TEORI RELEVANSI Teori relevansi dikemukakan

advertisement
TEORI RELEVANSI
Teori relevansi dikemukakan oleh Sperber dan Wilson dengan dasar pemikiran bahwa
komunikasi bergantung pada kognitif. Keberlangsungan komunikasi berjalan seiring dengan
bagaimana prinsip relevansi ini dimanfaatkan. Komponen komunikasi dalam prinsip
relevansi ini sesungguhnya merupakan pemampatan dari keempat prinsip kerjasama Grice ke
dalam satu prinsip. Prinsip tersebut harus dimiliki oleh setiap partisipan percakapan dengan
berasumsi bahwa penutur lain telah berusaha bersikap serelevan mungkin. Asumsi ini pun
kemudian diharapkan dapat mendapatkan implikasi yang sebesar-besarnya dengan usaha
pemrosesan yang semudah-mudahnya.
Komponen kognitif dari teori relevansi memandang proses kognisi sebagai proses
untuk mendapatkan informasi yang relevan. Yang dimaksud dengan informasi yang relevan,
yakni informasi yang memiliki efek kontekstual terhadap tuturan. Tokoh psikologi, Fodor,
mengemukakan pandangannya tentang proses kognitif sentral yang berjalan seperti proses
konfirmasi ilmiah yang memanfaatkan deduksi. Namun, Sperber dan Wilson berpandangan
bahwa proses pemahaman inferensial tidak dapat berjalan seiring dengan proses teori ilmiah.
Pada dasarnya, Sperber dan Wilson memandang pemahaman inferensial juga tidak jauh dari
pengaruh konsep pembuatan teori ilmiah. Menurut mereka, pemahaman inferensial
merupakan komponen utama dalam interpretasi ujaran. Interpretasi ujaran ini terdiri atas dua
tahapan, yaitu pembentukan dan konfirmasi hipotesis. Salah satu kekuatan yang paling
penting dilakukan untuk revolusi neokognitif adalah sebagai berikut: (1) kegagalan
behaviorisme, (2) munculnya teori komunikasi, (3) linguistik modern, (4) penelitian memori,
dan (5) ilmu komputer dan kemajuan teknologi lainnya (Solso, 1991:16).
Pandangan Sperber dan Wilson tentang relevansi dalam komunikasi ini memang tidak
secara langsung menyatakan keterkaitan langsungnya dengan aliran positivisme, tetapi ciri
teori ini menandakan keterkaitan tersebut. Jika kita kembali melihat sifat-sifat pandangan
positivisme logika, maka kajian ini tidak akan lepas dari pemanfaatan metode sains empiris,
logika, dan matematika. Positivisme hadir sebagai lawan atas pengkajian segala sesuatu
dengan konteks kultural. Hal ini kemudian menjadikan sains begitu penting sebagai jawaban
atas persoalan-persoalan di berbagai bidang. Segala persoalan yang dapat dijawab sesuai
dengan norma sains dianggap bermakna, dan berlaku pula sebaliknya. Terhadap pandangan
ini Putnam mengemukakan teori verifiabilitas makna. Menurutnya jika mengacu pada
pandangan positivisme, maka semua makna kalimat haruslah dapat dibuktikan dengan indera.
Dalam filsafat bahasa, eksternalisme semantik adalah pandangan bahwa makna dari
suatu istilah itu ditentukan (seluruhnya atau sebagian) oleh faktor yang ada di luar
penuturnya. Menurut pandangan ini, seseorang dapat mengklaim tanpa kontradiksi sama
sekali bahwa dua penutur kata ada dalam keadaan otak yang sama, namun makna yang
diungkapkan berbeda. Filsuf Hilary Putnam merangkum gagasan ini dalam kalimat "makna
tidak ada di dalam kepala!”. Teori makna datang untuk menentang teori positivisme logika:
(1) makna dari sebuah istilah atau konsep berbeda sesuai dengan keadaan psokologis tertentu
dan (2)makna dari istilah menentukan ekstensi (Putnam, 1990:135).
Ada tiga tuduhan reduksionisme (teori atau prosedur menyederhanakan gejala yang
kompleks sehingga menjadi tidak kompleks) ilmiah Putnam terhadap positivisme logika yang
berarti juga tuduhan untuk menentang teori relevansi Sperber-Wilson. Pertama, kaidah
eliminasi. Menurut Sperber-Wilson, asumsi diproses melalui deduktif sentral. Misalnya, entri
logika konsep IBU dapat digantikan dengan ORANG TUA PEREMPUAN. Sifat kaidah
eliminasi tidak peka terhadap konteks sehingga sebuah konsep dari asumsi hanya dapat
digantikan oleh seperangkat sifat logika yang tetap. Sifat logika konsep berada dalam
jaringan yang terbatas. Padahal memiliki sebuah konsep menuntut kita untuk menguasai
sejumlah sifat yang tak terbatas. Sebuah konsep dapat berubah dipengaruhi oleh kepentingan
yang lebih luas, nilai-nilai dan tujuan yang mempengaruhi struktur konsep. Sperber-Wilson
juga menyampaikan informasi yang bersifat dikotomi. Letak dikotominya adalah jika sebuah
konsep membawa item informasi yang sama maka secara tidak langsung informasi tersebut
menerima bentuk logika maupun ensiklopedi. Teori ini seperti membuat Sperber-Wison
menolak pendapatnya sendiri karena ketika item informasi yang sama menerima bentuk
logika dan ensiklopedi maka landasan yang digunakan Sperber-Wilson menjadi tidak jelas.
