonomi keluarga adalah gambaran umum kemampuan suatu keluarga
dalam memenuhi kebutuhan hidup yang dilihat dari pendapatan perkapita dan
dibandingkan dengan garis kemiskinan. Garis kemiskinan merupakan representasi
dari jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok
minimum makanan setara dengan 2100 kkal/kapita/hari dan kebutuhan pokok
bukan makanan (BPS 2013). Keluarga responden dikategorikan dalam keluarga
14
miskin atau tidak miskin berdasarkan pendapatan/kapita/bulan yang dibandingkan
dengan garis kemiskinan wilayah tersebut.
Kondisi ekonomi keluarga yang termasuk dalam kategori miskin lebih
besar dibandingkan dengan kategori tidak miskin (Tabel 7). Pada kategori kondisi
ekonomi keluarga miskin terdapat 21 keluarga (67.7%) sedangkan pada kategori
kondisi ekonomi keluarga tidak miskin yaitu 10 keluarga (32.3%). Hal tersebut
disebabkan oleh pendapatan keluarga yang diperoleh masih banyak yang
tergolong rendah, sehingga pendapatan per kapita yang diperoleh juga rendah.
Suryawati (2005) menyatakan bahwa kondisi perekonomian keluarga yang rendah
disebabkan oleh adanya keterbatasan aset yang dimiliki, baik aset secara fisik
maupun aset yang menyangkut kualitas sumber daya manusia. Dengan pendidikan
yang kurang serta pekerjaan yang tidak memadai maka pendapatan yang diperoleh
pun rendah, sehingga menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan yang dialami
selanjutnya akan memberikan dampak terhadap kebutuhan zat gizi yang diberikan
orang tua kepada anak. Arnelia (2011) menunjukkan bahwa gangguan
pertumbuhan dipengaruhi oleh tiga faktor penting yaitu konsumsi zat gizi, infeksi,
dan interaksi ibu dan anak, yang sebagian besar tergantung pada tingkat
pendidikan serta tingkat sosial ekonomi keluarga. Conroy et al. (2010)
mengemukakan bahwa keadaan sosial ekonomi pada masa anak-anak dapat
mempengaruhi kesehatan mereka pada tahapan usia selanjutnya.
Tabel 7 Sebaran anak SD berdasarkan pendapatan keluarga dan kondisi ekonomi
keluarga.
Pendapatan Keluarga
Rendah ( < Rp 1 500 000)
Sedang (Rp. 1 500 000 – 2 500 000
Tinggi (Rp. 2 500 000 - 3 500 000)
Sangat tinggi (> Rp. 3 500 000)
Total
Rata-rata±SD (Rupiah)
Kondisi Ekonomi Keluarga
Miskin ( < Rp. 268 251)
Tidak Miskin ( > Rp. 268 251)
Total
Rata-rata±SD (Rupiah)
n
23
5
2
1
31
%
74.2
16.1
6.5
3.2
100.0
1 254 580.6±1 472 255.7
n
%
21
67.7
10
32.3
31
100.0
338 428.6±488 467.4
Asupan Energi, Protein, Lemak dan Vitamin A
Zat gizi adalah bahan kimia yang terdapat dalam bahan pangan yang
dibutuhkan tubuh untuk menghasilkan energi, membangun dam memelihara
jaringan, serta mengatur proses kehidupan (Almatsier 2011). Asupan zat gizi
diperoleh tubuh dari konsumsi makanan sehari-hari. Asupan zat gizi sebaiknya
disesuaikan dengan kebutuhan zat gizi perhari. Kebutuhan zat gizi terdapat
didalam Angka Kecukupan Gizi (2012) yang dibedakan berdasarkan usia. Angka
kecukupan zat gizi untuk usia anak sekolah yang berusia 7 sampai 9 tahun yaitu,
energi 1850 kkal, protein 49 gram, dan Vitamin A 500 RE. Kebutuhan energi,
protein diperoleh dengan melihat status gizi anak SD, jika anak SD memiliki
status gizi tidak normal (kurang atau lebih) maka digunakan kebutuhan energi,
protein dan vitamin A sesuai angka kecukupan gizi, tetapi jika anak SD memiliki
15
status gizi normal, maka angka kecukupan gizi dikalikan dengan berat badan
aktual dibagi dengan berat badan ideal. Perhitungan tingkat kecukupan gizi
ditentukan dengan membandingkan antara asupan zat gizi dengan angka
kecukupan zat gizi masing–masing anak usia 7 sampai 9 tahun. Kebutuhan lemak
dengan satuan gram, dihitung berdasarkan 20 persen dari kebutuhan energi
kemudian dibagi dengan 9.
Energi
Asupan energi anak SD berkisar dari 522 kkal sampai 2270 kkal dan angka
kecukupan energi anak SD berkisar dari 1096 kkal sampai 1850 kkal. Nilai ratarata±stdev asupan energi dan angka kecukupan energi anak SD yaitu 1302±418
kkal dan 1348±159 kkal. Nilai rata-rata±stdev dari tingkat kecukupan energi anak
SD yaitu 98.0±34.0 persen dari 36.6 persen sampai 179.1 persen. Rata-rata tingkat
kecukupan energi sebesar 98.0 persen dan termasuk dalam kategori normal (90 119 %) (Depkes 1996). Hal tersebut diduga karena porsi makan anak SD yang
sudah baik sehingga kebutuhan energi terpenuhi, tetapi jenis makanan yang
dikonsumsi kurang beragam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak SD pada tingkat kecukupan
energi dengan kategori normal memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan
dengan kategori lainnya. Anak SD dengan tingkat kecukupan energi kategori
normal yaitu 13 anak (41.9%). Sementara itu, masih terdapat anak SD pada
tingkat kecukupan energi dengan kategori defisit berat, yaitu sebanyak 7 anak
(22.6%). Hal ini diduga karena frekuensi makan anak hanya 1 sampai 2 kali sehari
sehingga angka kecukupan tidak terpenuhi. Sementara itu, terdapat 6 anak (19.4
%) anak SD yang memiliki tingkat kecukupan energi kategori lebih. Hal ini
diduga karena anak memiliki nafsu makan yang tinggi serta didukung dengan
ketersediaan pangan sumber energi yang lebih mudah didapat. Sebaran anak SD
berdasarkan tingkat kecukupan energi disajikan dalam Tabel 8.
