BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hubungan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Hubungan antara agama dan persoalan sosial memang menjadi fenomena
tersendiri pada era globalisasi saat ini. Konsep beragama pada awalnya memang
masih terbatas hanya hubungan manusia dengan kekuatan supranatural sebab
belum menjadi pedoman dalam perilaku sehari-hari. Agama seolah terpisah
dengan perilaku manusia. Namun saat ini, peranan agama dalam dalam kehidupan
sosial, terkait erat dengan perkembangan pola pikir manusia, sehingga agama juga
memainkan peran yang sangat besar dalam proses perubahan sosial di masyarakat.
Untuk itu agama juga berperan dalam menguatkan kelompok sosial, memelihara
solidaritas sosial, sumber kebudayaan, moralitas dan perubahan sosial.
(Durkheim, 1949:87).
Budha Tzu Chi yang merupakan organisasi masyarakat yang berbasis pada
ajaran-ajaran agama Budha menempatkan peran dan kedudukannya bahwa agama
juga turut andil dalam memperbaiki kehidupan sosial masyarakat. Sejak didirikan
pada tanggal 16 Mei 1966, oleh seorang biksuni yang bernama Master Chen Yen
di Taiwan, organiasi ini telah mengalami perkembangan pesat menjadi organisasi
internasional yang menebarkan misi sosial dan kemanusiaannya di 52 negara dan
menjadi penanda kebangkitan agama Budha. Di Indonesia organisasi ini awal
masuknya dimulai pada tahun 1993 dibawa oleh seorang relawan yang bernama
Liang Cheung. Dalam gerakan kemanusiaannya, Budha Tzu Chi memiliki visi
untuk menolong makhluk yang menderita, menciptakan bersama masyarakat yang
penuh cinta kasih serta misinya terdiri dari
misi amal, kesehatan, budaya
xix
Universitas Sumatera Utara
kemanusiaan dan pendidikan tanpa membedakan agama, suku dan ras (Tzu Chi,
2013:10)
Kota Medan sendiri, Budha Tzu Chi dipimpin oleh Mujianto dan memiliki
beberapa bidang, di antaranya Tzu Chi Internasional Medical Associations
(TIMA) yang dipimpin oleh Irwanto Phen dan bidang pengobatan dipimpin oleh
Alice Wicaya. Organisasi Budha Tzu Chi di Kota Medan sudah menjaring ribuan
donatur yang berasal dari kalangan pengusaha sampai ke pedagang kecil dengan
berbagai macam latar belakang agama dan suku. Bantuan sukarela dari para
donatur ini menjadi ujung tombak dalam pengelolaan kegiatan kemanusiaan yang
dikelola oleh yayasan Budha Tzu Chi sendiri dengan melibatkan peran aktif dari
para relawan yang tidak dibayar sedikitpun.
Gerakan Sosial yang dibawa oleh Budha Tzu Chi merupakan gerakan
kemanusiaan yang sifatnya terorganisir demi mewujudkan kepentingan bersama.
Budha Tzuchi memiliki dua peran yakni dalam hubungannya dengan keagamaan
dan yang berkaitan dengan gerakan sosial kemanusiaan bersikap inkslusif, artinya
para anggota juga dapat berpartisipasi dengan organiasi atau lembaga keagamaan
lainnya yang bukan Budhis. Gagasan global kemanusiaan menjadi titik acuan baru
untuk perbandingan, evaluasi, dan perubahan realitas sosial (Tan, 2008:15).
Dengan kata lain, spiritualisme kemanusiaan dapat menjelaskan mengapa agama
terlibat dalam masyarakat dan upaya kemanusiaan untuk membawa perubahan
sosial yang lebih baik. Gerakan-gerakan sosial keagamaan telah memberi
kontribusi pada agama agama dan spiritualitas di dunia yang paling kekinian
dalam dunia demokrasi (Wilson dalam Tan, 2008:21).
xx
Universitas Sumatera Utara
Dalam perspektif sosiologis, agama bukan hanya dipandang sebagai
sesuatu yang bersifat dogmatis ideologis yang bersifat abstrak, tetapi muncul
dalam bentuk-bentuk material, yakni dalam kehidupan sehari-hari. Pada konteks
inilah, agama dipandang sebagai bagian dari kebudayaan. Identitas-identitas
keagamaan bahkan biasanya lebih mudah ketika dimaterialisasi melalui cara
berpikir, cara bertindak dan berperilaku. Dengan kata lain, agama dalam konteks
ini adalah praktik keagamaan bukan hanya doktrin keagamaan. Dalam perspektif
ini, agama adalah tentang cara bagaimana seseorang menjalankan agamanya. Pada
konteks ini, semua agama termasuk Budha di dalamnya adalah sesuatu yang
bersifat kongkrit. Ideologi dapat dimaterialisasi kedalam bentuk-bentuk tertentu
yang kongkrit (Laughey, 2007:60).
