Kebijakan Moneter

advertisement
Komunikasi dan Efektivitas Kebijakan Moneter Bank Indonesia
Oleh:
Catur Kuat Purnomo1
Pendahuluan
Tiga tahun yang lalu tepatnya pada tahun 2005, terjadi lonjakan inflasi yang cukup tinggi, yaitu
dari angka 9.06% pada bulan September 2005 menjadi 17.89% pada bulan Oktober 2005 dan 18.38%
pada bulan November 2005 (www.bi.go.id). Hal tersebut salah satunya dikarenakan penetapan kenaikan
harga BBM oleh Pemerintah per 1 Oktober 2005, kenaikannya hampir dua kali lipat dari harga
sebelumnya sehingga menyebabkan multiplier effect yang luar biasa bagi kondisi perekonomian bangsa
pada saat itu, meskipun tidak separah rush seperti krisis ekonomi yang pernah terjadi di negara kita pada
tahun 1997.
Dengan melonjaknya tingkat inflasi yang cukup tinggi pada saat itu ternyata tidak hanya
berpengaruh pada faktor produksi di sektor riil, akan tetapi juga berpengaruh terhadap kinerja keuangan
di sektor keuangan. Untuk menekan laju inflasi tersebut, kemudian Bank Indonesia menaikkan tingkat
suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 11% pada tanggal 4 Oktober 2005 dan 12.25% pada
tanggal 1 November 2005, akan tetapi hal itu justru membuat banyak pihak yang berkepentingan pada
sektor keuangan merasa khawatir terhadap kondisi perekonomian bangsa.
Ilustrasi kondisi diatas menggambarkan kondisi makroekonomi nasional yang tidak stabil dengan
indikatornya yaitu inflasi yang cukup tinggi. Meskipun beberapa bulan kemudian inflasi dapat
dikendalikan, namun kondisi tersebut menyebabkan sebagian besar masyarakat di negeri ini khawatir
akan terjadinya krisis ekonomi, mengapa inflasi itu dapat melonjak cukup tinggi hanya dengan kenaikan
harga BBM?, dan sebenarnya siapa yang menjadi pengendali perekonomian dan yang bertanggungjawab
terhadap tingginya inflasi pada saat itu. Karena bersamaan dengan peristiwa tersebut, terjadi pula capital
flight/ cash outflow, aliran dana cukup besar dari dalam negeri keluar negeri, dan bagi sebagian kalangan
investor yang bermodal besar bisa mendapatkan keuntungan berlipat atas peristiwa tersebut.
Sebenarnya yang bertanggungjawab terhadap tingginya inflasi pada saat itu adalah Bank
Indonesia, meskipun hal itu memang merupakan dampak atau efek domino atas kebijakan Pemerintah
untuk menaikkan harga BBM. Karena sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa tujuan Bank Indonesia
adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7). Indikator dari kestabilan nilai rupiah
tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar yang terjadi sehingga amanat tersebut memberikan kejelasan
peran bank sentral dalam perekonomian, salah satunya yaitu menekan laju inflasi yang mendukung
pertumbuhan ekonomi.
1
Alumnus Magister Manajemen UGM
Dengan adanya kebijakan Pemerintah tentang kenaikan harga BBM yang merupakan faktor
penyebab inflasi administered prices pada saat itu, seharusnya Bank Indonesia selaku institusi vital yang
menetapkan kebijakan moneter segera melakukan antisipasi tindakan strategis dan taktis operasional
untuk membendung adanya tekanan inflasi yang cukup tinggi sehingga para pelaku ekonomi dan pelaku
pasar tidak perlu panik dan khawatir dengan terjadinya penarikan dana besar-besaran di sebagian besar
lembaga keuangan baik bank maupun non bank.
Komunikasi dan Efektivitas
Dari fakta diatas menunjukkan bahwa peran Bank Sentral dalam mengendalikan inflasi sangatlah
penting, untuk itu diperlukan strategi komunikasi yang efektif dari pihak Bank Indonesia terutama dalam
penentuan sasaran inflasi dimasa yang akan datang. Para pemangku kepentingan di sektor keuangan
sangat membutuhkan kepastian akan kondisi perekonomian makro sebagai dasar untuk menjalankan
segala aktivitasnya, terutama dalam mengelola administered prices, volatile foods, dan pengaruh
langsung nilai tukar (direct exchange rate pass-through).
