BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, khususnya internet, telah mengubah tata kehidupan umat manusia. Sebuah fenomena menarik terjadi di Indonesia, yaitu pemanfaatan cyberspace (website) dan media sosial (Facebook dan Twitter) untuk aktivitas upacara bendera yang dilakukan secara virtual. Kompas.com, 16 Agustus 2011, menulis mengenai upacara bendera virtual dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-66, sebagai berikut: Yuk Ramai-ramai Upacara Bendera di Internet! Tri Wahono | Selasa, 16 Agustus 2011 | 17:44 WIB KOMPAS.com - Tidak sempat hadir di lapangan saat HUT Kemerdekaan RI ke-66, Rabu (17/8/2011) besok, bukan halangan buat Anda untuk mengikuti jalannya upacara bendera. Komunitas ID-Optimis akan menggelar upacara bendera secara virtual yang bisa diikuti semua orang hanya cukup di depan komputer yang tersambung internet (http://tekno.kompas.com/read/2011/08/16/ 17440669/Yuk.Ramai-ramai.Upacara. Bendera.di.Internet). Upacara bendera dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang biasanya dilakukan di lapangan-lapangan terbuka, seperti alun-alun, halaman sekolah, kantor-kantor pemerintahan maupun swasta, kini dapat dilakukan dengan hanya duduk di depan layar komputer 1 yang terhubung dengan internet tanpa harus berpanas-panas datang ke lapangan upacara. Upacara bendera secara virtual tersebut telah dilaksanakan secara berturut-turut setiap tanggal 17 Agustus dari tahun 2010 hingga 2014, di sebuah situs web http://www.id-optimis.org, yang dipandu oleh salah seorang penggerak komunitas anak muda yang menamakan dirinya IDOptimis, melalui akun Twitter @id_optimis. Gambar 1: Halaman Website ID-Optimis http://www.id-optimis.org Persiapan upacara sudah dimulai pada pukul 07.00 pagi WIB, di mana admin akun Twitter @id_optimis siap memandu jalannya upacara dan menyapa kedatangan peserta upacara di http://www.id-optimis.org. Tepat 2 pukul 10.00 WIB petugas upacara mengajak para peserta untuk mengheningkan cipta dengan tanpa mengetik apapun di linimasa Twitter selama 1 (satu) menit untuk mengikuti jalannya detik-detik proklamasi kemerdekaan, yang kemudian diikuti dengan aktivitas upacara lainnya seperti pembacaan teks proklamasi, pembacaan UUD 45, amanat pembina upacara serta pembacaan doa. Semua aktivitas tersebut dapat diikuti dengan cara ‘meng-klik’ gambar para petugas upacara di situs web http://www.idoptimis.org. Tokoh penting yang pernah ikut berpartisipasi dalam upacara bendera virtual peringatan HUT RI tersebut, di antaranya adalah: Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie, Presiden Republik Indonesia yang ke-3; Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D., S.H., S.U. (@mohmahfudmd), Guru Besar FH-UII Yogyakarta yang juga Ketua Mahkamah Konstitusi 2008 – 2013, dan Anies Rasyid Baswedan, Ph.D. (@aniesbaswedan), Rektor Universiatas Paramadina yang kemudian menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI di Kabinet Kerja Jokowi 2014-2019. Mereka bertiga didaulat oleh para pengguna internet di Indonesia untuk bertindak sebagai Pembina Upacara secara bergantian pada tahun 2011, 2012 dan 2013 dengan memberikan sambutan berupa nasehat kepada kaum muda, khususnya para pengguna internet Indonesia. Sedangkan K.H. Mustofa Bisri (@gusmusgusmus), seorang ulama terkenal dari Rembang Jawa Tengah, telah bersedia berpartisipasi dengan membacakan doa berupa puisi yang dibuat secara khusus dan dibacakan sendiri oleh yang bersangkutan (http://www.id-optimis.org). 3 Upacara bendera virtual menunjukkan bagaimana kehadiran bersama bisa dilakukan secara virtual melalui internet. Para peserta upacara bendera virtual yang berasal dari berbagai penjuru daerah di Indonesia, bahkan yang berdomisili di luar negeri, telah melakukan aktivitas bersama di ruang maya. Mereka berintereaksi melalui media sosial Twitter dan hadir secara virtual mengikuti jalannya upacara di website http://www.id-optimis.org. Internet telah memberikan ruang kepada individu-individu untuk dapat berpartisipasi pada sebuah aktivitas bersama dengan individu-individu lain tanpa harus hadir secara fisik di suatu tempat pada waktu tertentu secara bersamaan. Model geografi-waktu Giddens (1984) yang sangat bergantung pada kehadiran bersama (co-presence) elemen-elemen sosial di dalam ruangwaktu yang sama, kini dapat digantikan sebagian oleh kehadiran bersama secara virtual, yaitu dalam wujud kehadiran bersama jarak jauh (Giddens dalam Piliang, 2004). Internet telah memungkinkan orang-orang menggunakan media sosial untuk berinteraksi tanpa harus bertemu secara fisik. Seseorang dapat berada di beberapa ‘ruang diskusi’ virtual sekaligus, bahkan juga bisa berinteraksi dengan orang yang sama di ‘ruang-ruang’ virtual yang berbeda secara simultan tanpa harus bertemu dan berpindah tempat secara fisik. Ruang-ruang tersebut telah menjadi ruang publik, tempat di mana orang-orang berinteraksi dan bersosialisasi. Internet telah memberikan ruang di mana individu terlibat dalam proses interaksi dalam membangun kepercayaan, mengungkapkan tentang diri mereka dan mengeksplorasi orang 4 lain dalam kaitannya dengan membangun kebutuhan dan keinginan mereka (Jordan, 2009). Twitter, telah menjadi arena publik di dunia maya, di mana orangorang yang memiliki kesamaan minat saling berinteraksi, berdiskusi, berdebat, menyebarkan atau mencari informasi. Bahkan dengan menggunakan nama samaran atau pseudonim, pengguna Twitter bisa bebas mengekspresikan diri mereka, meskipun kadang tidak bertanggung jawab serta kurang mempertimbangkan sopan-santun sosial, apalagi hubungan di Twitter bukanlah hubungan yang sifatnya personal karena banyak yang tidak saling mengenal secara personal di antara pengguna Twitter tersebut. Menurut M.E. Kabay, Direktur CISSP (Certified Information Systems Security Professional) Eropa, pertumbuhan internet telah memicu penggunaan anonimitas dan nama samaran dalam komunikasi elektronik. Di dunia nyata (realitas fisik), identitas berada dalam tataran di mana seorang individu dikenali dan bertanggungjawab atas tindakannya; di dunia maya identitas hanyalah user-ID (Kabay, 1998). Dalam dunia fisik ada kesatuan yang melekat pada diri, dunia maya berbeda; informasi menyebar dan berdifusi; satu orang dapat membuat multi-identitas elektronik; seorang pria dapat membuat identitas perempuan; seorang siswa SMA dapat mengklaim menjadi ahli dalam virology (Judith, 1995). Sebuah artikel menarik di www.tempo.co (6 September 2011), tentang terbongkarnya identitas asli pemilik akun Twitter @poconggg yang cukup fenomenal karena mempunyai jumlah follower hingga 784.000. 5 Seseorang dengan akun twitter @siapapoconggg berhasil membuka identitas @poconggg, yang ternyata adalah Arief Muhammad, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti angkatan 2008 (http://tekno.tempo.co/read/news /2011/09 /06/072354803/terkuak-identitasnya-poconggg-ngambek-berkicau). Terbukannya identitas asli @poconggg tidak membuat jumlah follower akun tersebut menjadi berkurang, tetapi justru bertambah. Jumlah follower @poconggg telah meningkat dari 784.000 per tanggal 6 September 2011 menjadi 912.900 pada 25 Spetember 2011, sementara pada waktu yang sama, akun Twitter asli Arief Muhammad, @arifmuhammad26, hanya mempunyai 899 followers (http://www.twitter.com, 25/9/2011). Gambar 2: Akun Twitter @Arifmuhammad26 Gambar 3: Akun Twitter @poconggg (http://www.twitter.com, 25/9/2011). 