Cara beragama seseorang menjadi sesuatu yang bersifat kultural. Di sisi
lain, privatisasi yang dialami oleh agama telah menyebabkan agama kehilangan
peran di tingkat publik. Agama menjadi sesuatu yang sangat privasi dan mulai
kehilangan kekuatannya, dalam mempengaruhi publik pada masyarakat modern.
(Beyer, 1997:373). Cara beragama masyarakat modern hanya terbatas pada halhal yang bersifat ibadah individual, dimana agama berperan hanya sebagai
pemenuh kebutuhan spiritual belaka, tidak lagi kebutuhan sosial dan bersifat
individual, bukan publik.
Dengan kata lain, modernisasi dan globalisasi telah melakukan reduksi
pada makna agama yang pernah dipahami sebelumnya. Agama bukan lagi sistem
nilai dan norma yang melingkupi aspek-aspek kehidupan manusia, melainkan
salah satu alternatif norma yang bersifat optional. Salah satu implikasi yang
xxi
Universitas Sumatera Utara
kemudian muncul, adalah penyempitan makna agama terbatas pada hal-hal yang
bersifat ritual saja.
Pada persepektif yang lain, agama juga menjadikan sumber-sumber
ajarannya menjadi nilai-nilai yang universal dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, hal ini ditandai dengan adanya pertemuan Dewan Parlemen AgamaAgama Dunia (Parliament of the world‟s Religions) Pada tanggal 28 Agustus
hingga 4 September 1993 silam di Kota Chicago Amerika Serikat yang jumlah
peserta lebih dari 6.500 orang dari berbagai komunitas agama dunia. Pertemuan
itu berhasil mendeklarasikan sebuah piagam yang disebut “Declaration Toward a
Global Ethic ” yang merupakan sebuah konsensus dasar yang terkait dengan nilainilai yang mengikat, standar-standar yang tidak dapat diganggu gugat, serta sikap
dalam menghadapi berbagai masalah dan ancaman global.
Deklarasi komunitas agama sedunia tersebut mendeklarasikan beberapa
hal, yaitu pertama, kesadaran akan saling ketergantungan antara manusia dengan
sesamanya dan manusia dengan lingkungannya. Kedua, komitmen untuk
menghormati kehidupan dan martabat, individualitas dan keragaman, sehingga
setiap orang diperlakukan secara manusiawi dan setara tanpa kecuali. Ketiga,
panggilan untuk mengikatkan diri pada budaya tanpa kekerasan, penghormatan,
keadilan, dan perdamaian. Keempat, komitmen untuk berjuang bagi terwujudnya
sebuah tatanan sosial dan ekonomi yang adil, dimana setiap orang mempunyai
kesempatan yang sama untuk meraih potensi yang optimal sebagai manusia
(Kung, 1995)
Dengan etika global tersebut diharapkan terjadinya perkembangan ilmu
pengetahuan yang bersanding dengan kebijakan, penerapan teknologi yang
xxii
Universitas Sumatera Utara
didasari oleh kekuatan spiritual, kemajuan industri yang dibarengi dengan
perlindungan ekologi, dinamika demokrasi yang dilandasi moral, dan terciptanya
masyarakat multi-kultural religius dengan menjunjung semangat persaudaraan.
Dengan demikian globalisasi dan agama memang tidak dapat dipisahkan, baik
secara historis maupun ideologis, maka agama akan selalu ada di balik setiap
proses dan peristiwa sosial di era manapun termasuk di era globalisasi ini. Bahkan
disinyalir bahwa globalisasi adalah misi agama itu sendiri. Oleh sebab itu adalah
relevan membicarakan globalisasi dalam hubungan dengan agama sebagai suatu
keharusan untuk meminta pertanggungjawaban moral, etika dan spiritual dari
berbagai agama tentang ragam persoalan kemanusiaan dan lingkungan alam yang
terjadi dewasa ini. (Kung & Kuschel: 1999).