Bank Indonesia telah menerapkan strategi komunikasi yang lebih transparan dalam pengelolaan
ekspektasi inflasi. Strategi ini memang cukup efektif untuk diterapkan mengingat perilaku ekspektasi
inflasi di Indonesia sangat bersifat adaptif, dalam arti lebih ditentukan oleh inflasi yang telah terjadi
(inertia), akan tetapi hal itu belum mendasarkan pada sasaran inflasi yang telah ditetapkan Pemerintah.
Kondisi ini merupakan tantangan bagi Bank Indonesia untuk mengarahkan ekspektasi inflasi yang ada ke
arah sasaran inflasi yang telah ditetapkan tentunya dengan mempertimbangkan dampak positifnya
terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, strategi komunikasi yang masih perlu diperkuat yaitu penjelasan Dewan Gubernur,
publikasi media cetak dan elektronik/ website, seminar dan forum diskusi yang melibatkan Bank
Indonesia, pelaku pasar dan masyarakat yang merasakan langsung dampak inflasi misalnya kalangan
dunia usaha. Sebab strategi komunikasi tersebut dapat dikatakan efektif apabila sosialisasi tentang
penetapan angka sasaran inflasi dapat sampai kepada masyarakat lebih cepat dan akurat ke seluruh
pelosok nusantara bukan hanya melalui jaringan kantor Bank Indonesia yang hanya ada di kota-kota besar
saja. Diharapkan masyarakat yang sudah mengetahui sasaran inflasi yang ditetapkan terlebih dahulu dapat
melakukan tindakan antisipatif terhadap shock perekonomian yang diakibatkan oleh kejutan inflasi
tersebut.
Sebenarnya tujuan utama dari penguatan strategi komunikasi adalah untuk membantu secara
bertahap menurunkan dan mengarahkan ekspektasi inflasi di masyarakat ke sasaran inflasi yang telah
ditetapkan. Namun demikian, ekspektasi inflasi pada masyarakat merupakan gambaran riil dari pelaku
ekonomi dan pelaku pasar. Ada kemungkinan nilai ekspektasi inflasi dan nilai sasaran inflasi yang
ditetapkan Pemerintah memiliki spread yang cukup besar, apabila inflasi riil yang terjadi tidak sesuai
dengan ekspektasi inflasi maupun sasaran inflasi, maka akan terjadi kekecewaan para pelaku pasar yang
2
berakibat tidak stabilnya perekonomian makro. Untuk itu penentuan sasaran inflasi oleh Pemerintah harus
memiliki kajian dan survei pasar yang akurat, disamping itu juga harus tetap mempertimbangkan
ekspektasi inflasi karena besarnya pengaruh ekspektasi inflasi ini merupakan determinan atau faktor
penyebab inflasi.
Kebijakan Moneter
Mulai bulan Juli tahun 2005 Bank Indonesia telah mengimplementasikan kerangka kerja
kebijakan moneter yang baru konsisten dengan Inflation Targeting Framework, yang mencakup empat
elemen mendasar: penggunaan suku bunga BI Rate sebagai sasaran operasional, proses perumusan
kebijakan moneter yang antisipatif, strategi komunikasi yang lebih transparan, dan penguatan koordinasi
kebijakan dengan Pemerintah. Langkah-langkah tersebut ditujukan untuk meningkatkan efektifitas dan
tata kelola (governance) kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhir kestabilan harga untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat.
Sebenarnya dengan mengimplementasikan kerangka kerja kebijakan moneter yang baru tersebut,
seharusnya tingkat inflasi yang cukup tinggi pada bulan November 2005 (18.38%) tidak akan terjadi atau
minimal dapat ditekan hingga satu digit saja. Hal itu dapat terjadi mungkin disebabkan waktu yang ada
cukup singkat (sekitar tiga bulan), yaitu waktu antara implementasi kebijakan kerangka kerja yang baru
saja dimulai dengan keputusan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM hingga dua kali lipat pada saat
itu. Seharusnya kebijakan baru tersebut dilengkapi dengan perangkat peraturan yang lebih strategis dan
taktis operasional yang mengikat para pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan keuangan
sehingga laju inflasi dapat ditekan secara gradual dan antisipatif.