6 Ketika topik mengenai terbongkarnya identitas akun @poconggg masih menjadi pembicaraan hangat di ranah digital di Indonesia, khususnya di kalangan pengguna jejaring sosial Twitter, tiba-tiba muncul berita sejenis mengenai akun Twitter @terselubung. @terlubung Konsisten Pakai Topeng Tenni Purwanti |Tri Wahono |Jumat, 23 September 2011|17:04 KOMPAS.com – Membuat tulisan copy-paste karya orang lain dengan menampilkannya di blog sendiri bisa menimbulkan kontroversi jika lupa menyebutkan sumber tulisan. Itulah yang pernah dilakukan pemilik akun Twitter @terselubung. Hobinya meng-copy-paste karya orang pernah menjadikannya trending topic di Twitter. Namun peristiwa itu justru membawa berkah. Blog miliknya semakin sering dikunjungi orang karena isinya yang menarik perhatian. Pemilik blog ini pun mendadak menjadi selebritis dunia maya. Ia hanya menjadi selebritis dengan akun Twitter @terselubung. Ia tidak terkenal dengan nama asli maupun jati diri aslinya di luar akun tersebut. Saat ditemui Kompas.com di Social Media Festival 2011, Kamis (22/9/2011), pemilik akun ini hadir dengan mengenakan topeng putih yang menutupi wajahnya. Sesuai nama akun Twitter-nya yang terselubung, pria ini mengaku akan konsisten terselubung. Lelaki dengan tinggi sekitar 170 cm ini mengenakan jaket yang sama dengan jaket yang dipakainya untuk avatar Twitter-nya. Selama wawancara berlangsung, Ia terus 7 mengenakan topeng putihnya (http://tekno.kompas.com/read/2011 /09/23/17040365/terselubung.konsisten.pakai.topeng). Siapa di Balik Akun Twitter @terselubung? Kamis, 22 September 2011 | 20:15 WIB TEMPO Interaktif, Jakarta - Salah satu akun yang cukup fenomenal dalam jejaring sosial Twitter di Indonesia adalah akun @terselubung. Konsisten dengan nama akunnya, identitas admin alias pengelola Twitter dan blog yang ciri khasnya memposting ulang berita atau artikel dari situs lain ini selalu tertutup selubung. Bahkan, saat menghadiri Social Media Festival pada hari ini, Kamis, 22 September 2011, admin Terselubung memakai topeng putihnya di atas panggung. Walau dibujuk bagaimanapun juga, Terselubung tidak mau mengungkap sedikit informasi pribadinya. (http://tekno.tempo.co/read/news/2011/09/22/072357771/siapa-dibalik-akun-twitter-terselubung). Fenomena akun Twitter @poconggg dan @terselubung, sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Sherry Turkle (1995), di mana kemampuan untuk menjadi anonim di internet memberi kuasa kepada kita untuk bermain dengan cara kita dalam menampilkan diri kita, dan untuk mengatasi batas-batas yang kita alami di dunia tatap muka. Menurut Hu dan Offermas (2009), kehidupan di dunia maya membebaskan mereka dari identitas yang sebenarnya dan memungkinkan mereka untuk menjadi siapapun. Di dunia maya mereka lebih mampu untuk mengekspresikan diri dan memungkinkan bagi mereka untuk menciptakan nilai yang lebih baik. Internet adalah ruang "ekspresif" yang sangat berguna untuk orang-orang bereksperimen dengan identitas (Williams dan Copes, 2005). 8 Menurut Turkle (1995), kita bisa menjadi seseorang yang berbeda di dunia maya, bahkan dengan lebih dari satu identitas atau multi-identitas, tetapi sebaliknya kitapun dapat bertemu dengan avatar di ruang maya yang mengaku menjadi diri kita, dan mungkin bukan hanya satu avatar, tetapi ada banyak. Mereka semua terlihat dan bertindak seperti kita tetapi dikendalikan oleh pengguna lain. Ini sangat mungkin terjadi pada orang-orang terkenal, yang nama dan identitasnya dipakai oleh orang lain untuk sekedar ‘mainmain’ atau tujuan lain (Turkle dalam Grover, 2009). Seperti akun Twitter milik Sherina Munaf, seorang penyanyi terkenal, akun resminya adalah @sherinamunaf, namun ada banyak akun Twitter lain yang menggunakan username Sherina Munaf diantaranya; @sherinamunaf0, @sherinnamunaf, @sherinamunaf2, @sherinamunnaf dan masih banyak lagi (www.twitter.com, 9/9/2012). Keberadaan akun pseudonim di Twitter menjadi fenomena yang menarik karena akun dengan identitas yang tidak jelas siapa pemilik atau pengelolanya ini memiliki jumlah pengikut atau follower yang fantastis. Akun @poconggg, pada 8 September 2014 jumlah follower-nya sudah mencapai 2.920.000, sedangkan akun @terselubung memiliki 689.000 followers. Akunakun pseudonim lain yang juga memiliki banyak follower diantaranya; @MentionKe dengan 1.399.725 followers, @si_sableng dengan 918.163 followers dan @TrioMacan2000 dengan 709.168 followers, serta masih banyak akun-akun pseudonim lain yang memiliki follower hingga ratusan ribu, bahkan jutaan (www.twitter.com, 8/9/2014). 9 Dalam perkembangannya, Twitter juga dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, sosial maupun politik, yaitu sebagai sarana promosi produk, kampanye politik, bahkan untuk mobilisasi masa. Tidak hanya akun Twitter para artis ternama saja yang dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengkampanyekan produk-produk maupun program-program mereka, tetapi juga ‘akun-akun palsu’ atau akun samaran, terutama yang jumlah follower-nya banyak. ‘Akun palsu’, yang notabene tidak jelas siapa mereka ini, kini bisa mendapat kepercayaan sebagai penyampai pesan melalui tweet-tweet mereka, bahkan dihargai secara komersial oleh pemakai jasa akun-akun tersebut. Namun, banyak juga yang curiga dan berpandangan negatif terhadap ‘akun palsu’ atau yang lebih populer dengan sebutan akun anonim, terutama akunakun yang mengusung isu-isu politik, yang banyak bermunculan sejak masa kampanye pemilu 2014, karena suka menyebarkan ‘kampanye hitam’, bahkan sering dijuluki sebagai “akun anonim bayaran.” Meskipun identitas akun-akun Twitter tersebut tidak jelas dan tidak diketahui siapa pemilik aslinya, namun dengan terjadinya interaksi dan transaksi bisnis antara pemilik ‘akun palsu’ dengan pengguna jasanya, bisa dikatakan bahwa para pihak yang berinteraksi yakin ada sosok dibalik akunakun tersebut yang bisa dijangkau sekalipun transaksi juga bisa dilakukan secara online, tanpa pernah bertemu muka secara langsung. Seperti yang dikatakan oleh Hu dan Offermans (2009) bahwa, bagaimanapun juga, semua identitas di dunia maya memiliki orang fisik atau riil di belakang mereka, yang pasti juga tinggal di realitas fisik. 10 B. Perumusan Masalah Fenomena menjamurnya penggunaan ‘identitas palsu’ di ranah Twitter oleh para pengguna internet di Indonesia tersebut menarik perhatian saya untuk menjadikannya sebagai sebuah kajian Antropologis. Dari sini saya rumuskan beberapa hal yang perlu dijawab melalui sebuah penelitian, yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana pemilik akun pseudonim Twitter mengkonstruksi identitas pseudonim Twitter mereka? 2. Bagaimana pemilik akun pseudonim Twitter memanfaatkan dan mempertahankan identitas pseudonim mereka di ranah virtual maupun di realitas fisik? 