Selain itu, tidak ada konsep-konsep yang secara fenomenologis begitu menonjol karena
kemenonjolan suatu konsep berbeda pada konteks yang berbeda. Dapat disimpulkan bahwa
teori relevansi melakukan reduksionis terhadap hubungan kompleks tentang makna.
Kedua, reduksionisme pada deduksi dan pemahaman. Penjelasan ilmiah dalam
positivisme dengan model deduktif monologis hampir serupa dengan pemahaman inferensial
Sperber-Wilson. Dalam deduksi monologis (D-N), sebuah fenomena hanya dapat dijelaskan
dengan benar bila penjelasannya sesuai dengan argumen deduktif. Menurut Sperber-Wilson,
argumen deduktif hanya merupakan sebagian kondisi relevan terhadap suatu fenomena.
Sebuah exsplanandum terpenuhi jika ada kondisi-kondisi anteseden dan hukum umum yang
membentuk exsplanan. Akan tetapi, kondisi-kondisi di luar kedua hal itu berusaha untuk
tidak dihadirkan. Penghilangan kondisi-kondisi ini merupakan cerminan redeksionisme
dalam model penjelasan D-N.
Reduksionisme serupa juga dapat terjadi pada pemahaman inferensial yang
dikemukakan Sperber-Wilson. Pemahaman terhadap ujaran dilakukan melalui deduksi
sentral.
Misalnya:
John akan pergi ke apartemen temannya di
New York.
KONDISI ANTESEDEN
Atau John akan tinggal bersama saudara
perempuannya di Connecticut.
EXSPLANAN
Selagi menunggu kedatangan seorang
teman di stasiun kereta api, Tom sepintas
melihat John naik kereta 1800 ke New
York.
John tidak akan menghabiskan akhir
pekannya bersama saudara perempuannya
di Connecticut.
HUKUM UMUM
EXSPLANANDUM
Akan tetapi, deduksi sentral ini tidak dapat menangkap faktor-faktor lain seperti hari ulang
tahun Bibi Jane, hari ulang tahun yang penting bagi Bibi Jane, dsb, yang relevan dengan
pemahaman terhadap ujaran. Seperti deduksi monologis, deduksi sentral dalam pemahaman
juga membatasi faktor-faktor yang terlibat. Ini merupakan bentuk reduksionalis dalam
penjelasan Sperber-Wilson tentang pemahaman ujaran.
Selain itu, Sperber-Wilson juga mendasarkan penjelasan pemahaman ujaran pada
deduksi yang melibatkan pengembangan teori kognisi dan komunikasi dalam kerangka
psikologi kognitif. Akan tetapi, psikologi kognitif ini tidak muncul dalam pemahaman ujaran
karena tidak ada perangkat deduktif yang mampu menjelaskan semua informasi yang relevan
dengan pemahaman terhadap suatu ujaran. Dengan demikian, penjelasan Sperber-Wilson
tentang pemahaman terhadap ujaran mengalami reduksionisme akar psikologis kognitifnya.
Terdapat kriteri-kriteria dimana sebuah pernyataan dapat bermakna empiris. Kriteriakriteria tersebut adalah: (1) keterujian dan atau dapat keterujian, dimana sebuah kalimat
empiris dapat diuji dan atau dapat dimungkinkan untuk dapat diuji dengan fakta dan data
secara empiris berdasarkan pengalaman empiris, (2) kriteria keterjemahan makna kognitif,
dimana sebuah kalimat yang mempunyai makna kognitif jika dan hanya jika kalimat itu dapat
diterjemahkan ke dalam sebuah bahasa empiris (Parera, 1990:173).
Tuduhan reduksionisme ketiga adalah reduksionisme konfirmasi fungsional. SperberWison berpendapat bahwa asumsi faktual individu dapat mencerminkan ciri realitas.
Kemudian, disusun berbagai sumber daya konsep relevansi yang disebut ‘relevansi terhadap
individu’. Faktor-faktor yang membentuk relevansi informasi yang baru dengan individu
selalu meluas di luar batas dalam jaringan power prediktif. Konsep konfirmasi fungsional
Sperber-Wilson memberikan gambaran yang salah terhadap jaringan besar faktor yang tidak
dapat dipisahkan dari konsep ‘relevansi dengan individu’. Pendapat ini kemudian dibantah
oleh Putnam yang menekankan pada kesalinghubungan antara konsep-konsep. Hubungan
antara konsep-konsep ini tidak dijelaskan dalam konfirmasi fungsional Sperber-Wilson. Ini
merupakan bentuk reduksionisme terhadap konfirmasi fungsional Sperber-Wilson, dimana
konfirmasi fungsional memisahkan konsep ‘relevansi dengan individu’ dari jaringan
konseptual yang lebih luas sehingga merusak praktek bertutur, pengakuan, dan justifikasi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori relevansi yang dikemukakan
Sperber-Wilson ini lebih cenderung menekankan pada ‘rasionalitas’. Rasionalitas cenderung
terlihat tidak lagi bersifat mutlah dan universal melainkan bersifat sementara dan
konvensional saja. Para filsafat bahasa beranggapan bahwa bahasa tidak dapat dikaji dengan
menggunakan pendekatan rasionalitas karena bahasa harus bersifat komunikatif. Selanjutnya,
Putnam mengemukakan beberapa pandangan yang melawan teori relevansi Sperber-Wilson.
Pandangan Putnam disampaikan melalui kritik terhadap reduksionisme teori relevansi.
DAFTAR RUJUKAN
Parera, Jos Daniel. 1990. Teori Semantik. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Putnam, Hilary. 1990. The Meaning of “Meaning”. Cambridge: Cambridge University Press.
Solso, Robert. L, 1991. Cognitive Psychology. America: United States of America.
Download