Jangan Kecanduan Inflasi Oleh : Akhis R. Hutabarat Peneliti Ekonomi Bank Indonesia Ekspektasi inflasi masyarakat dikhawatirkan masih tetap tinggi. Lonjakan inflasi Oktober 2005 hingga mencapai 17,89 persen, menjadi pemicu kenaikan ekspektasi itu. Kini, dengan masih tingginya inflasi bulan lalu dan rencana kenaikan TDL, bisa jadi ekspektasi inflasi enggan beranjak surut. Padahal, selain karena faktor keseimbangan permintaan dan pasokan barang, kurs rupiah, harga barang impor dan kebijakan pemerintah soal harga, ketepatan perkiraan inflasi 2006 sebesar 8 persen ditentukan juga oleh ekspektasi inflasi publik. Ekspektasi inflasi yang membaik dapat membawa prediksi inflasi menjadi kenyataan. Mengapa pelaku ekonomi memelihara ekspektasi inflasi, seolah-olah “berharap” harga barang akan terus naik? Ekspektasi inflasi terbentuk dari perpaduan antara pengalaman dan informasi. Sebagian pelaku ekonomi lebih mendasarkan ekspektasinya pada inflasi periode sebelumnya. Inflasi historis Indonesia yang bertahan tinggi tak lepas dari pengaruh rangkaian peristiwa ekonomi yang menimbulkan inflasi, misalnya kenaikan harga BBM dan depresiasi rupiah. Akibat merasakan inflasi yang tinggi setiap tahun, dapat menimbulkan asa publik bahwa inflasi tinggi akan terus terjadi. Ekspektasi itu akhirnya membentuk perilaku penyesuaian harga yang dianggap ”normal” dalam ekonomi Indonesia. Tabiat asa inflasi seperti ini sebenarnya tidak rasional, karena pelaku pasar seakanakan tidak belajar dari kesalahan. Ketika, misalnya, inflasi menurun selama beberapa tahun terakhir, ekspektasi inflasi tetap lebih tinggi dari inflasi di periode terakhir. Itu bisa tercermin pada cara penetapan harga barang. Contohnya, meskipun persentasi kenaikan biaya produksi berkurang, persentasi kenaikan harga jual tetap meningkat sehingga marjin laba pun kian bertambah. Perilaku seperti itu bisa diibaratkan sebagai ”kecanduan inflasi”. Tatkala inflasi bertahan tinggi, upaya menurunkannya pun menjadi mahal. Mengapa? Karena Bank Indonesia perlu menaikkan suku bunga untuk memperketat likuiditas uang dalam perekonomian. Dengan begitu, permintaan barang dan jasa akan melambat. Tidak hanya itu, daya tarik dan modal untuk membeli valuta asing pun jadi berkurang, sehingga kurs rupiah lebih terjaga. Ujungnya, inflasi bergerak turun. Masalahnya, jika ekspektasi inflasi pelaku pasar begitu kakunya, karena terlalu mengacu pada pengalaman inflasi, suku bunga pun perlu naik tinggi. Tentunya itu akan sangat mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Pola pembentukan ekspektasi inflasi yang ideal tidak terpengaruh sama sekali oleh sejarah inflasi, tetapi sepenuhnya mengacu pada informasi faktor penentu prospek inflasi. Informasi yang lengkap dan terpercaya adalah kunci sukses jenis perilaku ekspektasi inflasi ini. Faktor terpenting ialah kredibilitas kebijakan ekonomi. Jika pelaku ekonomi mempercayai efektivitas kebijakan, upaya menurunkan inflasi pun menjadi tak mahal. Ketika ada kejutan inflasi yang bersifat sementara, misalnya karena bencana alam, masyarakat pun tak perlu menaikkan ekspektasi inflasinya. Pengumuman rencana kebijakan yang kredibel untuk menurunkan inflasi, akan direspon dengan ekspektasi inflasi yang berkurang. Hasil akhirnya, inflasi dapat diturunkan tanpa harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi terlalu besar. 1 Sifat asa inflasi masyarakat kita diperkirakan masih lebih diwarnai faktor pengalaman inflasi. Survei Bank Indonesia mengenai perilaku pembentukan harga 2001 mengindikasikan hal itu. Sekitar 55 persen pedagang dan produsen manufaktur responden survei menentukan asumsi inflasinya berdasarkan inflasi masa lalu. Selebihnya mengacu pada proyeksi inflasi lembagalembaga ekonomi dan target inflasi Bank Indonesia. Studi empiris dengan model-model proyeksi inflasi juga berkata senada, dimana variabel kelembaman inflasi masih mendominasi model perkiraan inflasi. Struktur ekspektasi inflasi secara berangsur harus berubah. Pelaku pasar diharapkan mau belajar mengubah perilaku ekspektasi inflasi dalam menetapkan harga dan menentukan jumlah produksi, penjualan dan pembelian barang. Yakni dengan mengandalkan informasi prospek inflasi, mengedepankan efisiensi kegiatan usaha dan tidak mengambil untung berlebihan. Hal itu perlu didukung oleh keterbukaan informasi dan peningkatan kredibilitas kebijakan ekonomi agar bisa menyajikan informasi yang terpercaya dan tepat waktu. Sejumlah langkah perlu dilakukan Bank Indonesia dan pemerintah. Pertama, memperkuat kemampuan teknis dalam memprediksi kondisi perekonomian. Kedua, menyusun kebijakan ekonomi, misalnya kebijakan suku bunga, pajak, subsidi, produksi dan tata niaga, berbasiskan kajian yang berkualitas dan transparan. Ketiga, mengumumkan kebijakan ekonomi secara jelas dan tepat waktu. Keempat, memperkuat koordinasi antar pembuat kebijakan ekonomi. Terakhir, menerapkan kebijakan secara konsisten dan menghindari ingkar janji kebijakan. Kesungguhan untuk belajar memperbaiki perilaku ekspektasi inflasi dan kredibilitas kebijakan ekonomi, pada dasarnya merupakan cerminan keinginan terbebas dari kecanduan inflasi. Jakarta, 6 Februari 2006 2