3. Mengapa pemilik akun Twitter (baik pemilik akun pseudonim maupun akun real di Twitter) terlibat dunia pseudo? C. Studi Pustaka Ruang-ruang di dunia virtual telah menjadi fokus utama penelitian tentang internet, identitas dan komunitas virtual, di antaranya: Gibson, 1984; Turkle, 1985; Haraway, 1985; Krueger, 1991, Stone, 1991; Rheingold, 1993; Shields, 1996; Plant, 1998 (Hardey, 2002). Kajian pustaka ini akan lebih dikhususkan pada studi-studi tentang konstruksi identitas dalam lingkungan virtual anonim, dalam lingkungan virtual yang tidak sepenuhnya anonim hingga dalam seting ‘nonymous’ virtual (non-anonym). Selain itu, dalam 11 kajian pustaka ini juga akan dipaparkan tentang interaksi dan relasi sosial di ranah virtual. Boellstorff (2008), dalam bukunya “Coming of Age in Second Life,” memaparkan bahwa mempelajari dunia virtual “in their own terms” tidak hanya layak, tetapi penting untuk mengembangkan metode riset mengikuti perkembangan realitas perubahan teknologi. Untuk mengeksplor bagaimana Antropologi mungkin dapat berkontribusi terhadap pemahaman budaya dalam dunia virtual, ia melakukan sebuah penelitian lapangan di dalam Second Life1) dengan menggunakan avatar yang dinamai Tom Bukowski dan punya ‘tempat tinggal’ serta ‘kantor’ di Second Life (June 2004 – January 2007). __________________ 1) Second Life adalah ‘tempat’ (permainan) di ruang virtual yang dimiliki dan dikelola oleh sebuah perusahaan, Linden lab. Di Second Life orang menciptakan identitas virtual, merancang sebuah ‘kehidupan’ virtual dengan membuat avatar sebagai representasi diri dan juga melakukan aktivitas sosial dengan berinteraksi dengan avatar lain. Keseharian di Second Life; Seorang laki-laki dapat menampilkan dirinya sebagai tupai, sebagai peri atau seorang perempuan sexy; Seorang anak dapat memiliki orang tua virtual ketika bertemu orang lain yang bersedia menjadi orang tuanya; Dua orang bersaudara (dalam kehidupan riil di dunia nyata) yang hidup jauh terpisah satu dengan lainnya bertemu setiap hari untuk bermain games bersama atau berbelanja online untuk avatar mereka; Seorang pembuat sepatu keluar dari pekerjaannya di dunia nyata karena ia dapat menghasilkan lima ribu dolar Amerika setiap bulannya dengan menjual pakaian virtual untuk para avatar; Sekelompok penganut kristiani berdoa bersama-sama di sebuah gereja di Second Life; Tidak jauh dari situ 12 Newsstand menyediakan salinan dari Koran virtual, termasuk iklan untuk perusahaan mobil yang riil di dunia nyata (Boellstorff, 2008). Dalam penelitiannya ini, Boelstroff menggunakan aturan standar subyek manusia dan metode Antropologi normal, termasuk observasi partisipasi dan wawancara. Menurut Boellstorff, dunia virtual memberi kesempatan bagi banyak bentuk interaksi sosial, dan ini dapat mencakup penelitian Antropologi. Dunia virtual adalah 'jenis baru tempat', mereka adalah 'set lokasi', seperti ketika ia mendapatkan bagaimana ‘warga’ Second Life memiliki rasa yang kuat akan tempat, misalnya ketika berbicara tentang rumah tempat tinggal mereka di Second Life: "Ini adalah tempat saya: ini milikku.” (Boelstroff, 2008). Bagi Boelstorff, apa yang unik tentang Second Life dan dunia virtual lainnya, bahwa mereka memungkinkan munculnya homo-cyber, manusia yang dapat mengkonstruksi dan merekonstruksi dunia baru di dunia virtual. Dalam Second Life orang dapat menemukan teman dan kekasih, menghadiri pernikahan, membeli/menjual properti. Di sini telah terjalin bentuk-bentuk baru keintiman online, bukan hanya refleksi dari dunia nyata. Menurut Boelstroff pendekatan etnografi dan holistik telah bekerja dengan baik, karena dunia virtual adalah 'lokasi kuat untuk budaya', lokasi yang dibatasi, tetapi pada saat yang sama berpori. Dunia virtual adalah tempat, situs budaya di mana orang-orang berinteraksi (Boelstroff, 2008). Sherry Turkle (1995) dalam bukunya Life on The Screen: Identity in The Age of Internet, menceritakan bagaimana komputer telah membentuk cara kita berpikir dan merasakan, bagaimana komputer tidak hanya mengubah 13 hidup kita tetapi mengubah diri kita. Menurut Turkle, kehidupan di layar komputer mengijinkan kita untuk memproyeksikan diri kita dalam drama yang kita buat sendiri, drama di mana kita adalah produser, sutradara dan sekaligus sebagai pemain. Layar komputer adalah lokasi baru untuk fantasi kita, baik erotis maupun intelektual. Komputer bukan lagi sekedar tentang kalkulasi dan ukuran-ukuran, tetapi tentang simulasi, navigasi dan interaksi (dalam Turkle, 2004). Untuk memahami tentang konsep diri di dunia virtual, Turkle (1995) melakukan sebuah penelitian tentang interaksi social di MUD (Multi User Dungeons), di mana banyak pengguna komputer dapat berbagi dan berkolaborasi di dalamnya. MUD adalah permainan ruang virtual dan bentuk baru dari komunitas. MUDs berbasis teks adalah bentuk baru dari literatur yang ditulis secara kolaboratif. Pemain MUD adalah penulis MUD, pencipta sekaligus sebagai konsumen konten media. Sebagai pemain yang berpartisipasi, mereka membangun identitas baru melalui interaksi sosial. Dalam MUD, karakter virtual berkomunikasi satu sama lain, bertukar gerakan, mengekspresikan emosi, menang dan kehilangan uang virtual, dan naik turun dalam status sosial. Sebuah karakter virtual juga bisa mati. Beberapa mati karena penyebab yang alami, pemain memutuskan untuk menutup mereka (dalam Turkle 2004). Senada dengan Turkle, Rheingold (1993) melihat MUD sebagai dunia imajiner. MUD adalah database komputer, di mana orang menggunakan kata-kata dan bahasa pemrograman untuk berimprovisasi, membangun dunia 14 dan semua benda di dalamnya, memecahkan teka-teki, menciptakan hiburan, bersaing untuk gengsi dan kekuasaan, memanjakan keserakahan dan nafsu serta dorongan kekerasan. Orang dapat menemukan seks tanpa tubuh. Dalam MUD yang tepat, orang bahkan dapat membunuh atau mati (Rheingold, 1993). Selanjutnya Turkle (1995) mengatakan bahwa anonimitas MUD memberi orang kesempatan untuk mengekspresikan berbagai aspek diri mereka, termasuk menciptakan identitas yang sama sekali baru atau berbeda, bahkan lebih dari satu identitas. MUD dapat menjadi konteks untuk menemukan siapa seseorang sebenarnya dan ingin menjadi seperti apa. Dengan latar belakang pemahaman ini, bagi Turkle, internet merupakan sebuah laboratorium sosial yang dapat digunakan untuk melakukan eksperimen dengan konstruksi dan rekonstruksi diri seseorang (dalam Turkle, 2004). Apabila Turkle telah memfokuskan pemenelitiannya pada konstruksi identitas online dalam lingkungan anonim seperti MUD (Turkle, 1995), peneliti berikutnya mulai mengalihkan perhatian mereka pada presentasi-diri (self-presentation) dalam lingkungan online yang tidak sepenuhnya anonim (sifat anonimitasnya kurang), misalnya situs kencan internet (Gibbs, Ellison, & Heino, 2006; Yurchisin, Watchravesringkan, & McCabe, 2005). Tidak seperti pada setting MUD atau Chat Room yang anonim secara alami, situs kencan internet dirancang untuk memfasilitasi 15 pertukaran informasi personal, yang meliputi, antara lain, penampilan, jenis kelamin, usia, lokasi, dan pekerjaan (Zhao, Grasmuck, Martin, 2008). Hasil penelitian tentang situs kencan internet tersebut menunjukkan bahwa identitas yang diproduksi di situs kencan internet berbeda dari identitas yang dihasilkan dalam situasi tatap muka, karena orang-orang di situs kencan internet cenderung melonggarkan atau sedikit mengaburkan kebenaran virtual presentasi diri mereka (YurchisiI, 2005). Misalnya, foto yang ditampilkan dipilih untuk menutupi fitur yang tidak diinginkan dari tubuh mereka, seperti kelebihan berat badan, misalnya. Menulis deskripsi diri memungkinkan orang yang pemalu untuk menyembunyikan kecemasan sosial mereka (Gibbs, 2006). Meskipun mereka sedikit mengaburkan kebenaran, identitas yang diproduksi di situs kencan internet cukup ''realistis dan jujur", karena pengguna ingin menghindari kejutan yang kurang menyenangkan dalam pertemuan berikutnya secara offline (Ellison, 2006). Sifat anonim pada sebagian besar situs kencan internet tetap masih ada, walaupun tidak sepenuhnya bersifat anonim, dimana pengguna tidak harus mengungkapkan nama asli, tempat tinggal dan afiliasi institusional