Agama atau kepercayaan yang ada di dunia pada era globalisasi ini
memperkuat kedudukan umat beragama untuk saling menghormati dan
menciptakan perdamaian di dunia. Budha Tzu Chi sebagai organisasi sosial yang
berasal dari ajaran-ajaran Budha kian menunjukkan bahwa agama tidak hanya
berkaitan antara manusia dengan Maha kuasa, namun berfungsi secara sosial
dengan berbagai misi dan visi yang diciptakan melalui sebuah wadah organisasi.
Konteks sosial keagamaan, globalisasi melahirkan masyarakat polisentris
yang multi-kultural dan multi-religius, suatu istilah yang menunjuk pada
tersedianya ruang publik yang lapang bagi keberadaan ragam identitas sosial
seperti budaya, agama, ras, dan gender dalam proses interaksi yang setara dan
kooperatif. Dalam konteks ini, globalisasi seolah membuka jalan bagi terciptanya
keadilan, demokrasi, perdamaian, integritas, persaudaraan, dan persahabatan di
dalam perbedaan. Walter (dalam Ritzer, 2005:588), mengatakan bahwa globalisasi
xxiii
Universitas Sumatera Utara
yang datang bersamaan dengan kapitalisme ini telah membawa kekuatan baru
yang menghapus otoritas agama, politik, militer, dan sumber kekuatan lainnya.
Karena kenyataannya gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi baru yang
bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilainilai kebudayan barat, seperti hak asasi manusia, demokrasi, feminisme,
liberalisme, sekularisme dan pluralisme. Namun demikian, dibelahan dunia lain
tengah terjadi resistensi terhadap arus dan paham globalisasi, ditandai dengan
tumbuhnya semangat dan sikap tidak toleran, yakni munculnya pelbagai
komunitas primordial yang justru mempertebal kesadaran subjektif universalistik
dan eksklusifisme yang radikal. Karena itu tidak jarang masyarakat mengalami
konflik terbuka atas nama identitas primordial seperti agama yang menjadi tidak
toleransi.
Globalisasi dengan visi multi-kultural dan multi-religiusnya adakalanya
dianggap dapat mengancam pelbagai identitas lokal dan primordial. Tidak sedikit
orang yang mengalami krisis identitas dan kehilangan orientasi nilai-nilai moral,
etika, dan spiritual. Dalam konteks ini muncul peluang bagi lahirnya gerakangerakan keagamaan baru terbuka dengan lapang. Sistem kepercayaan dan
komunitas iman yang lama dapat ditanggalkan dan kemudian berpaling pada
agama-agama modern yang bersifat mistik personalistik atau sebaliknya
rasionalistik materialistik. Kedua kategori agama modern ini bersifat artifisial dan
menjauhkan manusia dari eksistensi dan transendensi dirinya.
Globalisasi telah membuat manusia terancam oleh bahaya kehilangan
banyak kualitas penting, dimana manusia dapat terlempar ke dalam kekosongan
tidak bermakna dan menjadi makhluk asing bagi dirinya dan bagi lingkungannya
xxiv
Universitas Sumatera Utara
(Griffin, 30:2005). Munculnya fenomena gerakan sosial keagamaan pada era
globalisasi, dalam beberapa aspek, menempatkan manusia yang beragama
mengalami keterasingan dengan dirinya dan ruang sosialnya, pada sisi yang
berbeda
agama
melahirkan
gerakan-gerakan
agama
yang
cenderung
fundamentalis, radikal dan intoleran terhadap pemeluk agama lain, dan pada sisi
yang lain, agama justru menumbuhkan spiritualisme baru terhadap pemeluknya
dan juga memainkan perannya bahwa agama juga berperan sebagai agen
perubahaan sosial dan menjadi benteng pertahanan menghadapi anomie
(kericuhan) sepanjang sejarah manusia (Berger dalam Scarf, 2004:114).
Penelitan sebelumnya, Tan Shiling (2008), mengemukakan tentang
popularitas dan daya tarik Tzu Chi untuk memperhitungkan pertumbuhannya di
Singapura. Dalam penelitian tersebut, keberhasilan Tzu Chi berkembang di
Singapura karena Tzu Chi memiliki ciri khas, yakni menarik para relawan yang
berasal dari multi agama dan multi etnis. Misalnya, seorang Hindu dapat terus
menyembah dewa, seorang Katolik bisa pergi ke gereja tetapi keduanya dapat
diterima dalam Tzu Chi sebagai non anggota Budha.