Tabel 8 Sebaran anak SD berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi
Tingkat Kecukupan Energi
Defisit berat (<70%)
Defisit sedang (70-80%)
Defisit ringan (80-90%)
Normal (90-110%)
Lebih (>110%)
Total
n
7
2
3
13
6
%
22.6
6.5
9.7
41.9
19.4
31
100
Data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak SD (67.7%)
berada pada kondisi ekonomi keluarga dengan kategori miskin, yaitu sebanyak.
Pada kondisi sosial ekonomi keluarga kategori miskin, sebagian besar anak SD
memiliki tingkat kecukupan energi defisit berat yaitu 7 anak (33.3%). Hal tersebut
diduga karena keterbatasan ekonomi sehingga ketersediaan pangan sumber energi
kurang. Selain itu, adanya anak SD (23.8%) dengan kondisi ekonomi keluarga
miskin yang memiliki tingkat kecukupan energi lebih diduga karena banyaknya
ketersediaan pangan sumber energi yang didapat dari hasil berkebun. Hampir
separuh anak SD memiliki tingkat kecukupan energi normal, yaitu sebanyak 13
anak (41.4%). Namun, lebih dari separuh anak SD (58.6%) yang berada pada
16
kondisi ekonomi keluarga miskin atau tidak miskin masih memiliki tingkat
kecukupan energi kurang dan lebih. Hal tersebut diduga karena adanya
ketersediaan pangan sumber energi yang diperoleh dari hasil berkebun. Sebaran
anak SD berdasarkan tingkat kecukupan energi dan status gizi disajikan pada
Tabel 9.
Tabel 9 Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan energi dan kondisi
ekonomi keluarga
Variabel
Defisit berat
Tingkat
Defisit sedang
kecukupan Defisit ringan
energi
Normal
Lebih
Total
Kondisi ekonomi keluarga
Miskin
Tidak miskin
n
%
n
%
7
22.6
0
0.0
1
3.2
1
3.2
2
6.4
1
3.2
6
19.4
7
22.7
5
16.1
1
3.2
21
67.7
10
32.3
Total
n
7
2
3
13
6
31
%
22.6
6.4
9.7
41.9
19.4
100.0
Protein
Asupan protein anak SD berkisar dari 14.8 gram sampai 73.4 gram dan
angka kecukupan protein anak SD berkisar dari 29.0 gram sampai 49.0 gram.
Nilai rata-rata±stdev asupan protein dan angka kecukupan energi anak SD yaitu
29.1±11.2 gram dan 35.6±4.3 gram. Nilai rata-rata±stdev tingkat kecukupan
protein yaitu 82.6±33.6 persen. Rata-rata dari tingkat kecukupan protein yaitu
82.6 persen dan termasuk dalam kategori defisit ringan (80-<90%) (Depkes 1996).
Hal tersebut diduga karena kurangnya konsumsi makanan sumber protein tinggi
(protein hewani) antara lain susu, ikan, telur dan daging ayam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi anak yang kekurangan
protein masih lebih besar dibandingkan dengan anak yang memiliki kecukupan
protein dalam kategori normal. Jumlah anak SD terbesar berada dalam tingkat
kecukupan protein dengan kategori defisit berat yaitu 12 anak (38.6%), sedangkan
anak yang memiliki tingkat kecukupan protein dalam kategori normal hanya 11
anak (35.5%). Ini menunjukkan bahwa asupan protein pada anak SD tersebut
secara umum masih kurang. Berdasarkan hasil recall 2x24 jam, hal tersebut
diduga karena frekuensi makan anak yang hanya 1 sampai 2 kali dalam sehari.
Selain itu, diduga karena ketersediaan pangan sumber protein yang kurang
sehingga anak SD jarang mengkonsumsi pangan sumber protein. Sebaran anak
SD berdasarkan tingkat kecukupan protein disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan protein
Tingkat Kecukupan Protein
Defisit berat (<70%)
Defisit sedang (70-80%)
Defisit ringan (80-90%)
Normal (90-110%)
Lebih (>110%)
Total
n
12
4
2
11
2
31
%
38.6
12.9
6.5
35.5
6.5
100
17
Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak SD
(67.7%) berada pada kondisi ekonomi keluarga dengan kategori miskin. Pada
kondisi sosial ekonomi keluarga kategori miskin, sebagian besar anak SD
memiliki tingkat kecukupan protein defisit berat yaitu 9 anak (42.9%). Hal
tersebut diduga karena keterbatasan ekonomi sehingga ketersediaan pangan
sumber protein kurang. Secara keseluruhan, jumlah terbesar anak SD berada pada
tingkat kecukupan protein defisit berat, yaitu sebanyak 12 anak (38.7%). Namun,
lebih dari separuh anak SD (61.3%) yang berada pada kondisi ekonomi keluarga
miskin dan tidak miskin masih memiliki tingkat kecukupan protein kurang dan
lebih. Hal tersebut diduga karena nafsu makan dari anak yang didukung dengan
ketersediaan pangan sumber protein di rumah. Sebaran anak SD berdasarkan
tingkat kecukupan energi dan status gizi disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan protein dan kondisi
ekonomi keluarga
Variabel
Defisit berat
Tingkat
Defisit sedang
kecukupan Defisit ringan
protein
Normal
Lebih
Total
Kondisi ekonomi keluarga
Miskin
Tidak miskin
n
%
n
%
9
29.0
3
9.7
2
6.4
2
6.5
1
3.2
1
3.2
7
22.7
4
12.9
2
6.4
0
0.0
21
67.7
10
32.3
Total
n
12
4
2
11
2
31
%
38.7
12.9
6.5
35.5
6.5
100.0
Lemak
Asupan lemak anak SD berkisar dari 20.7 gram sampai 108.6 gram.