lainnya (dalam Zhao, Grasmuck, Martin, 2008). Penelitian lain yang dilakukan oleh Zhao, Grasmuck, dan Martin (2008) bertujuan untuk memperluas penelitian tentang presentasi-diri (selfpresentation) dalam seting ‘nonymous’ virtual (non-anonym), yang sifat anonimitasnya bahkan lebih kurang dibandingkan dengan situs kencan Internet, yaitu tentang konstruksi identitas di Facebook. Facebook memungkinkan pengguna untuk menampilkan diri mereka dalam beberapa 16 cara. Pengguna dapat menampilkan gambar dalam album online mereka, menggambarkan minat dan hobi pribadi mereka, daftar teman-teman mereka dan jaringan sosial mereka. Ada juga fungsi komunikasi Facebook yang memungkinkan pengguna untuk berinteraksi satu sama lain melalui komentar dan pesan. Fungsi utama Facebook adalah untuk membantu pengguna terhubung dengan orang yang mereka sudah tahu dan memperluas hubungan bagi mereka yang belum tahu (Zhao, Grasmuck, Martin, 2008). Hasil penelitian tentang presentasi-diri (self-presentation) dalam seting ‘nonymous’ virtual (non-anonym) menunjukkan bahwa identitas bukanlah karakteristik individual, bukan ekspresi bawaan dalam diri seseorang, tetapi lebih merupakan produk sosial, hasil dari lingkungan sosial tertentu dan karenanya tampil secara berbeda dalam berbagai konteks. Individu akan memilih untuk mengklaim identitas yang dapat membantu mereka menempatkan diri mereka pada situasi yang lebih baik dalam lingkungan sosial tertentu, tergantung pada karakteristik lingkungan di mana mereka menemukan diri mereka. Penelitian juga menunjukkan bahwa tidak benar dunia virtual adalah dunia mimpi bagi perilaku menyimpang. Di masyarakat, individu diharapkan untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma. Dalam lingkungan nonymous (non-anonym), di mana individu dapat bertanggung jawab atas perilaku mereka, orang lebih cenderung untuk menampilkan diri mereka sejalan dengan harapan normatif, sedangkan di lingkungan anonim, baik secara virtual atau fisik, dimana individu tidak dapat diidentifikasikan, orang 17 lebih cenderung untuk berperilaku seperti yang mereka inginkan, bahkan kadang mengabaikan adanya batasan-batasan normatif. Temuan selanjutnya menunjukkan bahwa, tidak benar dunia virtual dan realitas fisik adalah dua dunia yang terpisah, dan apapun yang dilakukan orang secara virtual ‘memiliki konsekuensi kecil’ bagi kehidupan riil di realitas fisik. Di era internet, dunia sosial meliputi baik lingkungan virtual dan realitas fisik, dan orang perlu belajar bagaimana mengkoordinasikan perilaku mereka di dua alam tersebut. Internet menyediakan sumber daya baru dan peluang untuk produksi identitas yang dapat digunakan untuk mengatasi beberapa keterbatasan yang melekat dalam situasi tatap muka (Zhao, Grasmuck, Martin, 2008). Sejalan dengan temuan Zhao, Grasmuck dan Martin, Jordan (2009), mengatakan bahwa dengan berkembangnya internet yang sedemikian pesat, semakin banyak orang hidup dalam dunia hybrid di mana batas-batas antara realitas fisik dan virtual semakin memudar. Di dunia hybrid ini, identitas online dan offline mungkin tumpang tindih dan saling terkait, menghapus batas-batas wilayah sebelumnya, baik di ranah sosial, budaya, linguistik, politik, dan ekonomi. Dunia hybrid ini adalah satu tempat di mana identitas, pengalaman, dan kehidupan seseorang mulai mengintegrasikan keberadaan aspek riil dan virtual sehingga kesadaran sampai batas tertentu dibagi antara fisik (offline) dan virtual (online). Banyak aktivitas di dunia nyata (offline) yang sudah mulai eksis di dunia virtuala (online) seperti; games, jejaring sosial, pendidikan, politik, dll. 18 Tetapi ada pula aktivitas yang bermula di dunia virtual kemudian dibawa ke dunia nyata, seperti online dating yang kemudian berlanjut menjadi offline dating. Dengan menghubungkan nilai-nilai antara dunia virtual dan dunia nyata, adalah mungkin untuk mengintegrasikan kehidupan virtual di dunia virtual dengan rutinitas sehari-hari mereka di dunia nyata (Jordan, 2009). Berbeda dengan asumsi generasi sebelumnya yang menganalisa fenomena internet sebagai cyberspace yang memutuskan sambungan dari realitas tertentu sebagaimana sifat virtualitasnya, Miller dan Slater (2001) tidak mempersoalkan tentang internet sebagai sebuah pengalaman ekstrim untuk melepaskan diri dari realitas fisik dan area virtual yang tunggal atau tanpa ruang, namun sebaliknya, internet adalah teknologi baru yang digunakan oleh berbagai kalangan dalam kehidupan sehar-hari. Miller dan Slater menganggap internet sebagai bentuk perpanjangan ruang-ruang sosial yang menyatu dengan ruang sosial lainnya. Miller dan Slater melakukan studi etnografi tentang praktek-praktek penggunaan internet secara teratur dalam kehidupan sehari-hari tersebut pada masyarakat Trinidad. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Trinidad memiliki ‘pertalian alamiah’ dengan internet, mereka menyerap internet secara natural; di lingkungan pertemanan, tempat kerja, dan di tempat-tempat mereka melakukan kegiatan waktu luang. Internet lebih untuk menyatukan media yang berbeda ke dalam kebiasaan-kebiasaan yang beragam (email melengkapi telepon untuk berhubungan dengan keluarga, website melengkapi TV untuk penyebaran agama, dll). Internet menyediakan panggung untuk memainkan 19 peran dalam skala global, seperti misalnya, para pengusaha menggunkan internet untuk berkompetisi di ranah yang lebih luas; sedangkan bagi kalangan remaja yang menggandrungi banyak jenis musik dari berbagai budaya, akan menjumpai kebudayaan tanpa batas (Miller & Slater, 2001). Meskipun tergolong sebagai area penelitian yang masih baru, studi mengenai Twitter sudah mulai dilakukan. Salah satunya oleh Anatoly Gruzd, Barry Wellman dan Yuri Takhteyev (2011). Gruzd, Wellman dan Takhteyev melakukan sebuah studi tentang komunitas Twitter, yaitu jaringan Twitter milik Wellman. Mereka memilih jaringan Twitter milik Wellman sebagai bahan kajian karena Wellman merupakan pengguna Twitter yang aktif. Wellman adalah salah satu anggota, bagian dari mereka, sehingga menjadi lebih mudah untuk menginterpretasikan dan memvalidasi jaringan personal yang ditemukan. Mereka memfokuskan penelitian ini pada hubungan timbal balik karena ingin menekankan pada pentingnya hubungan resiprokal sebagai inti dari komunitas, karena itu mereka membatasi jaringan personal Wellman di Twitter hanya dengan individu–individu yang memiliki hubungan timbal balik dengan Wellman, misalnya mereka yang mengikuti atau mem-follow Wellman dan juga di-follow oleh Wellman. Mereka mengumpulkan informasi dari Twitter mengenai konektifitas; seperti siapa terhubung dengan siapa, siapa membalas pesan siapa, apakah hubungan yang terjadi mutual, tweets mana yang diteruskan, dan sebagainya. Mereka menggunakan informasi ini untuk mengkaji bentuk baru komunitas, sebagai pengembangan teori pembentukan komunitas online. 