Oleh karena itu, Bank Indonesia perlu meningkatkan strategi dan kemampuannya untuk
mengimplementasikan empat elemen mendasar tersebut sebagai upaya efektifitas kebijakan moneter
terutama pada penggunaan suku bunga BI Rate sebagai sasaran operasional karena BI Rate merupakan
basis pertama dan utama sebagai penekan laju inflasi. Disamping itu juga melakukan asessmen dan
evaluasi berkala terhadap kebijakan moneter yang akan dan telah diambilnya agar kebijakan moneter
tersebut dapat segera dirasakan oleh masyarakat luas tanpa perlu menunggu waktu yang lebih lama lagi di
masa mendatang.
Faktor lain yang dapat digunakan untuk menjaga kestabilan inflasi adalah dukungan sistem
perbankan yang sehat, kuat, dan efisien yaitu konsolidasi perbankan. Saat ini merupakan proses
percepatan konsolidasi perbankan, Bank Indonesia mensyaratkan seluruh bank harus mencapai jumlah
modal minimum (tier 1) sebesar Rp.80 Miliar pada akhir tahun 2007. Kemudian dalam sisa waktu 3
tahun terakhir yaitu sampai dengan tahun 2010, setiap Bank harus memenuhi modal sampai dengan
Rp.100 Miliar. Terkait dengan kebijakan tersebut, Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia
tentang Jumlah Modal Inti Minimum yang telah berlaku sejak tanggal 1 Juli 2005.
3
Kemudian konsep tentang Bank Jangkar yang telah digulirkan diharapkan juga dapat
mempercepat proses konsolidasi perbankan. Konsep tersebut mensyaratkan bahwa Bank harus Berkinerja
Baik (BKB) yaitu bank yang memenuhi kriteria selama 3 tahun terakhir sebagai berikut: (1) Memiliki
modal inti lebih besar dari Rp100 Miliar; (2) Memiliki tingkat kesehatan secara keseluruhan tergolong
sehat (sekurang–kurangnya peringkat komposit 2) dengan faktor manajemen tergolong baik; (3) Memiliki
rasio kewajiban pemenuhan modal minimum (CAR) sebesar 10% (4) Memiliki tata kelola (governance)
dengan rating yang baik. Status BKB tersebut akan dievaluasi oleh Bank Indonesia secara berkala.
Sebagian besar masyarakat berharap proses percepatan konsolidasi perbankan ini segera tercapai
sesuai dengan perencanaan yang telah diatur sehingga tujuan akhir dari kebijakan moneter yaitu
kestabilan harga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan dapat
segera dirasakan oleh semua masyarakat di segala level sosial dan ekonomi.
Penutup
Ketidakpastian terhadap kondisi ekonomi makro di masa mendatang merupakan tantangan besar
bagi setiap masyarakat, kalangan dunia usaha, pelaku ekonomi, pelaku pasar, bahkan bagi negara. Kita
harus optimis terhadap masa depan ekonomi makro yang lebih baik dan kestabilan harga yang lebih
terkendali dengan memiliki keyakinan penuh dalam mengimplementasikan kerangka kerja kebijakan
moneter yang baru konsisten dengan Inflation Targeting Framework, yang mencakup empat elemen
mendasar yaitu penggunaan suku bunga BI Rate sebagai sasaran operasional, proses perumusan kebijakan
moneter yang antisipatif, strategi komunikasi yang lebih transparan, dan penguatan koordinasi kebijakan
dengan Pemerintah ditambah dengan proses percepatan konsolidasi perbankan sampai dengan akhir tahun
2010.
Referensi
Inflation Targeting Framework (ITF) Bank Indonesia
Langkah-langkah Penguatan Kebijakan Moneter dengan Sasaran Akhir Kestabilan Harga
Bank Indonesia. 2005
Publikasi Biro Humas BI No.7/ 69 /PSHM/Humas tanggal 30 Juni 2005
Website BI: www.bi.go.id
4
Download