Tingginya asupan lemak tersebut dikarenakan beberapa makanan yang
dikonsumsi berupa makanan yang diolah dengan cara digoreng antara lain telur
goreng, tempe goreng, tahu goreng dan ayam goreng. Angka kecukupan lemak
anak SD berkisar dari 24.4 gram sampai 41.1 gram. Nilai rata-rata±stdev asupan
lemak dan angka kecukupan lemak anak SD yaitu 45.9±18.2 gram dan 29.9±3.5
gram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anak SD memiliki
asupan lemak pada kategori >20% dari kebutuhan energi yaitu 25 anak (80.6%).
Sebaran anak SD berdasarkan asupan lemak disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Sebaran anak SD berdasarkan asupan lemak
Asupan Lemak
<20% kebutuhan energi
>20% kebutuhan energi
Total
n
6
25
31
%
19.4
80.6
100
Vitamin A
Vitamin merupakan ikatan-ikatan organik yang membantu atau mengatalisis
berbagai reaksi biokimia dalam tubuh. Vitamin dibutuhkan tubuh dalam jumlah
sangat kecil untuk mengatur proses metabolisme. Vitamin digolongkan dalam dua
golongan, yaitu vitamin larut lemak dan vitamin larut air. Vitamin larut lemak
18
adalah vitamin A, D, E, dan K, sedangkan vitamin larut air adalah vitamin B
kompleks dan vitamin C. Vitamin A terdapat pada makanan dalam dua bentuk, di
dalam makanan hewani berbentuk vitamin A yang sudah jadi, dan di dalam
makanan nabati berbentuk prekursor yang akan diubah menjadi vitamin A ketika
di dalam tubuh. Fungsi dari vitamin A adalah untuk penglihatan, pembentukan
dan pemeliharaan jaringan epitel (Almatsier 2011).
Asupan vitamin A anak SD berkisar dari 45.2 RE sampai 1378.9 RE dan
angka kecukupan vitamin A anak SD berkisar dari 296.3 RE sampai 500 RE.
Nilai rata-rata±stdev asupan vitamin A dan angka kecukupan vitamin A anak SD
yaitu 416.0±342.6 RE dan 364.3±43.0 RE. Nilai rata-rata±stdev tingkat
kecukupan vitamin A yaitu 112.3±86.5 RE. Nilai rata-rata tingkat kecukupan
vitamin A adalah 112.3 persen dan berada dalam kategori cukup (lebih dari 77
persen) (Gibson 2005).
Berdasarkan hasil penelitian, anak SD yang termasuk pada tingkat
kecukupan vitamin A kategori cukup memiliki persentase yang lebih besar
daripada kategori kurang. Anak SD pada kategori cukup yaitu 17 anak (54.8%),
sedangkan pada kategori kurang yaitu 14 anak (45.2%). Masih terdapat anak SD
pada kategori kurang diduga karena frekuensi makan dari anak yang hanya 1
sampai 2 kali dalam sehari sehingga angka kecukupan tidak terpenuhi. Sebaran
anak SD berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A
Tingkat Kecukupan Vitamin A
Kurang (<77%)
Cukup (>77%)
Total
n
14
17
31
%
45.2
54.8
100
Sebagian besar anak SD terdapat pada tingkat kecukupan vitamin A
dengan kategori cukup. Hal ini diduga karena ketersediaan pangan sumber
vitamin A dan karoten mudah didapat dan harganya terjangkau. Menurut
Almatsier (2011), vitamin A terdapat dalam pangan hewani sedangkan karoten di
dalam pangan nabati. Sumber vitamin A adalah hati, kuning telur, susu dan
mentega. Sumber karoten adalah sayuran berwarna hijau tua serta sayur dan buah
yang berwarna kuning jingga seperti daun singkong, daun kacang, kangkung,
bayam, kacang panjang, buncis wortel, tomat, jagung kuning, papaya, mangga,
nangka masak dan jeruk. Pangan sumber vitamin A yang dikonsumsi hampir
seluruh anak SD dalam penelitian ini yaitu telur ayam. Pangan sumber karoten
yang dikonsumsi hampir seluruh anak SD yaitu, bayam, kangkung, daun
singkong, wortel dan kacang panjang.
Data pada Tabel 14 menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak SD
(67.7%) berada pada kondisi ekonomi keluarga dengan kategori miskin. Pada
kondisi sosial ekonomi keluarga kategori miskin, sebagian besar anak SD
memiliki tingkat kecukupan vitamin A kurang yaitu 12 anak (57.1%). Hal tersebut
diduga karena keterbatasan ekonomi sehingga ketersediaan pangan sumber
vitamin A kurang. Secara keseluruhan, lebih dari separuh anak SD berada pada
tingkat kecukupan vitamin A cukup, yaitu sebanyak 17 anak (54.8%). Namun,
hampir separuh anak SD (45.2%) yang berada pada kondisi ekonomi keluarga
19
miskin dan tidak miskin masih memiliki tingkat kecukupan vitamin A kurang. Hal
tersebut diduga karena nafsu makan dari anak yang didukung dengan ketersediaan
pangan sumber protein di rumah masih kurang. Sebaran anak SD berdasarkan
tingkat kecukupan energi dan status gizi disajikan pada Tabel 15.
Tabel 14 Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A dan kondisi
ekonomi keluarga
Variabel
Tingkat kecukupan
vitamin A
Total
Kurang
Cukup
Kondisi ekonomi keluarga
Miskin
Tidak miskin
n
%
n
%
12
38.7
2
6.4
9
29.0
8
25.9
21
67.7
10
32.3
Total
n
14
17
31
%
45.2
54.8
100
Status Gizi
Penilaian status gizi dikembangkan untuk membantu negara-negara
berkembang dalam menentukan status gizi penduduk serta mengidentifikasi
masalah gizi dan mencari cara mengatasi masalah gizi. Status gizi adalah suatu
ukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi tubuh seseorang yang dilihat
dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat gizi di dalam tubuh. Status
gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi
lebih (Almatsier 2006). Status gizi kurang merupakan keadaan gizi seseorang
dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari yang dikeluarkan. Status gizi
lebih adalah keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk ke dalam
tubuh lebih besar dari jumlah energi yang dikeluarkan (Nix 2005).
Penilaian status gizi anak digunakan beberapa indeks, yaitu : Berat Badan
menurut Usia (BB/U); Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB); Tinggi
Badan menurut Usia (TB/U) dan Indeks Massa Tubuh menurut Usia (IMT/U).