20 Hasil penelitian menunjukkan bahwa jaringan online Wellman selain berkembang juga mempertahankan kesadaran akan komunitas. Komunitas Wellman adalah komunitas yang terbuka bagi pendatang baru. Keterbukaan ini menjadi mungkin karena akun Twitter manapun dapat mulai mengikuti akun Twiiter yang lain tanpa mengharuskan akun Twitter yang lain untuk mengikuti mereka. Dalam komunitas ini, akun-akun Twitter pendatang baru sering direspon, sehingga mudah bagi mereka untuk saling terhubung. Atmosfer ini dapat terjalin karena adanya rasa percaya, profesionalisme dan informalitas antar orang–orang dengan hubungan timbal balik (mutuals) yang aktif (Gruzd, Wellman dan Takhteyev, 2011). Fenomena maraknya penggunaan identitas pseudonim melalui akun Twitter oleh para pengguna internet di Indonesia, di mana akun-akun dengan identitas pseudonim dapat menarik ratusan ribu, atau bahkan jutaan, pengguna Twitter lain untuk berinteraksi baik secara aktif maupun pasif dengan para pemilik akun pseudonim tersebut, berbeda dengan kajian-kajian tentang identitas virtual sebelumnya. Meskipun demikian, beberapa temuan sangat relevan digunakan sebagai pijakan dalam melakukan kajian tentang fenomena keterlibatan para pengguna Twitter di Indonesia dengan pseudonimity. D. Jabaran Konsep 1. Dunia Nyata 21 Demi kemudahan pemahaman, “dunia nyata” di sini mengacu pada dunia materi, fisik dan molekuler dari interaksi manusia sehari-hari. Penggunaan istilah “dunia nyata” lebih bertujuan untuk membedakan antara (interaksi) yang fisik dan elektronik (Kabay, 1998). Untuk penggunaan selanjutnya, istilah “dunia nyata” akan diterjemahkan sebagai sebuah “realitas fisik.” 2. Dunia Maya (Cyberspace) Terminologi cyberspace, menurut Dodge & Kitchin (2007), secara harafiah berarti ‘ruang yang dapat dikendalikan’ dan diambil dari kata Yunani kyber (mengendalikan). Dalam novel Neuromancer karya William Gibson (1984) di mana kata cyberspace ini pertama kali disebutkan, cyberspace mengacu pada pengertian “sebuah ruang digital dalam jaringan komputer yang dapat dikendalikan dan dapat diakses dari komputer: yaitu sebuah data Kartesian berbentuk visual, penuh warna dan elektronis, yang dikenal sebagai ‘The Matrix’, di mana para perusahaan dan individu berinteraksi dengan, dan berdagang – informasi.” Terminology cyberspace diadaptasi dan digunakan kembali dalam berbagai penempatan yang semuanya mengacu pada pemunculan komunikasi bermedia komputer dan teknologi virtual (Dodge & Kitchin, 2007). Cyberspace adalah lokasi tanpa unsur realistis lokasi, sepotong ruang mengambang yang ada dengan sendirinya, yang didefinisikan 22 sebagai www (World Wide Web) dan memiliki kehidupan sendiri. Para 'peselancar' internet berpindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain, mengunjungi salah satu 'homepage' setelah yang lain dalam eksplorasi nomaden yang tak menentu atau tak teratur, menghubungkan, melampirkan, mencari 'sesuatu yang berharga atau penting', untuk informasi, untuk sosialisasi, berbagi, belajar, merasakan dan tinggal. Wilayah cyber adalah sebuah ruang di mana segala sesuatu: abstrak dan konkrit, yang nyata dan yang dibayangkan, yang diketahui dan tak terbayangkan, yang berulang-ulang dan diferensial, struktur dan agen, pikiran dan tubuh, datang bersama-sama (Sütcu, Akyaz, Dilmen, 2005). 3. Media Sosial Media Sosial didefinisikan sebagai platform dan teknologi yang berbasis internet yang memungkinkan interaksi pengguna dan/atau memfasilitasi penciptaan dan pertukaran isi yang dibuat oleh pengguna. Data media sosial mengacu pada informasi (foto, komentar, dll) yang pengguna buat atau bagikan saat mereka berkegiatan dalam atau dengan media sosial (Esomar 2011). Menurut Boyd dan Ellison (2007), dalam Social Network Sites: Definition, History, and Scholarship, situs jaringan sosial adalah layanan berbasis web yang memungkinkan individu untuk: (1) membangun profil publik atau semi-publik dalam sistem terbatas (2) mengartikulasikan daftar pengguna lain dengan siapa mereka berbagi koneksi, dan (3) melihat dan 23 menelusuri daftar koneksi mereka dan yang dibuat oleh orang lain dalam system. 4. Twitter Twitter sebagai salah satu media sosial berbasis internet (http://twitter.com), ditemukan pada tahun 2006, mendapatkan perhatian publik pada tahun 2007 dan semakin populer sejak tahun 2009. Twitter merupakan sebuah layanan jejaring sosial dan mikroblog yang memungkinkan penggunanya untuk mengirimkan dan membaca pesanpesan pendek (sepanjang 140 karakter) yang dikenal dengan istilah “tweets” (Jungherr, 2009). Pengguna Twitter dapat memperbaharui feed mereka langsung dari situs web Twitter, atau mereka dapat menggunakan beragam aplikasi komputer dan telepon genggam. Feed ini dapat diakses langsung melalui laman web anggota. Twitter juga memungkinkan penggunanya untuk menerima informasi terbaru dari aplikasi telepon genggam atau komputer yang mereka pilih. Jika seorang pengguna follow feed Twitter dari pengguna lain, dia menerima feed terbaru dari orang tersebut melalui laman web Twitternya, baik melalui aplikasi telepon genggam atau komputer (Jungherr, 2009). Beberapa istilah yang berkaitan dengan Twitter a. Twitter Twitter adalah nama dari situs itu sendiri, diberi nama Twitter karena sesuai dengan tujuan situs tersebut dibuat, twitter atau pengicau. b. Tweet/nge-tweet 24 Pesan twitter atau kicauan seseorang yang panjangnya hingga 140 karakter. Menulis beberapa kata di dalam layanan twitter untuk dibagikan kepada pengguna Twitter lain di seluruh dunia. c. Follower Pengguna Twitter yang mengikuti kita atau bisa kita istilahkan sebagai penggemar kita. Ketika ada orang yang menjadi pengikut kita, kita tidak perlu ada tahap konfirmasi. Setiap orang yang menjadi pengikut kita secara otomatis akan mendapatkan setiap tweet atau update status dari kita yang diikuti, dan tidak sebaliknya. d. Following Jika kita mengikuti feed Twitter pengguna lain, kita mengikuti (“following”) pesan-pesannya. Tweet dari orang yang kita ikuti tersebut akan muncul pada halaman Twitter kita dan tidak sebaliknya. Untuk follow seseorang tidak perlu harus ada konfirmasi dari orang tersebut. Jika kita bosan dengan tweet atau kicauan orang tersebut, maka kita bisa un-follow orang tersebut, dengan demikian tweet orang tersebut tidak akan muncul lagi pada halaman Twitter kita. e. Unfollow Tindakan untuk menyudahi kegiatan follow terhadap akun Twitter tertentu. Dengan unfollow, kita tidak akan menerima tweet terbaru lagi di timeline kita dari penggunga yang sebelumnya kita follow. f. Re Tweet (RT) Re tweet adalah pengulangan tweet, atau lebih dikenal dengan istilah RT atau meneruskan tweet seseorang dari yang kita follow yang kita anggap menarik. Ketika kita melakukan re-tweet status seseorang maka status yang kita re-tweet tersebut akan bisa dilihat oleh follower atau penggemar kita. g. Hashtag (#) Hashtag adalah satu kata yang didahului oleh tanda pagar (#), yang menunjukkan pengkategorian atau pengelompokan sebuah topik untuk setiap tweet atau status Twitter yang kita masukkan. Misalnya kita 25 ingin membuat status tentang pemilu, maka dalam tweet kita kita masukkan hashtag pemilu (#pemilu). Dengan meletakkan hasgtag #pemilu di dalam tweet kita berarti kita sudah mengkategorikan status kita untuk topik #pemilu tersebut. h. Trending Topic Trending topic adalah topik paling populer yang digolongkan berdasarkan area tertentu, bisa lokal maupun bisa internasional atau seluruh dunia. Trending topic mengacu kepada hal yang sering dibicarakan orang. Trending topic diambil dari setiap #hashtag yang sering diletakkan dalam tweet pengguna Twitter. Semakin banyak pengguna Twitter meletakkan sebuah topik dalam bentuk hashtag dalam tweetnya maka topik tersebut akan menjadi trend atau terkenal. (http://strukturkode.blogspot.com/2015/02/mengenal-kode-dan-istilahtwitter.html) i. Timeline Daftar koronologi dari Tweet kita, orang yang kita ikuti atau list berdasarkan satuan waktu yang berurutan. Timeline biasanya muncul berurutan berdasarkan kronologi pembuatan tweet. Tweet yang baru saja kita posting akan muncul di urutan teratas timeline. j. Mention Suatu tindakan untuk memberitahu seorang pengguna Twitter dengan mencantumkan username-nya pada tweet (@username) sehingga orang tersebut akanikut membaca tweet yang kita kirimkan. Orang yang di mention akan mendapatkan notifikasi Twitter. (https://www.maxmanroe.com/daftar-istilah-penting-dalam-twitterdan-artinya.html, 1/7/2014). k. Kultwit "Kultwit" diartikan sebagai "Kuliah Twitter" atau "Kuliah Lewat Twitter", merujuk pada tweet berseri (dilengkapi dengan nomor kicauan maupun tidak), yang membahas satu topik tertentu. 