Hal ini menimbulkan berbagai keanggotaan Tzu Chi. Hal ini dapat
menjangkau basis yang luas dari keanggotaan melalui struktur yang mapan dan
menyediakan berbagai layanan dan kegiatan untuk non anggota untuk berinteraksi
dan belajar tentang Tzu Chi. Dengan strategi rekrutmen yang efektif dan proses
sosial untuk mempertahankan anggota baru ke dalam kelompok, Tzu Chi
menekankan pada tindakan berorientasi pendekatan pemahaman agama. Karena
anggota menikmati kebebasan untuk memilih, hal ini membantu mengatasi
xxv
Universitas Sumatera Utara
hambatan agama bagi anggota yang berbagi pandangan dunia yang berbeda dari
Budhisme.
Dalam studi ini pada Tzu Chi, Tan telah meneliti popularitas dan
pertumbuhan Budha Tzu Chi di Singapura. Adapun yang menjadi persamaan
dalam penelitan tersebut dengan peneliti yakni sama-sama menggunakan
pendekatan sosiologi agama dengan metode penelitian kualitatif dimana, Tan
meneliti bagaimana Budha Tzu Chi di Singapura menjadi kian populer karena
sistem interaksi dan keanggotaannya tidak dibatasi oleh orang-orang yang
beragama Budha saja, melainkan dari berbagai agama, suku dan budaya dengan
menekankan prinsip kemanusiaan.
Begitu juga dengan halnya di Kota Medan, organisasi Budha Tzu Chi juga
menjalankan gerakan sosialnya melalui program-program kemanusiaan dalam
kehidupan masyarakat Kota Medan yang heterogen. Meskipun Budha Tzu Chi
diisi oleh orang-orang yang mayoritas Budha dan etnis Tionghoa, namun ranah
kemanusiaan menjadikan mereka bersaudara untuk sama- sama saling membantu,
pujian dan penghargaan atas kerja kemanusiaan yang dilakukan oleh Budha Tzu
Chi Kota Medan diberikan oleh pemerintah propinsi Sumut khususnya
Pemerintah Kota Medan yang penduduknya multikultural.
Perbedaannya, Tan tidak menjelaskan secara spesifik tentang gerakan
sosial yang dibangun oleh pendiri Budha Tzu Chi itu sendiri, yakni Master Cheng
Yen yang menjadi ideologi atau ruh gerakan Budha Tzu Chi itu. Tan hanya
melihat sistem sosial yang dibangun oleh para anggota untuk menjadi daya tarik
atau simpati bergabung di Budha Tzu Chi. Maka dari itu penelitian terdahulu
xxvi
Universitas Sumatera Utara
dijadikan referensi untuk menganalis gerakan organisasi Budha Tzu Chi di Kota
Medan.
Uraian latar belakang ini, peneliti tertarik untuk membahas lebih jauh
tentang konsepsi gerakan sosial keagamaan Budha Tzu Chi sebagai organiasi
keagamaan yang membawa misi kemanusiaan bagi pengikutnya dan masyarakat
luas khususnya dalam era globalisasi saat ini.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah seperti apa gerakan sosial-keagamaan yang dibangun dalam
organisasi Budha Tzu Chi di Medan Sumatera Utara.
Rumusan tersebut diuraikan dalam pertanyaan penelitian besar sebagai
berikut :
1.
Bagaimana kedudukan organisasi Tzu Chi dalam agama Budha?
2.
Bagaimana gerakan sosial dan keagamaan Budha Tzu Chi di Kota Medan?
1.3.
Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini yang berdasarkan pada
rumusan masalah antara lain :
1.
Menjelaskan tentang kedudukan organisasi Tzu Chi dalam agama Budha
2.
Menjelaskan konsep gerakan sosial - keagamaan yang dibangun oleh
organisasi Budha Tzu Chi.
xxvii
Universitas Sumatera Utara
1.4.
Manfaat penelitian
1.
Secara teoritis

Kajian ilmu sosiologi untuk melihat fenomena keagamaan melalui
organisasi Budha Tzu Chi.

Menjadi referensi atau sumber penelitian ilmiah bagi peneliti ilmu
sosiologi khususnya pada kajian sosiologi agama.

Menambah wawasan pemikiran pada pengembangan ilmu sosiologi
khususnya dalam pengembangan konsep-konsep kajian sosiologi agama.
2.
Secara praktis, penelitian ini menjadi sumbangan pemikiran untuk
pemerintah Indonesia khususnya Kota Medan tentang eksistensi masyarakat
beragama khususnya Budha Tzu Chi yang menjadi pelopor kemanusiaan dalam
bidang sosial yang diantaranya kesehatan, pendidikan, lingkungan dan budaya.
xxviii
Universitas Sumatera Utara
Download