WHO (2005) menunjukkan bahwa perhitungan status gizi anak usia 7 sampai 9
tahun menggunakan Indeks Massa Tubuh menurut Usia (IMT/U), dalam
menggunakan semua indeks tersebut dianjurkan menggunakan perhitungan
dengan Z-score (menggunakan nilai median sebagai nilai normalnya) (Almatsier
2011).
Hasil perhitungan menurut IMT/U menunjukkan bahwa tidak terdapat anak
SD yang memiliki status gizi dengan kategori sangat kurus, gemuk dan obesitas.
Anak SD yang mengikuti penelitian hanya berstatus gizi kurus dan normal.
Hampir seluruh anak SD termasuk dalam kategori normal yaitu 29 anak (93.5%).
Sebaran anak SD berdasarkan status gizi disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15 Sebaran anak SD berdasarkan status gizi
Status gizi
Kurus
Normal
Total
n
2
29
31
%
6.5
93.5
100.0
Sebagian besar anak SD (93.5%) memiliki status gizi dengan kategori
normal. Status gizi normal merupakan suatu ukuran status gizi dimana terdapat
20
keseimbangan antara jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh dan energi yang
dikeluarkan dari luar tubuh sesuai dengan kebutuhan individu (Almatsier 2006).
Masih adanya anak SD dengan status gizi dibawah normal (kurus) diduga karena
kurangnya pengawasan orang tua terhadap asupan makanan yang dikonsumsi
anak dan pendapatan keluarga yang masih rendah Banyak penelitian yang
menemukan bahwa anak dengan masalah gizi banyak ditemukan pada keluarga
dengan status sosial ekonomi yang kurang (William et al. 2011). Orang tua juga
sering dianggap sebagai pemegang peranan penting terhadap apa yang dikonsumsi
oleh anak, serta nilai gizi yang terkandung dalam makanan mereka. Pengetahuan
serta nilai yang harus mereka keluarkan untuk anak menjadi penting dalam proses
tumbuh kembang anak. Dalam penelitiannya, William et al. (2011) menemukan
bahwa kontrol orang tua dalam memberikan asupan gizi, aturan dalam pemberian
makanan dan minuman yang dikonsumsi, serta role model yang dilakukan orang
tua dapat membantu anak dalam pemilihan makanan yang sehat bagi mereka.
Penelitian lain menemukan fakta bahwa pola konsumsi anak dalam suatu keluarga
sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi keluarganya, terutama makanan utama
(Moshki & Bahrami 2012). Hasil dari beberapa penelitian tersebut menunjukkan
bahwa keluarga memiliki tanggung jawab yang besar dalam pemenuhan
kebutuhan zat gizi anak. Pemenuhan zat gizi tersebut tentu harus didukung dengan
peningkatan pengetahuan orang tua sebagai pengasuh utama dalam hal pemberian
asupan yang baik sehingga pertumbuhan anak dapat optimal.
Status Vitamin A
Secara biologis, fungsi, dan histologi, status vitamin A dapat diperiksa
melalui tanda-tanda xeroftalmia, buta senja, conjunctival impression cytology
(CIC), dan penyesuaian di kamar gelap, selain itu dapat dilakukan pemeriksaan
secara biokimia yaitu dengan pemeriksaan pada darah atau serum (Permaesih
2008). Vitamin A serum adalah indikator yang paling banyak digunakan untuk
mengetahui status vitamin A. Dalam keadaan normal, kurang lebih 95 persen
vitamin A serum terdapat dalam bentuk retinol dan terikat pada retinol binding
protein (RBP) dan sekitar 5 persen terdapat dalam bentuk tidak terikat dan dalam
bentuk ester retinil.
Status vitamin A anak SD dengan kategori rendah lebih besar
dibandingkan dengan golongan status vitamin A kurang. Anak SD yang termasuk
pada golongan status vitamin A rendah yaitu 18 anak (58.1%), sedangkan anak
SD yang termasuk pada golongan status vitamin A kurang yaitu 13 anak (41.9%).
Tidak terdapat anak SD yang termasuk golongan cukup dan lebih. Nilai rata-rata
status vitamin A adalah 10.7±2.2 µg/dl dari kisaran 6.3 µg/dl sampai 14.5 µg/dl.
Hasil tersebut sejalan dengan hasil dari penelitian Ghustianza (2010) yang
menunjukkan bahwa sebagian besar anak sebelum intervensi tergolong status
vitamin A rendah (10-20µg/dl). Zeba et al. (2006) menemukan bahwa red palm
oil (RPO) dapat meningkatkan status vitamin A anak. Sebaran anak SD
berdasarkan status vitamin A disajikan pada Tabel 16.
21
Tabel 16 Sebaran anak SD berdasarkan status vitamin A
Status Vitamin A
Kurang (<10 µg/dl)
Rendah (10-20 µg/dl)
Total
Rata-rata±SD
n
13
18
31
%
41.9
58.1
100.0
10.7±2.2
Status Kesehatan
Status kesehatan dilihat berdasarkan morbiditas yang merupakan angka
kesakitan anak SD selama dua minggu sebelum diwawancara. Morbiditas
diketahui berdasarkan penyakit infeksi yang diderita anak dan lama sakit melalui
wawancara langsung pada anak dan ibu. Kisaran angka morbiditas anak SD yaitu
0 sampai 20 dan nilai rata-rata angka morbiditas yaitu 4.4±5.4. Angka morbiditas
yang bernilai nol (0) menunjukkan bahwa anak SD selama 2 minggu sebelum
diwawancara tidak menderita penyakit infeksi. Angka morbiditas yang tinggi
diduga karena anak SD mengalami berbagai jenis penyakit infeksi dengan lama
hari sakit yang panjang. Jenis penyakit yang diderita oleh sebagian besar anak SD
yaitu Demam dan ISPA. Tabel 17 menunjukkan bahwa anak SD yang menderita
demam lebih tinggi dibandingkan anak SD yang menderita ISPA. Anak SD yang
menderita demam yaitu 17 anak (54.8%), sedangkan anak yang menderita ISPA
yaitu 15 anak (48.4%). Hal tersebut diduga karena terdapat beberapa faktor yang
dapat menyebabkan demam. Pada penyakit infeksi, demam dapat diakibatkan oleh
gangguan sistem imun, panas yang berlebihan, dehidrasi, infeksi virus yang
bersifat self limited maupun infeksi bakteri, parasit, jamur (Susanti 2012).