26 (http://beritagar.com/p/darimana-datangnya-istilah-kultwit-11067, 22/12/2013). l. Buzzer Twitter Seorang Twitter buzzer adalah pengguna Twitter yang dapat memberikan pengaruh pada orang lain hanya melalui tweet yang ia tuliskan. Buzzer harus mempunyai kemampuan influence atau mempengaruhi orang lain. Oleh sebab itu, ada pula yang menyebut seorang buzzer dengan istilah influence. (https://www.maxmanroe.com/apa-itu-twitter-buzzer-peluangpenghasilan-aktivis-media-sosial.html, 26 Januari 2013). m. Meme Meme, yaitu gambar lucu, video, sepotong teks dan lain-lain yang disalin (sering dengan sedikit variasi) dan menyebar dengan cepat oleh pengguna Internet. Sebuah meme Internet kadang juga hanya sebuah kata atau frase, termasuk salah mengeja yang disengaja. (http://en.m.wikipedia.org/wiki/Meme). E. Kerangka Pemikiran 1. Hiper-realitas dan Simulasi Baudrillard (1981), dalam “Simulacra and Simulation” mengatakan bahwa: simulasi (peniruan) tidak lagi menjadi suatu area, keberadaan referensial, atau sebuah substansi semata. Simulasi merupakan sesuatu yang lahir dari model-model tanpa asal-usul dan tanpa realitas pasti. Inilah yang disebut hiper-realitas (melewati kenyataan). Tak ada lagi cerminan tentang keberadaan dan kehadiran, juga kenyataan beserta konsep-konsepnya. Tak ada lagi khayalan yang meluas: ini merupakan ciri 27 khas dari dimensi simulasi (peniruan). Sesuatu yang dianggap ‘nyata’ diproduksi dari miniaturisasi sel-sel ingatan tentang kuasa – dan hal ini diproduksi dari rangkaian momen yang tak terbatas jumlahnya. “Kenyataan” tidak harus rasional, karena tidak lagi didasarkan pada eksistensi diri dalam melawan apa yang dianggap ideal dan apa yang negatif. Bukan lagi suatu yang tidak operasional. Faktanya, simulasi akan menjadi suatu kenyataan tersendiri, karena tak lagi dibungkus oleh imajinasi. Simulasi adalah hiper-realitas yang dilahirkan dari sintesa yang menyebar atas model-model yang menyatu dalam ruang tanpa batas. Melalui simulasi, manusia dijebak di dalam satu ruang yang disadarinya sebagai nyata, meskipun sesungguhnya semu atau khayalan belaka. Di dalam wacana simulasi, manusia mendiami satu ruang realitas, yang didalamnya perbedaan antara yang nyata dan fantasi atau yang benar dan palsu menjadi sangat tipis, manusia hidup dalam ruang khayali yang nyata (Baudrilliad dalam Piliang, 2010). Bukan lagi dunia yang ‘nyata’ versus dunia yang ‘tiruan’, tetapi sebuah dunia dimana yang ada hanya simulasi (Baudrillard dalam Sarup, 2003). William Gibson, yang terkenal dengan karya novelnya Neuromancer (1984), secara khusus memetakan cara-cara teknologi baru mempengaruhi kehidupan manusia dalam menciptakan individu-individu baru dan lingkungan teknologi baru – yang juga merupakan tema-tema Baudrillard di tahun 1970-an. Teori-teori Baudrillard tentang hiperrealitas, simulasi dan peleburan, semuanya muncul dalam Neuromancer. 28 Keduanya menggambarkan masyarakat informasi berteknologi tinggi di mana segala batas telah melebur; batas-batas antar budaya, antara biologi dan teknologi, antara kenyataaan dan ketidaknyataan (atau simulasi). Di dunia ini, simulasi telah menggantikan “kenyataan”, dan tubuh serta subyektivitas manusia telah digantikan secara drastis oleh teknologi baru (Kellner, 2010). 2. Identitas dan Identitas Virtual Makna utama dari kata benda “identitas” dalam hal ini didefinisikan dalam sebuah kamus (American Heritage, 1992) sebagaimana (dikutip secara langsung oleh Kabay, 1998); (1) Aspek kolektif dari himpunan karakteristik dimana suatu hal sudah pasti dapat dikenali atau diketahui; (2) Himpunan karakteristik perilaku atau pribadi seseorang dimana seorang individu dikenali sebagai anggota suatu kelompok; (3) Kepribadian yang berbeda dari seorang individu dianggap sebagai entitas tetap; individualitas. Menurut Castells (1977), identitas adalah pengalaman manusia yang universal dan merupakan sumber mendasar dari makna. Identitas berfungsi untuk menata dan mengelola makna. Identitas harus dibedakan dari apa yang secara tradisional para sosiolog menyebutnya sebagai peran atau kumpulan peran-peran. Peran (misalnya; sebagai pekerja, ibu, perokok, pemain basket, tetangga, dll) didefinisikan oleh norma-norma terstruktur oleh lembaga dan organisasi masyarakat. Identitas bahkan 29 menjadi sumber makna yang lebih penting dibanding peran karena proses konstruksi-diri (self-construction) dan individuasi yang melibatkan mereka. Dalam istilah yang sederhana, identitas mengorganisasikan makna, sedangakan peran mengorgaisasikan fungsi. Siapapun yang mengkonstruksi identitas dan untuk tujuan apapun, seringkali ditentukan oleh makna symbolik yang ada pada identitas tersebut atau yang ingin diidentikkan dengan identitas tersebut (Castells, 1977). Dalam menjelaskan proses konstruksi sosial atas identitas, Manuel Castells (1977) dalam The Power of Identity menuliskannya dalam tiga proposisi. Pertama, Legitimazing Identity, adalah identitas yang diperkenalkan oleh institusi yang dominan dalam satu masyarakat untuk memperpanjang dan merasionalisasi dominasi mereka atas aktor-aktor sosial. Kedua, Resistance Identity, identitas yang dihasilkan oleh aktoraktor sosial yang selama ini posisinya mendapatkan stigma negatif dari penguasa, sehingga memunculkan identitas yang berbeda dengan penguasa sebagai bentuk perlawanan atas dominasi yang dipraktekkan penguasa. Ketiga, Project Identity, terjadi ketika aktor-aktor sosial berusaha untuk membangun identitas baru untuk menunjukkan posisi mereka di tengahtengah masyarakat. Selain itu, mereka juga berusaha untuk melakukan transformasi pada struktur sosial yang ada. Douglas Kellner (2010), dalam bukunya “Budaya Media: Cultural Studies, Identitas dan Politik antara Modern dan Postmodern” mengupas identitas dari sudut pandang yang berbeda, yaitu mulai dari 30 masyarakat pra-modern atau tradisional, modern, hingga post-modern. Menurut Kellner (2010), dalam masyarakat pra-modern, identitas bersifat tetap, kukuh dan stabil. Identitas merupakan fungsi dari peran sosial yang didefinisikan sebelumnya, dan merupakan sistem mitos tradisional yang memberikan orientasi dan sanksi religius untuk menentukan tempat seseorang di dunia, sambil secara keras membatasi pemikiran dan perilakunya. Secara tradisional identitas merupakan fungsi kesukuan, kelompok atau kolektif, dalam modernitas indentitas berfungsi untuk menciptakan individualitas tertentu. Masih menurut Kellner, dalam masyarakat modern, identitas menjadi lebih bebas bergerak, berlipat ganda, personal, cenderung berubah serta dapat dibuat. Seseorang dapat memilih dan membuat – dan kemudian membuat ulang – identitasnya, ketika kemungkinan-kemungkinan hidup seseorang berubah dan meluas atau menciut. Seiring dengan meningkatnya kemungkinan identitas, orang harus mendapatkan pengakuan agar identitasnya diakui dan sah secara