Tabel 17 Sebaran anak SD berdasarkan jenis penyakit yang diderita selama 2
minggu terakhir
Jenis Penyakit
ISPA
Diare
Demam
Penyakit Kulit
n
15
3
17
5
%
48.4
9.7
54.8
16.1
Tabel 18 menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak SD memiliki angka
morbiditas pada kategori rendah, yaitu 18 anak (58.1%). Hal tersebut diduga
karena sebagian besar anak SD yang berada pada kategori ini tidak menderita
penyakit infeksi atau hanya menderita salah satu jenis penyakit infeksi dengan
lama hari sakit yang pendek. Masih terdapatnya anak SD pada kategori tinggi
yaitu 6 anak (19.3%) diduga karena 2 minggu sebelum diwawancara, anak SD
menderita berbagai jenis penyakit infeksi dan lama hari sakit yang panjang
sehingga menyebabkan angka morbiditas yang tinggi.
Tabel 18 Sebaran anak SD berdasarkan angka morbiditas
Angka Morbiditas
Rendah (<4)
Sedang (4-7)
Tinggi (>7)
Total
n
18
7
6
31
%
58.1
22.6
19.3
100.0
22
Hubungan Variabel
Variabel yang diuji hubungannya dalam penelitian ini adalah tingkat
kecukupan energi dan protein dengan status gizi, tingkat kecukupan vitamin A
dengan status vitamin A dan status gizi dengan status vitamin A.
Hubungan tingkat kecukupan energi dengan status gizi
Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa hampir seluruh anak SD yang
mengikuti penelitian memiliki status gizi normal, yaitu sebanyak 29 anak
(93.6%). Hampir separuh anak SD memiliki tingkat kecukupan energi normal,
yaitu sebanyak 12 anak (41.4%), sedangkan pada anak dengan status gizi kurus,
terdapat 1 anak yang memiliki tingkat kecukupan energi kategori defisit berat dan
1 anak dengan tingkat kecukupan energi normal.
Tabel 19 Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan energi dan status gizi
Variabel
Defisit berat
Tingkat
Defisit sedang
kecukupan Defisit ringan
energi
Normal
Lebih
Total
n
1
0
0
1
0
2
Status Gizi
Kurus
Normal
%
n
%
3.2
6
19.4
0.0
2
6.4
0.0
3
9.7
3.2
12
38.7
0.0
6
19.3
6.4
29
93.6
Total
p value
n
7
2
3
13
6
31
%
22.6
6.4
9.7
41.0
19.3
100.0
0.457
Secara keseluruhan, anak SD dengan tingkat kecukupan energi normal
memiliki jumlah yang lebih besar dibandingkan kategori lainnya, yaitu sebanyak
13 anak (41.9%). Selain itu, masih terdapat 7 anak (22.6%) yang memiliki tingkat
kecukupan energi defisit berat, yang terdiri dari 1 anak (3.2%) dengan status gizi
kurus dan 6 anak (19.4%) dengan status gizi normal. Hal tersebut diduga karena
ketersediaan pangan sumber energi yang dikonsumsi oleh anak SD belum bisa
memenuhi kebutuhan.
Hasil uji hubungan (lampiran 2) menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan energi dengan status
gizi (p=0.457). Hal tersebut diduga karena berdasarkan hasil recall 2x24 jam,
masih ada anak SD dengan status gizi normal memiliki nafsu makan yang kurang
sehingga hanya mengkonsumsi pangan dengan frekuensi 1 sampai 2 kali dalam
sehari. Penelitian Fauziah (2012) menunjukkan bahwa konsumsi pangan serta
asupan energi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi
(r=0.063 dan p=0.847) dikarenakan recall 2x24 jam kurang dapat
menggambarkan status gizi pada saat itu.
Hubungan tingkat kecukupan protein dengan status gizi
Data pada Tabel 20 menunjukkan bahwa 29 anak SD yang memiliki status
gizi normal, sebagian besar anak SD memiliki tingkat kecukupan protein dengan
kategori defisit berat, yaitu 11 anak (35.5%). Sementara itu, anak yang memiliki
status gizi kurus secara keseluruhan berjumlah 2 orang, terdiri dari 1 anak yang
memiliki kategori tingkat kecukupan protein defisit berat dan 1 orang yang
23
memiliki kategori tingkat kecukupan protein normal. Anak SD yang berstatus gizi
kurus dan memiliki tingkat kecukupan protein dibawah normal, sebaiknya lebih
meningkatkan konsumsi pangan sumber protein agar tidak mengganggu proses
pertumbuhan anak tersebut.
Tabel 20 Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan protein dan status gizi
Variabel
Defisit berat
Tingkat
Defisit sedang
kecukupan Defisit ringan
protein
Normal
Lebih
Total
Status Gizi
Kurus
Normal
n
%
n
%
1
3.2
11
35.5
0
0.0
4
12.9
0
0.0
2
6.4
1
3.2
10
32.4
0
0.0
2
6.4
2
6.4
29
93.6
Total
p value
n
12
4
2
11
2
31
%
38.7
12.9
6.4
35.6
6.4
100.0
0.901
Secara keseluruhan, anak SD dengan tingkat kecukupan protein defisit berat
memiliki jumlah yang lebih besar dibandingkan kategori lainnya, yaitu sebanyak
12 anak (38.7%). Berdasarkan hasil recall 2x24jam, hal tersebut diduga karena
asupan pangan sumber protein yang lebih kecil daripada asupan pangan sumber
zat gizi lainnya, misalnya dalam satu waktu makan anak SD hanya mengkonsumsi
mie instan atau nasi goreng yang tidak disertai pangan sumber protein.
Hasil uji hubungan (Lampiran 2) menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan protein dengan
status gizi (p=0.901). Hal tersebut diduga karena ketersediaan pangan sumber
protein yang ada di rumah belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam sehari.
Penelitian Masturoh (2012) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata
(p>0.05) antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi. Tidak adanya
hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi
diduga karena ketersediaan pangan sumber protein yang kurang sehingga sebagian
besar responden berstatus gizi normal berada pada tingkat kecukupan protein
defisit. Asupan protein pada anak perlu ditingkatkan agar kecukupan protein
terpenuhi. Kebutuhan protein pada anak termasuk untuk pemeliharaan jaringan,
perubahan komposisi tubuh dan pembentukan jaringan (Almatsier et al. 2011).
Apabila asupan protein anak SD tidak diperhatikan sehingga terus menerus
mengalami defisit maka akan mengalami gangguan.
Hubungan tingkat kecukupan vitamin A dengan status vitamin A
Data pada Tabel 21 menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak SD dengan
status vitamin A kurang memiliki tingkat kecukupan vitamin A dengan kategori
cukup, yaitu sebanyak 8 anak (61.5%). Hal tersebut diduga karena terdapat faktor
yang menyebabkan status vitamin A kurang, salah satunya faktor penyakit. Anak
SD yang memiliki status vitamin A rendah dengan tingkat kecukupan vitamin A
kategori kurang dan kategori rendah memiliki jumlah yang sama, masing-masing
sebanyak 9 anak (50.0%). Masih terdapatnya anak SD yang memiliki tingkat
kecukupan vitamin A cukup namun status vitamin A nya rendah, diduga karena
makanan yang dikonsumsi oleh sebagian besar anak SD berupa sumber vitamin A
yang berasal dari nabati (karoten).
24
Tabel 21 Sebaran anak SD berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A dengan
status vitamin A
Variabel
Tingkat kecukupan
vitamin A
Total
Kurang
Cukup
Status vitamin A
Kurang
Rendah
n
%
n
%
5
16.1
9
29.0
8
25.8
9
29.0
13 42.0
11
58.0
Total
n
14
17
31
%
45.2
54.8
100.0
p
value
0.320
Secara keseluruhan, anak SD yang memiliki status vitamin A dengan
kategori rendah lebih besar dibandingkan anak SD yang memiliki status vitamin
A dengan kategori kurang. Lebih dari separuh anak memiliki status vitamin A
rendah sebanyak 18 anak (58.1%), sedangkan anak dengan status vitamin A
kurang sebanyak 13 anak (41.9%). Lebih dari separuh anak SD memiliki tingkat
kecukupan vitamin A dengan kategori cukup yaitu 17 anak (54.8%) dan 14 anak
memiliki tingkat kecukupan vitamin A dalam kategori kurang (45.2%).
Hasil uji hubungan (Lampiran 2) menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan vitamin A dengan
status vitamin A (p=0.320). Hal ini diduga karena status vitamin A dari seorang
anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, tidak hanya dari asupan vitamin A. Faktorfaktor yang mempengaruhi status vitamin A seseorang salah satunya adalah
cadangan vitamin A didalam hati (Almatsier 2011). Dalam makanan, vitamin A
biasanya terdapat dalam bentuk ester retinil, yaitu terikat pada asam lemak rantai
panjang, di dalam usus halus, ester retinil dihidrolisis oleh enzim esterase
pankreas menjadi retinol, retinol bereaksi dengan asam lemak dan membentuk
ester dengan bantuan cairan empedu menyebrangi sel-sel vili dinding halus dan
diangkut oleh kilomikron melalui sistem limfe ke dalam aliran darah menuju ke
hati, sehingga hati berperan utama dalam menyimpan vitamin A (Khasanah 2003).
Hubungan status vitamin A dengan status gizi
Data pada Tabel 22 menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak SD
dengan status gizi normal memiliki status vitamin A rendah, yaitu sebanyak 17
anak (58.6%). Masih ada anak SD yang memiliki status gizi normal dengan status
vitamin A kurang yaitu 12 anak (41.4%). Anak SD berstatus gizi kurus dengan
status vitamin A kurang dan rendah memiliki jumlah yang sama, masing-masing
sebanyak 1 anak (50.0%). Status vitamin A yang masih dibawah normal diduga
karena terdapat beberapa faktor yang salah satu faktornya yaitu faktor penyakit
(infeksi). Penyakit infeksi yang diderita anak dapat menurunkan kadar retinol
serum (Dillon et al. 2010).
Tabel 22 Sebaran anak SD berdasarkan status gizi dengan status vitamin A
Variabel
Status Gizi
Total
Kurus
Normal
Status vitamin A
Kurang
Rendah
n
%
n
%
1
3.2
1
3.2
12
38.8
17
54.8
13
42.0
18
58.0
Total
n
2
29
31
%
6.4
93.6
100.0
p
value
0.819
25
Hasil uji hubungan (lampiran 2) menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan (p>0.05) antara status vitamin A dengan status gizi
(p=0.819). Hal ini diduga karena masih banyaknya anak dengan status vitamin A
dibawah normal (kurang dan cukup) memiliki status gizi normal. Rendahnya
status vitamin A anak SD dipengaruhi oleh beberapa faktor yang salah satunya
adalah faktor penyakit (infeksi) (Almatsier 2011). Dillon et al. (2010)
menunjukkan bahwa penyakit infeksi yang diderita anak yang mengikuti
penelitian, dapat menurunkan status vitamin A (Dillon et al. 2010). Hasil
penelitian Hadi et al. (2010) menunjukkan bahwa status vitamin A dipengaruhi
oleh berbagai faktor, salah satunya adalah usia anak.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Anak SD dalam penelitian ini merupakan siswa-siswi aktif Sekolah Dasar
Negeri Angsana I dan Angsana II kelas 2 dan 3. Jumlah keseluruhan anak SD
tersebut adalah 31 orang, terdiri dari 16 anak (51.6%) anak perempuan dan 15
anak (48.4%) anak laki-laki. Hampir seluruh orang tua dari anak SD, baik ayah
(83.9%) maupun ibu (87.1%) memiliki tingkat pendidikan terakhir yaitu Sekolah
Dasar (SD). Pekerjaan sebagian besar orang tua dari anak SD yaitu buruh tani
untuk ayah (54.8%) dan ibu rumah tangga untuk ibu (77.4%). Sebagian besar
keluarga dari anak SD (74.2%) memiliki pendapatan keluarga dengan kategori
rendah. Kondisi sosial ekonomi keluarga dari anak SD lebih dari separuh
termasuk dalam kategori miskin.