sosial. Selanjutnya Kellner mengatakan, dalam modernitas masalah identitas berakar pada bagaimana kita membentuk, menginterpretasikan, merasa, dan menampilkan diri kepada diri kita dan orang lain. Identitas modern melibatkan pilihan-pilihan mendasar yang mendefinisikan seseorang (profesi, keluarga, identifikasi politik, dll). Sementara itu, identitas postmodern merupakan fungsi kesenangan dan didasarkan pada permainan, kepiawaian dalam bermain dan pencitraan, serta cenderung 31 lebih tidak stabil dan berubah-ubah. Seiring meningkatnya kompleksitas masyarakat modern, identitas menjadi makin tidak stabil dan makin rapuh (Kellner, 2010). Setiap orang yang membangun komunikasi dalam lingkungan virtual memiliki identitas sosial virtual. Meskipun identitas virtual berarti "sebuah identitas yang tidak nyata", kadang-kadang mereka mungkin identik dengan identitas yang riil atau asli. Orang dapat memilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan identitas asli di lingkungan virtual (Sütcü, Akyaz dan Dilmen, 2005). Dunia virtual membebaskan orang dari identitas asli mereka dan memungkinkan mereka untuk menjadi siapapun. Identitas virtual perlu dipahami sebagai representasi yang terus berubah, tidak pernah dalam posisi yang sama, dan terus menerus dalam pembuatan. Bahkan lokasi dari identitas online dapat diganti, diedit, dilebih-lebihkan, atau dihapus saat itu juga (Tyma dan Leonard, 2011). Menurut Turkle (1995), identitas merupakan konsepsi-konsepsi diri (self). Orang–orang memahami identitas sebagai serangkaian peran yang dapat dicampuraduk dan disesuaikan, di mana kebutuhan (akan identitas) yang beranekaragam dapat dinegosiasikan. Dengan latar belakang pemahaman ini, internet merupakan sebuah laboratorium sosial yang dapat digunakan untuk melakukan eksperimen dengan konstruksi dan rekonstruksi diri seseorang. Di dunia virtual, kita menciptakan sendiri identitas kita setelah kita memutuskan kepribadian virtual seperti apa yang kita bayangkan, bahkan sangat mungkin untuk menciptakan kepribadian 32 yang menunjukkan aspek diri yang sama sekali baru atau berbeda. Identitas virtual menunjukkan secara tidak langsung suatu “perbedaan, multiplisitas, heterogenitas, dan fragmentasi (Turkle dalam Grover, 2009). Masih menurut Turkle (1995), multiplisitas merupakan fitur yang sangat penting dari teorinya mengenai budaya simulasi, karena setiap pemain dapat membuat banyak karakter dan berpartisipasi di berbagai permainan, diri (self) tidak hanya takterpusat namun juga berkembangbiak tanpa batasan. Multiplisitas di dunia virtual mengacu pada fakta bahwa seseorang dapat membuat dan menciptakan kembali sejumlah identitas secara bersamaan. Perbedaan multiplisitas pada diri di realitas fisik dan virtual adalah bahwa semua aksi yang dilakukan di kehidupan nyata dapat dilihat berasal dari tubuh yang sama. Di dunia maya, dengan berlindung di balik perisai anonimitas, aksi-aksi yang demikian tidak dapat dilacak kembali pada tubuh yang sama (Turkle dalam Grover 2009). 3. Anonimitas dan Pseudonimitas Menurut Kabay (2008), pertumbuhan internet telah memicu penggunaan anonimitas dan pseudonimitas dalam komunikasi elektronik. Anonimitas dan pseudonimitas dipandang sebagai ekspresi hak atas privasi. Anonimitas dapat didefinisikan secara sederhana sebagai suatu hal yang tidak ada nama atau dengan nama yang tidak diketahui. Sedangkan pseudonim (nama samaran) adalah penggunaan nama palsu. Kumayama (2009), mengatakan bahwa anonimitas dan pseudonimitas menggambarkan batasan informasi yang ditutupi oleh 33 seorang ‘aktor’ ketika berpartisipasi dalam transaksi tertentu. Kedua konsep (anonimitas dan pseudonimitas) tersebut acap kali dicampuradukkan, terutama di konteksi internet. Di internet, perbedaan yang ada antara kepribadian yang anonim dan pseudonim adalah pada apakah penggguna memilih untuk menggunakan persona tersebut lebih dari satu kali. Semakin sering suatu persona digunakan, semakin banyak pertalian yang dijalin, semakin bertambah reputasi yang didapat. Dalam istilah teknis, anonimitas adalah suatu keadaan dimana kita tidak dapat diidentifikasi dalam serangkaian subyek, yaitu serangkaian anonimitas. Kathleen Wallace menggambarkan anonimitas sebagai suatu bentuk tak teraksesnya seseorang oleh orang lain yang berhubungan dengannya atau tinggal di lingkungan sosial yang sama, meskipun hanya atau terutama dalam hal dampak dari aksi seseorang (Kathleen Wallace dalam Grover, 2009). Anonimitas merupakan suatu istilah yang bebas nilai. Dengan demikian konsep anonimitas tidak buruk dan tidak juga baik. Dalam beberapa hal, seperti whistle-blowing, anonimitas sangat bermanfaat. Dalam kasus lain, seperti penguntitan yang dilakukan secara online, anonimitas bisa membahayakan (Grover, 2009). Menurut Grover, anonimitas maupun pseudonimitas memiliki pengertian internal dan eksternal. Anonimitas internal mengacu pada kesadaran diri virtual seseorang terlepas dari diri realitas fisiknya. Sedangkan anonimitas eksternal, adalah suatu bentuk tak teraksesnya seseorang oleh orang lain yang berhubungan dengannya atau tinggal di 34 lingkungan sosial yang sama, meskipun hanya atau terutama dalam hal dampak dari aksi seseorang. Sementara itu, internal pseudonymity mengacu pada kesadaran diri virtual (virtual-self) seseorang berbeda dengan diri seseorang di realitas fisik dalam hal alasan diambilnya suatu tindakan serta nilai yang dianut. External pseudonimity mengacu pada hubungan antara orang-orang dimana seseorang menggunakan nama yang berbeda dari apa yang biasanya digunakan (dikenali). Di dunia maya, external pseudonymity merupakan hal yang biasa dilakukan atas alasan privasi atau keselamatan (Grover, 2009). Ada opini yang berbeda mengenai nilai anonimitas virtual. Beberapa mengklaim bahwa kemampuan untuk memantapkan identitas yang independen dan terpisah merupakan salah satu aspek yang paling utama dari budaya online, yang memungkinkan orang untuk mengeksplorasi peran dan hubungan-hubungan yang berbeda untuk menjadi lebih dekat dengan mereka (Grover 2009). Yang lain mengklaim bahwa anonimitas dapat mendorong perilaku yang tidak bertanggung jawab dan bermusuhan dan bahwa sebuah komunitas yang anonim adalah kumpulan dari orang-orang bodoh (Judith S, 1995). Rose (1994), memberikan komentar keras atas aplikasi yang tidak semestinya dari anonimitas online. Orang secara anonim dapat mengirimkan berbagai macam bahan ilegal dan merugikan ke area publik: pelanggaran hak cipta, pornografi, informasi kartu kredit yang dicuri, kebohongan dan fitnah, dan sebagainya (Rose, 1994 dalam Kabay, 1988). 35 Orang-orang yang ingin menyebarluaskan pesan yang penuh dengan kebencian dan kesalahpahaman, namun tidak mau mempertahankan pendapatnya di depan publik, dapat melakukan tindakan dengan berlindung pada tembok anonimitas dan menyuntikkan dosis polusi pemikiran dalam jumlah yang besar ke arena publik (Judith, 1995). 