Persentase terbesar tingkat kecukupan energi anak SD secara keseluruhan
berada pada kategori normal (41.9%). Secara keseluruhan, persentase terbesar
anak SD berada pada kategori tingkat kecukupan protein dengan kategori defisit
berat (38.6%). Lebih dari separuh anak SD memiliki tingkat kecukupan vitamin A
dengan kategori cukup (54.8%). Penilaian status gizi berdasarkan IMT/U
menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki status gizi normal
(93.5%). Lebih dari separuh anak SD (58.1%) memiliki status vitamin A dengan
kategori rendah. Morbiditas diketahui berdasarkan penyakit infeksi yang diderita
anak dan lama sakit melalui wawancara langsung pada anak dan ibu. Lebih dari
separuh anak SD memiliki angka morbiditas pada kategori rendah, yaitu 18 anak
(58.1%). Penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara
tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi, tingkat kecukupan
vitamin A dengan status vitamin A dan status vitamin A dengan status gizi.
Saran
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah recall 2x24
jam. Metode ini memiliki kelemahan, yaitu kurang menggambarkan konsumsi
pangan responden. Hal ini disebabkan karena metode recall mengandalkan daya
26
ingat seseorang. Oleh karena itu, sebaiknya dalam penelitian konsumsi pangan
selanjutnya dilakukan pendampingan oleh orang tua dalam melakukan recall agar
dapat mengurangi kelemahan dari metode ini. Selain itu, disarankan juga kepada
pemerintah dan keluarga agar lebih meningkatkan kualitas asupan pangan yang
beragam demi terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Agrawal S, Agrawal PK. 2013. Vitamin A supplementation among children in
India: Does their socioeconomic status and the economic and social
development status of their state of residence make a difference?:
International Journal of Medicine and Public Health 3(2):48-52.
Alatas SSS.2011.Status Gizi anak Usia Sekolah dan Hubungannya dengan
Tingkat Asupan Kalsium Harian di Yayasan Kampungkids Pejaten Jakarta
Selatan tahun 2009.[SKRIPSI]:Universitas Indonesia
Almatsier S.2006.Hidup Sehat Gizi Seimbang dalam Siklus Kehidupan Manusia.
Jakarta (ID): PT Primmamedia Pustaka Utama.
Almatsier S, Soetardjo S, Soekatri M.2011.Gizi Seimbang Dalam Daur
Kehidupan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Arnelia. 2011. Karakteristik remaja dengan riwayat gizi buruk dan pendek pada
usia dini: Jurnal Gizi dan Pangan 6(1): 42-50.
[BPS] Badan Pusat Statistik.2008. Hasil survei sosial ekonomi nasional tahun
2008. Jakarta: BPS
.2013. Statistik Years Book of Indonesia.
Briawan S, et al.2007.Efikasi Suplemen Besi-Multivitamin untuk perbaikan
Status Besi Remaja Wanita. Gizi Indonesia 30(1):36-46
De Onis, Mercedes et al.2007.Development of a WHO growth reference for
school-aged children and adolescents. Bulletin of the World Health
Organization 2007;85:660–667
[Depkes] Departemen Kesehatan. 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang
Dewasa. Jakarta
.2007. Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Depkes RI
Dillon D et al.2010. The Application of Correcion Factors on Serum Retinol of
Indonesia
School
Children.
http://mji.ui.ac.id/journal/index.php/mji/article/download/417/409
19(4):258-263.
Gibson RS. 2005. Principal of Nutritional Assessment. Newyork: Oxford
University Press.
Gusthianza J.2010. Studi Efikasi Pemberian Mi Instan Yang Diperkaya Red Palm
Oil (Rpo) Terhadap Peningkatan Kadar Retinol Serum Dan Respon Imun
Anak Sekolah Dasar Usia 7-9 Tahun. [SKRIPSI] Institut Pertanian Bogor
Hadi H et al.2010.Vitamin A supplementation selectively improves the linear
growth of Indonesian preschool children: results from a randomized
controlled trial: American Journal of Clinical Nutrition 71:507-5013
27
Hidayati RN. 2010. Hubungan asupan makanan anak dan status ekonomi keluarga
dengan status gizi anak usia sekolah di Kelurahan Tuhu Kecamatan
Cimanggis Kota Depok [terhubung berkala] ejournal.stikesppni.ac.id/article/9/1/article.pdf (24 Februari 2014).
Kapil U, Sachdev HPS. 2013. Massive dose vitamin A programme in India-Need
for a targeted approach: Indian Journal Medical Research 138:411-417.
Conroy K, Sandel M, Zuckerman B.2010.Poverty grown up: How childhood
socioeconomic status impact adult health: Journal of Development
Behaviour Pediatric 31(2):154-160
Khasanah N.2003. Hubungan status protein, besi, seng, vitamin A, folat dan
anthropometri ibu hamil trimester II dengan bayi berat lahir rendah
[TESIS].
[terhubung
berkala]
http://eprints.undip.ac.id/14809/1/2003MIB2155.pdf (14 Mei 2014)
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Keputusan Menkes RI, tentang Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.
Lee, Robert D dan Nieman D C.1996. Nutritional Assessment, ed 2 di dalam
[Buku] Almatsier S. 2011. Gizi seimbang dalam daur kehidupan. Jakarta:PT
Gramedia Pustaka Umum
Masturoh A.2012.Hubungan tingkat kecukupan konsumsi dan status kesehatan
terhadap status gizi santri putri di dua pondok pesantren modern di
Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor:Institut Pertanian Bogor
Moshki M, Bahrami M. 2012. Food consumption behavior among elementary
students of Gonabad: Zahedan Journal of Research in Medical Sciences
15(3): 65-67.
Mustamin H.2013. Faktor-Faktor Pengaruh Tingkat Pendidikan Anak di
Pemukiman Kumuh Kota Makassar. Jurnal Lentera Pendidikan 16
(2):151-165.
Natalia LD, Rahayuning D, Fatimah S.2013.Hubungan ketahanan pangan tingkat
keluarga dan tingkat kecukupan zat gizi dengan status gizi batita di Desa
Gondangwinangun Tahun 2012: Jurnal Kesehatan Masyarakat 2013 2(2):
1-19.
Nix S. 2005. William’s Basic Nutrition & Diet Theraphy. China: Mosby Inc.
Permaesih D.2008.Penilaian status vitamin A secara biokimia: Gizi Indonesia
31(2):92-97
Puspitarini DO.2013. Homeschooling sebagai alternatif pembelajaran. Jurnal
Ilmiah Teknologi Pendidikan.
Prista A et al.2003. Anthropometric indicators of nutritional status: Implications
for fitness, activity, and health in school-age children and adolescents from
Maputo, Mozambique: American Society for Clinical Nutrition 77:952959.
Rahman MM, et al. 2004. Short-term supplementation with zinc and vitamin A
has no significant effect on the growth of undernourished Bangladeshi
children: American Journal of Clinical Nutrition 75:87-91.
Saputra W, Nurrizka RH. 2012. Faktor demografi dan risiko gizi buruk dan gizi
kurang: Makara Kesehatan 16(2):95-101.
28
Sommer A.2008.Vitamin A deficiency and clinical disease: An historical
overview: Journal of Nutrition 1835-1839.
Sugiyono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung (ID): CV Alfabeta.
Suranadi L, Chandradewi AASP.2008.studi tentang karakteristik keluarga dan
pola asuh pada balita gizi kurang dan gizi buruk di Kabupaten Lombok
Barat: Jurnal Kesehatan Prima 2(2):296-303.
Suryawati C. 2005. Memahami kemiskinan secara multidimensional: Jurnal
Manajemen Pelayanan Kesehatan 8(3)121-129.
Susanti N.2012.Efektifitas Kompres Dingin dan Hangat pada Penatalaksanaan
Demam. Saintis 1(1)55-64.
Susilowati H. 2007. Masalah Kurang Vitamin A dan prospek penanggulangannya.
Media Litbang Kesehatan 17(4)
West K. dan Ian Darnton-Hill. 2002. Extent of Vitamin A Deficiency Among
Preschool Children and Women of Reproductive Age. J. Nutr. 132: 2857S–
2866S.
Widyastuti N.2006. Akurasi food recall dan food record dalam akurasi Simplified
Dietasi Assessment (SDA) pada anak usia sekolah untuk identifikasi resiko
kurang vitamin A: Jurnal Penyuluhan Pertanian 2(1) 112-123.
Williams LK, Veitch J, Ball K. 2011. What helps children eat well? A qualitative
exploration of resilience among disadvantaged families: Health Education
Center 26(2):296-307.
West K, Ian DH. 2002. Extent of vitamin A deficiency among preschool children
and women of reproductiveage. J.Nutr. 132:2857S-2866S.
Zeba A et al.2006.The positive impact of red palm oil in school meals on vitamin
A status: study in Burkina Faso: Nutrition Journal 5:17-26.
Zimmerman MB, Biebinger R, Rohner F et al.2006.Vitamin A supplementation in
children with poor vitamin A and iron status increase erythropoletin and
concentrations without canging total body iron: The American Journal Of
Clinical Nutrition 84:580-586.
29
LAMPIRAN
Lampiran 2 Dokumentasi
Foto Sekolah Dasar Negeri Angsana I
Foto Sekolah Dasar Negeri Angsana II
Foto anak-anak SDN Angsana I
Foto anak-anak SDN Angsana II
30
Lampiran 2 Uji hubungan
Tabel 1 Uji hubungan tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi
Status Gizi
Tingkat
Tingkat
kecukupan kecukupan
energi
Korelasi
1,000
,139
,023
.
,457
,901
31
31
31
korelasi koefisien
,139
1,000
,868**
Sig. (2-tailed)
,457
.
,000
31
31
31
,023
,868**
1,000
,901
,000
.
31
31
31
Coefficient
Status gizi
Sig. (2-tailed)
N
Tingkat
Spearman's
kecukupan
rho
energi
N
Correlation
Tingkat
Coefficient
kecukupan
Sig. (2-tailed)
protein
protein
N
Tabel 2 Uji hubungan tingkat kecukupan vitamin A dengan status vitamin A
Tingkat
Status
kecukupan
vitamin A
vitamin A
Tingkat
Pearson Correlation
1
kecukupan Sig. (2-tailed)
vitamin A
N
Pearson Correlation
Status
Vitamin A
Sig. (2-tailed)
N
-,185
,320
31
31
-,185
1
,320
31
31
Tabel 3 Uji hubungan status gizi dengan status vitamin A
Status Gizi
Correlation Coefficient
Status Gizi
Sig. (2-tailed)
N
Status vitamin A
1,000
,043
.
,819
31
31
,043
1,000
,819
.
31
31
Spearman's rho
Correlation Coefficient
Status vitamin A Sig. (2-tailed)
N
31
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Majalengka pada tanggal 13 November 1991 dari
pasangan H. Hasan Kuswara Bscf dan Hj. Eti Puspitasari. Penulis merupakan
putra pertama dari tiga bersaudara. Penulis memiliki 2 orang adik yang bernama
Bugi Kurniadi dan Cintari Nurnajmi. Awal pendidikan penulis dimulai dari
Taman Kanak–kanak RA Al-Amanah di Bandung tahun 1996–1997, kemudian
melanjutkan sekolah dasar di SD Islam Al-Amanah di Bandung pada tahun 1997–
2003. Tahun 2003–2009 penulis menduduki pendidikan di bangku SMP dan
SMA. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 8 Bandung dan lulus seleksi
masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima di Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.
Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif di organisasi yaitu klub
Gizi Olahraga 2010-2012. Penulis juga aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan,
seminar, dan pelatihan. Pada bulan Juli-Agustus 2012 penulis melaksanakan
Kuliah Kerja Profesi di Desa Igirklanceng, Kecamatan Sirampog Kabupaten
Brebes dan pada Maret 2013 penulis mengikuti Internship Dietetik (ID) di RSUD
Ciawi.
Download