4. Komunitas dan Komunitas Virtual Robert Redfield, ketika melihat transformasi dari satu lingkungan ke lingkungan lain dalam hubungannya dengan perubahan peradaban yang terjadi dalam masyarakat, mengemukakan tentang 4 (empat) sifat kunci dari komunitas, yaitu: (1) sifat yang kecil dari suatu unit; (2) sifat hemogen dari kegiatan dan pikiran anggota; (3) berkemampuan memenuhi kebutuhan sendiri; (4) adanya kesadaran tentang perbedaan dengan yang lain (Redfield dalam Abdullah, 2006). Menurut Abdullah (2006), batas-batas komunitas sebagai unit telah mengalami kekaburan akibat dari batas-batas komunitas yang melebar dan bergeser. Keterbukaan komunitas dan hubungannya dengan dunia luar yang semakin erat dari waktu ke waktu menyebabkan intervensi nilai dari luar terjadi secara lebih intensif. Wellman & Gulia (1996) mengatakan bahwa dunia online mendukung berbagai macam struktur masyarakat. Beberapa murni virtual: anggota tidak pernah bertemu di kehidupan nyata dan berinteraksi hanya online. Lainnya, seperti milis dari rekan kerja, adalah suplemen elektronik untuk komunitas dunia nyata. Beberapa komunitas masyarakat, jejaring 36 sosial, terdiri dari orang-orang yang berinteraksi secara teratur, seperti anggota kelompok diskusi, MUD atau newsgroup. Lainnya adalah masyarakat pribadi, yang terdiri dari teman-teman perseorangan dan kolega (Wellman & Gulia, 1996). Rheingold menggambarkan komunitas virtual di ruang maya sebagai berikut: “Orang-orang di komunitas virtual menggunakan kata-kata di layar untuk berbasa-basi dan berdebat, terlibat dalam wacana intelektual, melakukan perdagangan, pertukaran pengetahuan, berbagi dukungan emosional, membuat rencana, brainstorming, gosip, perseteruan, jatuh cinta, mencari teman dan kehilangan mereka, bermain game dan metagames, menggoda, ada banyak omong kosong. Orang-orang di komunitas virtual melakukan hampir segala sesuatu yang orang lakukan dalam kehidupan nyata, tapi mereka melakukannya dengan kata-kata di layar komputer, dan meninggalkan tubuh mereka di belakang. Anda tidak dapat mencium siapa saja dan tidak ada yang bisa memukul Anda di hidung, tapi banyak yang bisa terjadi dalam batas-batas itu. (Rheingold, 1999, hal. 3). Rheingold (1993) mendefinisikan komunitas virtual sebagai agregasi sosial yang muncul dari internet ketika cukup banyak orang melakukan diskusi-diskusi publik untuk membentuk jaring hubungan pribadi di dunia maya. Kemampuan untuk jaringan, mendapatkan pengetahuan, atau menemukan persekutuan dalam dunia maya, menurut Rheingold adalah perekat sosial yang mengikat individu sebelumnya terisolasi menjadi sebuah komunitas. Menurut Willson (2000), ada tiga karakteristik komunitas virtual, yaitu: kemerdekaan, kebebasan dari kendala sosial dan geografis 37 wujud identitas; kesetaraan, penghapusan hierarki yang berhubungan dengan wujud identitas sehingga masyarakat terbuka untuk semua; dan persaudaraan, keterhubungan terasa antar anggota dari suatu komunitas. Di Twitter, para pengguna tidak akan pernah tahu semua orang di Twitter namun mereka sadar akan keberadaan pengguna lainnya, terutama lingkungan sumber-sumber mereka. Hubungan di Twitter tidak tergantung pada hubungan personal, karena banyak pengguna memiliki pengikut (follower) lebih dari yang mereka tahu, bahkan banyak diantara mereka yang tidak kenal secara personal dengan para follower-nya dan sebaliknya mereka juga mem-follow orang-orang yang tidak mereka kenal secara personal (Gruzd, Wellman dan Takhteyev, 2011). F. Metode Penelitian 1. Partisipasi Observasi Penggunaan yang paling jelas dari metode etnografi untuk mempelajari tempat-tempat virtual adalah sebuah monograf oleh Tom Boellstorff (2008) yang berjudul "Coming of Age in Second Life". Namun penelitian yang saya lakukan tidak sepenuhnya penelitian online, karena disamping mengikuti aktivitas online para pemilik akun anonim sebagai nara sumber utama, saya juga mewawancarai mereka secara offline. Merujuk apa yang dikatakan oleh Jordan (2005), bahwa apa yang merupakan kekuatan khusus studi hibrid adalah kombinasi observasi online dan partisipasi offline dengan mewawancarai para partisipan. 38 Kadang-kadang hal tersebut dilakukan melalui telepon dan kadang-kadang melalui tatap muka ketika peneliti bertemu anggota chat room atau ‘warga’ virtual dalam kehidupan nyata (Jordan, 2005). Salah satu studi yang memanfaatkan pendekatan ini adalah studi yang dilakukan oleh Ruthleder (2000) yang menunjukkan bahwa wawancara offline menambah dimensi baru untuk analisis studi onlinenya. Kedalaman tentu dapat dicapai oleh etnografer yang menjadi insider. Para peneliti belajar tentang budaya kelompok chatting, online game dan dunia maya dengan menjadi pemain, menciptakan avatar dan representasi lain untuk diri mereka sendiri, dan belajar bagaimana untuk berinteraksi dengan pemain lain dan representasi mereka sebagai insider yang berpartisipasi sepenuhnya (Ruthleder dalam Jordan, 2005). Observasi partisipasi online saya lakukan dengan cara menjadi follower pasif akun pesudonim Twitter milik para nara sumber, artinya saya memonitor aktivitas online mereka tanpa terlibat perbincangan secara aktif dengan akun yang bersangkutan. Observasi partisipasi online ini saya lakukan untuk mengumpulkan data dengan mengamati bagaimana pemilik akun pseudonim mencitrakan dirinnya secara virtual melalui akun-akun pseudonim yang dimilikinya, bagaimana mereka beriteraksi di ruang maya dengan para pemilik akun Twitter lainnya, khususnya para follower-nya, serta bagaimana mereka menjalankan aktivitas virtual di Media Sosial lainnya, seperti Facebook, Blog, Instagram dll. Salain itu saya juga memonitor secara online artikel-artikel yang berkaitan dengan pemberitaan 39 tentang akun-akun tersebut untuk menambah pengetahuan dan gambaran lebih luas tetang eksistensi akun-akun pseudonim tersebut di ranah media sosial di Indonesia. 2. Wawancara Di samping observasi online, saya juga melakukan wawancara dengan para pemilik akun pseudonim Twitter sebagai nara sumber utama dan beberapa pemilik akun Twitter yang mem-follow akun pseudonim serta praktisi media sosial, yaitu mereka yang sehari-harinya berhubungan dengan dunia sosial media; bekerja di area tersebut dan mengamati dunia sosial media sebagai bagian dari pekerjaan sehari-harinya. Tujuan dari wawancara offline ini adalah untuk mengumpulkan data umum karakteristik pemilik akun pseudonim sebagai nara sumber utama, bagaimana mereka mengintegrasikan identitas pseudonim virtual mereka dengan kehidupan riil mereka sebagai pemilik akun pseudonim tersebut. Wawancara dengan nara sumber lain saya lakukan untuk menjawab pertanyaan tentang keterlibatan mereka dengan dunia pseudo, yaitu sebagai follower akun-akun pseudonim tersebut. Adapun dengan praktisi sosial media saya berdiskusi dan menggali pendapat mereka tentang maraknya penggunaan identitas pseudonim di ranah media sosial dan hal-hal yang berhubungan dengan penggunaan media sosial secara umum di Indonesia. Wawancara saya lakukan di tempat-tempat di mana nara sumber biasa melakukan aktivitas utama sehari-harinya, seperti; di rumah, di 40 kantor, di café atau restauran. Selain secara face to face, wawancara dengan para nara sumber juga saya lakukan melalui telepon dan online chatting. Hal ini saya lakukan ketika harus mengkonfirmasi temuan lain yang saya dapatkan dari monitoring online akun-akun milik para nasa sumber dan untuk memperdalam temuan-temuan sebelumnya. 3. Pengumpulan Data dan Monitoring Online Mengumpulkan data tentang Internet, Media Sosial dan Twitter di Indonesia. Memonitor News Feed Twitter di Timeline para pemilik akun pseudonym (nara sumber) untuk melihat bagaimana mereka mencitrakan dirinya melalui tweet-tweet mereka dan bagaimana mereka berinteraksi dengan para follower-nya. Memonitor aktivitas online lainnya seperti penggunaan media sosial lain; Blog, Facebook, YouTube, Instagram, dll; memonitor berita-berita online yang berkaitan dengan aktivitas virtual akun-akun pseudonim tersebut. 41